BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan bidang strategis dari organisasi, manajemen sumber daya manusia harus dipandang sebagai perluasan dari pandangan tradisional untuk mengelola manusia secara efektif dan untuk itu membutuhkan
pengetahuan
tentang
perilaku
manusia
dan
kemampuan
mengelolanya. Menurut Simamora (dalam Edy Sutrisno, 2009:5) manajemen sumber daya manusia adalah pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja. Menurut Dessler (2013:4), manajemen sumber daya manusia ada proses memperoleh, pelatihan, menilai, kompensasi karyawan, dan menghadiri hubungan tenaga kerja, kesehatan dan keselamatan dan keprihatinan akan keadilan. Schuler, et al. (dalam Edy Sutrisno, 2009:6), mengartikan manajemen sumber daya manusia (MSDM), merupakan pengakuan tentang pentingnya tenaga kerja organisasi sebagai sumber daya manusia yang sangat penting dalam memberikan kontribusi bagi tujuantujuan organisasi, dan menggunakan beberapa fungsi dan kegiatan untuk memastikan bahwa SDM tersebut digunakan secara efektif dan adil bagi kepentingan individu, organisasi, dan masyarakat. Fungsi-fungsi MSDM terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian,
pengadaan,
pengembangan,
kompensasi,
pengintegrasian,
pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja. Dengan adanya fungsi tersebut dimaksudkan untuk dapat meningkatkan kedudukan manajemen sumber daya manusia dalam pencapian tujuan organisasi perusahaan secara terpadu.
2.1.2 Kepemimpinan 2.1.2.1 Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan atau leadership adalah kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain agar bekerja sama sesuai dengan rencana demi tercapainya 9
10
tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kepemimpinan memegang peranan penting dalam manajemen, bahkan kepemimpinan merupakan sebuah inti dari manajemen. Kepemimpinan berasal dari kata “pimpin” yang memuat dua hal pokok, yaitu pemimpin sebagai subjek, dan yang dipimpin sebagai objek. Kata “pimpin” mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan menunjukkan ataupun memengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggungjawab, baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin. Menurut Stephen P Robbins mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Pendapat ini memandang semua anggota kelompok atau organisasi sebagai satu kesatuan, sehingga kepemimpinan diberi makna sebagai kemampuan memengaruhi semua anggota kelompok atau organisasi agar bersedia melakukan kegiatan/bekerja untuk mencapai tujuan kelompok atau organisasi. Veithzal Rivai (2006:3) mengatakan: “kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi, memberi inspirasi dan mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diharapkan”. Kepemimpinan adalah proses pengarahan dan memengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas anggota kelompok. Tiga implikasi penting yang terkandung dalam hal ini ialah: 1.
Kepemimpinan melibatkan orang lain, yang berkedudukan sebagai bawahan atau pengikut.
2.
Perbedaan distribusi kekuasaan, misalnya kekuasaan legalitas untuk pemimpin formal atau kekuasaan paksaan untuk manajer, dan sebagainya.
3.
Kemampuan
dalam
menggunakan
berbagai
bentuk
kekuasaan
untuk
memengaruhi perilaku bawahan, Syamsul Arifin (dalam Ahmad Saebani, 2014:41). Menurut Sondang P. Siagian (dalam Sudaryono, 2014:9) mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan inti manajemen yakni sebagai motor penggerak bagi sumber-sumber dan alat-alat dalam organisasi. Sukses tidaknya suatu prganisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan tergantung pada cara-cara memimpin yang dipraktikan orang-orang, atasan, atau pemimpin-pemimpin itu.
