BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1.
Tempat Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki tempat kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya, termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagianbagian atau berhubung dengan tempat kerja tersebut. Sistem Mesin-Manusia dapat diartikan sebagai suatu sistem dimana kedua komponen harus bekerja sama untuk menyelesaikan pekerjaan. Masing-masing komponen (komponen manusia saja, atau komponen mesin saja) tidak berarti tanpa adanya komponen yang lain sebagai pelengkapnya. Tugas dalam merancang sistem Mesin-Manusia ialah guna menentukan cara yang paling efektif untuk menyajikan keterangan kepada operator manusia dengan menggunakan peragaan penglihatan, peragaan pendengaran, dan peragaan perabaan (Setiadi, dkk. 2006).
5
6
2.
Ergonomi Menurut Tarwaka, dkk (2004) ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik. Menurut Sutalaksana (1979), untuk menciptakan hasil yang optimal dalam penerapan ergonomi diperlukan informasi yang lengkap mengenai kemampuan manusia dengan segala keterbatasanya. Salah satu usaha untuk
mendapatkan
informasi-informasi
ini,
telah
dilakukan
penyelidikan. Penyelidikan tersebut dilakukan menurut empat kelompok besar, yaitu: a.
Penyelidikan tentang display Penyelidikan tentang display adalah bagian lingkungan yang mengkomunikasikan keadaanya kepada manusia. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui berapa kecepatan sepeda motor yang sedang dikemudikan, maka dengan melihat jarum speedometer tersebut kita akan mengetahui kecepatan sepeda motor.
b.
Penyelidikan
mengenai
hasil
kerja
manusia
dan
proses
pengendalianya Penyelidikan mengenai hasil kerja manusia dan proses pengendalianya yaitu hal ini diselidiki tentang aktivitas-aktivitas manusia ketika bekerja dan kemudian mempelajari cara mengukur
7
dari setiap aktivitas tersebut.
Dimana penyelidikan ini banyak
berhubungan dengan Biomekanika. c.
Penyelidikan mengenai tempat kerja Agar didapat tempat kerja yang baik, yaitu sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan manusia, maka ukuran tempat kerja tersebut harus sesuai dengan dimensi tubuh manusia. Hal ini berkaitan dengan ergonomi antropometri.
d.
Penyelidikan mengenai lingkungan fisik Penyelidikan mengenai lingkungan fisik adalah meliputi ruangan dan fasilitas-fasilitas yang biasa digunakan oleh manusia, serta
kondisi
lingkungan
kerja,
yang
keduanya
banyak
mempengaruhi tingkah laku manusia. Berdasarkan dengan bidangbidang penyelidikan tersebut, maka melibatkan sejumlah disiplin dalam ilmu ergonomi yaitu : 1) Anatomi dan fisiologi : struktur dan fungsi pada manusia. 2) Antropometri : ukuran-ukuran tubuh manusia. 3) Fisiologi psikologi : sistem saraf otak. 4) Psikologi eksperimen : perilaku manusia. Perancangan stasiun kerja merupakan salah satu output studi ergonomi di bidang industri. Inputnya dapat berupa manusia yang tidak aman dalam bekerja, kondisi fisik lingkungan kerja yang tidak nyaman dan ada hubungan manusia mesin yang tidak ergonomi.
8
Kondisi manusia dikatakan tidak aman bila kesehatan dan keselamatan pekerja mulai terganggu. 3.
Manual Material Handling a.
