BAB II LANDASAN TEORI
A. Membolos 1. Pengertian Membolos Menurut Gunarsa (1981) membolos adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Membolos sering terjadi tidak hanya saat ingin berangkat sekolah, namun saat jam pelajaran ketika dimulai pun terkadang ada siswa yang memanfaatkan waktu untuk membolos. Membolos dapat dibedakan dari fobia sekolah karena pada kasus yang belakangan orang tua tahu dimana anak berada, tetapi dalam hal bolos baik orang tua maupun guru tidak tahu dimana anak berada (Pearce, 2000). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa membolos adalah tindakan meninggalkan sekolah secara sengaja tanpa melakukan izin tanpa sepengetahuan dari pihak sekolah. 2. Penyebab Siswa Membolos Gunarsa
(2002),
mengemukakan
tentang
alasan-alasan
yang
menyebabkan siswa membolos sekolah, dibagi 2 kelompok yaitu: a. Sebab dari dalam diri anak itu sendiri, yaitu : 1) Pada umumnya anak tidak ke sekolah karena sakit, 2) Ketidakmampuan anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah, 3) Kemampuan intelektual yang tarafnya lebih tinggi dari temantemannya,
6
4) Dari banyaknya kasus di sekolah, ternyata faktor pada anak yaitu kekurangan motivasi belajar yang jelas mempengaruhi anak. b. Sebab dari luar anak, yaitu : 1) Keluarga a) Keadaan keluarga Keadaan keluarga tidak selalu memudahkan anak didik dalam menggunakan waktu untuk belajar sekehendak hatinya. Banyak keluarga yang masih memerlukan bantuan anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas di rumah, bahkan tidak jarang pula terlihat ada anak didik yang membantu orang tuanya mencari nafkah. b) Sikap Orang Tua Sikap orang tua yang masa bodoh terhadap sekolah, yang tentunya kurang membantu mendorong anak untuk hadir ke sekolah. Orang tua dengan mudah memberi surat keterangan sakit ke sekolah, padahal anak membolos untuk menghindari ulangan. 2) Sekolah Hubungan anak dengan sekolah dapat dilihat dari anak-anak lain
a)
yang menyebabkan ia tidak senang di sekolah, lalu membolos. i.
Kemungkinan anak memiliki kelainan dengan teman-temannya yang lain : aneh, cacat, berkelainan
ii.
Kemungkinan anak tidak disenangi oleh anak sekelasnya karena termasuk kelompok minoritas atau anak kesayangan gurunya
7
Anak tidak senang ke sekolah karena tidak senang dengan gurunya.
b) i.
Guru mungkin menakutkan bagi siswa,
ii.
Sikap guru yang membeda-bedakan siswanya,
iii.
Sikap guru yang tidak mau menjawab pertanyaan siswanya,
iv.
Ada persoalan atau masalah antara anak didik dan guru.
Pearce (2000) mengemukakan tentang alasan-alasan yang menyebabkan siswa membolos sekolah, antara lain sebagai berikut: a. Sekolah membosankan atau sulit bagi anak dan tampaknya tidak menawarkan sesuatu, b. Anak disesatkan orang lain, c. Sekolah tidak terorganisir dengan baik dan tidak memperhatikan masalah membolos, d. Tindakan membolos terjadi pada orang tua yang terlalu sibuk bekerja, e. Karena mendapat sesuatu yang lebih menarik untuk dikerjakan seperti pekerjaan yang dibayar atau untuk menemui teman-temannya. 3. Faktor- faktor siswa membolos Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab anak membolos ada 2 faktor penting (Pearce, 2000), yaitu: 1) Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri, yaitu: a.) Motivasi atau dorongan Ada kalanya anak menjadi patah semangat karena kurangnya motivasi dalam diri anak itu sendiri. b.) Kemampuan belajar
8
Anak membolos bisa juga karena kemampuan belajarnya rendah dan malu untuk mengakui kekurangannya, lebih baik mengatakan, “saya tidak masuk waktu guru menerangkan tentang pelajaran itu” daripada mengatakan “saya tidak bisa menangkap penjelasan yang diterangkan guru”. c.) Akibat kegagalan Ada kalanya dalam belajar siswa mengalami kegagalan, akibat kegagalan yang dialami tersebut sering dicemooh oleh temantemannya, dan akhirnya lebih baik membolos saja.
d.) Rasa rendah diri Kemampuan yang dimiliki setiap anak tidak sama, bagi anak yang mempunyai kemampuan rendah dibanding teman-temannya, maka hal ini akan menyebabkan anak menjadi rendah diri atau minder. e.) Kesalahan dalam belajar Siswa merasa mendapatkan sesuatu yang lebih menarik dari pada kegiatan di sekolah, hal ini merupakan suatu kesalahan dalam belajar. Karena dengan membolos siswa tidak akan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.
