BAB II LANDASAN TEORI
2.1. PERILAKU PROSOSIAL 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Baron dan Byrne (2004) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Dayakisni dan Yuniardi (2004) mendefinisikan perilaku prososial merupakan kesediaan orang-orang untuk membantu atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi distress (menderita) atau mengalami kesulitan. Faturochman (2006) juga menyatakan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada orang lain. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dayakisni dan Hudaniah, (2006) menyimpulkan perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya. Bentuk yang paling jelas dari prososial adalah perilaku menolong (Faturochman, 2006). Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain, dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, 13
menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Menurut Staub (1978) ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu: pertama, tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku; kedua, tindakan itu dilahirkan secara sukarela; dan ketiga, tindakan itu menghasilkan kebaikan. Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku positif yang memberikan sesuatu manfaat bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis yang memberi keuntungan pada orang lain atau dirinya sendiri.
2.1.2. Aspek-aspek Perilaku Prososial Aspek-aspek dalam prososial menurut Eisenberg dan Mussen (1989) adalah sebagai berikut: a. Berbagi (Sharing). Kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka dan duka. Sharing diberikan bila penerima menunjukkan kesukaran dan ada tindakan melalui dukungan. Perilaku berbagi dapat ditunjukkan pula dengan perilaku saling bercerita tentang pengalaman hidup, mencurahkan isi hati. b. Kerjasama (Cooperative). Kesediaan untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan cooperative dan biasanya saling menguntungkan, saling memberi atau saling menolong dan menyenangkan.
14
c. Menyumbang (Donating). Kesediaan berderma, memberi secara sukarela sebagian barang miliknya untuk orang yang membutuhkan dan dapat juga ditunjukkan dengan perbuatan memberikan sesuatu kepada orang yang memerlukan. d. Menolong (Helping). Kesediaan untuk berbuat kepada orang lain yang sedang dalam kesulitan meliputi membagi dengan orang lain, memberitahu, menawarkan bantuan terhadap orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain. e. Kejujuran (Honesty) Kesediaan untuk berkata, bersikap apa adanya serta menunjukkan keadaan yang tulus hati. f. Kedermawanan (Generosity) Kesediaan
memberi
secara
sukarela
untuk
orang
lain
yang
membutuhkan. Selanjutnya, Staub (1978) mengemukakan bahwa nilai-nilai pribadi dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi itu merupakan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti: a. Tanggung jawab. Kemauan atau kesiapan seseorang untuk memberikan ganjaran berupa jasa yang dibutuhkan orang lain. b. Kedekatan (proximity). Kemudahan dalam pendekatan pada setiap kontak yang terjadi dengan orang lain. Dalam hal ini dimana adanya suatu hubungan yang sering dilakukan. 15
c. Keadilan. Kesediaan seseorang untuk membantu orang lain serta memberikan ganjaran yang tepat sesuai kebutuhan orang lain. Dimensi ini menekankan pada sikap yang cepat dan tepat dalam pertanyaan, keluhan, dan masalah orang lain. d. Kebenaran. Dimensi yang menekankan kemampuan seseorang untuk menyampaikan kepastian dan membangkitkan rasa percaya dan keyakinan diri orang lain.
Raven dan Rubin (Rizal, 1997) membagi perilaku prososial menjadi dua bentuk, antara lain: a. Kerja sama (cooperation). Kerja sama adalah perilaku prososial yang memiliki peran dalam pencapaian tujuan bersama. b. Altruisme. Altruisme berbeda dengan kerja sama dalam hal keuntungan yang diperoleh orang yang terlibat, altruisme dilakukan tanpa mengharapkan keuntungan bagi diri sendiri. Wispe (dalam Mahmud, 2003) juga mengklasifikasikan bentuk perilaku prososial, antara lain: a. Simpati (Sympathy) Perilaku yang didasarkan atas perasaan yang positif terhadap orang lain. Peduli dan ikut merasakan kesedihan dan kesakitan yang dialami orang lain. b. Bekerja sama (Cooperation) Kerja sama diartikan sebagai bentuk perilaku saling membantu pihakpihak yang terlibat untuk mencapai tujuan bersama. 16
c. Membantu atau menolong (Helping) Perilaku mengambil bagian atau membantu urusan orang lain agar orang tersebut dapat mencapai tujuannya. d. Berderma atau menyumbang (Donating) Perilaku menghadiahkan atau memberikan suatu sumbangan kepada orang lain, biasanya berupa amal. e. Altruistik (Altruism) Merujuk pada tindakan yang dilakukan untuk memberikan keuntungan kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspekaspek prososial yaitu berbagi, kerjasama, menyumbang, menolong, kejujuran, dan kedermawanan. Selanjutnya, aspek-aspek prososial dari Eisenberg dan Munssen inilah yang juga akan digunakan peneliti untuk menyusun alat ukur perilaku prososial.
2.1.3. TEORI PERILAKU PROSOSIAL 2.1.3.1. Secara Umum Penulis menggunakan teori yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Bandura adalah seorang ahli teori belajar sosial tradisional, hampir semua tingkah laku manusia dipelajari dan dibentuk oleh peristiwa yang terjadi di lingkungan seperti reward, punishment, dan modelling. Efek dari reward dan punishment disebut reinforcement sedangkan modeling adalah proses belajar melalui proses observasi orang lain yang menolong. Ditinjau dari perspektif teori belajar tradisional, respon prososial diinterpretasi sebagai konsekuensi dari reinforcement langsung (reward). Karakter moral diartikan sebagai kebiasaan belajar dan sifat baik yang dipelajari dari orang tua dan guru. Sebagai 17
konsekuensi dari pengulangan pengalaman, anak belajar respon mana yang menyebabkan pujian orang tua. Dua konsep penting yang dikenalkan adalah observational learning dan cognitive regulator. Bandura menjadi pelopor dalam observational learning ini. Menurut pandangan Bandura, observational learning meliputi empat jenis proses, yakni atensi, retensi, produksi motor dan motivasi. Individu mengimitasi jika ia mengikuti model, masuk dalam pikirannya apa yang telah diobservasi, dapat menerjemahkan secara fisik perilaku yang telah diobservasi dan motivasi untuk melakukan hal seperti itu (Sears, 1999). Bandura sangat menekankan pada faktor kognitif internal. Pengaruh eksternal dipercaya mempengaruhi perilaku melalui proses mediasi kognisi. Individu secara simbolis memanipulasi informasi yang diperoleh dari pengalaman sehingga ia mampu menguji dan menghasilkan pengetahuan baru. Aktivitas kognitif juga mengarahkan dan mengatur tingkah laku individu. Bandura, dengan teori sosial kognitifnya mengungkapkan bahwa intensi dan proses evaluasi diri memainkan peran yang penting dalam pengaturan diri. Penggunaan representasi kognitif membuat individu dapat mengantisipasi perilaku yang keluar dan bertindak dengan cara yang diharapkan. Individu juga menyusun tujuan untuk dirinya dan mengevaluasinya secara negatif jika mereka tidak konsisten antara representasi kognitif dengan perilaku yang sesuai. Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar internal dan aturan dengan mengimitasi model dan memahami penjelasan perilaku moral dari orang-orang yang mensosialisasikan nilai. Reaksi orang lain ini pada tingkah laku anak-anak membantu mereka untuk memahami signifikansi sosialnya. Oleh karena itu perkembangan moral termasuk perilaku prososial,
18
dipandang sebagai hasil interaksi antara tekanan sosial dan perubahan kapasitas kognitif individu.