Pengertian manual material handling Manual handling didefinisikan sebagai suatu pekerjaan yang berkaitan dengan mengangkat, menurunkan, mendorong, menarik, menahan, membawa atau memindahkan beban dengan satu tangan atau kedua tangan dan atau dengan pengerahan seluruh badan. Akan tetapi, di beberapa perusahaan khususnya perusahaan besar, pekerjaan manual handling sudah dibantu dengan alat bantu mekanik seperti conveyor, over head crane, forklift, dan lain-lain. Selama pekerja melakukan berbagai aktivitas yang telah disebutkan di atas masih disebut sebagai manual handling walaupun sudah digunakan alat bantu (Tarwaka, 2011). Aspek-aspek pekerjaan manual handling yang dapat dinilai sebagai berikut Tarwaka, (2011) : 1) Pergerakan pekerja 2) Layout/display tempat kerja atau stasiun kerja 3) Sikap kerja dan postur tubuh 4) Durasi manual handling 5) Jarak pemindahan beban 6) Berat beban 7) Pengerahan otot dan tenaga
9
8) Karakteristik beban yang akan diangkat dan peralatan kerja yang digunakan 9) Organisasi dan lingkungan kerja 10) Keterampilan, kemampuan dan pengalaman kerja 11) Karakteristik personel pekerja, pakaian kerja, Alat Pelindung Diri (APD) dan lain sebagainya. Aspek pekerjaan tersebut dipengaruhi oleh 4 faktor seperti Tarwaka, (2011) : 1) Tugas, seperti pekerjaan dilakukan dengan memuntirkan badan dengan membawa beban, membungkuk, menjangkau ke atas depan, menurunkan atau mengangkat beban pada jarak yang berlebihan, membawa beban pada jarak yuang jauh, mendorong atau menarik beban, pekerjaan yang melibatkan pergerakan tibatiba, pekerjaan dengan pengerahan tenaga fisik untuk waktu yang lama, pekerjaan yang harus menahan beban terlalu lama, dan pekerjaan dengan waktu istirahat/waktu pemulihan yang cukup. 2) Beban, seperti beban terlalu berat, ukurannya terlalu besar, sulit untuk dipegang, beban tidak stabil, dan beban yang tajam, panas, atau mempunyai potensi bahaya yang lain. 3) Lingkungan kerja, seperti ruang gerak terbatas, lantai kerja tidak rata atau licin, permukaan kerja yang bervariasi seperti tangga
10
kerja, pencahayaan yang cukup memadai, dan suhu udara atau kelembaban. 4) Kemampuan individu, seperti pekerjaan yang memerlukan kekuatan dan ketinggian, pakaian kerja yang aman dan sesuai serta sepatu yang nyaman, cacat atau mempunyai masalah kesehatan lain untuk melakukan manual handling, serta wanita hamil. b.
Faktor risiko manual material handling Faktor risiko (juga dikenal sebagai "bahaya ergonomi") adalah kondisi yang dapat mempengaruhi kesejahteraan seseorang dan dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan tugas Manual Material Handling (MMH) dengan aman. Seperti gangguan muskuloskeletal, nyeri pinggang kronis biasanya hasil dari kombinasi beberapa faktor risiko yang terjadi bersamaan dari waktu ke waktu. Kasus Low Back Pain (LBP) adalah ketidakcocokan antara tugas dan kemampuan orang tersebut untuk melakukan tugas dengan aman yang menyebabkan cedera. Ketidakcocokan tersebut mungkin berasal dari karakteristik pribadi pada pekerja atau mungkin berasal dari lingkungan, tempat kerja, faktor psikososial atau tugas pekerjaan (Randall, 2009). Menurut
Randall
(2009),
mempengaruhi risiko MMH yaitu :
faktor-faktor
yang
dapat
11
1) Faktor risiko pribadi Faktor individu pada pekerja seperti riwayat cedera punggung, penurunan tingkat kemampuan pekerja, pekerjaan tambahan, kegiatan rekreasi, kegemaran, merokok, proses penuaan, jenis kelamin, kegemukan, perawakan fisik dan masalah psikososial (termasuk keluarga, keuangan atau masalah pribadi, pekerjaan atau ketidakpuasan manajemen, kurangnya mengontrol pekerjaan, dan stress kerja yang terkait dengan beberapa faktor lainnya). Riwayat cedera punggung merupakan faktor risiko yang mungkin cenderung akan mengalami LBP pada suatu saat. Sedangkan pekerjaan tambahan untuk kesehatan tubuh hanya akan mengurangi waktu istirahat dan pemulihan tenaga. 2) Faktor risiko tempat kerja Faktor risiko yang biasanya berhubungan dengan nyeri pinggang di tempat kerja seperti menangani beban berat, tugas berulang, gerakan yang ekstrim pada punggung (memutar, membungkuk, peregangan dan mencapai) lihat pada gambar 1, gerakan statis, getaran seluruh tubuh, lama duduk, trauma langsung pada punggung (serangan atau benturan obyek), tergelincir, tersandung dan jatuh, dan stres kerja.