11
2.1.2.2 Unsur-Unsur Kepemimpinan Unsur-unsur utama esensi kepemimpinan ialah: 1. Unsur pemimpin atau orang yang memengaruhi. 2. Unsur orang yang dipimpin sebagai pihak yang dipengaruhi. 3. Unsur interaksi atau kegiatan atau usaha dan proses memengaruhi. 4. Unsur tujuan yang kehendak dicapai dalam proses memengaruhi. 5. Unsur perilaku atau kegiatan yang dilakukan sebagai hasil memengaruhi. Pengertian kepemimpinan dengan unsur-unsurnya sebagaimana uraian-uraian sebelumnya, bahwa kepemimpinan berlangsung di dalam sebuah organisasi yang dalam arti statis merupakan wadah dalam bentuk suatu struktur organisasi.
2.1.2.3 Peranan Seorang Pemimpin Pandji Anoraga et al (dalam Pabundu Tika, 2006:65) menjelaskan sembilan peranan seorang pemimpin, yaitu: 1. Sebagai Perencana Dalam menghadapi dan mengatasi suatu masalah, guna endapatkan penyelesaian dan pencapaian tujuan yang baik, diperlukan perencanaan tujuan yang baik. 2. Sebagai Pembuat Kebijakan Pengaruh dari luar maupun dari dalam sangat berperan dalam pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu dari pihak yang lebih berkuasa termasuk aturan-aturan, bawahan, dan dari pimpinan sendiri. 3. Sebagai Ahli Pemimpin dituntut sebagai sumber informasi, sumber keahlian, keterampilan dan kemampuan yang berkaitan dengan bidang yang dibutuhkan. 4. Sebagai Pelaksana Pemimpin berfungsi sebagai pelaksana satuan kerja untuk mencapai tujuan bersama. 5. Sebagai Pengendali
12
Pemimpin bertugas memimpin dan mengendalikan hal-hal detail dan spesifik termasuk hubungan internal kelompok. 6. Sebagai Pemberi Hadiah dan Hukuman Sesuai dengan kedudukan, fungsi dan wewenangnya, pemberian hadiah dan hukuman dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. 7. Sebagai Teladan dan Lambang Kebaikan dan keburukan perilaku seorang pemimpin dapat menjadi panutan bagi pengikutnya. Oleh karena itu, contoh atau teladan yang baik diharapkan dapat ditiru dan diikuti oleh para pengikutnya. 8. Sebagai Tempat Menimpakan Segala Kesalahan Tuntutan terhadap pemimpin selaku penanggungjawab keseluruhan, serta sorotan dan pandangan yang terarah kepadanya, maka kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh anggota kelompok sesuai dengan tingkatannya, pada akhirnya merupakan tanggungjawab seorang pemimpin. 9. Sebagai Penggati Peran Anggota Lain Sesuai dengan kekuasaan wewenang dan tanggungjawabnyam dalam keadaan tertentu pemimpin dapar menempati dan menggantikan peran dari kedudukan yang bersangkutan.
2.1.2.4 Faktor-Faktor Kepemimpinan Berikut ini disajikan faktor-faktor utama dalam kepemimpinan menurut Sudarwan (dalam Sudaryono, 2014:33): 1. Pemimpin Pemimpin harus memiliki pemahaman yang jujur mengenai siapa dirinya sendiri. Kesuksesan seorang pemimpin sejati berasal dari pengakuan pengikut atau masyarakat, oleh karena itu untuk menjadi sukses, seorang pemimpin harus meyakinkan pengikutnya dan dia harus mampu menampilkan sosok yang layak untuk diikuti. 2. Pengikut Berbeda pengikut, berbeda pula karakternya. Dengan demikian, pengikut yang berbeda memerlukan gaya kepemimpinan yang berbeda pula. Karenanya, seorang pemimpin harus mengenali orang-orang yang dipimpin
13
atau pengikutnya. Pemimpin harus “turun ke bawah” untuk mengetahu atribut karyawannya, seperti; menemui, mengetahui, dan mengajak untuk melakukan sesuatu. 3. Situasi Kepemimpinan tidak berada pada situasi yang kosong. Dia selalu berada dalam suatu situasi, meski hampir semua situasi berbeda. Apa yang efektif dilakukan oleh pemimpin dalam satu situasi tidak akan selalu efektif dalam situasi yang lain. Pimpinan harus menggunakan pertimbangan untuk memutuskan tindakan terbaik seperti apa dan gaya kepemimpinan macam apa yang diperlukan untuk setiap situasi. Di sinilah esensi seorang pemimpin memerlukan kecerdasan edversitas, yaitu kemampuan diri untuk cepat keluar dari situasi sulit dengan tindakan yang benar atau beresiko kecil. 4. Komunikasi Pemimpin yang baik adalah komunikator yang handal. Sebagian besar waktu yang terpakai untuk kerja kepemimpinan adalah berkomunikasi, baik internal maupun eksternal. Aktivitas pemimpin dilakukan melalui komunikasi dua arah, baik secara verbal maupun nonverbal. Cara pemimpin berkomunikasi sangat menentukan apakah hal itu akan membangun atau merusak hubungan antarsesama mereka.
