BAB II LANDASAN TEORI
A.
Manajemen Laba Laba memiliki peranan penting dalam setiap pengambilan keputusan. Oleh
karena itu manajer akan menentukan kebijakan akuntansi dalam pengelolaan laba agar terlihat maksimal. Penjelasan konsep manajemen laba dapat dimulai dari pendekatan keagenan dan signalling theory. Kedua teori ini membahas masalah perilaku manusia yang memiliki keterbatasan rasional (bounded rationality) dan menolak risiko (risk averse). Teori keagenan menyatakan bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan antara agen (manajemen) dengan prinsipal (pemilik) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Manajemen laba menurut Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk (2006) menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu mengartikan manajemen laba sebagai “disclosure management" dalam pengertian manajemen melakukan intevensi terhadap proses pelaporan keuangan kepada pihak ekstenal dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi. National Association of Certified Fraud Examimers dalam Sulistyanto (2008), mendefinisikan manajemen laba sebagai kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga
8
9
menyesatkan ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat pertimbangan yang akhirnya akan menyebabkan orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah pendapat atau keputusannya. Jadi, inti dari manajemen laba adalah adanya perilaku opportunistic dari manajer perusahaan guna memaksimalkan keuntungan pribadi (expected utility-nya) serta efisiensi kontrak yang menguntungkan perusahaan. Namun manajemen laba tidak selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba. Manajemen laba tidak selalu dikaitkan dengan upaya untuk memanipulsi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih banyak dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih manajemen untuk tujuan tertentu dalam batasan GAAP. Pihak-pihak yang kontra terhadap manajemen laba, menganggap bahwa manajemen laba merupakan pengurangan dalam keandalan informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan resiko portofolionya (Ashari dkk, 1994 dalam Assih,2004).
B.
Perbedaan antara Laporan Keuangan Akuntansi dan Laporan Keuangan Fiskal Perbedaan utama antara laporan keuangan komersial dengan laporan
keuangan fiskal disebabkan karena perbedaan tujuan serta dasar hukumnya, walaupun dalam beberapa hal terdapat kesamaan antara akuntansi pajak yang mengacu kepada
10
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan akuntansi keuangan yang mengacu kepada standar akuntansi keuangan. Tujuan utama akuntansi keuangan adalah pemberian informasi penting kepada para
manager,
pemegang
saham,
pemberi
kredit,
dan
pihak-pihak
yang
berkepentingan lainnya, dan merupakan tanggung jawab para akuntan untuk melindungi pihak-pihak tersebut dari informasi yang menyesatkan. Sebaliknya, tujuan utama system perpajakan (termasuk akuntansi pajak) adalah pemungutan pajak yang adil, dan merupakan tanggung jawab Direktorat Jendral Pajak untuk melindungi para pembayar pajak dari tindakan yang semena-mena. Sejalan dengan tujuan dan tanggung jawab tersebut di atas, prinsip yang dianut oleh akuntansi keuangan adalah prinsip konservatif, sehingga kemungkinan kesalahannya lebihcenderung kepada understatement pelaporan penghasilan atas assetnya dibandingkan dengan pelaporan overstatement. Di samping perbedaan acuan yang dianut dalam penyusunan laporan keuangan untuk kepentingan perpajakan, dari sudut pandang Direktorat Jendral Pajak laporan keuangan yang understatement tersebut, tentunya tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang.
C.
Laba Akuntansi Menurut akuntansi konvensional dinyatakan bahwa laba akuntansi adalah
perbedaaan antara pendapatan yang dapat direalisir yang dihasilkan dari transaksi dalam suatu periode dengan biaya yang layak dibebankan (Muqodim 2005:11).
11
Suwardjono (2005:455) mendefinisikan laba sebagai pendapatan dikurangi biaya merupakan pendefinisian secara structural atau sintaktik karena laba tak didefinisi secara terpisah dari pengertian pendapatan dan biaya. Pengertian laba yang dianut oleh struktur akuntansi sekarang ini adalah laba yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya secara akrual. IAI mendefinisikan laba adalah sebagai berikut : Laba adalah kenaikan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. SFAC No. 1 dalam Belkaoui (2000:332) mengasumsikan bahwa laba akuntansi merupakan ukuran yang baik dari kinerja suatu perusahaan dan bahwa laba akuntansi dapat digunakan untuk meramalkan arus kas masa depan. Selain itu, laba akuntansi adalah relevan dengan cara dalam pengambilan keputusan dari investor dan kreditor. Laba akuntansi dengan berbagai interpretasi diharapkan dapat digunakan antara lain sebagai (Suwardjono 2005:456) : 1.
