BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Umum (Filosofi) 1. Teori Motivasi Kepatuhan masyarakat dalam memenuhi segala kewajibannya, dalam penelitian ini didasari pada teori motivasi sebagai dorongan atau kekuatan untuk melakukan suatu tindakan, baik dalam hal kepatuhan terhadap peraturan negara maupun ajaran agamanya yang juga sangat erat kaitannya dengan persepsi masyarakat tentang kesadaran dalam membayar Pajak dan Zakat. Perilaku patuh wajib pajak sangat dipengaruhi oleh variabel perilaku individu dan lingkungan (James L. Gibson, 1991:24). Adapun beberapa teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah: a.
Teori Pengharapan / Expectancy Theory – (Victor Vroom, 1964) Teori ini menyatakan bahwa dorongan atau kekuatan saja tidaklah cukup untuk mendorong seseorang melakukan suatu tindakan. Keyakinan bahwa usaha yang dilakukan seseorang akan menghasilkan prestasi yang diharapkan, justru merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Semakin besar sebuah prestasi memberikan hasil yang diharapkan, semakin besar pula kemungkinan seseorang mencoba berperilaku untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
Ada 2 (dua) jenis penghargaan dalam teori ini, yaitu Effort performance expectancy dan Performance outcome expectation.Effort performance expectancy adalah persepsi seseorang terhadap usaha untuk mencapai prestasi tertentu berikut kemungkinan konsekuensinya. Performance outcome expectation adalah persepsi seseorang bahwa setiap prestasi akan dihubungkan dengan konsekuensi tertentu baik positif maupun negatif (imbalan dan hukuman).
b.
Teori Keadilan (Equity Theory) – Adam Smith Adam Smith, yang bekerja sebagai peneliti di bidang psikologi bekerjasama dengan General electric Co di Continville, New York mengembangkan dan melakukan pengujian terhadap equity theory. Equity theory menyatakan bahwa pada dasarnya seseorang akan melaukan perhitungan upaya dan penghargaan (effort and reward) yang diperoleh, selanjutnya pada saat yang sama membandingkannya dengan apa yang terjadi pada orang lain. Teori ini mengnggap bahwa motivaasi seseorang dalam melakukan aktivitas didorong oleh perlakukan yang adil dibandingkan dengan yang diperoleh orang lain.
c.
Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting) – Edwin A. Locke Edwin A. Locke menyatakan bahwa perilaku seseorang sangat ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki (concious goal) dan keinginan-
keinginan (interions). Pemahaman seseorang terhadap tujuan yang dikehendaki sangat penting pada goal setting theory. Adapun tujuan yang dikehendaki (concious goals) disimbolkan dalam beberapa atribut antara lain: goal specifity, goal difficulty, dan goal intensity. Goal specifity adalah ukuran kuantitatif tujuan, goal difficulty adalah tingkat kesulitan pencapaian tujuan, sedang goal intensity adalah proses penetapan tujuan.
2. Teori Persepsi Persepsi merupakan proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, memahami, mengorganisir, menafsirkan yang memungkinkan situasi atau peristiwa yang dapat memberikan kesan prilaku yang positif atau negative (Robbins, 1996). Persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1995) adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Sedangkan Matlin (1998) dalam Sudaryanti (2001) dan diadaptasi oleh Frederich dan Lindawati (2004), mendefinisikan persepsi secara lebih luas, yaitu: sebagai suatu proses yang melibatkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh dan menginterpretasikan kombinasi faktor dunia luar (stimulus visual) dan diri kita sendiri (pengetahuan-pengetahuan sebelumnya).
