BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1.
Diabetes Melitus a.
Definisi DM adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat adanya kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya (Purnamasari, 2009). Menurut WHO (2014) DM adalah suatu penyakit kronis yang terjadi karena ketidakmampuan insulin
untuk
memproduksi
insulin
yang
cukup
atau
ketidakmampuan tubuh dalam menggunakan insulin secara efektif yang mengakibatkan keadaan hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia yang kronis ini berhubungan dengan disfungsi dan kerusakan beberapa organ, khusunya mata, ginjal, saraf, pembuluh darah, dan jantung (ADA, 2014). b.
Klasifikasi Berdasarkan etiologi dan patogenesisnya, DM diklasifikasikan menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain. DM tipe 1 merupakan DM yang kejadiannya hanya 5–10% dari seluruh tipe DM. DM tipe 1 disebabkan karena defisiensi insulin absolut akibat reaksi autoimun yang menyebabkan rusaknya sel beta 4
5
pankreas. Kasus DM tipe 1 ditemukan paling sering pada anak-anak sampai remaja, sehingga DM tipe 1 sering juga disebut sebagai juvenile-onset diabetes (ADA, 2015). Tipe DM yang kejadiannya paling banyak yaitu DM tipe 2 atau yang sering disebut sebagai Non-Insulin Dependet Diabetes Mellitus (NIDDM) dengan persentase kejadian 90-95% dari seluruh tipe DM. DM tipe 2 disebabkan karena resistensi insulin dan/atau defisiensi insulin relatif akibat berbagai faktor antara lain seperti obesitas, sedikit aktifitas fisik , usia, dan genetik (ADA, 2015). DM gestasional merupakan DM yang terjadi selama periode kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan (biasanya trimester kedua dan ketiga). Pasien DM gestasional memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan (ADA, 2015). c.
Patogenesis Hiperglikemia pada DM tipe 2 menyebabkan kerusakan jaringan melalui 2 mekanisme yaitu perubahan glukosa yang berulang akut pada metabolisme seluler dan perubahan glukosa kronis yang akan merubah makromolekul stabil. Perubahan glukosa yang terjadi secara akut, yaitu kurang dari 24 jam menyebabkan terbentuknya schiff base sebagai hasil reaksi glukosa terhadap protein tubuh. Pada fase akut ini sudah mulai terbentuk radikal bebas
6
yang sudah mampu mematikan sel sel pada jaringan tubuh. Kerusakan jaringan pada fase akut ini bersifat reversibel, sehingga pengaturan glukosa menjadi normal pada fase ini sangat penting. Sedangkan perubahan glukosa yang terjadi secara kronis, yaitu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun, dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang irreversibel. Kerusakan yang irreversibel
ini
disebabkan
karena
terbentuknya
Advance
Glycosilation End-products (AGEs) yang bersifat toksik dan merusak protein tubuh (Subiyantoro, 2002). Terdapat beberapa patogenesis terjadinya DM tipe 2, yaitu resistensi insulin, peran
Reactive Oxygen Species (ROS), peran
lemak, dan peran inflamasi. 1) Resistensi Insulin Resistensi insulin merupakan sindrom yang berhubungan dengan gangguan metabolik, termasuk DM tipe 2, obesitas, hipertensi, dislipidemia, dan atherosklerosis. Resistensi insulin terjadi akibat jaringan mengalami kekurangan respons terhadap aktivitas insulin. Sebagai kompensasinya, pankreas akan memproduksi
insulin
lebih
banyak
sehingga
terjadi
hiperinsulinemia. Ketika pankreas sudah tidak bisa lagi memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi resistensi insulin, maka terjadilah gangguan toleransi glukosa
7
yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah setalah makan. Resistensi
insulin
terjadi
jauh
sebelum
seseorang