Indikator efisiensi penggunaan dana yang tertanam dalam perusahaan yang diwujudkan dalam tingkat kembalian atas investasi (rate of return on invested capital).
2.
Pengukur prestasi atas kinerja badan usaha dan manajemen.
3.
Dasar penentuan besar pengenaan pajak.
4.
Alat pengendalialokasi sumber daya ekonomik suatu Negara.
12
5.
Dasar penentuan dan penilaian kelayakan tariff dalam perusahaan publik.
D.
6.
Alat pengendalian terhadap debitur dalam kontrak utang.
7.
Dasar kompensasi dan pembagian bonus.
8.
Alat motovasi manajemen dalam pengendalian perusahaan.
9.
Dasar pembagian deviden.
Laba Fiskal Pajak merupakan pendapatan utama dalam negeri. Dengan membayar pajak
diharapkan terciptanya kesejahteraan masyarakat sesuai dengan UUD 1945 yaitu tercipta masyarakat yang adil dan sejahtera. Membayar pajak adalah kewajiban setiap warga Negara, baik badan maupun orang pribadi. Menurut Siti (2010:21) pengertian pajak adalah sebagai berikut: Pajak merupakan suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk melihat secara umum.
Dalam menentukan besarnya pajak yang harus dibayar perusahaan, maka perusahaan harus menghitung laba fiskal. Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 46 :
13
Laba fiskal (taxable profit) diartikan sebagai laba selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan.
Laba fiskal diperoleh dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap laba akuntansi sebelum pajak dengan ketentuan peraturan Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peratuan pelasanaannya yang lebih dikenal dengan rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Penghasilan/pendapatan diklasifikasikan antara penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang merupakan objek pajak 2. Dari penghasilan yang merupakan objek pajak, tentukan penghasilan mana yang
pengenaan
pajaknya
bersifat
final,
selebihnya
merupakan
penghasilan yang merupakan objek pajak yang tidak termasuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. 3. Biaya/pengeluaran diklasifikasikan antara biaya/pengeluaran yang boleh dikurangkan dengan biaya/pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan. 4. Selisih antara penghasilan yang merupakan objek pajak tidak termasuk penghasilan
yang
pengenaan
pajaknya
bersifat
final
dengan
biaya/pengeluaran yang boleh dikurangkan merupakan laba atau rugi fiskal.
14
E.
Perbedaan antara Laba
Akuntansi dan Laba Fiskal (Book Tax
Differences) Laba akuntansi merupakan terminologi yang digunakan standar akuntansi keuangan yang berarti laba bersih atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi dengan beban pajak. Di sisi lain, penghasilan kena pajak atau laba fiskal merupakan terminologi pada perpajakan yang berarti laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan. Atas perbedaan tersebut, manajemen menghitung laba perusahaan untuk dua tujuan setiap tahunnya, yaitu tujuan untuk pelaporan keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan pelaporan pajak berdasarkan peraturan pajak untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak (taxable income) atau laba fiskal. Dalam peraturan perpajakan di Indonesia mengharuskan penghitungan laba fiskal berdasarkan metode akuntansi yang menjadikan dasar perhitungan laba akuntansi, sehingga dalam pembuatan laporan keuangan tidak perlu melakukan pembukuan ganda untuk dua tujuan pelaporan laba tersebut. Perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal ditandai dengan adanya koreksi fiskal (positif dan negatif) atas laba akuntansi atau lebih dikenal dengan rekonsiliasi fiskal. Koreksi fiskal dilakukan untuk mendapatkan penghasilan kena pajak (PKP). Koreksi fiskal positif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (diluar unsur penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk obyek pajak) dalam rangka menghitung PKP berdasarkan Undang Undang
15
Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat menambah penghasilan dan/atau mengurangi biaya-biaya komersial. Sedangkan koreksi fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (diluar unsur penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk obyek pajak) dalam rangka menghitung PKP berdasarkan Undang Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-biaya komersial. Koreksi fiskal dilakukan karena tidak semua ketentuan dalam SAK digunakan atau diperbolehkan sebagai pengurang dalam peraturan perpajakan, dengan kata lain banyak ketentuan perpajakan yang tidak sama dengan SAK. Dalam SAK semua pengeluaran atau biaya boleh dikapitalisasi untuk dibebankan, asal mempunyai kecukupan bukti (valid) sedangkan menurut Undang-Undang Perpajakan yang diperbolehkan sebagai pengeluaran/biaya (deductible expences) adalah biaya yang memiliki hubungan langsung, yaitu memperoleh, menagih dan memelihara pendapatan/penghasilan) Perbedaan pengakuan dan pengukuran antara SAK dan peraturan pajak tersebut secara umum dikelompokkan kedalam perbedaan tetap (permanent differences) dan perbedaan sementara atau waktu (temporary or timing differences). 1.
