BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Teori Pemangku Kepentingan Istilah ‘pemangku kepentingan’ (stakeholders) merujuk kepada semua pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan perusahaan. Oleh karena itu, teori pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi relevan untuk menjelaskan pengembangan CG serta CSR di perusahaan. Gray et al (2010) menyatakan bahwa
stakeholder
(2001) dalam Ismurniati
adalah : “…..pihak-pihak yang
berkepentingan pada perusahaan yang dapat mempengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan, para
stakeholder antara lain masyarakat, karyawan,
pemerintah, supplier, pasar modal dan lain-lain.” Freeman dan Reed dalam Solihin (2008:51) menempatkan para pemangku kepentingan dalam sebuah grid dengan menggunakan dua dimensi. Tabel 2.1 Grid Pemangku Kepentingan di AS saat ini kepentingan kekuasaan Ekuitas
Formal atau pemilih pemegang saham direktur kepentingan minoritas
Pemasok Pemegang utang Pelanggan pemerintah asing perserikatan
Ekonomis
Yang memengaruhi
Ekonomis
pemerintah SEC direktur luar
EPA/OSHA
10
Politik pemangku kepentingan yang tidak setuju
pemerintah lokal pemerintah asing
Pemerintah Nader's Riders Asosiasi dagang
Freeman dan Reed mengajukan geradi (grid) pemangku kepentingan kontemporer yang menunjukan realitas pemangku kepentingan masa kini, dimana stake (interest/claim – kepentingan) yang dimiliki oleh pemangku kepentingan tidak selalu kongruen dengan sumber kekuasaan yang dimiliki pemangku kepentingan (Solihin, 2008:52). Contohnya adalah pemerintah yang secara tradisional hanya memiliki kepentingan sebagai influencer (pemberi pengaruh pada perusahaan), saat ini juga memiliki kekuasaan yang bersumber dari kekuatan voting selain kekuasaan yang bersikap politis. Dan menurut Tunggal (2009:29) terdapat tiga argumen utama yang mendukung gagasan teori pemangku kepentingan, yaitu: argumen deskriptif, argumen instrumental dan argumen normatif. Uraian atas ketiga argumen tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. a. Argumen deskriptif menyatakan bahwa stakeholders secara sederhana merupakan deskripsi yang realistis mengenai bagaimana sebuah perusahaan beroperasi. Manajer dituntut untuk mengarahkan energi mereka terhadap seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik perusahaan saja. b. Argumen instrumental menyatakan bahwa memperhatikan para pemangku kepentingan merupakan suatu strategi perusahaan oleh manajemen untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik. Hal ini didukung oleh bukti empiris yang diungkapkan oleh Lawrence dan Weber (2008) menunjukan bahwa setidaknya lebih dari 450 perusahaan yang menyatakan komitmennya terhadap pemangku kepentingan dalam laporan tahunannya memiliki kinerja keuangan yang lebih baik, dibandingkan dengan mereka yang tidak. 11
c. Argumen normatif menyatakan bahwa setiap orang atau kelompok yang telah memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan memiliki hak moral untuk menerima imbalan (rewards) dari perusahaan, hal ini menjadi suatu kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku kepentingan.
II.1.1 Hubungan Antara Perusahaan Dan Pemangku Kepentingan Sifat dari hubungan perusahaan dengan stakeholders mengalami perubahan dinamis seiring berjalannya waktu. Beberapa pakar mengamati terjadinya pergeseran bentuk dari yang semula tidak aktif (inactive), menjadi reaktif (reactive), kemudian berubah lagi menjadi proaktif (proactive) dan akhirnya menjadi interaktif (interactive). Penjelasan mengenai pola hubungan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: a. Hubungan tidak aktif (inactive); perusahaan meyakini bahwa mereka dapat membuat keputusan secara sepihak tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pihak lain. b. Hubungan
yang
reaktif
(reactive);
perusahaan
cenderung
bersifat
mempertahankan diri (defensif), dan hanya bertindak ketika dipaksa untuk melakukannya. c. Hubungan yang proaktif (proactive); perusahaan cenderung berusaha untuk mengantisipasi perusahaan
kepentingan-kepentingan
memiliki
departemen
para
khusus
stakeholders. yang
Biasanya
berfungsi
untuk
mengidentifikasi isu-isu yang menjadi perhatian para pemangku kepentingan utama. Namun, perhatian mereka dan para stakeholder dipandang sebagai suatu permasalahan yang perlu dikelola, bukan dipandang sebagai suatu sumber keunggulan kompetitif. 12
d. Hubungan yang interaktif (interactive); perusahaan menggunakan pendekatan bahwa perusahaan harus memiliki hubungan berkelanjutan yang saling menghormati, terbuka, dan saling percaya dengan para pemangku kepentingannya. Dengan demikian, perusahaan menganggap bahwa suatu hubungan yang positif dengan para pemangku kepentingan adalah sumber nilai dan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingan diharapkan bersifat interaktif. Dengan demikian, diharapkan interaksi ini dapat membantu perusahaan mempelajari ekspektasi masyarakat, memperoleh keahlian dari luar perusahaan, mengembangkan solusi kreatif, dan memenangkan dukungan pemangku kepentingan untuk menerapkan berbagai solusi tersebut. Menurut Tunggal (2009:63) perlunya respon terhadap para pemangku kepentingan pada era sekarang ini dipertajam dengan meningkatnya globalisasi perusahaan dan dengan munculnya teknologi-teknologi yang mampu memfasilitasi komunikasi cepat pada skala dunia. Suatu perusahaan dapat membuat sebuah pemetaan mengenai tipe pemangku kepentingan yang sedang dihadapi dengan menempatkan dimensi potensi dan dimensi kerja sama untuk menentukan strategi untuk menghadapi para pemangku kepentingan tersebut.
13
Gambar 2.1 Tipe pemangku kepentingan menurut Blair dan Whitehead
Potensi Kerjasama Stakeholder
Potensi Ancaman Stakeholder High
Low
Mixed-Blessing Stakeholder
Supportive Stakeholder
Nonsupportive Stakeholder
Marginal stakeholder
High
Low
Blair dan Whitehead dalam Solihin (2008:67)
membagi tipe pemangku
kepentingan berdasarkan potensi ancaman dan kerja sama ke dalam empat tipe, yakni supportive stakeholder, marginal stakeholder, nonsupportive stakeholder, dan mixed-blessing stakeholder. •
The Supportive Stakeholder adalah pemangku kepentingan yang mendukung berbagai tujuan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan. Pemangku kepentingan tipe ini memiliki potensi ancaman yang rendah dan potensi kerja sama yang tinggi.
•
The Marginal Stakeholder adalah pemangku kepentingan yang memiliki potensi ancaman dan kerja sama yang rendah. Umumnya, pemangku kepentingan tipe ini dianggap tidak relevan untuk diperhitungkan dalam berbagai isu yang berkaitan dengan pengelolaan pemangku kepentingan.
•
The Nonsupportive Stakeholder adalah pemangku kepentingan yang paling memberi tekanan terhadap organisasi /perusahaan. Tipe ini memberi ancaman yang cukup tinggi dan potensi kerja sama yang rendah.
14
•
The Mixed-Blessing Stakeholder adalah pemangku kepentingan yang memiliki potensi ancaman tinggi terhadap perusahaan, tetapi juga potensi kerja sama yang tinggi.