menderita DM. Penelitian prospektif menyebutkan bahwa resistensi insulin terjadi 10-20 tahun sebelum DM (Sugiarto, 2010). 2) Peran ROS Keadaan hiperglikemia ekstraseluler akan menyebabkan keadaan hiperglikemia intraseluler di sel beta pankreas sehingga menyebabkan peningkatan ROS pada islet pankreas. ROS ini menyebabkan kerusakan sel beta pankreas melalui aktivasi CJun Terminal Kinase (JNK). Aktivasi JNK akan menyebabkan penurunan gen ekspresi insulin pada sel beta pankreas sehingga sekresi insulin berkurang dan terjadilah gangguan toleransi glukosa (Sugiarto, 2010). 3) Peran Lemak Peningkatan glukosa darah dan Free Fatty Acid (FFA) dapat melemahkan fungsi islet sel beta pankreas. Konsentrasi FFA yang tinggi akan melemahkan aktifitas insulin dan disfungsi sel beta pankreas. Hal ini yang mendasari terjadinya intoleransi glukosa (Sugiarto, 2010). 4) Peran Inflamasi
8
Hiperglikemi kronis akan menyebabkan meningkatnya AGEs. Peningkatkan AGEs ini dapat mengaktifasi makrofag, meningkatkan stress oksidatif, mengatur sintesis IL-1, IL-6, dan TNF-α, serta meningkatkan produksi C-Reactive Protein (CRP). CRP adalah marker chronic low grade inflammation, dimana low grade inflammation inilah yang ikut berperan terhadap pathogenesis DM tipe 2. Pada berbagai penelitian disebutkan bahwa terjadinya peningkatan CRP dan low grade inflammation merupakan risiko terjadinya DM tipe 2 (Sugiarto, 2010). d.
Faktor Risiko Faktor risiko DM tipe 2 terbagi atas 3 yaitu: 1) Faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti ras, etnik, usia >45 tahun, riwayat keluarga dengan diabetes, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat berat badan lahir rendah <2,5 kg, dan riwayat pernah menderita DM gestasional. 2) Faktor risiko yang dapat diperbaiki seperti berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2), kurang aktivitas fisik, hipertensi (≥140/90 mmHg), dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan/atau trigliserida > 250 mg/dl, serta diet tinggi gula rendah serat. 3) Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes seperti pasien sindrom ovarium poli-kistik, atau keadaan klinis lain
9
yang terkait dengan resistensi insulin, sindrom metabolik, riwayat toleransi glukosa terganggu/glukosa darah puasa terganggu
dan
riwayat
penyakit
kardiovaskuler
(stroke,
penyempitan pembuluh darah koroner jantung, pembuluh darah arteri kaki) (Tedjapranata, 2009). e.
Gejala dan Tanda DM Manifestasi
klinis
DM
metabolik dari defisiensi
dikaitkan
insulin.
dengan
konsekuensi
Pasien DM tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma darah puasa dan toleransi glukosa sesudah makan karbohidrat dalam kadar normal. Ketika kadar glukosa darah melebihi ambang toleransi ginjal, maka akan terjadi glikosuria atau terdapatnya glukosa dalam urin. Glukosuria akan menyebabkan diuresis osmotik yang meningkatkan ekskresi urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi) dan dapat menyebabkan dehidrasi. Glukosa yang hilang bersama urin menyebabkan pasien juga mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien juga akan mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2012). Berdasarkan konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indoesia (Perkeni) (2011), gejala DM dikelompokkan menjadi dua, yaitu gejala klasik dan gejala lain .
10
1) Gejala klasik, meliputi: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penuruan berat badan yang tidak diketahui sebabnya. 2) Gejala lain, meliputi: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita, dan luka yang sulit sembuh. f.
Diagnosis Menurut ADA (2015) diagnosis DM dapat ditegakkan dengan beberapa cara yaitu : 1) Jika ditemukan gejala klasik dan hasil pemeriksaan glukosa plasma sewaktu (GDS) ≥ 200mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau 2) Jika ditemukan gejala klasik dan hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau 3) Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air, atau 4) Kadar HbA1C ≥ 6,5 %. Pemeriksaan HbA1C harus dilakukan menggunakan metode yang sudah disersertifikasi oleh National Glycohemoglobin
Standardization
Program
(NGSP)
dan
11
dilakukan di laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.
g.