Perbedaan Tetap (permanent differences) Perbedaan tetap (permanen differences) adalah merupakan suatu
konsekuensi yang harus diterima bahwa hal tersebut harus dikeluarkan dari
16
laporan laba rugi karena secara fiskal atau berdasarkan peraturan pajak tidak dapat dibebankan atau bukan merupakan penghasilan. Perbedaan permanen merupakan item-item yang dimasukkan dalam salah satu ukuran laba, tetapi tidak pernah dimasukkan dalam ukuran laba yang lain. Dengan kata lain, jika suatu item termasuk dalam ukuran laba akuntansi, maka item tersebut tidak dimasukkan dalam ukuran laba fiskal dan sebaliknya. Misalnya, bunga deposito diakui sebagai pendapatan dalam laba akuntansi, tetapi tidak diakui sebagai pendapatan dalam laba fiskal, dan premi asuransi yang ditanggung perusahaan untuk karyawan, diakui sebagai biaya dalam laba akuntansi, tetapi tidak diakui sebagai biaya dalam laba fiskal. (Harnanto, 112). Pos – pos yang termasuk beda tetap: 1.
Penghasilan bunga dari bank.
2.
Penghasilan deviden kecuali penghasilan deviden dari perseroan terbatas yang mempunyai saham di perseroan terbatas lain sebesar 25% atau lebih, penerimaan devidennya tidak termasuk objek pajak / tidak dikenakan pajak yang telah diatur dalam Ketentuan Peraturan Perundang – undangan Perpajakan Pasal 4 (3).
3.
Penghasilan dari hadiah undian.
4.
Keuntungan dari penjualan penyertaan saham di bursa efek.
5.
Penghasilan berupa sumbangan dari pihak yang mempunyai hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan dan penguasaan.
17
6.
Biaya sumbangan/bantuan, selain biaya sumbangan untuk bencana alam yang dikategorikan sebagai bencana nasional.
7.
Pemberian perusahaan kepada karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan tidak boleh dibebankan sebagai biaya untuk menghitung laba kena pajak (Pasal 9 ayat 1 huruf e). Kecuali pemberian perusahaan kepada dalam bentuk uang boleh dibebankan sebagai biaya untuk menghitung laba kena pajak.
8.
PPh atas royalti yang ditanggung pemberi hasil.
9.
Biaya representatif yang tidak ada daftar normatifnya
10.
Biaya denda dan bunga pajak.
11.
Hibah/warisan.
12.
Pengurang
lainnya
yang
tidak
diperbolehkan
menurut
fiskal
(nondeductible expenses) sebagaimana telah diatur dalam Ketentuan Peraturan Perundang – undangan Perpajakan Pasal 9 (1).
2.