12
Gambar 1. Gerakan Ektrim pada Punggung. A. Memutar punggung tanpa menggerakkan kaki. B. Menekuk ke samping C. Melengkungkan punggung. D. Memanjangkan punggung (Sumber: Randall, 2009) 3) Faktor risiko lingkungan Lingkungan atau ruangan kerja yang terbatas atau terhalang memungkinkan terbatasinya gerakan saat bekerja maka sedapat mungkin dihilangkan, ruangan untuk kaki harus cukup agar ada ruangan bebas untuk gerakan kaki seperti membengkokkan lutut kaki. Lantai harus bebas dari puing-puing atau bahan yang mungkin menimbulkan slip atau terpeleset, bahaya saat perjalanan atau jatuh. Permukaan lantai yang kasar dan penyediaan sepatu anti slip dapat menghindari kemungkinan tergelincir pada saat mengangkat, mendorong, menarik, dan lain-lain. 4.
Postur dan Pergerakan Kerja Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula. Pada
13
saat bekerja sebaiknya postur dilakukan secara alamiah sehingga dapat meminimalisasi timbulnya cedera muskuloskeletal. Kenyamanan tercipta bila pekerja telah melakukan postur kerja yang baik dan aman. Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat bekerja. Pergerakan yang dilakukan saat bekerja meliputi fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi, pronasi dan supinasi. Fleksi adalah gerakan menekuk satu tulang terhadap tulang yang lain sehingga akan menurunkan nilai sudut sendi (Biomekanik Akademi Fisioterapi Universitas Hasanudin, 2013). Ekstensi adalah gerakan meluruskan suatu tulang terhadap tulang yang lain sehingga akan menambah nilai sudut sendi (Biomekanik Akademi Fisioterapi Universitas Hasanudin, 2013). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2. Abduksi adalah pergerakan menyamping menjauhi dari sumbu tengah (the median plane) tubuh (Tayyari, 1997). Adduksi adalah pergerakan kearah sumbu tengah (the median palne) tubuh (Tayyari, 1997). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3. Rotasi adalah pergerakan dimana terjadi perputaran pada tulang (Tayyari, 1997). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4. Pronasi adalah perputaran bagian tengah (menuju kedalam) dari anggota tubuh (Tayyari, 1997). Supinasi adalah perputaran ke arah samping (menuju keluar) dari anggota tubuh (Tayyari, 1997). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5 (Tayyari, 1997 dalam Mardiyanto, 2008).
14
Gambar 2. Fleksi dan Ekstensi pada (a) Bahu, (b) Telapak Tangan dan (c) Lengan Sumber: Tayyari, 1997 dalam Mardiyanto, 2008
Gambar 3. Abduksi dan Adduksi pada (a) Telapak Tangan,(b) Bahu dan (c) Vertikal Abduksi Sumber: Tayyari, 1997 dalam Mardiyanto, 2008
15
Gambar 4. Posisi Rotasi Sumber: Tayyari, 1997 dalam Mardiyanto, 2008
Gambar 5. Posisi pada lengan (a) Supinasi dan (b) Pronasi Sumber: Tayyari, 1997 dalam Mardiyanto, 2008 Menurut Nurmianto (1996), Sistem kerangka otot tubuh manusia melibatkan bagian-bagian tubuh yang berkolaborasi untuk menghasilkan gerak yang akan dilakukan oleh organ tubuh yaitu tulang, jaringan penghubung (sambungan cartilagnus, ligament dan tendon) dan otot. Dalam sistem gerakan rangka otot, otot beraksi terhadap tulang untuk mengendalikan gerak rotasi disekitar sambungan tulang. Yang perlu
16
diperhatikan saat melakukan analisa biomekanika adalah rentang postur atau posisi aktivitas kerja, ukuran beban dan ukuran manusia yang dievaluasi. Sedangkan kriteria keselamatan adalah berdasarkan pada beban tekan (compression load) antara lumbar nomor lima dan scrum nomor satu(L5/S1). 5.
Keluhan Sistem Muskuloskeletal a.
Identifikasi keluhan sistem muskuloskeletal Menurut Tarwaka, dkk (2004), keluhan otot dibedakan menjadi dua yaitu: 1)
Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot dimana jika pembebanan statis dihentikan, maka keluhan otot akan segera hilang.