Komplikasi Komplikasi-komplikasi pada DM dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) Komplikasi Metabolik Akut Komplikasi akut terdiri dari dua bentuk yaitu hipoglikemia dan hiperglikemia. Hipoglikemi yaitu apabila kadar gula darah lebih rendah dari 60 mg % dan gejala yang muncul yaitu palpitasi, takikardi, mual muntah, lemah, lapar dan dapat terjadi penurunan kesadaran sampai koma.Sedangkan hiperglikemia dapat berupa Keto Asidosis Diabetik (KAD) dan Hiperosmolar Non Ketotik (HNK). KAD ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi yaitu 300-600 mg/dl, disertai dengan adanya tanda gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat, peningkatan
osmolaritas
plasma
peningkatan
anion
HNK
gap.
(300-320 ditandai
mg/dl)
dengan
dan
adanya
peningkatan kadar glukosa darah yang sangat tinggi yaitu 6001200 mg/dl, tanpa tanda gejala asidosis, osmolaritas meningkat sangat tinggi yaitu 330-380 mg/dl, plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat (Perkeni, 2011). 2) Komplikasi Metabolik Kronik
12
Komplikasi kronik pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh (angiopati diabetika). Angiopati diabetika dibagi menjadi dua yaitu: makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler), yang tidak berarti bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak terjadi sekaligus bersamaan. a) Makroangiopati, meliputi penyakit jantung koroner, stroke, dan claudicatio intermittens. b) Mikroangiopati, meliputi neuropati diabetika, nefropati diabetika, dan retinopati diabetika (Perkeni, 2011). 2.
DPN a.
Definisi Definisi
DPN
secara
sederhana
adalah
istilah
yang
menunjukkan adanya gejala klinis maupun sub klinis gangguan fungsi saraf perifer yang terjadi pada orang dengan DM, tanpa adanya
penyebab
neuropati
perifer
lainnya
(Quan,
2015).
Berdasarkan Toronto Consensus Panel on Diabetic Neuropathy, DPN didefinisikan sebagai polineuropati sensori-motor simetrik distal kronik yang diakibatkan oleh perubahan metabolik dan mikrovaskuler sebagai akibat dari hiperglikemi kronis dan risiko kardiovaskuler (Tesfaye dan Selvarajah, 2012). Menurut Subekti (2009), DPN didefinisikan sebagai polineuropati sensori-motor simetris distal yang ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik
13
secara progresif dan fungsi motorik yang berlangsung pada bagian distal yang berkembang ke arah proksimal.
b.
Epidemiologi DPN merupakan salah satu komplikasi kronik mikroangiopati yang paling sering ditemui pada pasien DM tipe 2. Data epidemiologi menyatakan bahwa lebih dari 50% orang dengan DM dan 30–50 % orang dengan prediabetes mengalami DPN. Jumlah pasien DM di dunia diperkirakan pada tahun 2030 akan mencapai 472 juta jiwa. Jika proporsi DPN sebesar 50% maka jumlah pasien DPN di dunia pada tahun 2030 akan mencapai 236 juta jiwa. Dengan meningkatnya jumlah pasien DPN seperti disebutkan di atas, angka kematian, kesakitan, dan gangguan kualitas hidup akan ikut meningkat (Tesfaye dan Selvarajah, 2012). Pada pasien DPN pertama kali gejala yang dirasakan adalah hilangnya sensasi pada bagian distal kaki. Pada 80 % pasien DPN akan mengalami gejala berupa rasa kebal atau mati rasa; tidak merasakan nyeri pada ujung kaki dan akan berkembang sampai ke setengah bagian betis. Rasa kebal atau mati rasa juga dirasakan di ujung – ujung jari tangan. Pola kelainan sensorik tersebut disebut stocking and glove distribution. Gejala-gejala tersebut menjadi faktor mudahnya terjadi infeksi di kaki dan jika tidak dirawat dengan baik akan berkembang menjadi ulkus diabetik. Hal ini yang
14
menyebabkan DPN menjadi penyebab paling sering dilakukannya amputasi non traumatik. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pirart pada 4400 orang, ditemukan 12% dari jumlah tersebut telah mengalami DPN pada saat didiagnosis DM dan lebih dari 50 % nya telah mengalami DPN setelah menderita DM selama 25 tahun atau lebih (Tesfaye dan Selvarajah, 2012). Sedangkan menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Oquejiofor et al. (2010), menyatakan bahwa pasien yang telah menderita DM selama lebih dari 10 tahun hampir seluruhnya mengalami DPN. c.