Perbedaan Sementara atau waktu (temporary or timing differences) Perbedaan temporer atau beda waktu merupakan perbedaan waktu
pengakuan penghasilan atau biaya antara pajak dan akuntansi sehingga mengakibatkan besarnya laba akuntansi lebih tinggi daripada laba pajak atau sebaliknya dalam suatu periode (Deviana, 2010). Beberapa berpendapat perbedaan sementara atau waktu (temporary or timing differences) adalah merupakan perbedaan antara dasar pengenaan pajak
18
(DPP) dari suatu aktiva atau kewajiban (Fiskal) dengan nilai tercatat aktiva dan kewajiban tersebut (komersial), yang berakibat pada kenaikan atau bertambahnya laba fiskal periode mendatang atau berkurangnya laba fiskal periode mendatang. Terjadinya perubahan tersebut dapat bertambah (future taxable amount) atau berkurang (future deductible amount) pada asset dipulihkan atau kewajiban dilunasi atau dibayar. Perbedaan temporer ini berakibat harus diakuinya asset dan/atau kewajiban pajak tangguhan (Waluyo,2008). Perbedaan temporer ini terjadi pada kondisi : a. Penghasilan atau beban yang harus diakui untuk menghitung laba fiskal atau laba komersial dalam periode yang berbeda. b. Goodwill/goodwill negatif yang terjadi pada saat konsolidasi. c. Perbedaan nilai tercatat dengan tax base dari suatu asset atau kewajiban pada saat pengakuan awal. d. Bagian dari biaya perolehan saat penggabungan usaha yang bermakna akuisisi dialokasikan ke asset atau kewajiban tertentu atas dasar nilai wajar, perlakuan akuisisi demikian tidak diperkenankan dalam Undang-Undang Perpajakan. Perbedaan temporer muncul karena adanya perbedaan tujuan antara akuntansi dengan aturan pajak. Untuk tujuan pelaporan keuangan, pendapatan diakui ketika diperoleh dan biaya diakui pada saat terjadinya, atau accrual basic. Dan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) memberikan kebebasan bagi manajemen untuk memilih prosedur akutansinya. Manajer
19
dapat memilih salah satu diantara beberapa metode akuntansi yang berbeda, misalnya dalam penentuan metode depresiasi dan pengestimasian perioda depresiasi
dan
amortisasi,
serta
manajer
bebas
menggunakan
pertimbangannya untuk menentukan besarnya cadangan dana yang dapat mengurangi laba, misalnya penentuan cadangan piutang tidak tertagih, cadangan kompensasi, cadangan garansi, dan lain-lain (Mills dan Newberry dalam Wijayanti, 2006). Sedangkan untuk tujuan pajak, perusahaan hanya mengakui pendapatan yang diterima dan biaya yang dikeluarkan pada perioda yang bersangkutan. Dengan kata lain, pendapatan dicatat ketika kas diterima, penangguhan pendapatan (unearned) tidak dimasukkan dalam laba fiskal, dan biaya diakui pada saat kas dikeluarkan, atau cash basic. Hal ini dikarenakan peraturan pajak tidak memperkenankan adanya pengestimasian dan pencadangan biaya yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak serta peraturan perpajakan tidak memberikan banyak keleluasaan bagi manajemen dalam menggunakan estimasi atau metode akuntansi dalam pelaporan pajak perusahaan. (Wijayanti, 2006). Perbedaan temporer juga akan menimbulkan pergeseran pengakuan penghasilan atau biaya ke tahun berikutnya atau ke tahun lain. Empat transaksi yang dapat menimbulkan beda waktu antara lain (Kiswara, 2009:128):
20
a)
Penghasilan yang masuk perhitungan pajak sesudah laba akuntansi: laba bruto penjualan angsuran, laba bruto kontrak jangka panjang, pendapatan dari investasi saham.
b)
Biaya atau rugi perhitungan pajak sesudah laba akuntansi: taksiran biaya
garansi/jaminan
produk,
taksiran
kerugian
kontrak
pembelian, persediaan barang, kerugian piutang dan investasi jangka pendek. c)
Pendapatan pajak sebelum laba akuntansi: sewa, bunga dan persekot.
d)
Biaya atau rugi pajak sebelum laba akuntansi: depresiasi dan biaya dalam masa konstruksi aktiva tetap (seperti pajak dan bunga).
F.