Berdasarkan definisi persepsi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi setiap orang atas suatu obyek atau peristiwa bisa berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan dua faktor, faktor dalam diri orang tersebut (aspek kognitif) dan faktor dunia luar (aspek stimulus visual). Singkatnya, persepsi seseorang dipengaruhi obyek yang diterima panca indra orang tersebut dan oleh cara orang tersebut “menterjemahkan” obyek tersebut. Secara analitik, kemampuan manusia untuk mengetahui dapat diuraikan sebagai berikut (Herman, 2001: 186): 1) Kemampuan kognitif, ialah kemampuan untuk mengetahui (dalam arti mengerti,
memahami,
menghayati)
dan
mengingat
apa
yang
diketahuinya. Landasan kognitif adalah rasio atau akal. 2) Kemampuan afektif, ialah kemampuan untuk merasakan tentang apa yang diketahuinya, yaitu rasa cinta atau benci, rasa indah atau buruk. Dengan rasa inilah manusia menjadi manusiawi atau bermoral. Di sini rasa tidak mempunyai patokan yang pasti seperti rasio. 3) Kemampuan konatif, ialah kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu. Konasi adalah will atau karsa (kemauan, keinginan, hasrat) ialah daya dorong untuk mencapai (atau menjauhi) apa yang didiktekan oleh rasa. Jika tingkat pengetahuan manusia tersebut dikaitkan dengan konsep moral maka kemampuan kognitif setingkat dengan moral perception, kemampuan afektif setingkat dengan moral judgement dan kemampuan konatif setingkat dengan moral intention. Kemampuan
kognitif dan afektif dapat diasah melalui proses pembelajaran, sedangkan kemampuan konatif tumbuh dari dirinya sendiri sesuai dengan tingkat kesadaran dan kemauannya. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi suatu proses aktif timbulnya kesadaran dengan segera terhadap suatu obyek yang merupakan faktor internal serta eksternal individu meliputi keberadaan objek, kejadian dan orang lain melalui pemberian nilai terhadap objek tersebut. Sejumlah informasi dari luar mungkin tidak disadari, dihilangkan atau disalahartikan. Mekanisme penginderaan manusia yang kurang sempurna merupakan salah satu sumber kesalahan persepsi (Bartol & Bartol, 1994). Dikarenakan persepsi
bertautan dengan cara
mendapatkan
pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358) Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209). Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk
yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal (Rakhmat 1998: 55). Selanjutnya Rakhmat menjelaskan yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli. Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986 : 54). Selaras dengan pernyataan tersebut Krech, dkk. (dalam Sri Tjahjorini Sugiharto 2001: 19) mengemukakan bahwa persepsi seseorang ditentukan oleh dua faktor utama, yakni pengalaman masa lalu dan faktor pribadi. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan faktor pribadi adalah faktor internal Wajib Pajak di Lingkungan PT. Ganda Sukses Sejahtera. Sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang tersebut, saat ini banyak masyarakat yang masih beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan yang merupakan hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan kontraprestasi langsung kepada pembayar pajak (Rimsky K. Judissono, 1997:12). Persepsi yang keliru tentang perpajakan pun diperkuat dengan dianutnya sistem pemungutan pajak secara official assessment sebelum adanya perubahan sistem pemungutan pajak ke sistem self assessment. Dengan sistem tersebut, wajib pajak ditempatkan sebagai subyek pasif perpajakan. Oleh karena itu, kondisi ini tidak mendukung upaya menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat untuk menjadi wajib pajak yang patuh membayar
pajak, bahkan ada kecenderungan untuk berusaha menghindari dari kewajiban pajak.
B. Definisi Pajak, Penghasilan Tidak Kena Pajak dan Zakat 1. Definisi Pajak Menurut KUP No. 28 tahun 2007 pasal 1, mengemukakan bahwa Pajak adalah kontribusi negara yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat
memaksa
berdasarkan
undang-undang,
dengan
tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apabila ditinjau dari segi sejarahnya, pajak sudah ada sejak zaman dahulu, meskipun saat itu belum dinamakan “pajak” tetapi masih merupakan pemberian yang bersifat sukarela dari rakyat kepada rajanya, kemudian yang semula merupakan pemberian yang bersifat sukarela tersebut berubah menjadi pungutan, hal ini dianggap wajar karena adanya kebutuhan negara yang semakin lama semakin besar untuk melaksanakan pembangunan. Dengan seiringnya perkembangan jaman, pengertian pajak saat ini kemudian disesuaikan dengan kondisi yang melingkupinya. Berikut beberapa para ahli di bidang pekerjaan memberikan pegertian atau definisi mengenai pajak diantaranya:
a. Pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (Mardiasmo, 2011:1), sebagai berikut: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbalan (kontraprestasi), yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. b. Pajak menurut Soeparman Soemahamidjaja (Waluyo, 2001:2) sebagai berikut: Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipunggut oleh penguasa berdasarkan barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. c. Pajak menurut P.J.A Andriani (Erly Suandy, 2002:5) sebagai berikut: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ciriciri yang melekat pada pengertian pajak antara lain: 1) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang sifatnya dapat dipakasakan.
2) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditujukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3) Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4) Pajak yang diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila pemasukannya masih terdapat suplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5) Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur. Salah satu pajak yang dipungut kepada masyarakat adalah pajak penghasilan pasal 21 (PPh pasal 21) yang dipotong oleh pemberi kerja, dari gaji atau penghasilan yang diterima karyawan. Pajak ini merupakan pajak langsung yang harus dibayar oleh wajib pajak itu sendiri dan tidak dapat dialihkan ke orang lain. Berdasarkan uraian singkat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dalam negeri. Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan.
2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah batasan penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi yang menentukan perlu tidaknya atas
penghasilan wajib pajak perseorangan dikenakan pajak penghasilan (Djoko Muljono, 2009:191). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menurut Wirwan B. Ilyas dan Rudy Suhartono (2009:77) mengemukakan bahwa tidak ada pengertian mengenai definisi penghasilan tidak kena pajak atau dalam Bahasa Inggris disebut Personal Exemptions. Namun karena PTKP hanya diberikan kepada orang pribadi yang membutuhkan biaya hidup sehari-hari dan tidak diberikan kepada wajib pajak badan, maka PTKP dapat diartikan sebagai biaya hidup minimal yang dibutuhkan orang pribadi atau perseorangan yang ditentukan oleh UU PPh. PTKP diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, besarnya PTKP tersebut adalah: Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah), untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah), tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Besaran PTKP menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ini berlaku mulai 1 Januari 2009. Sesuai dengan perkembangan ekonomi, terutama berkaitan dengan besarnya penghasilan dan besarnya biaya minimum dari wajib pajak, maka besarnya PTKP selalu mengalami pembaharuan. Adapun berdasarkan peraturan pemerintah saat ini, perubahan terbaru mengenai tarif Pajak Penghasilan Tidak Kena Pajak sesuai dengan peraturan No. 162/PMK.011/2012, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 2013 adalah berlaku sebagai berikut: Rp. 24.300.000 (Dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah), untuk diri wajib pajak orang pribadi. Rp 2.025.000 (Dua juta dua puluh lima ribu rupiah), tambahan untuk wajib pajak yang kawin. Rp 24.300.000 (Dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah), tambahan untuk Penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami. Rp 2.025.000 (Dua juta dua puluh lima ribu rupiah), tambahan untuk anggota keluarga yang menjadi tanggungan (maksimal 3 orang). Berikut ini besarnya PTKP sesuai dengan status perkawinan Wajib Pajak: TK/0 = Rp 24.300.000,K/0 = Rp 26.325.000,K/1 = Rp 28.350.000,-
K/2 = Rp 30.375.000,K/3 = Rp 32.400.000,-
3. Pengertian Zakat Zakat adalah ibadah pokok yang berkaitan dengan harta benda atau sering disebut sebagai Ibadah maliyah yaitu; Ibadah yang bercorak sosial ekonomi yang bertujuan untuk meratakan kesejahteraan hidup ummat manusia (Jalal Majuwet, 2013). Menurut Dr. KH. Didin Hafidhuddin (2005:11) bila ditinjau dari segi bahasa, kata Zakat mempunyai beberapa arti yaitu al-barakatu „keberkahan‟, alnamaa „pertumbuhan dan perkembangan‟ ath-thaharatu „kesucian‟ dan ashshalahu „kebesaran‟. Sedangkan secara istilah, Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula. Secara Etimologi Zakat (arab) adalah “yang membersihkan”. Dasar Hukum Zakat adalah Al-Qur‟an dan Sunnah nabi antara lain: a. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi maha Mengetahui.” (Q. S AtTaubah:103) b. “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’alaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Q.S At-Taubah : 60). c. “...dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya...” (Q.S Al-An’aam : 141). Sehubungan dengan hal tersebut, saat ini pemerintah Republik Indonesia secara gemilang telah mengeluarkan UU Nomor 38 tahun 1999, tanggal 23 September 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang menyebutkan bahwa “zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian disusul dengan ketetapan UU Nomor 17 Tahun 2000, yang diberlakukan mulai tahun 2001 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pelaksanaannya selanjutnya diatur dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 38 Tahun 1999, dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Tekhnis Pengelolaan Zakat. Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang berkaitan dengan zakat dituangkan dalam 2 (dua) pasal atau persisnya 2 (dua) ayat dalam pasal yang berbeda, yaitu Pasal 4 (3) huruf a angka 1 dan Pasal 9 (1) huruf g. Diamana menurut penjelasan Pasal 4 (3) huruf a, yang dimaksud
dengan Zakat adalah zakat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolan zakat. Lembaga yang secara formal diakui oleh Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 sebagai lembaga yang berhak mengelola zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan
seiringnya
perkembangan
kebutuhan
hukum
dalam
masyarakat saat ini, pengelolaan zakat yang diatur dalam undang-undang Nomor 38 Tahun 1999, disempurnakan kembali oleh pemerintah dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, yang secara resmi diundangkan dan masuk dalam Lembaran Negara Republik Indonesia bernomor 115 dan ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 25 November 2011, untuk menggantikan undang-undang sebelumnya.
C. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhanberasal dari kata dasar patuh, yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, patuh berarti suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan, berisiplin. Sedangkan kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, atau patuh pada ajaran atau aturan.Kepatuhan Wajib Pajak dalam Teori Psikologi, yaitu rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.
Adapun definisi kepatuhan yang dijabarkan oleh tim subdit verifikasi Dit PPh Ditjen Pajak menyatakan bahwa: “Kepatuhan biasanya berkisar pada istilah tingkat sampai dimana wajib pajak memenuhi undang-undang dan administrasi
perpajakan,
tanpa
perlunya
kegiatan
penegakan
hukum”.Kepatuhan perpajakan yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
semua
kewajiban
perpajakan
dan
melaksanakan
hak
perpajakannya. Kewajiban pajak tersebut berupa: tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan dalam dua tahun terakhir, tidak mempunyai tunggakan untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda, dan membayar pajak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Terdapat dua macam kepatuhan, yakni: (1) Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan pajak penghasilan (SPT PPh) tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah menyampaikan surat pemberitahuan pajak penghasilan (SPT PPh) tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undangundang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. (2) kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap,
dan benar surat pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu berakhir (Nurmantu, 2003). Kepatuhan Wajib Pajak dibentuk oleh dimensi pemeriksaan pajak, penegakan hukum dan kompensasi pajak. Tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kajian mengenai pemeriksaan juga banyak dilakukan oleh peneliti di negara barat. Menurut Karanta yang dikutip oleh Suryadi (2006) menyimpulkan bahwa pemeriksaan pajak akan mendeteksi upaya wajib pajak untuk menghindar. Audit perpajakan juga dapat menemukan kesalahan penyampaian pajak oleh wajib pajak. Menurut
Suryadi
(2006),
apabila
penegakan
hukum
dapat