Menurut Solihin (2008:68) berdasarkan hasil pemetaan terhadap tipe pemangku kepentingan dengan menggunakan dimensi potensi ancaman dan potensi kerja sama, selanjutnya dapat disusun strategi umum dalam kegiatan manajemen para pemangku kepentingan dapat dilihat pada figur 2.2 Gambar 2.2 Strategi umum dalam kegiatan manajemen para pemangku kepentingan
Potensi Kerjasama Stakeholder
Potensi Ancaman Stakeholder High
Low
Kolaborasi dengan Mixed-Blessing Stakeholder
Libatkan Supportive Stakeholder
Bertahan terhadap serangan Nonsupportive Stakeholder
Memonitor Marginal stakeholder
High
Low
Sumber : Solihin 2008, halaman 69
II.2 Good Corporate Governance Pada awalnya menurut Becht et al dalam Solihin (2008;117), ada enam alasan yang mendorong munculnya GCG sebagai suatu topik yang menarik perhatian dunia yang berdampak pada munculnya desakan implementasi GCG di seluruh dunia. Alasan pertama adalah munculnya gelombang privatisasi diseluruh dunia. Privatisasi menjadi fenomena yang sangat penting dan terjadi di hampir seluruh negara di dunia. Tidak bisa dihindari, aktivitas privatisasi ini memunculkan pertanyaan masyarakat mengenai bagaimana perusahaan tersebut dikendalikan dan dimiliki. Alasan kedua, 15
mengenai reformasi dana pensiun. Reformasi dana pensiun yang terjadia pada negara-negara anggota OECD mengakibatkan membengkaknya dana yang disalurkan lewat organisasi dana pensiun. Hal ini mengakibatkan meningkatnya investasi yang dilakukan oleh investor kelembagaan. Alasan ketiga berkaitan dengan merger dan pengambilalihan perusahaan (takeovers). Pada dasarnya masalah Corporate Governance mengemuka pada saat investor luar berkeinginan untuk memegang kendali dari para manajer yang pada saat ini mengelola perusahaan. Kegiatan pengambilalihan yang tidak bersahabat meningkatkan perhatian terhadap penerapan GCG di berbagai perusahaan di dunia. Alasan lain adalah deregulasi dan integrasi pasar modal. Aturan corporate governance merupakan salah satu bentuk perlindungan dan perangsang terhadap investasi luar negeri terutama yang muncul diantaranya seperti di Eropa dan Asia sebagai kekuatan pasar dunia (emerging market). Alasan kelima adalah krisis ekonomi yang terjadi di Asia Timur, Rusia, dan Brazil. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa lemahnya perlindungan terhadap investasi yang dilakukan oleh investor asing di wilayah ini. Kerugian yang timbul sebagian besar diakibatkan oleh tidak sehatnya praktik tata kelola perusahaan. Kejadian ini turut meningkatkan kebutuhan para investor akan praktik GCG. Alasan terakhir yang memicu pentingnya praktik GCG adalah terkuaknya berbagai skandal yang menimpa perusahaan besar. Seperti kasus yang terjadi pada Enron dan berbagai perusahaan lainnya di dunia, menjadikan tuntutan para investor akan penerapan GCG sangat kuat.
16
II.2.1 Sejarah Good Corporate Governance II.2.1.1 The Separation Of Ownership From Control Konsep mengenai tata kelola perusahaan yang baik terus mengalami perubahan, begitu banyak usulan yang ditawarkan dalam penyempurnaan konsep tersebut. Pada tahun 1932 Adolf Berley dan Gardiner Means dalam bukunya yang berjudul “ The Modern Corporation and Private Property” menyatakan istilah “Separation of ownership from control” yaitu kondisi dimana pemilik perusahaan tidak lagi memiliki wewenang penuh terhadap perusahaan dan asetnya. Hal ini mengacu pada apabila perusahaan telah melakukan penawaran umum sahamnya kepada publik, maka perusahaan menjadi milik seluruh pihak yang memiliki lembar saham perusahaan tersebut yang tersebar diseluruh wilayah. Dan tentu saja, para pemegang saham memiliki hak yang sama dengan pemilik perusahaan. Maka, perusahaan dan asetnya harus berdiri sendiri terpisah dari pemilik perusahaan. Dan dijalankan oleh manajemen yang bertindak sebagai agen untuk mencapai seluruh tujuan perusahaan. II.2.1.2 Countervailing Power And The Technostructure Ketika munculnya pemikiran mengenai masalah yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang dimiliki oleh perusahaan besar, termasuk didalamnya mengenai “separation of ownership from the control” muncul begitu banyak penulis yang membahas mengenai isu tersebut. Salah satu yang paling popular adalah
John
Kenneth Galbraith. Galbraith pada awal tulisannya banyak membahas mengenai manifestasi dari corporate power seperti praktik oligopoli yang banyak terjadi pada industri di Amerika. Akan tetapi Galbraith mengakui bahwa isu pemisahan kepemilikan dari kontrol yang diungkapkan oleh Berley dan Mean merupakan hal yang paling benar. dalam tulisannya yang berjudul “American Capitalism: The 17
Concept of Countervailing Power” pada tahun 1952, Galbraith menemukan teori baru yang menyatakan bahwa didalam sistem pengawasan tradisional dalam konsep oligopoli, terdapat istilah pemantauan oleh pemilik yang bertanggung jawab. Hal ini hampir sama dengan konsep pemisahan kepentingan dari kontrol yang dijelaskan oleh Berley dan Mean. Galbraith menjelaskan bahwa berbeda dengan konsep tradisional dimana perusahaan berada di sisi yang sama sebagai penjual dan pembeli dalam pasar. Menurut Galbraith harus ada pos pemeriksaan baru, yang berada disisi yang berlawanan dengan pasar. Ia menamakan sebagai “kekuatan pengimbang”. Galbraith mencoba mencari kekuatan pengimbang dengan pengaktifan serikat buruh,
menghimbau
kepada
perusahaan
pengecer
dan
distributor
untuk
mengembangkan konsep “Contervailing Power” atas nama melindungi konsumen. Akan tetapi semua itu gagal, perusahaan retail tetap mengejar profitabilitas semata, dan serikat buruh terbentur oleh peraturan-peraturan yang ada didalam perusahaan. Pada tahun 1967, Galbraith menemukan konsep baru yang mengacu pada pemisahan kepentingan menurut Berley dan Mean, ia menamakan sebagai “Technostructure”. Technostructure merupakan sebuah badan yang terdiri dari orang-orang yang independen dan memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengelola perusahaan, dan melakukan proses pengambilan keputusan. Anggota “technostructure” terdiri dari perwakilan pemilik perusahaan, perwakilan pemegang saham dan organ-organ lain dalam perusahaan. Sehingga mewakili seluruh pemangku kepentingan didalam perusahaan tersebut. Pada tahun 1973, Galbraith kembali menulis mengenai sistemsistem yang penting untuk membangun perusahaan yang memiliki tata kelola yang baik yang berjudul “Economic and The Public Purpose”. Galbraith menjelaskan mengenai perbedaan yang sangat jelas mengenai konsep ekonomi neo klasikal dengan sistem pasar yang berbasis ekonomi sosialis. Dalam tulisannya Galbraith 18
menjelaskan bahwa terdapat beberapa peran penting pemerintah dalam konsepnya, yaitu membuat peraturan mengenai agen, lingkungan, keamanan produk, keselamatan pekerja untuk mengatur korporat dalam menjalankan usahanya sehingga tercipta tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Timbulnya berbagai skandal besar yang menimpa perusahaan-perusahaan baik di Inggris maupun Amerika Serikat pada tahun 1980an berupa berkembangnya budaya serakah dan pengambilalihan perusahaan secara agresif lebih menyadarkan orang akan perlunya sistem tata-kelola perusahaan. Bagaimanapun juga dalam suatu perusahaan selalu saja terjadi pertarungan antara kebebasan pribadi dan tanggung jawab kolektif, dan inilah sentral dari pengaturan yang menjadi obyek corporate governance. Suatu lembaga itu tidak mempunyai jiwa, sedangkan yang mempunyai adalah orang-orang yang bekerja di dalamnya, yang dipengaruhi oleh interaksi dalam mengejar kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Selalu ada potensi konflik antara pemilik saham dan pimpinan perusahaan, antara pemilik saham mayoritas dan minoritas, antara pekerja dan pimpinan perusahaan, ada potensi mengenai pelanggaran lindungan lingkungan, potensi kerawanan dalam hubungan antara perusahaan dan masyarakat setempat, antara perusahaan dan pelanggan ataupun pemasok, dan sebagainya. Bahkan besarnya gaji para eksekutif dapat merupakan bahan kritikan. Dewasa ini, corporate governance sudah bukan merupakan pilihan lagi bagi pelaku bisnis, tetapi sudah merupakan suatu keharusan dan kebutuhan vital serta sudah merupakan tuntutan masyarakat. Setiap tindakan memerlukan pertanggungjawaban, baik itu tindakan bisnis, tindakan dalam dunia olahraga dan sebagainya, bahkan juga tindakan dalam perang. Bagi Indonesia, good corporate governance dewasa ini merupakan salah satu persyaratan
19
yang diminta oleh IMF yang harus diusahakan oleh Pemerintah Indonesia (Kusmanto:2007). II.2.2 Pengertian Good Corporate Governance Di Indonesia, sebagian literatur menerjemahkan Corporate governance sebagai tata-kelola, dan sebagian lainnya menyebutnya tata-pamong. Namun demikian, frasa GCG semakin mengemuka seiring dengan perkembangan kompleksitas perusahaan dan tuntutan dari banyak pihak untuk menjadikan perusahaan memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas.
Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI) mendefisikan GCG sebagai berikut : “A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employees, and other internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities” Sedangkan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan GCG sebagai berikut : “ Corporate governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of the right and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders, and other stakeholders, and spells out the rules and procedures for making decision on corporate affairs. By doing this, it also provides this structure through which company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance” Definisi GCG berdasarkan Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) diatas sesuai dengan definisi menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), dimana keduanya fokus terhadap hubungan diantara para stakeholder serta hak dan tanggung jawabnya. Berdasarkan dua definisi di atas maka GCG dapat didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara 20
berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku. Mengacu pada Warsono, Amalia dan Rahajeng (2009:5) corporate governance adalah sistem yang memiliki fungsi dan pihak-pihak terkait. Fungsifungsi dan pihak-pihak yang terkait dalam penerapan GCG adalah sebagai berikut: a. Oversight (perhatian secara bertanggung jawab) oleh Board of Directors (dewan direksi); b. Enforcement (penegakan) oleh Chief Executive Officers (pejabat eksekutif); c. Advisory (pemberian saran) oleh Board of Commisions/Committees (dewan komisaris/ komite); d. Assurance (penjaminan) oleh Auditors (pemeriksa); e. Monitoring (pemantauan) oleh Stakeholders (pemangku kepentingan).
II.2.3 Badan Penegak Good Corporate Governance Sejak terungkapnya berbagai skandal perusahaan, perhatian dunia terhadap pentingnya penerapan GCG semakin meningkat. Banyak negara di dunia dan lembaga internasional mendorong reformasi GCG yang ditunjukkan dengan berkembangnya peraturan dan kebijakan GCG yang dihasilkan. Dorongan terhadap penerapan GCG harus timbul dari internal perusahaan maupun dari dorongan dari luar berbagai entitas penegak GCG. Di Indonesia, bahkan di dunia telah dilakukan berbagai upaya untuk mempromosikan dan mendorong penerapan GCG. Berikut ini adalah entintas-entitas penegak GCG :
21
II.2.3.1 Badan Penegak GCG Di Indonesia a. Forum For Corporate Governance In Indonesia (FCGI) FCGI merupakan lembaga yang bergerak di bidang GCG yang dibentuk pada tahun 2000 oleh para profesional dan lima asosiasi yaitu Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-MAC), Indonesian Financial Executives Association (IFEA), Indonesia Netherlands Association (INA), dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) (Warsono et al, 2009;111). FCGI
memiliki
tujuan
utama
meningkatkan
ketanggapan
dan
mensosialisasikan prinsip GCG kepada komunitas bisnis di indonesia. Upaya-upaya
mensosialisasikan
prinsip
GCG
dilakukan
dengan
mempublikasikan Pedoman Good Corporate Governance dan menyusun kuisioner self-assessment untuk penilaian penerapan prinsip GCG di perusahaan. b. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) KNKG dibentuk pada 30 November 2000 melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian NO: KEP-31/M.EKUIN/06/2000 (Warsono et al, 2009:112). KNKG dibentuk dengan tujuan meningkatkan penerapan GCG di Indonesia dan memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal-hal yang terkait dengan isu governance di sektor publik maupun privat. c. Center For Good Corporate Governance Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (CGCG UGM). Entitas penegak GCG yang ketiga ini dibentuk pada tahun 2007 dengan tiga tujuan utama menurut Warsono et al (2009) yaitu: mempromosikan 22
transparansi dan akuntabilitas, menyebarkan informasi dan pengetahuan mengenai GCG dan memungkinkan investor, khususnya minoritas dan komunitas bisnis untuk turut serta menjaga jalannya praktik bisnis dan mencegah terjadinya fraud. II.2.3.2 Badan Penegak GCG Di Dunia a. The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Awal terbentuknya OECD bernama Organisation for European Economic Cooperation (OEED) dibentuk pada tahun 1947 untuk menjalankan Marshal Plan yaitu program Amerika untuk membiayai rekonstruksi benua yang rusak akibat perang. Dengan membuat masing-masing pemerintah di Uni-Eropa mengakui saling ketergantungan ekonomi diantara mereka, hal ini membuka jalan bagi era baru kerjasama dan mengubah wajah Eropa. Keberhasilan program Marshal Plan membawa Amerika dan Kanada bergabung sebagai anggota OEEC dengan menandatangani konvensi OECD baru pada tanggal 14 Desember 1960. OECD secara resmi lahir pada tanggal 30 September 1961 ketika konvensi mulai berlaku. Sejak saat itu, banyak negara-negara lain bergabung menjadi anggota OECD. Dimulai dari Jepang pada tahun 1964, sampai hari ini telah 34 negara anggota OECD di seluruh dunia saling melihat, mengindentifikasi setiap permasalahan di negara lain kemudian mendiskusikan, menganalisis kemudian mempromosikan kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di negara lain anggota OECD. Hal ini membawa dampak sangat positif, dengan meningkatnya kemakmuran pada negara-negara anggota OECD.
23
b. International Corporate Governance Network Selanjutnya asosiasi internasional yang sebagian besar anggotanya adalah investor institusional yang berasal lebih dari 40 negara membentuk International
Corporate
Governance
Network
(ICGN)
yang
didedikasikan untuk berbagi informasi dan mengembangkan kebijakan global terkait dengan investasi, tanggunggjawab dan hak pemegang saham. c. Sarbanes Oxley Act Di Amerika, kongres dengan cepat mengesahkan Sarbanes Oxley Act (SOA) pada 30 Juli 2002 untuk menegakkan akuntabilitas perusahaan dan untuk membangun kembali kepercayaan investor di pasar modal. SOA merupakan respon progresif Amerika terhadap kegagalan-kegagalan perusahaan dalam menerapkan GCG. II.2.4 Model-model Corporate Governance Terdapat tiga model corporate governance yang dapat menunjukan bagaimana kekuasaan untuk menjalankan dan mengawasi perusahaan. Yaitu, traditional model, co-determination model, dan stakeholder model (Solihin, 2008:120). a. Traditional model Dalam model ini, corporate governance suatu perusahaan didasarkan atas hak kepemilikan (property rights). Dalam model ini, adanya pemegang saham sebagai pemegang kendali atas perusahaan merupakan faktor utama dalam corporate governance. Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan mengadakan pertemuan setahun sekali untuk mendengarkan laporan kinerja tahunan perusahaan serta memilih dewan direksi dan memberikan 24
persetujuan atas rencana-rencana perusahaan. Direksi perperan sebagai penghubung antar para manajer dan pemegang saham. Gambar 2.3 Traditional Model Pemegang saham (pemilik perusahaan)
Dewan direksi
Manajer dan pegawai
Pekerja lainnya Sumber : Ismail Solihin, 2008, Corporate Social Responsibility From Charity to Sustainability, halaman 121
b. Co-determination model Dalam model ini, perwakilan dari karyawan ditempatkan pada posisi dewan direksi yang berperan dalam proses corporate governance. Modal yang berasal dari pemegang saham dan tenaga kerja sama-sama berperan dalam proses corporate governance. Gambar 2.4 Co-determination Model
Modal tenaga kerja
Dewan pengurus Dewan manajemen Manajemen
Karyawan Sumber : Ismail Solihin, 2008, Corporate Social Responsibility From Charity to Sustainability, halaman 122
25
c. Stakeholder model Model ini didasarkan pada perkembangan teori manajemen pemangku kepentingan yang menyatakan bahwa selain para karyawan dan pemegang saham, masih terdapat kelompok lain di dalam masyarakat yang merupakan tanggung jawab perusahaan jika operasi perusahaan memiliki dampak terhadap
kelompok
tersebut
serta
perusahaan
harus
menyelaraskan
pencapaian tujuannya dengan kepentingan berbagai konstituen yang sering kali bertentangan satu dengan lainnya. Gambar 2.5 Stakeholder Model
Kepentingan sosial, politik dan ekonomi
Partisipasi para pemegang saham dalam dewan direksi
Manajemen
Karyawan
Sumber : Ismail Solihin, 2008, Corporate Social Responsibility From Charity to Sustainability, halaman 123
II.2.5 Tiga Pilar Pengembangan Good Corporate Governance Sebagai sebuah sistem, pengembangan GCG minimal harus dipengaruhi oleh tiga pilar utama (Warsono et al,2009:60) yaitu : 1. Pilar pengetahuan yang mapan; berfungsi sebagai landasan utama agar mekanisme GCG berjalan secara sistematis.