Persistensi Laba Persistensi laba menurut Wijayanti (200) adalah “revisi dalam laba akuntansi
yang diharapkan di masa yang akan dating (expected future earnings) yang diimplikasi oleh inovasi laba tahun berjalan (current earnings)”. Persistensi laba merupakan salah satu alat ukur kualitas laba dimana laba yang berkualitas dapat menunjukan kesinambungan laba, sehingga laba yang persisten cenderung tidak terlalu berfluktuatif. Laba akuntansi yang berkualitas adalah laba akuntansi yang memiliki sedikit atau tidak mengandung gangguan persepsian (perceived noise), dan dapat mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang sesungguhnya (Chandrarin, 2003 dalam Djamaluddin, dkk., 2008).
21
Persistensi laba sering dikategorikan sebagai salah satu pengukuran kualitas laba karena persistensi laba mengandung unsure predictive value sehingga dapat digunakan oleh pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi kejadian-kejadian di masa lalu, sekarang dan masa depan. Besarnya perbedaan laba akuntansi dan laba fiskal dianggap sebagai sinyal kualitas laba. Semakin besar perbedaan yang terjadi, semakin rendah kualitas laba yang artinya semakin rendah persistensinya. Terkait dengan hal ini, Halcon (2005) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki perbedaan temporer kena pajak cenderung memiliki pre tax income yang tidak persisten. Ia juga membuktikan bahwa perusahaan tersebut memiliki komponen akrual yang menyebabkkan pre tax income menjadi kurang persisten di masa datang. Laba adalah hasil dari suatu periode yang telah dicapai oleh perusahaan sebagaimana disebutkan dalam Statement of Financial Accounting Standards (SFAS) nomor 1, laba merupakan salah satu informasi potensial yang terkandung di dalam laporan keuangan dan yang sangat penting bagi pihak internal maupun eksternal perusahaan, untuk melakukan penaksiran earning power perusahaan dimasa yang akan datang. Belkaoui (1993) menyatakan bahwa laba merupakan suatu pos dasar dan penting dari ikhtisar keuangan yang memiliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba umumnya dipandang sebagai suatu dasar bagi perpajakan, determinan pada kebijakan pembayaran dividen, pedoman investasi , pengambilan keputusan dan unsur prediksi.
22
G.
Penyebab Perbedaan Antara Laba Akuntansi dan Laba Fiskal Menurut Resmi (2005:331) penyebab perbedaan laporan keuangan komersial
dan laporan keuangan fiskal adalah karena terdapat perbedaan pengakuan prinsip; perbedaan metode dan prosedur akuntansi; perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya. Secara garis besar prinsip dasar akuntansi pajak penghasilan adalah sebagai berikut : a.
Pajak penghasilan tahun berjalan yang kurang bayar atau terutang diakui sebagai Kewajiban Pajak Kini (Hutang Pajak) sedangkan yang lebih bayar disebut Aktiva Pajak Kini (Piutang Pajak).
b.
Konsekuensi pajak mendatang yang dapat didistribusikan perbedaan temporer kena pajak diakui Kewajiban Pajak Tangguhan, sedangkan efek perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kerugian belum dikompensasikan diakui Aktiva Pajak Tangguhan.
c.
Pengukuran kewajiban dan aktiva pajak didasarkan peraturan pajak yang berlaku.
Perbedaan metode dan prosedur akuntansi menurut Resmi (2005:331) adalah: a.
Metode penilaian persediaan. Akuntansi
komersial
membolehkan
memilih
beberapa
metode
penghitungan harga perolehan persediaan. Sementara itu menurut perpajakan hanya memperbolehkan metode FIFO dan Average untuk penilaian persediaan. b.
Metode penyusustan dan amortisasi.
23
Akuntansi komersial memperbolehkan memilih metode penyusutan seperti garis lurus, jumlah angka tahun, saldo menurun, metode jumlah unit produksi, dan lain sebagainya. Sementara berdasarkan perpajakan hanya mengakui metode garis lurus dan saldo menurun untuk kelompok harta berwujud jenis non bangunan, sedangkan harta berwujud bangunan dibatasi hanya bias menggunakan metode garis lurus.
H.
Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian telah mengkaji tentang pengaruh book-tax differences
terhadap pertumbuhan laba pada periode yang akan datang, antara lain: Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hanlon (2005) menemukan bahwa (1) Perusahaan dengan perusahaan yang memiliki book tax gap yang besar baik positif maupun negatif akan cenderung mengalami persistensi laba yang lebih rendah dibanding perusahaan yang memiliki book tax gap yang kecil. (2) Perusahaan dengan large negative book-tax differences (perbedaan besar antara laba akuntansi dan laba fiskal bernilai negatif) tidak signifikan dengan persistensi laba. (3) semakin besar perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal akan menunjukkan “red flag” bagi pengguna laporan keuangan dan mengurangi harapan investor akan persistensi laba masa depan perusahaan untuk tahun – tahun berikutnya. Pendapat ini kemudian di buktikan oleh Wijayanti (2006). Wijayanti (2006) menyatakan bahwa (1 (1) book-tax differences secara negatif berpengaruh signifikan secara statistik terhadap persistensi laba akuntansi satu perioda
24
kedepan, (2) perusahaan dengan large (negatif) positif book-tax differences signifikan secara statistik mempunyai persistensi laba lebih rendah yang disebabkan oleh komponen akrualnya daripada perusahaan dengan small book-tax differences, dan (3) harga saham tidak mencerminkan informasi yang digunakan dalam model ekspektasi. Berarti bahwa investor belum mampu membedakan komponen laba dalam menentukan persistensi laba.
Hasil pengujian pada Ginting dan Bahri (2008) memberikan bukti empiris bahwa perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal mempunyai pengaruh secara negatif signifikan terhadap persistensi laba. Yang dimaksud persistensi laba dalam penelitian tersebut ialah laba akuntansi yang diharapkan di masa depan (expected future earnings) yang tercermin pada laba akuntansi tahun berjalan (current earnings). Djamaluddin, Wijayanti dan Rahmawati (2008) dengan judul penelitian “Analisis Perbedaan Antara Laba Akuntansi dan Laba Fiskal Terhadap Persistensi Laba, Akrual, dan Aliran Kas pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta” menyimpulkan: 1. Perusahaan dengan book-tax differences besar tidak terbukti secara statistic mempunyai persistensi laba lebih rendah dibanding perusahaan dengan booktax differences kecil. 2. Perusahaan dengan book-tax dzflerences besar tidak terbukti mempunyai persistensi kompon akrual lebih rendah disbanding perusahaan dengan booktax differences kecil.
Akrual tidak terbukti secara statistik dapat
menmpengaruhi persistensi laba.
25
3. Harga saham mampu mencerminkan informasi laba sekarang untuk memprediksikan
laba
mendatang.
Namun
investor
belum
mampu
membedakan informasi yang ada dalam komponen akrual dan aliran kas dalam menentukan persistensi laba. Martani dan Aulia (2009) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Book Tax Gap terhadap persistensi Laba” yang menggunakan sampel 83 perusahaan yang tergabung dalam industri manufaktur yang terdaftar di BEI selama periode 2001 sampai tahun 2006, menyimpulkan bahwa: 1.
Variabel perubahan pendapatan Perubahan pendapatan tidak memiliki hubungan dengan book tax gap. Hal tersebut menggambarkan perubahan pendapatan tidak menggambarkan penambahan penyisihan piutang tak tertagih.