memberikan keadilan dan kepastian hukum maka wajib pajak akan taat, patuh, dan disiplin dalam membayar pajak. Demikian pula bila wajib pajak merasa kompensasi pajak telah memenuhi harapan mereka maka mereka akan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut Mulyana (2007), kepatuhan pajak tidak terwujud karena keengganan wajib pajak membayar pajak. Keengganan wajib pajak harus dihapuskan, tetapi tidak mudah karena unsur-unsur pajak itu sendiri secara langsung bersifat satu arah. Pajak mengandung unsur iuran berupa uang dari rakyat pada negara, berdasarkan undang-undang, tanpa kontraprestasi langsung, dan suatu digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Dari keberadaan unsur-unsur pajak demikian dipahami sebagai suatu paksaan yang layak menimbulkan perlawanan wajib pajak berbentuk keengganan mengarah
pada penghindaran membayar pajak. Ditinjau dari masyarakat yang membayar pajak, pembayaran pajak adalah beban karena akan mengurangi penghasilannya. 1. Kepatuhan Wajib Pajak Dan Teori Motivasi Kepatuhan adalah perilaku untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan aktivitas tertentu sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Kepatuhan wajib pajak adalah perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perilaku individu atau kelompok sangat dipengaruhi oleh motivasi. Motivasi adalah dorongan yang dapat menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Besarnya motivasi akan berpengaruh terhadap intensitas perilaku (termotivasi, tanpa motivasi, dan apatis) dan kesesuaian dengan tujuan perilaku (efektif, tidak efektif). Pengaruh motivasi terhadap perilaku secra teoris dapat dibahas melalui kajian struktur (content theory), dan kajian proses (process theory). Content theory menitikberatkan kepada faktor-faktor yang melekat pada individu yang dapat menimbulkan, mengarahkan, mempertahankan, dan menghentikan perilaku. Process theory, menjelaskan dan menganalisa bagaimana perilaku dimunculkan, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan. Dari pembahasan content theory, kepatuhan wajib pajak sangat terkait dengan kepentingan atau kebutuhan yang harus terpenuhi,
kebutuhan wajib pajak adalah menghitung besarnya pajak yang pantas. Pajak yang pantas adalah besarnya pajak yang secara yuridis tidak melanggar peraturan perpajakan dan secara ekonomis tidak memberatkan keuangan wajib pajak. Dari kepuasan process theory, perilaku patuh dalam membayar pajak dapat didorong dengan menciptakan peraturan yang dapat mengakomodasi
dan
mendinamisasi;
sanksi
dan
insertif
(reinforcementtheory), harapan (expectancy theory), rasa keadilan (equty theory), dan tujuan (goal setting theory) yang terkait dengan kebijakan perpajakan. 2. Kepatuhan Wajib Pajak Dan Peraturan Perpajakan Peraturan
perpajakan
dibuat
untuk
mengatur
mekanisme
pemungutan pajak yang membatasi perilaku fiskus dan wajib pajak. Wajib pajak adalah orang dan kumpulan orang-orang. Perilaku manusia baik secra individu maupun secra kelompok dalam merespon aturan tidak berjalan secara mekanistik seperti pada sebuah mesin. Peraturan perpajakan harus netral dan tidak memihak kepada fiskus maupun wajib pajak. Peraturan perpajakan harus mengakomodasi kepentingan fiskus dan wajib pajak secara adil. Peraturan
perpajakan
yang
adil
atau
baik
harus
mempertimbangkan teori, azaz, dan sistem perpajakan, yaitu kemudahan, keadilan, kepastian hukum (azaz), dan partisipasi wajib pajak (teori dan sistem), tanpa harus mengorbankan tujuan yang akan dicapai oleh fiskus.
Motivasi adalah konsep yang abstrak, untuk dapat mengukur pengaruhnya terhadap perilaku dilakukan dengan menduga (infrred) dan memanipulasi gejalanya (manipulated) yang berhubungan dengan perilaku. Motivasi yang mendorong kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi intensitas wajib pajak dalam mengisi dan memasukkan surat pemberitahuan pajak (SPT) ke kantor pelayanan pajak (KPP). Banyaknya SPT yang dimasukkan ke KPP berpengaruh terhadap besarnya nilai rupiah dana yang terhimpun dan jumlah wajib pajak yang terjaring. Dengan demikian kepatuhan wajib pajak yang dipengaruhi oleh motivaasi membayar pajak dapat diukur berdasarkan jumlah rupiah dana yang terhimpun dan jumlah wajib pajak yang terjaring dari sektor perpajakan.