26
2. Pilar prinsip-prinsip dasar; berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam menerapkan GCG, sebagai bahasa komunikasi yang memungkinkan perusahaan-perusahaan dapat berbagi kesuksesan dalam penerapan GCG. 3. Pilar rancang-bangun; berfungsi agar penerapan GCG dapat secara cost effective mencapai tujuan perusahaan secara khusus. Diharapkan perusahaan dapat merancang penerapan GCG yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan perusahaan. II.2.6 Prinsip Good Corporate Governance Prinsip-prinsip dasar berperan sebagai pijakan bagi perusahaan dalam memlilih dan menetapkan aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan dalam menerapkan GCG. Berpegang pada prinsip-prinsip yang baik, maka berbagai aktivitas dapat bersinergi untuk mencapai tujuan GCG, yaitu memberikan nilai tambah bagi perusahaan sebagai entitas ekonomi sekaligus entitas sosial. Berikut ini adalah prinsip-prinsip GCG menurut badan-badan penegak GCG : II.2.6.1 Prinsip-prinsip GCG menurut OECD Berikut ini adalah prinsip GCG yang ditetapkan OECD (Nurdianty,2008:16): a. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham Menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan, mengalihkan atau memindahkan saham yang dimiliki, memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, berperan dan memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta memperoleh pendistribusian keuntungan perusahaan; b. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham asing dan minoritas; 27
c. Peranan pemangku kepentingan yang terkait dengan perusahaan yaitu dorongan kerjasama antara perusahaan dengan pemangku kepentingan agar tercipta kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan usaha; d. Keterbukaan dan transparansi terkait keuangan, kinerja perusahaa, kepemilikan,dan
pengelolaan
perusahaan.
Informasi
yang
diungkapkan harus disusun, diaudit, dan disajikan dengan standar yang berkualitas tinggi; e. Akuntabilitas dewan komisaris yaitu GCG menjamin adanya pedoman strategi perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham. II.2.6.2 Prinsip GCG menurut International Corporate Governance Network ICGN merekomendasikan prinsip-prinsip berikut ini sebagai best practices dalam penerapan GCG (Warsono et al, 2009:66) : a. Honesty (kejujuran); prinsip ini menuntut perusahaan untuk menyampaikan kebenaran di setiap waktu tanpa harus memperhatikan konsekuensinya. b. Resilience (kekuatan segera pulih); prinsip ini menuntut perusahaan mengembangkan struktur GCG yang mampu bertahan hidup dan segera pulih kembali jika perusahaan mengalami kemunduran atau kegagalan. c. Responsiveness (ketanggapan); prinsip ini menuntut perusahaan bereaksi cepat terhadap permintaan dan tuntutan para pemangku kepentingan. 28
d. Transparency (transparansi); pada dasarnya prinsip ini menuntut perusahaan menyajikan secara terus-terang informasi yang relevan bagi para pemangku kepentingan secara andal dan dalam bahasa yang mudah untuk dopahami.
II.2.6.3 Prinsip GCG menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia Mengacu pada Solihin (2008;125), imlementasi GCG dilaksanakan dengan berhasil jika memiliki sejumlah prinsip. Berikut ini adalah prinsip-prinsip GCG menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance: a. Transparansi (transparency); Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. b. Akuntabilitas
(accountability);
Perusahaan
harus
dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. c. Responsibilitas
(responsibility);
Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
29
d. Independensi (independency); untuk melancarkan pelaksanaan GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. e. Kewajaran
dan
kesetaraan
(fairness);
Dalam
melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memerhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Walaupun terdapat variasi dalam penggunaan prinsip-prinsip dasar GCG, tetapi
sebagian
besar
lembaga yang
mengembangkan
model
juga
menggunakan beberapa prinsip GCG yang sama, seperti misalnya prinsip transparency (transparansi), independency (independensi) dan accountability (akuntabilitas). II.2.7 Partisipan Good Corporate Governance Partisipan merupakan organ perusahaan yang sangat berperan penting untuk menegakkan GCG di perusahaan. Disatu sisi, partisipan, baik sebagai individu ataupun unit organisasi, menjadikan perusahaan dapat berkembang secara dinamis karena para partisipan yang berada di perusahaan memiliki gagasan inovatif dan dedikasi yang tinggi untuk menjalankan gagasan tersebut. Di sisi lain, partisipan juga memiliki kelemahan, keterbatasan dan kepentingan pribadi yang melekat dalam dirinya yang dapat menghambat penyelarasan tujuan individu dengan tujuan perusahaan. Terdapat lima jenis partisipan GCG (Warsono et al, 2009:77) yang meliputi:
30
1. Board of Directors (BoD) BoD merupakan organ perusahaan yang fungsi utamanya adalah memberi perhatian secara bertanggung jawab (oversight) atas pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan. Tanggung jawab BoD mencakup lima tugas utama (KNKG 2006:18) yaitu kepengurusan, manajemen resiko, pengendalian internal, komunikasi dan tanggung jawab sosial. 2. Chief Executive Officers (CEO) Tugas utama CEO adalah menjalankan perusahaan sebaik mungkin dan mengamankan aset perusahaan. CEO memiliki tugas dan tanggung jawab utama (Warsono et al,2009:83) diantaranya adalah menjalankan peran sebagai wakil dari perusahaan dan menentukan agenda kegiatan perusahaan, sebagai fasilitator anggota dewan untuk menerima informasi secara akurat dan tepat waktu untuk pengambilan keputusan, melindungi hak para pemegang saham untuk menerima informasi secara akurat dan tepat waktu yang berhubungan dengan peristiwa material, dan yang terakhir adalah sebagai fasilitator antara pemegang saham dan dewan untuk memastikan direktur memberikan masukan yang berarti untuk kepentingan pemegang saham. 3. Board of Commissioners/ Committes (BoC) Berikut ini adalah tugas utama BoC berdasarkan prinsip GCG menurut OECD : a. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian resiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan 31
kinerja perusahaan, serta memantau penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset; b. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota BoD, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota BoD yang transparan dan adil; c. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen,
anggota
BoD
dan
anggota
BoC,
termasuk
penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan; d. Memantau pelaksanaan governance, dan mengadakan perubahan dimana saja perubahan itu diperlukan; e. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan 4. Auditor (Aud) Auditor merupakan partisipan yang berperan mengevaluasi, memeriksa, menginvestigasi dan memberikan keyakinan terhadap penerapan GCG. Pada umumnya terdapat dua jenis auditor yang lazim ada di perusahaan, yaitu auditor internal dan auditor eksternal. 5. Stakeholders (StH). Terdapat banyak pengelompokan stakeholders (pemangku kepentingan) baik yang mempengaruhi perusahaan, maupun yang dipengaruhi perusahaan. Berikut ini beberapa kelompok stakeholders : a. Pemegang saham b. Karyawan c. Pelanggan d. Masyarakat sosial 32
e. Kreditor f. Pemerintah II.2.8 Pengungkapan GCG Pengungkapan GCG akan berdasarkan pada 4 prinsip Good Corporate Governance menurut Trihapsari (2006:40) 1. Transparansi Informasi-informasi mengenai transparansi perusahaan disajikan dalam laporan tahunan yang dilaporkan oleh perusahaan kepada Bapepam. Laporan tahunan yang diteliti terdiri dari : a. Kelengkapan laporan keuangan Sesuai dengan keputusan Ketua Bapepam Nomor : Kep-38/PM/1996, laporan keuangan yang lengkap terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Apabila perusahaan menyajikan laporan keuangan secara lengkap, maka masing-masing komponen diberikan bobot 1 (satu), sehingga bila perusahaan menyajikan laporan keuangan secara lengkap akan diberikan bobot 5 (lima). b. Ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan Berdasarkan keputusan Ketua Bapepam Nomor : Kep-38/PM/1996, laporan keuangan disampaikan tepat pada waktunya bila diserahkan selambat-lambatnya 120 hari setelah tahun buku perusahaan perusahaan berakhir. Apabila perusahaan menyampaikan laporan keuangan tepat pada waktunya, akan diberi bobot 1 (satu).