Patogenesis Proses kejadian neuropati diabetika berawal dari hiperglikemi kronik yang berakibat peningkatan aktivasi jalur poliol, sintesis AGEs, pembentukan radikal bebas, dan aktivasi PKC. Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah neuropati diabetika (Subekti, 2009). Proses dan faktor yang berperan dalam neuropati diabetika yaitu: 1) Faktor Metabolik Proses terjadinya neuropati diabetika berawal dari hiperglikemia kronis. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivasi jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim
15
aldosereduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisme oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui beberapa mekanisme.Salah satu kemungkinannya adalah akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intaseluler yang berakibat pada edem saraf. Penimbunan sorbitol dalam saraf berakibat pada terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penimbunan sorbitol dan penurunan mioinositol dalam sel saraf menimbulkaan stress osmotik yang merusak mitokondria, dan menstimulasi PKC. Aktifasi PKC menekan fungsi sodiumpotassium-ATP-ase, sehingga jumlah Na di dalam sel berlebihan dan akibatnya mioinositol terhambat masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal saraf (Subekti, 2009). Keadaan hiperglikemia kronis tidak hanya mengaktifasi jalur poliol, namun juga menyebabkan terbentuknya AGEs. AGEs bersifat sangat toksik dan merusak protein tubuh, salah satunya protein di sel saraf. Terbentuknya AGEs dan sorbitol menyebabkan sintesis dan fungsi Nitric Oxide (NO) menurun sehingga mengakibatkan vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama dengan rendahnya mioinositol di dalam sel saraf, maka terjadilah DPN (Subekti, 2009).
16
2) Kelainan Vaskuler Hiperglikemia kerusakan
juga
mikrovaskular.
mempunyai
hubungan
Hiperglikemia
kronis
dengan memicu
terbentuknya radikal bebas oksidatif yang disebut ROS. ROS ini membuat kerusakan endotel pembuluh darah dan menetralisir NO
yang
menyebabkan
terganggunya
vasodilatasi
mikrovaskuler. Mekanisme kelainan mikrovaskuler tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis, thrombosis pada arteriol intraneural, peningkatan agregrasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit, berkurangnya aliran darah ke saraf dan peningkatan resistensi vaskuler, stasis aksonal, edem saraf dan demielinisasi pada saraf akibat iskmeik akut (Subekti, 2009). 3) Mekanisme Imun Mekanisme patogeniknya ditemukan adanya antineural antibodies pada serum sebagian pasien DM. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa dideteksi dengan imunoflorensens indirek dan juga adanya penumpukan antibodi dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis (Subekti, 2009). 4) Peran Nerve Growth Factor (NGF) NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada pasien DM, kadar NGF serum
17
cenderung turun dan berhubungan dengan derajat DPN. NGF juga berperan dalam regulasi gen Substance P dan CalcitoninGen-Regulated Peptide (CGRP). Peptid ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilisasi intestinal dan nosiseptif, yang kesemuanya itu mengalami gangguan pada neuropati diabetika (Subekti, 2009). d.
Faktor Risiko Faktor – faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya DPN yaitu durasi/ lama menderita DM, kontrol gula darah yang buruk ditinjau dari kadar HbA1C, dislipidemia, merokok, hipertensi, obesitas, usia, dan komplikasi mikrovaskuler lain (Bansal et al., 2014).
e.
Manifestasi Klinis Pada DPN terjadi gangguan sensorik (paling sering) dan motorik. Manifestasi yang muncul tergantung bagian saraf mana yang mengalami gangguan. Berdasarkan besar kecilnya serabut saraf sensorik yang terkena, gejala DPN dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) Serabut saraf besar : hilangnya rasa getar dan sentuhan, rasa raba ringan, rasa terhadap posisi sendi, dan mati rasa. 2) Serabut saraf kecil : nyeri tertusuk, terbakar, tersengat listrik, hilangnya sensasi suhu, alodinia.
18
Gejala gangguan sensorik tersebut di atas menyebar simetris kanan dan kiri sesuai pola stocking and glove distribution, menyebar dari distal ke proksimal pada kaki dan tangan. Gangguan pada saraf motorik menimbulkan manifestasi klinis berupa kelemahan dan atrofi otot terutama otot kaki dan tungkai bawah, kram, degenerasi tulang, perubahan pada kulit, rambut, dan kuku, serta hilang atau menurunnya reflek tendo (Wirayana, 2013). f.