2.1.3 Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan, mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya suatu pola atau bentuk tertentu. Menurut Rivai (2007:64), gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk memengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh pemimpin. Flippo (dalam Sudaryono, 2014:201) mendefinisakan gaya kepemimpinan sebagai suatu pola perilaku yang dirancang untuk memadukan kepentingankepentingan organisasi dan personalia guna mengejar beberapa sasaran.
14
Sehubungan dengan itu Agus Dharma (dalam Sudaryono, 2014:201) mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba memengaruhi orang lain. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan menunjukkan secara langsung maupun tidak langsung, tentang keyakinan seorang pemimpin terhadap kemampuan bawahannya. Artinya, gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba memengaruhi kinerja bawahannya.
2.1.3.1 Macam-macam Tipe atau Gaya Kepemimpinan Menurut Rivai ada tiga macam gaya kepemimpinan yang memengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai, yaitu: 1. Gaya Kepemimpinan Otoriter Kepemimpinan otoriter disebut juga kepemimpinan direktif atau diktator. Pemimpin memberikan instruksi kepada bawahan, menjelaskan apa yang harus dikerjakan, selanjutnya karyawan menjalankan tugasnya sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan. Gaya kepemimpinan ini menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi. 2. Gaya Kepemimpinan Demokratis Gaya kepemimpinan ini ditandai oleh adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dalam gaya kepemimpinan ini, ada kerjasama antara atasan dengan bawahan. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri. 3. Gaya Kepemimpinan Bebas Gaya kepemimpinan ini memberikan kekuasaan penuh pada bawahan, struktur organisasi bersifat longgar, pemimpin bersifat pasif. Peran utama
15
pimpinan adalah menyediakan materi pendukung dan berpartisipasi jika diminta bawahan”.
2.1.3.2 Sifat-sifat Kepemimpinan Menurut Stogdill (dalam Ahmad Saebani, 2014:131-131) kepemimpinan ditandai dengan bermacam-macam sifat yang dikelompokkan sebagai berikut: 1. Capacity, meliputi kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan bicara, keaslian, dan kemampuan nilai. 2. Achievement, meliputi gelar kesarjanaan, pengetahuan, keberhasilan, dan olahraga. 3. Responsibility, meliputi mandiri berinisiatif, tekun, agresif, percaya diri, dan berkeinginan untuk maju. 4. Participation, meliputi aktif, kemampuan bergaul, dapat bekerja sama, mudah menyesuaikan diri, dan humoris. 5. Status, meliputi kedudukan sosial ekonomi dan ketenaran. 6. Situation, meliputi mental dan status yang baik.