33
c. Kelengkapan Laporan non-Keuangan Selain laporan yang bersifat keuangan, keterbukaan informasi juga menyangkut adanya pengungkapan informasi yang bersifat non keuangan. Sesuai dengan keputusan Ketua Bapepam Nomor : Kep-38/PM/1996, kelengkapan laporan keuangan terdiri dari laporan manajemen, ikhtisar data keuangan penting, dan analisa dan pembahasan umum oleh manajemen. Apabila perusahaan mengungkapkan informasi yang bersifat non-keuangan tersebut, untuk masing-masing laporan yang disampaikan akan diberi bobot 1 (satu), sehingga apabila perusahaan mengungkapkan semua informasi non-keuangan sesuai dengan Keputusan Ketua Bapepam tersebut akan diberi bobot 3 (tiga). 2. Akuntabilitas Akuntabilitas akan tercipta bila ada pengawasan yang efektif, dimana fungsi pengawasan ini dilaksanakan oleh komite audit sesuai dengan Surat Edaran dari Bapepam Nomor : SE-03/PM/2000 seperti yang dikutip oleh Nila dalam Hapsari (2006;41). Apabila perusahaan memiliki komite audit yang lengkap sesuai dengan ketentuan (terdiri dari 3 (tiga) orang dan dipimpin oleh komisaris
independen)
diberi
bobot
1
(satu).
Apabila
perusahaan
mengumumkan laporan komite audit dalam laporan tahunan, akan diberikan bobot 1 (satu). Apabila komite audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya dalam 3 bulan sekali, akan diberi bobot 1 (satu). Dengan demikian, apabila perusahaan memenuhi semua komponen dalam variabel ini akan diberikan bobot 3 (tiga).
34
3. Kewajaran Prinsip kewajaran tercermin dengan adanya pendapat dari auditor independen. Pendapat auditor independen yang digunakan adalah pendapat auditor independen atas laporan keuangan perusahaan tahun 2005, dengan alasan menurut Trihapsari (2006:41) pendapat auditor independen atas laporan keuangan tahun 2005 akan dijadikan acuan oleh perusahaan dalam penyajian laporan keuangan tahun berikutnya. Berikut ini adalah pemberian bobot terhadap pendapat auditor independen : a. Pendapat wajar tanpa pengecualian, diberi bobot 5 (lima) b. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelas, diberi bobot 4 (empat) c. Pendapat wajar dengan pengecualian, diberi bobot 3 (tiga) d. Pendapat tidak wajar, diberi bobot 2 (dua) e. Pernyataan tidak memberikan pendapat, diberi bobot 1 (satu) 4. Responsibilitas Tanggung jawab Perusahaan terwujud dengan adanya kepedulian perusahaan terhadap masyarakat disekitarnya. Karena perusahaan merupakan salah satu anggota
masyarakat,
dan
oleh
karenanya
harus
bertindak
dengan
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat disekitarnya. Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan disekitarnya menurut Zuhroh dan Siskawati dalam Trihapsari (2006;42) meliputi empat tema, yaitu produk dan konsumen, kemasyarakatan, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup. Pengungkapan atas tema-tema tersebut dalam laporan tahunan akan diberi bobot 1 (satu) untuk masing-masing tema, sehingga apabila perusahan memenuhi keempat tema tersebut maka akan diberi bobot 4 (empat). 35
II.2.9 Perkembangan praktek Corporate Governance di Indonesia Semakin tinggi kompleksitas organisasi, semakin tinggi pula kebutuhan terhadap governance, sehingga semakin komprehensif governance yang harus diterapkan.
Tujuan
pemerintahan
Indonesia
pada
dasarnya
meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia dan dapat berperan di dunia internasional dalam pencapaian perdamaian dunia. Mengacu pada pendapat Kaihatu (2006) menurut
kajian
yang
dilakukan
oleh
Asian
Development
Bank
(ADB)
mengidentifikasikan beberapa faktor yang memberikan kontribusi terhadap krisis di Indonesia. Yaitu konsentrasi kepemilikan yang tinggi, tidak efektifnya fungsi pengawasan dewan komisaris, inefisiensi dan rendahnya transparansi mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi perusahaan, dan tingginya tingkat ketergantungan pada pendanaan eksternal, serta ketidak memadainya pengawasan oleh para kreditor. Daniri (2005) dalam Kaihatu (2006) menyatakan “tantangan terkini yang dihadapi masih belum dipahaminya secara luas prinsip-prinsip dan praktek GCG oleh komunitas bisnis dan publik pada umumnya”. Dampak dari kurangnya pemahaman tersebut membuat komunitas internasional masih menempatkan Indonesia pada urutan terbawah rating implementasi GCG sebagaimana yang dilakukan oleh Standards & Poor, CLSA, Pricewaterhouse Coopers, Moldy’s and Morgan, and Calper’s. Kajian Pricewaterhouse Coopers yang dimuat dalam Report on Institutional investor Survey pada tahun 2002 menempatkan Indonesia pada urutan paling bawah bersama dengan China dan India dengan nilai 1,96 untuk transparansi dan keterbukaannya. The World Bank melakukan peratingan pada negara-negara di Asia Tenggara berdasarkan enam kriteria tata kelola. Dan hasilnya menyatakan bahwa Indonesia berada jauh tertinggal dibandingkan dengan negara36
negara lain yang berada di Asia Tenggara. Berdasarkan pada hasil peratingan tersebut dapat diketahui bahwa skor negara tetangga tersebut berada jauh diatas Indonesia, hal ini dapat terlihat dari besarnya pendapatan per kapita negara-neagra tetangga di Asia Tenggara dibandingkan dengan Indonesia. Indonesia berada pada peringkat ke enam dalam peratingan Corporate Governance yang dilakukan oleh The World Bank dan berada di peringkat dalam peratingan GDP (Gross Domestic Product) per kapita. Tabel 2.2 Peratingan World Bank terhadap corporate governance di Asia Tenggara
Singapore
$28,000.00
Indonesia
$3,600.00
Malaysia
$12,000.00
Vietnam
$2,800.00
Thailand
$8,000.00
Laos
$2,000.00
Philipines
$4,000.00
Myanmar
$1,700.00
Sumber: Anthony Tarantino, 2009, Governance, Risk and Compliance Handbook, halaman 712.
Hasil yang konsisten juga diperoleh dari survei yang dilakukan oleh Asian Corporate Governance Association pada tahun 2010 mengenai penerapan CG di Asia bahwa penerapan indikator CG di Indonesia masih di bawah rata-rata. Tabel 2.3 Corporate Governance Watch in Asia 2010
Walaupun beberapa survey serta penelitian sebelumnya menyatakan bahwa perkembangan penerapan CG di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara37
negara lainnya. Akan tetapi, pada saat ini perkembangan penerapan prinsip-prinsip GCG di Indonesia mengalami perkembangan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Mengacu
pada
pendapat
Daniri
(2007)
pemerintah
melalui
perangkatnya mulai melakukan banyak pembenahan untuk memperbaiki citra pemerintah serta memperlihatkan keseriusannya dalam meningkatkan praktik GCG di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari pemberdayaan Badan Pemeriksa keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung, Mahkamah konstitusi, Kejaksaan Agung dan juga kepolisian. Bukti adanya akuntabilitas pemerintah didalam melakukan pengelolaan negara dengan baik, serta keterbukaan kepada publik tercermin dalam telah cukup banyaknya temuan-temuan dan kasus-kasus yang diangkat ke permukaan dan dan diterapkan enforcement atas para pelanggar tersebut.
