BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Likuiditas
Likuiditas adalah kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi kewajiban setiap saat, termasuk didalamnya penarikan yang tidak dapat diduga seperti commitment loan maupun penarikan penarikan tidak terduga lainnya (Rivai dan Arifin, 2010: 548). Menurut Bambang
Riyanto likuiditas berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban fasilitasnya yang segera harus dibayar. Sedangkan Joseph E Burns mengungkapkan bahwa likuiditas bank berkaitan dengan kemampuan suatu bank untuk menghimpun sejumlah tertentu dana dengan biaya tertentu dan dalam jangka waktu tertentu (www.lisvitria.blogspot.com). Jadi, likuiditas bank adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban segera, baik kewajiban untuk memenuhi penarikan dana maupun permintaan pembiayaan dari nasabah. Sedangkan manajemen likuiditas bank diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan untuk memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus dibayar (Muhammad, 2005: 65). Pengertian manajemen likuiditas lainnya diungkapkan oleh pakar perbankan yaitu Duane B Graddy dan Oliver G Wood. Duane B Graddy mengemukakan bahwa manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan. Sementara Oliver G Wood menyebutkan bahwa manajemen likuiditas melibatkan perkiraan kebutuhan dan penyediaan kas secara terus menerus baik kebutuhan jangka pendek atau musiman atau kebutuhan jangka panjang (Setyowati dkk, 2008). Dengan demikian, manajemen likuiditas bank adalah suatu pengelolaan/pengaturan alat-alat likuid yang dilakukan suatu bank guna memenuhi seluruh kewajiban yang harus segera dibayar oleh bank yang bersangkutan.
9
10
2.2 Fungsi Likuiditas
Fungsi likuiditas secara umum antara lain (Setyowati dkk, 2008):
1. menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari;
2. mengatasi kebutuhan dana yang mendesak;
3. memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman; dan
4. memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik
yang menguntungkan. Sedangkan menurut Yoseph Sinkey (Aisah, 2008: 34), fungsi likuiditas
adalah:
1. untuk menunjukkan dirinya/bank sebagai tempat yang aman untuk menyimpan uang; 2. memungkinkan bank untuk memenuhi komitmen kreditnya; 3. untuk menghindari penjualan aktiva yang tidak menguntungkan; 4. untuk menghindari diri dari penyalahgunaan kemudahan atau kesan negatif dari penguasa moneter karena meminjam dana likuiditas dari Bank Sentral; dan 5. memperkecil penilaian risiko ketidakmampuan membayar kewajiban penarikan dananya. 2.3 Risiko Likuiditas Bank wajib menyediakan likuiditas dengan cukup dan mengelolanya dengan baik, karena apabila likuiditas tersebut terlalu kecil maka akan mengganggu kegiatan operasional bank. Namun demikian, likuiditas juga tidak boleh terlalu besar karena apabila jumlah likuditas terlalu besar maka akan menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas. Dalam hal bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana yang mendesak maka munculah risiko likuditas (Setyowati dkk, 2008). Risiko likuditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka
11
pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Menurut Arifin (dalam
www.shariahlife.wordpress.com),
besar
kecilnya
risiko
likuditas
ditentukan antara lain: a. kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus dana (fund flow)
berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana-dana,
termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana-dana (volatility of funds); b. ketepatan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana
non PLS;
c. ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan
d. kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas Lender of The Last Resort. Apabila kesenjangan tersebut cukup besar maka akan menurunkan kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, maka diperlukan manajemen likuiditas, yang mana pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan liabilitas. Dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuditas, aktivitas manajemen risiko yang umumnya ditetapkan oleh bank antara lain adalah (Setyowati dkk, 2008): a. Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun penarikan tunai. b. Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui incoming transfer maupun setoran tunai nasabah. c. Membuat analisa sensitivitas likuiditas bank terhadap skenario penarikan dana berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih rata-rata saat ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan likuiditas bank.
12
d. Selanjutnya bank menetapkan secondary reserve untuk menjaga posisi likuiditasnya, antara lain dengan menempatkan kelebihan dana ke dalam
instrumen keuangan yang likuid.
e. Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang
bank. Melaksanakan fungsi ALCO (Asset & Liability Committee) untuk
mengatur tingkat bunga dalam usahanya. f. Meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.