Klasifikasi DPN atau juga sering disebut chronic, simetrical, length – dependent sensorimotor polyneuropathy merupakan salah satu jenis dari neuropati diabetika yang paling sering terjadi. Berikut beberapa klasifikasi neuropati diabetika : 1) Menurut perjalanan penyakitnya, neuropati diabetika dibagi menjadi: a) Neuropati fungsional/subklinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih reversibel. b) Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yang reversibel. c) Kematian neuron atau tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan serabut saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini ireversibel. Kerusakan serabut saraf pada umumnya
19
dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan proses perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi distal paling banyak ditemukan, seperti polineuropati simetris distal (Subekti, 2009). 2) Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi : a) Neuropati Difus 1) Polineuropati sensori-motor simetris distal atau DPN, 2) Neuropati otonom : Neuropati sudomotor, neuropati otonom
kardiovaskuler,
neuropati
gastrointestinal,
neuropati genitourinaria, 3) Neuropati lower limb motor simetris proksimal (amiotropi). b) Neuropati Fokal 1) Neuropati kranial, 2) Radikulopati/pleksopati, 3) Entrapment neuropathy (Subekti, 2009). 3) Menurut Tesfaye et al. (2010), neuropati diabetika dapat diklasifikasikan secara umum menjadi menjadi dua yaitu tipikal DPN dan non – tipikal DPN. a) Tipikal DPN Tipikal DPN adalah chronic, simetrical, length – dependent sensorimotor polyneuropathy, jenis yang paling umum dan paling sering terjadi. Tipikal DPN disebabkan
20
karena keadaan hiperglikemi kronis yang berakibat pada gangguan metabolik (peningkatan jalur poliol, akumulasi AGEs, pembentukan radikal bebas, aktivase protein kinase, dan
perubahan
metabolism
mikrovaskuler.Tipikal menderita
DM,
DPN
kontrol
lipid)
dan
dikaitkan glukosa
gangguan
dengan
darah,
durasi
hipertensi,
hiperlipidemia, dan obesitas. b) Non-Tipikal DPN Non tipikal DPN berbeda dengan tipikal DPN dalam hal onset, gejala, faktor risiko, dan patogenesisnya. Non tipikal DPN muncul bersama dengan penyakit lainnya dan waktu munculnya tidak dapat dipastikan. Gejala dapat muncul sewaktu waktu, baik akut, subakut, maupun kronik.Kriteria diagnosis, derajat keparahan, epidemiologi, dan pathogenesis dari non tipikal DPN masih belum diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. g.
Diagnosis Diagnosis DPN dapat ditegakkan bila terdapat gejala dan tanda klinik berupa gangguan sensorik dan motorik ditambah dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis DPN yaitu pemeriksaan saraf motorik yang meliputi tes kekuatan otot dan refleks motorik
21
serta pemeriksaan saraf sensorik yang meliputi tes fungsi serabut saraf besar (tes rasa getar dan rasa tekan menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein) dan tes fungsi serabut saraf kecil (tes sensasi suhu dan nyeri) (Wirayana, 2013). Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menentukan sifat dan tingkat neuropati. Beberapa pemeriksaan penunjang yang digunakan
dalam
mendiagnosis
neuropati
perifer
yaitu
Elektromiografi (EMG), Nerve Conduction Velocity (NCV), CT Scan, biopsi saraf dan biopsi kulit.
