BAB II LANDASAN TEORI A. Intergroup Contact 1.
Pengertian Intergroup Contact Kontak antarkelompok pertama kali dikemukakan oleh Allport (1954),
yang menyatakan bahwa efek positif dari kontak antarkelompok terjadi dalam situasi kontak yang ditandai dengan empat kondisi yaitu, memiliki status yang sama, adanya kerjasama antarkelompok, memiliki tujuan bersama, dan adanya dukungan oleh otoritas sosial dan kelembagaan. Mempertimbangkan penjelasan tersebut maka kami mendefinisikan intergroup contact sebagai situasi atau kondisi yang terjadi diantara anggota-anggota dari dua kelompok berbeda atau lebih saling melakukan interaksi ketika berada pada lingkungan yang sama. Interaksi atau kontak antarkelompok yang terjadi diantara anggota-angoota kelompok budaya yang berbeda tersebut akan menimbulkan efek positif terhadap hubungan sosialnya. Efek positif yang terjadi ditandai dalam situasi ketika setiap anggota kelompok menyadari bahwa dia memiliki status yang sama sebagai seorang individu yang berasal dari kelompok budaya tertentu. Setiap anggota adalah bagian dari kelompok budayanya bukan budaya lain. Anggota kelompok dari budaya yang berbeda akan menjalin kerjasama dan saling bekerjasama untuk menciptakan sebuah hubungan yang baik. Pada dasarnya dua atau lebih kelompok budaya yang berbeda akan memiliki sebuah tujuan yang sama, yaitu bersamasama menjalin interaksi dan kontak untuk menciptakan hubungan sosial dalam lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
2.
Karakteristik Intergroup Contact Kontak antarkelompok yang terjadi akan menimbulkan efek-efek positif
bagi para anggota-anggota dari setiap kelompok yang terlibat. Adapun kondisi yang menjadi sebuah pertimbangan ketika akan menjalin sebuah kontak atau interaksi antarkelompok adaah sebagai berikut: a. Equal Status: anggota memiliki status yang tidak sama, ada sebuah hubungan yang hirarkis. b. Cooperation: anggota harus saling bekerja sama dalam lingkungan non-kompetitif. c. Common Goals: anggota harus saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. d. Support by Social and Institutional Authorities: tidak boleh ada otoritas sosial atau kelembagaan yang secara eksplisit maupun implisit, dan harus ada otoritas yang mendukung kontak positif. Berdasarkan keempat karakteristik tersebut dalam penelitian ini kami lebih berfokus untuk menggunakan satu diantaranya saja, yaitu cooperation. Dalam sebuah interaksi yang terjadi pada kelompok budaya yang berbeda karakteristik tersebut lebih jelas terlihat dan lebih memungkinkan terjadi di lingkungan masyarakat. Sehingga akan lebih mempermudah kami saat melakukan penelitian dan dalam pembuatan serta penyusunan skala yang akan digunakan untuk mengambil data yang diperlukan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
B. Persepsi Kongruensi Budaya 1. Pengertian Persepsi Kongruensi Budaya Persepsi merupakan proses pengelolaan, pengorganisasian, dan pemberian makna pada stimulus yang terdapat pada lingkungan (Solso, Maclin & Maclin, 2007). Kongruensi merupakan konsistensi atau kesesuaian sistem dan komponen budaya yang ada dalam suatu lingkungan masyarakat antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Kongruensi yang dimaksud adalah keselarasan dalam budaya saat melakukan interaksi, bukan keseragaman di antara subkultur atau kesepakatan diantara kedua budaya (Cameron & Ettington, 1991). Budaya merupakan cara hidup sekelompok orang (meliputi nilai-nilai, norma-norma, cara pandang, dll), yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup kelompok tersebut (Berry, 1992). Adapun informasi tentang tata-tata cara hidup ini diturunkan dari satu generasi ke generasi (Matsumoto, 2008). Mempertimbangkan definisi-definisi ini, kami mendefinisikan persepsi kongruensi
budaya
sebagai
proses
pengelolaan,
pengorganisasian,
dan
pengintepretasian kesesuaian tata cara hidup satu budaya dengan budaya lainnya.
2. Dimensi yang Membentuk Persepsi Kongruensi Budaya Budaya dipengaruhi oleh tiga faktor (Matsumoto, 2008) yaitu faktor ekologikal, sosial, dan biologikal. Ketiga faktor tersebut dapat membentuk aspek-aspek psikologis masyarakat. Secara spesifik, faktor-faktor tersebut dapat membentuk hal-hal sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a.
Attitudes, evaluasi yang bersifat positif atau negatif.
b.
Value, nilai yang menyediakan informasi untuk bertindak.
c.