2)
Keluhan menetap (presistent), yaitu keluhan otot dimana jika pembebanan sudah dihentikan, keluhan otot tidak segera hilang dan akan terus berlanjut karena bersifat menetap. Keluhan pada sistem muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-
bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament, dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal
disorders
(MSDs)
muskuloskeletal (Grandjean, 1993).
atau
cedera
pada
sistem
17
Tarwaka (2011) menjelaskan bahwa tulang belakang disc manusia terdiri dari 33 tulang yang terpisah dan 24 diantaranya dapat digerakkan yang bertumpukan pada bagian atasnya satu dengan yang lainnya yang dipisahkan oleh suatu tulang rawan yang berserabut yang disebut “disc”. Disc tersebut berisi jaringan serabut yang mengelilingi inti dalam jelaga yang mengandung banyak air untuk melindungi tulang belakang dari tekanan yang besar. Bagian luar dinding disc tersebut berfungsi melindungi isi bagian dalam dan mencegah gel dari kebocoran. Bagian ini juga berfungsi untuk melindungi tulang belakang dari tekanan yang sering dilakukan dari aktivitas kerja, seperti perkerjaan mengangkat yang berulang, pergerakan tubuh yang dipaksakan atau melebihi power zone, dan lain-lain. Pada saat dinding disc mulai melemah maka akan terjadi penonjolan yang akan memberikan tekanan pada syaraf bagian dalam dan sekitar disc yang terasa nyeri. Bahkan jika tekanan pada disc terus berlanjut maka disc akan pecah dan terjadi hernia. Hal itu juga dapat membuat bagian atas dan bawah disc akan menjadi tidak stabil dan memberikan tekanan lebih pada syaraf-syaraf disekitarnya serta menyebabkan stres pada ligament pada masing-masing vertebrae. b. Penyebab keluhan muskuloskeletal Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal yaitu menurut Peter Vi, 2000 dalam Tarwaka, dkk, 2004 menjelaskan bahwa:
18
1) Peregangan otot yang berlebihan Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampui kekuatan otot optimum. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat mnyebabkan terjadinya cedera otot skeletal. 2) Aktivitas berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkut-angkut dan sebagainya. Keluhan ini terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan relaksasi (Tarwaka, 2011). 3) Sikap kerja yang tidak alamiah Sikap kerja yang tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Grandjean, 1993; Anis and McCanville, 1996; Waters and Andeson, 1996 dan Manuaba, 2000 dalam Tarwaka, dkk, 2004).
19
4) Faktor penyebab sekunder a)
Tekanan Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari peregangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap (Tarwaka, 2011).
b) Getaran Getaran dengan frekuensi tinggi akan mennyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982 dalam Tarwaka 2011). c)
Mikroklimat Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot (Astrand & Rodhl, 1997; Pulat, 1992; Wilson & Corlett, 1992 dalam Tarwaka, dkk, 2004). Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungaan tersebut. Apabila hal ini
20
tidak diimbangi dengan pasokan energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993 dalam Tarwaka ,dkk, 2004) 5) Penyebab kombinasi Risiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat dengan tugas yang semakin berat oleh tubuh. Beberapa hal yang mempengaruhi faktor kombinasi tersebut adalah : a)
Umur Chaffin (1979) dan Guo et al (1995) 1993 dalam Tarwaka ,dkk, 2004 menyatakan bahwa keluhan otot skeletal biasanya dialami orang pada usia kerja, yaitu 24-65 tahun. Biasanya keluhan pertama dialami pada usia 35 tahun dan tingkat keluhan akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur.
b) Jenis kelamin Dalam pendesainan suatu beban tugas harus diperhatikan jenis kelamin pemakainya, Astarnd dan Rodahl (1977) 1993 dalam Tarwaka, dkk, 2004 menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya 60% dari kekuatan otot pria, keluhan otot juga lebih banyak dialami wanita dibandingkan pria. Namun pendapat ini masih diperdebatkan oleh para ahli.
21
c)
Kebiasaan merokok Sama halnya dengan jenis kelamin, kebiasaan merokok pun masih dalam taraf perdebatan para ahli. Namun dari penelitian oleh para ahli diperoleh bahwa meningkatnya frekuensi merokok akan meningkatkan keluhan otot yang dirasakan.