EMG dilakukan dengan
memasukkan jarum halus ke dalam otot untuk membandingkan jumlah aktivitas listrik yang ada pada saat otot relaksasi dan kontraksi. Pemeriksaan EMG dapat membedakan antara kerusakan saraf dan otot. NCV dilakukan dengan menggunakan sebuah probe listrik yang akan merangsang serabut saraf sehingga dengan sendirinya dapat menghasilkan impuls listrik dan sebuah elektroda diletakkan di sepanjang jalur saraf untuk mengukur kecepatan transmisi impuls saraf sepanjang jalur akson. Biopsi saraf dilakukan dengan mengambil dan menilai sebagian jaringan saraf dari tungkai bawah.Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi tentang tingkatan kerusakan saraf, namun sangat sulit, invasif, dan dapat menyebabkan komplikasi neuropati. Biopsi kulit dilakukan dengan mengambil suatu jaringan kulit tipis untuk mengukur serabut saraf akhir yang bertujuan untuk melihat kerusakan serabut saraf yang
22
lebih kecil. Pemeriksaan ini tidak invasif dan efek samping yang ditimbulkan sedikit (Wirayana, 2013). Pemeriksaan penunjang yang telah disebutkan di atas, semuanya diperlukan keahlian khusus, peralatan khusus yang mahal dan hanya dimiliki oleh pusat pelayanan kesehatan rujukan, serta harus dilakukan oleh tenaga medis profesional sehingga kurang praktis dilakukan jika digunakan klinis sehari-hari (Yang et al., 2014). Pada saat ini telah banyak ditemukan berbagai sistem skoring untuk skrining neuropati diabetika yang lebih praktis dan mudah digunakan dalam klinis sehari-hari diantaranya yaitu MNSI (Michigan Neuropathy Screening Instrumen), DNE (Diabetic Neuropathy Examination), DNS (Diabetic Neuropathy Symptoms score),
CNE
(Clinical
Neurological
Examination),
NDS
(Neuropathy Disability Score), dan masih banyak lainnya (Yang et al., 2014). 1) MNSI MNSI adalah salah satu sistem skoring yang sering digunakan sebagai alat diagnostik DPN yang simple, murah, dan tidak invasif. MNSI terdiri dari dua bentuk yaitu kuesioner dan pemeriksaan fisik. Kuesioner terdiri dari 15 pertanyaan yang berisi tentang keluhan keluhan neuropati yang dialami pasien. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi inspeksi, penilaian sensasi getar, reflek ankle, dan pemeriksaan Semmes-Weistein
23
monofilament. Interpretasi dari hasil kuesioner dan pemeriksaan MNSI yaitu jika terdapat > 4 jawaban positif pada kuesioner dan didapatkan > 2 skor pada pemeriksaan maka DPN dapat ditegakkan. Berdasarkan penelitian Al-Geffari M (2012), kuesioner MNSI dalam mendiagnosis DPN memiliki tingkat sensitivitas sebesar 38% dan spesifisitas 96%. Jika kuesioner dan pemeriksaan MNSI dilakukan kedua-duanya, sensitivitas dan spesifisitasnya akan meningkat yaitu menjadi 50% dan 92%. Namun salah satu pemeriksaan dalam MNSI, yaitu pemeriksaan monofilamen membutuhkan keahlian khusus dan alat yang masih belum ada di Indonesia. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan kuesioner MNSI untuk diagnosis DPN (Yang et al., 2014). 2) DNE DNE adalah sebuah pemeriksaan yang diadaptasi dari Neuropathy Disability Score (NDS), terdiri dari 8 pemeriksaan. Pada pemeriksaan ini hanya kaki kanan yang diperiksa, kemudian dilakukan skoring berdasarkan DNE. Nilai maksimum dari pemeriksaan DNE yaitu 16. Jika didapatkan skor lebih dari 3, dapat dikatakan abnormal (Yang et al., 2014). 3) DNS DNS adalah sebuah kuesioner untuk menilai adanya gejala neuropati. Kuesioner DNS terdiri dari 4 pertanyaan untuk
24
menilai ada tidaknya gejala seperti nyeri, mati rasa, kesemutan, dan ataksia. Skor maksimum dari DNS adalah 4. Jika pasien mendapat skor ≥ 1, dapat dikatakan terdapat kelainan neurologi (Yang et al., 2014). 4) CNE CNE adalah sistem skoring yang digunakan untuk menilai gangguan sensorik dan reflek pada tungkai bawah. Pemeriksaan klinis dilakukan untuk menilai ada tidaknya gangguan neurologis, meliputi pemeriksaan tes sensorik, kekuatan otot, dan reflek ankel. Skor maksimum dari CNE adalah 33. Jika didapatkan skor 0 maka dapat dikatakan tidak ada neuropati, skor 1–9 dikatakan derajat ringan, skor 10 – 18 dikatakan derajat sedang, dan 19 – 33 dikatakan neuropati derajat berat (Yang et al., 2014). 5) NDS NDS adalah sebuah sistem skoring untuk menilai ada tidaknya gangguan neuropati dengan melakukan pemeriksaan seperti refleks ankel, tes vibrasi, tes sensasi suhu dan nyeri pada ibu jari kedua kaki. Skor maksimum dari NDS adalah 10. Jika didapatkan skor ≥ 6, dapat dikatakan terdapat gangguan nerupati (Yang et al., 2014).