2.1.3.2. Secara khusus bagi Prososial Albert Bandura mengungkapkan teori pembelajaran social yang sangat menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Bandura menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi pembelajaran sosial adalah faktor sosial dan faktor kognitif serta faktor pelaku yang berperan dalam pembelajaran sosial. Faktor kognitif berupa ekspektasi atau penerimaan siswa untuk meraih keberhasilan, faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap model pola asuh serta perilaku orang tuanya. Bandura mengembangkan model desterministic resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku, person atau kognitif dan lingkungan. Ketiga faktor ini dapat saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, dan faktor person atau kognitif memengaruhi perilaku, Sears (1999). Dalam hal ini empati dapat berperan sebagai faktor kognitif dalam pembelajaran sosial. Di mana salah satu komponen empati adalah ketrampilan kognitif, ketrampilan ini digunakan untuk mengenal dan memahami pikiran dan pandangan orang lain. Sedangkan pola asuh demokratis dapat berperan sebagai faktor lingkungan, dan prososial berperan sebagai perilakunya. Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan bahwa perilaku manusia dalam konteks interaksi akan terjadi proses timbal balik yang berkesinambungan
antara
kognitif,
perilaku
dan
lingkungan.
Kondisi
lingkungan sangat berpengaruh pada pola belajar sosial karena sebagian besar 19
manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran. Bandura mengungkapkan bahwa perilaku seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan. Dapat disimpulkan juga bahwa perilaku prososial adalah hasil interaksi faktor kognitif (empati) dan lingkungan (pola asuh demoktratis).
2.1.4.
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMENGARUHI
PERILAKU
PROSOSIAL Menurut Eissenberg dan Mussen (1989), ada tujuh faktor utama yang mempengaruhi perilaku prososial anak: a. Faktor Biologis Faktor biologis memegang peranan penting dalam kapasitas untuk berperilaku prososial. Ada dasar genetik yang menyebabkan timbulnya perbedaan individual dalam intensi prososial. Faktor genetik mengendalikan respon prososial beberapa spesies hewan dan hal ini digeneralisasi pada manusia. b. Budaya masyarakat setempat Perilaku, motivasi, orientasi dan nilai-nilai yang diyakini oleh individu juga diarahkan oleh budaya tempat individu tersebut tinggal. Semua aspek perilaku dan fungsi psikologis yang diperoleh paling tidak juga dipengaruhi oleh aspek budaya. Keanggotaan dalam suatu kelompok budaya hanya bisa digunakan untuk memperkirakan kecenderungan hati individu untuk bertindak secara prososial dalam berbagai aspek budaya. 20
c. Pengalaman sosialisasi Pengalaman sosialisasi yang dimaksud adalah banyaknya interaksi anak dengan agen-agen sosialisasi seperti orang tua yang merupakan agen sosialisasi utama, teman sebaya, guru dan media massa. Pengalaman sosialisasi ini penting dalam membentuk kecenderungan prososial anak. Sebagian besar perilaku prososial anak dipelajari individu dari orang tua pada masa kanak-kanak. d. Proses kognitif Perilaku
prososial
melibatkan
beberapa
proses
kognitif
yang
fundamental, yaitu: 1) Intelegensi. Menurut
teori
perkembangan
kognitif,
setiap
individu
mempersepsi lingkungan sesuai dengan jalan pikirannya. Individu juga mempersepsi dan mengorganisasikan stimulus serta berperilaku sesuai dengan tingkat intelegensinya. Moral reasoning dan moral judgement merupakan manifestasi dari intelegensi yang selalu berubah dan berkembang sesuai dengan fungsi kognitif. 2) Persepsi terhadap kebutuhan orang lain. Anak yang berada pada masa kanak-kanak awal kurang dapat memperkirakan kebutuhan orang lain secara tepat dan mengalami kesulitan untuk membedakan antara kebutuhan dirinya sendiri dengan kebutuhan orang lain. Penelitian Pearl (dalam Eissenberg & Mussen, 1989) menyatakan bahwa seorang anak baru bisa memahami kebutuhan orang lain ketika berada pada tingkat tiga sekolah dasar. Kemampuan untuk mengenali permasalahan yang dialami oleh orang lain akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kemampuan ini nantinya akan meningkatkan respon prososial anak. 21
3) Alih peran (role taking). Role taking adalah kemampuan untuk memahami dan menarik kesimpulan dari perasaan, reaksi emosi, pemikiran, pandangan , motivasi dan keinginan orang lain. Piaget (dalam Eissenberg & Mussen, 1989) mengemukakan bahwa pada masa kanak-kanak awal, anak tidak mempunyai kematangan kognitif yang cukup memadai untuk bisa menerima sudut pandang orang lain. Anak-anak yang belum sampai pada periode operasional konkrit (usia kurang dari tujuh tahun) hanya bisa memperhatikan satu dimensi dari suatu situasi pada suatu waktu dan tidak bisa mempertimbagkan beberapa aspek masalah atau bermacammacam perspektif secara serentak. Saat mulai memasuki masa operasional konkrit (7-12 tahun) anak mulai dapat memperhatikan beberapa aspek masalah pada satu waktu dan dapat menimbang hubungan timbal balik serta menerima sudut pandang orang lain. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Favell, Botkin, Wright dan Javus, Kurde, Selman, Shantz (dalam Eissenberg & Mussen, 1989) mendukung pendapat Piaget dan menyatakan bahwa kemampuan alih peran akan meningkat pada masa kanak-kanak. Menurut Eissenberg dan Mussen (1989), kemampuan alih peran sebagai perantara perilaku prososial secara sistematik telah teruji. Kemampuan alih peran bisa memfasilitasi perilaku prososial yang dimotivasi oleh kepedulian terhadap orang lain. 4) Keterampilan memecahkan masalah interpersonal. Keterampilan memecahkan masalah interpersonal meliputi adanya sensitivitas terhadap permasalahan interpersonal, kemampuan untuk menentukan beragam solusi dan langkah-langkah yang diperlukan 22
untuk
merealisasikan
solusi
tersebut
dan
kemampuan