2.1.4 Budaya Organisasi Budaya adalah sekumpulan pengalaman hidup, pemrograman kolektif, system sharing, dan tipikal karakteristik perilaku setiap individu yang ada dalam suatu masyarakat, termasuk di dalamnya tentang bagaimana sistem nilai, norma, simbolsimbol dan kepercayaan atau keyakinan mereka masing-masing. Organisasi adalah suatu kelompok orang dalam suatu wadah untuk tujuan bersama. Menurut Robbins (2015:355), budaya organisasi adalah suatu sistem berbagi arti yang dilakukan oleh oara anggota yang membedakan organisasi dari organisasi lainnya. Dalam ilmu-ilmu sosial, organisasi dipelajari oleh periset dari berbagai bidang ilmu, terutama sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan manajemen. Kajian mengenai organisasi sering disebut studi organisasi (organizational studies), perilaku organisasi (organizational behaviour), atau analisa organisasi (organization analysis). Organisasi menurut J.R. Schermerhorn ialah “Organization is a collection of people working together in a division of labor to achieve a common purpose”. (Organisasi adalah kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama).
16
Edgar H. Schein (dalam Pabundu Tika, 2006:3) mendefinisikan dalam bukunya Organizational Culture and Leadership “Culture is a pattern of basic assumption invented, discovered, or developed by given group as it learns to cope with is problem of external adaption and internal integration – that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and fill in relation to those problems”. (Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait masalah-masalah tersebut. Menurut Peter F. Druicker (dalam Pabundu Tika, 2006:4) dalam buku Robert G.Owens, Organizational Behavior in Education, menyatakan : “Organizational Culture is the body of solutions to external and internal problems that has worked consistently for a group and that is therefore taught to new members as the correct way to perceive, think about, and feel in relation to those problems”. (Budaya Organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas). Menurut Phiti Sithi Amnuai (dalam Pabundu Tika, 2006:4) dalam tulisannya How to Build a Corporation Culture dalam majalah Asian Manajer (September 1989) mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut : “Organizational Culture is a set of basic assumptions and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaption and internal integration”. (Budaya Organisasi adalah seperangkat asumsi dasar
dan
keyakinan
yang
dianut
anggota-anggota
organisasi,
kemudian
dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal). Dari 3 definisi yang dikemukakan oleh para tokoh budaya organisasi diatas terkandung unsur-unsur dalam budaya organisasi sebagai berikut: 1. Asumsi Dasar Dalam budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai
17
pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku. 2. Keyakinan yang dianut Dalam budaya organisasi terdapat keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi. Keyakinan ini mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk
slogan
atau
motto, asumsi dasar,
tujuan
umum
organisasi/perusahaan, filosofi usaha, atau prinsip-prinsip menjelaskan usaha. 3. Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya organisasi. Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh pemimpin organisasi/perusahaan atau kelompok tertentu dalam organisasi atau perusahaan tersebut. 4. Pedoman mengatasi masalah Dalam organisasi/perusahaan, terdapat dua masalah pokok yang sering muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama anggota organisasi. 5. Berbagi nilai (sharing of value) Dalam budaya organisasi perlu berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang. 6. Pewarisan (learning process) Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi perlu diwariskan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperilaku dalam organisasi/perusahaan tersebut. 7. Penyesuaian (adaptasi) Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang berlaku
dalam
kelompok
atau
organisasi
tersebut,
serta
adaptasi
oranisasi/perusahaan terhadap perubahan lingkungan.
2.1.4.1 Karakteristik Budaya Organisasi Robbins
(2015:355-356)
mengemukakan
tujuh
karakteristik
budaya
organisasi sebagai berikut: 1. Inovasi dan keberanian mengambil risiko (innovation and risk taking), sejauh mana para karyawan didorong untuk inovasi dan pengambilan risiko.