2.4 Likuiditas Bank Syariah
2.4.1
Pengelolaan Likuiditas Bank Syariah Baik bank konvensional maupun bank syariah wajib mengelola
likuiditasnya, karena pengelolaan likuditas tersebut diperlukan untuk memenuhi kewajiban bank terutama kewajiban jangka pendek. Namun demikian terdapat beberapa kendala dalam pengelolaan likuiditas dalam bank dengan berbasis syariah (bank islam) apabila dibandingkan dengan bank konvensional, mengingat bank dengan berbasis syariah, produk-produknya masih baru, seiring dengan usia berkembangnya bank syariah. Adapun kendala-kendala tersebut antara lain (Setyowati dkk, 2008): a. Kurangnya akses untuk memperoleh pendanaan jangka pendek. b. Kurangnya akses ke pasar uang sehingga bank syariah hanya dapat memelihara likuiditas dalam bentuk kas. c. Kendala operasional, kesulitan dalam mengendalikan likuiditasnya secara efisien, sebagai contoh tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana-dana yang diterimanya, kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan sehingga berakibat bank-bank Islam menahan alat likuidnya dalam jumlah besar dibandingkan dengan rata-rata perbankan konvensional. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, ada beberapa pilihan yang kebanyakan dilakukan oleh pengelola bank-bank Islam yang bersifat darurat yaitu:
13
a. Mengupayakan dana di pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia di
pasar uang tersebut.
b. Mengambil bunga dan menggunakannya untuk tujuan sosial berdasarkan
fatwa.
c. Menginvestasikan dalam bentuk emas dan/atau logam mulia lainnya seara
tunai dengan kontrak berjangka.
d. Menyimpan dananya di bank konvensional tanpa menerima bunga sebagai
imbangan dari servis yang diperolehnya.
2.4.2 Alat Likuid Bank Syariah Menurut Arifin (dalam Setyowati dkk, 2008), alat likuid merupakan bagian dari aktiva lancar yang berfungsi untuk menjaga likuiditas Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah. Kemampuan likuiditas suatu aset tergantung pada kandungan daya cair aset (self contained liquidity) dan daya jual aset (marketability). Alat likuid pada bank terdiri dari (Setyowati dkk, 2008): 1. Cash on Hand Alat likuid ini berisi uang tunai di kas yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari. 2. Giro pada Bank Sentral Rekening giro pada Bank Sentral merupakan sarana transaksi antar bank, baik dalam rangka melakukan kliring, maupun untuk transaksi pinjaman antar bank atau dengan Bank Sentral. 3. Giro pada bank lain Rekening giro pada bank lain bertujuan untuk melancarkan transaksi antar bank (transfer, inkaso, transaks L/C, dan lain-lain). 4. Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso Alat likuid ini terdiri dari cek Bank Sentral atau bank koresponden yang belum secara efektif dikreditkan pada rekening bank pada Bank Sentral atau bank koresponden.
14
Menurut Setyowati, dkk (2008), pengelompokan alat likuid ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu dari prioritas penggunaan dana dan sifat aktiva bank
dalam hubungannya dengan pendapatan bank. 1. Dilihat dari prioritas penggunaan dana Dilihat dari prioritas penggunaan dana bank, alat likuid ini termasuk dalam
primary reserve (cadangan primer) yang bertujuan untuk:
a. memenuhi reserve requirement yang ditempatkan dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia; b. memenuhi keperluan operasional bank sehari-hari; c. penyelesaian kliring antar bank; dan d. kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo.
2. Dilihat dari sifat aktiva bank dalam hubungannya dengan pendapatan bank Jika dilihat dari sifat aktiva bank dalam hubungannya dengan pendapatan bank (earning), maka alat likuid ini termasuk dalam Aktiva Tidak Produktif (Non Earning Assets). Alokasi penggunaan dana pada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah memiliki paling tidak dua tujuan, yakni untuk mencapai tingkat profitabilitas yang cukup dengan tingkat risiko rendah serta untuk menjaga likuiditas agar kepercayaan masyarakat terjaga. Alat likuid bertujuan untuk menjaga likuiditas Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan tidak ditujukan untuk memperoleh pendapatan bagi Bank Syariah untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Oleh karenanya, penempatan aset-aset alat likuid tersebut cenderung pada instrumen dengan jangka waktu pendek serta rendah risiko sehingga imbal hasilnya pun rendah. Sebagai contoh adalah penempatan dana pada giro bank lain untuk kelancaran transaksi antar bank dengan imbal hasil giro lebih rendah dibandingkan bagi hasil yang diperoleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah pada pembiayaan melalui mudharabah. 2.5 Pengukuran Likuiditas Menurut Van Greuning (Norman, 2005: 18), likuiditas bank dapat diukur dengan: 1. Loan to Deposit Ratio (LDR).
15
2. Loan to Capital Ratio (LCR). Sedangkan Munawir menambahkan empat indikator lagi disamping
indikator yang sudah ada (Norman, 2005: 18). Keempat indikator tersebut adalah: 1. Rasio kas.