II.3 Corporate Social Responsibility II.3.1 Sejarah Corporate Social Responsibility Literatur-literatur awal yang membahas CSR pada tahun 1950an menyebut CSR sebagai Social Responsibility (SR bukan CSR). Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari. Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR. Salah satu akademisi CSR yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki (social responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social power). Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak 38
menggunakan kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang. Kata corporate mulai dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang telah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial dengan korporasi. Tahun 1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul Silent Spring. Buku tersebut dianggap memberikan pengaruh besar pada aktivitas pelestarian alam. Buku tersebut berisi efek buruk penggunaan DDT sebagai pestisida terhadap kelestarian alam, khususnya burung. DDT menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan menyebabkan gangguan reproduksi dan kematian pada burung. Silent Spring juga menjadi pendorong dari pelarangan penggunaan DDT pada tahun 1972. Selain penghargaan Silent Spring juga menuai banyak kritik dan dinobatkan sebagai salah satu ”buku paling berbahaya abad ke-19 dan ke-20” versi majalah Human Events. Tahun 1963 Joseph W. McGuire memperkenalkan istilah Corporate Citizenship. McGuire menyatakan bahwa: “The idea of social responsibilities supposes that the corporation has not only economic and legal obligations but also certain responsibilities to society which extend beyond these obligations” McGuire kemudian menjelaskan lebih lanjut kata beyond dengan menyatakan bahwa korporasi harus memperhatikan masalah politik, kesejahteraan masyarakat, pendidikan,
“kebahagiaan”
karyawan
dan
seluruh
permasalahan
sosial
kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu korporasi harus bertindak “baik,” sebagai mana warga negara (citizen) yang baik. Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. 39
CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggung jawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat. Pada tahun 1980-an program CSR ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih mengartikulasikan secara tepat apa sebenarnya corporate responsibility. Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on Environment and Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future – juga dikenal sebagai Brundtland Report untuk menghormati Gro Harlem Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan tersebut menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerjasama multilateral dalam rangka melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Earth Summit dilaksanakan di Rio de Janeiro pada 1992. Dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan. Menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya ecoefficiency dijadikan sebagai prinsip utama berbisnis dan menjalankan pemerintahan. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibiliy (CSR) berkembang setelah kemajuan dan perkembangan yang pesat untuk tata kelola perusahaan pada 1973. 40
Konsep CSR muncul sebagai akibat adanya kenyataan bahwa pada dasarnya karakter alami dari setiap perusahaan adalah mencari keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperdulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat dan lingkungan alam. Seiring dengan dengan meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perusahaan maka konsep tanggung jawab sosial muncul dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang. CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development. Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan. Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih. Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business pada tahun 1998 oleh John Elkington. Menurut Collin (2010) terdapat tiga komponen penting pada sustainable development, yakni 41
economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report tahun 1987. Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. II.3.2 Pengertian Corporate Social Responsibility The World Bussiness Council for Sustainable Development (WBCSD) sebagai lembaga internasional yang beranggotakan lebih dari 120 perusahaan multinasional itu mendefiniskan CSR sebagai berikut : “Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large” Dari definisi CSR diatas terlihat bahwa WBCSD berusaha menekankan kepada komitmen untuk bertindak etis dan berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi yang disertai dengan peningkatan kualitas hidup karyawan serta masyarakat luas. Tidak jauh berbeda dengan definisi WBCSD, maka World Bank mendefinisikan CSR sebagai berikut : “The commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”
42
Di Indonesia sendiri, Penjelasan pasal 15 huruf b UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “. Menurut UU NO. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 angka 3, tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Sementara itu, Tunggal (2008:1) dalam bukunya yang berjudul Corporate Social Responsibility (CSR) mendefinisikan CSR sebagai berikut “Tanggung jawab sosial adalah kewajiban perusahaan untuk merumuskan kebijakan, mengambil keputusan, dan melaksanakan tindakan yang memberikan manfaat kepada masyarakat”. Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sudah bukan saatnya perusahaan hanya memikirkan keuntungan finansial semata, tetapi juga harus memperhatikan hak dan kepentingan publik, khususnya yang berada di sekitar perusahaan. II.3.3 Piramida Corporate Social Responsibility Carroll (1991) dalam Tunggal (2008:56) telah memberikan penjelasan teoritis dan logis mengapa sebuah perusahaan perlu menerapkan CSR bagi masyarakat di sekitarnya melalui konsep piramida CSR. Ia beranggapan bahwa CSR adalah puncak piramida yang erat hubungannya dengan tanggung jawab filantropis.
43
1. Tanggung jawab ekonomis. Inti utama dari tanggung jawab ini adalah mencari keuntungan. Laba merupakan pondasi perusahaan. Perusahaan harus memiliki pondasi yang cukup kuat agar bisa bertahan dan berkembang. 2. Tanggung jawab legal. Penekanan dari tanggung jawab ini adalah pemenuhan terhadap hukum. Dalam proses pencarian laba usaha, perusahaan tidak diperbolehkan melanggar hukum maupun aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 3. Tanggung jawab etis. Perusahaan bertanggung jawab untuk menjalankan praktik bisnis yang baik, adil, dan benar. Perusahaan dalam menjalani bisnisnya akan menyesuaikan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. 4. Tanggung jawab filantropis. Selain dituntut untuk menghasilkan laba, taat terhadap hukum, serta berperilaku etis, perusahaan juga dituntut agar bisa berkontribusi kepada masyarakat luas. Tujuan utamanya adalah agar meningkatkan kualitas hidup semua pihak. Pada akhirnya, para pemilik dan pegawai mempunyai tanggung jawab ganda, yaitu kepada perusahaan dan juga kepada publik. Pandangan komprehensif yang dikemukakan oleh Caroll mengenai CSR didalam teori piramida Corporate Social Responsibility seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan, sebab pendapat yang menyatakan tujuan ekonomi dan sosial adalah bagian yang terpisah dan tidak saling berkaitan merupakan suatu pandangan yang keliru. Karena operasi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan tidak hanya berkomitmen dengan ukuran keuntungan finansial saja, tetapi juga harus
44
berkomitmen pada pembangunan sosial ekonomi secara menyeluruh dan berkelanjutan. II.3.4 Prinsip Dasar Corporate Social Responsibility Mengacu pada pendapat Urip (2010) terdapat tiga prinsip dasar yang mendasari kepedulian perusahaan untuk melakukan CSR. Yaitu profit, people, dan planet (3P). Atau yang biasa dikenal dengan istilah triple bottom lines.
Profit (Keuntungan Perusahaan). Dalam menjalani operasi bisnisnya, perusahaan harus tetap mencari keuntungan ekonomi agar bisa terus maju dan berkembang.
People (Kesejahteraan Manusia atau Masyarakat). Selain untuk mencari keuntungan ekonomi, perusahaan juga harus mempedulikan kesejahteraan manusia. Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan pemberian program beasiswa kepada pelajar disekitar perusahaan beroperasi.
Planet
(Keberlanjutan
Lingkungan
Hidup).
Perusahaan
juga
harus
melestarikan lingkungan hidup sebagai bentuk kepeduliannya terhadap alam semesta. Program CSR ini dapat dilakukan dengan penghijauan, daur ulang, serta hemat energi. Sedangkan menurut ISO 26000 dalam Urip (2010:78) terdapat 7 (tujuh) prinsip dalam CSR yaitu: 1. Akuntabilitas 2. Transparansi 3. Perilaku Etis 4. Menghormati kepentingan stakeholders 5. Menghormati hukum yang berlaku 6. Menghormati etika berperilaku secara internasional 45
7. Menghormati hak asasi manusia Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan, manusia dan alam memiliki keterkaitan satu sama lain untuk saling menjaga. Alam menyediakan sumber daya untuk diolah oleh manusia sebagai penunjang kelangsungan hidup perusahaan. Sudah semestinya perusahaan dan manusia peduli terhadap lingkungan, agar tercipta hubungan yang berkelanjutan antara alam, manusia dan perusahaan. Dengan terciptanya hubungan yang berkelanjutan, alam dapat terus menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh manusia untuk menjalankan aktifitas bisnisnya, dan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan sebagai penunjang kelangsungan perusahaan. II.3.5 Perkembangan Praktek Corporate Social Responsibility di Indonesia Penerapan CSR di Indonesia semakin meningkat baik dalam kuantitas maupun kualitas. Selain keragaman kegiatan dan pengelolaannya semakin bervariasi, dilihat dari kontribusi finansial, jumlahnya pun semakin membesar. Seperti yang dikutip oleh Suharto (2006:6) penelitian PIRAC pada tahun 2001 menunjukkan bahwa dana CSR di Indonesia mencapai lebih dari 115 milyar rupiah atau sekitar 11.5 juta dollar AS dari 118 perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media massa. Saidi dan Abidin (2004) dalam Suharto (2006:7) menyatakan bahwa sedikitnya ada 4 (empat) model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia. 1. Keterlibatan langsung. Perusahaan tanpa perantara menjalankan program CSR secara langsung dengan cara menyelenggarakan sendiri program CSR atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat. Biasanya perusahaan
