BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Dasar Perpajakan
II.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan salah satu penerimaan negara dalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli yang memberikan penjelasan mengenai pajak. Berikut beberapa definisi pajak berdasarkan Undang-Undang dan definisi pajak dari berbagai ahli di bidang perpajakan, antara lain: •
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menerangkan bahwa: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
•
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani (2011:2) mendefinisikan: “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”
7
•
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (2009:1) menyebutkan bahwa: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pajak merupakan iuran rakyat atau iuran kepada negara. 2. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya. 3. Pajak tidak menimbulkan kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah. 4. Pajak diperuntukkan untuk pengeluaran umum negara yang bermanfaat bagi kemakmuran rakyat.
II.1.2 Fungsi Pajak Berdasarkan Suandy (2008) fungsi pajak terdiri dari 2 (dua) yaitu : a. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran negara. b. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dalam bidang sosial, ekonomi, politik dengan tujuan tertentu.
8
II.1.3 Jenis-Jenis Pajak Menurut Siti Resmi (2009) secara umum pajak dapat dibedakan berdasarkan klasifikasi sebagai berikut : 1. Menurut golongan Berdasarkan golongan, pajak dibedakan menjadi dua yaitu : a. Pajak Langsung Pajak yang harus dibebankan langsung kepada Wajib Pajak dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Tidak Langsung Pajak yang pada akhirnya dapat digeser atau dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 2. Menurut sifat Berdasarkan sifat, pajak dibedakan menjadi dua yaitu : a. Pajak Subjektif Pajak yang berdasarkan kepada subjeknya yang berarti memperhatikan dengan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Objektif Pajak yang berdasarkan kepada objeknya seperti benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya pajak tanpa memperhatikan keadaan Wajib Pajak. 9
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 3. Menurut lembaga pemungut Berdasarkan lembaga pemungut, pajak dibedakan menjadi dua yaitu : a. Pajak Pusat Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai. b. Pajak Daerah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I (Pajak Provinsi) dan daerah tingkat II (Pajak Kabupaten atau Kota) untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak provinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Pajak kabupaten meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
10
II.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Berdasarkan Mardiasmo (2009) sistem pemungutan pajak terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu : a. Official Assessment System Suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak. b. Self Assessment System Suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. c. With Holding System Suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang Wajib Pajak.
II.2
Pajak Pertambahan Nilai
II.2.1 Pengertian dan Istilah Umum Pajak Pertambahan Nilai Menurut Bambang, Rochayati, Herman, dan Khairil (2005), Pajak Pertambahan Nilai adalah salah satu jenis pajak tak langsung yaitu pajak dari pertambahan nilai yang timbul karena dipakainya faktor-faktor produksi disetiap jalur perusahaan
dalam
menyiapkan,
menghasilkan,
menyalurkan,
dan
memperdagangkan barang atau pemberiaan pelayanan jasa kepada para konsumen.
11
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah : a. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); b. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena permintaan dengan bahan dan petunjuk dari pemesan yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan PPnBM; c. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang dikenai Undang-Undang PPN dan PPnBM; d. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak; e. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dibayar Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar pabean atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar pabean atau impor Barang Kena Pajak; f. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dipungut Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
12
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, atau ekspor Jasa Kena Pajak.
II.2.2 Objek Pajak Pertambahan Nilai Mengacu pada Purno (2010) objek PPN mengalami penambahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 menjadi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 terdiri dari : a. Pasal 4 : 1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 2. Impor Barang Kena Pajak; 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Undang-Undang PPN tahun 2009); 6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (Undang-Undang PPN tahun 2009); 7. Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (Undang-Undang PPN tahun 2009); 8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (Undang-Undang PPN tahun 2009).
13
b. Pasal 16C Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan. Syaratnya yaitu : 1. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan bata, atau bahan sejenis, dan/atau baja; 2. Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan 3. Luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (meter persegi). c. Pasal 16D Pengalihan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan. Jenis aktiva yang terutang PPN selain aktiva : 1. Aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha (Pasal 9 ayat (8) huruf b); dan 2. Aktiva kendaraan bermotor berupa sedan dan station waogon Pasal 9 ayat (8) huruf c). Aktiva di atas, Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan. Akan tetapi, dapat dibebankan dalam laporan keuangan.