2. Periode rata-rata pengumpulan piutang. 3. Periode rata-rata persediaan tersimpan di gudang. 4. Perputaran modal kerja.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, terdapat enam indikator
mengukur likuiditas, diantaranya: untuk
1. Loan to Deposit Ratio (LDR). 2. Loan to Capital Ratio (LCR). 3. Cash Ratio (rasio kas). 4. Average Account Receivable Turn Over (periode rata-rata pengumpulan piutang). 5. Average Inventory Tunrn Over (periode rata-rata persediaan tersimpan di gudang). 6. Working Capital Turn Over (perputaran modal kerja). Seperti telah disebutkan di atas, LDR (Loan to Deposit Ratio) merupakan salah satu ukuran untuk menghitung likuiditas bank. LDR mengukur seberapa besar dana bank dilepaskan sebagai perkreditan (Norman, 2005: 20). Ketentuan Bank Indonesia mengenai LDR yaitu perhitungan antara 80% sampai di bawah 110%. Dalam Rivai, dkk (2007: 724), LDR dihitung dengan rumus: LDR =
Jumlah Kredit yang Diberikan Total Dana Pihak Ketiga
X 100%
(1)
Untuk mendapatkan ketentuan tingkat likuiditas yang bisa diukur dengan pasti, maka perlu parameter atau kategori tertentu. Rivai, dkk (2007: 724) menggunakan LDR ini untuk menilai kredit suatu bank. Dengan kategori penilaian sebagai berikut:
16
Tabel 2.1 Penilaian Kredit dengan Rasio LDR
Rasio LDR (%) ≥ 110% < 110%
Nilai Kredit 0 100
Sumber: Rivai, (2007), diolah
Sementara Ali (dalam Norman, 2005: 21) menggunakan LDR untuk
mengukur tingkat likuiditas dengan kategori sebagai berikut:
Tabel 2.2 Tolok Ukur Likuiditas (LDR)
Kategori Likuiditas Over likuid Likuid Tidak likuid
Tingkat LDR (%) 0 - 50 85 - 110 > 110
Sumber: Ali (dalam Norman, 2005: 21) Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas kategori yang digunakan Ali cocok dengan penelitian penulis, yaitu menggunakan rasio LDR untuk mengukur tingkat likuiditas bank. Seperti halnya perbankan konvensional, Bank Indonesia menggunakan FDR sebagai salah satu alat ukur tingkat kesehatan bank syariah. FDR digunakan untuk melihat kemampuan bank syariah dalam memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dari dana yang dihimpunnya (Norman, 2005: 21). Dalam dunia perbankan syariah, tidak dikenal istilah kredit (loan) dalam penyaluran dana yang telah dihimpunnya. Penyaluran dana pada bank syariah lebih mengarah pada pembiayaan (financing). Rumus perhitungan likuiditas ini dikonversi karena masih dalam terminologi yang sama yaitu fungsi intermediasi perbankan, terutama dalam aspek penyaluran dana untuk mendapatkan profit. Dalam perbankan syariah rumus LDR dikonversi menjadi FDR (Financing to Deposit Ratio), sehingga FDR dapat dirumuskan dengan (Norman, 2005: 21-22): FDR =
Pembiayaan yang Disalurkan Total Dana Pihak Ketiga
X 100%
(2)
17
2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Likuiditas dan Hubungannya dengan FDR
Faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas perbankan syariah, dalam hal
ini FDR (Finance to Deposit Ratio) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
aset siap konversi menjadi kas, akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya,
risiko pembiayaan (NPF) dan BI Rate. Berikut ini adalah penjelasan serta hubungan setiap variabel dengan FDR. 2.6.1
Aset Siap Konversi menjadi Kas Aset siap konversi menjadi kas adalah aset lancar selain Cash dan Cash in
Bank yang dapat diubah menjadi kas dalam jangka pendek. Aset siap konversi menjadi kas merupakan penyangga primary reserve yang ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek (Erlangga M., 2007: 45). Yang termasuk dalam aset siap konversi menjadi kas di bank syariah diantaranya:
SIMA (Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank)
SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah)
Surat berharga jangka pendek lainnya. Untuk meminimalisir risiko likuiditas, diperlukan adanya manajemen
likuiditas yang salah satunya adalah dengan membuat analisis sensitifitas likuiditas serta menganalisis risiko likuiditas itu sendiri. Dalam menganalisis risiko likuiditas, bank secara garis besar memperhatikan hal-hal sebagai berikut (www.scribd.com):
kecermatan dalam perencanaan arus kas, fluktuasi kas, serta struktur dana,
nilai asset yang siap di konversi menjadi kas, dan
akses ke pasar antarbank atau sumber dana lainnya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa aset siap konversi
menjadi kas merupakan secondary reserve untuk menjaga likuiditas bank yang ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek. Dengan demikian, apabila aset siap konversi menjadi kas ini meningkat maka dana yang disalurkan untuk pembiayaan akan berkurang yang selanjutnya akan menyebabkan FDR turun.