46
menugaskan salah satu pejabat senior seperti corporate secretary atau public affair manager untuk menjalankan tugas ini. 2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Pada model ini, perusahaan membentuk suatu yayasan atau organisasi sosial dibawah naungan perusahaan dan menyediakan dana abadi untuk digunakan secara rutin oleh yayasan. Model ini mengadopsi perilaku perusahaan yang berada di negara maju. 3. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan bekerjasama dengan pihak lain seperti lembaga sosial/organisasi non-pemerintahan, instansi pemerintah, universitas atau media massa untuk mengelola dana atau melakukan kegiatan sosial. 4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan terlibat dalam pendirian atau menjadi anggota dari suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pola kegiatannya cenderung pada pemberian hibah perusahaan yang berupa “hibah bangunan”. Berdasarkan pada penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan CSR perusahaan di Indonesia walaupun belum terlalu banyak tetapi sudah mengarah kepada kegiatan perusahaan yang peduli akan lingkungan. Diharapkan terus terjadi peningkatan yang signifikan atas perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menerapkan CSR. Penerapan CSR di Indonesia dapat pula mengacu seperti yang diterapkan di Thailand. Penerapan CSR di Thailand sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Budha dan juga perintah yang langsung turun dari raja. Dimana, setiap perusahaan wajib untuk menjaga lingkungannya serta melakukan kegiatan tanggung jawab sosialnya. Mengingat ada kemiripan sosial, budaya dan ekonomi antara
47
Indonesia dengan Thailand, diharapkan penerapan CSR di Indonesia bisa menjadi sebaik dengan penerapan CSR di Thailand. II.3.6 Pengungkapan CSR Pengungkapan CSR pada laporan tahunan yang dinyatakan dalam Corporate Social Responsibility Index (CSRI) akan dinilai dengan membandingkan jumlah pengungkapan yang dilakukan perusahaan dengan jumlah pengungkapan yang disyaratkan dalam GRI meliputi 79 item pengungkapan : economic, environment, labour practicies, human rights, society, dan product responsibility. Apabila item informasi yang ditentukan diungkapkan dalam laporan tahunan, maka diberi skor 1, dan apabila item informasi tidak diungkapkan dalam laporan tahunan maka diberi skor 0. Perhitungan Index Luas Pengungkapan CSR (CSRI) dirumuskan sebagai berikut: CSRI t = jumlah item yang diungkapkan
X
100%
79 II.4 Consumer Goods Barang konsumen dapat juga disebut dengan barang jadi (finished goods). Pada dasarnya, barang konsumsi adalah hal-hal yang dibeli oleh pelanggan yang rata-rata akan digunakan dengan segera. Masalah terkait dengan barang konsumen adalah hal yang paling penting dalam penilaian Produk Domestik Bruto (PDB). PDB pada dasarnya merupakan pengukuran tahunan dari apa yang dibeli (dikonsumsi), dibuat, dan diinvestasikan dan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Para analis ekonomi menguraikan berbagai jenis barang yang termasuk dalam PDB atau tidak. Beberapa hal yang tampak seperti barang konsumen, terkadang tidak dapat dikategorikan demikian. Contohnya adalah barang-barang bekas yang dijual kembali tidak dapat dikategorikan sebagai barang konsumen, karena mereka telah dihitung 48
sebagai barang jadi sebelumnya. Ini akan mencakup penjualan kembali barangbarang seperti mobil, pakaian atau perhiasan. Hal-hal lain yang mungkin Anda beli seperti spare part mobil, bahkan ban atau baterai mobil, bukanlah termasuk kedalam golongan barang konsumen. Secara teknis, barang yang digunakan dalam perakitan mobil tidak mewakili produk akhir, walaupun banyak dari kita harus membeli ban baru untuk mobil atau mengganti baterai mobil. karena semua itu adalah bagian yang digunakan dalam pembuatan item baru sebuah mobil. Ada tiga jenis utama barangbarang konsumsi. Yang pertama adalah barang-barang tahan lama (durable goods). Ini dimaksudkan untuk digunakan terus menerus atau berulang kali selama lebih dari 3 tahun, seperti peralatan (lemari es, televisi, komputer) dan mobil. Tipe kedua barang konsumen adalah barang setengah tahan lama (semi durable goods), yang dapat digunakan pada beberapa kesempatan dan memiliki umur yang diharapkan dari 1 sampai 3 tahun, seperti pakaian, sepatu dan tas. Jenis ketiga dari barangbarang konsumsi adalah barang-barang tidak tahan lama. Ini dirancang untuk digunakan hanya sekali, seperti makanan dan gas, tetapi juga bisa mencakup barang nilai yang kecil digunakan beberapa kali, seperti pembersih peralatan. Klasifikasi lain dari goods adalah Fast Moving Consumer Goods (FMCG) atau dapat disebut dengan paket barang konsumen. FMCG merupakan item yang akan terjual dengan sangat cepat. Sebagian besar barang-barang yang dijual dalam grocery stores merupakan termasuk dalam golongan FMCG, dan produk-produk small electronic termasuk didalamnya. Hal tersebut bukan hanya semata-mata terjual dengan cepat, tapi biasanya dikonsumsi dengan cepat. Dan biasanya salah diartikan, karena mereka berbeda dengan apa yang disebut dengan durable goods atau yang dapat disebut dengan barang tahan lama. Kelompok lain dalam finished goods atau barang jadi adalah Fast Moving Consumer Electronics (FMCE). Yang termasuk 49
dalam FMCE adalah seperti kamera, mp3 player, ponsel, dan laptop. Komputer desktop mungkin lebih cenderung dianggap sebagai barang tahan lama (durable goods), meskipun mereka masih termasuk dalam barang jadi,
karena
mereka
cenderung hidup lebih lama daripada laptop.
II.5 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan untuk mengetahui pola pengungkapan Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility dalam suatu perusahaan. Agar memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai pola pengungkapan tersebut, maka penulis menyajikan beberapa penelitian terdahulu yang perlu untuk diketahui sebelumnya.
II.5.1 Waryanto, 2010, Pengaruh Karakteristik Good Corporate Governance Terhadap Luas Pengungkapan Corporate Social Responsibility Di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor karakteristik Good Corporate Governance (GCG) dalam perusahaan yang dapat mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dalam laporan tahunan perusahaanperusahaan yang ada di Indonesia. Faktor-faktor karakteristik yang digunakan antara lain Dewan Komisaris, jumlah rapat Dewan Komisaris, Independensi Dewan Komisaris, ukuran Komite Audit, jumlah Rapat Komite Audit, kompetensi Komite Audit, kepemilikan saham manajerial, kepemilikan saham institusional, kepemilikan saham asing, kepemilikan saham terkonsentrasi, ukuran perusahaan dan rasio leverage.
50
Dalam penelitiannya, Waryanto menggunakan 116 perusahaan sampel yang tercatat di Bursa Efek Indonesia pada akhir tahun 2008 dengan pertimbangan mulai berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007 dan UndangUndang Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 yang menuntut perusahaan untuk melaksanakan kewajiban pelaksanaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial yang berlaku secara efektif pada akhir tahun 2007. Penelitian menggunakan data keuangan tahunan tahun 2008 karena pada tahun tersebut, perusahaan dianggap telah mampu dan siap untuk melakukan pelaporan dan pengungkapan dengan lebih baik dibandingkan tahun 2007. Penelitian ini juga menggunakan ukuran perusahaan dan leverage sebagai variabel pengendali. Penelitian ini menganalisis pada laporan tahunan perusahaan dengan metode Content Analysis. Analisis data dilakukan dengan uji asumsi klasik, dan pengujian hipotesis dengan metode regresi linear berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor kepemilikan saham terkonsentrasi, ukuran perusahaan dan rasio leverage berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR di Indonesia.
II.5.2 Putri Nurdianty, 2008, Analisa Hubungan Pengungkapan Corporate Governance Dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility : Study Kasus Perusahaan Di Bursa Efek Indonesia Penelitian dilakukan untuk mengetahui pola hubungan yang terjadi diantara pengungkapan Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility pada perusahaan yang termasuk dalam kelompok industri high profile yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Dalam penelitiannya, Putri menggunakan 53 perusahaan sampel yang terdiri dari 6 industri yang berbeda. Penelitian ini menguji dua model penelitian yaitu yang pertama adalah pengungkapan CG berlaku sebagai 51
variabel dependen dan pengungkapan CSR sebagai variabel independen. Pada model yang kedua berlaku yang sebaliknya. Pada penelitian ini Putri menggunakan beberapa variabel independen seperti status afiliasi, komisaris independen, kepemilikan manajemen, serta ukuran perusahaan, resiko dan profitabilitas sebagai variabel pengendali. Dan untuk menguji variabel-variabel tersebut digunakan analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian pada model yang pertama menyatakan bahwa
pengungkapan
CSR
berhubungan
positif
dan
signifikan
terhadap
pengungkapan CG. Selanjutnya pada penelitian yang kedua, hasil penelitian menunjukan bahwa pengungkapan CG, status afiliasi, dan kepemilikan manajemen berhubungan positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR.