II.2.3 Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Wiston (2010) yang tidak termasuk pengecualian Barang Kena Pajak yaitu : a. Barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yaitu : 1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
14
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam,daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran; 3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan 4. Uang, emas batangan, dan surat berharga. b. Pengecualian Jasa Kena Pajak yaitu : 1. Jasa pelayanan kesehatan medis; 2. Jasa pelayanan sosial; 3. Jasa pengiriman surat dengan perangko; 4. Jasa keuangan; 5. Jasa asuransi; 6. Jasa keagamaan; 7. Jasa pendidikan; 8. Jasa kesenian dan hiburan; 9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; 10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeriyang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; 11. Jasa tenaga kerja; 12. Jasa perhotelan;
15
13. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; 14. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; 15. Jasa penyediaan tempat parker; 16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; 17. Jasa boga atau ketering;
II.2.4 Tarif Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Mardiasmo (2009) tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Barang Kena Pajak yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenakan tarif 0% (nol persen) seperti ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak. Berdasarkan pertimbangan ekonomi atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan dengan Peraturan Pemerintah tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).
II.2.5 Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Menurut Waluyo (2009) Pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung pajak terutang.
16
a. Harga Jual Nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. b. Penggantian Nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan. c. Nilai Ekspor Nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. d. Nilai Impor Nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dakam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM. e. Nilai lain 1. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian, setelah dikurangi laba kotor. 2. Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian, setelah dikurangi laba kotor. 17
3. Penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual rata-rata. 4. Penyerahan film cerita dalah perkiraan hasil rata-rata per judul film. 5. Persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar. 6. Aset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN atas perolehan aset tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar. 7. Kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari harga jual. 8. Penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dan jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. 9. Jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. 10. Jasa anjak piutang adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon. 11. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak antar pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor. 12. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.
18
II.2.6 Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai mengacu pada Waluyo (2009) cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah dengan mengalikan Tarif Pajak Pertambahan Niiai (10% atau 0% untuk ekspor Barang Kena Pajak) dengan Dasar Pengenaan Pajak. PPN yang terutang = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
II.2.7 Pengkreditan Pajak Masukan Berdasarkan Purno (2011), pengkreditan Pajak Masukan adalah mekanisme pengembalian hak Pengusaha Kena Pajak pembeli atas uang Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor dari Kas Negara. Pajak Keluaran – Pajak Masukan = Pajak yang harus disetor ke Kas
Prinsip Dasar Pengkreditan Pajak Masukan yaitu : a. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU PPN menganut pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. b. UU PPN menganut basis akrual sehingga Faktur Pajak Masukan tidak selalu diterima tepat waktu oleh PKP Pembeli atau Penerima Jasa. Oleh karena itu, dalam Pasal 9 ayat (9) UU PPN dijelaskan dapat dilakukan pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama paling lambat 3 (tida) bulan setelah akhir Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang memenuhi syarat : •
Pajak Masukan itu belum dibebankan sebagai biaya, dan
•
Belum dilakukan pemeriksaan.
19
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan terdiri dari : a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; e. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN (faktur pajak cacat); f. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN (faktur pajak cacat); g. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak; h. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan i. Perolehan Barang Kena Pajak selain baranng modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi.
20
II.3
Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
II.3.1 Sebab-Sebab terjadinya Kelebihan Pembayaran Pajak Menurut Waluyo (2009) penyebab kelebihan pembayaran PPN terdiri dari : a. Jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran dalam hal suatu masa pajak : 1. Pembelian Barang Kena Pajak (BKP) atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan sebelum kegiatan usaha dimulai atau pada awal kegiatan usaha dimulai; 2. Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengeskpor BKP; 3. Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN); 4. Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan penyerahan BKP atau JKP sehubungan dengan Proyek Pemerintah dengan sumber dana dari bantuan luar negeri baik berupa hibah maupun pinjaman; 5. Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan penyerahan BKP yang diolah lebih lanjut kepada Entrepot Produksi untuk tujuan ekspor (EPTE); 6. Bahan baku atau bahan pembantu dan/atau JKP kepada Perusahaan Eksportir Tertentu (PET). b. Kesalahan Pemungutan Pajak yang dilakukan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
II.3.2 Saat Pengajuan Restitusi Pengajuan restirusi Pajak Pertambahan Nilai yaitu : a. Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 21
Seluruh Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan restitusi pada setiap masa pajak. b. Pasal 9 ayat (4a) dan (4b) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan permohonan restitusi pada setiap masa pajak adalah : 1. Pengusaha Kena Pajak melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; 2. Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN; 3. Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dipungut PPN; 4. Pengusaha Kena Pajak melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; 5. Pengusaha Kena Pajak melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; atau 6. Pengusaha Kena Pajak masih dalam tahap belum berproduksi. Selain Pengusaha Kena Pajak tersebut, hanya dapat melakukan restitusi pada akhir tahun buku.