D. Penelitian Sebelumnya Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengambil beberapa hasil dari penelitian sebelumnya, untuk di jadikan sebagai bahan perbandingan diantaranya adalah sbb: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No. 1.
JudulPenelitian&Penulis
Variabel Penelitian Persepsi dan Motivasi - Persepsi WPOP atas Wajib Pajak Orang Pribadi Perubahan PTKP (X1) atas Perubahan PTKP serta - Motivasi WPOP atas Pengaruhnya terhadap Perubahan PTKP (X2) Kepatuhan Wajib Pajak - Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi pada Orang Pribadi (Y) Wilayah KPP Tangerang Timur), oleh Sudrajad Wahyu Utomo (tahun 2013)
Metode Hasil Penelitian Penelitian Populasi dan Sampel Berdasarkan hasil penelitian, dengan data primer dapat ditarik kesimpulan sbb: hasil kuesioner dan - Persepsi atas perubahan PTKP data sekunder yang berpengaruh secara signifikan bersumber dari DJP terhadap variabel kepatuhan yang diolah dengan wajib pajak orang pribadi. Dan metode deskriptif persepsi atas perubahan PTKP kuantitatif. mempunyai hubungan positif terhadap kepatuhan wajib pajak, apabila persepsi atas
2.
3.
4.
Pengaruh Kesadaran Pembayaran Pajak, Pengetahuan Peraturan Pajak, Sanksi Perpajakan, dan Pemahaman SPT Tahunan Orang Pribadi terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada PT. Kompas Media Nusantara (tahun 2013).
- Kesadaran pembayaran pajak (X1) - Pengetahuan peraturan pajak (X2) - Sanksi pajak (X3) - Pemahaman SPT Tahunan orang pribadi (X4) - Tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi (Y).
Persepsi Wajib Pajak - Persepsi WPOP tentang Orang Pribadi tentang Zakat Sebagai Zakat sebagai Pengurang Pengurang Penghasilan Penghasilan Kena Pajak Kena Pajak (X). terhadap Tingkat - Tingkat Kepatuhan Kepatuhan Wajib Pajak Wajib Pajak (Y). (Studi pada Universitas Mercubuana – Jakarta), oleh Diah Iskandar dan Islamiah Kamil (tahun 2012). Zakat Sebagai Pengurang Zakat Sebagai Pajak oleh Ali Muktiyanto Pengurang Laba Bruto dan Hendrian, Universitas dan Zakat Sebagai Terbuka (tahun 2008). Pengurang Pajak Penghasilan.
perubahan PTKP mengalami kenaikan, maka kepatuhan wajib pajak akan mengalami kenaikan. - Motivasi atas perubahan PTKP berpengruh secara signifikan terhadap variabel kepatuhan wajib pajak. Dan motivasi atas perubahan PTKP mempunyai hubungan positif terhadap kepatuhan wajib pajak, apabila motivasi atas perubahan PTKP mengalami kenaikan. Populasi dan Sampel Berdasarkan hasil penelitian, dengan data primer dapat ditarik kesimpulan sbb: hasil kuesioner dan - Kesadaran pembayaran pajak data sekunder yang tidak berpengaruh signifikan bersumber dari terhadap tingkat kepatuhan pejabat yang wajib pajak orang pribadi. bersangkutanyang - Pengetahuan peraturan pajak diolah dengan berpengaruh positif terhadap metode deskriptif tingkat kepatuhan wajib pajak dan dilakukan orang pribadi. pengujian dengan - Sanksi perpajakan tidak model regresi berpengaruh signifikan berganda. terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi. - Pemahaman SPT berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Asosiatif dan Secara parsial dapat diketahui Pendekatan T hitung (6.550) > T Tabel Kuantitatif (1.290) artinya Persepsi WPOP Tentang zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak (X) berpengaruh positif terhadap Kepatuhan WPOP Karyawan UMB (Y).