II.5.3 Mohammad Nasri dan Darwin Warisi, 2008, Penerapan Good Corporate Governance dalam mewujudkan Corporate Social Responsibility. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak implementasi Good Corporate Governance (GCG) terhadap Corporate Social Responsibility (CSR). Mengapa perusahaan perlu menerapkan GCG? Apa prasyarat terwujudnya CSR? Serta bagaimana peranan GCG dalam mewujudkan CSR. Penelitian ini menggunakan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia sebagai sampel. Penulis melakukan kajian literatur berdasarkan penelitian sebelumnya sejak tahun 2001. berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasilnya adalah penerapan GCG sangat berperan dalam mewujudkan Corporate Social Responsibility. Penerapan GCG telah meningkatkan komitmen perusahaan untuk melaksanakan CSR, karena keberhasilan CSR menjadi salah satu indikator dalam mengukur kinerja perusahaan.
52
II.5.4 Tri Budiono, 2006, Transplantasi Doktrin Pada UU PT
dan
Pengaruhnya Terhadap GCG dan CSR Penelitian yang dilakukan oleh Budiono bertujuan untuk mengkaji tentang apakah transplantasi terhadap doktrin-doktrin yang dikembangkan dari tradisi Common Law pada UU PT yang merupakan bagian dari civil law system mempengaruhi peletakan prinsip GCG dan CSR. Menurut Budiono, transplantasi hukum yang dilakukan pada UU PT menganut beberapa doktrin yang berakar pada tradisi Common Law yang biasa dianut oleh negara Inggris dan lain sebagainya. Doktrin-doktrin tersebut diantaranya adalah doktrin Piercing The Corporate Veil (PCV) atau yang biasa dikenal sebagai doktrin penyingkapan tabir perusahaan. Doktrin ini mengkaitkan pada pemegang saham, direksi, dan komisaris. Dalam UU PT diatur bahwa pemegang saham, direksi dan komisaris memiliki tanggung jawab yang sifatnya terbatas atau berdasarkan hukum tidak memikul tanggung jawab secara pribadi. Bagi pemegang saham, tanggung jawab sebatas besarnya saham yang dimiliki, sedangkan direksi dan komisaris terjadi pengalihan tanggung jawab dari dirinya (sebagai agent) ke perseroan (sebagai principal) berdasarkan doktrin respondeal superior. Doktrin Ultra Vires, Fiduciary Duty, doktrin Corporate Opportunity, doktrin Self-dealing adalah doktrin yang mengkaitkan pada direksi dan komisaris, doktrin business judgement dan doktrin derivative action. Hasil penelitian menyatakan bahwa doktrin-doktrin yang ditransplantasi pada UU PT memberikan dua dampak yang muncul secara simultan. Pertama, dampak transplantasi tersebut telah menghasilkan harmonisasi dengan hukum perusahaan yang berlaku diberbagai negara. Harmonisasi ini dalam kondisi globalisasi ekonomi akan memberikan dampak positif, karena UU PT akan lebih diterima dalam “pergaulan ekonomi dunia”, khususnya dikalangan investor yang menanamkan 53
modal di Indonesia. Sedangkan dampak yang kedua adalah, transplantasi hukum itu menimbulkan benturan kepentingan pada kelompok tertentu. Doktrin-doktrin yang ditransplantasi dalam UU PT pada dasarnya mengkaitkan pada pihak-pihak yang secara langsung menjadi penopang kehidupan PT, yaitu pemegang saham, direksi dan komisaris. Substansi doktrin yang ditransplantasi adalah usaha untuk menyeimbangkan antara kewenangan yang diberikan, dan tanggung jawab yang dituntutkan. Ini merupakan bagian untuk menciptakan tata kelola yang baik pada perusahaan yang berakar pada 4 (empat) prinsip yaitu kewajaran, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas. Namun demikian, transplantasi doktrin tersebut belum menyentuh peletakan prinsip CSR.
II.5.5 Jamin Ginting, 2007, Tinjauan Yuridis Terhadap Corporate Social Responsibility ( CSR) dalam Good Corporate Governance (GCG) Penelitian yang dilakukan oleh Ginting adalah untuk memperlihatkan penerapan konsep GCG pada suatu perusahaan, dimana GCG merupakan faktor penentu
pelaksanaan
CSR.
Dengan
mengangkat
pertanyaan
penelitian
“
bagaimanakah pengaturan CSR dalam prinsip GCG sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini?”. Ginting menyatakan bahwa dengan adanya pengaturan GCG dalam hukum positif di Indonesia, maka tidak dapat dihindari lagi bahwa secara mutlak prinsip CSR juga harus ikut serta diterapkan. Dalam penelitiannya, Ginting melakukan studi kepustakaan, penelitian hukum doktrin yang berkaitan dengan pengaturan CSR dalam prinsip GCG. Hasil penelitian menyatakan, bahwa prinsip GCG merupakan cikal bakal pembentukan CSR. Perseroan yang menerapkan prinsip GCG juga harus menerapkan konsep CSR, kedua konsep tersebut bukan lagi sebatas tanggung jawab biasa, tetapi juga merupakan suatu 54
kewajiban hukum yang memiliki sanksi hukum apabila tidak dijalankan dengan baik, oleh sebab itu maka sifatnya dapat dipaksakan (inperatif) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas. Dalam prinsip CSR, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja. Akan tetapi, tanggung jawab perusahaan harus berpijak triple bottom line, yaitu keuangan, sosial dan lingkungan. Hal ini perlu dilakukan agar perusahan dapat terus tumbuh secara berkelanjutan.
II.6 Pengembangan Hipotesis Mengacu pada Ginting (2007) yang menyatakan bahwa prinsip GCG adalah cikal bakal pembentukan CSR, maka pengungkapan CSR menjadi hal yang mutlak dilakukan apabila perusahaan menerapkan GCG. Dengan didukung oleh ketentuan Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas maka konsep CSR merupakan suatu hal yang bukan lagi sebagai tanggung jawab biasa semata, melainkan adalah sesuatu yang dapat dipaksakan, karena terdapat sanksi yang akan dikenakan bagi perusahaan yang tidak menerapkan konsep CSR tersebut. Program corporate social responsibility akan menciptakan suatu kaitan emosional antara masyarakat dengan perusahaan apabila dikembangkan dengan baik, yang nantinya akan berdampak pada brand awareness, dan lama-kelamaan akan dikembangkan menjadi brand loyalty yang akan menciptakan ekuitas merek yang menguntungkan bagi perusahaan (Temporal dan Trott, 2005:37).
55
Mengacu pada Hendrasaputra (2007:2) survei yang dilakukan oleh GlobeScan di 23 negara menyimpulkan bahwa semakin banyak konsumen yang peduli akan tanggung jawab sosial perusahaan. Mendukung pernyataan
Firman
(2009:20) yang mengatakan bahwa CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan produsen consumer goods yang beberapa waktu yang lalu dilanda isu adanya kandungan bahan berbahaya dalam produknya. Namun karena perusahaan tersebut dianggap konsisten dalam menjalankan CSR-nya maka masyarakat menyikapinya dengan tenang sehingga relatif tidak mempengaruhi aktivitas dan kinerjanya. Mendukung pernyataan tersebut, Nurdianty (2008:4) menyatakan bahwa saat ini perusahaan ditantang untuk dapat memenuhi suatu pandangan baru yang disebut dengan “Growth and Sustainability Company”. Dimana pencapaian suatu perusahaan tidak lagi hanya diukur berdasarkan perolehan laba semata, akan tetapi juga dari tingkat kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar, baik terhadap komunitas local, masyarakat sekitar maupun lingkungan hidup. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis memiliki dugaan sementara sebagai berikut:
H01 :
tidak terdapat hubungan yang positif antara penerapan GCG dengan pengungkapan CSR pada perusahaan dalam kelompok industri barang konsumen yang tercatat di Bursa Efek Indonesia
HA1 : terdapat hubungan yang positif antara penerapan GCG dengan pengungkapan CSR pada perusahaan dalam kelompok industri barang konsumen yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
56
H02 : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengungkapan CSR dan penerapan GCG pada perusahaan dalam kelompok industri consumer goods yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. HA2:
terdapat hubungan yang signifikan antara pengungkapan CSR dan penerapan GCG pada perusahaan dalam industri consumer goods yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
57