9
2) Faktor yang berasal dari luar diri siswa, yaitu: a.) Dari keluarga Adanya anggapan dari orang tua tentang kurang pentingnya pendidikan, sehingga ada orang tua yang melindungi anaknya membolos. b.) Interaksi guru dengan siswa Interaksi ini banyak bergantung pada setiap guru dalam menghadapi murid, ada kalanya guru tidak mengetahui kalau ada siswa yang merasa terasing di tangah-tengah teman sekolahnya. c.) Dari teman Pengaruh teman-temannya sangat besar dalam membolos sekolah, ada hal-hal menarik yang bisa dilakukan dengan teman-temannya ketika membolos sekolah. 4. Akibat dari siswa yang suka membolos Berikut ini beberapa akibat dari tindakan membolos siswa (Pearce, 2000), antara lain : 1) Akibat dari psikis Anak cenderung merasa cemas jika membolos, karena jika ditemukan oleh petugas sekolah maka akan dihukum dan diskorsing, tidak naik kelas, dan akibat yang lebih buruk lagi adalah dikeluarkan dari sekolah. Perasaan cemas ini sebenarnya dirasakan oleh setiap anak yang melakukan kesalahan atau melanggar peraturan, tapi tingkat atau kadar kecemasan dari masing-masing anak berbeda.
10
2) Akibat secara sosial Anak yang sering membolos cenderung dibenci atau tersisihkan dari teman-temannya. Anak yang tidak membolos, enggan berteman dengan anak yang sering membolos karena khawatir akan terpengaruh pada kebiasaan-kebiasaan jelek. Seperti pendapat Jadi bisa dikatakan bahwa anak membolos dapat dipengaruhi atau mempengaruhi orang lain. 3) Akibat dalam prestasi belajar Ketler (dalam Kartini Kartono, 1991) menyatakan bahwa anak tidak masuk sekolah pasti ketinggalan langkah dasar tertentu dalam belajar. Waktu dia kembali ke sekolah dia rugi karena tidak masuk sekolah, dia membolos lagi karena hal itu dia gagal dan dengan demikian ia membuka jalan kegagalan berikutnya apabila ia masuk sekolah lagi.
B. Konseling Kelompok 1. Pengertian Konseling Kelompok Konseling kelompok merupakan bentuk khusus dari layanan konseling , yaitu wawancara konseling antara konselor profesional dengan beberapa orang sekaligus yang tergabung dalam suatu kelompok kecil (Winkel & Hastuti, 2006). Sukardi (2007), mengemukakan bahwa layanan konseling kelompok adalah layana bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok.
11
2. Tujuan Konseling Kelompok Sukardi (2007), menjelaskan bahwa tujuan konseling adalah sebagai berikut : a. Melatih anggota kelompok agar berani berbicara dengan orang banyak. b. Melatih anggota kelompok dapat bertenggang rasa terhadap teman sebayanya. c. Dapat mengembangkan bakat dan minat masing-masing anggota kelompok. d. Mengentaskan permasalahan-permasalahan kelompok. 3. Tahap–tahap Pelaksanaan Konseling Kelompok Sukardi (2007), menjelaskan tahap-tahap pelaksanaan konseling kelompok dilaksanakan melalui tahap-tahap berikut: a.
Tahap pembentukan
b.
Tahap peralihan
c.
Tahap kegiatan dan
d.
Tahap pengakhiran
4. Asas-asas Bimbingan dan konseling Prayitno (dalam Sukardi, 2007), menjelskan dalam kegiatan konseling kelompok, anggota kelompok harus mengetahui dan melaksanakan asas-asas yang ada dalam bimbingan dan konseling seperti yaitu: a) Asas Kerahasian Segala sesuatu yang dibicarakan klien kepada konselor tidak boleh disampaikan pada orang lain.
12
b) Asas Kesukarelaan Dalam hal ini pembimbing berkewajiban mengembangkan sikap sukarela pada diri klien itu sehingga klien itu mampu menghilangkan rasa keterpaksaannya
saat
memberikan
data
dirinya
kepada
pembimbing.
Kesukarelaan tidak hanya dituntut pada diri (calon) terbimbing/siswa atau klien saja, hendaknya berkembang pada diri penyelenggara. Para penyelenggara bimbingan hendaknya mampu menghilangkan rasa bahwa tugas ke-BK-annya itu merupakan suatu yang memaksa diri mereka. c) Asas Keterbuka Bimbingan dan konseling yang efisien hanya berlangsung dalam suasana keterbukaan. Baik yang dibimbing/dikonsel maupun pembimbing/konselor bersifat terbuka. Keterbukaan ini bukan hanya sekedar berarti “bersedia menerima saran-saran dari luar” tetapi dan hal ini lebih penting masing-masing yang bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah yang dimaksut. d) Asas Kekinian Masalah klien yang langsung ditanggulangi melalui upaya bimbingan dan konseling ialah masalah-masalah yang sedang dirasakan kini (sekarang), bukan masalah yang sudah lampau, dan juga masalah yang mungkin akan dialami di masa mendatang. bila ada hal yang tertentu yang menyangkut masa lampau, dan/atau, masa yang akan datang perlu dibahas dalam upaya bimbingan dan konseling yang sedang diselenggarakan, pembahasan itu hanyalah merupakan
13
latar belakang dari masalah yang akan dihadapi sekarang sehingga masalah yang dihadapi itu teratasi. e) Asas Kemandirian Dalam memberikan layanan para petugas hendaklah selalu berusaha menghidupkan kemandirian pada diri orang yang dibimbing, jangan hendaknya orang yang dibimbing itu menjadi tergantung pada orang lain, khususnya para pembimbing/konselor. f) Asas Kegiatan Usaha layanan bimbingan dan konseling akan memberikan buahyang tidak berarti, bila individu yang dibimbing tidak melakukan kegiatan dalam mencapai tujuan-tujuan bimbingan. Hasil-hasil usaha bimbingan tidak tercipta dengan sendirinya tetapi harus diraih oleh individu yang bersangkutan. Para pemberi layanan bimbingan dan konseling hendaknya menimbulkan suasana individu yang dibimbing itu mampu menyelenggarakan kegiatan yang dimaksud. g) Asas Kedinamisan Upaya layanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada diri individu yang dibimbing yaitu perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Perubahan tidaklah sekedar mengulang-ulang hal-hal lama yang bersifat monoton, melainkan perubahan yang selalu menuju ke suatu pembaruan, suatu yang lebih maju.
