DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ............................... 8 1.2.1. Permasalahan Penelitian .................................................... 8 1.2.2. Ruang Lingkup Penelitian .................................................. 8 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 8 1.3.1. Tujuan Penelitian ................................................................ 8 1.3.2. Kegunaan Penelitian ......................................................... 9 1.4. Kerangka Pemikiran .................................................................... 9
BAB II. LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Umum mengenai Disparitas Pidana ................................ 19 2.1.1. Pengertian Pemberian Pidana ................................................ 19 2.1.2. Pengertian Disparitas ......................................................... 20 2.1.3. Teori-teori Pemidanaan ...................................................... 20 2.1.4. Aliran-aliran dalam Hukum Pidana .................................... 23 2.2. Tinjauan Umum mengenai Hakim ............................................... 27 2.2.1.Tinjauan Historis Kebebasan Hakim .................................... 27 2.2.2. Kebebasan Hakim di Indonesia ........................................... 32 2.2.3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan .. 34 2.3. Tujuan Hukum Tindak Pidana Asusila ....................................... 40 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Masalah ...................................................................... 42 2.2. Sumber dan Jenis Data ............................................................... 42 3.3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................. 43 3.3.1. Prosedur Pengumpulan Data .............................................. 43 3.3.2. Prosedur Pengolahan Data ................................................. 43 3.4. Analisis Data .............................................................................. 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.
Hasil Penelitian ...................................................................... 45 4.1.1. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Sukadana .......... 45 4.1.2. Putusan Perkara Tindak Pidana Asusila yang Mengadung Disparitas di Pengadilan Negeri Sukadana .................................................................... 46 4.1.3. Penyebab Terjadinya Disparitas Putusan Hakim ........ 62 4.1.4. Dampak terjadinya Disparitas Putusan Hakim ........... 80
4.2. Pembahasan 4.2.1.Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Asusila Pada Putusan Nomor 111/Pid.B/2012/PN.SKD dan Nomor 270/Pid.B/2012/PN.SKD ............................................... 83 4.2.2. Faktor Penyebab terjadinya Disparitas Putusan Hakim terhadap Tindak Pidana Asusila pada Putusan Nomor 111/PID B/ 2012/ PN.SKD dan Nomor 270 /PID.B/2012/ PN.SKD ...................................................................... 91 4.2.3. Upaya-Upaya yang dapat Dilakukan untuk Mengatasi terjadinya Disparitas Putusan Hakim pada Perkara Asusila di Pengadilan Negeri Sukadana ......................................98 BAB V.
PENUTUP 5.1. Kesimpulan ............................................................................. 111 5.2. Saran-Saran .......................................................................... 112
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dapat berpengaruh
positif dan negatif. Pengaruh negatif yang timbul adalah berkembang kejahatan baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas. Peristiwa kejahatan tersebut korbannya bukan hanya kepada orang dewasa, melainkan perempuan dan anakanak yang menjadi korban kejahatan. Pada hakikatnya perempuan tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam tindakan kejahatan yang dapat menimbulkan kerugian baik mental, fisik, dan sosial, tetapi perempuan juga harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya. Kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan merupakan bagian kesusilaan yang diatur dalam undang-undang, karena setiap harinya kasus kesusilaan yang melibatkan anak dan perempuan sebagai korbannya sering diberitakan diberbagai media massa, baik di majalah, koran, maupun stasiun-stasiun televisi swasta yang kini marak menyajikan berita-berita seputar dunia kriminal. Banyak kasus pemerkosaan yang menimpa anak sebagai korbannya yang terjadi tidak hanya di lingkungan sekolah, lingkungan rumah (bertetangga), tempat-tempat yang memungkinkan seseorang untuk melakukan perbuatan amoral, bahkan dapat terjadi di lingkungan keluarga. Semua itu merupakan bagian dari kesusilaan yang melanggar perbuatan hukum.
1
Indonesia merupakan negara hukum (Rechtstaat) yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Khususnya dalam sistem peradilan yang tidak pandang bulu apakah yang bersangkutan mempunyai
1
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung, PT. Refika Adinata, 2006, hlm. 86
1
kedudukan dalam masyarakat apa tidak. Sebagai negara hukum, Indonesia menganut salah satu asas yang penting yakni asas praduga tak bersalah (persumption of innocence). Hal ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam KUHAP butir ke-3 huruf c dinyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan bersalah kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam UU Kehakiman diatur dalam Pasal 8 ayat (1) yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Putusan pengadilan juga menganut pada asas persamaan di mata hukum (equality before the law), karena kedua asas ini mengandung nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang juga harus dilindungi dan diperhatikan oleh penegak Hukum khususnya bagi hakim yang mempunyai kewewenang dalam memutus suatu perkara. Tindak pidana kesusilaan merupakan salah satu tindak pidana yang paling sulit dirumuskan, hal ini disebabkan kesusilaan merupakan hal yang paling relatif dan bersifat subyektif. Walaupun demikian ada pula bagian tindak pidana kesusilaan yang bersifat universal. Universal dalam arti seragam bukan saja dalam batas-batas negara, tetapi keseluruh negara-negara yang beradab. Delik susila menjadi ketentuan universal apabila delik tersebut dilakukan dengan kekerasan, yang menjadi korban anak dibawah umur, dilakukan dimuka umum, korban dalam keadaan tidak berdaya dan sebagainya. Kejahatan seksual di dalam KUHPidana tertuang dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur pada Pasal 284 sampai Pasal 296 KUHPidana. Didalamnya diatur tentang kejahatan seksual antara lain perbuatan zina, perkosaan dan perbuatan cabul yang secara keseluruhannya kejahatan
2
terhadap kesusilaan.2 Berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan, bahwa sebagai makhluk sosial tidak bisa dipungkiri bahwa perbuatan asusila atau tindakan kesusilaan akan terjadi dan menimpa kepada setiap orang yang tidak memandang latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan jabatan. Melainkan disebabkan karena lemahnya kontrol diri, lemahnya iman sesuai dengan agama yang dianutnya. Perlindungan korban asusila dalam proses penyelesaian perkara pidana tidak saja penting bagi korban dan keluarganya semata tetapi juga untuk kepentingan yang lebih luas yaitu untuk kepentingan penanggulangan kejahatan itu sendiri. Jenis kerugian yang diderita korban bukan saja dalam bentuk material seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk penyembuhan luka fisik, tetapi juga kerugian immaterial yang susah, bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang, misalnya hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup dan kepercayaan diri karena kecemasan dan ketakutan akan bayang-bayang yang pernah dialaminya. Keterlibatan negara dan masyarakat umum dalam menanggulangi tidak pidana asusila bukan hanya pemberian bantuan dan santunan kepada korban kejahatan melainkan dari berbagai usaha yaitu bahwa negara berkewajiban untuk memelihara keselamatan, meningkatkan kesejahteraan warga negaranya dan sistem pelayanan peradilan pidananya. Terjadinya tindak pidana asusila dapat dianggap sebagai gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warga negaranya. Peran Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku asusila, tentu saja harus berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan (positif), serta mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, sebab tanpa mempertimbangkan aspek tersebut maka dapat menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidak adilan di dalam memberikan pidana, hal tersebut nampak banyak terjadinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) dalam prakteknya di pengadilan dan inilah yang disebut disparitas putusan hakim atau disebut dengan disparitas pidana (disparity of sentencing). 2
Hermien Hadiati Koeswati, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya, Jakarta, 1995, hlm. 231
3
Disparitas putusan hakim ini akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana. Terpidana setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan yang dikenakan kepada orang lain dari ketidak pastian atau ketidak teraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai di dalam tujuan pemidanaan. Disini akan terlihat suatu persoalan berat, sebab merupakan suatu indikator dan manifestasi kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system). 3 Disparitas putusan hakim bukan menjadi persoalan dalam hukum pidana, karena pada hakekatnya, hakim memutus perkara pasti disparitas. Hal itu merupakan suatu konsekuensi atau akibat mutlak karena pertama, kebebasan hakim dan kedua, melihat secara kasuistik yang ditanganinya. Artinya dalam kasus yang sama, orang yang melakukan delik berbeda, alasan melakukan delik berbeda dan dengan kondisi yang berbeda-beda pula. Disparitas putusan hakim pidana adalah masalah yang telah lama menjadi pusat perhatian kalangan akademisi, pemerhati dan praktisi hukum. Disparitas putusan dianggap sebagai isu yang mengganggu dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan praktek disparitas tak hanya ditemukan di Indonesia. Ia bersifat universal dan ditemukan di banyak negara. Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap peradilan. Ia dapat dilihat sebagai wujud ketidakadilan yang mengganggu. Tetapi apa sebenarnya disparitas putusan itu? Dalam bukunya Sentencing and Criminal Justice (2005), Andrew Ashworth mengatakan disparitas putusan tak bisa dilepaskan dari diskresi hakim menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara pidana. Di Indonesia, disparitas hukuman juga sering dihubungkan dengan independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan (perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam 3
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Cet. 2, Alumni, Semarang 1992, hlm. 119
4
menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat bak dan jahat pada diri terdakwa. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo (2003) menyatakan disparitas putusan berkenaan dengan perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan. Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas. Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara yang sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan Pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda. Namun independensi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bukan tanpa batas. Eva Achjani Zulfa, dalam buku Pergeseran Paradigma Pemidanaan (2011: 33), mengatakan ada asas nulla poena sine lege yang memberi batas kepada hakim untuk memutuskan sanksi pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun ada takaran, masalah disparitas akan tetap terjadi karena jarak antara sanksi pidana minimal dan maksimal dalam takaran itu terlampau besar. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan ikut berpengaruh karena ketiadaan standar merumuskan sanksi pidana. Disparitas putusan sejak awal ‘dimungkinkan’ karena aturan hukum yang disusun pemerintah dan DPR membuka ruang untuk itu. Menghapuskan sama sekali perbedaan putusan hakim untuk kasus yang mirip tak mungkin dilakukan. Selama ini, upaya yang dilakukan adalah meminimalisir disparitas dengan cara antara lain membuat pedoman pemidanaan (sentencing guidelines). Amerika Serikat, Finlandia, Swedia dan Selandia Baru termasuk negara yang sudah mengadopsi dan menerapkan pedoman pemidanaan tersebut. Hakimhakim Indonesia pun sebenarnya sudah menyadari persoalan disparitas itu.
5
Meskipun berat ringannya hukuman menjadi wewenang hakim tingkat pertama dan banding, tetapi dalam beberapa putusan, hakim agung mengoreksi vonis itu dengan alasan pemidanaan yang tidak proporsional. Sebagai contoh bolehlah disebut putusan Mahkamah Agung No. 662K/Pid/1992 (JPU vs Abdullah bin Tatoto dkk), dan putusan No. 1168 K/Pid/2000 (JPU vs Margono Kusuma Widagdo dan Sri Endah Soekardi). Dalam dua putusan ini, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan karena menaikkan hukuman penjara tanpa pertimbangan dan alasan yang cukup terperinci. Dalam putusan kedua, misalnya, Mahkamah Agung melihat disparitas hukuman antara yang hanya turut serta dengan pelaku utama mengedarkan uang palsu. Rujukan lain yang menyinggung langsung pemidanaan yang tidak proporsional adalah putusan MA No. 143K/Pid/1993. Majelis hakim agung dipimpin M. Yahya Harahap mempertimbangkan bahwa pada dasarnya berat ringannya hukuman adalah kewenangan judex facti. Pemidanaan dapat menjadi kewenangan hakim tingkat kasasi jika pidana yang dijatuhkan tidak sesuai dengan cara melakukan tindak pidana dikaitkan dengan luasnya dampak yang diakibatkan perbuatan terdakwa. Begitu pula jika pidana yang dijatuhkan tidak memenuhi tujuan penegakan hukum pidana sebagai tindakan edukasi, koreksi, prevensi dan represi bagi masyarakat dan pelaku. “Meskipun tujuan pemidanaan terhadap seseorang bukan sebagai balas dendam, namun pemidanaan tersebut harus benarbenar proporsional dengan prinsip edukasi, koreksi, prevensi dan represi,” demikian penggalan pertimbangan majelis hakim agung. Penjatuhan hukuman yang proporsional adalah penjatuhan hukuman yang ‘sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada intinya, proporsionalitas mensyaratkan skala nilai untuk menimbang dan menilai berat ringannya pidana dikaitkan dengan tindak pidananya. Nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat serta budaya cenderung menjadi determinan dalam menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat dalam konteks historis tertentu. Penelusuran Harkristuti Harkrisnowo menemukan fakta bahwa asas proporsionalitas sudah dirumuskan pada kitab-kitab hukum zaman Indonesia kuno.
6
Ide tentang penjatuhan pidana yang proporsional berkembang menjadi gagasan untuk membuat suatu pedoman pemidanaan yang mampu mereduksi subjektivitas hakim dalam memutus perkara. Diskresi hakim sangat mungkin disalahgunakan Sehingga pedoman pemidanaan dianggap sebagai jalan terbaik membatasi kebebasan hakim. Pedoman pemidanaan itu, kata Asworth (2005), harus ‘a strong and restrictive guideline’. KUHP sebenarnya sudah memuat sejumlah pedoman, seperti Pasal 14a, Pasal 63-71, dan Pasal 30. Selain itu, RUU KUHP sudah guidelines yang wajib dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu: kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana, cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban, maaf dari korban/keluarga, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Ada beberapa putusan hakim yang terjadi disparitas di Pengadilan Negeri Sukadana. Dalam penelitian ini Penulis mengambil disparitas putusan hakim tentang asusila di Pengadilan Negeri Sukadana Nomor 111/Pid.B/2012/PN. SKD dan
Nomor 270/Pid.B/2012/PN. SKD. Dari kedua putusan tersebut adanya
diparitas pidana, yaitu dalam putusan Nomor 111/Pid.B/2012/PN. SKD dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 285 KUHP jo Pasal 53 ayat 1 KUHP berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan. Putusan Nomor 270/Pid.B/2012/PN. SKD dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 285 KUHP berupa pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangkan selama terdakwa menjalani penahanan sementara. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : “ Analisis Aspek Keadilan dan Kepastian Hukum Dalam Disparitas Putusan Hakim terhadap Tindak Pidana Asusila
(Studi
Perkara
Nomor
111/Pid.B/2012/PN.
SKD
dan
Nomor
270/Pid.B/2012/PN. SKD pada Pengadilan Negeri Sukadana)”.
7
1.2.
Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1.2.1. Permasalahan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak pidana asusila pada Putusan Nomor
111/Pid.B/2012/PN.SKD dan Nomor 270/Pid.B/2012/PN.SKD di
Pengadilan Negeri Sukadana? 2) Apa faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap Tindak Pidana Asusila pada Putusan Nomor 111/Pid.B/2012/PN.SKD dan Nomor 270/Pid.B/2012/PN.SKD di Pengadilan Negeri Sukadana?. 3) Bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana pada perkara asusila di Pengadilan Negeri Sukadana ? 1.2.2. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian, dibatasi pada: 1) Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana asusila pada Putusan Nomor 111/Pid.B/2012/PN.SKD dan Nomor 270/Pid.B/2012/PN.SKD di Pengadilan Negeri Sukadana. 2) Faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana asusila
pada
Putusan
Nomor
111/Pid.B/2012/PN.SKD
dan
Nomor
270/Pid.B/2012/PN.SKD di Pengadilan Negeri Sukadana. 3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana pada perkara asusila di Pengadilan Negeri Sukadana. 1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk memahami dan menganalisis pertanggungjawaban pelaku tindak pidana asusila pada Putusan Nomor 111/Pid.B/2012/PN.SKD dan Nomor 270/Pid.B/2012/PN.SKD di Pengadilan Negeri Sukadana.
8
2) Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap Tindak Pidana Asusila pada Putusan
Nomor
111/Pid.B/2012/PN.SKD
dan
Nomor
270/Pid.B/2012/PN.SKD di Pengadilan Negeri Sukadana. 3) Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana asusila di Pengadilan Negeri Sukadana. 1.3.2. Kegunaan Penelitian 1) Secara teoritis Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan motivasi dalam menganalisis secara objektif melalui metode ilmiah, khususnya pada faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana asusila. 2) Secara Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan informasi, bahan ilmu pengetahuan dan bahan bacaan bagi semua kalangan yang tertarik untuk mempelajari, memahami, dan memperdalam ilmu hukum, khususnya pada faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana asusila. 1.4. Kerangka Pemikiran Tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah “strafbaar feit” atau “delict”. Sedangkan pembuat undangundang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas 9
untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.4 R. Soesilo menyatakan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana. 5 J.E Jonkers, merumuskan
peristiwa
pidana
ialah
perbuatan
yang
melawan
hukum
(wederrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 6 Berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Setiap orang yang melanggar aturanaturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana, akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, selain itu juga ditengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana. Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri. 4
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 54 R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politae, Bogor, 1984, hlm. 4 6 J.E Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 135 5
10
Berdasarkan azas legalitas (principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan, jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawab atas segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan (schuld), sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan oleh undang-undang. Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan apabila dilakukan dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu kejahatan seperti penggelapan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 372 KUHP, merusak barangbarang sebagaimana Pasal 406 KUHP dan lain sebagainya. Jadi, para sarjana mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai kesengajaan (dolus) tidak terdapat keseragaman tafsir antara para sarjana tersebut. Perbedaan tafsir tersebut antara lain terdapat di dalam peristilahan yang digunakan dalam perumusan perundang-undangan terutama dalam bidang penentuan erat
11
renggangnya atau jauh dekatnya kejiwaan seseorang pelaku kepada tindakan yang dilakukannya termasuk penyebab dan akibatnya. Menurut sifatnya, EY Kanter dan SR. Sianturi, menyebutkan bahwa ada 2 (dua) jenis kesengajaan (dolus):7 1) Dolus malus, yakni dalam hal seseorang melakukan tindakan pidana tidak hanya seseorang itu menghendaki tindakannya itu, tetapi ia juga menginsyafi tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana; dan 2) Kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloos begrip), yaitu dalam hal seseorang melakukan tindak pidana tertentu cukuplah jika atau hanya menghendaki tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya (batin) dengan tindakannya tidak disyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Kesengajaan jenis kedua inilah yang dianut dalam hukum pidana Indonesia dan sampai saat ini masih tetap dipandang sebagai yang lebih baik. Dalam KUH Pidana, sengaja adalah kemauan untuk melakukan perbuatanperbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Ada 2 (dua) teori yang berhubungan dengan teori sengaja yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan (teori membayangkan). Teori kehendak memandang bahwa sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sedangkan menurut paham teori pengetahuan (teori membayangkan) memandang bahwa sengaja adalah apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu tidak dibuat.8
7
EY. Kanter., dan SR. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 170. 8 Ibid. Hlm. 180
12
Unsur kesengajaan dibagi menjadi 3 (tiga), yakni : 1) Perbuatan yang dilarang; 2) Akibat yang menjadi pokok alasan diabaikan larangan itu; 3) Bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Menurut Moeljatno bentuk atau corak kesengajaan itu sendiri ada tiga yaitu ;9 1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (dolus als oogmerk atau opset als oogmerk), artinya kesengajaan yang bersifat mengandung suatu tujuan untuk mencapai sesuatu. 2. Kesengajaan
sebagai
zekerheidsbewuszijn
kepastian atau
dan
keharusan
(opzet
noodzakelijkheidbewustzijn),
met
artinya
kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi. 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk opzet), artinya kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian), bahwa suatu akibat akan terjadi, maka (opzetbijmogelijkheidsbewustzin) atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan. Kealpaan (Culpa) yaitu tidak ada niat untuk melakukan kejahatan, tetapi karena kurang hati-hatinya atau kecerobohannya. Ketentuan culpa menurut Pasal 359 KUHP yaitu: Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Kejahatan atau tindak pidana merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensi bagi berlangsungnya ketertiban sosial. 10 9
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 1993, hlm. 54
10 Saparinah Sadli dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara , CV. Ananta, Semarang, 1994, hlm.11
13
Berdasarkan pengertian di atas terlihat bahwa kejahatan atau tindak pidana tidak hanya merupakan masalah kemanusiaan saja tetapi juga merupakan masalah sosial. Dalam proses penegakan hukum pidana paling sedikit ada dua pihak yang terkait di dalamnya, yaitu pihak pelaku tindak pidana (offenders) dan pihak korban kejahatan (victims). Oleh karena itu maka kedua pihak tersebut harus mendapat perhatian yang seimbang. Dengan demikian dalam proses penyelesaian perkara pidana tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik dipandang dari sudut penegakan hukum pidana maupun dalam usaha penanggulangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Pentingnya pengkajian terhadap eksistensi korban kesusilaan, di samping dalam rangka meninjau hubungan korban dengan pelaku (victim offender relationship) untuk kepentingan proses peradilan pidana, baik dalam rangka menetapkan pertanggungjawaban pelaku, lebih-lebih juga dalam rangka menentukan bentuk dan besarnya restitusi dan atau kompensasi yang akan diterima oleh korban, Hal ini antara lain dimaksudkan sebagai sumbangan informasi bagi pihak yang berwenang dalam rangka menetapkan kebijakan penanggulangn kejahatan dengan berpijak pada perspektif korban. Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari normanorma atau kaidah kesopanan. Kesusilaan saat ini cenderung banyak terjadi kalangan masyarakat, oleh karena itu tinggi dan rendahnya spiritualitas (rohani) pada sebuah masyarakat berkaitan erat dengan segala prilakunya. Norma merupakan anggapan bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak harus berbuat, yang menjadi dasar dari norma adalah nilai. Nilai yaitu ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu masyarakat untuk menetapkan apa yang benar, yang baik dan sebagainya. Nilai lebih abstrak dari norma, disamping itu sistem nilai suatu bangsa, masyarakat atau golongan tidaklah sama, sehingga norma yang berlaku di suatu bangsa, masyarakat atau golongan tidak selalu berlaku pada bangsa, masyarakat atau golongan lain. Secara yuridis formal, kejahatan atau tindak pidana adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, sosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana.
14
Penderitaan yang dialami korban meliputi banyak aspek, namun demikian tidak semua aspek penderitaan korban tersebut dapat dilindungi atau diperhatikan dalam proses peradilan pidana dan oleh karena itu tidak dapat diharapkan semua aspek tersebut tercakup dalam kebijakan hukum pidana. Perlindungan kepada korban tindak pidana perlu mendapat perhatian, hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa dalam kehidupan masyarakat semua warga negara wajib atau harus berpartisipasi penuh, sebab masyarakat dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Tindak pidana kesusilaan ada juga yang bersifat universal. Universal dalam arti seragam bukan hanya dalam batas-batas negara, tetapi keseluruh negara-negara yang beradab. Delik susila menjadi ketentuan universal apabila : 1. Apabila delik tersebut dilakukan dengan kekerasan; 2. Yang menjadi korban adalah orang di bawah umur; 3. Apabila delik tersebut dilakukan dimuka umum; 4. Apabila korban dalam keadaan tidak berdaya dan sebagainya. 5. Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan obyek delik, misalnya guru terhadap muridnya. 11 Adapun pengertian Putusan Pengadilan menurut Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP): “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Dalam hal ini ada 2 (dua) sifat putusan dari hakim yaitu berdasarkan Pasal 191 Ayat (1) dan (2) KUHAP serta Pasal 3 Ayat (1) KUHAP, yaitu: a) Pasal 191 KUHAP menentukan: 1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. 11
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengena Kesopanan, Angkasa, Bandung, 2003, hlm.