18
2. Perhatian terhadap detail (attention to detail), sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan posisi kecermatan, analisis, dan perhatian pada rincian. 3. Berorientasi pada hasil (outcome orientation), sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil, bukan pada teknis dan proses dalam mencapai hasil tersebut. 4. Berorientasi pada manusia (people orientation), sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang di dalam organisasi itu. 5. Berorientasi
tim
(team
orientation),
sejauh
mana
kegiatan
kerja
diorganisasikan sekitar tim, bukan individu. 6. Agresif (agressivenses), sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif, bukannya bersikap santai-santai. 7. Stabil
(stability),
sejauh
mana
keinginan
organisasi
menekankan
diterapkannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan. Pernyataan Robbins tersebut didukung oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
2.1.4.2 Jenis-jenis Budaya Organisasi Jenis-jenis budaya organisasi dapat ditentukan berdasarkan proses informasi dan tujuannya. 1. Berdasarkan proses informasi Robert E. Quinn dan Michael R. McGrath (dalam Pabundu Tika, 2006:7) dalam buku Arie Indra Chandra membagi budaya organisasi berdasarkan proses informasi sebagai berikut. a. Budaya rasional Dalam budaya ini, proses informasi individual (klarifikasi sasaran pertimbangan logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kinerja yang ditunjukkan (efisiensi, produktivitas, dan keuntungan atau dampak). b. Budaya ideologis Dalam budaya ini, pemrosesan informasi intuitif (dari pengetahuan yang dalam, pendapat dan inovasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan revitalisasi (dukungan dari luar, perolehan sumber daya dan pertumbuhan).
19
c. Budaya consensus Dalam budaya ini, pemrosesan informasi kolektif (diskusi, partisipasi, dan konsensus) diasumsikan untuk menjadi sarana bagi tujuan kohesi(iklim, moral, dan kerjasama kelompok). d. Budaya hierarkis Dalam budaya hierarkis, pemrosesan informasi formal (dokumentasi, komputasi, dan evaluasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kesinambungan(stabilitas, control, dan koordinasi). 2. Berdasarkan Tujuannya Talizuduhu Ndraha membagi budaya organisasi berdasarkan tujuannya, yaitu: a. Budaya organisasi perusahaan; b. Budaya organisasi publik; c. Budaya organisasi sosial.
2.1.4.3 Fungsi Budaya Organisasi Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi budaya organisasi
adalah
sebagai
tapal
batas
tingkah
laku
individu
yang
ada
didalamnya. Menurut Robbins (2015:359), fungsi budaya organisasi adalah sebagai berikut: 1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. 2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. 3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang. 4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mengikat organisasi secara bersama-sama dengan menyediakan standar bagi apa yang seharusnya dikatakn dan dilakukan oleh para pekerja. 5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
2.1.4.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Budaya Organisasi Menurut Luthans (1989), faktor-faktor utama yang menentukan kekuatan budaya organisasi adalah kebersamaan dan intensitas.
20
1. Kebersamaan Kebersamaan adalah sejauh mana anggota organisasi mempunyai nilai-nilai inti yang dianut secara bersama. Derajat kebersamaan dipengaruhi oleh unsure orientasi dan imbalan. Orientasi dimaksudkan pembinaan kepada anggota-anggota organisasi khususnya anggota baru baik yang dilakukan melalui bimbingan seorang anggota senior terhadap anggota baru maupun melalui program-program latihan. Melalui program orientasi, anggotaanggota baru organisasi diberi nilai-nilai budaya yang perlu dianut secara bersama oleh anggota-anggota organisasi. Di samping orientasi kebersamaan, juga dipengaruhi oleh imbalan. Imbalan dapat berupa kenaikan gaji, jabatan, (promosi), hadiah-hadiah, dan tindakan-tindakan lainnya yang membantu memperkuat komitmen nilai-nilai inti budaya organisasi. 2. Intensitas Intensitas adalah derajat komitmen dari anggota-anggota organisasi kepada nilai-nilai inti budaya organisasi, derajat intensitas bisa merupakan suatu hasil dari struktur imbalan. Keinginan pegawai untuk melaksanakan nilai-nilai budaya dan bekerja semakin meningkat apabila mereka diberi imbalan. Oleh karena itu, pemimpin organisasi/perusahaan perlu memperhatikan dan menaati struktur imbalan yang diberikan kepada anggota-anggota organisasi guna menanamkan nilai-nilai inti budaya organisasi.