18
2.6.2
Akses Pasar Antarbank dan Sumber Dana Lainnya Dalam aktivitasnya bank sering membutuhkan dana untuk memenuhi
kewajibannya, baik untuk mengembalikan dana yang diminta nasabahnya maupun
ketika membutuhkan dana untuk keperluan investasi dan pembiayaan (Norman,
2005: 24). Selain itu bank juga membutuhkan dana untuk memenuhi ketentuan
primary reserve dan menjaga saldo giro pada BI untuk keperluan transaksi (Erlangga M., 2007: 45). Ketika bank berada pada posisi memerlukan dana jangka pendek dan bank harus segera memenuhinya, maka bank bisa memperoleh dana
dari bank lain maupun dari BI. Dana dari bank lain diperoleh suatu bank melalui
akses pasar antarbank, sedangkan sumber dana lainnya yang diperoleh dari BI merupakan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS). FPJPS merupakan instrumen terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah setelah terjadinya saldo giro negatif dan tidak berhasilnya akses pasar uang syariah untuk menutup kewajiban jangka pendek (Setyowati dkk, 2008). Menurut Aspachs (dalam Norman, 2005: 24), fasilitas LOLR (Lender of The Last Resort) yang kita kenal dengan istilah Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS) untuk di bank syariah, dapat menambah keamanan bank (dilihat dari sisi likuiditas) terutama saat terjadi krisis, tetapi juga mempunyai undesirable effects yaitu moral hazard karena menurunkan liquidity buffer yang seharusnya dimiliki (dihimpun) bank untuk keamanan bank yang bersangkutan. Dengan demikian, meningkatnya akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya termasuk fasilitas Lender of The Last Resort, dalam hal ini Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS) dari Bank Indonesia akan membantu bank syariah untuk mengatasi masalah likuiditas. Dengan kata lain, adanya akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya sangat membantu bank syariah untuk memenuhi kebutahan likuiditasnya, sehingga dengan adanya akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya ini akan menyebabkan FDR meningkat karena bank syariah bisa fokus menyalurkan dananya untuk pembiayaan. Namun, seperti yang dikemukakan Aspachs (2005) dalam penelitiannya, adanya fasilitas ini (akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya) jangan sampai membuat
19
bank syariah mempunyai moral hazard. Dengan demikian, walaupun akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya, terutama fasilitas pembiayaan jangka pendek
bagi bank syariah (FPJPS) dari Bank Sentral tersedia dan dapat menjamin keamanan likuiditas bank syariah, bank syariah harus tetap mempunyai cadangan
dana untuk keperluan likuiditasnya.
2.6.3
Risiko Pembiayaan Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001: 178), risiko kredit muncul
jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan bunga dari pinjaman
yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukan. Pada dasarnya suatu bisnis tidak dapat terlepas dari risiko, seperti halnya bank yang tidak dapat terlepas dari risiko kredit berupa tidak lancarnya pembayaran kembali atau Non Performing Financing (NPF). Non Performing Financing adalah pembiayaan yang tidak menepati jadwal angsuran sehingga terjadi tunggakan. Keberadaan NPF dalam jumlah yang tinggi akan menimbulkan kesulitan sekaligus menurunkan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Peningkatan NPF mengakibatkan bank harus menyediakan cadangan penghapusan piutang yang cukup besar sehingga kemampuan memberikan kredit menjadi sangat terbatas. Sedangkan
Suhardjono
(2002:
252)
menyebutkan
bahwa
kredit
bermasalah adalah suatu keadaan ketika nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit. Kredit bermasalah akan berdampak negatif baik bagi kelangsungan hidup bank maupun perekonomian negara. Salah satu dampak negatif tersebut adalah bank yang bersangkutan terancam tidak likuid (As. Mahmoeddin dalam nuarti.blogspot.com). Sesuai dengan pedoman perhitungan rasio keuangan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/56/DPbS tanggal 9 Desember 2005, rasio non performing financing dihitung dengan cara sebagai berikut: NPF =
Pembiayaan Bermasalah Total Pembiayaan
X 100%
(3)
20
Semakin besar rasio NPF ini, maka kualitas pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah semakin menurun. Rasio NPF yang tinggi mengakibatkan
kelancaran kegiatan usaha bank syariah menjadi terganggu, sehingga tingkat kesehatan bank pun menurun. Tujuan perhitungan rasio NPF ini adalah untuk
mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang dihadapi oleh bank. Hal ini bertentangan dengan Commercial Loan Theory yang dikutip oleh Siamat (dalam Norman, 2005: 24) bahwa kredit (pembiayaan) yang diberikan oleh bank,
terutama pembiayaan jangka pendek (dalam kondisi normal), pada saat pembayaran cicilan oleh nasabah banknya dapat menambah likuiditas bank yang
bersangkutan. Penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2006) menunjukkan bahwa NPF berpengaruh positif terhadap FDR. Hasil penelitian tersebut mengimplikasikan jika NPF perbankan syariah meningkat akan menyebabkan DPK yang dihimpunnya menurun. Hal ini terjadi karena NPF yang semakin meningkat akan menyebabkan deposan yang menyimpan dananya di bank syariah, menarik kembali dana yang disimpannya karena khawatir dananya tidak dapat dikembalikan bank syariah akibat terjadinya pembiayaan bermasalah tersebut (Anugrah, 2006: 61) Penelitian lainnya yang berkaitan dengan pengaruh risiko pembiayaan terhadap likuiditas dilakukan Permana (2008). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat risiko pembiayaan mempunyai pengaruh cukup kuat terhadap tingkat likuiditas, sehingga dapat disimpulkan bahwa risiko pembiayaan (NPF) diduga berpengaruh terhadap likuiditas bank. 2.6.4 Tingkat Suku Bunga (BI Rate) BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter (www.bi.go.id).