57
15
2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. 3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan. b) Pasal 193 Ayat (1) KUHAP yang menentukan: Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Dari ketentuan di atas, maka ada 2 (dua) sifat putusan hakim yaitu: 1
Putusan pemidanaan, apabila yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
2
Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging).12 Hakikatnya putusan pemidanaan merupakan putusan hakim berisikan
suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan maka hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan.13 Pengertian disparitas penerapan pidana (disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas. 14 Disparitas pidana menurut Harkristuti Harkrisnowo dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun 12 Lilik Mulyadi, (Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan , Eksepsi dan Putusan Peradilan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.126 13 Ibid, hlm. 127 14 Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 52
16
demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim. 15 Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu: 1. Disparitas antara tindak pidana yang sama; 2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama; 3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim; 4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.16 Berdasarkan pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat ditemukan wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan. Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Sudarto pedoman bahwa pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.17
15
Harkristuti Harkrsnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia ”, KHN, Jakarta, 2003) hlm.28 16 Ibid, hlm. 49 17 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana , Alumni, Bandung, 1986, hlm. 9
17
Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat sudarto ini dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional.18 Setiap majelis hakim bebas untuk menyimpang dari patokan tersebut asal saja dengan memberikan pertimbangan yang cukup dalam putusannya. Faktor eksternal yang membuat hakim bebas menjatuhkan pidana yang bersumber pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 memberikan landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini telah memberikan jaminan terhadap kebebasan lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya, kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Faktor yang bersumber pada diri hakim terutama yang menyangkut profesionalitas dan integritas untuk menaruh perhatian terhadap perkara yang ditangani dengan mengingat tujuan pemidanaan yang hendak dicapai, maka terhadap perbuatan perbuatan pidana yang sama pun akan dijatuhkan pidana yang berbeda beda. 19 Menurut pendapat Oemar Seno Adji bahwa disparitas di dalam pemidanaan dapat dibenarkan, dalam hal sebagai berikut: 1
Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan terhadap penghukuman delik-delik yang agak berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan pembenaran yang jelas.
2
Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan apabila itu beralasan ataupun wajar. 20
18
Nurul Widiasih Disparitas pidana dalam kasus tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga di wilayah hukum. Tesis Jakarta, Bandar lampung, 2009, hlm. 56 19 Gregorius Aryadi, “Putusan Hakim dalam Perkara Pidana” (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta),Tesis, Yogyakarta hlm.33 20 Oemar Seno Adji, “Hukum-hukum Pidana ”, -Erlangga Jakarta, 1984, hlm. 28-29
18
BAB II. LANDASAN TEORI 2.1.
Tinjauan Umum mengenai Disparitas Pidana
2.1.1. Pengertian Pemberian Pidana Pemberian pidana dalam arti umum merupakan pembentuk undangundang karena asas legalitas, dirumuskan dalam bahasa Latin berbunyi: “nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali”. Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan undang-undang terlebih dahulu. Pembentuk undangundanglah yang menetapkan peraturan tentang pidananya, tidak hanya tentang crimen atau delictumnya, ialah tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana.
21
Didalam KUHP, azas ini terdapat dalam pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Istilah pemberian pidana pada dasarnya merupakan realisasi dari peraturan pidana dalam undang-undang karena seseorang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana (strafbaar feit). Dalam masalah istilah tersebut, Andi Hamzah lebih memilih penjatuhan pidana atau pemidanaan, karena istilah “pemberian” mengingatkan kita pada istilah “hadiah” sebagai sinonimnya, biasanya mengenai sesuatu yang menyenangkan, padahal pidana itu merupakan nestapa.22 Di dalam memberikan pidana untuk memutus perkara diperlukan pedoman dan aturan kepada hakim. A. Mulder mengatakan dalam Tijdshrift van het Strafrecht bahwa pedoman dan aturan pemberian pidana itu sangatlah urgen yang ditegaskan oleh pembentuk undang-undang, agar di dalam kebebasannya sebagai hakim, ada juga batasannya yang ditetapkan secara obyektif karena hakim juga mempunyai sejumlah titik kontrol yang harus diperhatikan sebelum menjatuhkan putusan berupa pemidanaan.23 Jadi, dari sini hakim mempunyai
21 Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktek Peradilan, Ghalia Indonesia, Cet. 1, Jakarta, 1984, hlm. 15. 22 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT Pradnya Paramita, Cet. II, Jakarta, 1993, hlm. 87. 23 Ibid, hlm. 18.
19
koridor yang jelas sebagai pelaksana dari undang-undang tersebut dan tidak sewenang-wenang dalam pemidanaan. Sudarto berpendapat,
24
bahwa apabila secara umum dan organisasi
infrastruktur sudah siap, maka badan-badan yang mendukung stelsel sanksi pidana dapat menetapkan pidana dengan menunjuk kepada berbagai bagian dari infrastruktur penitensier. Darisinilah dijumpai masalah pemberian pidana dalam arti yang sebenarnya. 2.1.2. Pengertian Disparitas Menurut pemikiran Molly Cheang dalam bukunya “Disparity of Sentencing sebagaimana disadur oleh Muladi, 25 yang dimaksud dengan disparitas pidana adalah “the imposition of unequal sentences for the same offence, or for offences or comparable seriousness, without a clearly visible justification”, yang artinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan, tanpa dasar pembenaran yang jelas. Disamping itu menurut Jackson yang dikutip oleh Muladi, maka tanpa merujuk legal category (kategori hukum), disparitas pidana dapat terjadi pada pemidanaan yang tidak sama terhadap mereka yang melakukan bersama suatu tindak pidana. Disinilah disparitas pemidanaan mempunyai dampak yang dalam, karena didalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana. 2.1.3. Teori-teori Pemidanaan 1). Teori Absolut atau Teori Pembalasan Menurut teori ini pidana yang dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est.).26 Jadi, dasar pijakan dari teori tersebut ialah pembalasan. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum baik pribadi, masyarakat maupun negara yang telah
24
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cet. 2, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 51. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Cet. 2, Alumni, Semarang, 1992, hlm. 119. 26 Ibid. hlm.10. 25
20
dilindungi. Oleh karena itu, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. 27 Adami Chazawi mengatakan bahwa setiap kejahatan harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatikan masa depan, baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Hal ini karena menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.28 Bila seseorang melakukan kejahatan, maka dampak yang timbul bagi korban khususnya dan masyarakat pada umumnya berupa suatu penderitaan baik fisik maupun psikis dengan perasaan tidak senang,amarah, tidak puas dan terganggunya ketentraman batin. Untuk memuaskan dan menghilangkan penderitaan tersebut, kepada pelaku kejahatan harus diberikan pembalasan yang setimpal. Immanuel Kant dalam bukunya “Philosophy of Law” seperti yang disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan sebagai berikut:29 “.......Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/ kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada didalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/ keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian, mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”.
27 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 66. 28 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Ed. I, Cet. 3, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 157-158. 29 Ibid. hlm. 11.
21
Jadi menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan sehingga seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan suatu kejahatan. 2). Teori Relatif atau Teori Tujuan Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.30 Pidana merupakan alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tersebut, maka pidana mempunyai tiga macam sifat, yaitu:31 (1) bersifat menakut-nakuti; (2) bersifat memperbaiki; (3) bersifat membinasakan. Kemudian sifat pencegahan dari teori ini ada dua macam, yaitu: 1). Pencegahan umum Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. 2). Pencegahan khusus Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam, yaitu: (a) menakut-nakuti; (b) memperbaiki, dan (c) membuatnya menjadi tidak berdaya.32
30
Ibid. hlm. 161 Ibid. hlm. 162. 32 Ibid. hlm. 165. 31
22
3). Teori gabungan Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari pejatuhan pidana. Teori gabungan ini terdiri dari dua golongan besar, yaitu:33 Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, teori ini berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat ini dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib(hukum) masyarakat. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat Thomas Aquino berpendapat bahwa dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan dan kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela yang bersifat pembalasan. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan pidana pada hakikatnya adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat. 2.1.4. Aliran-aliran dalam Hukum Pidana Dalam mengikuti aliran hukum pidana bertujuan agar berusaha memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat, bukan mencari dasar pembenaran dari pidana. Secara garis besar, aliran-aliran ini dapat dibagi menjadi tiga, yakni klasik, aliran modern dan aliran neo-klasik. 34 1). Aliran Klasik Timbulnya aliran ini merupakan reaksi terhadap “ancien regimc” yang arbitrair pada abad ke-18 di Perancis yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidak adilan. Aliran klasik ini berpijak pada tiga hal, yaitu:
33
Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 11-12. 34 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Ed. I, Cet. 3, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 61.
23
(1). Azas legalitas Menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang; (2) Azas kesalahan Bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan; (3). Azas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler Bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan. 2). Aliran Modern Aliran ini timbul pada abad ke-19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat. Aliran ini sering juga disebut aliran positif, karena ia dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Ciri-ciri aliran ini adalah sebagai berikut: (1). Rejected legal definition of crime and substituted natural crime “Natural” dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu yang tidak konvensional, sesuatu yang ada didalam kehidupan manusia didalam masyarakat, bebas daripada keadaan-keadaan dan urgensi-urgensi daripada masa tertentu atau pandangan-pandangan tertentu dari pembuat undang-undang. Jadi, “natural crime” dalam hal ini menggambarkan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan. (2). Let the punishment fit the criminal Menurut Cesare Lombroso salah seorang pelopor aliran ini, sepanjang setiap perilaku tindak pidana mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang berbeda-beda, adalah merupakan suatu kebodohan untuk menerapkan pidana yang sama kepada semua orang yang melakukan tindak pidana tertentu. (3). Doctrine of determinism
24
Doktrin ini menyatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan hasil interaksi antara kepribadian dan lingkungan hidup seseorang. Bukan pelaku tindak pidana yang menghendaki perbuatan pidana, tetapi situasilah yang mendorongnya demikian. Situasi dalam hal ini mencakup personal dan moral, sedangkan lingkungan hidup tersebut diatas menjadikannya sebagai mata rantai sebab akibat (kausalitas), eksternal dan internal yang menentukan dia sebagai penjahat. Oleh Enrico Ferri salah seorang pelopor aliran modern yang lain, hal ini disebut hukuman sebagai “law of criminal saturation” (hukum kejenuhan penjahat). (4). Abolition of the death penalty Menurut Vernon Fox hal ini juga tidak terlalu mutlak. Hal ini terbukti dari usul Raffaele Garofalo yang juga seorang pelopor aliran modern, untuk mempertahankan pidana mati bagi mereka yang melakukan tindak pidana sebagai
akibat
kerusakan
psikologi
yang
bersifat
permanen
yang
menjadikannya tidak layak hidup di masyarakat. (5). Empirical research use of the inductive method Menurut Stephen Schafer, kelahiran aliran positif pada akhir abad ke-18 melambangkan bahwa “the era of faith” telah lalu dan “scientific age” telah dimulai, didasarkan atas penemuan-penemuan ilmiah, baik ilmu-ilmu alam, sebagai landasan filsafat individualisasi serta pembinaan narapidana secara ilmiah. (6). Indeterminate sentence Pidana yang tidak ditentukan secara pasti ini sesuai dengan pandangan Lambroso yang menyatakan bahwa “different criminal have different needs”. Dalam hal ini, keputusan tentang pidana diserahkan kepada pengadilan. Undang-undang dalam hal ini hanya menentukan alternatif-alternatif dalam batasan-batasan minimum dan maksimum yang diperkenankan oleh undangundang. Berpijak pada aliran ini, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya
25
perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologisnya maupun faktor lingkungan kemasyarakatannya. 35 Oleh karena itu aliran tersebut
bertitik tolak pada pandangan
determinisme, karena manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak, tapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya, maka ia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Pada tahun-tahun setelah perang dunia II, aliran modern ini berkembang menjadi aliran atau gerakan perlindungan masyarakat (social defence) yang memusatkan tujuannya pada pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelaku tindak pidana (the prevention of crime and the treatment of offenders). 3). Aliran Neo Klasik Aliran ini berkembang selama abad ke-19 dan mempunyai dasar yang sama dengan aliran klasik dengan “doctrine of free wiil”-nya, tetapi dengan modifikasi tertentu. Adapun karakteristik dari aliran ini adalah:36 (1). Modifikasi dari “doctrine of free will”, yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa, atau keadaankeadaan lain. (2) Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating circumstances) baik fisikal, lingkungan maupun mental. (3) Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringanan pidana dengan pertanggungjawaban sebagian, didalam hal-hal khusus. Misalnya gila, dibawah umur dan keadaan-keadaan lain yang mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya kejahatan. (4). Diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert testimony) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban. Aliran ini sebenarnya berpangkal dari aliran klasik yang dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi aliran modern. Dari perbandingan karakteristik aliran-aliran tersebut di atas, menurut hemat penulis haruslah 35 36
Barda Nawawi Arief, loc.cit., hlm. 32. Ibid, hlm. 65.
26
konsisten dengan segala konsekuensinya di dalam menganut salah satu aliran di atas. Di dalam hal disparitas pidana, yang paling urgen adalah sampai sejauh manakah disparitas tersebut mendasarkan diri atas “reasonable justifications”. 2.2. Tinjauan Umum mengenai Hakim 2.2.1.Tinjauan Historis Kebebasan Hakim Di dunia ini tidak dijumpai satu sistem hukum saja, melainkan lebih dari satu. Pengertian sistem hukum (legal system), menurut Lawrence M. Friedman, yang dikutip oleh Syarifuddin Pettanasse, dapat dijabarkan ke dalam tiga komponen. 37 Komponen yang pertama bersifat struktural. Dalam hal ini adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu dari lembaga-lembaga semacam itu adalah pengadilan. Komponen kedua adalah komponen bersifat substantif. Ia merupakan segi output sistem hukum. Ke dalam pengertian ini dimaksudkan norma-norma hukum itu sendiri, baik ia berupa peraturan, doktrin, keputusan-keputusan sejauh semuanya itu digunakan baik pihak yang diatur manapun yang mengatur. Komponen substantif ini tidak terikat pada formalitas tertentu, seperti apakah ia undang-undang
ataukah
kebiasaan-kebiasaan
yang
belum
mendapatkan
pengakuan secara formal. Yang penting apakah ia digunakan dalam masyarakat. Komponen yang terakhir adalah yang bersifat kultural, yang oleh Friedman disebut sebagai komponen vital. Dikatakan demikian karena ialah yang merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara sistem hukum yang satu dengan lainnya. Pada dasarnya kita mengenal beberapa sistem hukum yang berbeda bahwa setiap negara mempunyai sistem hukumnya sendiri. Civil Law System digunakan di Indonesia sebagai sistem hukum yang dimulai dengan perumusan hukum yang abstrak, dimana hukum diidentikkan dengan 37
Syarifuddin Pettanasse, Peranan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Sebagai Salah Satu Faktor Yang Mempengaruhi Pencegahan Kejahatan, Tesis, Semarang, Undip, 1988, hlm. 29.
27
undang-undang, kemudian atas dasar perantaraan hakim rumusan-rumusan abstrak tersebut lalu diterapkan terhadap kasus konkrit, baru hukumnya muncul yang sering disebut kaedah konkrit. Pandangan tentang hukum yang formal abstrak ini akan melahirkan pertanyaan tentang bagaimana hubungan antara perumusan formal abstrak dari hukum itu, yang selanjutnya disebut undangundang dan hakim. Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, berikut ini akan diuraikan berturut-turut pandangan aliran yang terkenal. Aliran-aliran tersebut adalah: 1) Aliran Legisme Umumnya para ilmuwan (hukum) berpendapat bahwa para ahli hukum Romawilah yang menghendaki peraturan hukum itu hendaknya dituliskan, bukan itu saja hendaknya peraturan hukum itu ditetapkan dengan pasti dalam kitab undang-undang dan hanya himpunan undang-undanglah yang hendak dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum. Menurut ajaran Trias Politica Montesquieu, dalam rangka pemindahan kekuasaan, tugas pembentukan hukum adalah semata-mata hak luar biasa dari pembentuk undang-undang. Teori kedaulatan dari rakyat adalah kekuasaan yang tertinggi, sedang undang-undang adalah sebagai pernyataan kehendak itu. Sesuai dengan teori Montesquieu ataupun J.J. Rosseau, aliran legisme berpendapat, bahwa kedudukan pengadilan adalah pasif, ia hanya terompet undang-undang dan bertugas memasukkan hal yang konkrit dalam peraturan perundang-undangan. Yang berkuasa untuk merubah hukum adalah pembentuk undang-undang. Hakim dan para anggota masyarakat harus berpikir dalam suatu sistem yang dianut oleh pembentuk undang-undang.38 Undang-undang yang sudah ditetapkan itu tidak akan berubah, sedangkan manusia tidak pernah berhenti dan perkembangan itu selalu akan menimbulkan peristiwa baru. Oleh karena itu beberapa permasalahan akan diserahkan kepada kebiasaan, para sarjana hukum dan pendapat hakim. Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Tarsito, Bandung, 1977, hlm. 49. Lihat juga: Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.6, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 159-162. 38
28
2) Aliran Begriffsjurisprudenz dan Rechtsvinding Menurut Soedjono seperti halnya telah dikutip oleh Sudarsono benar bahwa hakim terikat pada undang-undang, akan tetapi tidaklah seketat seperti pandangan aliran legisme. Karena hakim juga memiliki kebebasan apa yang dinamakan “kebebasan yang terikat” atau “keterikatan yang bebas”. Oleh sebab itu, maka tugas hakim disebutkan sebagai upaya melakukan rechtsvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman. 39 Aliran ini berpendapat bahwa sekalipun benar undang-undang tidak lengkap, akan tetapi ia tetap dapat memenuhi kekurangannya sendiri. Oleh karena itu mempunyai daya ekspansi. Lebih lanjut dikatakan oleh aliran ini, bahwa meskipun undang-undang itu mempunyai daya yang meluas, akan tetapi cara memperluas hukum itu hendaknya norm logisch dan hendaknya dipandang dari segi dogmatik, sebab hukum itu merupakan satu kesatuan atau struktur tertutup logis, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Brinz, bahwa ia adalah suatu Logische Geschlossenheit. Menurut pandangan aliran ini tugas hakim ialah semata-mata pekerjaan intelek, hakim adalah subsumtie otomat, hakim sama sekali tidak membentuk hukum, bahkan hanya membuka tabir pikiran-pikiran yang terletak dalam undang-undang. Hakim hanya mengisi kekosongan tersebut dengan jalan membuat konstruksi hukum. Misalnya dengan jalan abstraksi, determinasi, argumentum acontrario dan lain-lain. 3) Aliran Interessenjurisprudenz atau Freirechtsschule Mereka yang tidak dapat menerima dasar-dasar pikiran, aliran legisme dan Begriffsjurisprudenz antara lain H. Kantorowicz, E. Erlich, O. Bulow, E. Stampe, E. Fuchs, menyatakan bahwa undang-undang tidak lengkap, ia bukanlah satusatunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam menemukan hukum itu. Lebih lanjut dikatakan oleh penganut aliran ini, bahwa demi untuk mencapai keadilan hakim, bahkan menyimpang dari undang-undang.40 39
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. III, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm.116-
117. 40
Ibid. hlm. 93-94.
29
Menurut mereka hanya undang-undang yang sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan keadilanlah yang harus dilaksanakan oleh para pejabat (termasuk hakim) yang dijadikan parameter dari keyakinan hakim sendiri, yang kedudukannya bebas semutlak-mutlaknya. Dikatakan oleh aliran ini bahwa hakim mempunyai kebebasan, bukan saja untuk menambah kekosongan undang-undang, akan tetapi juga untuk memperbaiki dan kalau perlu menghapuskan undangundang, apabila dianggapnya bertentangan dengan apa yang mereka sebut Fretes Rechts. Kelemahan dari aliran ini akan menimbulkan ketidak hormatan terhadap undang-undang dan seterusnya kepada kepastian hukum, akan hilang karena faktor-faktor subyektif yang ada pada hakim sendiri. Sebab mau tidak mau hakim dan para alat-alat administrasi negara dalam prakteknya terpengaruh atau terikat oleh kepentingankepentingan terdekat yang mengelilinginya, baik kepentingan pribadi, maupun kepentingan keluarga, teman, golongan dan sebagainya. Apa yang disebut dengan kepentingan dan kesadaran atau rasa keadilan masyarakat akan merosot menjadi kepentingan, kesadaran atau rasa keadilan subyektif sang hakim. 4) Aliran Soziologische Rechtsschule Pokok pikiran dari aliran ini adalah terutama hendak menahan dan menolak kemungkinan kesewenangan dari hakim dalam rangka penerapan suatu aturan hukum menurut aliran Freirechtsschule. Mereka pada dasarnya tidak setuju adanya kebebasan bagi para pejabat hukum untuk mengenyampingkan undangundang sesuai dengan perasaannya, undang-undang tetap harus dihormati. Sebaliknya memang benar hakim mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas dalam rangka undang-undang. Menurut mereka, hakim hendaknya mendasarkan putusan-putusannya pada peraturan undang-undang, tapi tidak kurang pentingnya, supaya putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan terhadap asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Dan hanya yang demikian inilah dapat disebutkan “hukum yang sebenarnya” (het recht der werkeljkheid).
30
5) Aliran Sistem Hukum Terbuka Pandangan dan pendapat dari aliran terdahulu adalah berat sebelah, kadang-kadang terlalu mengutamakan dogma, kepastian hukum dengan mendudukkan hakim sebagai subsumtie otomat saja, dan kadang-kadang sebaliknya terlalu mementingkan peranan hakim atau kenyataan-kenyataan sosial. Dalam tiap-tiap aliran tersebut terdapat sesuatu yang dapat dibenarkan dan aliran sistem terbukalah yang meletakkan persoalan hubungan antara undangundang dan hakim secara lebih tepat. Aliran ini diwakili oleh Paul Scholten yang telah memberikan penjelasan pada pokoknya mengatakan “hukum itu merupakan suatu sistem”, ialah bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain, bahwa peraturanperaturan tersebut dapat disusun sistematik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga sampailah pada asas-asasnya. 41 Hukum
adalah
suatu
himpunan
kaedah-kaedah
yang
diperoleh
kewibawaannya peristiwa-peristiwa sejarah dan masyarakat, kaedah mana harus dilaksanakan oleh pendukung dari kaedah tersebut. Oleh karena itu hukum adalah sekaligus himpunan kaedah-kaedah dan himpunan tindakan dari badan perundang-undangan, hakim, administrasi dan setiap orang berkepentingan. Dengan kata lain, hukum itu dinamis, bukan saja pembentukan baru secara sadar oleh badan perundang-undangan, tapi juga karena pelaksanaannya di dalam masyarakat. Pelaksanaan itu selalu disertai penilaian, baik sambil membuat konstruksi-konstruksi hukum ataupun penafsiran terhadap undang-undang itu. Dalam hubungan ini tidak boleh kita pandang, badan perundang-undangan pekerjaannya membentuk hukum sedang pada hakim adalah “keadaan yang terikat” lebih pimer. Dan badan perundang-undangan untuk menemukan kontinuitas dengan yang lama, sedang hakim dalam mempertahankan hukum itu, turut menambahkan sesuatu yang baru, seraya mendapatkan hubungan yang telah ada.