d) Kesegaran jasmani Pada umumnya keluhan otot jarang dialami oleh seseorang yang dalam aktifitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk beristirahat. Sebaliknya, bagi yang dalam pekerjaan kesehariannya memerlukan tenaga besar dan tidak cukup istirahat akan lebih sering mengalami keluhan otot. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan menongkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik (Tarwaka, 2011). e)
Kekuatan fisik Chaffin dan Park (1977) 1993 dalam Tarwaka, dkk, 2004 seperti yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan keluhan punggung yang tajam pada para pekerja yang menuntut pekerjaan otot diatas batas kekuatan otot maksimalnya. Dan pekerja yang memiliki kekuatan otot rendah berisiko tiga kali lipat lebih besar mengalami keluhan otot dibandingkan pekerja yang memiliki
22
kekuatan otot yang tinggi. Namun sama halnya dengan kebiasaan merokok dan jenis kelamin, pendapat ini masih diperdebatkan. f)
Ukuran tubuh (antropometri) Walaupun pengaruhnya relatif kecil, ukuran tubuh juga menyebabkan keluhan otot skeletal. Vessy et al (1990) dalam Tarwaka, dkk, 2004 menyatakan bahwa wanita gemuk memiliki risiko 3 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita kurus. Temuan lain menyatakan bahwa tubuh yang tinggi umumnya sering mengalami keluhan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi tak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu, dan pergelangan tangan. (Grandjen, 1993; Manuaba, 2000 1993 dalam Tarwaka, dkk, 2004).
6.
Metode Penilaian Keluhan Sistem Muskuloskeletal Metode REBA merupakan suatu metode penilaian keluhan sistem muskuloskeletal yang sangat sensitif terhadap pekerjaan yang melibatkan perubahan mendadak, ataupun penanganan kontainer yang tidak stabil atau tidak terduga. Metode REBA diperkenalkan oleh Hignett & McAtamney (2000). Metode ini merupakan hasil perpaduan antara tim ergonomi, fisioterapi, ahli okupasi dan perawat di bidang industri manufaktur. Faktor-faktor lain seperti beban/gaya/force yang dilakukan dianggap dapat menentukan penilaian akhir dari postur tubuh. Hal ini dapat menunjukkan adanya kemungkinan perubahan status, dinamis, dan
23
keadaan yang menunjukkan adanya perubahan yang terjadi secara tibatiba. Faktor gravitasi juga merupakan hal penting karena berkaitan dengan posisi tubuh seseorang. Metode ini dapat berguna untuk melakukan pencegahan risiko dan dapat digunakan sebagai peringatan bahwa terjadi kondisi yang tidak sesuai di tempat kerja. Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan metode REBA: 1) Menentukan periode waktu observasi dengan memperhatikan posisi tubuh pekerja. 2) Perlu dilakukan analisis secara detail jika waktu pekerjaan dengan durasi yang lama. 3) Mencatat posisi yang berbeda baik dengan kamera atau video dengan waktu yang nyata. 4) Melakukan identifikasi pekerjaan yang paling berbahaya untuk dilakukan perbaikan. 5) Metode ini harus diterapkan secara terpisah antara kiri dan kanan. Hal penting yang harus diperhatikan dalam metode ini adalah sebagai berikut: 1) Sudut antara bagian tubuh yang berbeda terhadap posisi tertentu. Pengukuran ini dapat secara langsung dilakukan pada pekerja dengan menggunakan peralatan pengukur sudut, seperti busur, elektrogoniometer, atau peralatan ukur sudut lainnya, atau juga dengan kamera.
24
2) Beban yang sedang dilakukan selama bekerja dan dinyatakan dalam kilogram. 3) Jenis pegangan kontainer yang dilakukan secara manual atau bisa dengan menggunakan bagian tubuh lainnya. 4) Karakteristik pengerahan otot yang dikeluarkan. Berikut adalah langkah-langkah untuk melakukan penilaian metode REBA pada pekerja: 1)
Skoring pada Badan
Gambar 6. Skoring pada Badan Sumber : Laboratorium Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi UNTIRTA, 2012 12 April 2016 Keterangan: 1.
Posisi badan tegak lurus
2.
Posisi badan fleksi : antara 0 – 20 dan ekstensi : antara 0 – 20
3.
Posisi badan fleksi : antara 20 – 60 dan ekstensi : > 20 Posisi badan membungkuk fleksi > 60
25
4.
Skoring untuk badan ditambah 1 jika posisi badan membungkuk dan atau memuntir secara lateral.
2)
Skoring pada leher
Gambar 7. Skoring pada Leher Sumber : Laboratorium Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi UNTIRTA, 2012 12 April 2016 Keterangan: 1.
Posisi leher fleksi : 0 – 20
2.
Posisi leher fleksi atau ekstensi > 20 Skoring untuk leher ditambah 1 jika posisi leher membungkuk
dan atau memuntir secara lateral.