25
3.
Hubungan lama menderita DM tipe 2 dan kadar gula darah dengan kejadian DPN DM merupakan suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia kronis. Hiperglikemia yang kronis pada pasien DM berhubungan dengan kerusakan dan disfungsi beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Kerusakan pada saraf akibat hiperglikemia kronis ini dapat berlanjut menjadi neuropati diabetika melalui berbagai jalur baik melalui metabolik maupun vaskuler. Peningkatan jalur poliol, sintesis AGEs, pembentukan radikal bebas dan aktivasi PKC akibat hiperglikemi kronis berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel maka terjadilah DPN (Subekti, 2009). Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa kejadian DPN berhubungan erat dengan lama dan beratnya DM (Subekti, 2009). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Pirart pada 4400 pasiennya, dihasilkan 12% dari pasiennya yang baru pertama kali didiagnosis DM, telah mengalami DPN, sedangkan lebih dari 50% pasiennya telah mengalami DPN setelah menderita DM selama 25 tahun atau lebih (Tesfaye dan Selvarajah, 2012). Hal ini membuktikan bahwa kejadian DPN terus meningkat seiring dengan lamanya menderita DM (Feldman dan Vincent, 2004). Penelitian lain yang dilakukan pada 294 orang dengan DM tipe 2 menunjukkan bahwa lamanya menderita DM dan kadar HbA1c
26
merupakan faktor risiko yang signifikan pada kejadian DPN. Hasil penelitian tersebut menyebutkan dari 294 pasien DM tipe 2, 19,7%nya mengalami
DPN.
Prevalensi
DPN
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya durasi menderita DM yaitu dari 14,1% (pasien telah terdiagnosis DM tipe 2 selama 5 tahun) menjadi 27,8% (pasien telah terdiagnosis DM tipe 2 selama 9-11 tahun). Kemudian hasil penelitian tersebut juga menunjukan hubungan usia dengan kejadian DPN yaitu 11% dari pasien DPN berusia 23-40 tahun, dan prevalensinya meningkat menjadi 32,3% pada pasien DPN yang berusia 60-80 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DPN. Ditemukan jumlah pasien DPN yang lebih tinggi pada pasien dengan
kebiasaan
merokok,
hipertensi,
dan
hiperkolestrolemia,
mikroalbuminuria, namun faktor-faktor tersebut bukan merupakan faktor risiko DPN yang signifikan (Morkrid et al., 2010).
27
B. Kerangka Berpikir DM tipe 2
Kontrol Gula Darah Buruk
Kontrol Gula Darah Baik
Lama Menderita DM
Tidak DPN
Hiperglikemi kronis
Aktivasi Jalur Poliol
AGEs
Sorbitol di dalam sel saraf
Fungsi dan Sintesis Nitrit Oxide(NO)
Mioinositol terhambat
Vasodilatasi mikrovaskuler
Kadar mioinositol dalam sel saraf
Aliran darah ke saraf Iskemik pada saraf perifer
Reactive oxygen spescies (ROS) Kerusakan endotel vaskuler dan menetralisir NO
Faktor risiko kardiovaskuler : Hipertensi, Hiperlipidemia, Merokok, Obesitas. 1. 2. Kelainan 3. mikrovaskuler
DPN Usia >60 tahun
Kerusakan vasa nervosum
28
Keterangan: Garis tebal : Variabel yang diteliti Tanda panah : Urutan peristiwa Tanda panah di dalam kotak : panah ke atas berarti peningkatan, panah ke bawah berarti penurunan. C. HIPOTESIS Ada hubungan antara lama menderita DM tipe 2 dan kadar gula darah dengan kejadian DPN.
29