mempertimbangkan konsekuensi sosial suatu perilaku bagi orang lain sebagaimana konsekuensi bagi dirinya sendiri. 5) Atribusi terhadap orang lain. Atribusi yang dimaksud adalah penilaian terhadap motivasi dan penyebab suatu perilaku yang dilakukan oleh orang lain. Penyebab suatu permasalahan bisa berkaitan dengan faktor yang bisa dikontrol oleh seseorang misalnya faktor ketidakmampuan fisik karena kelainan genetik. Menurut Eissenberg dan Mussen (1989) anak usia sekolah lebih cenderung membantu orang lain yang mengalami masalah akibat faktor yang tidak bisa dikontrol. 6) Penalaran moral. Tahap penalaran moral merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi kecenderungan hati seseorang untuk bertindak secara prososial. Menurut Eissenberg dan Mussen (1989) korelasi antara tahap penalaran moral dengan perilaku moral tidak begitu tinggi karena perilaku prososial dipengaruhioleh banyak faktor seperti reaksi emosi, kompetensi, kebutuhan dan keinginan seseorang pada suatu waktu. e. Respon emosional Respon emosional adalah adanya perasaan bersalah, kepedulian terhadap orang lain. Respon emosi ini akan muncul baik ketika ada ataupun tidak ada orang lain. f. Faktor karakteristik individu Faktor karakteristik individu yang berhubungan dengan intensi prososial adalah jenis kelamin, tingkat perkembangan yang tercermin melalui usia serta
23
tipe kepribadian. Karakter tertentu pada diri individu yang merupakan kondisi tetap dan hasil belajar juga berpengaruh pada perilaku prososial. g. Faktor situasional Tekanan-tekanan eksternal, peristiwa sosial juga mempengaruhi respon prososial seseorang. Faktor situasional terdiri dari dua subkategori yaitu peristiwa yang baru saja terjadi pada diri secara kebetulan dan mempunyai efek panjang serta mempengaruhi seluruh sisi kehidupan seseorang. Subkategori yang kedua adalah sesuatu yang berhubungan dengan konteks sosial yaitu situasi atau keadaan yang menghambat individu, misalnya situasi emosi pada suatu waktu dan karakteristik personal.
Menurut Staub (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan prososial: a. Pemerolehan diri (Self Gain). Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya : ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan. b. Norma-norma (Personal value and norms). Adanya nilai-nilai dan norma-norma sosial pada individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik. c. Empati (Empathy) Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain, jadi kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambilan peran. Terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh Agnes Permatasari (2008) dalam jurnalnya yang berjudul hubungan antara empati dengan kecenderungan 24
perilaku prososial pada perawat di RSU Kardinah Tegal, menunjukkan hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel empati dengan variabel kecenderungan perilaku prososial pada perawat dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,790 peluang kesalahan (p) sebesar 0,000 (p< 0,01). Hal senada juga diungkapkan oleh Agustin Pujiyanti (2000) mengenai kontribusi empati terhadap perilaku prososial pada siswa siswi SMA negeri 1 Setu Bekasi dan hasil perhitungan diperoleh nilai F sebesar 69,183 dan p = 0,000 dimana p < 0,05. Nilai R diperoleh sebesar 0,710 dan R square sebesar 0,504. Dengan demikian, dapat disimpulkan adanya kontribusi empati secara signifikan terhadap perilaku prososial pada siswa siswi, dan empati memberikan kontribusi terhadap prososial sebesar 50,4 %.
Menurut Piliavin (dalam Hudaniah dan Dayakisni, 2006) ada beberapa faktor situasional dan faktor dari dalam diri yang menentukan tindakan prososial, yaitu : a. Faktor situasional i. Bystander Bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian mempunyai pengaruh sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat. Staub (1978) dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau bersama orang lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-norma social yang dimotivasi oleh harapan untuk mendapat pujian.
25
ii. Daya tarik Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya tarik) akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. Apapun factor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons untuk menolong, (Clark, dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Seseorang cenderung akan menolong orang yang dalam beberapa hal mirip dengan dirinya (Krebs, dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993). Kedekatan hubungan ini dapat terjadi karena adanya pertalian keduanya, kesamaan latar belakang atau ras (Staub, 1979. Bringham. 1991; dalam Hudaniah dan Dayakisni, 2006). iii. Atribusi terhadap korban Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar kendali korban (atribusi internal) (Weiner, 1980). Oleh karena itu, seseorang akan lebih bersedia member bantuan kepada pengemis yang cacat dan tua dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda. iv. Ada model Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Bandura menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi pembelajaran sosial adalah faktor social dan faktor kognitif serta faktor pelaku yang berperan dalam pembelajaran sosial. Faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap model pola asuh serta perilaku orang tuanya. Penelitian yang juga dilakukan oleh Grusec (dalam Mahmud, 2003) menunjukkan bahwa ada bukti kuat jika model memperlihatkan perilaku menolong, berbagi atau 26
menunjukkan perhatian kepada orang lain, maka anak akan melakukan hal yang sama, karena ada proses identifikasi mandiri (dominasi sosial, nonkonformitas dan bertujuan) termasuk didalamnya penggunaan perilaku menolong yang dilakukan oleh orang tuanya. v. Desakan waktu Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya (Sarwono, 2005). vi. Sifat kebutuhan korban Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimacy of need), dan bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain (atribusi ekternal) (Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).
b. Faktor dari dalam diri. i. Suasana hati (mood). Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang sedang sedih mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil. ii. Sifat Beberapa
penelitian
membuktikan
terdapat
hubungan
antara
karakteristik seseorang dengan kecenderungannya untuk menolong seperti sifat pemaaf (forgiveness), pemantauan diri (self monitoring), adanya 27
kebutuhan akan persetujuan (need of approval), memiliki internal locus of control dan egosentris yang rendah (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). iii. Jenis Kelamin. Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. iv. Tempat tinggal Orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih penolong daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan.