41
Sudarsono, loc.cit., hlm. 120.
31
2.2.2. Kebebasan Hakim di Indonesia Wajah peradilan di Indonesia tidaklah terlepas dari pelaku-pelaku yang terlibat (stakeholders) atau mengambil peran dalam proses peradilan, utamanya adalah aparat penegak hukum yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara dan Pejabat Pemasyarakatan. Mereka inilah yang akhirnya memberi warna pada wajah peradilan. Diantara aparat penegak hukum tersebut, yang dipandang paling dominan dalam melaksanakan law enforcement adalah hakim. Hakim inilah tempat tujuan terakhir bagi masyarakat pencari keadilan yang menentukan putusan terhadap suatu perkara dengan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan sesuaidengan hati nuraninya. Berbicara masalah relasi antara undang-undang dan hakim, dalam rangka menerapkan aturan ke dalam suatu kejadian yang konkrit, sebenarnya menyangkut masalah kebebasan hakim. Apabila dialihkan perhatian pada dunia peradilan yang ada di negara Indonesia, maka yang perlu mendapat sorotan adalah masalah kebebasan hakim. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamh Agung dan peradilan di bawahnya yaitu : (1) lingkungan peradilan umum; (2) lingkungan peradilan agama; (3) lingkungan peradilan militer; (4) lingkungan peradilan tata usaha negara, serta oleh Mahkamh Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 2 UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti Pengadilan. Berhakim artinya minta diadili perkaranya; mengahikimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, ada kalanya istilah hakim dipakai oleh orang budiman, ahli dan orang bijaksana. Dengan demikian fungsi seorang hakim adalah seorang yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada pengadilan,
32
seperti yang diatur dalam pokok-pokok kekuasaan kehakiman tercantum pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yang diserahkan kepada badanbadan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (Mengadili), mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini (Pasal 1 ayat (9) KUHAP), ia tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui hokum Curialus Novit. Jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum, jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya. Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memepertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009). Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera (Pasal 30 ayat (1) UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009). Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Di dalam praktek ada kalanya hakim enggunakan bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau ditanyakan si hakim. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
33
2.2.3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Memproses untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili. Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya perkara pidana tidak jarang kita temui bahwa untuk menyelesaikan satu perkara tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, bisa sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin bisa sampai satu tahun lamanya baru bias terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan. Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan. Berbicara tentang masalah tujuan putusan bebas didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Sehingga bilamana suatu hukum atau Undang-undang tidak mempunyai tujuan, tentunya acara pegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan berjalan dengan suatu ketidakpastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri. Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan untuk menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi
34
terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak memerlukan argumentasi konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelanggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum Indonesia. Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau ditetrapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah apa yang
ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian,
kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya. Dasar pertimbangan hakim harus berdasarkan pada keterangan saksi-saksi, barang bukti, keterangan terdakawa, dan alat bukti surat dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, serta unsur-unsur pasal tindak pidana yang disangkakan kepada terdakwa. Karena putusan yang dibuktikan adalah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Selain itu juga dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa harus berdasarkan keterangan ahli (surat visum et repertum), barang bukti yang diperlihatkan di persidangan, pada saat persidangan terdakwa berprilaku sopan, terdakwa belum pernah di hukum, terdakwa mengakui semua perbuatannya dan apa yang diutarakan oleh terdakwa atau saksi benar adanya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Unsur-unsur pasal Pasal 284 ayat (1) KUHP, Pasal 285 KUHP, Pasal 286 KUHP, Pasal 287 (1) KUHP, 289 KUHP, 290 KUHP, 294 (1) KUHP serta dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undangundang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga terpenuhi. Jadi berdasarkan hal-hal di atas hakim bisa menjatuhkan hukuman yang sebenar -benarnya dan seadil-adilnya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
35
Hakim yang merupakan aparat penegak hukum (dalam arti sempit) kedudukannya secara konstitusional dijamin oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, yang pada Bab IX Pasal 24 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan sebagai berikut: Ayat (1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukumdan keadilan. Ayat (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ayat (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubungan dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukannya para hakim. Kemudian Pasal 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan pula bahwa: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Sebagai lanjutan atas Pasal 1 di atas, disebutkan pada Pasal 2 yaitu: “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Penjelasan dari pasal tersebut menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,
36
kecuali dalam hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Ketentuan di atas jelas, bahwa pada hakikatnya kekuasaan hukum peradilan ialah melalui pengadilan dalam menyelesaikan dan mengadili setiap perkara yang diajukan, untuk menegakkan hukum dan keadilan, dimana kesemuanya itu pelaksanaannya terletak di pundak hakim. Dapatlah dikatakan di sini, bahwa hakim mempunyai “figur” dari hukum dan keadilan atau seringkali orang mengatakan bahwa hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah merupakan benteng terakhir dari keadilan. Namun, perlu diketahui bahwa kebebasan hakim bukanlah dimaksudkan sebagai hak istimewa dari para hakim untuk dapat berbuat sebebas-bebasnya. Dalam pengertian kebebasan hakim disini adalah menyangkut masalah: 1). Sifat kebebasan hakim Tugas hakim dalam menyelenggarakan peradilan adalah menegakkan hukum, yang didalamnya tersimpul bahwa hakim sendiri dalam memutuskan suatu perkara, harus juga berdasarkan hukum. Artinya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Sebab hakim bertugas mempertahankan tertib hukum menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara yang diajukan kepadanya. Para pihak yaitu jaksa, penasehat hukum, korban, terdakwa serta seluruh masyarakat (dalam hal perkara yang sedang diperiksa oleh hakim menarik perhatian umum). Mereka mengharapkan bahwa hakim itu akan menjalankan hukum yang berlaku atas kasus yang ditanganinya, tidak hanya sesuai dengan hukum, namun juga sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal tersebut ditegaskan di dalam Bab IV mengenai Hakim dan Kewajibannya pada Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:
37
Ayat (1) hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ayat (2) dalam mempertimbangkan berat-ringannya pidana, hakim wajib memerhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Dari pasal di atas mengandung makna bahwa sifat kebebasan hakim itu merupakan suatu keharusan yang diberi batas-batas oleh peraturan yang berlaku, sebab hakim di beri kebebasan hanya seluas dan sejauh hakim dengan keputusannya itu untuk mencapai suatu keadilan dalam menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai living law dalam masyarakat serta mempertimbangkan berat-ringannya pidana dan sifat-sifat dari terdakwa. 2) Seberapa jauh kebebasan hakim dalam menangani semua perkara Menurut
Sudarto,
bahwa
ada
pembatasan
kebebasan
hakim
dalam
melaksanakan tugas peradilan dipandang dari segi lain bahwa dalam suatu pelaksanaan tugas/ wewenang judisialnya, sifat kebebasan hakim ini tidak mutlak. Sebab tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Bahkan yang tersebut dalam ketentuan Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman menyatakan bahwa putusan hakim tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Selanjutnya Hapsoro mengemukakan yang juga disadur oleh Syarifuddin Pettanase bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara baik pidana maupun perdata, hakim terlebih dahulu harus mencari ketentuan-ketentuan hukum mana yang akan diterapkan terhadap kasus yang bersangkutan, kemudian mungkin menafsirkan ketentuanketentuan hukum yang akan dipergunakan. Untuk ini hakim kadangkadang harus mencari dasar-dasar dan asas-asas yang menjadi landasannya dalam masyarakat. Sebab tiap tatanan, termasuk tatanan hukum, berdasarkan pada kenyataan sosial, yaitu kenyataan sosial pada saat hukum itu dibuat. Paulus Effendie Lotulung menyatakan bahwa hakekat independensi kekuasaan kehakiman tidaklah sebebas-bebasnya tanpa ada atasan secara absolut. Sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak terbatas, 38
atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa ini di dunia maupun akhirat. Kekuasaan kehakiman yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu sehingga dalam Konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa: “Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”.42 Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial atau materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan “Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem".43 Dengan demikian kebebasan Hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi ia dibatasi oleh rambu-rambu berikut : (1). Akuntabilitas; (2). Integritas moral dan etika; (3). Transparansi; (4). Pengawasan (kontrol); (5). Profesionalisme dan impartialitas. Atas dasar uraian tersebut di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa kebebasan hakim dalam memutus perkara dibatasi dalam dua arah, yaitu: Arah hierarki, adalah dalam penguasaan hakim yang lebih tinggi; dan arah lingkungan/masyarakat dimana ia berada.
42
Paulus Effendi Lotulung, dalam makalahnya: Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, yang disampaikan pada “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” dengan tema “Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI di Denpasar, 14-18 Juli 2003. 43 Ibid. hlm. 56.
39
2.3. Tujuan Hukum Tindak Pidana Asusila Kejahatan seksual di dalam KUHPidana tertuang dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur pada Pasal 284 sampai Pasal 296 KUHPidana. Didalamnya diatur tentang kejahatan seksual antara lain perbuatan zina, perkosaan dan perbuatan cabul yang secara keseluruhannya kejahatan terhadap kesusilaan. 44 Berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan, bahwa sebagai makhluk sosial tidak bisa dipungkiri bahwa perbuatan asusila atau tindakan kesusilaan akan terjadi dan menimpa kepada setiap orang yang tidak memandang latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan jabatan. Melainkan disebabkan karena lemahnya kontrol diri, lemahnya iman sesuai dengan agama yang dianutnya. Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan. Kesusilaan saat ini cenderung banyak terjadi kalangan masyarakat, oleh karena itu tinggi dan rendahnya spiritualitas (rohani) pada sebuah masyarakat berkaitan erat dengan segala prilakunya. Norma merupakan anggapan bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak harus berbuat, yang menjadi dasar dari norma adalah nilai. Nilai yaitu ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu masyarakat untuk menetapkan apa yang benar, yang baik dan sebagainya. Nilai lebih abstrak dari norma, disamping itu sistem nilai suatu bangsa, masyarakat atau golongan tidaklah sama, sehingga norma yang berlaku di suatu bangsa, masyarakat atau golongan tidak selalu berlaku pada bangsa, masyarakat atau golongan lain. Secara yuridis formal, kejahatan atau tindak pidana adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, sosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana.
44
Hermien Hadiati Koeswati, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya, Jakarta, 1995, hlm. 231
40
41
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dimana pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kaidah-kaidah atau norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.
Pendekatan tersebut
dimaksudkan untuk
mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori dan literature-literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas. 2.2. Sumber dan Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Wawancara dengan narasumber dilakukan sebagai pelengkap data sekunder. Data Sekunder adalah data yang didapat langsung dari peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen. Data Sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu: 1) Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat yaitu: a) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, f) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, g) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, h) Undang-Undang
Nomor
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman Republik Indonesia, 42
i) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2) Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang menjelaskan bahan hukum primer yang berupa literature-literatur, teori-teori yang berhubungan dengan pokok pembahasan. 3) Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder terdiri dari kamus besar Bahasa Indonesia, Bahasa Asing, kamus hukum, media cetak, majalah dan bahan lainnya. 3.3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.3.1. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan (library research), studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mencatat, dan mengutip data peraturan perundangundangan serta literature-literatur yang berkaitan dengan pokok bahasan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan secara langsung kepada Hakim Pengadilan Negeri Sukadana sebanyak 2 ( dua) orang. 3.3.2. Prosedur Pengolahan Data Adapun tahapan-tahapan pengolahan data dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Identifikasi data yaitu mengidentifikasi data yang berhubungan dengan permasalahan. 2) Seleksi data yaitu memeriksa dan meneliti kembali data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan masalah yang dibahas. 3) Klasifikasi data yaitu mengelompokan data yang ada sesuai dengan pokok bahasan yang telah disusun berdasarkan sitematika bahasan. 4) Sistematika data yaitu penyusunan data secara sistematis sehingga memudahkan dalam menganalisis data. 3.4. Analisis Data Data yang sudah diolah kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu mendiskripsikan data ke dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sitematis dan dapat memberikan gambaran secara umum tentang jawaban permasalahan yang 43
diteliti. Dari analisis tersebut dapat diperoleh kesimpulan mengenai Faktor penyebab dapat terjadinya disparitas putusan hakim terhadap Tindak Pidana Asusila
pada
Putusan
Nomor
111/Pid.B/2012/PN.SKD
dan
Nomor
270/Pid.B/2012/PN.SKD di Pengadilan Negeri Sukadana serta Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana asusila di Pengadilan Negeri Sukadana.
44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.
Hasil Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Sukadana Berdasarkan penelitian di Pengadilan Negeri Sukadana, menurut Bapak Syamsir selaku Panitera Sekretaris menyatakan sejarah berdirinya Pengadilan Negeri Sukadana diresmikan pada tanggal 6 Desember 2004 oleh Bapak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pada saat itu dijabat oleh Bapak Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH.MCL dimana seremoni dipusatkan di Menggala dan bersamaan dengan peresmian 3 Pengadilan Negeri lainnya yaitu Pengadilan Negeri Menggala, Pengadilan Negeri Blambangan Umpu dan Pengadilan Negeri Gunung Sugih. Pada tanggal 13 Desember 2004. Ketua Pengadilan Negeri Sukadana yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Kaswanto, SH mengambil sumpah dan melantik Bapak Drs. Syamsir, SH,MH sebagai Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Sukadana. Pada bulan januari 2005 ketua Pengadilan Negeri Sukadana yang saat itu masih dijabat Bapak Kaswanto, SH, Telah mengambil sumpah dan melantik Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sukadana yang pertama yaitu bapak Didik Wuryanto,SH,M.Hum. Dibulan yang sama datang hakim-hakim Pengadilan Negeri Sukadana yaitu Bapak Yudi Prayitno, SH., Bapak Tohari Tapsiria, SH., Nendi Rusnendi, SH., Edi Junaedi SH., dan Nur Sari Baktiana, SH. Sehingga pengadilan Negeri Sukadana dapat menyidangkan perkara sebagaimana mestinya walaupun panitera penggantinya hanya satu dan jumlah pegawainya hanya 15 orang. Saat diresmikan oleh Bapak Ketua Mahkamah Agung RI Pengadilan Negeri Sukadana masih dalam keadaan yang jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan contohnya kertas selembar saja belum ada apalagi register-register serta halaman kantor yang penuh semak belukar dan rumput ilalang sedangkan pada saat itu Pengadilan Negeri sukadana harus segera beroperasi dan harus segera sidang, akan tetapi dengan kesabaran semuanya bias berjalan.
45
Seiring berjalannya waktu, Pengadilan Negeri Sukadana terus berbenah dan terus mengejar ketertinggalan dari Pengadilan Negeri lain di wilayah Lampung, dan saat ini Pengadilan Negeri Sukadana telah meluncurkan Sistem Informasi Peradilan yang berbasis pada Pedoman Administrasi Peradilan dan dikombinasikan dengan tuntutan transparansi dari masyarakat, sehingga masyarakat pencari keadilan dapat memonitor setiap pergerakan perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Sukadana dengan menggunakan Sistem Pelacakan Berkas Perkara yang terdapat di Pengadilan Negeri Sukadana. Adapun Hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Kelas II Sukadana adalah sebagai berikut: Yusnawati, SH, Ari Qurniawan, SH,MH., Ita Denie Setiawati, SH., Wasis Priyanto, SH,MH., Teti Hendrawati, Amd, SH, MH., Nur Efriyanti Meliana, SH,MH., Andi Barkan Mardianto, SH., Ria Agustien, SH. 4.1.2. Putusan Perkara Tindak Pidana Asusila yang Mengadung Disparitas di Pengadilan Negeri Sukadana Berdasarkan penelitian di Pengadilan Negeri Sukadana menurut Ibu Nur Efriyanti Meliana selaku Hakim, menyatakan tentang Perkara Asusila, yaitu : a. Putusan Nomor 111/Pid.B/2012/PN.SKD Pengadilan Negeri Sukadana yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana pada pengadilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara terdakwa: Nama Lengkap
: Hairudin bin Mangun Suwito
Tempat Lahir
: Ngesti Karya (Lampung Timur)
Tanggal Lahir/umur
: Tahun 1976 / 35 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat Tinggal
: Dusun Ngesti Widodo Desa Ngesti Karya Kec.Waway Karya Lampung Timur.
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tani
Pendidikan
: SMP (Tamat)
46
Telah mendengar tuntutan pidana Penuntut Umum yang pada pokoknya berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan, karenanya menuntut supaya Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan terdakwa Hairudin bin Mangun Suwito bersalah melakukan tindak pidana percobaan pemerkosaan sesuai dakwaan kesatu kami sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 285 KUHP jo Pasal 53 ayat 1 KUHP; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama l (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap berada ditahanan; 3. Menyatakan Barang bukti berupa : -
1(satu) buah senjata tajam berupa golok;
Dirampas untuk dimusnahkan; -
1(satu) helai pakaian kerneia warna merah dengan corak kotak- kotak
-
1(satu) helai celana dasar paniang warna cream
-
1(satu) helai celana dalam pria warna hitam
Dikembalikan kepada yang berhak yakni terdakwa hairudi bin Mangun Suwito; - 1(satu) buah mukenah wama putih dengan corak bunga berwarna ungu; Dikembalikan kepada yang berhak, yaitu saksi korban Desi Nilawati binti Saparman; 4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,(seribu rupiah); Menimbang, bahwa atas tuntutan pidana tersebut terdakwa menyampaikan pembelaan secara lisan yang pada pokoknya memohon kepada Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yang seringan-ringannya kepada terdakwa dengan mengemukakan alasan terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
47
Menimbang bahwa atas permohonan yang diajukan oleh terdakwa, Penuntut Umum menyatakan tetap pada tuntutan dan terdakwa tetap pada pembelaannya. Menimbang, bahwa terdakwa diajukan kepersidangan dengan dakwaan sebagai berikut : DAKWAAN : KESATU : Bahwa ia terdakwa Hairudi bin Mangun Suwito, pada hari Rabu tanggal 14 Maret 2012 sekira pukul 23.00 WIB atau setidak – tidaknya pada waktu tertentu yang masih di bulan Maret 2012, bertempat di kamar tidur saksi korban Desi Nilawati binti Suparman di dalam rumah saksi Sumiati binti Sudari di Dusun Ngesti Karya Kecamatan Waway Karya Kabupaten Lampung Timur atau setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Neger Sukadana yang berwenang memeriksa dan mengadili, mencoba dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, yang tidak selesainya pelaksanaan bukan semata mata disebabkan karena kehendaknya sendiri Perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut : Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, bermula terdakwa Hairudin bin Mangun Suwito yang ditinggai selama 3 (tiga) bulan oleh istri untuk bekerja di Jakarta dan selama itu juga terdakwa senng melihat film porno dihandphone serta sering melihat saksi korban Desi Nilawati binti Suparman mandi dengan lapis kain dikamar mandi tepatnya dibelakang rumah saksi Sumiati binti Sudari hal tersebut membuat nafsu birahi terdakwa terangsang kemudian tepatnya hari Rabu tanggal 05 Maret 2012 sekira pukul 20:00 Wib terdakwa yang baru saja sebelumnya melihat film porno dihandphone dan terdakwa teringat akan kemontokan saksi korban Desi Nilawati binti Suparman saat mandi kemudian terdakwa memutuskan untuk menyetubuhi saksi korban Desi Nilawati binti Suparman yang memang tinggal dirumah saksi Sumiati binti Sudari yang bersebelahan dengan rumah terdakwa selanjutnya terdakwa menjalankan pikirannya tersebut dengan mengendap-endap dinding belakang rumah saksi Sumiati binti Sudari sambil menunggu saksi Desi Nilawati Binti Suparman dan saksi Sumiati Binti Sudari yang biasanya akan kekamar mandi untuk mengambil
48
air wudhu saat itu terdakwa membawa l (satu) bilah golok yang rencananya untuk digunakan mendongkel pintu masuk rumah saksi Sumiati Binti Sudari bila terkunci, namun tak lama kemudian saksi Desi Nilawati Binti Suparman dan saksi Sumiati Binti Sudari keluar rumah menuju kamar mandi dibelakang rumah, saat itulah terdakwa langsung masuk rumah saksi Sumiati Binti Sudari dan terdakwa yang memang tahu kamar saksi Desi Nilawati Binti Suparman selanjutnya terdakwa langsung masuk kamar dan bersembunyi di bawah dipan tempat tidur untuk menunggu saksi Desi Nilawati Binti Suparman tidur dikamar tersebut. Setelah itu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang akan tidur kemudian masuk kedalam kamarnya dimana terdakwa telah bersembunyi tersebut dan di dalam kamar sebelum tidur saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman mengunci pintu kamar lalu naik ke atas dipan tempat tidur dan saat itu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman sempat mendengarkan suara di bawah dipannya namun saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman tidak menaruh curiga lalu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman lalu tertidur kurang lebih 1 (satu) jam kemudian terdakwa yang mendengar kalau saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman telah tertidur lelap kemudian terdakwa keluar dari bawah dipandang langsung melihat kemolekan tubuh saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman saat itu terdakwa langsung melepaskan baju serta celananya hanya meninggalkan celana dalamnya kemudian terdakwa yang melihat kemolekan tubuh tersebut membuat alat kelamin terdakwa tegang dan mengakibatkan nafsu birahi terdakwa meningkat untuk menyetubuhi saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang diketahui terdakwa adalah istri sah dari saksi Muhamad Rohli Bin Mangun Suwito dan bukan merupakan istrinya lalu terdakwa langsung mengambil 1(satu) buah mukena milik saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dan langsung naik diatas dipan tempat tidur saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dan menindihkan tubuhnya ke atas tubuh saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman sedangkan kedua tangan terdakwa menyumpal kuat mulut saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dengan menggunakan mukenah agar tidak berteriak lalu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang kaget atas perlakuan terdakwa tersebut langsung berontak untuk melepaskan tubuhnya dari tubuh terdakwa dan berusaha melepaskan dekapan terdakwa dengan cara menendang terdakwa