14
h) Asas Keterpaduan Layanan bimbingan dan konseling memadukan berbagai aspek individu yang dibimbing, sebagai mana diketahui individu yang dibimbing itu memiliki berbagai segi kalau keadaannya tidak saling serasi dan terpadu justru akan menimbulkan masalah. Di samping keterpaduan pada diri individu yang dibimbing, juga diperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang “diberikan”. Hendaknya, jangan aspek layanan yang satu tidak serasi atau bahkan bertentangan dengan aspek layanan yang lain. i) Asas Kenormatifan Layanan bimbingan dan konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum/negara, norma ilmu maupun kebiasaan sehari-hari. Asas kenormatifan ini diterapkan terhadap isi maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Seluruh isi layanan harus sesuai dengan normanorma yang ada. Demikian pula prosedur, teknik, dan peralatanyang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang dimaksutkan. j) Asas Keahlian Usaha layana bimbingan dan konseling secara teratur, sistematik, dan dengan mempergunakan teknik serta alat yang memadai. Untuk itu konselor perlu mendapatkan latihan secukupnya, sehingga dengan itu akan dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian layanan. Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pelayanan profesional yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang khusus didik untuk pekerjaan itu. Asas keahlian selain mengacu kepada
15
kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana bidang bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. teori dan praktek bimbingan dan konseling perlu dipadukan. k) Asas Alihtangan Asas ini mengisyaratkan bahwa bila seorang petugas bimbingan dan konseling sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu klien belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka petugas itu mengalihtangankan klien tersebut, kepada petugas atau badan lain yang lebih ahli. Di samping itu, asa ini ini juga menasihatkan petugas bimbingan dan konselinghanya menangani masalah-masalah klien sesuai dengan kewenangan petugas yang bersangkutan, setiap masalah hendaknya ditangani oleh ahli yang berwenang untuk itu. l) Asas Tut Wuri Handayani Asas ini menunjuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara pembimbing dan yang dibimbing. Lebihlebih dilingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan manfaatnya, dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngraksa sung tulada, ing madya mangun karsa”. Asas ini menuntut agar layanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan adanya pada waktu siswa mengalami masalah dan menghadapi pembimbing saja, namun diluar hubungan kerja kepembimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan adanya dan manfaatnya.
16
C. Pengertian Konseling Behavioral 1. Pengertian Konseling Behavioral Istilah Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris Behavioral Counseling, untuk menggaris bawahi bahwa konseling diharapkan menghasilkan perubahan yang nyata dalam perilaku konseli counselee behavior
(Winkel
&
Hastuti,
2006).
Sedangkan
Suharmawan
(www.google.coom), menjelaskan manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakuya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupanya dengan memberikan reaksi terhadap lingkunyanya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya. Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil dari belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. 2. Prinsip Kerja Konseling Behavioristik a) Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya. b) Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan. c) Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
17
D. Penelitian yang Relevan Penelitian Hibrul Umam (2009) mengemukakan bahwa “Penggunaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) untuk Menurunkan Frekuensi Kebiasaan Membolos pada siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya ” menunjukkan bahwa konseling kelompok dapat menurunkan secara signifikan frekuensi kebiasaan membolos siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya. Sedangkan Fajri (2011) meneliti tentang ” Efektivitas Teknik Behavioral Contract untuk Mengurangi Perilaku Membolos Siswa Kelas X SMA Negeri 5 Malang” menunjukkan bahwa perilaku membolos siswa mengalami penurunan yang signifikan setelah pemberian treatment konseling kelompok dengan teknik behavior contract.
E. Hipotesis Hipotesis tindakan yang diajukan penulis dalam penelitian ini adalah “ Konseling Kelompok denga Pendekatan Behavioral dapat Mengurangi Frekuensi Membolos Siswa kelas VIII A SMP Islam Ngadirejo Temanggung.”
18