26
3)
Skoring pada kaki
Gambar 8. Skoring pada Kaki Sumber : Laboratorium Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi UNTIRTA, 2012 12 April 2016 Keterangan: 1.
Posisi kedua kaki tertopang dengan baik di lantai dalam
2.
keadaan berdiri maupun berjalan
3.
Salah satu kaki tidak tertopang di lantai dengan baik atau
4.
terangkat Skoring untuk kaki ditambah 1 jika salah satu kaki ditekuk
fleksi antara 30 – 60 dan ditambah 2 jika salah satu atau kedua kaki ditekuk fleksi antara > 60 .
27
4)
Skoring pada lengan atas
Gambar 9. Skoring pada Lengan Atas Sumber : Laboratorium Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi UNTIRTA, 2012 12 April 2016 Keterangan: 1. Posisi lengan fleksi atau ekstensi antara 0 – 20 2. Posisi lengan fleksi antara 21 – 45 atau ekstensi > 20 3. Posisi lengan fleksi antara 46 – 90 4. Posisi lengan fleksi > 90
Skoring untuk lengan ditambah 1 jika bahu diangkat atau lengan diputar atau dirotasi; jika lengan diangkat menjauh dari badan; dan jika berat lengan ditopang untuk menahan gravitasi.
28
5)
Skoring pada lengan bawah
Gambar 10. Skoring pada Lengan Bawah Sumber : Laboratorium Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi UNTIRTA, 2012 12 April 2016 Keterangan:
6)
1.
Posisi lengan bawah fleksi antara 60 – 100
2.
Posisi lengan bawah fleksi < 60 atau > 100
Skoring pada pergelangan tangan
Gambar 11. Skoring pada Pergelangan Tangan Sumber : Laboratorium Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi UNTIRTA, 2012 12 April 2016
29
Keterangan: 1.
Posisi pergelangan tangan fleksi atau ekstensi antara 0 – 15
2.
Posisi pergelangan tangan fleksi atau ekstensi > 15 Skoring untuk pergelangan tangan ditambah 1 jika pergelangan
tangan saat bekerja mengalami torsi atau deviasi baik ulnar maupun radial. Setelah diperoleh nilai pada skor masing-masing postur tubuh, menetapkan skor awal untuk grup A yaitu badan, leher, dan kaki pada tabel di bawah ini:
Gambar 12. Skor Awal untuk Grup A Sumber : Tarwaka, 2011 Selanjutnya menetapkan skor awal grup B yaitu lengan, lengan bawah dan pergelangan tangan pada tabel berikut ini:
30
Gambar 13. Skor Awal untuk Grup B Sumber : Tarwaka, 2011 Skor A yang sudah didapat sebelumnya ditentukan atau ditambah dengan skor untuk pembebanan. Skor A tidak ditambah jika beban kurang dari 5 kg, ditambah 1 jika beban antara 5 – 10 kg, dan ditambah 2 jika beban lebih dari 10 kg (Tarwaka, 2011). Sedangkan skor B yang sudah didapat sebelumnya ditambah dengan skor untuk jenis pegangan kontainer. Tidak ditambah jika pegangan bagus (pegangan kontainer baik dan kekuatan pegangan berada pada posisi tengah), ditambah 1 jika pegangan sedang (pegangan tangan dapat diterima, tetapi tidak ideal atau pegangan optimum yang dapat diterima untuk menggunakan bagian tubuh lainnya), ditambah 2 jika pegangan kurang baik (pegangan ini mungkin dapat digunakan tetapi tidak diterima), dan ditambah 3 jika pegangan jelek (pegangan ini terlalu dipaksakan, atau tidak ada pegangan atau genggaman tangan, pegangan bahkan tidak dapat diterima untuk menggunakan bagian tubuh lainnya) (Tarwaka, 2011).
31
Skor A dan skor B yang sudah didapat kemudian dihitung dengan menggunakan tabel skor C sebagai berikut:
Gambar 13. Skor C Sumber : Tarwaka, 2011
Hasil akhir skor C yang sudah diperoleh akan ditambah lagi untuk skoring jenis aktivitas otot seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Skoring Jenis Aktivitas Otot Skor
Aktivitas
Satu atau lebih bagian tubuh dalam keadaan statis, misalnya ditopang untuk lebih dari 1 menit Gerakan berulang-ulang terjadi, misalnya repetisi lebih +1 dari 4 kali per menit (tidak termasuk berjalan) Terjadi perubahan yang signifikan pada postur tubuh +1 atau postur tidak stabil selama kerja Sumber : Tarwaka, 2011 +1
Jika skoring final sudah diperoleh, maka ditetapkan pada tabel standar kinerja berdasarkan skor akhir yang telah diperoleh sebelumnya.