21
BI Rate merupakan instrumen kebijakan moneter Bank Indonesia yang dijadikan suku bunga acuan terhadap dunia perbankan dan dunia usaha, sehingga
kenaikan BI Rate dengan sendirinya mendorong kenaikan suku bunga simpanan dan pinjaman di bank-bank komersial (dalam hal ini bank konvensional). Tingkat
suku bunga simpanan dan pinjaman ini berkaitan dengan produk funding (penghimpunan dana) dan lending (penyaluran dana) pada bank konvensional. Dengan demikian, BI Rate akan mempengaruhi DPK (Dana Pihak Ketiga) pada
bank syariah, karena apabila BI Rate naik maka tingkat suku bunga simpanan bank konvensional akan naik. Dan apabila bank syariah tidak bisa pada
memberikan return yang sebanding atau di atas bunga yang diberikan oleh bank konvensional, hal ini dapat memicu nasabah bank syariah untuk menarik dananya. Begitu juga dengan tingkat suku bunga pinjaman, ketika BI Rate naik, tingkat suku bunga pinjaman pun cenderung naik yang selanjutnya akan mempengaruhi kredit/pembiayaan. FDR merupakan perbandingan antara pembiayaan dengan dana pihak ketiga (DPK), sehingga jika pembiayaan atau DPK ini naik atau turun, maka secara otomatis akan mempengaruhi FDR. 2.7 Penelitian Terdahulu Penelitian dari Oriol Aspachs, Erlend Nier dan Muriel Tisset dari London School of Economics
pada tahun 2005
mengukur faktor-faktor
yang
mempengaruhi kebijakan likuiditas terhadap bank-bank di Inggris. Faktor-faktor yang dikaji adalah faktor internal dan eksternal bank yang mempengaruhi likuiditas bank. Variabel dependen yang diukur adalah tingkat likuiditas melalui rasio aset likuid terhadap total aset dan rasio aset likuid terhadap total dana deposan. Faktor indenpen yang digunakan terdiri dari faktor internal (kemungkinan LOLR, interest margin, laba yang diukur dengan profit/total assets, pertumbuhan kredit (loan growth), Tobin’s Q future lending opportunities, dan ukuran bank) dan eksternal (GDP growth dan tingkat suku bunga jangka pendek UK Treasury Bills). Secara khusus penelitian ini mencoba melihat pengaruh dari kebijakan Bank Sentral sebagai LOLR terhadap buffer likuiditas bank. Hasil penelitian
22
menunjukkan bahwa potensi dukungan yang lebih besar dari Bank Sentral kepada bank umum pada saat krisis likuiditas menyebabkan bank umum memiliki buffer
likuiditas yang lebih rendah. Persoalan moral hazard muncul disebabkan bank memilih buffer likuiditas yang lebih rendah dari seharusnya karena bank tahu
akan adanya bantuan yang bersifat darurat dari LOLR. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa likuiditas berhubungan dengan kondisi ekonomi makro. Likuiditas memiliki siklus yang berkebalikan dengan kondisi ekonomi. Bank
memiliki buffer likuiditas yang tinggi saat ekonomi melemah dan sebaliknya. Hal ini sama dengan hubungan antara buffer likuiditas dengan tingkat suku bunga
jangka pendek. Selain itu, penelitian ini juga membahas kendala permodalan atau pinjaman bagi bank. Berdasarkan teori yang ada, menambah modal atau meminjam dana merupakan hal yang ada biayanya. Hal ini menjadi kendala dalam permodalan bagi bank. Pada sisi lain, bank diatur oleh adanya kebijakan modal minimum. Dengan begitu bank cenderung untuk menumpuk dana saat mereka mendapatkan keuntungan yang tinggi dan memiliki kesempatan lending di masa depan yang baik. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas bank syariah di Indonesia dilakukan oleh Norman (2005) dengan studi kasus pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) periode 2001-2004. Faktor dependen yang diteliti berupa tingkat likuiditas yang diukur dengan FDR. Sedangkan faktor indenpen terdiri dari faktor internal (berupa dana simpanan nasabah, aset siap konversi menjadi kas, akses pasar dan sumber lainnya termasuk fasilitas LOLR dari Bank Indonesia serta pembiayaan dan investasi yang dilakukan) dan faktor eksternal (berupa tingkat suku bunga, inflasi, dan kurs rupiah terhadap dollar AS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang mempengaruhi likuiditas BMI, yaitu variabel dana simpanan nasabah dan pembiayaan dan investasi yang dilakukan bank. Sedangkan variabel lainnya tidak mempengaruhi likuiditas BMI. Penelitian ini merekomendasikan agar pihak BMI memberikan perhatian khusus terhadap faktor yang secara signifikan mempengaruhi likuiditas BMI dan menyusun kebijakan yang baku tentang manajemen likuiditas selain memenuhi kepatuhan aturan primary reserve berupa GWM.