2.1.5 Kinerja Kinerja adalah pelaksanaan suatu pekerjaan dan penyempurnaan pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggungjawabnya sehingga dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Definisi ini menunjukkan bahwa kinerja lebih ditekankan pada
proses,
dimana
selama
pelaksanaan
pekerjaan
tersebut
dilakukan
penyempurnaan-penyempurnaan sehingga pencapaian hasil pekerjaan atau kinerja dapat dioptimalkan. Menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2005:9), kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kulaitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberkan kepadanya.
21
Menurut
Bernardin
dan
Russel
(dalam
Pabundu
Tika,
2006:121)
mendefinisikan kinerja sebagai pencatatan hasil-hasil yang diperoleh dari fungsifungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Menurut Rivai, Basri, (dalam Poltak Sinambela, 2012:6) bahwa kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang atau keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.
2.1.5.1 Faktor-faktor yang Mepengaruhi Kinerja Faktor-faktor penentu pencapaian prestasi kerja atau kinerja individu dalam organisasi menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2005:16-17) adalah sebagai berikut: 1. Faktor Individu Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. 2. Faktor Lingkungan Organisasi Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relative memadai. Dari pendapat di atas dapat dijelaskan, bahwa faktor individu dan faktor lingkungan organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
22
2.1.5.2 Penilaian Kinerja Bernardin dan Russel dalam Sutrisno (2010:179-180) mengajukan enam kinerja primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja, yaitu: 1. Quality. Merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan, kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan. 2. Quantity. Merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, unit, dan siklus kegiatan yang dilakukan. 3. Timeliness. Merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki, dengan memerhatikan koordinasi output lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan orang lain. 4. Cost effectiveness. Merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya organisasi (manusia, keuangan, teknologi, dan material) dimaksimalkan untuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya. 5. Need for supervision. Merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi kerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan. 6. Interpersonal impact. Merupakan tingkat sejauh mana pegawai memiliki rasa percaya diri, mampu memelihara harga diri, nama baik, dan kerja sama di antara rekan kerja bawahannya.
2.1.5.3 Peningkatan Kinerja Tujuan organisasi hanya dapat dicapai, karena organisasi tersebut didukung oleh unit-unit kerja yang terdapat di dalamnya. Terdapat beberapa cara untuk peningkatan kinerja karyawan. Menurut Stoner (dalam
Irianto, 2001),
mengemukakan adanya empat cara, yaitu: 1. Diskriminasi Seorang manajer harus mampu membedakan secara objektif antara mereka yang dapat memberi sumbangan berarti dalam pencapaian tujuan organisasi dengan mereka yang tidak. Oleh karena itu, dapat dibuat keputusan yang aduk dalam berbagai bidang, seperti pengembangan SDM, penggajian, dan sebagainya.
23
2. Pengharapan Dengan memerhatikan bidang tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja karyawan. Karyawan yang memiliki nilai kinerja tinggi mengharapkan pengakuan dalm bentuk penghargaan yang diterimanya dari organisasi. 3. Pengembangan Bagi yang bekerja di bawah standar, skema untuk mereka adalah mengikuti program pelatihan dan pengembangan. Sedangkan yang di atas standar, misalnya dapat dipromosikan kepada jabatan yang lebih tinggi. 4. Komunikasi Manajer bertanggung jawab untuk mengevaluasi kinerja para karyawan dan secara akurat mengkomunikasikan penilaian yang dilakukannya. Untuk dapat melakukan secara akurat, para manajer harus mengetahui kekurangan dan masalah apa saja yang dihadapi para karyawan dan bagaimana cara mengatasinya, serta mengetahui program pelatihan dan pengembangan apa saja yang dibutuhkan. Oleh karena itu komunikasi yang intens antara manajer dengan karyawan sangat diperlukan.