Menurut Vasta (dalam Weiner,1980) ada beberapa faktor penentu dalam perkembangan perilaku prososial anak, yaitu : a. Faktor kognitif dan afektif 1) Penalaran moral Menurut
Piaget
dan
Kohlberg,
proses
penalaran
moral
merupakan inti dari perkembangan moral. Oleh karena itu ada hubungan yang positif antara penalaran moral dengan perilaku prososial. Eisenberg (1989) menyatakan bahwa hubungan positif antara penalaran moral dengan perilaku prososial sedikit lemah. 2) Pengambilan perspektif Pengambilan perspektif merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti situasi dan sudut pandang orang lain. Pengambilan perspektif ini bisa secara fisik, sosial, maupun afektif. 3) Empati Empati yaitu kemampuan untuk merasakan emosi, perasaan, dan kesulitan orang lain. Menurut Hoffman (Eisenberg & Mussen, 1989), pada masa kanak-kanak akhir, empati berkembang secara penuh dan 28
memungkinkan anak untuk menggeneralisasi respon empatik kepada semua kelompok orang. 4) Atribusi Anak akan bersikap lebih simpatik dan prososial ketika mereka bisa menganggap bahwa permasalahan yang terjadi berada di luar kontrol atau tanggung jawab orang yang memerlukan bantuan. b. Faktor sosial dan keluarga Faktor sosial dan keluarga yang mempengaruhi perilaku prososial anak yaitu : 1) Penguatan Pujian akan mendorong anak untuk menampilkan perilaku prososial apabila pujian itu ditujukan langsung pada diri anak yaitu bahwa anak tersebut adalah anak yang suka membantu dan baik hati daripada ditujukan pada cara anak memberikan bantuan. Penguatan yang memberikan peran yang amat penting meskipun tidak ada keterlibatan psikologis
dalam
proses
memberikan
bantuan.penguatan
yang
diberikana bisa berupa balasan kebaikan anak dengan sesuatu yang meyenangkan mereka. 2) Modelling dan media Perilaku prososial anak sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat dari tingkah laku orang lain. Penelitian Eron (dalam Vasta, 1995) menunjukkan bahwa anak-anak akan lebih mudah menunjukkan perilaku berbagi dan membantu setelah mereka mengamati model atau seseorang yang menunjukkan perilaku yang hampir sama. Kehadiran orang lain dengan perilaku prososial tertentu juga bisa menjadi model sosial bagi orang di sekitarnya. Model yang berkuasa, lebih berkompeten dan 29
mempunyai kedudukan penting akan lebih sering ditiru. Model yang ditiru bisa ditampilkan melalui berbagai media, misalnya televisi pendidikan anak yang menyiarkan tema-tema moral dan perilaku prososial dan buku bacaan. Model sosial di layar televisi juga dapat menciptakan norma sosial yang mendukung terbentuknya perilaku prososial para penontonnya. Berdasarkan uraian di atas, perilaku prososial tidak selamanya sama pada setiap individu. Hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial tersebut seperti pemerolehan diri, normanorma, empati, bystander, daya tarik, atribudi terhadap korban, model pola asuh atau perilaku orang tua, desakan waktu, sifat kebutuhan korban, suasana hati, sifat, jenis kelamin, dan tempat tinggal. 2.2. EMPATI 2.2.1. PENGERTIAN EMPATI Empati (dari Bahasa Yunani εµπάθεια yang berarti "ketertarikan fisik") didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Sejalan dengan pendapat ahli di atas Johnson, Check, dan Smither (1983), mengemukakan empati adalah kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan orang lain. Seseorang yang empati digambarkan sebagai orang yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta bersifat humanistik. Selain itu Kartono (1987) mengatakan empati adalah pemahaman pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain dengan cara menempatkan diri ke dalam kerangka pedoman psikologi orang tersebut, tanpa 30
sungguh-sungguh mengalami yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Pendapat tersebut selaras dengan penjabaran Koestner, Franz & Weinberger (1990) yang mengartikan empati sebagai kemampuan menempatkan diri dalam pikiran dan perasaan orang lain, tanpa harus terlibat secara nyata di dalamnya. Higgins (1982) juga mengungkapkan pendapat senada yang menyatakan bahwa dengan empati seseorang dapat memahami pandangan orang lain, kebutuhan-kebutuhannya serta pemikiran dan tindakannya. Ditambahkan oleh Chaplin (2000) bahwa empati adalah realisasi dan pengertian terhadap perasaan, kebutuhan dan penderitaan pribadi orang lain. Menurut Walgito (2002), empati sebagai tanggapan afeksi seseorang terhadap suatu hal yang dialami orang lain seolah-olah mengalami sendiri hal tersebut dan diwujudkan dengan bentuk menolong, menghibur, berbagi dan bekerjasama dengan orang lain, sedangkan Djauzi dan Supartondo (2004) mengartikan empati adalah kemampuan untuk menghayati perasaan orang lain, yang secara garis besar empati ini dibagi dalam proses deteksi keadaan efektif dan respon yang sesuai. Di samping itu masih ada lagi pendapat (Eisenberg, 1994) yang menyebutkan bahwa empati merupakan respon emosional, berasal dari pemahaman terhadap keadaan keadaan emosi dan keadaan orang lain, dan sangat sesuai dengan pengalaman yang diterima oleh orang lain. Pada umumnya, para ahli menyetujui bahwa respon empatik melibatkan komponen kognitif dan afektif, namun mereka berbeda dalam penekanannya masingmasing. Pendapat Hoffman (dalam Elvin, 2001), peneliti perkembangan empati antara lain mengenai skema empati, penyusunan teori tentang peranan empati dalam proses internalisasi, dasar empati dalam filosofi Barat, berpendapat
31
bahwa empati merupakan respon afektif seseorang yang sangat sesuai dengan situasi orang lain yang diamati. Satu aspek terpenting dari empati adalah apa yang disebut sebagai pengambilan perspektif (perspective taking), yaitu sebuah kemampuan khas yang dimiliki individu untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang orang lain. Perspective taking memungkinkan seseorang mampu mengantisipasi perilaku dan reaksi emosi orang lain, sehingga dari sana dapat terbangun hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan. Empati dengan simpati adalah dua hal yang bisa dikatakan “serupa tapi tak sama”. Simpati dipandang sebagai kesadaran yang tinggi terhadap penderitaan orang lain, dan biasanya orang ingin meringankannya. Simpati merupakan kecenderungan terlibat atau menempatkan diri pada posisi orang lain secara emosional dan terdorong untuk mengurangi penderitaan, kekecewaan atau kemarahan orang lain secara nyata. Kecenderungan
untuk
melakukan
suatu
tindakan
inilah
yang
membedakan simpati dengan empati. Simpati dianggap berpangkal dari empati karena simpati merupakan konsekuensi adanya empati. Sedangkan empati tidak hanya menempatkan diri pada posisi orang lain, tetapi lebih jauh dan dalam diri kita masuk kekejadian atau peristiwa yang menimpa orang lain secara nalar. Kita ikut merasakan sekaligus memikirkan kejadian itu sebagaimana dirasakan dan dipikirkan orang lain. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa empati merupakan kecenderungan seseorang untuk memahami pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, kondisi, keadaan orang lain tanpa harus terlibat secara nyata di dalamnya.