32
Tabel 2. Standar Kinerja Berdasarkan Skor Akhir Tingkat Kategoti Skor akhir Tindakan risiko risiko Sangat Tidak ada tindakan yang 1 0 rendah diperlukan Mungkin diperlukan 2-3 1 Rendah tindakan 4-7 2 Sedang Diperlukan tindakan 8-10 3 Tinggi Diperlukan tindakan segera Diperlukan tindakan 11-13 4 Sangat tinggi sesegera mungkin Sumber : Tarwaka, 2011 7.
Langkah Mengatasi Keluhan Sistem Muskuloskeletal Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health Administration (OSHA, 2000), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik seperti; desain stasiun dan alat kerja dan rekayasa manajemen seperti; kriteria dan organisasi kerja (Grandjean, 1993; Anis dan McConville, 1996; Waters & Andesron, 1996; Manuaba, 2000; Peter Vi, 2000 dalam Tarwaka, 2011). Langkah preventif ini dimaksudkan untuk mengeliminir overexertion dan mencegah adanya sikap kerja tidak alamiah. a.
Rekayasa teknik Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif sebagai berikut : 1) Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.
33
2) Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengasn alat/bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan. 3) Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja, sebagai contoh memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran. 4) Ventilasi, yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit, misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas. b.
Rekayasa manajemen Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut : 1) Pendidikan dan pelatihan Pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja. 2) Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang Pengaturan
waktu
kerja
dan
istirahat
yang
seimbang,
disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan, sehingga mencegah paparan yang berlebih terhadap sumber bahaya.
34
3) Pengawasan yang intensif Melalui pengawasan yang intensif dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkunan terjadinya risiko sakit akibat kerja. Sebagai gambaran, berikut ini diberikan contoh tindakan untuk mencegah atau mengatasi terjadinya keluhan otot skeletal pada berbagai kondisi atau aktivitas seperti yang dijelaskan berikut (Tarwaka, 2011): a.
Aktivitas angkat-angkut material secara manual 1) Mengusahakan meminimalkan aktivitas angkat-angkut secara manual. 2) Mengupayakan agar lantai kerja tidak licin. 3) Mengupayakan menggunakan alat bantu kerja yang memadai seperti crane, kereta dorong, dan pengungkit. 4) menggunakan alas apabila harus mengangkat di atas kepala atau bahu 5) Mengupayakan agar beban angkat tidak melebihi kapasitas angkat pekerja.
b.
Berat bahan dan alat 1) Mengupayakan untuk menggunakan bahan dan alat yang ringan. 2) Mengupayakan menggunakan alat angkut dengan kapasitas <50 kg.
35
c.
Alat tangan 1) Mengupayakan agar ukuran pegangan tangan sesuai dengan lingkar genggam pekerja dan karakteristik pekerjaan. 2) Memasang lapisan peredam getaran pada pegangan tangan. 3) Mengupayakan pemeliharaan yang rutin sehingga alat selalu dalam kondisi layak pakai. 4) Memberikan
pelatihan
sehingga
pekerja
terampil
dalam
mengoperasikan alat. d.
Melakukan pekerjaan pada ketinggian 1) Menggunakan alat bantu kerja yang memadai seperti; tangga kerja dan lift. 2) Mengupayakan untuk mencegah terjadinya sikap kerja tidak alamiah dengan menyediakan alat-alat yang dapat disetel atau disesuaikan dengan ukuran tubuh pekerja.
36
B. Kerangka Pemikiran
Tempat Kerja
Manual Handling
Postur Kerja
Tidak alamiah
Alamiah Risiko Tinggi Keluhan Sistem Muskuloskeletal
Penilaian Keluhan dengan Metode REBA
Tingkat Risiko 0 : Sangat Rendah 1 : Rendah 2 : Sedang 3 : Tinggi 4 : Sangat Tinggi
Tindakan perbaikan dan pencegahan
Evaluasi Gambar 14. Kerangka Pemikiran
Risiko Rendah Keluhan Sistem Muskuloskeletal