Beliefs, keyakinan/kepercayaan dasar tentang suatu hal
d.
Opinions, alasan dibalik tindakan individu dan orang lain.
e.
Worldviews, cara individu mempersepsikan dunia mereka.
f.
Norms, norma yang disepakati berdasarkan aturan.
g.
Behaviors, mempunyai dan mengekspresikan emosi.
Aspek-aspek psikologis yang dijelaskan oleh Matsumoto tersebut berkontribusi terhadap bagaimana persepsi kongruensi budaya dalam masyarakat. Pada masyarakat Kabupaten Simalungun, ketujuh aspek tersebut akan memberikan kontribusi pada persepsi kongruensi budaya masyarakat mayoritas terhadap komponen budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Nias dan sebaliknya. Persepsi kongruensi budaya tersebut merupakan sebuah penilaian maupun penginterpretasian untuk melihat bagaimana kesesuaian dan keselarasan komponen-komponen budaya berdasarkan aspek-aspek psikologis yang telah dimiliki oleh masyarakat Kabupaten Simalungun (masyarakat mayoritas dan masyarakat suku Nias). Masyarakat mayoritas yang tinggal di daerah Kabupaten Simalungun akan melakukan penilaian dan menginterpretasikan sudah sejauh mana aspek aspek psikologis tersebut memiliki kongruensi dengan budaya masyarakat Nias melalui faktor sosial yang mereka miliki. Menurut Matsumoto ada beberapa faktor sosial yang mempengaruhi suatu budaya, salah satunya adalah faktor riwayat sosial budaya.
Universitas Sumatera Utara
Secara garis besar riwayat sosial budaya masyarakat Nias meliputi sistem patrilineal, sistem kekerabatan dan kerjasama cukup menonjol, penggunaan huruf vocal dominan dalam kata atau kalimat (akhiran vocal), memiliki tingkatan kasta (siulu = bangsawan, siila = menteri, banuasato = rakyat biasa), tata hidup masyarakat dijalankan lembaga (fondrako), budaya owase (pesta adat untuk menaikkan derajat sosial dan kekuatan sosial yang tinggi), hombo batu (bentuk keperkasaan dan ketangguhan bagi laki-laki) dan mengutamakan prinsip gotong-royong (Koestoro dan Wiradnyana, 2007). Hal inilah yang nantinya akan membentuk karakteristik psikologis masyarakat Nias ketika berinteraksi dengan masyarakat mayoritas di Kabupaten Simalungun serta mempengaruhi persepsi masyarakat mayoritas dalam menginterpretasikan kongruensi budayanya dengan budaya masyarakat Nias, begitu juga sebaliknya akan mempengaruhi persepsi masyarakat Nias dalam menginterpretasikan dan menilai kongruensi budayanya dengan budaya masyarakat mayoritas Kabupaten Simalungun.
C. Suku Batak Toba di Kabupaten Simalungun Suku Batak Toba adalah salah satu dari rumpun suku Batak yang memiliki jumlah marga paling banyak dibandingkan dengan marga dari suku Batak lainnya. Keberadaan dari masyarakat suku Batak Toba sudah tersebar hamper di seluruh wilayah Indonesia, dan bahkan ada juga telah berdomisili di Negara lain diluar Negara Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah marga yang cukup banyak dari masyarakat suku Batak Toba mengakibatkan keberadaannya bisa menjadi kelompok mayoritas atau kelompok minoritas tergantung wilayah atau daerah tempat berdomisili. Salah satu wilayah yang menjadi lokasi berdomisilinya masyarakat suku Batak Toba adalah di daerah Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Di Kabupaten Simalungun sendiri masyarakat suku Batak Toba sudah menjadi sebuah kelompok Mayoritas dibandingakan dengan suku-suku lainnya seperti Suku Batak Karo, Batak Mandailing, Nias, jawa dan juga Tionghoa.
D. Suku Nias di Kabupaten Simalungun Suku Nias merupakan suku yang jumlah marganya tidak begitu banyak dibandingkan dengan marga dari suku lain. Keberadaan dari masyarakat suku Nias sudah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah marga yang cukup sedikit dari masyarakat suku Nias menjadikan keberadaannya bisa sebagai kelompok mayoritas atau kelompok minoritas tergantung wilayah atau daerah tempat berdomisili. Salah satu wilayah yang menjadi lokasi berdomisilinya masyarakat suku Nias adalah di daerah Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Di Kabupaten Simalungun sendiri masyarakat suku Nias menjadi kelompok minoritas dibandingakan dengan suku lainnya seperti Suku Batak Toba dan Batak Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
E. Evaluasi 1. Pengertian Evaluasi Evaluasi adalah suatu proses penilaian yang bersifat positif dan negatif atau juga gabungan dari keduanya. Proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana suatu objek bernilai namun juga digunakan untuk membuat keputusan apakah objek tersebut memnag bernilai atau tidak (Margaret, 2011). Mempertimbangkan definisi tersebut maka kami mendefinisikan evaluasi dalam penelitian ini sebagai proses memberikan penilaian terhadap aspek-aspek yang bersifat positif dan negatif yang dimiliki oleh kelompok budaya tertentu.