32
2.2.2. ASPEK-ASPEK EMPATI Davis (1983) menjabarkan komponen kognitif dari empati terdiri dari aspek perspective taking and fantasy, sedangkan komponen afektifnya terdiri dari aspek empatic concern dan personal distress. Penjabaran tersebut menjadi dasar pada penelitian ini. a. Pengambilan Perspektif (perspective taking). Kecenderungan seseorang untuk mengambil alih sudut pandang orang lain secara spontan. Aspek ini akan mengukur sejauh mana individu memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain. Pentingnya kemampuan pengambilan perspektif untuk perilaku non-egosentrik, yaitu perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan diri tetapi pada kepentingan orang lain. Pengambilan perspektif yang tinggi berhubungan dengan baiknya fungsi sosial seseorang. Kemampuan ini, seiring dengan antisipasi seseorang terhadap perilaku dan reaksi emosi orang lain, sehingga dapat dibangun hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan. Pengambilan perspektif juga berhubungan secara positif dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. b. Imajinasi (Fantasy) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan yang dialami orang lain. Kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan yang terdapat pada buku-buku, layar kaca, bioskop, maupun dalam drama. Fantasi berdasarkan
33
penelitian Stotland, dkk (Davis1983) berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. c. Perhatian Empatik (Empatic concern). Menyatakan bahwa perhatian empatik meliputi perasaan simpatik, belas kasihan dan peduli (lebih terfokus pada orang lain). Orientasi seseorang terhadap orang lain yang ditimpa kemalangan. Aspek ini berpijak pada penelitian Coke (dalam Davis, 1983) yang berhubungan positif dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Selanjutnya (Davis, 1983) menyatakan bahwa perhatian empatik merupakan cermin dari perasaan kehangatan dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian terhadap orang lain. d. Distress Pribadi (Personal Distress). Sears, Freedman, dan Peplau (1994) mendefinisikan personal Distress sebagai kepedulian terhadap ketidaknyamanan diri sendiri dalam menghadapi kesulitan orang lain, dan motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Dalam skala pengukur distress pribadi, reaksi-reaksi
yang dianggap
mencerminkan hal ini adalah ketakutan, kegelisahan, cemas, khawatir kalau tidak menolong, terganggu, dan terkejut atau bingung dalam menghadapi orang lain yang kesulitan. Distress pribadi yang tinggi berhubungan dengan rendahnya fungsi sosial. Tingginya distress pribadi menunjukkan kurangnya kemampuan dalam sosialisasi.
Rose (dalam Hogan, 1980) mengemukakan lima aspek yang merupakan karakterstik orang yang berempati tinggi (highly empathic concern) yaitu : a. Kemampuan dalam berperan imajinatif b. Sadar akan pengaruh seseorang terhadap orang lain. 34
c. Memiliki kemampuan untuk mengevaluasi motif-motif orang lain. d. Memiliki pengetahuan tentang motif dan perilaku orang lain. e. Mempunyai rasa pengertian sosial. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspekaspek empati adalah pengambilan perspektif, imajinasi, perhatian empatik, distress pribadi. Aspek-aspek di atas inilah yang akan digunakan peneliti untuk membuat skala penelitian.
2.2.3. MANFAAT EMPATI Ada beberapa manfaat yang dapat ditemukan dalam kehidupan pribadi dan sosial saat mempunyai kemampuan berempati, diantaranya adalah : 2.2.3.1. Secara Umum 1) Menghilangkan kesombongan. Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa yang terjadi pada diri orang lain akan dapat terjadi pula pada diri kita. Disaat membayangkan kondisi ini maka seseorang akan terhindar dari kesombongan atau tinggi hati karena apapun akan dapat terjadi pada diri kita jika Tuhan berkehendak. Orang yang mempunyai kemampuan empati akan cenderung memiliki jiwa rendah hati dan memahami kehidupan ini dengan baik. Roda senantiasa berputar, itulah kehidupan. 2) Menyesuaikan diri. Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Dymon (dalam Hadiyanti, 1992) menyatakan bahwa orang yang baik penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam sifat optimis, fleksibel, dan kematangan emosi.
35
3) Meningkatkan harga diri. Empati berperan besar dalam hubungan sosial. Richard (dalam Jones, 1992) menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dana menyatakan identitas diri. Adanya hubungan sosial dan media berkreasi menyebabkan tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang (Kurtinez dan Gewirts, 1984). 4) Meningkatkan pemahaman diri. Kemampuan dalam memahami perspektif orang lain, menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan perilakunya.
Hal
ini
akan
menyebabkan
individu
lebih
sadar
dan
memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya.
2.2.3.2. Secara Khusus bagi Prososial 1) Menghilangkan sikap egois dan mudah memberikan pertolongan. Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat menghilangkan
sikap
egois
(mementingkan
diri
sendiri).