49
menggunakan kakinya yang mengakibatkan terdakwa terjungkal kemudian saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman
berteriak minta tolong hal tersebut
didengar oleh saksi Sumiati binti Sudari yang saat itu memang belum tertidur kemudian saksi Sumiati binti Sudari langsung menuju kamar saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dan mengatakan enek opo to la?" dalam bahasa Indonesia ,,ada apa ra ,dan saksi Desi Nilawati Binti Suparman menjawab ,iki lho mak, hairudin mbekep cangkemku wonge wis arepe ndemeni aku,,dalam bahasa Indonesia ini lho mak Hairudin menyumpal mulutku dan dia ingin menyetubuhiku karena perbuatan terdakwa telah diketahui oleh saksi Sumiati binti Sudari lalu terdakwa membuka pintu kamar dan keluar dari kamar hanya dengan menggunakan celana dalam saja dan saat keluar kamar tersebut terdakwa melihat saksi Sumiati binti Sudari dan terdakwa langsung mengatakan "iki tho, akibate bojo ku rungo dadi bojone ti, yo tak demeni"dalam bahasa Indonesia "Ini akibat dari istriku pergi jadi istrinya Li yang tak setubuhi"selanjutnya terdakwa langsung berlari keluar rumah saksi Sumiati binti Sudari melalui pintu dapur rumah. Dan selanjuta nya perbuatan terdakwa tersebut oieh saksi Desi Nilawati Binti Suparman dan saksi Sumiati binti Sudari langsung diberitahu oleh saksi Sumargo bin Rakim dan saksi Yuswanto bin Wongso Atmo dan kemudian perbuatan terdakwa dilaporkan kepihak berwajib untuk diproses secara hukum; Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 285 KUHP jo pasal 53 ayat (1) KUHP; atau KEDUA Bahwa ia terdakwa Hairudin bin Mangun Suwito, pada hari Rabu tanggal 14 Maret 2012 sekira pukul 23.00 WIB atau setidak – tidaknya pada waktu tertentu yang masih di bulan Maret 2012, bertempat di kamar tidur saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dalam rumah saksi Sumiati binti Sudari di Dusun Ngesti Karya Kecamatan Waway Karya Kabupaten Lampung Timur atau setidaktidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Sukadana yang berwenang memeriksa dan mengadili, telah dengan sengaja dan didepan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya. Perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut :
50
Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, bermula terdakwa Hairudin bin Mangun Suwito yang ditinggai selama 3 (tiga) bulan oleh istri untuk bekerja di Jakarta dan selama itu juga terdakwa senng melihat film porno dihandphone serta sering melihat saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman mandi dengan lapis kain dikamar mandi tepatnya dibelakang rumah saksi Sumiati binti Sudari hal tersebut membuat nafsu birahi terdakwa terangsang kemudian tepatnya hari Rabu tanggal 05 Maret 2012 sekira pukul 20:00 Wib terdakwa yang baru saja sebelumnya melihat film porno dihandphone dan terdakwa teringat akan kemontokan saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman saat mandi kemudian terdakwa memutuskan untuk menyetubuhi saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang memang tinggal dirumah saksi Sumiati binti Sudari yang bersebelahan dengan rumah terdakwa' selanjutnya terdakwa menjalankan pikirannya tersebut dengan mengendap-endap dinding belakang rumah saksi Sumiati binti Sudari sambil menunggu saksi Desi Nilawati Binti Suparman dan saksi Sumiati binti Sudari yang biasanya akan kekamar mandi untuk mengambil air wudhu saat itu terdakwa membawa l (satu) bilah golok yang rencananya untuk digunakan mendongkel pintu masuk rumah saksi Sumiati binti Sudari bila terkunci, namun tak lama kemudian saksi Desi Nilawati Binti Suparman dan saksi Sumiati binti Sudari keluar rumah menuju kamar mandi dibelakang rumah, saat itulah terdakwa langsung masuk rumah saksi Sumiati binti Sudari dan terdakwa yang memang tahu kamar saksi Desi Nilawati Binti Suparman selanjutnya terdakwa lansung masuk kamar dan bersembunyi dibawah dipan tempat tidur untuk menunggu saksi Desi Nilawati Binti Suparman tidur dikamar tersebut.Dan setelah itu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang akan tidur kemudian masuk kedalam kamarnya dimana terdakwa telah bersembunyi tersebut dan didalam kamar sebelum tidur saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman mengunci pintu kamar lalu naik keatas dipan tempat tidur dan saat itu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman sempat mendengarkan Suara dibawah dipannya namun saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman tidak menaruh curiga lalu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman lalu tertidur kurang lebih 1 (satu) jam kemudian terdakwa yang mendengar kalau saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman telah tertidur lelap kemudian terdakwa keluar dari bawah dipandan
51
langsung melihat kemolekan tubuh saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman saat itu terdakwa langsung melepaskan baju serta celananya hanya meninggalkan celana dalamnya kemudian terdakwa yang melihat kemolekan tubuh tersebut membuat alat kelamin terdakwa tegang dan mengakibatkan nafsu birahi terdakwa meningkat untuk menyetubuhi saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang diketahui terdakwa adalah istri sah dari saksi Muhamad Rohli bin Mangun Suwito dan bukan merupakan istrinya lalu terdakwa langsung mengambil 1(satu) buah mukena milik saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dan langsung naik diatas dipan tempat tidur saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dan menindihkan tubuhnya ke atas tubuh saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman sedangkan kedua tangan terdakwa menyumpal kuat mulut saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dengan menggunakan mukenah agar tidak berteriak lalu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang kaget atas perlakuan terdakwa tersebut langsung berontak untuk melepaskan tubuhnya dari tubuh terdakwa dan berusaha melepaskan dekapan terdakwa dengan cara menendang terdakwa menggunakan kakinya yang mengakibatkan terdakwa terjungkal kemudian saksi korban
Desi Nilawati Binti Suparman berteriak minta tolong hal tersebut
didengar oleh saksi Sumiati binti Sudari yang saat itu memang belum tertidur kemudian saksi Sumiati binti Sudari langsung menuju kamar saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dan mengatakan enek opo to la?" dalam bahasa Indonesia ,,ada apa ra ,dan saksi Desi Nilawati Binti Suparman menjawab ,iki lho mak, hairudin mbekep cangkemku wonge wis arepe ndemeni aku,,dalam bahasa Indonesia ini lho mak Hairudin menyumpal mulutku dan dia ingin menyetubuhiku karena perbuatan terdakwa telah diketahui oleh saksi Sumiati binti Sudari lalu terdakwa membuka pintu kamar dan keluar dari kamar hanya dengan menggunakan celana dalam saja dan saat keluar kamar tersebut terdakwa melihat saksi Sumiati binti Sudari dan terdakwa langsung mengatakan "iki tho, akibate bojo ku rungo dadi bojone ti, yo tak demeni"dalam bahasa Indonesia "Ini akibat dari istriku pergi jadi istrinya Li yang tak setubuhi"selanjutnya terdakwa langsung berlari keluar rumah saksi Sumiati binti Sudari melalui pintu dapur rumah. Dan selanjuta nya perbuatan terdakwa tersebut oieh saksi
Desi Nilawati Binti
Suparman dan saksi Sumiati binti Sudari langsung diberitahu oleh saksi Sumargo
52
bin Rakim dan saksi Yuswanto bin Wongso Atmo dan kemudian perbuatan terdakwa dilaporkan kepihak berwajib untuk diproses secara hukum; Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 281 Ayat (2) KUHP, atau KETIGA Bahwa ia terdakwa Hairudin bin Mangun Suwito, pada hari Rabu tanggal 14 Maret 2012 sekira pukul 23.00 WIB atau setidak – tidaknya pada waktu tertentu yang masih di bulan Maret 2012, bertempat di kamar tidur saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman di dalam rumah saksi Sumiati binti Sudari di Dusun Ngesti Karya Kecamatan Waway Karya Kabupaten Lampung Timur atau setidaktidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Sukadana yang berwenang memeriksa dan mengadili, telah secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain mampu perlakukan yang tak menyenangkan atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakukan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut : Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, bermula terdakwa Hairudin bin Mangun Suwito yang ditinggai selama 3 (tiga) bulan oleh istri untuk bekerja di Jakarta dan selama itu juga terdakwa senng melihat film porno dihandphone serta sering melihat saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman mandi dengan lapis kain dikamar mandi tepatnya dibelakang rumah saksi Sumiati binti Sudari hal tersebut membuat nafsu birahi terdakwa terangsang kemudian tepatnya hari Rabu tanggal 05 Maret 2012 sekira pukul 20:00 Wib terdakwa yang baru saja sebelumnya melihat film porno dihandphone dan terdakwa teringat akan kemontokan saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman saat mandi kemudian terdakwa memutuskan untuk menyetubuhi saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang memang tinggal dirumah saksi Sumiati binti Sudari yang bersebelahan dengan rumah terdakwa' selanjutnya terdakwa menjalankan pikirannya tersebut dengan mengendap-endap dinding belakang rumah saksi
53
Sumiati binti Sudari sambil menunggu saksi Desi Nilawati Binti Suparman dan saksi Sumiati binti Sudari yang biasanya akan kekamar mandi untuk mengambil air wudhu saat itu terdakwa membawa l (satu) bilah golok yang rencananya untuk digunakan mendongkel pintu masuk rumah saksi Sumiati binti Sudari
bila
terkunci, namun tak lama kemudian saksi Desi Nilawati Binti Suparman dan saksi Sumiati binti Sudari keluar rumah menuju kamar mandi dibelakang rumah, saat itulah terdakwa langsung masuk rumah saksi Sumiati binti Sudari
dan
terdakwa yang memang tahu kamar saksi Desi Nilawati Binti Suparman selanjutnya terdakwa lansung masuk kamar dan bersembunyi dibawah dipan tempat tidur untuk menunggu saksi Desi Nilawati Binti Suparman tidur dikamar tersebut. Dan setelah itu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang akan tidur kemudian masuk kedalam kamarnya dimana terdakwa telah bersembunyi tersebut dan didalam kamar sebelum tidur saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman mengunci pintu kamar lalu naik keatas dipan tempat tidur dan saat itu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman sempat mendengarkan Suara dibawah dipannya namun saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman menaruh curiga lalu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman lalu tertidur kurang lebih 1 (satu) jam kemudian terdakwa yang mendengar kalau saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman telah tertidur lelap kemudian terdakwa keluar dari bawah dipandan langsung melihat kemolekan tubuh saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman saat itu terdakwa langsung melepaskan baju serta celananya hanya meninggalkan celana dalamnya kemudian terdakwa yang melihat kemolekan tubuh tersebut membuat alat kelamin terdakwa tegang dan mengakibatkan nafsu birahi terdakwa meningkat untuk menyetubuhi saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang diketahui terdakwa adalah istri sah dari saksi Muhamad Rohli bin Mangun Suwito dan bukan merupakan istrinya lalu terdakwa langsung mengambil 1(satu) buah mukena milik saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dan langsung naik diatas dipan tempat tidur saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman
dan
menindihkan tubuhnya ke atas tubuh saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman sedangkan kedua tangan terdakwa menyumpal kuat mulut saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dengan menggunakan mukenah agar tidak berteriak lalu saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman yang kaget atas perlakuan terdakwa
54
tersebut langsung berontak untuk melepaskan tubuhnya dari tubuh terdakwa dan berusaha melepaskan dekapan terdakwa dengan cara menendang terdakwa menggunakan kakinya yang mengakibatkan terdakwa terjungkal kemudian saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman berteriak minta tolong hal tersebut didengar oleh saksi Sumiati binti Sudari yang saat itu memang belum tertidur kemudian saksi Sumiati binti Sudari langsung menuju kamar saksi korban Desi Nilawati Binti Suparman dan mengatakan enek opo to la?" dalam bahasa Indonesia ,,ada apa ra ,dan saksi Desi Nilawati Binti Suparman menjawab ,iki lho mak, hairudin mbekep cangkemku wonge wis arepe ndemeni aku,,dalam bahasa Indonesia ini lho mak Hairudin menyumpal mulutku dan dia ingin menyetubuhiku karena perbuatan terdakwa telah diketahui oleh saksi Sumiati binti Sudari lalu terdakwa membuka pintu kamar dan keluar dari kamar hanya dengan menggunakan celana dalam saja dan saat keluar kamar tersebut terdakwa melihat saksi Sumiati binti Sudari dan terdakwa langsung mengatakan "iki tho, akibate bojo ku rungo dadi bojone ti, yo tak demeni"dalam bahasa Indonesia "Ini akibat dari istriku pergi jadi istrinya Li yang tak setubuhi"selanjutnya terdakwa langsung berlari keluar rumah saksi Sumiati binti Sudari
melalui pintu dapur rumah. Dan selanjuta nya
perbuatan terdakwa tersebut oieh saksi Desi Nilawati Binti Suparman dan saksi Sumiati binti Sudari langsung diberitahu oleh saksi Sumargo bin Rakim dan saksi Yuswanto bin Wongso Atmo dan kemudian perbuatan terdakwa dilaporkan kepihak berwajib untuk diproses secara hukum; Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Menimbang, bahwa setelah menguraikan fakta-fakta yang diperoleh di persidangan tersebut, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta hukum diatas terdakwa sudah dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya; Menimbang, bahwa terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif melanggar Pasal 285 KUHPidana jo Pasal 53 Ayat (1) KUHP atau pasal 281 ayat 2 atau Pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP, maka Majelis Hakim akan
55
memilih dakwaan mana yang paling sesuai dengan fakta hukum diprsidangan, yaitu melanggar Pasal 285 KUHPidana jo Pasal 53 Ayat (1) KUHP yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : 1.
Unsur Barang Siapa
2.
Unsur Dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya dan tidak selesainya perbuatan itu hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri;
Putusan dari Majelis Hakim MENGADILI 1.
Menyatakan bahwa Terdakwa Hairudin bin Mangun Suwito, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Percobaan Perkosaan”;
2.
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan ;
3.
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4.
Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5.
Memerintahkan barang bukti berupa: -
1 (satu) unit handphond merek Asiafone warna putih
-
1 (satu)buah celana dalam laki laki tanpa merek wama hijau tua
-
Dikembalikan kepada terdakwa
-
1 (satu) buah celana dalam perempuan merek Boniting warna crem
-
1 (satu) buah baju kebaya warna biru muda
-
1 (satu) buah jilbab wama abu abu Dikembalikan kepada saksi korban Suliah Bin Sukidi
6. Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000,(seribu rupiah). b. Putusan Nomor 270/Pid.B/2012/PN SKD
56
Pengadilan Negeri Sukadana yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana pada pengadilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara terdakwa: Nama Lengkap
: Wahyudin bin Sumardi
Tempat Lahir
: Purbo Sembodo
Tanggal Lahir/umur
: 10 Oktober 1985 / 27 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat Tinggal
: Dusun II Desa Purbo Sembodo Kecamatan Metro Kibang Kabupaten Lampung Timur.
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tani
Pendidikan
: SMP (Tamat)
Telah mendengar tuntutan pidana Penuntut Umum sebagaimana tersebut dalam surat tuntutan pidana No.Reg.Perkara : PDM-28/SKD/12/2012, tanggal 29 Januari 2013, pada pokoknya berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan, karenanya menuntut supaya Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan terdakwa Wahyudin bin Sumardi terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Perkosaan" sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 285 KUHPidana dalam Dakwaan Tunggal . 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Wahyudin bin Sumardi
dengan
pidana penjara 6 (enam) tahun dikurangkan selama terdakwa menjalani penahanan sementara, perintah terdakwa tetap berada dalam tahanan. 3. Menyatakan barang bukti berupa ; -
1 (satu) unit handphond merek Asiafone warna putih
-
1 (satu)buah celana dalam laki laki tanpa merek wama hijau tua
-
Dikembalikan kepada terdakwa
-
1 (satu) buah celana dalam perempuan merek Boniting warna crem
-
1 (satu) buah baju kebaya warna biru muda
57
-
1 (satu) buah jilbab wama abu abu
Dikembalikan kepada saksi korban Suliah Bin Sukidi 4. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000,(seribu rupiah). Menimbang, bahwa atas tuntutan pidana tersebut terdakwa menyampaikan pembelaan secara lisan yang pada pokoknya memohon kepada Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yang seringan-ringannya kepada terdakwa dengan mengemukakan alasan terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Menimbang bahwa atas permohonan yang diajukan oleh terdakwa, Penuntut Umum menyatakan tetap pada tuntutan dan terdakwa tetap pada pembelaannya. Menimbang, bahwa terdakwa diajukan kepersidangan dengan dakwaan sebagai berikut : DAKWAAN : Bahwa ia Terdakwa Wahyudin bin Sumardi
pada hari Minggu tanggal 28
Oktober 2012 sekira jam 11.00 wib atau setidak-tidaknya pada .suatu hari dalam bulan Oktober 2012 atau setidak tidaknya masih dalam tahun 2012 bertempat di Dusun II Desa Purbo Sembodo Kecamatan Metro Kibang kabupaten Lampung Timur atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri sukadana yang berwenang memeriksa dan mengadili, dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita yaitu saksi korban Suliah bin Sukidi bersetubuh dengan dia diluar pernikahan, perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut : Pada waktu dan tempat sebagaimana diuraikan diatas berawal ketika saksi korban Suliah Bin Sukidi sedang berada di rumahnya bersama dengan Eko Siswanto yang merupakan pacar korban sedang bercumbu diruang TV kemudian secara diam diam datang terdakwa merekam perbuatan korban dan pacarnya dengan menggunakan handphone, lalu terdakwa menghampiri korban kemudian menasehatinya dan menyuruh pacar korban untuk pulang kerumah, setelah pacar korban pulang korban mengatakan kepada terdakwa agar tidak menceritakan perbuatan bersama pacarnya kepada orang tuanya kemudian dijawab oleh terdakwa "ya.. tidak akan mengatakan kepada orang tuanya asalkan korban mau
58
bercumbu dengan terdakwa” kalau tidak mau maka terdakwa akan memberitahu perbuatan korban tersebut kepada orang tuanya” lalu terdakwa menarik korban untuk masuk kedalam kamarnya kemudian didalam kamar terdakwa langsung membuka celana dalam korban dan memasukan alat kelaminnya kedalam kemaluan korban namun tidak sampai mengeluarkan sperma karena terdakwa takut ketahuan oleh kakak korban kemudian terdakwa mengajak korban untuk kerumahnya, setelah sampai dirumah, terdakwa mengajak korban masuk kedalam kamarnya dan di dalam kamar korban meminta terdakwa untuk menghapus rekaman yang ada dalam handphond terdakwa dan terdakwa mengatakan akan menghapus rekaman tersebut asalkan korban mau berhubungan badan dengan terdakwa kemudian terdakwa membuka baju dan celana korban lalu terdakwa membuka celana dan baju yang digunakannya kemudian memasukan alat kelaminnya yang sudah dalam keadaan tegang kedalam kemaluan korban lalu menggoyang goyangkan pantatnya turun naik hingga korban merasakan sakit dan kemaluan korban mengeluarkan darah kemudian setelah kemaluan terdakwa mengeluarkan sperma lalu terdakwa mencabut kemaluannya dari kemaluan korban kemudian terdakwa membersihkan darah yang ada di dekat kemaluan korban dengan menggunakan celana dalamnya kemudian terdakwa menyuruh korban untuk pulang kerumahnya lalu korban melaporkan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Berdasarkan hasil Visum Et Repertum Nomor : 355 / KET / lll.6.AU/A/XI/2012 tanggal 9 November 2012, yang ditandatangani oleh dr. Arief Nur Rachmanto Dokter pada Rumah Sakit Umum Muhamadiyah Metro, dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2012 ditemukan. Hasil pemeriksaan fisik a. Pada pemeriksaan fisik pada payudara kiri terdapat luka memar dengan diameter satu centimeter kali satu centimeter akibat bersentuhan dengan benda tumpul. b. Pada pemeriksaan luar fisik organ genital terdapat robekan pada selaput dara pada jam Sembilan dan jam tiga akibat bersentuhan dengan benda tumpul c. Tidak didapatkan cairan berwarna putih pada organ kemaluan
59
Kesimpulan : - Terdapat luka memar akibat bersentuhan dengan benda tumpul di payudara kiri - Terdapat robekan diselaput dara kemaluan akibat bersentuhan dengan benda tumpul. Perbuatan terdakwa Wahyudin bin Sumardi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 285 KUH pidana. Menimbang, bahwa setelah menguraikan fakta-fakta yang diperoleh di persidangan tersebut, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta hukum diatas terdakwa sudah dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya; Menimbang, bahwa terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal melanggar Pasal 285 KUHPidana yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : 1. Unsur Barang Siapa 2. Unsur Dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan 3. Unsur memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan Menimbang bahwa dengan terbuktinya seluruh unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, maka Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana sesuai dalam dakwaan tunggal Penuntut Umum. Menimbang, bahwa karena terdakwa dinyatakan bersalah dan tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf yang dapat menghapus kesalahan terdakwa tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 44, 45, 48, 49, 50 dan 51 KUHP, maka terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya; Menimbang, bahwa lamanya terdakwa berada dalam tahanan, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (4) KUHAP harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; Menimbang, bahwa oleh karena pidana yang dijatuhkan lebih lama dari masa penahanan yang telah dijalani terdakwa maka terdakwa diperintahkan tetap berada dalam tahanan. Menimbang bahwa terhadap barang bukti berupa: -
1 (satu) unit handphond merek Asiafone warna putih
60
-
1 (satu)buah celana dalam laki laki tanpa merek wama hijau tua
-
1 (satu) buah celana dalam perempuan merek Boniting warna crem
-
1 (satu) buah baju kebaya warna biru muda
-
1 (satu) buah jilbab warna abu-abu
akan ditentukan statusnya dalam amar putusan ini Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah maka patut pula dibebani untuk membayar biaya perkara; Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim mengambil putusan terhadap diri terdakwa, terlebih dahulu akan diperhatikan hal-hal sebagai berikut : Hal-hal yang Memberatkan : -
Perbuatan terdakwa sangat tercela dan meresahkan masyarakat
-
Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban Suliyah binti Sukidi
Hal-hal yang Meringankan :. -
Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya.
-
Terdakwa belum pernah dihukum.