23
Selanjutnya, Anugrah (2006) dalam penelitiannya membagi faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas BUS menjadi faktor internal yang terdiri dari NPF
dan total aset, dan juga faktor eksternal yang terdiri dari suku bunga SBI, bonus SWBI, GDP, nilai tukar dan fatwa MUI. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
seluruh variabel, baik yang berasal dari faktor internal maupun eksternal berpengaruh secara signifikan terhadap FDR BUS.
Variabel NPF dan nilai tukar rupiah berpengaruh positif terhadap FDR,
sedangkan total aset, suku bunga SBI, bonus SWBI, GDP dan fatwa MUI berpengaruh negatif terhadap FDR BUS. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
nilai tukar rupiah merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap FDR BUS. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Anugrah menyimpulkan bahwa kebijakan yang sebaiknya diambil oleh Bank Indonesia adalah dengan melakukan pengaturan terhadap tiga variabel yang berpengaruh terhadap likuiditas BUS, yaitu bonus SWBI, tingkat suku bunga SBI dan nilai tukar rupiah. Bank Indonesia harus mentarget nilai tukar rupiah, khususnya terhadap dollar Amerika, karena fluktuasi nilai tukar rupiah sangat mempengaruhi likuiditas BUS. Terkait bonus SWBI, Bank Indonesia perlu menentukan tingkat bonus yang ideal, karena tingkat bonus SWBI ini lebih memiliki daya saing dengan bank konvensional dalam penghimpunan dan penyaluran dana. Begitu juga dengan suku bunga SBI, Bank Indonesia dapat melakukan kebijakan penurunan tingkat suku bunga SBI yang diharapkan dapat meningkatkan jumlah investasi dan mendorong perkembangan sektor riil. Penelitian yang sama mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas bank syariah ini dilakukan oleh Erlangga M. (2007 ) pada Bank Syariah Mandiri periode 2004-2006. Variabel dependen yang diteliti berupa tingkat buffer likuiditas dalam bentuk money position yang dimiliki bank, sedangkan variabel independen yang diteliti adalah Dana Pihak Ketiga, aset siap konversi menjadi kas, akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya termasuk LOLR, kewajiban lancar, pembiayaan yang diberikan berupa loan growth, profit bank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari enam variabel independen atau enam faktor yang diuji, ternyata hanya faktor dana pihak ketiga yang berkorelasi positif dan
24
ketersediaan aset siap konversi menjadi kas yang berkorelasi negatif, yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat buffer likuiditas BSM. Semakin
besar dana pihak ketiga yang dihimpun, maka buffer likuiditas semakin tinggi, dan semakin besar ketersediaan aset siap konversi menjadi kas, maka tingkat
buffer likuiditas bank semakin berkurang. Sedangkan variabel lain, yaitu keuntungan bank, loan growth, akses pasar antarbank dan kewajiban lancar tidak signifikan
mempengaruhi
buffer
tingkat
likuiditas.
Penelitian
ini
merekomendasikan agar pihak BSM memperhatikan tingkat buffer likuiditas karena ada kecenderungan bahwa pertumbuhan buffer likuiditas lebih tinggi dari
pertumbuhan DPK. Pihak BSM juga harus memperhatikan opportunity cost of return atas peningkatan buffer likuiditas yang dimiliki, dan membandingkan opportunity cost of return tersebut dengan rencana penempatan pada secondary reserve berupa penempatan pada instrumen aset siap konversi menjadi kas yaitu penempatan pada surat berharga syariah. Kemudian pada tahun 2008, Permana meneliti tentang pengaruh tingkat risiko pembiayaan terhadap likuiditas bank syariah. Penelitian dilakukan pada PT. BPRS Ishlahul Ummah. Variabel dependen pada penelitian ini adalah tingkat likuiditas (LDR), sementara variabel indepennya adalah tingkat risiko pembiayaan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh negatif antara tingkat risiko pembiayaan dan tingkat likuiditas, artinya
jika tingkat
risiko pembiayaan naik maka tingkat likuiditas menurun, dan sebaliknya. Penelitian
ini
merekomendasikan
agar
pihak
BPRS
Ishlahul
Ummah
memperhatikan upaya dan strategi apa saja yang dapat meminimalisasi tingkat risiko dalam pemberian pinjaman kepada masyarakat agar tidak terjadi hal-hal seperti pembayaran kurang lancar, diragukan dan macet, yang dapat menghambat kegiatan operasional bank serta harus memperhatikan juga upaya dan strategi yang dapat meningkatkan minat masyarakat (DPK) untuk menanamkan modal pada BPRS Ishlahul Ummah guna untuk mempertahankan dan meningkatkan Loan to Deposit Ratio (LDR) ke tingkat yang lebih baik dari tahun sebelumnya, sehingga dapat terhindar dari likuiditas walaupun nilai LDR sudah cukup dikatakan sehat.