Dengan
mengembangkan kemampuan empati, maka seseorang akan berusaha berbicara, berpikir, dan berperilaku yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan mudah memberikan pertolongan kepada orang lain. 2) Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri. Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha untuk melakukan evaluasi diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat diri orang lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian dari merefleksikan keadaan tersebut dalam diri sendiri sehingga mampu menolong orang lain dengan tulus ikhlas.
36
3) Mempercepat hubungan dengan orang lain. Lauster (1995) berpendapat bahwa jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka salah paham, perdebatan, dan ketidaksepakatan antar individu dapat dihindari sehingga dimungkinkan terjadinya kerjasama sangat besar dan mudah. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat empat secara umum adalah, menghilangkan kesombongan, meningkatkan harga diri, meningkatkan pemahaman diri dan menyesuaikan diri sedangkan secara khusus bagi prososial adalah menghilangkan sikap egois dan mudah memberikan pertolongan mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri, dan mempercepat hubungan dengan orang lain.
2.3. REMAJA 2.3.1. PENGERTIAN REMAJA Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari bahasa inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik (Hurlock,1999). Piaget (dalam Hurlock,1999) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Individu tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya adalah masalah hak, integrasi dalam masyarakat, mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk di dalamnya juga perubahan intelektual yang mencolok, tranformasi yang khas dari cara berfikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam sebuah hubungan sosial orang dewasa. 37
Selanjutnya, Kartono (1990) mengatakan bahwa masa remaja juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada periode remaja terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil ke simpulan bahwa masa remaja merupakan masa penghubung antara masa anak-anak menuju dewasa. Pada masa remaja terdapat berbagai perubahan, diantaranya terjadi perubahan intelektual dan cara berfikir remaja, terjadinya perubahan fisik yang sangat cepat, terjadinya perubahan social, di mana remaja memulai berintegrasi dengan masyarakat luas serta pada masa remaja mulai meyakini kemampuannya, potensi serta cita-cita diri. Selanjutnya pada masa remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi sehingga pada akhirnya remaja bisa dengan menetapkan langkah ke tahapan perkembangan selanjutnya.
2.3.2. BATASAN USIA REMAJA Banyak batasan usia remaja yang diungkapkan oleh para ahli. Diantaranya adalah Monks, dkk (1999) yaitu masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. Batasan remaja yang diungkapkan oleh Monks, dkk (1999) tidak jauh berbeda dengan pendapat Kartono (1999) yang membagi masa remaja menjadi masa pra pubertas, masa pubertas dan masa adolesensi. Monks, dkk (1999) membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga tahap, yaitu ; remaja awal (12-15 tahun), remaja tengah (15-18) dan remaja akhir (18-21 tahun). Menurut Hurlock (1999) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada
38
pada rentang 12-23 tahun. Sedangkan menurut Thornburgh (dalam Elvin, 2001) membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun. Pada masa ini terjadi masa peralihan antara tahapan presosialization (tahap dimana anak tidak peduli pada orang lain, mereka hanya akan menolong apabila diminta atau ditawari sesuatu agar mau melakukannya, tetapi menolong itu tidak membawa dampak positif bagi mereka), Sears (1999). b. Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun. Pada rentang usia ini, kepribadian remaja masih bersifat kekanakkanakan, namun pada usia remaja sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menemukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Selain itu pada remaja pertengahan akan memasuki tahapan awarness (tahapan dimana anak belajar bahwa anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka saling membantu, mengakibatkan mereka menjadi menjadi lebih sensitif terhadap norma sosial dan belajar bertingkah laku prososial) Sears (1999). c. Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun. Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digarikannya sendiri, dengan itikad baik dan keberanian. Remaja mulai memahami arah kehidupannya, dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan pola yang jelas yang baru ditemukannya (Kartono, 1990). Selain itu remaja akhir ini mulai memasuki tahap internalization (tahap ini perilaku menolong dapat memberikan kepuasan secara intrinsik dan membuat orang merasa nyaman), Sears (1999). 39
Dari batasan-batasan remaja yang dikemukakan oleh para tokoh di atas, peneliti menggunakan batasan remaja Thronburgh 11-19 tahun dengan pertimbangan pada usia remaja sudah mulai memasuki tahapan dimana anak belajar menolong untuk remaja awal, belajar bertingkah laku prososial dan sensitif terhadap norma sosial untuk remaja pertengahan, dan untuk remaja akhir belajar berperilaku menolong yang akan memberikan kepuasan secara intrinsik dan membuat orang merasa nyaman.
2.3.3. TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA Pada remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi. Menurut Hurlock (1999), adapun tugas perkembangan remaja itu adalah : a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya sejenis atau lawan jenis. Remaja belajar untuk bergaul dengan baik, dalam hal ini remaja juga berusaha untuk dapat menarik perhatian lawan jenis. b. Mencapai peran sosial pria dan wanita. Remaja belajar untuk memerankan peran seks yang diakui sesuai dengan adanya tuntutan dari lingkungan. c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. Remaja diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan fisik yang terjadi padanya dan diharapkan sudah tidak lagi mengalami kecanggungan. d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab perilaku sosial remaja diharapkan dapat sesuai dengan tuntutan sosial yang ada dilingkungannya. e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Remaja diharapkan dapat membawa diri diamanapun dia berada dan tidak 40
bergantung pada orang lain. Ada suatu tuntutan bahwa remaja harus mampu mandiri, bukan dalam hal ekonomi tetapi dalam kehidupan sosial. f. Mempersiapkan karir ekonomi. Remaja diharapkan mulai menata masa depannya sebagai masa persiapan bekerja. g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. Remaja mulai membangun hubungan dengan lawan jenis namun bukan semata-mata bersenang-senang tetapi untuk mencari pasangan hidup. Berdasarkan pemaparan di atas, tugas perkembangan remaja yang berhubungan dengan perilaku prososial adalah mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab perilaku sosial remaja diharapkan dapat sesuai dengan tuntutan sosial yang ada dilingkungannya.