Menimbang, bahwa penjatuhan pidana ini bertujuan dalam rangka pembinaan sehingga orang tersebut akan menyadari atau menginsapi akan kesalahannya dimasa lalu sehingga ia tidak akan lagi berbuat kesalahan atau kejahatan dengan demikian ketertiban dalam masyarakat akan dapat dicapai; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, Majelis Hakim akan menjatuhkan pidana yang dirasa telah pantas dan memenuhi rasa keadilan; Mengingat Pasal Undang-Undang yang berhubungan dengan perkara ini khususnya Pasal 285 KUHPidana serta Perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan perkara ini; MENGADILI 1. Menyatakan bahwa Terdakwa Wahyudin bin Sumardi, telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak
pidana
“Perkosaan”; 2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) Tahun;
61
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5. Memerintahkan barang bukti berupa: -
1 (satu) unit handphone merek Asiafone warna putih
-
1 (satu)buah celana dalam laki laki tanpa merek wama hijau tua
-
Dikembalikan kepada terdakwa
-
1 (satu) buah celana dalam perempuan merek Boniting warna crem
-
1 (satu) buah baju kebaya warna biru muda
-
1 (satu) buah jilbab wama abu abu Dikembalikan kepada saksi korban Suliah Bin Sukidi
6. Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah). Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukadana pada hari Senin tanggal 04 Februari 2013 oleh kami Ari Qurniawan, SH.MH. selaku Hakim Ketua, Ita Denie S, SH dan Andi Barkan Mardianto, SH Hakim-Hakim Anggota, putusan mana diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal 05 Februari 2013 oleh Nelyta, SH. Panitera Pengganti dengan dihadiri Subhan Gunawan, SH. Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sukadana dan dihadapan terdakwa. 4.1.3. Penyebab Terjadinya Disparitas Putusan Hakim Disparitas pidana dapat terjadi dalam berbagai kategori, yakni disparitas antara tindak pidana yang sama, disparitas pidana antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama, disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim, dan juga disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. Faktor-faktor yang menyebabkan disparitas diantara lain : 1). Bersumber dari hakim sendiri, baik yang bersifat internal maupun eksternal yang tidak bisa dipisahkan karena sudah terpaku sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai human equation (insan peradilan) atau personality of judge dalam arti luas yang menyangkut pengaruh pengaruh latar belakang sosial, pendidikan agama, pengalaman dan perilaku sosial; 62
2). Hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa juga merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pemidanaan dalam putusan hakim; 3). Adanya batasan minimal dan maksimal dari sanksi pidana yang ditentukan oleh undang-undang mempunyai jarak yang terlampau besar menjadikan problem disparitas pemidanaan menjadi mengemuka. Disparitas putusan dalam hal penjatuhan pidana diperbolehkan misalnya pada Pasal 12 ayat (2) KUHP yang menyatakan “pidana penjara serendahrendahnya 1 (satu) hari dan selama-lamanya seumur hidup” hal tersebut menunjukkan diperbolehkannya disparitas dalam penjatuhan pidana. Hal tersebut diperbolehkan sejauh berlandaskan yang beralasan (reasonable), yaitu dilandasi dengan filosofi atau tujuan yang sama, kriteria yang sama, penilaian atau ukuran yang sama dan pertimbangan hakim yang sama pula. Disparitas hukuman juga sering dihubungkan dengan independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan (perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat bak dan jahat pada diri terdakwa. Kekuasaan kehakiman merdeka atau independen itu sudah bersifat universal. Ketentuan universal yang terpenting ialah The Universal Declaration of Human Rights, Pasal 10 mengatakan: "Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligation of any criminal charge agains him. " (Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya). Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: "Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law." 63
(Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberitakan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang). UUD 1945 Ayat (1) sesudah amandemen ketiga berbunyi: "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan." Ayat (2) mengatakan: "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi." Perbedaan dengan Pasal 24 lama ialah kekuasaan kehakiman yang merdeka sudah disebut dalam rumusan bukan hanya dalam penjelasan. Juga dirinci peradilan dibawah Mahkamah Agung, termasuk yang baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Di Thailand Mahkamah Konstitusi yang baru dibentuk berada di samping atau sejajar dengan Mahkamah Agung (Supreme Court) bukan berada di bawahnya. Ayat (3) yang merupakan amandemen ke 4 menyebut "badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di atur dalam undangundang." Menurut pendapat penulis ayat (3) ini merupakan pengganti kata-kata "dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang" dalam Pasal 24 yang lama (asli) yang menurut penulis, hal ini merupakan salinan RO (Reglement op de Rechtelijk Organisatie en het Beleid der Justitie) yang menyebut
Procureur
Generaal dan Advocaat Generaal bij de Hooggerechtshof (Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda pada Mahkamah Agung) sebagai bagian kekuasaan kehakiman. Kedudukan hakim yang merdeka tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang telah diubah dngan UndangUndang No. 35 tahun 1999. Ketentuan undang-undang ini merupakan koreksi praktek peradilan zaman Orde Lama. Pada zaman Orde Lama, dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1964 diatur campur tangan presiden dalam peradilan. Ketua Mahkamah Agung diangkat menjadi menteri (pembantu presiden). Dengan demikian, kehakiman
64
yang merdeka menurut UUD 1945 telah dihapuskan oleh suatu undang-undang yang lebih rendah tingkatnya. Dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 itu sekali lagi jaminan kebebasan hakim secara formal. Dikatakan secara formal, karena dalam praktek peradilan di zaman Orde Baru banyak sekali penyimpangan atas kebebasan atau kemerdekaan hakim dalam mengambil keputusan sebagaimana disebut pada bagian pendahuluan di muka. Oemar Seno Adji mantan Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung ragu-ragu mengenai ini dengan mengatakan: "Apa yang saya dengar mengenai practical application mengenai pasal ini, tampaknya tidak bevordelijk bagi perkembangan hukum. Ia kadang-kadang menimbulkan tanda tanya, apakah kita ernstig menen dengan negara hukum kita. Ia kadang-kadang berupa berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan, apakah perkara diteruskan atau tidak. Dan yang saya pernah dengar, dapat menimbulkan pertanyaan : quo vadis dengan pelaksanaan hukum itu. Apakah kita harus menenangkan hati nurani sendiri in gemoed afvragen dan tidak menjadi gelisah. Jika kita dengar bahwa seseorang harus dihukum meskipun tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menghukumnya karena tidak cukup bukti atau karena perbuatannya memang tidak merupakan suatu tindakan pidana?" Faktor-faktor politis ada di samping dan di atas hakim. Sedangkan masih ada faktor sosial-ekonomi yang mempengaruhi kebebasan dan kemerdekaan hakim. Faktor sosial misalnya menjamurnya praktek main hakim sendiri di kalangan masyarakat, karena kurang percayanya pada putusan hakim. Munculnya demonstrasi yang mendesak hakim agar memutus sesuai dengan kehendak demonstran atau pihak yang menggerakkannya. Menyangkut faktor ekonomi, gaji hakim sangat menentukan pula atas merdeka tidaknya hakim dalam mengambil keputusan. Muhammad Sulfian dari Pengadilan Federal Malaysia di Konferensi Lawasia di Kuala Lumpur mengatakan sebagai berikut: "Untuk memiliki hakimhakim yang tidak memihak dengan sendirinya mereka harus diangkat dari orangorang yang cakap dan berpengalaman. Di Inggris merupakan kebiasaan untuk mengangkat hakim-hakim dari kalangan para advokat yang terkemuka, dan oleh karena itulah seorang hakim di Inggris mendapat gaji yang besar sekali." Gaji hakim di Indonesia jauh dari memadai.
65
Hakim bukan saja harus jujur dan berintegritas tinggi, namun harus menguasai hukum secara sempurna. Itulah sebabnya maka pendidikan pembentukan hakim dan jaksa di beberapa negara dilakukan secara terpadu dan lebih lama. Caloncalon hakim, jaksa dan advokat harus melalui tes yang ketat tentang pengetahuan hukum, kesehatan badan dan jiwa. Pendidikan jaksa dan hakim di Nederland berlangsung enam tahun sesudah sarjana sedangkan di Jepang dua tahun dan terpadu antara calon hakim, jaksa dan advokat, sehingga diperoleh kesatuan penafsiran hukum. Sistem rekrutmen dan pendidikan hakim, jaksa dan advokat yang terpisah tidak menguntungkan sistem Peradilan pidana terpadu. Wirjono Prodjodikoro mengatakan: “...........tetapi saya tekankan lagi, bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu negara.” “Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Dan untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar.” Jadi kebebasan hakim dalam menemukan hukum di bidang pidana dibatasi oleh asas legalitas. Menurut pendapat penulis hakim bertanggung jawab kepada Tuhan dan hukum itu sendiri. Bertanggung jawab kepada hukum itu sendiri artinya memutus berdasarkan kebenaran dengan instrumen hukum positif. Putusan hakim (terutama yurisprudensi) akan dikaji oleh masyarakat dan para pakar serta mahasiswa hukum, bukan saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Itulah yang merupakan sosial accountability yang disebut Prof. Dr. Lotulong “........tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberi keadilan bagi masyarakat pencari keadilan." Tanggung jawab kepada Tuhan, khusus di Indonesia putusan hakim memperatasnamakan Tuhan Yang Maha Esa. Memperatasnamakan Tuhan suatu hal yang sungguh berat. Sesuatu yang sungguh-sungguh harus direnungkan. Putusan hakim di dalam perkara pidana dibatasi pula oleh apa yang didakwakan jaksa penuntut umum,
66
sama dengan dalam perkara perdata dibatasi oleh apa yang digugat. Hakim tidak boleh memutus di luar yang didakwakan jaksa. Idealnya ialah perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi yang didakwakan dan itu pula yang dibuktikan. Memang benar dominus litis adalah jaksa (yang mewakili negara). Jaksa boleh menuntut satu feit (perbuatan) saja walaupun terdakwa melakukan lebih dari satu feiten (perbuatan), tetapi yang satu itu sungguh-sungguh terjadi dan sungguh-sungguh dibuktikan dengan alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinan hakim. Kebebasan menuntut jaksa dilakukan pula oleh jaksa diAmerika Serikat dengan praktek plea bargaining, artinya jika terdakwa mengakui kesalahannya jaksa dapat mengurangi delik yang akan didakwakan. Oleh karena itu kebebasan atau kemerdekaan hakim untuk memutus perkara pidana tergantung pula pada bebas atau merdeka tidaknya penuntut umum. Penulis tekankan, bahwa maksud yang asli Pasal 24 UUD 1945 dengan kata-kata “dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang” termasuk Jaksa Agung pada Mahkamah Agung (seperti diterapkan tahun 1945-1959). Pengalaman membuktikan, bahwa penegakan hukum di Indonesia berjalan mulus tahun 1950-1959. Penulis membedakan antara pengertian "mandiri" dan "independen" atau merdeka. Mandiri menurut penulis artinya berada di bawah atap sendiri tidak berada di bawah atap kementeriaan atau badan lain. Sedangkan independen atau merdeka berarti di dalam memutus perkara seperti dimaksud Prof. Dr. Lotulong dengan “bebas dari pengaruh eksekutif maupum segala kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan oleh undang-undang” Dalam hal "mandiri", hakim dan jaksa 1945-1959 berada dibawah "atap" Kementerian Hukum dan HAM, namun semua orang tahu dari pengalaman empiris, bahwa baik hakim maupun jaksa sungguh-sungguh independen pada waktu itu. Jaksa Agung Suprapto menangkap menteri kehakiman yang secara administratif adalah atasannya. Itulah bukti betapa independennya Jaksa Agung yang pensiun pada umur 65 tahun (teoritis seumur hidup) pada waktu itu. Di sini juga ternyata, bahwa boleh saja tidak mandiri asal independen dalam menjalankan tugasnya.
67
Sebaliknya, sesudah tahun 1959 (tahun 1961 resminya) kejaksaan "mandiri" mempunyai badan sendiri terlepas dari Departemen Kehakiman namun independensinya hilang, karena Jaksa Agung bukan lagi "Jaksa Agung pada Mahkamah Agung" tetapi menteri atau anggota kabinet (pembantu presiden) bukan pensiun pada umur 65 tahun, tetapi setiap saat dapat diganti oleh presiden. Dengan sendirinya dalam menjalankan tugas penegakan hukum selalu harus waspada jangan sampai menyinggung kepentingan politik Presiden yang ujungujungnya menjadikan dia tidak independen. Jika jaksa tidak independen dalam penuntutan, maka hakim pun menjadi tidak independen, karena putusannya tergantung pada apa yang didakwakan jaksa. Mandirinya
hakim dalam arti mengurus administrasi,
keuangan,
pembangunan gedung sendiri, menurut pendapat penulis merupakan dilemma. Jika Kementerian Hukum dan HAM mengurus pengangkatan, kenaikan pangkat dan pemindahan hakim, jelas dapat mempengaruhi independensi hakim, karena hakim akan memperhatikan "isyarat tak tampak" menteri (eksekutif) dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya jika hakim mengurus keuangannya, pembangunan gedungnya, pembelian peralatannya sendiri berarti bahwa dia masuk ke dalam wilayah eksekutif. Dia harus mempertanggung jawabkan kepada BAPPENAS, BPK dan DPR. Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim dalam mengikuti yurisprudensi. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, Wirjono Prodjodikuro menolak pendapat orang yang mengatakan hakim menciptakan hukum. Menurut beliau hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim katanya mendekati pembuatan undang-undang tetapi tidak sama. Beliau berpendapat bahwa walaupun Ter Haar menyatakan isi hukum adat baru tercipta secara resmi dianggap ada apabila ada beberapa putusan dari penguasa terutama para hakim, ucapan Ter Haar itupun tidak dapat dianggap bahwa dengan putusan hakim dan lain penguasa itu terciptalah hukum adat, tetapi hanya merumuskan hukum adat itu. Untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal (doktrin). Mengenai yurisprudensi, van Apeldoorn berpendapat sejajar dengan Wirjono Prodjodikuro tersebut di muka. Di negeri
68
Belanda katanya, hakim tidak terikat kepada putusan hakim-hakim lain dan juga tidak kepada hakim yang lebih tinggi. Apabila suatu peraturan dalam putusan hakim diterima secara tetap dan nyata menjadi keyakinan hukum umum, atau dengan kata lain dalam suatu masalah hukum telah terbentuk suatu yurisprudlensi tetap dan peraturan itu menjadi hukum objektif, bukan berdasarkan keputusan hakim tetapi sebagai kebiasaan. Berdasarkan garis tingkah laku hakim-hakim terciptalah keyakinan hukum umum. Itulah bedanya dengan putusan hakim di negara-negara Anglo-Saxon yang mengandalkan hakim yang jujur, intergritas tinggi, lagi bijaksana, bukan bunyi undang-undang yang muluk-muluk. Hermann Mannheim mengatakan “It is not the formula that decide the issue, but the menn who have to apply the formula (Criminal justice and Social Reconstruction, 1946). Sebaliknya di Eropa Kontinental sebagai akibat revolusi Prancis sejak tahun 1794 bukan saja diperkenalkan asas legalitas, tetapi semua rumusan delik sedapat mungkin berupa definisi selaras dengan adagium nullum crimen sine lege stricta. (tidak ada delik tanpa undang-undang yang persis sebelumnya/geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling) Menurut Muladi dan Barda Nawawi, penyebab dari adanya disparitas pidana (putusan hakim) di mulai dari hukumnya sendiri. Didalam hukum pidana positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang.
45
Di
samping itu, hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanyalah maksimum dan minimumnya. Misalnya dalam Pasal 12 Ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Sedangkan untuk pidana kurungan di dalam Pasal 18 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa kurungan paling sedikit adalah satu hari dan paling lama satu tahun. Menurut Ruslan Saleh seperti yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi, dalam batas-batas maksimal
45
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Ed. I, Cet. 3, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 56.
69
dan minimal tersebut, hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat. Lebih jauh lagi, Sudarto menyatakan sebagai berikut: “KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana (strafttoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana (straftoemetingsregels)”. Selain
dalam
KUHP
yang
tidak
ada
pedoman
pemidanaan
(straftoemetingsleiddrad), Nyoman Serikat Putra Jaya menambahkan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada di dalam benaknya itu, yang memberatkan dan meringankan saja di luar Undang-undang. Misalnya terlalu muda, cara ia melakukan atau yang lain. Faktor penyebab kedua dari adanya disparitas pidana adalah bersumber pada diri hakim, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut Hood dan Sparks yang juga disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi, sifat internal dan eksternal pada diri hakim kadang-kadang sulit dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai “human equation” atau “personality of the judge” dalam arti luas yang menyangkut pengaruh-pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku sosial. Hal tersebut ditegaskan oleh Bapak Ari Qurniawan Hakim Pengadilan Negeri Sukadana berpedoman pendapat Al Wisnubroto yang menjelaskan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Adapun
beberapa
faktor
(internal)
yang
mempengaruhi
hakim
dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah: 1). Faktor Subyektif (1) Sikap dan perilaku yang apriori Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak dan tidak adil ini
70
dapat saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang. (2) Sikap perilaku emosional Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini sangat berpengaruh pada hasil keputusannya. (3) Sikap Arrogence Power Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang berperkara lainnya, seringkali mempengaruhi suatu keputusan. (4) Moral Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini yang berfungsi membentengi tindakan
hakim
penyimpangan,
terhadap
cobaan-cobaan
penyelewengan
dan
sikap
yang tidak
mengarah adil
pada
lainnya.
Bagaimanapun juga, pribadi seorang hakim diliputi tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut, terlebih dalam memeriksa serta memutus suatu perkara. 2). Faktor Obyektif (1) Latar belakang sosial, budaya dan ekonomi Latar belakang sosial seorang hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah. Selain itu juga kebudayaan, agama, pendidikan dan latar belakang ekonomi seorang hakim juga ikut mempengaruhi suatu prilaku hakim. Bisa saja karena desakan ekonomi, seorang hakim yang pada awalnya memiliki pendirian yang teguh, memiliki komitmen yang kuat pada idealismenya, secara berangsur-angsur melemahkan pendiriannya dan menjadikannya bersikap pragmatis.
71
Pada taraf inilah bisa saja mendorong hakim berani melakukan “unjustice action” hanya untuk mendapatkan imbalan materi. Faktor ini tentu saja tidak bersifat absolut, sebab hakim yang memegang teguh kode etik kehormatan hakim, tidak dapat dipengaruhi oleh faktor apapun, termasuk desakan ekonomi. (2) Profesionalisme Profesionalisme yang meliputi knowledge dan skill yang ditunjang dengan ketentuan dan ketelitian merupakan faktor yang memengaruhi cara hakim dalam mengambil keputusan Masalah ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu, hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan karena tujuannya tiada lain untuk menyelesaikan perkara, menegakkan hukum dan memberikan keadilan. Sehubungan dengan faktor tersebut di atas, Nyoman Serikat Putra Jaya menambahkan faktor lainnya ialah tidak adanya pedoman bagi hakim di dalam menjatuhkan pidana, dan disamping itu juga faktor hakim sendiri kurangnya pemahaman terhadap makna dari penjatuhan pidana. Muladi merujuk di dalam observasinya yang dilakukan oleh Reid mengenai persepsi seorang hakim tentang ras diskriminasi dan implementasinya di dalam penjatuhan pidana di Amerika Serikat. Dia menyatakan bahwa pada khususnya orang-orang yang berkulit hitam (negro) sering diperlakukan tidak adil didalam pemidanaan. Pidana biasanya lebih berat dan jarang diberikan lepas bersyarat (parole) atau probation (semacam pidana percobaan). Dibandingkan dengan pelaku tindak pidana yang berkulit putih, mereka jarang mendapatkan pengampunan (grasi) dan jarang pula mendapatkan komutasi (perubahan pidana) sehubungan dengan pidana mati yang dijatuhkan terhadap mereka. Dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman. Dalam maksimal dan minimal tersebut, hakim pidana adalah bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. 72
Dapat disimpulkan bahwa adanya disparitas dalam putusan hakim tidak terlepas bahwa hakim memiliki independensi di lembaga peradilan. Pengertian Independensi atau kemerdekaan adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaan kita adalah mandiri tidak mengusung kepentingan pihak tertentu atau organisasi tertentu. Dasar hukum kemerdekaan hakim dijamin melalui UUD 1945 Pasal 24 Ayat 1 (Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan
hukum
dan
keadilan).
Kemerdekaan dan independensi hakim diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara. Batasan dari kebebasan dan independensi hakim adalah hukum itu sendiri baik formil maupun materiil. Hakim adalah subordinasi dari hukum bukan contra legem (mengesampingkan peraturan yang ada). Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada
hukum dan fakta-fakta di persidangan.
Akuntabilitas dan transparansi sebagai penyeimbang independensi. Bentuk tanggung jawab dalam mekanisme akuntabilitas: 1. Social accountability” (pertanggungjawaban pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. 2. Adanya integritas dan sifat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan pengadilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi obyek kajian hukum dalam komunitas hukum. 3. Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas tersebut diatas, adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan. Dengan demikian kebebasan Hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi ia
73
dibatasi oleh rambu-rambu antara lain, Akuntabilitas, Integritas moral dan etika, Transparansi dan Pengawasan (kontrol). Putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yakni memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis. Yang dimaksudkan kebutuhan teoritis disini ialah bahwa menitikberatkan kepada fakta hukum beserta pertimbangannya maka putusan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum bahkan tidak jarang dengan putusannya yang membentuk yurispundensi yang dapat menentukan hukum baru (merupakan sumber hukum). Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan praktis ialah bahwa dengan putusannya diharapkan hakim dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maupun masyarakat pada umumnya karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum. Hakim harus menerapkan hukum sesuai dengan peraturan perundangundang yang mencakup dua aspek hukum : pertama hakim harus menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, akan tetapi apabila hukum tertulis tersebut ternyata tidak cukup atau tidak pas, maka keduanya barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukum itu dari sumber-sumber hukum lainnya. Dalam upaya penemuan dan penciptaan hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsipprinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini UUD tahun 1945, UU. No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat ditemukan beberapa prinsip sebagai berikut : 1. Putusan pengadilan adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip ini diambil dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berisi lima dasar negara yang disebut Pancasila. Prinsip ini merupakan landasan filosofis setiap hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. 2. Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas atau prinsip ini terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 48 tahun
74
2009 yang dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan pasal 29 UUD tahun 1945. Dalam prakteknya kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dijadikan kepala putusan (irah-irah) dalam setiap putusan Pengadilan, jika tidak maka putusan tersebut tidak mempunyai daya eksekutorial. 3. Prinsip Kemandirian Hakim. Prinsip ini tertuang dalam pasal 24 ayat (1) UUD tahun 1945 jo. Pasal 1 dan UU. No. 48 tahun 2009. Dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 1 UU No. 48 tahun 2009 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Dalam penjelasan terhadap pasal 1 tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan extra judisial kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam UUD tahun 1945, sedangkan pasal 3 UU No. 48 tahun 2009, menegaskan hakim harus bersikap mandiri. 4. Prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara. Prinsip ini tertuang dalam pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 5. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip tersebut di atas dimaksudkan agar putusan hakim dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat. Tindak pidana asusila yang ancamannya dapat berupa pidana penjara atau denda, maka hakim boleh memilih salah satu dari jenis pidana tersebut. Namun apabila jenis pidana disebutkan hanya ada satu, maka jenis pidana itulah yang dipilih dan tidak boleh yang lain. Lalu mengenai ukuran berat ringannya sangat tergantung dari minimum umumnya satu hari dan maksimum khususnya sesuai dengan pasal maksimum yang diancamkan dengan pasal yang bersangkutan. Menurut Bapak Ari Qurniawan Hakim Pengadilan Negeri Sukadana, Hakim tidak ada intervensi dari luar, baik itu faktor politik maupun eksekutif dan sebagainya, Jadi hakim harus betul-betul bebas dalam menjatuhkan pidana. 75
Selanjutnya, Muladi mengutip Molly Cheang yang berpendapat bahwa persepsi hakim terhadap “philosophy of punishment” dan “the aims of punishment” yang dikatakan sebagai “the basic difficulty”, sangat memegang peranan penting didalam penjatuhan pidana. Seorang hakim berpikir bahwa tujuan berupa deterrence hanya dapat dicapai dengan pidana penjara. Namun di lain pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain akan berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif. Nyoman Serikat Putra Jaya berpendapat bahwa terlaksana tidaknya tujuan pemidanaan itu tergantung dari pandangan hakim sendiri tentang tujuan pidana. Kalau hakim menjatuhkan pidana dengan tujuan untuk balas dendam, pasti akan memberikannya lebih berat. Namun, ada yang lebih ditekankan lagi, yaitu bagaimana memperbaiki si pelaku menjadi orang baik dan bagaimana supaya dia kembali kepada masyarakat. Jadi, disini yang menentukannya adalah bagaimana proses selanjutnya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Karena putusan hakim itu tidak serta merta mewujudkan tujuan-tujuan pemidanaan. Perbedaan persepsi inilah yang menyebabkan disparitas putusan hakim sehingga pidana yang diberikan kepada terdakwa belum mencapai tujuan umum dari apa yang diinginkan dan memberikan kemanfaatan bagi terpidana saat menjalani pemidanaannya. Hakim di dalam menjatuhkan putusan pemidanaannya, tentu harus memperhatikan hal-hal yang dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan jenis dan berat ringannya pemidanaan.46 Berikut ini merupakan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pemidanaan di dalam undang-undang (KUHP) :
1). Dasar Pemberatan Pidana
46
Muhammad Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Ed. I, Cet. I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.124-145.