25
Pada tahun 2010, Senjaya meneliti tentang pengaruh pergerakan BI rate terhadap pertumbuhan dana pihak ketiga bank syariah. Variabel yang digunakan
adalah DPK sebagai variabel dependen dan BI rate sebagai variabel independen. penelitian menunjukkan bahwa pergerakan BI rate cenderung menurun Hasil
setiap bulannya sedangkan DPK bank syariah cenderung tumbuh naik. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa BI rate berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan DPK bank syariah. Penelitian ini merekomendasikan agar bank
syariah mengambil kebijakan komprehensif, misalnya dengan mengeluarkan produk-produk baru yang inovatif untuk menanggulangi masalah pergerakan BI
rate berpengaruh terhadap kinerja bank syariah. Selain itu bank syariah juga harus lebih aktif mempromosikan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai produk-produknya serta memperbanyak instrumen penyaluran dana dengan menerapkan prinsip kehati-hatian agar tidak terjadi risiko-risiko yang tidak diharapkan. Secara ringkas, uraian tentang penelitian terdahulu di atas penulis sajikan dalam tabel di bawah ini:
26
Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu
Nama
Tahun
Judul
Variabel
Hasil
Oriol Aspachs, Erlend Nier dan Muriel Tisset
2005
Liquidity, Banking Regulation and The Macroeconomy: Evidence on Bank Liquidity Holdings from a Panel of UKResident Banks
Variabel Dependen: Potensi dukungan yang lebih besar dari Rasio aset likuid terhadap total aset dan Bank Sentral kepada bank umum pada saat rasio aset likuid terhadap total dana krisis likuiditas menyebabkan bank umum deposan memiliki buffer likuiditas yang lebih rendah. Likuiditas memiliki siklus yang Variabel Independen: berkebalikan dengan kondisi ekonomi dan LOLR, interest margin, laba yang tingkat suku bunga jangka pendek. diukur dengan profit/total assets, Adanya kendala dalam permodalan, yaitu pertumbuhan kredit (loan growth), adanya biaya untuk penambahan Tobin’s Q future lending opportunities, modal/pinjaman dana sementara bank diatur ukuran bank, GDP growth dan tingkat oleh kebijakan modal minimum. Dengan suku bunga jangka pendek UK begitu bank cenderung untuk menumpuk Treasury Bills dana saat mereka mendapatkan keuntungan yang tinggi dan memiliki kesempatan lending di masa depan yang baik.
Ali Norman
2005
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Likuiditas Bank Syariah: Studi Kasus
Variabel Dependen: Finance to Deposit Ratio (FDR)
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi likuiditas bank syariah (BMI), yaitu volatilitas dana simpanan nasabah dan faktor
27
pada Bank Muamalat Indonesia
Variabel Independen: dana simpanan nasabah, aset siap konversi menjadi kas, akses pasar dan sumber lainnya, pembiayaan dan investasi yang dilakukan, tingkat suku bunga, inflasi, dan kurs rupiah
pembiayaan atau investasi yang dilakukan bank syariah (BMI), dan variabel yang paling berpengaruh terhadap likuiditas bank syariah adalah variabel pembiayaan.
Rinal Satria Anugrah
2006
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Likuiditas Bank Umum Syariah di Indonesia
Variabel Denden: FDR (Finance to Deposit Ratio) BUS
Aji Erlangga M.
2007
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Likuiditas pada Bank Syariah (Studi Kasus pada Bank Syariah Mandiri 2004-2006)
Variabel Dependen: tingkat buffer likuiditas dalam bentuk money position yang dimiliki bank
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh variabel berpengaruh signifikan terhadap FDR BUS. NPF dan nilai tukar rupiah berpengaruh positif terhadap FDR, sedangkan total aset, Variabel Independen: NPF, total aset, suku bunga SBI, bonus suku bunga SBI, bonus SWBI, GDP dan SWBI, GDP, nilai tukar dan fatwa MUI fatwa MUI berpengaruh negatif terhadap FDR BUS. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap FDR BUS adalah nilai tukar rupiah.