II.3.3 Pengembalian Pendahuluan Permohonan
pengembalian
kelebihan
pembayaran
pajak
setelah
dilakukan penelitian menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama : a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai.
22
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. Perbedaan Undang-Undang Lama dan Baru yaitu : a. Hanya diberikan kepada Wajib Pajak Patuh dan Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) : 1. Pasal 17C Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Wajib Pajak Patuh meliputi : •
Tepat waktu penyampaian Surat Pemberitahuan;
•
Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak;
•
Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
•
Tidak pernah dipidana dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
2. Pasal 17D Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu yaitu : •
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
•
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
23
•
Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau
•
Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
b. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, selain yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (Pasal 17C dan Pasal 17D) dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 9 ayat 4). Apabila berdasarkan post audit diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), maka sanksi yang dikenakan berupa bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan.
II.3.4 Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran PPN Sebelum 1 April 2010 (Direktur Jendral Pajak Nomor PER-48/PJ/2008) a. Permohonan restitusi dapat diajukan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setiap akhir Masa Pajak dengan mengisi kolom pada formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN atau surat tersendiri dengan ketentuan : 1. Satu surat permohonan untuk satu Masa Pajak; 2. Kelengkapan surat permohonan restitusi : •
Faktur
Pajak
atau
dokumen
tertentu
yang
kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak; •
Kelengkapan permohonan pengembalian disusulkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan;
24
•
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak menyampaikan atau kurang menyampaikan kelengkapan permohonan pengembalian dalam jangka waktu, dilakukan pemeriksaan berdasarkan kelengkapan permohonan pengembalian yang diterima.
Setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima. Apabila terlampaui jangka waktu ternyata tidak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, berarti permohonan Pengusaha Kena Pajak dikabulkan dan Direktur Jendral Pajak harus menerbitkan paling lambat 1 (satu) bulan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. b. Untuk permohonan yang dilakukan Pengusaha Kena Pajak Tertentu : 1. Kelengkapan surat permohonan tidak diwajibkan dengan kelengkapan aktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak; 2. Setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Tertentu, harus
menerbitkan
Surat
Keputusan
Pengembalian
Pendahuluan
Kelebihan Pajak paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan; 3. Jika PKP Tertentu mengajukan kelebihan pembayaran akibat kompensasi Masa Pajak sebelum menjadi Pengusaha Kena Pajak Tertentu. KPP wajib melakukan pemeriksaan pajak atas SPT Masa PPN yang menyatakan 25
kelebihan pembayaran yang dikompensasikan dan PKP wajib melengkapi Faktur Pajak terkait; 4.
Apabila diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Pengusaha Kena Pajak Tertentu wajib membayar jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Setelah 1 April 2010 (PMK Nomor 72/PMK.03/2010) a. Permohonan restitusi 1. Diajukan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan mengisi kolom pada formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN atau surat tersendiri; 2. Diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan; 3. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak; 4. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak dapat diproses melalui penelitian atau pemeriksaan. b. Penelitian 1. Dilakukan untuk Pengusaha Kena Pajak kriteria tertentu (Pasal 17C
Undang-Undang KUP), Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 17D Undang-Undang KUP), atau Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah (Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN); 2. Untuk permohonan restitusi yang diajukan Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah (Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN), penelitian dilakukan terhadap :
26
•
Kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang PPN;
•
Kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
•
Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; dan
•
Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
3. Penerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan pengembalian kelebihan Pajak. 4. Apabila terlampaui jangka waktu ternyata tidak menerbitkan Surat
Keputusan
Pengembalian
Pendahuluan
Kelebihan
Pajak,
berarti
permohonan Pengusaha Kena Pajak dikabulkan dan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak harus diterbitkan paling lama 7 (tujuh) hari setelah jangka waktu berakhir. c. Pemeriksaan 1. Dilakukan PKP lain atau yang tidak memenuhi persyaratan; 2. Setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan restitusi Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima; 3. Jangka waktu 12 (dua belas) bulan tidak berlaku dalam hal terhadap Pengusaha Kena Pajak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; 4. Pemeriksaan untuk PKP beresiko rendah :
27
•
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pengembalian
pendahuluan kelebihan Pajak dapat melakukan pemeriksaan kepada Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah; •
Apabila hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) : a. Pengusaha Kena Pajak kriteria tertentu atau Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu wajib membayar jumlah
kekurangan
Pajak
ditambah
dengan
sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak; a. Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah wajib membayar jumlah
kekurangan
Pajak
ditambah
dengan
sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak
28