2.4. POLA ASUH ORANG TUA 2.4.1. PENGERTIAN POLA ASUH Orang tua dan keluarga merupakan faktor yang paling signifikan pada perkembangan kepribadian selama masa kanak-kanak akhir. Hubungan orang tua-anak, situasi keluarga dan interaksi antar saudara kandung memainkan peran yang penting dalam membentuk kepribadian mereka. Hubungan orang tua-anak sangat penting dalam menentukan perkembangan kepribadian dan sosial, sehingga perlu diberikan perhatian khusus. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktornya adalah praktik pengasuhan anak. Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi 41
orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg, 1993). Penelitian kontemporer pada gaya pola asuh berasal dari penelitian terkenal Baumrind (1991) dalam anak dan keluarganya menunjukkan bahwa gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan, dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai karakteristik orang tua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1993). Dengan demikian kebiasaan cara atau gaya orang tua ketika mereka berinteraksi dengan anak-anaknya merupakan dimensi pola asuh yang penting. Perkembangan mentalitas anak memiliki proses pencarian yang panjang bagi orang tua untuk meningkatkan kemampuan perkembangan sosio-emosional (Bornstein, 2002) Menurut Diana Baumrind, pola asuh orang tua atau parenting style adalah suatu cara bagaimana orang tua mengasuh dan mendidik anak. Pola asuh ini tentunya juga berkaitan erat dengan bagaimana kepribadian anak akan terbentuk. Pola asuh perilaku orang tua terhadap anaknya terdiri atas dua aspek penting, yaitu parental responsiveness (derajat seberapa besar respon orang tua terhadap kebutuhan anak, penerimaan, dan perilaku mendukung) dan parental
42
demandingness (harapan dan kontrol orang tua terhadap perilaku bertanggung jawab anak). Faktor
lingkungan
sosial
yang
memiliki
sumbangan
terhadap
perkembangan sosial anak ialah keluarga, khususnya orang tua terutama pada masa awal (kanak-kanak) sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentukbentuk perilaku sosial tertentu pada anaknya. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002), pengertian pola asuh adalah merupakan suatu bentuk (struktur), system dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing anak kecil. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh adalah segala sesuatu yang dilakukan orang tua (pengasuh) terhadap anak (yang diasuh) yang meliputi kegiatan seperti memelihara, melindungi dan mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan anak tersebut serta cara orang tua mengkomunikasikan sikap dan kepercayaan kepada anakanaknya.
2.4.2. PENGERTIAN POLA ASUH DEMOKRATIS Menurut Utami Munandar (1982), pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak (Gunarsa, 1995). Dengan kata lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan 43
pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batasbatas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua. Dalam pola asuh ini dipandang bahwa kebebasan pribadi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya baru bisa tercapai dengan sempurna apabila anak mampu mengontrol dan mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dengan lingkungan baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini anak diberi kebebasan namun dituntut untuk mampu mengatur dan mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dan keinginannya dengan tuntutan lingkungan. Oleh karena itu sebelum anak mampu mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri, maka dalam dirinya perlu ditumbuhkan perangkat aturan sebagai alat kontrol yang dapat mengatur dan mengendalikan dirinya sesuai dengan aturan yang berlaku di lingkungannya. Pengontrolan dalam hal ini, walaupun dalam bentuk apapun hendaknya selalu ditujukan supaya anak memiliki sikap bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungan masyarakat. Dengan demikian anak itu akan memiliki otonomi untuk melakukan pilihan dan keputusan yang bernilai bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya. Dalam hal ini perlu disadari bahwa kontrol yang ketat harus diimbangi dengan dorongan kuat yang positif agar individu tidak hanya merasa tertekan tetapi juga dihargai sebagai pribadi yang bebas. Komunikasi antara orang tua dengan anak atau anak dengan orang tua dan aturan intern keluarga merupakan hasil dari kesepakatan yang telah disetujui dan dimengerti bersama. Untuk hal ini Baumrind (1991) menekankan bahwa dalam pengasuhan autoritatif mengandung beberapa prinsip : pertama, kebebasan dan pengendalian merupakan prinsip yang saling mengisi, dan bukan suatu pertentangan. Kedua, hubungan orang tua dengan anak memiliki fungsi 44
bagi orang tua dan anak. Ketiga, adanya kontrol yang diimbangi dengan pemberian dukungan dan semangat. Keempat, adanya tujuan yang ingin dicapai yaitu kemandirian, sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab terhadap lingkungan masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menggunakan kebebasan dan pengendalian, dan ada kontrol yang diimbangi dengan pemberian dukungan oleh orang tua kepada anak.
2.4.3. CIRI-CIRI POLA ASUH ASUH DEMOKRATIS. Pola asuh demokratis, memiliki ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli di bawah ini: a. Stewart dan Koch (dalam Elaine, 1990) menyatakan ciri-cirinya adalah: 1) Orang tua memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. 2) Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak- anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa. 3) Orang tua selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anakanaknya. 4) Dalam bertindak, orang tua selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian.
45
b. Menurut Hurlock (1999) pola asuhan demokratis ditandai dengan ciri-ciri: 1) Anak-anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya. 2) Anak diakui keberadaannya oleh orang tua. 3) Anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
c. Menurut Zahara Idris (dalam Shochib, 1998), dimensi pola asuh demokratis meliputi: 1) Musyawarah dalam keluarga. Pola asuh demokratis selalu memberi kesempatan kepada keluarga dalam hal ini anak untuk membicarakan dan menyepakati peraturan keluarga, membicarakan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan bersama keluarga serta memecahkan masalah yang dihadapi keluarga. 2) Kebebasan yang terkendali. Orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis dalam mendidik anak-anak akan selalu memberikan kebebasan dalam berpendapat, dalam menyampaikan keinginan anak, serta berusaha mendengarkan keluhan, penjelasan dengan segala pertimbangan yang bijaksana, 3) Pengarahan dari orang tua. Memberi pengarahan adalah salah satu ciri pola asuh demokratis, karena dalam pengarahan akan termuat penjelasanpenjelasan mengenai nilai-nilai hidup, moral, norma yang baik dan penting dalam kehidupan ini. 4) Bimbingan dan perhatian. Pola asuh demokratis memberikan perhatian mengenai kebutuhan anak dari hal kecil sampai besar, misalnya adalah kebutuhan pokok anak, kebutuhan sekolah, kebutuhan bermain, namun tidak lepas dari bimbingan yang mengarah ke pencapaian masa depan anak. 5) Saling menghormati antar anggota keluarga. Dalam pengasuhan ini, ditekankan adanya sikap saling menghormati dan menghargai antar anggota 46
keluarga baik dalam bersikap, bertutur kata agar tercipta keharmonisan dalam keluarga. 6) Komunikasi dua arah. Bentuk komunikasi dua arah antara orang tua dan anak sangat dihargai dan diterapkan dalam pola asuh ini, karena komunikasi yang baik adalah bila adanya pihak yang mendengarkan dan mengutarakan pendapat baik dalam mengkomunikasikan masalah, maupun keinginan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi pola asuh yang nantinya juga digunakan dalam penyusunan angket adalah adanya musyawarah dalam keluarga, kebebasan yang terkendali, pengarahan dari orang tua, bimbingan dan perhatian, saling menghormati antar anggota keluarga, dan komunikasi dua arah.