Variabel Independen: Dana Pihak Ketiga, aset siap konversi menjadi kas, akses pasar antarbank dan
Dari enam variabel independen atau enam faktor yang diuji, ternyata hanya faktor dana pihak ketiga yang berkorelasi positif dan ketersediaan aset siap konversi menjadi kas yang berkorelasi negatif, yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat buffer likuiditas BSM, sedangkan variabel lain, yaitu
28
sumber dana lainnya termasuk LOLR, kewajiban lancar, pembiayaan yang diberikan berupa loan growth, profit bank
keuntungan bank, loan growth, akses pasar antarbank dan kewajiban lancar tidak signifikan mempengaruhi tingkat buffer likuiditas.
Variabel Dependen: Tingkat likuiditas (LDR)
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh negatif antara tingkat risiko pembiayaan dan tingkat likuiditas, artinya jika tingkat risiko pembiayaan naik maka tingkat likuiditas menurun, dan sebaliknya.
Agung Permana
Risma Ratna Senjaya
2008
2010
Pengaruh Tingkat Risiko Pembiayaan terhadap Likuiditas Bank Syariah pada PT. BPRS Ishlahul Ummah
Pengaruh Pergerakan BI Rate terhadap Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga Bank Syariah
Sumber: Hasil Olahan Penulis
Variabel Independen: Tingkat risiko pembiayaan
Variabel Dependen: Dana Pihak Ketiga Variabel Independen; BI rate
Pergerakan BI rate cenderung menurun setiap bulannya sedangkan DPK bank syariah cenderung tumbuh naik. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa BI Rate berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan DPK bank syariah.
29
2.8 Kerangka Pemikiran
Menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari
pengertian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa secara umum tugas bank, baik bank konvensional maupun bank syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana (pihak surplus) dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat yang mengalami kekurangan dana (pihak
defisit) dalam bentuk pinjaman. Dalam menjalankan aktivitas penghimpunan dan penyaluran dana ini, bank harus mempunyai kemampuan untuk menjaga dan mengelola likuiditasnya dengan baik agar memperoleh kepercayaan dari masyarakat (public trust). Likuiditas merupakan kemampuan untuk memenuhi kewajiban segera, baik kewajiban untuk memenuhi penarikan dana maupun permintaan pembiayaan dari nasabah/masyarakat. Dengan demikian, bank harus mempunyai aset likuid sebanyak kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan potensial nasabahnya tersebut. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa aset likuid merupakan non-earning asset, yaitu aset yang tidak memberikan hasil/pendapatan. Sementara bank sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 merupakan suatu badan usaha, artinya sebagai suatu badan usaha, tujuan utama bank adalah untuk memperoleh laba/keuntungan. Dengan demikian, agar bank syariah, sebagai suatu badan usaha dapat mencapai tujuannya untuk mendapatkan laba/profit yang selanjutnya akan berpengaruh pada return yang akan diterima para nasabahnya, dan juga dapat memenuhi kewajiban segera, baik kewajiban untuk memenuhi penarikan dana maupun permintaan pembiayaan maka bank syariah harus bisa mengelola likuiditasnya dengan baik sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya kelebihan ataupun kekurangan likuiditas. Untuk bisa mengelola likuiditasnya, bank syariah harus mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya.
30
Dalam penelitian ini, faktor yang mempengaruhi likuiditas perbankan syariah, yang dinyatakan dengan FDR, dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal
dan eksternal. Faktor internal yang diteliti terdiri dari aset siap konversi menjadi kas, akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya serta risiko pembiayaan
(NPF), sedangkan faktor eksternal yang diteliti adalah BI Rate. Dengan demikian, diperoleh model kerangka pemikiran seperti pada gambar di bawah ini: Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Menghimpun dana
Menyalurkan dana
Bank Syariah
Public trust
Profit
Likuiditas
Aset siap konversi menjadi kas Akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya NPF Sumber: Hasil Olahan Penulis
BI Rate
31
2.9
Paradigma dan Hipotesis Penelitian
Dengan mengacu pada tinjauan pustaka, kajian empiris, dan kerangka
pemikiran di atas maka diperoleh paradigma penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.2 Paradigma Penelitian
Aset Siap Konversi Menjadi Kas
Akses Pasar antarbank dan Sumber Lainnya
Risiko Pembiayaan (NPF)
Likuiditas Perbankan Syariah (FDR)
BI Rate Variabel Independen
Variabel Dependen
Sumber: Hasil Olahan Penulis Sementara hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut: Hi
:
Diduga terdapat pengaruh ketersediaan aset siap konversi menjadi kas, akses pasar antarbank dan sumber dana lainnya, risiko pembiayaan (NPF) dan tingkat suku bunga (BI rate) terhadap likuiditas perbankan syariah (FDR).