2. Variabel aktiva tetap kotor Variabel aktiva tetap kotor terbukti secara statistik memiliki hubungan negatif terhadap book tax gap. Hal ini menggambarkan masa manfaat aktiva tetap pada laporan keuangan fiskal ebih tinggi dibandingkan laporan keuangan komersial. 3. Variabel Aktiva tidak berwujud kotor Variabel ini tidak terbukti memiliki hubungan terhadap BTG. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan aktiva tidak berwujud tidak menyebabkan perubahan pada amortisasi. 4. Variabel kompensasi kerugian
26
Variabel ini memiliki hubungan yang positif terhadap book tax gap. Hal ini menunjukkan bahwa kompensasi kerugian akan menyebabkan penurunan penghasilan kena pajak sehingga akan meningkatkan book tax gap. 5. Ukuran perusahaan Ukuran perusahaan memiliki hubungan positif terhadap book tax gap. Hal ini menguatkan dugaan bahwa perusahaan dengan ukuran besar dapat melakukan tax planning secara efektif sehingga penghasilan kena pajak dapat menjadi rendah dan book tax gap menjadi besar. 6. Variabel permanen Variabel ini menunjukkan nilai yang signifikan baik terhadap model ΔPTBI maupun pada model ΔNI. Pada model ΔPTBI, koefisien variabel permanent adalah negatif. Sehingga semakin besar nilai permanent akan menyebabkan penurunan pada ΔPTBI. Sedangkan pada model ΔNI, koefisien yang terbentuk juga bernilai negatif. Hal ini mungkin dikarenakan oleh komponen penyusun variabel permanent itu sendiri, yaitu item-item yang akan ditambahkan kembali dalam rekonsiliasi fiskal dan komponen tersebut merupakan non-recurring item. 7. Variabel temporer BTG Variabel ini menunjukkan nilai yang signifikan baik terhadap model ΔPTBI maupun pada model ΔNI. Perbedaan yang terjadi adalah pada nilai koefisien. Pada model ΔPTBI, koefisien variabel temporer adalah negatif. Sedangkan pada model ΔNI, koefisien yang terbentuk bernilai positif. Koefisien positif
27
pada variabel ini menunjukkan adanya manfaat pajak tangguhan. Dengan kata lain perbedaan temporer pada sample adalah future decutible temporary differences sehingga terdapat perbedaan nilai koefisien pada kedua model.riabel permanent. Dari hasil penelitian yang menggunakan book-tax differences sebagai variabel independen yang dilakukan Jackson (2009) menunjukkan bahwa beda tetap memiliki pengaruh negatif terhadap beban pajak sehingga akan mempengaruhi laba yang diperoleh, sedangkan beda waktu memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan laba bersih periode yang akan datang.
I.
Kerangka Pemikiran Teoritis Dalam penelitian ini, pertumbuhan laba perusahaan satu periode kedepan
diprediksi dengan informasi yang terdapat dalam book-tax differences (perbedaan jumlah laba menurut perhitungan akuntansi dengan jumlah laba menurut perhitungan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku). Book-tax differences timbul akibat adanya perbedaan pengakuan penghasilan/biaya, sehingga timbul perbedaan temporer dan perbedaan permanen. Penelitian ini akan menerangkan apa saja yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi Book-tax differences dan melihat juga pengaruh Book-tax differences terhadap pertumbuhan laba yang akan diproksikan ke dalam persistensi laba. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut:
28
BOOK TAX DIFFERENCES
PERTUMBUHAN LABA
Temporer (X1) Perubahan Net Income (Y) Pemanen (X2)
J.
Hipotesis Dalam pengelolaan perusahaan yang baik, informasi sangat diperlukan oleh
stakeholder dalam setiap pengambilan karena informasi tersebut dapat memberikan gambaran dan memberikan pedoman dalam pengambilan keputusan informasi. Informasi– informasi diperlukan dalam memprediksi, menentukan dan mengukur tingkat pertumbuhan laba yang ingin dicapai oleh perusahaan. Untuk memberikan hasil prediksi yang lebih baik, beberapa analisis telah meneliti tentang book-tax differences yang dapat memberikan gambaran pertumbuhan laba perusahaan. Perbedaan jumlah laba akuntansi dan laba kena pajak (book-tax differences) timbul karena adanya perbedaan perlakuan pengakuan antara akuntansi dengan pajak. Dalam akuntansi perpajakan, perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan permanen atau beda tetap dan perbedaan temporer atau beda waktu. Dari
29
definisi tersebut mengindikasikan bahwa perbedaan temporer dan perbedaan permanen menyebabkan jumlah laba antara laba akuntansi dan laba fiskal berbeda (book-tax differences). Berdasarkan penjelasan diatas. Berikut ini merupakan rumusan hipotesis dari penelitian ini adalah: H1 =
Perbedaan Temporer dan Perbedaan Permanen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Perubahan Net Income.
H2 =
Perbedaan Temporer berpengaruh signifikan terhadap Perubahan Net Income.
H3 =
Perbedaan Permanen berpengaruh signifikan terhadap Perubahan Net Income.