2.4.4. MANFAAT POLA ASUH DEMOKRATIS. 2.4.4.1. Secara Umum 1) Mengembangkan perasaan diterima. Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993) dan Nur Hidayah (1995) (dalam Mohammad Shocib (1998) adalah bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh sebab itu, anak remaja yang merasa diterima oleh orang tua memungkinkan mereka memahami, menerima dan menginternalisasi ”pesan” nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati. 2) Mengembangkan emosional yang positif. Pendapat Fromm, seperti yang dikutip Abu Ahmadi (1991) bahwa anak yang 47
dibesarkan
dalam
keluarga
yang
bersuasana
demokratis,
perkembangannya emosionalnya lebih matang dan dapat menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya anak yang dibesarkan dalam suasana otoriter, memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang harus ditakuti.
2.4.4.2. Secara Khusus bagi Perilaku Prososial 1) Mengembangkan kemandirian dan keyakinan. Baumrid dan Black (dalam Kusjamilah, 2001), dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua yang demokratis akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakantindakan prososial, mandiri serta mampu membuat keputusan sendiri yang akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. 2) Mengembangkan kontrol diri. Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilaku sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif baik dalam tingkah laku menolong (Danny, 1991). 3) Mengembangkan sikap terbuka dan jujur. Pola asuh demokratis ini ditandai dengan sikap terbuka dan jujur antara orang tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya. Jadi, dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan anak. Rumah tangga yang hangat dan demokratis, juga berarti bahwa orang tua merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan kebutuhan anak agar tumbuh dan berkembang sebagai individu dan bahwa 48
orang tua memberinya kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu yang diatasi oleh anak. Sasaran orang tua adalah mengembangkan individu yang berpikir, yang dapat menilai situasi dan bertindak dengan tepat, bukan seekor hewan terlatih yang patuh tanpa pertanyaan (Elanie, 1990). Berdasarkan pemamparan di atas, dapat disimpulkan manfaat pola asuh demokratis secara umum adalah mengembangkan kemandirian dan keyakinan dan mengembangkan emosional yang positif; sedangkan manfaat secara khusus bagi
prososial
adalah
mengembangkan
kemandirian
dan
keyakinan,
mengembangkan kontrol diri dan mengembangkan sikap terbuka.
2.5.
EMPATI
DAN
POLA
ASUH
DEMOKRATIS
SEBAGAI
PREDIKTOR PERILAKU PROSOSIAL. Tingkah laku prososial (prosocial behavior) adalah perilaku yang memerluka proses pembelajaran dalam rentang kehidupan ini. Definisi prososial sendiri adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Dalam teori pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura, ada dua faktor penting yang memengaruhi proses pembelajaran perilaku individu, pertama adalah faktor kognitif dan faktor lingkungan. Faktor kognitif dalam penelitian ini adalah empati yang juga merupakan salah satu faktor munculnya perilaku prososial. Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain, jadi kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambilan peran Staub (dalam Hudaniah & Dayakisni, 2006). Ini merupakan faktor kognitif dari munculnya tindakan prososial, karena dalam empati terdapat ketrampilan kognitif, 49
ketrampilan ini digunakan untuk mengenal dan memahami pikiran dan pandangan orang lain. Dalam empati juga terdapat komponen afektif. Tujuan dari komponen afektif ini adalah menolong individu menguasai ketrampilan hidup (life skills). Ketrampilan-ketrampilan psikologis yang termasuk dalam life skills salah satunya mendengarkan dan memahami secara empatik (empatic understanding), tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga mengekspresikan
kepedulian
dan
mencoba
melakukan
sesuatu
untuk
meringankan penderitaan mereka. Kepedulian untuk menolong seseorang merupakan definisi penting dari prososial. Tingkah laku prososial (prosocial behavior) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Faktor lingkungan dalam proses pembelajaran sosial yang dalam hal ini adalah perilaku prososial ini yaitu lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga ini lebih terfokus pada gaya pola asuh orang tua yang diterapkan untuk mendidik anak-anaknya. Gaya pola asuh orang tua ini termasuk juga model perilaku dari orang tua dalam memberikan asuhan bagi anak-anaknya. Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Model prososial yang lebih berpengaruh dari yang disediakan oleh media, adalah model yang disediakan oleh orang tua. Coles (1997) menyatakan bahwa kuncinya adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi “baik” dan untuk berpikir mengenai orang lain selain dari diri sendiri. Anak-anak belajar dengan mengobservasi apa yang dilakukan dan dikatakan orang tua mereka dalam kehidupan sehari-hari. 50
Coles yakin bahwa masa sekolah dasar adalah masa yang penting di mana anak dapat mengembangkan atau gagal mengembangkan suatu kesadaran. Tanpa model dan pengalaman yang tepat, anak-anak dapat dengan mudah bertumbuh menjadi remaja yang egois dan kasar dan kemudian menjadi orang dewasa yang sama tidak menyenangkannya. Rasa empati anak ditingkatkan ketika ketika orang tua dapat mendiskusikan emosi-emosi, tetapi penghambat utama perkembangan empati adalah penggunaan rasa marah oleh orang tua sebagai cara utama untuk mengontrol anak-anaknya. 2.6. MODEL PENELITIAN Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka model penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Model Penelitian
X1 Y X22
Keterangan: X1: Empati X2: Pola Asuh Demokratis Y : Perilaku Prososial 51
2.7. HIPOTESIS Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja PPA Solo.
52