Populasi dan Sampel Masyarakat Pamulang dengan data primer hasil kuesioner yang diolah dengan metode deskriptif kuantitatif.
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa (1) Sebagian besar pembayar zakat (88,68%) juga pembayar pajak. Lebih dari 52% masyarakat tidak mengetahui bahwa zakat dapat sebagai pengurang penghasilan kena pajak; dan pembayaran zakat cenderung tidak melalui BAZ atau LAZ karena aspek kepercayaan dan keyakinan. (2) Dari segi pengakuntansian zakat sebagai pengurang pajak, masyarakat yang memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak, sebagian besar menerapkannya secara keliru, yaitu zakat sebagai pengurang pajak terutang yang sesungguhnya adalah sebagai pengurang pendapatan kena pajak. Akhirnya masyarakat berharap zakat diposisikan sebagai pengurang pajak terutang bukan sebagai beban
(3)Merekomendasikan kepada Dirjen Pajak dan BAZ/LAZ agar terus menerus mensosialisasikan bahwa zakat dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Selain itu juga berupaya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BAZ/LAZ melalui transparansi pengelolaan BAZ/LAZ.
5.
Maksimalisasi Zakat Seabagai Salah Satu Komponen Fiskal Dalam Sistem Ekonomi Fiskal oleh Azharsyah (tahun 2011).
Zakat, Kebijakan Fiskal dan Ekonomi Islam.
Paparan secara deskriptif dengan analisis pengkajian teoritis.
(4) Dirjen Pajak dan BAZ/LAZ diharapkan dapat memberikan penjelasan yang benar tentang teknik pengkuntasian zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Kepada masyarakat melalui LSM, MUI, dan Ormas-ormas Islam agar terus mengupayakan agar zakat tidak sekedar sebagai beban cost/expense deductabel tetapi sebagai sebagai tax deductable misalnya melalui amandemen UU zakat dan KUP. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah: (1) Kebijakan fiskal secara Islam dan Non Islam berbeda secara subtansial baik dari ladasan hukum maupun metodenya. (2) Sistem Ekonomi harus mempunyai ideologi yang kuat yang diadasrkan pada agama, dalam agama islam Zakat adalah instrumen pendapatan negara yang paling diunggulkan karena instruksi langsung dari Allah SWT serta mempunyai potensi besar terhadap perkembangan perekonomian. (3) Indonesia seharusnya tidak perlu lagi bergantung pada pinjaman luar negeri yang berbasis bunga apabila potensi zakat dapat dimaksimalkan, kerena krisis ekonomi yang terjadi selama ini adalah adanya sistem penerapan bunga dalam setiap transaksi keuangan Negara.
Sumber : Penelitian terdahulu
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, sasaran penelitian ini adalah wajib pajak orang pribadi di lingkungan PT. Ganda Sukses Sejahtera.
E. Kerangka Berfikir Kerangka berfikir dalam penelitian ini menjelaskan bahwa untuk mengetahui Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan Zakat sebagai Pengurang Penghasilan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi khususnya di lingkungan PT. Ganda Sukses Sejahtera. Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi merupakan aspek yang penting dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dan zakat, yang mempunyai potensi besar dalam membantu upaya pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa. Dari penelitian sebelumnya dan teori tentang persepsi wajib pajak orang pribadi atas perubahan PTKP memberikan pengaruh yang positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak yang juga dipengaruhi oleh motivasi sebagai variabel independennya. Sedangkan pada penelitian lainnya, persepsi wajib pajak orang pribadi tentang zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak juga memberikan pengaruh yang positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Dengan demikian, jika persepsi wajib pajak orang pribadi atas perubahan PTKP dan Zakat sebagai pengurang penghasilan adalah tinggi, maka tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi akan tinggi pula. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 3 (tiga) variabel yaitu 2 (dua) variabel independen dan 1 (satu) variabel dependen. Dimana persepsi WPOP atas perubahan PTKP (X1) dan persepsi WPOP atas Zakat sebagai pengurang penghasilan (X2) adalah variabel independen, sedangkan Kepatuhan WPOP (Y) merupakan variabel dependennya.