76
Menurut Jonkers sebagaimana telah disadur oleh Zainal Abidin bahwa dasar umum pemberatan atau penambahan pidana (strafverhogingsgronden) yang terdapat di dalam undang-undang adalah:47 2). Kedudukan sebagai pegawai negeri Sudarto menjelaskan yang juga disadur oleh Djoko Prakoso, yang dimaksud dengan pegawai negeri ialah mereka yang diangkat oleh penguasa umum yang berwenang dalam jabatan umum untuk melaksanakan sebagian tugas negara atau alat-alat perlengkapan. Didalam KUHP pasal 52 dinyatakan: “Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”. 3). Recidive (pengulangan tindak pidana) Recidive atau pengulangan tindak pidana (delik) terjadi dalam hal seseorang yang telakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Recidive ini merupakan alasan pemberatan pidana untuk tindak pidana tertentu yang masuk dalam satu “kelompok jenis”, yaitu pasal 486, 487 dan 488 KUHP yang menurut beberapa macam kejahatan apabila dalam waktu tertentu dilakukan pengulangan lagi, maka dapat dikenakan pidana yang diperberat sampai 1/3-nya dari pidana yang diancamkan atas masing-masing tindak pidana itu. Barda Nawawi Arief mengklasifikasikan sistem pemberatan pidana berdasar adanya recidive ke dalam dua sistem, yaitu: (1). Recidive umum Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk pemberatan pidana. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana yang dilakukan maupun tenggang waktu pengulangannya. Maka sistem ini tidak ada daluwarsa recidive.
47
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 427.
77
(2). Recidive khusus Menurut sistem ini, tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula. Sistem yang terakhir inilah yang berlaku di Indonesia. Jadi, Recidive atau pengulangan kejahatan tertentu terjadi bilamana oleh orang yang sama mewujudkan lagi suatu tindak pidana (delik) yang oleh putusan Pengadilan Negeri telah memidana pembuat delik. Putusan hakim yang mengantarai kedua delik itulah menurut Zaenal Abidin dapat dibedakan
antara
recidive
dengan
concursus
(samenloop
/gabungan
/perbarengan). Sedang pengecualiannya ialah pengaturan tentang concursus yang diatur dalam pasal 71 (1) KUHP, yang menentukan bahwa jika setelah hakim yang bersangkutan menjatuhkan pidana, lalu di sidang di pengadilan itu ternyata terpidana sebelumnya pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka hakim akan mengadili terdakwa harus memperhitungkan pidana yang lebih dahulu telah dijatuhkan, dengan menggunakan ketentuan-ketentuan tentang concursus (pasal 63 sampai pasal 70 bis KUHP). 4). Samenloop (perbarengan tindak pidana) atau concursus Didalam KUHP diatur dalam dalam pasal 63 s/d 71 yang terdiri dari: (1). Perbarengan peraturan (concursus idealis)19, dalam pasal 63, bila suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana. (2). Perbuatan berlanjut (delictum continuatum)20, dalam pasal 64 bila: a) Seseorang melakukan beberapa perbuatan b) Perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran c) Antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. (3). Perbarengan perbuatan (concursus realis)21, dalam pasal 65 bila: a) Seseorang melakukan beberapa perbuatan. b) Masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri-sendiri sebagai suatu tindak pidana (kejahatan/pelanggaran); jadi tidak perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain.
78
4.1.4. Dasar Peringanan Pidana Menurut Jonkers, yang telah disadur oleh Djoko Prakoso bahwa hal-hal yang meringankan pemidanaan yaitu antara lain : 48 1). Percobaan untuk melakukan kejahatan (poging) Percobaan atau poging diatur dalam pasal 53 KUHP. Pasal ini tidak memberikan definisi tentang percobaan tetapi hanya memberikan suatu batasan bilakah ada percobaan untuk melakukan suatu tindak pidana. Adapun unsur-unsur dari delik percobaan adalah: (1) Harus ada niat, artinya orang harus dengan sengaja melakukan perbuatan jahat; (2) Harus ada permulaan pelaksanaan, yaitu orang harus sudah mulai melakukan perbuatan pelaksanaan kejahatan itu; (3) Pelaksanaan itu tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak sendiri. maksudnya niat jahat itu batal bukan kehendak sendiri. Percobaan merupakan suatu hal yang meringankan pemidanaan karena pembuat undang-undang beranggapan bahwa perbuatan percobaan itu tidaklah menimbulkan kerugian sebesar apabila kejahatan itu dilakukan sampai selesai. 2). Pembantuan (medeplichtige) Pembantuan diatur di dalam pasal 56 KUHP yang berisi ketentuan dipidana sebagai pembantu melakukan suatu kejahatan terhadap barang siapa: (1) Dengan sengaja membantu melakukan kejahatan; (2) Yang dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan; (3) Pembantuan dapat dilakukan pada saat dilakukan kejahatan yaitu yang dilakukan pada saat berbarengan dengan saat orang yang dibantu itu melakukan perbuatannya. 49 Di samping itu pembantuan dapat juga dilakukan pada saat waktu sebelum kejahatan itu dilakukan, yakni dengan memakai kesempatan, alat-alat atau keterangan untuk menjalankan kejahatan itu. Terhadap pembantuan ini dikenakan 48 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 190-193. Lihat juga: Adami Chazawi, op.cit., hlm. 105-106. 49 E. Utrecht, op.cit., hlm. 32.
79
pidana yang lebih ringan daripada yang dikenakan pada si pembuatnya (orang yang dibantu). Pembantuan merupakan salah satu hal yang meringankan pemidanaan; karena pembantuan itu sifatnya hanyalah menolong atau membantu, memberi sokongan, sedangkan inisiatif dalam melakukan tindak pidana dipegang oleh si pembuat. 3). Strafrechttelijke minderjarigheid atau orang yang belum cukup umur yang dapat dipidana (minderjarig). Yang dimaksud dengan belum cukup umur itu adalah anak-anak yang belum berumur 16 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Menurut pasal 45 KUHP ialah bahwa orang yang belum cukup umur yaitu belum berumur 16 (enam belas) tahun melakukan suatu tindak pidana, maka hakim dapat menentukan salah satu diantara 3 (tiga) kemungkinan, yaitu: 50 (1) Memerintahkan agar anak itu diserahkan kembali kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tak dikenakan pidana; (2) Memerintahkan agar anak itu diserahkan kepada pemerintah untuk dididik dengan tak dikenakan pidana; (3) Dikenakan pidana. Pasal 46 KUHP menunjukkan apabila hakim memerintahkan anak itu diserahkan kepada pemerintah, maka anak itu dapat ditempatkan dalam rumah pendidikan negara untuk menerima pendidikan, atau diserahkan kepada seseorang tertentu, kepada sesuatu bagian hukum, yayasan atau lembaga amal untuk dididik paling lama sampai umur 18 tahun. Adapun tujuan dari pendidikan paksa itu adalah untuk menempatkan anak dalam suasana yang baik, yaitu supaya ia dapat membiasakan diri pada ketertiban dan disiplin. 4.1.4. Dampak terjadinya Disparitas Putusan Hakim Disparitas Pidana akan sangat berpengaruh dari sistem penyelenggaraan pidana manakala tidak dibenahi secara komprehensif dan teratur. Hal tersebut berdampak pada ketidak adilan terhadap terpidana atas putusan yang telah diberikannya. 50
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 98.
80
Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa dampak dari disparitas putusan hakim itu ada beberapa kemungkinan. Tentunya bagi masyarakat, disparitas pidana dalam arti yang tidak memberi dasar, pertama, bisa menimbulkan ketidak percayaan terhadap masyarakat. Kedua, terjadi rasa ketidak puasan karena diperlakukan tidak sama dengan pelaku yang lainnya. Ketiga, kemudian memunculkan rasa ketidak adilan. Keempat, menimbulkan kebencian kepada sistem, khususnya di lembaga pengadilan. Dan terakhir, dapat menghasilkan ketidak percayaan terhadap aparat penegak hukum dalam Criminal Justice System.51 Selain itu, di masyarakat juga mengenal azas dalam hukum pidana yang mengatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, artinya pidana harus sesuai dengan kesalahannya masing-masing. Apabila ini dirasa bertentangan, maka dapat memunculkan perbuatan main hakim sendiri karena disparitas tersebut tidak mempunyai landasan yang reasonable. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa terpidana akan membandingkan dengan terpidana yang lainnya, yang kemudian setelah membandingkannya merasa menjadi korban (victim) “the judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan.52 Dari sini akan tampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana (Criminal Justice System). Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi bilamana disparitas pidana tersebut tidak dapat diatasi, yakni timbulnya demoralisasi dan sikap anti-rehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi pidana yang lebih berat daripada yang lebih berat yang lain di dalam kasus yang sebanding. Banyak orang salah duga, seolah-olah program rehabilitasi
51 52
Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 54 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 54.
81
pelaku tindak pidana baru mulai sejak ia memasuki pintu gerbang Lembaga Pemasyarakatan atau bentuk-bentuk treatment of offenders yang lain. Perlu
diketahui bahwasanya Lembaga Pemasyarakatan itu merupakan
salah satu sub sistem saja dari Criminal Justice System yang secara komprehensif merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipikirkan sebagian demi sebagian. Di mulai dari lembaga kepolisian lah dilakukan pengumpulan data dengan cara diinterogasi, pengumpulan serangkaian alat-alat bukti dan lalu dikumpulkan dan dikemukakan di sidang pengadilan. Hal inilah yang akan mempengaruhi tingkah laku narapidana terhadap penguasa dan akan merupakan faktor yang menentukan dalam penyesuaian terhadap program rehabilitasi. Brongers sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adji mengatakan bahwa adanya perbedaan dalam hukuman yang dijatuhkan itu, dahulu dapat menimbulkan putusan sewenang-wenang yang disebabkan oleh mereka yang menuntut dan harus menetapkan hukuman itu tidak mempunyai pegangan dalam menjalankan tugas tersebut. 53 Berdasarkan uraian tersebut, disparitas putusan hakim atas perkara tindak pidana asusila dalam putusannya di atas mendeskripsikan adanya sebab-sebab atau pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim dalam setiap menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa. Disparitas putusan hakim sebenarnya bukanlah menjadi persoalan di dalam hukum pidana, sebab semua putusan hakim pasti disparitas, apabila ini dimaknai sebagai perbedaan. Namun yang dimaksud di sini adalah perbedaan yang tidak mempunyai dasar filosofis, kriteria dan ukuran yang sama atau singkatnya perbedaan yang tidak berdasarkan landasan yang reasonable. Kemudian juga perkara yang ditangani oleh hakim berbeda secara kasuistik dengan melihat per kasus, jadi putusannya pun tidak boleh disamakan dengan terdakwa yang lain.
53
Oemar Seno Adji, Hukum-Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 25.
82
4.2. Pembahasan 4.2.1.Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Asusila Pada
Putusan
Nomor 111/Pid.B/2012/PN.SKD dan Nomor 270/Pid.B/2012/PN.SKD Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak dan untuk mengetahui tanggung jawab pidana pelaku
tindak
pidana
asusila
khusunya
pada
Putusan
nomor
111/
PID.B/2012/PN.SKD dan nomor 270/PID.B/2012/PN.SKD maka terlebih dahulu kita harus melihat pertimbangan hakim terhadap unsur-unsur yang dibuktikan didalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan penelitian di Pengadilan Negeri Sukadana, menurut Ibu Nur Efriyanti Meliana selaku Hakim, menyatakan : Putusan nomor 111/ Pid.B/2012/PN.Skd pertimbangan hakim terhadap masingmasing unsur yaitu : 1). Unsur Barang Siapa Menimbang bahwa kata barang siapa tiada lain merupakan kata yang menunjuk pada subyek hukum dalam hal ini manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban yang kepadanya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum pidana; Menimbang, bahwa dalam perkara ini Penuntut Umum telah mengajukan dana menuntut orang yang bernama Hairudin bin Mangun Suwito yang mana identitasnya tersebut dibenarkan oleh terdakwa dan juga dibenarkan oleh saksisaksi yang hadir dipersidangan, sehingga dengan demikian tidaklah terjadi kekeliruan akan orang yang diajukan dipersidangan ini; Menimbang, bahwa dengan demikian unsur barang siapa telah terpenuhi menurut hukum. 1. Unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya dan tidak selesainya perbuatan itu hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri. Menimbang, bahwa menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar – komentarnya lengkap pasal 83
demi pasal yang dimaksud bersetubuh adalah peraduan antara anggota kemaluan laki- laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki - laki harus masuk kedalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani; Menimbang,
bahwa
berdasarkan
fakta
hukum
yang
terungkap
dipersidangan telah terbukti bahwa pada hari rabu tanggal 14 maret 2012 pukul 23.00 wib terdakwa telah melakukan percobaan perkosaan terhadap korban di dalam kamar tidur saksi korban dirumah kediaman ibu tiri terdakwa di dsn. ngesti widodo RT/RW 09/04 Kec. Waway Karya Kab.Lampung Timur; Menimbang, bahwa terdakwa ingin melakukan pemerkosaan terhadap saksi korban dikarenakan terdakwa tidak bisa menahan nafsu birahinya setelah menonton film video porno di hp milik temannya tetapi terdakwa sudah ditinggal pergi oleh istri terdakwa bekerja dijakarta sudah hampir 3 bulan lalu terdakwa teringat akan kemontokan tubuh korban, dan timbul niat terdakwa untuk menyetubuhi korban Desi Nilawati yang pada saat itu ditinggal jauh oleh suaminya yang bekerja di Tulang Bawang; Menimbang, bahwa kemudian terdakwa langsung mengambil sebilah golok dengan maksud digunakan untuk mencongkel pintu jika dikunci menggunakan gembok lalu terdakwa mengendap-endap dipinggir rumah saksi Sumiati menuju pintu belakang rumah saksi Sumiati lalu terdakwa bisa masuk dan menyelinap masuk kerumah ibu tirinya Sdri. Sumiati melalui pintu belakang rumah karena pada saat itu tidak terkunci karena Sdri. Sumiati dan korban Sdri. Desi Nilawati saat itu sedang pergi ke kamar mandi yang letaknya dibelakang rumah saksi sumiati, lalu terdakwa dengan leluasa langsung masuk kamar tidur korban sdri. Desi Nilawati dan bersembunyi dibawah ranjang tempat tidur korban dan menunggu sampai saksi korban tidur; Menimbang, bahwa setelah saksi korban desi nilawati sudah tertidur, kurang lebih satu jam kemudian terdakwa keluar dari bawah ranjang dan menaruh golok dibawah ranjang kamar saksi korban dan setelah terdakwa keluar dari bawah ranjang kemudian terdakwa langsung melepaskan seluruh pakaiannya terkecuali celana dalam yang dipakainya dan kemudian saat itu alat kelamin terdakwa yang melihat tubuh saksi korban yang sedang tidur langsung tegang lalu
84
terdakwa tidak tahan lagi untuk menyetubuhi saksi korban langsung mengambil mukena milik saksi korban dan dengan kedua tangan terdakwa, terdakwa langsung membungkam serta menahan mulut saksi korban supaya tidak bisa berteriak menggunakan mukena dan langsung menindih tubuhnya sejajar dengan tubuh saksi korban tetapi saksi korban langsung berontak dan menedangkan kaki kanannya yang mengenai kemaluan terdakwa sehingga membuat terdakwa terjungkal kebawah dan kesakitan, kemudian setelah saksi korban lepas dari sekapan terdakwa lalu saksi korban berteriak yang membuat ibu tiri terdakwa mendengar dan lalu menggedor pintu dan kemudian terdakwa langsung berusaha kabur dengan memakai celana dalam saja dan membawa pakaian yang telah dilepaskannnya; Menimbang, bahwa dengan demikian unsur "Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya dan tidak selesainya perbuatan itu hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri telah terpenuhi menurut hukum; Menimbang, bahwa oleh karena seluruh Dakwaan Penuntut umum telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 285 KUHP jo Pasal 53 ayat (1) KUHP; Menimbang, bahwa oleh karena selama persidangan perkara ini Majelis Hakim tidak menemukan hal hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggung iawaban pidana, baik alasan pembenar atau alasan pemaaf, oleh karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa harus dipertanggung iawabkan kepadanya; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa mampu bertanggung jawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang didakwakan terhadap diri terdakwa oleh karena itu harus dijatuhi pidana; Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal - hal yang memberatkan dan yang meringankan;
85
Hal-Hal yang memberatkan : -
Perbuatan terdakwa menyebabkan trauma pada saksi korban;
Hal-Hal yang meringankan : -
Terdakwa berterus terang mengakui perbuatannya
-
Terdakwa belum pernah dihukum
-
Sudah ada perdamaian antara terdakwa dengan korban
Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim memutuskan menghukum terdakwa Hairudin Bin Mangun Suwito dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan. Selanjutnya menurut Bapak Ari Qurniawan Hakim Pengadilan Negeri Sukadana menyatakan : Pada putusan nomor 270/ Pid.B/2012/PN.Skd pertimbangan hakim terhadap masing-masing unsur yaitu : 1) Unsur Barang Siapa Menimbang, bahwa yang dimaksud “Barang Siapa” adalah setiap orang sebagai Subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, dan ia mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Menimbang, bahwa dipersidangan telah diajukan terdakwa yang bernama Wahyudin bin Sumardi, yang berdasarkan identitas dalam surat dakwaan yang setelah ditanyakan kepada terdakwa diakui sebagai identitasnya, serta dari keterangan saksi-saksi dipersidangan, yang kesemuanya saling bersesuaian, sehingga Majelis menilai bahwa terdakwa yang diajukan dipersidangan tersebut adalah benar sebagai orang yang dimaksud dan didakwa sebagai pelaku tindak pidana dalam perkara ini, sehingga unsur “Barang Siapa” telah terpenuhi menurut hukum; 2). Unsur Dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan Menimbang bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 sekira pukul 11.00 Wib di Dusun II Desa Purbo Sembodo Kecamatan Metro Kibang Kabupaten Lampung Timur terdakwa telah menyetubuhi saksi Suliah Binti Sukidi yang merupakan adik ipar dari terdakwa.
86
Menimbang bahwa perbuatan terdakwa tersebut berawal saat terdakwa datang kerumah saksi korban Suliyah yang pada saat itu sedang berpacaran dengan pacarnya yaitu saksi Eko, kemudian terdakwa secara diam-diam merekam saat mereka sedang pacaran melalui Handphone milik terdakwa, setelah itu terdakwa menegur dan menyuruh saksi Eko untuk pulang kerumahnya. Menimbang bahwa setelah saksi Eko pulang terdakwa kemudian mengajak saksi korban Suliyah untuk melakukan persetubuhan namun ditolak oleh saksi korban sehingga terdakwa kemudian mengancam saksi korban Suliyah bahwa terdakwa akan menyebarkan video rekaman saksi korban Suliyah saat sedang berpacaran tadi sehingga saksi korban Suliyah menjadi takut dan mengikuti kemauan terdakwa, pada saat terdakwa akan menyetubuhi, saksi korban Suliyah sempat melakukan perlawanan namun oleh karena tangan saksi korban dipegang oleh terdakwa dan badan saksi korban ditindih oleh terdakwa, saksi korban tidak dapat melepaskan diri. Menimbang bahwa berdasarkan fakta tersebut Majelis Hakim menilai perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur dengan ancaman kekerasan. 3). Unsur memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan Menimbang bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 sekira pukul 11.00 Wib di Dusun II Desa Purbo Sembodo Kecamatan Metro Kibang Kabupaten Lampung Timur terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi Suliyah Binti Sukidi. Menimbang bahwa perbuatan terdakwa berawal saat terdakwa datang kerumah saksi korban Suliah Bin Sukidi dan melihat saksi korban sedang bercumbu dengan pacarnya yaitu saksi Eko Siswanto, kemudian terdakwa secara diam-diam merekam peristiwa tersebut dengan Handphonenya. Menimbang bahwa terdakwa kemudian menghampiri korban dan menasehatinya serta menyuruh pacar korban untuk pulang kerumah namun setelah setelah pacar korban pulang, terdakwa memaksa saksi korban untuk melakukan persetubuhan dengan cara mengancam saksi korban apabila tidak mau mengikuti keinginannya maka terdakwa akan menyebarluaskan video rekaman tersebut.
87
Menimbang bahwa terdakwa kemudian menarik korban untuk masuk kedalam kamarnya dan setelah didalam kamar, terdakwa langsung membuka celana dalam korban dan memasukan alat kelaminnya kedalam kemaluan korban namun tidak sampai mengeluarkan sperma karena terdakwa takut ketahuan oleh kakak korban. Menimbang bahwa selanjutnya terdakwa mengajak korban untuk kembali melakukan persetubuhan di rumah terdakwa dan setelah sampai dirumah terdakwa saksi korban yang sebelumnya meminta terdakwa untuk menghapus rekaman yang ada dalam handphond terdakwa namun terdakwa mengatakan akan menghapus rekaman tersebut asalkan korban mau berhubungan badan dengan terdakwa sehingga terdakwa membuka baju dan celana korban dan terdakwa membuka celana serta baju nya kemudian memasukan alat kelaminnya yang sudah dalam keadaan tegang kedalam kemaluan korban lalu menggoyang goyangkan pantatnya turun naik hingga korban merasakan sakit dan kemaluan korban mengeluarkan darah setelah kemaluan terdakwa mengeluarkan sperma. Menimbang bahwa berdasarkan hasil Visum Et Repertum Nomor : 355 / KET / lll.6.AU/A/XI/2012 tanggal 9 November 2012, yang ditandatangani oleh dr. Arief Nur Rachmanto Dokter pada Rumah Sakit Umum Muhamadiyah Metro, dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2012 ditemukan Hasil pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik pada payudara kiri terdapat luka memar dengan diameter satu centimeter kali satu centimeter akibat bersentuhan dengan benda tumpul. Pada pemeriksaan luar fisik organ genital terdapat robekan pada selaput dara pada jam Sembilan dan jam tiga akibat bersentuhan dengan benda tumpul. Tidak didapatkan cairan berwarna putih pada organ kemaluan. 4). Kesimpulan -
Terdapat luka memar akibat bersentuhan dengan benda tumpul di payudara kiri.
-
Terdapat robekan diselaput dara kemaluan akibat bersentuhan dengan benda tumpul.terdakwa dilakukan dengan cara memaksa saksi Suliyah Binti Sukidi untuk melakukan persetubuhan .
88
Menimbang bahwa terdakwa melakukan persetubuhan dengan saksi korban Suliyah tidak didalam suatu pernikahan. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim menilai unsur ini telah terpenuhi. Menimbang bahwa dengan terbuktinya seluruh unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, maka Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana sesuai dalam dakwaan tunggal Penuntut Umum. Menimbang, bahwa karena terdakwa dinyatakan bersalah dan tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf yang dapat menghapus kesalahan terdakwa tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 44, 45, 48, 49, 50 dan 51 KUHP, maka terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah maka patut pula dibebani untuk membayar biaya perkara; Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim mengambil putusan terhadap diri terdakwa, terlebih dahulu akan diperhatikan hal-hal sebagai berikut : Hal-hal yang Memberatkan : -
Perbuatan terdakwa sangat tercela dan meresahkan masyarakat
-
Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban SULIYAH Binti SUKIDI
Hal-hal yang Meringankan :. -
Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya.