2.1.5.4 Manfaat Penilaian Kinerja Manfaat penilaian kinerja bagi organisasi diantaranya: 1. Perbaikan Kinerja Umpan balik pelaksanaan kerja yang bermanfaat bagi karyawan dalam bentuk kegiatan untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan. 2. Penyesuaian kompensasi Penilaian kinerja membantu pengambil keputusan dalam penyesuaian ganti rugi, menentukan siapa yang perlu dinaikkan upah, bonus atau kompensasi lainnya. 3. Keputusan penempatan Membantu dalam promosi, keputusan penempatan, perpindahan dan penurunan pangkat pada umumnya didasarkan pada masa lampau atau mengantisipasi kinerja. 4. Pelatihan dan pengembangan
24
Kinerja buruk mengindikasikan adanya suatu kebutuhan untuk latihan. Demikian juga kinerja baik dapat mencerminkan adanya potensi yang belum digunakan dan harus dikembangkan. 5. Perencanaan dan pengembangan karier Umpan balik penilaian kinerja dapat digunakan sebagai panduan dalam perencanaan dan pengembangan karier karyawan.
2.1.6 Penelitian Terdahulu Berikut ini merupakan penelitian-penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis : 1. Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan •
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suwandi dan Sumarji (2013) yang berjudul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai Pada Dinas Pu Pengairan Dan Esdm Kabupaten Tulungagung”, bahwa koefisien Determinan (R2) yang didapat dari hasil analisis regresi linear berganda sebesar 0,518, dapat disimpulkan bahwa hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Kinerja Pegawai mempunyai korelasi yang cukup kuat. Gaya kepemimpinan Demokratis, Otokratis, Laissez-Faire secara bersama sama berpengaruh terhadap Kinerja Pegawai. Gaya kepemimpinan Demokratis secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pegawai, sedangkan gaya kepemimpinan Otokratis dan Laissez- Faire secara parsial tidak berpengaruh terhadap Kinerja Pegawai. Gaya Kepemimpinan Demokratis mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas PU Pengairan dan ESDM Kabupaten Tulungagung.
•
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Binfor et al (2013) yang berjudul “The Effect of Leadership Styles and Motivation on Employee Performance in Public Institutions: Evidence from Ghana”, bahwa dalam analisis data yang dikumpulkan dari berbagai sumber data yang kuesioner, wawancara dan sumber dokumenter lainnya, kami menyimpulkan bahwa, kepemimpinan manajemen yang baik dan motivasi membantu untuk mengembangkan kerja sama tim dan integrasi individu, kelompok dan tujuan. Sifat perubahan organisasi kerja, termasuk struktur datar dan
25
pengakuan dari efisiensi penggunaan sumber daya manusia, ditambah dengan kemajuan dalam demokrasi sosial, menempatkan semakin pentingnya kepemimpinan. Pemimpin harus menjadi substansi dari perubahan dan ketidakpastian, dan juga sensitif terhadap dampak dari proses perubahan. Tidak pernah adalah kepemimpinan yang lebih dicari daripada di masa perubahan dan ketidakpastian. Kepemimpinan yang efektif dan motivasi adalah kunci untuk menggeser persepsi orang dari melihat perubahan sebagai ancaman untuk melihatnya sebagai sebuah tantangan yang menarik. 2.
Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan •
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alharbi Mohammad Awadh. Alyahya
Mohammed
Saad
(2013)
yang
berjudul
“Impact
of
Organizational Culture on Employee Performance”, bahwa budaya organisasi membantu dalam internalisasi hubungan bersama yang mengarah untuk mengelola proses organisasi yang efektif. Hubungan positif antara budaya dan kinerja membantu dalam meningkatkan hasil organisasi. Kinerja kerja organisasi memiliki dampak yang kuat terhadap budaya organisasi yang kuat karena mengarah untuk meningkatkan produktivitas. Dalam sebuah organisasi budaya yang kuat memungkinkan manajemen yang efektif dan efisien tenaga kerja karyawan. •
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agwu (2014) yang berjudul “Organizational Culture and Employees Performance in the National Agency for Food and Drugs Administration and Control (NAFDAC) Nigeria”, bahwa budaya organisasi yang positif akan meningkatkan kinerja karyawan. Tiga temuan utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut; budaya organisasi NAFDAC tentang desentralisasi memberikan karyawan dengan imbalan intrinsik lebih besar dari cara-cara tradisional lainnya pemerintahan, ada hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dan komitmen peningkatan karyawan di NAFDAC, ada hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dan produktivitas meningkat karyawan di NAFDAC.
3.
Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan •
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Aripin et al (2013) yang berjudul
26
“Implications of Organizational Culture and Leadership Styles The Effects on Job Satisfaction and Organizational Performance Of Police Sector In Bandung, Cimahi, Garut- West Java”, bahwa budaya organisasi dibentuk dari dukungan manajemen, tantangan kerja, loyalitas, kohesi sosial dan kerjasama masyarakat. Gaya kepemimpinan yang dibentuk dari gaya karismatik kepemimpinan, stimulasi intelektual inspirasi, dan perhatian individu telah mampu meningkatkan kepuasan kerja anggotanya. Kepuasan kerja yang dibentuk melalui otonomi dan umpan balik dapat meningkatkan kinerja organisasi. Di sisi lain, budaya organisasi yang telah dibentuk dari dukungan manajemen, tantangan kerja, loyalitas, kohesi sosial dan kerjasama masyarakat tidak bisa meningkatkan kinerja organisasi. Oleh karena itu, dapat dibuktikan bahwa kinerja Kepolisian sektor Bandung, Cimahi dan Garut dinilai belum maksimal kepada masyarakat. Demikian pula, gaya kepemimpinan pemimpin Kepolisian Sektor terbentuk dari karisma tinggi, stimulasi intelektual inspirasi, dan perhatian terhadap individu belum mampu meningkatkan kinerja organisasi Polsek karena transisi dalam budaya kepemimpinan. Karena operasi dukungan keuangan yang terbatas, kekhawatiran Kepolisian Sektor Pemimpin untuk setiap individu tidak ditata dengan baik dalam mengerjakan tugas-tugas pelaksanaan pencegahan, penuntutan dan perlindungan. Pada akhirnya, untuk membuat budaya organisasi dan gaya kepemimpinan di kepolisian Bandung, Cimahi, dan Garut bekerja dengan baik, faktor kepuasan kerja menjadi faktor penting untuk mendukung budaya organisasi kuat dan gaya kepemimpinan sesuai dengan harapan anggota, sehingga kinerja organisasi menjadi lebih baik dalam memenuhi harapan masyarakat.
2.2
Kerangka Pemikiran Berdasarkan teori yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat digambarkan
kerangkan pemikiran sebagai berikut :
27
2.1 Kerangka Pemikiran
2.3
Hipotesis Berdasarkan identifikasi masalah, maka hipotesis untuk penelitian ini ialah : 1. H0 : Tidak ada pengaruh antara gaya kepemimpinan (X1) terhadap kinerja karyawan (Y) Kedeputian Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Pusat, Jakarta. Ha : Terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan (X1) terhadap kinerja karyawan (Y) Kedeputian Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Pusat, Jakarta. 2. H0 : Tidak ada pengaruh antara budaya organisasi (X2) terhadap kinerja karyawan (Y) Kedeputian Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Pusat, Jakarta. Ha : Terdapat pengaruh antara budaya organisasi (X2) terhadap kinerja karyawan (Y) Kedeputian Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Pusat, Jakarta. 3. H0 : Tidak ada pengaruh antara gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) terhadap kinerja karyawan (Y) Kedeputian Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Pusat, Jakarta. Ha : Terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) terhadap kinerja karyawan (Y) Kedeputian Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Pusat, Jakarta.
28