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir PT. GANDA SUKSES SEJAHTERA SIUP : AKTA :
Persepsi WPOP atas Zakat sebagai Pengurang Penghasilan
Persepsi WPOP atas Perubahan PTKP
Kepatuhan WPOP
F. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara tentang rumusan masalah penelitian yang kebenarannya perlu diuji secara empiris. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kausal yang menyatakan adanya pengaruh suatu variabel terhadap
variabel
lainnya.
Dalam
hipotesis
penulisan
ini,
penulis
menyimpulkan adanya dugaan bahwa: 1. Hubungan Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Perubahan PTKP terhadap tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (H1 : X1 – Y). Persepsi wajib pajak orang pribadi adalah salah satu faktor untuk meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi, sehubungan dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang perpajakan khususnya tentang perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP),
yang memberikan pengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi, dengan semakin tingginya jumlah penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi maka akan semakin tinggi pula kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam membayar pajak. Hal ini telah dibuktikan oleh Sudrajad Wahyu Utomo (2013), dalam penelitiannya mengenai Persepsi dan Motivasi Wajib Pajak Orang Pribadi atas PTKP serta Pengaruhnya terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi, yang memberikan hasil bahwa Persepsi atas perubahan PTKP berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Dan persepsi atas perubahan PTKP mempunyai hubungan positif terhadap kepatuhan wajib pajak, apabila persepsi atas perubahan PTKP mengalami kenaikan, maka kepatuhan wajib pajak akan mengalami kenaikan. Oleh sebab itu, Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Perubahan PTKP diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi, sehingga dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1:
Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Perubahan PTKP berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
2. Hubungan Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Zakat sebagai Pengurang Penghasilan (H2 : X2 – Y). Dalam penelitiannya, menurut Diah Iskandar dan Islamiah Kamil (2012:03), kepatuhan wajib pajak juga dipengaruhi oleh zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak pada wajib pajak orang pribadi. Hal ini
dibuktikan secara parsial bahwa dapat diketahui T hitung (6.550) > T Tabel (1.290) yang artinya persepsi wajib pajak orang pribadi tentang zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Oleh sebab itu, persepsi wajib pajak orang pribadi tentang zakat sebagai pengurang penghasilan diduga akan berpengaruh juga terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi di lingkungan PT. Ganda Sukses Sejahtera, sehingga dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Zakat sebagai Pengurang Penghasilan berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
3. Hubungan Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Perubahan PTKP dan Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan terhadap tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (H3 : X1{ X2 – Y). Persepsi wajib pajak orang pribadi atas perubahan PTKP dan Zakat sebagai pengurang penghasilan mempunyai peran yang sangat penting untuk meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak dan zakat, guna menambah penerimaan negara. Dengan semakin tingginya tingkat persepsi wajib pajak orang pribadi yang positif, maka semakin tinggi juga tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam membayar pajak dan zakat. Hal ini telah dibuktikan oleh Sudrajad Wahyu Utomo (2013) dalam penelitiannya mengenai Persepsi dan Motivasi Wajib Pajak Orang Pribadi
atas Perubahan PTKP serta Pengaruhnya terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi, yang memberikan hasil bahwa persepsi atas perubahan PTKP berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Dan dalam penelitian laninnya, menurut Diah Iskandar dan Islamiah Kamil (2012), mengenai Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak, memberikan hasil bahwa persepsi wajib pajak orang pribadi tentang zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Oleh sebab itu, persepsi wajib pajak orang pribadi atas perubahan PTKP dan Zakat sebagai pengurang penghasilan, diduga akan berpegaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi di lingkungan PT. Ganda Sukses Sejahtera, sehingga dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 :
Persepsi WPOP atas perubahan PTKP dan Zakat sebagai Pengurang Penghasilan berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.