-
Terdakwa belum pernah dihukum. Menimbang, bahwa penjatuhan pidana ini bertujuan dalam rangka
pembinaan sehingga orang tersebut akan menyadari atau menginsapi akan kesalahannya dimasa lalu sehingga ia tidak akan lagi berbuat kesalahan atau kejahatan dengan demikian ketertiban dalam masyarakat akan dapat dicapai; Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
Majelis
Hakim
memutuskan
menghukum terdakwa Wahyudin Bin Sumardi dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun.
89
Menurut Immanuel Kant dalam bukunya “Philosophy of Law” seperti yang disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan sebagai berikut:54 “.......Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/ kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada didalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/ keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian, mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”. Jadi menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan sehingga seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan suatu kejahatan. Paulus Effendie Lotulung menyatakan bahwa hakekat independensi kekuasaan kehakiman tidaklah sebebas-bebasnya tanpa ada atasan secara absolut. Sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa ini di dunia maupun akhirat. Kekuasaan kehakiman yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu sehingga dalam Konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa: “Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”55 Berdasarkan uraian tersebut kedua putusan perkara tindak pidana Asusila yaitu
perkara
nomor
111/
PID.B/2012/PN.SKD
dan
nomor
270/PID.B/2012/PN.SKD dapat disimpulkan bahwa bentuk pertanggung jawaban
54
Ibid. hlm. 11. Paulus Effendi Lotulung, dalam makalahnya: Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, yang disampaikan pada “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” dengan tema “Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI di Denpasar, 14-18 Juli 2003. 55
90
terhadap pelaku tindak pidana Asusila adalah berupa pidana penjara yang lamanya disesuaikan oleh perbuatan yang dilakukan oleh masing-masing terdakwa yang mana terdakwa Hairudin Bin Mangun Suwito dihukum 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan penjara sedangkan terdakwa Wahyudin Bin Sumardi dihukum penjara selama 6 (enam) tahun. 4.2.2. Faktor Penyebab terjadinya Disparitas Putusan Hakim terhadap Tindak Pidana Asusila pada Putusan Nomor 111/PID B/ 2012/ PN.SKD dan Nomor 270 /PID.B/2012/ PN.SKD Berdasarkan penelitian di Pengadilan Negeri Sukadana, menurut Ibu Nur Efriyanti Meliana selaku Hakim, menyatakan bahwa penyebab terjadinya Disparitas Putusan Hakim terhadap Tindak Pidana Asusila pada Putusan Nomor 111/Pid B/2012/PN. SKD dan Nomor 270/Pid B/2012/PN. SKD, orang yang melakukan pemidanaan terdapat beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh hakim sebelum sampai kepada putusannya. Pertimbangan hakim terbagi menjadi dua, yaitu pertama, pertimbangan yang bersifat yuridis berupa dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti dan pasalpasal yang mengaturnya. Kedua, pertimbangan yang bersifat non yuridis, berupa alasan pemberat yaitu merupakan recidive yang di atur dalam KUHP, alasan peringan (di luar KUHP), motif dan status sosial terdakwa. Berikut ini merupakan pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis kepada terdakwa dalam putusannya Nomor 111/ PID B/2012/PN.SKD dan 270/PID. B/2012/PN.SKD. Pada Putusan Nomor 111/PID.B/2012/PN.SKD yang menjadi alasan pemberatnya adalah Perbuatan terdakwa menyebabkan trauma pada saksi korban dan Pada Putusan Nomor 270/PID. B/2012/PN.SKD yang menjadi alasan pemberatnya adalah Perbuatan terdakwa sangat tercela dan meresahkan masyarakat serta Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban. Hal-hal yang menjadi dasar alasan peringan putusan pada Putusan nomor 111/PID.B/2012/PN.SKD
adalah
terdakwa
berterus
terang
mengakui
perbuatannya, terdakwa belum pernah dihukum dan telah ada perdamaian antara terdakwa
dengan
korban,
sedangkan
pada
putusan
nomor
270/PID.
B/2012/PN.SKD yang menjadi dasar alasan peringan terhadap perbuatan terdakwa
91
adalah terdakwa yang mengakui perbuatannya dan terdakwa belum pernah dihukum. Berdasarkan Putusan hakim dengan Nomor 111/ PID B/2012/PN.SKD dan 270/PID. B/2012/PN.SKD., melihat pertimbangan alasan pemberat dan peringan bagi terdakwa, terkandung secara implisit filosofi penjatuhan pidana yang tiada lain merupakan tujuan dari pemidanaan yaitu pertama, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna dan yang kedua, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Kedua putusan hakim dengan No. 111/ PID B/2012/PN.SKD dan 270/PID. B/2012/PN.SKD, yang menjadi dasar peringan hukuman terhadap terdakwa adalah terdakwa belum pernah dihukum atau terdakwa bukan sebagai recidive yang melakukan pengulangan tindak pidana. Hal ini dapat terjadi manakala seseorang melakukan suatu delik dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan yang inkrach van gewijsde, kemudian melakukan suatu delik lagi, maka menurut teori pemidanaan, recidive merupakan alasan untuk memperberat pemidanaan. Sistem pemberatan pidana di atas dengan jenis recidive khusus terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam “kelompok jenis” diatur dalam pasal 486, 487 dan 488 KUHP. Yang dimaksud dengan kelompok jenis adalah bahwa kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu. Kemudian dalam putusan Nomor 111/ PID B/2012/PN.SKD dan 270/PID. B/2012/PN.SKD, dengan memerhatikan ratio decidendi, yaitu alasan yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya, diantaranya berupa pertimbangan yang memberatkan dan meringankan para terdakwa secara implisit mempunyai tujuan pemidanaan, yang merupakan filosofi dari penjatuhan pidana (philosophy of sentencing). Filosofi hakim tersebut adalah untuk memperbaiki, merawat atau mengobati terpidana saat menjalani pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan dan masyarakat perlu adanya keseimbangan nilai yang terjamin untuk memulihkan konflik dari perbuatan kejahatan, terutama tindak pidana asusila tersebut.
92
Menurut penulis, Pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana asusila dapat juga terjadi manakala : 1. Memenuhi unsur-unsur yang ada dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 289 KUHP, 2. Delik tersebut dilakukan dengan kekerasan, 3. Korban adalah orang di bawah umur, 4. Perbuatan tersebut dilakukan dimukan umum, 5. Apabila korban dalam keadaan tidak berdaya dan terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan obyek delik misalnya guru dengan muridnya. Berdasarkan Putusan nomor 111/ PID B/2012/PN.SKD dan putusan nomor 270/PID. B/2012/PN.SKD dimana terdakwa masing-masing didakwa oleh Penuntut Umum dengan Pasal 285 KUHP namun untuk putusan nomor 111/PID.B/2012/PN.SKD atas nama terdakwa Hairudin Bin Mangun Suwito penuntut umum menambahkan Pasal 53 Ayat (1) KUHP yang menjadi dasar memperingan pidana terhadap terdakwa karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Hairudin masih merupakan percobaan. Bentuk pidana terhadap perbuatan yang masih merupakan percobaan memiliki dasar sendiri yaitu pada Pasal 53 KUHP dimana percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil, dengan dimuatnya Pasal 53 KUHP dapat juga menjadi pertimbangan hakim untuk memperingan pidana yang akan diberikan oleh terdakwa karena didalam Pasal 53 telah mengatur maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga. Membuktikan apakah perbuatan terdakwa termasuk didalam unsur percobaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP harus dilihat dari 3 unsur ini, yaitu : 1. Adanya niat/kehendak dari pelaku 2. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu 3. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku Berdasarkan ketentuan tersebut bila dihubungkan dengan pertimbangan hakim dan putusan hakim terhadap terdakwa Hairudin Bin Mangun Suwito didalam putusan perkara pidana nomor 111/PID.B/2012/ PN.Skd terlihat bahwa 93
pertimbangan hakim untuk menjatuh hukuman pidana kepada terdakwa Hairudin lebih rendah dibandingkan dengan perkara pidana yang sama. Bervariasinya putusan pemidanaan oleh hakim antara putusan yang satu dengan lainnya, yaitu putusan nomor 111/Pid.B/2012/PN.Skd dengan putusan nomor 270/Pid.B/2012/PN.Skd kepada masing-masing terdakwa dalam perkara tindak pidana asusila merupakan disparitas pidana, karena hakim kurang memerhatikan landasan, kriteria dan ukuran yang sama diantara para pelaku dalam tindak pidana yang sama, yang dapat menyebabkan ketidakadilan atas terpidana setelah membandingkan dengan terpidana yang lainnya dalam jenis perkara yang sama dan nantinya akan menjadikan terpidana itu sikap anti rehabilitasi
dan
demoralisasi
di
Lembaga
Pemasyarakatan
dan
Balai
Pemasyarakatan. Menurut Muladi dan Barda Nawawi, penyebab dari adanya disparitas pidana (putusan hakim) di mulai dari hukumnya sendiri. Didalam hukum pidana positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang. Faktor penyebab kedua dari adanya disparitas pidana adalah bersumber pada diri hakim, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut Hood dan Sparks yang juga disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi, sifat internal dan eksternal pada diri hakim kadang-kadang sulit dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai “human equation” atau “personality of the judge” dalam arti luas yang menyangkut pengaruh-pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku sosial. Dari kedua putusan tersebut, maka penyebab dari adanya disparitas pemidanaan pada perkara tindak pidana asusila adalah pertama, secara umum dilihat dari aspek yuridis bahwa undang-undang (KUHP) secara umum mengandung sistem perumusan indefinite, artinya tidak ditentukan secara pasti. Dalam pasal 285 dikatakan “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.........”.
94
Dari sini pembuat undang-undang memberikan kebebasan kepada hakim untuk memilih rentang waktu antara minimal satu hari sampai dengan maksimal dua belas tahun penjara; kedua, pelakunya berbeda-beda, ada yang berperan sebagai pleger (pelaku utama), doenpleger (orang yang menyuruhlakukan), medepleger (orang yang turut serta) dan uitlokker (penganjur); ketiga, pelaksanaan perbuatan tersebut terlaksana atau tidak bukan karena kehendak pelaku, keempat, yang menjadi korban dari perbuatan asusila tersebut. Selain itu juga terdapat faktor pemberatan dan peringanan pidana. Dengan melihat dua perkara di atas, bahwa hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa dalam putusan hakim merupakan salah satu penyebab terjadinya disparitas pemidanaan. Sebab dalam setiap perkara yang ditangani oleh hakim, hakim berhadapan terhadap perilaku yang berbeda serta latar belakang yang berbeda sehingga terdakwa melakukan kejahatan tersebut. Selain itu ada halhal lain yang menyebabkan disparitas, sebagai berikut : 1). Peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kita miliki dan di anut di Negara Indonesia memiliki kelemahan karena dalam KUHP sendiri tidak mengatur mengenai pedoman hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana. Serta di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, standar antara batas minimal dan maksimal dari sanksi pidana yang ditentukan oleh undang-undang terlampau besar sehingga problema disparitas pemidanaan menjadi mengemuka. Dalam jenis pidana penjara misalnya Pasal 12 KUHP ditentukan bahwa pidana penjara sementara waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 15 tahun. 2). Kekuasaan Kehakiman Hakim memiliki kekuasaan yang merdeka dalam proses penyelenggaraan peradilan dalam memutuskan suatu perkara. Putusan hakim merupakan mahkota dari suatu perkara. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
95
Hakim
sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman
memperoleh
kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pidana yang ditanganinya secara bebas dari intervensi pihak manapun. Berdasarkan kewenangan yang ada pada hakim yang telah diatur dalam undang-undang tersebut merupakan salah satu faktor terjadinya disparitas pemidanaan. Karena hakimlah yang menentukan nasib seorang terdakwa. Hakim biasanya berpedoman pada motif si pelaku melakukan kejahatan tersebut, sikap batin pelaku, serta riwayat hidup pelaku menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa. 3). Karakteristik Kasus Menurut Beccaria (Eva Achjani, 2011: 57) mengakui bahwa: “Setiap perkara pidana memiliki karakteristiknya sendiri yang disebabkan karena kondisi pelaku, korban, ataupun situasi yang ada pada saat tindak pidana terjadi”. Walaupun dalam tindak pidana yang sejenis atau memiliki tingkat keseriusan yang sama tetapi tidak semua kasus memiliki kemiripan yang sama persis. Dengan melihat data lima tahun terakhir (2008-2012) yang telah diolah oleh penulis dapat terlihat bahwa walaupun sama-sama dikenakan Pasal 363 ayat 1 ke3 dan ke-4 KUHP, tetapi bentuk pemidanaan atau lama sanksi pidana yang diberikan berbeda. Hemat penulis, bahwa setiap kasus berdiri sendiri tidak saling berkaitan antara kasus yang satu dengan kasus yang lainnya. Dalam proses peradilan yang berlangsung, hakim akan memperhatikan aspek-aspek sosiologis serta aspek kriminologi yang melekat pada setiap perkara. 4). Persepsi Tentang Keadilan yang Berbeda oleh Setiap Hakim Keadilan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh alat indra manusia tetapi hanya dapat dirasakan. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap adil atau tidaknya hakim dalam memutuskan suatu perkara. Demikian pula dengan apa yang dirasakan oleh hakim mengenai nilai suatu keadilan. Dalam kasus yang serupa, hakim terkadang memberikan penilaian mengenai keadilan yang berbeda terhadap kasus yang satu dengan kasus yang serupa. Hal tersebut berdampak pada terjadinya disparitas pemidanaan. Terlebih lagi apabila kasus yang serupa tersebut ditangani oleh hakim yang berbeda.
96
5). Falsafah Penghukuman yang Dianut Oleh Hakim Falsafah hakim dalam memutuskan atau memandang suatu perkara pidana berbeda-beda. Misalnya saja apabila seorang hakim menganut falsafah pembalasan. Hakim tersebut memandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata atau mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasadann kepada pelaku tindak pidana. Sanksi pidana dideskripsikan sebagai suatu pemberian derita. Dasar penjatuhan pidana yaitu pidana selayaknya seimbang dengan kerugian yang diakibatkan tindak pidana. Hakim Menurut Kant (Eva Achjani, 2011: 53) menyatakan bahwa: “Seorang hakim haruslah melihat seberapa besar kerugian yang ditimbulkan pelaku terhadap korban, sehingga hal itu menjadi suatu patokan dalam menjatuhkan sanksi pidana”. Sedangkan seorang hakim yang menganut falsafah pembinaan memandang bahwa seorang yang telah melakukan perbuatan pidana dan dijatuhkan hukuman pidana maka bentuk pemidanaan tersebut bermaksud untuk memperbaiki sifat dari pelaku itu sendiri. Terlebih jika si pelaku masih berusia muda. Penulis berpendapat bahwa seorang anak yang melakukan suatu tindak pidana, apabila dijatuhkan sanksi pidana, seorang hakim harus mengetahui mengapa si anak melakukan perbuatan tersebut atau apakah faktor yang melatar belakangi terjadinya perbuatan pidana itu. Menurut Eva Achjani (2011: 164) faktor-faktor yang menyebabkan anak melakukan perbuatan pidana yaitu: 1) Putus sekolah; 2) Pengangguran; 3) Datang dari keluarga dengan tingkat penghasilan rendah; 4) Tinggal di daerah pinggiran yang kumuh dan padat; Apabila terdapat salah satu faktor diatas yang mengakibatkan si anak melakukan tindak pidana tersebut, maka hakim dapat menjatuhkan sanksi berupa pembinaan kepada anak. Hakim biasanya bekerja sama dengan Dinas Sosial Pemerintah setempat agar memberikan pembinaan berupa keterampilan kepada anak agar dapat menjadi seseorang yang lebih baik kedepannya. Jadi, falsafah hakim merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya disparitas pemidanaan.
97
4.2.3. Upaya-Upaya yang dapat Dilakukan untuk Mengatasi terjadinya Disparitas Putusan Hakim pada Perkara Asusila di Pengadilan Negeri Sukadana Selanjutnya berdasarkan penelitian di Pengadilan Negeri Sukadana, menurut Ibu Nur Efriyanti Meliana selaku Hakim, menyatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya Disparitas Putusan Hakim pada Perkara Asusila di Pengadilan Negeri Sukadana adalah terdapat di dalam pidato pengukuhannya Barda Nawawi Arief yaitu membedakan “pola pemidanaan” dengan “pedoman pemidanaan”. Yang dimaksud dengan pola pemidanaan ialah acuan, pegangan atau pedoman untuk membuat atau menyusun perundangundangan yang mengandung sistem sanksi pidana (pedoman legislatif). Sedangkan pedoman pemidanaan yang lebih merupakan pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan atau menerapkan pidana (pedoman yudikatif). Di samping itu, upaya untuk mengatasi adanya disparitas pidana yaitu dibuatnya sistem minimal khusus yang merupakan delik-delik khusus di luar KUHP dan seharusnya aturan tersebut tidak hanya berlaku bagi lex specialis (UU khusus) saja, tetapi dapat juga berlaku lex generalis (KUHP). Kemudian perlu diadakan pemahaman visi dan misi yang sama antara majelis hakim di dalam memeriksa perkara. Karena disparitas pidana itu merupakan bagian dari law enforcement. Sedangkan law enforcement dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan terakhir pelaksanaan putusan pengadilan, yaitu tahap eksekusi. Selain itu perlu juga dibentuk suatu badan/lembaga peradilan (selain hakim) yang diberi wewenang untuk menggodok (menentukan berat ringannya pidana) atau pertimbangan-pertimbangan dalam pemidanaan. Keputusan hakim yang berujung pada disparitas juga memerhatikan criminal justice system, yang dimulai dari penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, pengadilan oleh hakim dan terakhir lembaga eksekusi oleh pejabat eksekusi. Sistem tersebut sewajarnya terpadu dan tidak boleh berdiri sendiri-sendiri.
98
Di dalam era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini, lembaga pengadilan mempunyai posisi terdepan dan sangat strategis. Dengan tugas menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya diharapkan putusan yang dijatuhkannya dapat mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Dari pelaksanaan tugas ini dapat diketahui bahwa pengadilan mempunyai sikap pasif untuk menunggu diajukannya suatu perkara kepadanya. Asas ini juga mengandung arti bahwa luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa dan diadili yang menentukan adalah pihak yang berperkara. Hakim sama sekali tidak diperkenankan untuk menambah atau menguranginya. Walaupun pada asasnya hakim hanya bersikap pasif, namun dalam kapasitas selaku pimpinan sidang ia harus aktif untuk membantu pencari keadilan (justiciabelen) dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan beaya ringan (pasal 5 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004). Dalam hal ini pengadilan harus mampu menjalankan fungsinya sebagai public service secara
optimal.
Sebagai
public
service
pengadilan
senantiasa
harus
memperhatikan, mendengar dan mewujudkan tentang kebutuhan hukum dan tuntutan keadilan dari masyarakat. Sudah merupakan sifat dasar atau karakteristik setiap pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia bahwa di dalam melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara harus mempunyai sikap mandiri. Bagaimana dapat terwujud putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat apabila dalam proses penjatuhan keputusannya hakim mendapat pengaruh kuat atau tekanan dari pihak di luar kekuasaan yudikatif. Putusan yang jauh menyimpang dari rasa keadilan akan menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan. Eksistensi lembaga pengadilan yang tidak mendapat simpati masyarakat akan berpengaruh langsung pada kinerja lembaga pengadilan itu sendiri. Apabila sementara ini pengadilan diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir keadilan (the last resort), maka tidak tertutup kemungkinan dapat bergeser fungsinya menjadi benteng terakhir kekuasaan. Terlebih lagi dengan adanya komitmen bangsa dan negara ini untuk mendeklarasikan secara aklamasi
99
sebagai negara hukum sebagaimana tertuang dalam UUD RI 1945, maka adanya lembaga peradilan bebas merupakan salah satu pilar yang tidak dapat ditinggalkan di samping pilar lainnya yaitu adanya pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di segala aspek dan juga adanya prinsip legalitas dalam arti hukum dalam segala hal. Masalah kebebasan lembaga peradilan ini secara reglementer dijumpai ketentuannya di dalam pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 yang pada dasarnya menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Merdeka di sini mengandung makna bahwa pengadilan sebagai lembaga yudikatif tidak dapat diatur atau dipengaruhi oleh lembaga eksekutif maupun legislatif. Artinya hakim tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan atau tidak ada campur tangan dari pihak manapun atau kekuasaan apapun juga. Di antaranya ketiganya mempunyai posisi yang sederajat sehingga yang satu tidak lebih daripada yang lain. Kekuasaan kehakiman ini merupakan kekuasaan yang mandiri dan bebas dari intervensi pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman itu sendiri. Ketentuan ini lebih dipertegas lagi dalam pasal 4 ayat 3 UU no. 4 Tahun 2004 yang melarang segala campur tangan dalam urusan pengadilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman. Bahkan secara lebih tegas lagi disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan pasal 4 ayat 3 tersebut dapat dipidana. Di dalam seminar tentang “ Kebebasan Hakim Dalam Negara Republik Indonesia Yang Berdasarkan Atas Hukum” yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia di Jakarta, disimpulkan bahwa kebebasan hakim mempunyai dua sisi yaitu bebas dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan lain dan juga bebas untuk mempersepsi dan menginterpretasi hukum dan mengadili menurut persepsi dan interpretasinya. Persoalan yang dapat dikemukakan adalah, bagaimanakah realisasi kebebasan hakim itu di dalam sistem hukum Indonesia dan di dalam praktek peradilan. Kebebasan hakim sebagai sifat dasar lembaga pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia di dalam
100
realisasinya sudah barang tentu ada faktor-faktor yang ikut berpengaruh dan ambil bagian terhadap luas dan isi kebebasan itu sendiri. Independensi Lembaga Peradilan,
pada dasarnya kebebasan hakim
bertujuan untuk mewujudkan putusan yang obyektif yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu baik kepentingan ekonomi, politik, golongan dan lain sebagainya. Dengan dijatuhkannya putusan hakim yang bernilai obyektif atau transparan diharapkan pengadilan mampu memberikan kepuasan kepada para pihak yang berperkara maupun pihak-pihak lain yang mendapat hak daripadanya pada khususnya maupun warga masyarakat pada umumnya. Memang kebebasan peradilan bukanlah satu-satunya ketentuan yang mampu menjamin obyektifitas pemeriksaan sidang. Asas-asas hukum acara yang lain dapat memberi andil yang cukup signifikan pula di dalam mewujudkan obyektifitas seperti misalnya asas “Audi et Alteram Partem”, adanya hak ingkar, putusan harus disertai alasan, persidangan wajib dilakukan secara terbuka untuk umum maupun adanya pemeriksaan perkara yang dilakukan dalam dua tingkat peradilan. Masalah kemandirian lembaga pengadilan ini sebenarnya sudah sejak lama diperbincangkan orang. Fungsi pengadilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan sudah sejak lama diidam-idamkan oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Masyarakat sangat berkepentingan terhadap peran lembaga pengadilan yang mau dan mampu mengayomi masyarakat. Lembaga pengadilan yang ideal adalah lembaga yang dapat menyerap aspirasi masyarakat tentang makna keadilan dan kebutuhan hukum masyarakat yang nantinya akan diterjemahkan ke dalam putusan yang akan dijatuhkannya. Ketidakpercayaan dan apatisme masyarakat kepada dunia peradilan dapat dipakai sebagai indikator akan runtuhnya cita-cita bangsa dan rakyat Indonesia untuk mengatasnamakan negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Tidak dapat dipungkiri bahwa praktek peradilan akhir-akhir ini disinyalir telah menunjukkan kecenderungan adanya keberpihakan (unfair). Sikap keberpihakan adalah sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat eksistensi lembaga
pengadilan itu sendiri
yang wajib
memperhatikan,
memperlakukan dan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang bersengketa (Equality Before The Law). Mengenai arti pentingnya kebebasan
101
pengadilan di dalam era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini, pemerintah sebenarnya sudah menyadari adanya kelemahan struktur lembaga pengadilan di masa lalu. Dimulai dengan adanya UU No. 19 Tahun 1964 yang memberi peluang presiden dapat campur tangan dalam urusan pengadilan maupun penempatan Mahkamah Agung di bawah kekuasaan presiden, yang kemudian dicabut keberlakuannya dengan UU No. 14 Tahun 1970 dapat diketahui bahwa semula masing-masing lingkungan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial (non judicial) berada di bawah kekuasaan masingmasing departemen dan dalam menjalankan fungsi judisial berada di bawah kendali Mahkamah Agung. Dari ketentuan ini jelas bahwa lembaga eksekutif dapat memberikan pengaruh dan ikut ambil bagian dalam proses penjatuhan keputusan hakim dengan cara campur tangan kepada hakim yang sedang memeriksa dan mengadili suatu perkara. Untuk
mengantisipasi
timbulnya
ketidakbebasan
hakim
tersebut,
kemudian diundangkanlah UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Secara tegas pasal 1 UU No. 35 Tahun 1999 tersebut menentukan bahwa terhadap masing-masing lingkungan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Ide dasar yang tercantum dalam UU tersebut adalah terwujudnya sistem peradilan di Indonesia dalam satu atap sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya departemen yang dapat mengatur hakim atau lembaga pengadilan. Di dalam UU No. 4 Tahun 2004 ketentuan tersebut dijumpai pengaturannya dalam pasal 13 ayat 1 yang menentukan bahwa “Organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Demikian pula ketentuan pasal 5 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004 menentukan bahwa “pembinaan tehnis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan untuk melakukan tugas pembinaan ini tetap tidak diperkenankan mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara”.