2. Aspek yang Diukur Dalam Evaluasi Pada penilitian ini kami menggunakan dua aspek yang akan dievaluasi antara lain: a. Kehangatan (warmth), yaitu adanya kedekatan, persahabatan dan suasana yang hangat (Lestari, 2012). Dalam penelitian ini kehangatan yang dimaksud adalah sifat-sifat kedekatan dan persahabatan yang dimiliki oleh suatu kelompok budaya. b. Kompetensi (competence), yaitu karakteristik dari seseorang yang merupakan perpaduan dari pengetahun, keterampilan dan direfleksikan dalam kebiasaan berpikir serta bertindak yang dapat dilihat dari perilakunya (Sudarman, 2010). Dalam penelitian ini kami mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh individu dari suatu kelompok budaya.
Universitas Sumatera Utara
F. Hubungan Persepsi Kongruensi Budaya dengan Intergroup Contact Pada kelompok budaya tertentu ada hal yang membuat orang-orang akan merasa terikat erat dalam suatu sistem dan pada kelompok budaya lainnya orangorang merasa relatif bebas untuk melakukan sesuatu (Berry, 2004). Hal tersebut bisa terjadi karena adanya faktor sosial berupa riwayat sosial budaya yang mempengaruhi dan mendukung suatu kelompok budaya sehingga pada akhirnya akan membentuk suatu karakteristik-karakteristik psikologis dalam kelompok budaya tersebut (Matsumoto, 2008). Tujuh karakteristik psikologis tersebut akan berbeda pada setiap kelompok budaya dan ketika dua kelompok budaya yang berbeda berada di lingkungan yang sama maka perbedaan tersebut sebisa mungkin diminimalisir supaya terjalin hubungan interaksi dua arah dalam kelompok. Sebelum menentukan apakah akan menjalin sebuah hubungan interaksi maka kedua kelompok budaya yang berbeda tersebut harus saling menggunakan persepsi untuk menilai apakah ada terjadi sebuah kongruensi dan seperti apa kekongruensiaan atau kesesuaian budaya diantara kedua kelompok budaya. Persepsi atau penilaian yang dimiliki oleh individu dapat mempengaruhi perilakunya dan perlakuannya terhadap suatu objek serta situasi lingkungannya, dengan kata lain perilaku seseorang terhadap suatu objek akan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap objek tersebut (Solso, Maclin & Maclin 2007). Persepsi seseorang terhadap kesesuaian budaya antara dua kelompok budaya berbeda diproses lebih lanjut dalam bentuk perilaku ataupun kecenderungan berperilaku untuk menjalin dan membangun sebuah hubungan
Universitas Sumatera Utara
atau kontak antarakelompok. Semakin kongruensi atau sesuai komponenkomponen budaya antara dua kelompok budaya yang berbeda maka akan cenderung terjalin sebuah interaksi atau kontak antarkelompok sehingga akan terjadi kontak yang lebih tinggi dan bersifat positif. Sebaliknya, semakin tidak kongruensi atau sesuai komponen-komponen budaya antara dua kelompok budaya yang berbeda maka akan cenderung tidak terjalin sebuah interaksi atau kontak antarkelompok sehingga kontak akan akan terjadipun sangat sedikit bahkan ada kemungkinan menimbulkan interaksi atau hunbungan yang bersifat negatif. Berdasarkan uraian tersebut, persepsi seseorang tentang kongruensi budaya berhubungan dengan bagaimana individu melakukan interaksi atau kontak untuk menciptakan sebuah hubungan diantara kelompok budaya yang berbeda sebagai sebuah wujud interaksi untuk bertahan di lingkungan sosial.
G. Hipotesa Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan antara persepsi kongruensi budaya dengan intergroup contact. Semakin kongruensi atau sesuai komponen-komponen budaya antara dua kelompok budaya yang berbeda maka akan cenderung terjalin sebuah interaksi atau kontak antarkelompok. Sebaliknya, semakin tidak kongruensi atau sesuai komponenkomponen budaya antara dua kelompok budaya yang berbeda maka akan cenderung tidak terjalin sebuah interaksi atau kontak antarkelompok.
Universitas Sumatera Utara