102
Berdasar ketentuan ini dapat disimpulkan telah terjadi pergeseran struktur yang semula di bawah departemen masing-masing (eksekutif) menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (yudikatif). Terjadinya pergeseran tersebut tidak lain dimaksudkan untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah, sehingga terjadi pemisahan tegas antara fungsi yudikatif dengan eksekutif. Ke depan kekuasaan yudikatif tidak berada lagi di bawah pengaruh atau campur tangan kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif (sub ordinate), dengan kata lain kekuasaan peradilan di Indonesia adalah bebas atau independen. Faktor Pembatas. Walaupun pada asasnya lembaga pengadilan di dalam memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya mempunyai kebebasan atau independensi, namun kebebasan itu sendiri tidaklah bersifat mutlak dalam arti bebas tanpa batas yang justru dapat menjurus kesewenangwenangan. Di dalam menjatuhkan keputusannya hakim mempunyai tanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, para pihak yang berperkara, masyarakat, pengadilan banding atau kasasi, ilmu pengetahuan, bangsa maupun negara. Beberapa faktor yang dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kebebasan pengadilan di Indonesia pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 hal yaitu faktor yuridis dan faktor non yuridis. Memang tidak dapat dikatakan bahwa faktor yang satu tidak lebih dominan daripada faktor yang lain, akan tetapi kemungkinan beberapa faktor tersebut akan berpengaruh secara simultan di dalam proses penegakan hukum. Oleh karenanya tidak dapat ditarik batas yang tajam bahwa faktor yuridis selalu lebih dominan daripada faktor non yuridis atau sebaliknya, akan tetapi tingkat pengaruh faktor ini sifatnya sangat kasuistis. 1). Faktor yuridis. (1) Pancasila. Pasal 1 jo pasal 3 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004 menentukan adanya tugas peradilan untuk menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila. Hal ini mengandung arti bahwa untuk memberikan kepastian akan hak (kepastian hukum) pihak yang berperkara, putusan yang dijatuhkan harus mampu mencerminkan perasaan keadilan bangsa
103
dan rakyat Indonesia. Hakim harus melakukan penafsiran hukum (interpretasi) dan menemukan asas-asas hukum untuk dijadikan sebagai landasan atau dasar terhadap keputusan yang dijatuhkannya. Adanya ketentuan bahwa pengadilan wajib untuk tidak membeda-bedakan orang (equal justice under law), adanya prinsip legalitas maupun adanya asas praduga tak bersalah (the praesumptiones of innocence), tidak lain dimaksudkan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia yang dilindungi oleh Negara berdasarkan Pancasila. Hal ini terbukti juga pada syarat-syarat untuk menjadi calon hakim pengadilan negeri salah satunya harus memiliki kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 14 ayat 1 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum). Untuk itulah di dalam rangka menjalankan tugasnya termasuk di dalamnya mengadili perkara yang diajukan kepadanya, maka keputusan yang dijatuhkan harus memperhatikan Pancasila. Dalam kedudukannya yang sangat penting ini, para hakim harus memiliki pegangan yang kuat yaitu landasan tujuan perjuangan serta pandangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila. Apabila dikaitkan dengan formulasi sumpah atau janji yang wajib diucapkan oleh hakim sebelum memangku jabatannya tampaknya terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri. Pasal 17 ayat 2 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004 tersebut yang mengatur tentang sumpah atau janji untuk memangku jabatan sebagai Ketua, Wakil Ketua dan hakim pengadilan disebutkan hanya “memegang teguh UUD Negara RI Tahun 1945 dan menjalankan peraturan perundang-undangan serta berbakti kepada nusa dan bangsa”. Bahkan untuk menjadi hakim agung baik di dalam persyaratan maupun pengucapan sumpah atau janji sebelum memangku jabatan hakim agung juga tidak disebut sama sekali tentang eksistensi Pancasila (pasal 7 ayat 1, pasal 9 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung). Di sisi lain, untuk menjadi panitera, wakil panitera, panitera muda maupun panitera pengganti di samping harus memenuhi syarat setia kepada Pancasila juga di dalam pengucapan sumpahnya wajib setia kepada dan akan mempertahankan dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara (pasal 28, 30, 32, 104
34, 38 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004). Demikian pula untuk menduduki jabatan jurusita / juru sita pengganti maupun menjadi wakil sekretaris pengadilan negeri harus mempunyai kesetiaan kepada Pancasila (pasal 40, 42, 46, 49
UU
No.
2
Tahun
1986
yo.
UU
No.
8
Tahun
2004).
Dari beberapa ketentuan tersebut nampaknya pembentuk Undang-Undang memang bermaksud untuk tidak membebani Ketua, Wakil Ketua pengadilan, hakim maupun hakim agung sendiri untuk “boleh” tidak memperhatikan nilainilai luhur Pancasila untuk diterjemahkan di dalam keputusannya. Padahal mestinya Pancasila dapat dipakai sebagai sarana pengendalian diri bagi hakim untuk
tidak
melakukan
praktek-praktek
yang
bertentangan
dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Atau mungkin ada unsur kesengajaan untuk mendiskriminasikan antara jabatan hakim di satu pihak dengan panitera, jurusita maupun sekretaris pengadilan di pihak lain. (2). Hukum tertulis dan Hukum Tidak Tertulis. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 mengandung arti bahwa hakim wajib memperhatikan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang berlaku di masyarakat. Perlu dipahami bahwa ketentuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat tidak hanya hukum yang tertulis akan tetapi dalam masyarakat yang masih tradisional akan lebih dominan berlakunya hukum yang tidak tertulis (hukum adat). Di dalam pemeriksaan perkara hakim harus selalu melihat pada peraturan yang berlaku sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan. Untuk itu di dalam putusannya di samping harus memuat alasan-alasan dan dasar putusannya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan maupun sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Memang tidak semua aspek kehidupan masyarakat dapat dijumpai pengaturannya dalam bentuk peraturan tertulis. Pembuatan peraturan tertulis membutuhkan proses yang jauh lebih panjang, sehingga sering terjadi peraturan tertulisnya ternyata berkembang tertinggal dengan perkembangan peristiwanya. Dalam kondisi yang demikian itu (rechtsvacuum) hakim dapat merujuk 105
keputusannya kepada peraturan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini hakim jelas tidak diperkenankan hanya asal memutus perkara tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas, karena hal-hal inilah yang dapat menjadikan merosotnya tingkat kewibawaan lembaga pengadilan, kurang obyektifnya putusan hakim dan juga memberi peluang untuk diajukan permohonan kasasi dan harus dibatalkan. (3) Kepentingan para pihak. Dalam perkara perdata, sesuai dengan asas hakim pasif maka ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakimnya. Apabila para pihak akan menyelesaikan sengketanya atas kehendak sendiri baik dengan perdamaian maupun pencabutan gugatan, hakim tidak diperkenankan untuk melarangnya. Bahkan sekarang ini ada kewajiban hakim untuk mengupayakan penyelesaian sengketa di pengadilan melalui jalur mediasi sebelum sengketa tersebut diperiksa secara kontradiktoir (PERMA No. 02 Tahun 2003). Demikian halnya apabila penggugat tidak menuntut tentang ganti kerugian misalnya, maka hakim pemeriksa tidak wajib menetapkan adanya besarnya ganti kerugian. Pasal 178 ayat 2 dan ayat 3 HIR, pasal 189 ayat 2 dan ayat 3 RBg secara tegas menentukan adanya kewajiban hakim untuk mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau mengabulkan lebih daripada yang digugat. Terhadap ketentuan ini, penggugat dalam surat gugatannya di samping mengajukan petitum primair (pokok dan tambahan) sering atau bahkan selalu mengajukan petitum subsidiair (pengganti) yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memutus berdasar kebijaksanaan. Hal ini mengandung arti bahwa hakim mempunyai kebebasan dan tidak harus memutus sama dengan yang dimohon penggugat. Hakim dapat memutus kurang atau lebih dari apa yang dituntut oleh pihak penggugat. Sikap hakim tersebut pada dasarnya dapat dibenarkan sebab pasal 178 ayat 3 HIR,
106
pasal 189 ayat 3 RBg isinya bertentangan dengan sistem HIR/Rbg itu sendiri yang menganut asas hakim pasif yang menghendaki agar putusan hakim dapat menyelesaikan perkara. Kebebasan hakim yang didasarkan adanya tuntutan subsidiair ini sifatnya tidak mutlak. Kebebasannya tidak boleh melampaui materi pokok atau kejadian materiil yang menjadi dasar gugatan. Berdasar uraian di atas tampak bahwa di dalam proses peradilan perdata hakim tidak bebas untuk mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya, karena kebebasan itu dibatasi oleh faktor kepentingan para pihak itu sendiri. 3). Faktor non yuridis. (1). Ekonomi. Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum sering menghadapi masalah dalam dunia perdagangan (bisnis) yang cenderung bersifat tehnis ekonomis. Dalam pemeriksaan perkara sangat mungkin hakim kurang menguasai permasalahannya sehingga putusan yang dijatuhkan dinilai kurang tepat oleh pihak yang berperkara. Para pelaku bisnis juga tidak menghendaki pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang terlalu lama karena
hal
ini
sangat
merugikan
kepentingannya.
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut maka dimungkinkan dibentuk spesialisasi di lingkungan peradilan umum itu sendiri dan salah satunya adalah dibentuknya Peradilan Niaga. Walaupun pada awalnya Pengadilan Niaga hanya dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saja namun dalam perkembangannya telah dibentuk pula Pengadilan Niaga serupa di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain. Pembentukan pengadilan niaga sebenarnya merupakan hal yang sangat mendesak. Hal ini lebih dipertegas lagi adanya kesepakatan pemerintah RI dengan IMF dalam rangka pemulihan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis. Dalam Letter of Intent (LoI) ditentukan bahwa pemerintah harus segera melantik hakim ad hoc di Pengadilan Niaga. Dengan dibentuknya pengadilan niaga ini jelas bahwa faktor ekonomi ternyata mempunyai pengaruh terhadap kebebasan hakim di lingkungan peradilan umum.
107
Demikian pula dalam sektor perpajakan dengan berdasar pada UU No. 14 Tahun 2002 telah dibentuk lembaga Pengadilan Pajak yang berada di luar 4 lingkungan peradilan di Indonesia. Artinya bahwa peradilan umum tidak memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa sengketa perpajakan, sehingga kewenangannya akan dibatasi juga oleh faktor ekonomi (perpajakan), (2) Politik. Pengadilan sebagai bagian dari suatu pemerintahan sudah tentu perilakunya akan dipengaruhi oleh mekanisme yang dibakukan oleh pemerintahan itu sendiri. Pemerintahan orde baru yang sarat dengan KKN akan membelenggu hakim untuk tidak terbebas dari budaya korupsi. Oleh karenanya perilaku hakim pada khususnya maupun aparat penegak hukum pada umumnya akan terbentuk sebagai akibat interaksi dengan sistem politik di mana ia berada. Lain halnya dengan pola yang dikembangkan di dalam era reformasi sekarang yang dengan gencarnya akan berupaya untuk mengembalikan citra baik lembaga pengadilan. Supremasi hukum merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi untuk diwujudkan dan dikembangkan di negara Indonesia. Beberapa waktu yang lalu muncul ide yang cukup kontroversial terlepas dari dapat atau tidaknya diaplikasikan yaitu memutasikan hakimhakim di Jakarta ke luar Jawa, impor hakim dari luar negeri sampai dengan diperlukannya hakim untuk dilakukan fit and proper test pada hakekatnya merupakan bukti kepedulian dan sekaligus tuntutan masyarakat yang sangat mendambakan bebasnya pengadilan dari praktek KKN. Memang di dalam persyaratan untuk menjadi hakim dan hakim agung tidak disebutkan adanya keterikatan dengan partai politik tertentu kecuali bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI. Namun demi obyektifitas putusannya, apabila ada hakim yang mempunyai keterlibatan dengan organisasi sosial dan politik tertentu, sebaiknya hakim tersebut harus bersedia melepaskan jabatannya. Pada waktu dilakukan rekruitmen para hakim (dari hakim ad hoc) hendaknya diambilkan dari kalangan non partisan, sehingga dalam menjalankan tugasnya benar-benar independen dan tidak mempunyai kepentingan politik tertentu. 108
Putusan hakim yang di dalamnya mengandung muatan-muatan politis tertentu jelas akan mengarah pada sikap unfair yang dapat mencemari proses era penegakan hukum itu sendiri. Demikian pula kesimpulan dalam Diskusi Panel tentang Kebebasan Hakim di Jakarta yang menyebutkan bahwa sekalipun hakim berkedudukan ganda, yaitu sebagai pegawai negeri dan sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman, namun sebagai jaminan untuk terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka yang sangat menentukan adalah integritas pribadi dan semangat hakim untuk memiliki kemauan dan keberanian politik untuk melepaskan diri dari pengaruh ekstra judisiil maupun direktiva yang mempengaruhi tugasnya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. (3) Keamanan. Faktor lain yang menunjang kebebasan dan sifat obyektifitas hakim dalam melaksanakan tugas peradilan yang tidak bisa ditinggalkan adalah keamanan. Dalam konteks ini di lingkungan kerja maupun lingkungan keluarga hakim harus diciptakan suasana aman dan tenteram. Adanya kasus perusakan terhadap rumah hakim, aksi teror, ancaman melalui telpon (sms) maupun secara fisik bahkan sampai dengan kasus pembunuhan hakim akan mempengaruhi pula kebebasan hakim di dalam menyelesaikan perkara yang dihadapinya. Seorang hakim tidak hanya berkepentingan terhadap keamanan bagi dirinya tetapi juga keluarganya. Demikian pula tidak hanya terbatas di lingkungan di mana ia bekerja tetapi juga di lingkungan masyarakatnya. Sering terjadi akhir-akhir ini dalam proses persidangan yang sedang berjalan
ada
kelompok-kelompok
tertentu
yang
teroganisir
melakukan
demonstrasi untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh majelis hakimnya. Bahkan sering pula timbul tindakan anarkhi dengan merusak gedung pengadilan bahkan sampai menyandera hakimnya di ruang sidang. Sering kita ketahui juga berapa kali eksekusi yang dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri gagal dilakukan karena adanya masyarakat yang melawan dengan kekerasan terhadap petugas eksekusi di lapangan. Hal-hal semacam inilah yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pula terhadap 109
kebebasan hakim di dalam menjalankan fungsi mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya. Memang tuntutan adanya independensi lembaga pengadilan di Indonesia merupakan hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Perangkat peraturan perundang-undangan yang melandasinya sudah memberikan peluang untuk mewujudkannya. Misalnya saja ide besar untuk mewujudkan sistem peradilan di Indonesia dalam satu atap sudah cukup lama dicanangkan dan dipublikasikan, namun realisasinya masih membutuhkan proses panjang dan jiwa besar pihak manapun untuk bersedia melepaskan kewenangannya. Pelepasan kewenangan bukan sesuatu yang mudah, apalagi apabila di waktu yang lalu kewenangan ini mampu memberikan “kontribusi” bagi pemilik kewenangan itu sendiri. Di dalam proses realisasi independensi lembaga pengadilan itu sering pula tidak mampu berjalan dengan mulus, hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor yang ikut mempengaruhi baik yang disebabkan karena faktor yuridis maupun faktor non yuridis. Masalahnya adalah bagaimana kita dapat meminimalisir pengaruh ini sehingga prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka semakin dekat dengan kenyataan dan mampu memberikan angin segar bagi dunia peradilan yang akhir-akhir ini kurang mendapat simpati dari masyarakat.
110
BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab terdahulu tentang analisis disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana asusila dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pertanggungjawaban suatu tindak pidana asusila ditentukan dari pembuktian tiap-tiap unsur-unsur didalam pasal tindak pidana asusila tersebut, karena dalam
setiap
pasal
tindak
pidana
asusila
perkara
Nomor
111/Pid.B/2012/PN.SKD terdakwa Hairudin Bin Mangun Suwito pidana penjara selama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan dan perkara Nomor
270/Pid.B/2012/PN.SKD terdakwa Wahyudin Bin Sumardi pidana penjara selama 6 (enam) tahun. 2. Faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap Tindak Pidana Asusila
pada
Putusan
Nomor
111/Pid.B/2012/PN.SKD
dan
Nomor
270/Pid.B/2012/PN.SKD di Pengadilan Negeri Sukadana, yaitu pertama karena undang-undang memberikan peluang dari minimal ke maksimal, yaitu minimal satu hari dan maksimal dua belas tahun penjara. Jadi regulasi dalam Undang-undang menganut sistem perumusan lamanya pidana secara indefinite (tidak ditentukan secara pasti). Oleh karena hakim bebas memilih rentang waktu tersebut; Kedua pelakunya berbeda-beda, yang menyangkut recidivis
111
dan turut serta, apakah itu pembuat, orang yang menyuruhlakukan, orang yang turut serta atau penganjur; Ketiga, pelaksanaan perbuatan tersebut terlaksana atau tidak bukan karena kehendak pelaku, keempat, yang menjadi korban dari perbuatan asusila tersebut apakah anak atau orang dewasa. Selain itu juga terdapat faktor pemberatan dan peringanan pidana. Sehingga kurang memberikan landasan, kriteria dan ukuran yang sama diantara para pelaku dalam perkara yang sama. 3. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi terjadinya disparitas putusan Hakim terhadap Tindak Pidana Asusila di Pengadilan Negeri Sukadana adalah dengan dibuatnya sistem minimal khusus yang merupakan delik-delik khusus di luar KUHP dan seharusnya aturan tersebut tidak hanya berlaku bagi lex specialis (UU khusus) saja, tetapi dapat juga berlaku lex generalis (KUHP). Kemudian perlu diadakan pemahaman visi dan misi yang sama antara majelis hakim di dalam memeriksa perkara. Karena disparitas pidana itu merupakan bagian dari law enforcement. Sedangkan law enforcement dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan terakhir pelaksanaan putusan pengadilan, yaitu tahap eksekusi. Selain itu perlu juga dibentuk suatu badan/lembaga peradilan (selain hakim) yang diberi wewenang untuk menggodok (menentukan berat ringannya pidana) atau pertimbanganpertimbangan dalam pemidanaan. 5.2. Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka yang menjadi saran penulis adalah sebagai berikut : 1. Aparat penegak hukum perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa disparitas di dalam pemidanaan itu adalah suatu perbedaan yang wajar, artinya beralasan (reasonable) dan disparitas yang tidak mempunyai landasan yang reasonable itu yang tidak boleh dilakukan, sebab hal ini akan 112
bertentangan dengan azas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang ada di masyarakat. Jadi, kalau pidana itu diberikan berbeda-beda, padahal kesalahannya sama, maka itu justru dirasakan akan bertentangan dengan keadilan. 2. Hakim selaku orang yang memutus perkara di pengadilan seharusnya menerapkan atau menegakkan hukum sesuai dengan ilmu hukum yang selalu berorientasi kepada keilmuan (scientific approach), sebab citra buruk lembaga pencari keadilan tersebut yang sarat dengan mafia peradilan sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bagi masyarakat luas.
113
114
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengena Kesopanan, Angkasa, Bandung, 2003. ……………….., Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Ed. I, Cet. 3, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek Peradilan, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cet. XI, PT Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Jakarta, 1989. Harkristuti Harkrsnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia ”, KHN, Jakarta, 2003. Hermien Hadiati Koeswati, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya, Jakarta, 1995. Lawrence M. Friedman, Law and Society (an introduction), Englewood Clif NJ Prentice Hill, New Jersey, 2002. Lilik Mulyadi, (Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan , Eksepsi dan Putusan Peradilan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, PT. Refika Adinata, Bandung, 2006. Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983. ……….……., Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, FH Unissula Semarang, Semarang, 1982.
115
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Cet. 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Oemar Seno Adji, Hukum-hukum Pidana , Erlangga, Jakarta, 1984. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983. Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Ed. I, Cet. I, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
PT
Saparinah Sadli dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang, 1994. Simons, dalam Leden Marpaung., Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik), RajaGrafindo Persada, Cetakan I, Jakarta, 1991. Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Indonesia Hillco, Jakarta, 1990. …….…………., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 2007. Yahya Harahap, Putusan Pengadilan Sebagai Upaya Penegakan Keadilan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Surabaya, 1989. B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
116
C. Sumber Lain Gregorius Aryadi, “Putusan Hakim dalam Perkara Pidana” (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta),Tesis, Yogyakarta, 2000. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Cet. 2, Alumni, Semarang, 1992. Nurul Widiasih Disparitas pidana dalam kasus tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga di wilayah hukum. Tesis Jakarta, Bandar lampung, 2009. Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana , Alumni, Bandung, 1986.
117