BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Initial Public Offering (IPO) Keputusan sebuah perusahaan untuk melakukan go public atau yang sering
disebut dengan Initial Public Offering (IPO), yaitu suatu proses dimana suatu perusahaan untuk pertama kalinya menjual saham kepada publik. Menurut Sherman (2005) IPO didefinisikan sebagai “a legal process where the company registers its securities to the Securities Exchange Commision (SEC) for sale to the general public investors”. Sedangkan Ritter (1998) mengatakan bahwa “an initial public offerings (IPO) occurs when a security is sold to the general public for the first time, with the expectation that a liquid market will develop.” Pada saat saham pertama kali diterbitkan, saham tersebut diperdagangkan di Pasar Primer. Ketika saham tersebut telah jatuh ke tangan publik, maka saham tersebut akan diperdagangkan di Pasar Sekunder. Menurut Arthur J. Keown dkk, secara struktural aliran modal melalui pasar finansial antara perusahaan, individu dan pemerintah dapat digambarkan ke dalam diagram seperti di bawah ini:
9
10
Gambar 2.1 Interaksi antara Perusahaan dan Pasar Finansial
Kebanyakan perusahaan mengumpulkan modal mulai dari sejumlah kecil investor, dimana tidak terdapat pasar yang liquid ketika investor-investor ini hendak menjual saham mereka. Ketika sebuah perusahaan mulai berkembang dan membutuhkan modal tambahan, pada suatu titik tertentu sebuah perusahaan dapat memutuskan untuk go public dengan menjual saham kepada sejumlah besar investor. Dengan ini, para shareholder dapat menjual saham yang mereka miliki pada transaksi pasar terbuka. IPOyang sukses merupakan penawaran yang dapat memenuhi tujuan dari seluruh pihak yang terkait dalam proses IPO, yaitu perusahaan, vendor dan investor.
11
Menurut Geddes (2003), ada beberapa indikator yang menunjukkan penawaran yang sukses, antara lain : Premi pada hari pertama yang sesuai. Distribusi yang luas. Kepemilikan yang stabil. Flowback yang minim. Performa harga saham yang baik setelah dipasarkan. Volume perdagangan, kepercayaan pasar / investor.
2.2
Alasan Perusahaan Memutuskan Untuk Go Public Menurut Deazeley (2008), ketika suatu perusahaan ingin memutuskan untuk
menjadi perusahaan terbuka, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi alasan dari perusahaan untuk menjadi perusahaan terbuka. Pada umumnya, beberapa alasan dari sebuah perusahaan untuk menjadi perusahaan terbuka adalah: Untuk meningkatkan modal yang lebih dibandingkan dengan perusahaan tertutup, dengan tujuan untuk: -
Memungkinkan untuk perbaikan atau ekspansi dari aset modal yang ada.
-
Membiayai akuisisi.
-
Membayar hutang.
12
Untuk membiayai eksplorasi atau penelitian dan pengembangan. Untuk memberikan strategi keluar bagi investor.
2.3
Keuntungan dan Kerugian Perusahaan Terbuka Dengan perusahaan memutuskan untuk go public, bukan hanya keuntungan
saja yang didapat oleh perusahaan, namun sebaliknya juga ada kerugian yang harus ditinjau. Berikut ini merupakan keuntungan yang didapat perusahaan dengan melakukan go public, yaitu: Akses terhadap modal yang lebih mudah. Meningkatnya status finansial; manfaat langsung terhadap neraca dan rasio debt-to-equity. Meningkatnya kapasitas untuk berkembang; saham dapat digunakan sebagai alat tukar untuk akuisisi. Sebagai fasilitas untuk melakukan mergeratau akuisisi. Akses yang lebih mudah terhadap pembiayaan hutang karena persyaratan untuk terbuka, dengan kata lain tidak ada informasi yang ditutupi; meningkatnya rasio debt/equity. Akses terhadap pembiayaan ekuitas sekunder melalui kemampuan untuk menerbitkan saham lebih lanjut. Potensi untuk penilaian yang lebih tinggi karena likuiditas saham.
13
Mendapatkan publisitas yang lebih banyak. Kredibilitas / prestise yang dapat menarik banyak investor, mitra strategis dan/atau pelanggan. Meningkatkan rekrutmen dan retensi melalui kemampuan untuk memberikan penyertaan ekuitas kepada karyawan. Adapun kerugian yang didapat perusahaan pada saat proses untuk go public seperti sebagai berikut: Pengeluaran yang besar, seperti biaya legal, biaya audit / akuntansi, underwriting, biaya percetakan, roadshow, dan lain-lain. Informasi perusahaan yang terbuka terhadap publik. Tantangan ketika menghadapi pemegang saham yang ada dan/atau manajemen. Komitmen terhadap waktu dan gangguan dari kegiatan bisnis seharihari. Beberapa kerugian ketika perusahaan telah beroperasi sebagai perusahaan publik seperti sebagai berikut: Biaya penyesuaian dan laporan yang berkelanjutan. Berkurangnya fleksibilitas; adanya tuntutan untuk berkonsultasi pada dewan komisaris, dan kadang-kadang kepada pemegang saham dalam mengambil suatu keputusan. Berkurangnya kontrol terhadap perusahaan karena adanya pemilik saham.
14
Rentan terhadap pengambilalihan. Diawasi dengan ketat oleh regulator dan publik. Informasi yang lebih terbuka, seperti kinerja keuangan, kompensasi eksekutif, isu-isu lingkungan) dibandingakan dengan perusahaan pribadi. Adanya tekanan untuk menjaga nilai saham untuk naik, yang mungkin tidak sesuai dengan strategi perusahaan saat itu.
2.4
Pihak-pihak yang Terkait dalam IPO Menurut Geddes (2003), ada tiga pihak utama yang terkait dalam proses IPO,
yaitu perusahaan, vendor dan investor. Masing-masing pihak memiliki tujuannya masing-masing. Pihak perusahaan menginginkan: Memaksimalkan proses IPO. Membangun basis kepemilikan yang luas dan stabil. Meningkatkan profil perusahaan. Memfasilitasi penggalangan dana untuk masa depan dan akuisisi yang memungkinkan di masa depan. Memastikan bahwa terdapat likuiditas di pasar sekunder. Dianggap sukses dalam menerbitkan IPO. Pihak vendor menginginkan: Memaksimalkan proses IPO.
15
Memaksimalkan nilai dari bunga tetap / kinerja harga saham. Dianggap sebagai bagian dari transaksi yang sukses. Pihak investor menginginkan: Memaksimalkan return dari harga saham (jangka pendek dan jangka panjang). Memperluas portfolio. Mengakumulasi suatu posisi yang tidak mudah ditemukan di pasar sekunder. Pada saat IPO, tujuan dari masing-masing perusahaan, vendor dan investor saling berimbang, namun tidak identik. Peran dari sebuah bank investasi yang mengatur atau sebagai sponsor dari penawaran adalah untuk memastikan adanya keseimbangan di antara kepentingan ketiga pihak tersebut. Salah satu kesulitan dalam mengelola sebuah bank investasi adalah mengatur konflik yang terjadi di antara klien penerbit saham dan klien investor.
2.5
Jenis-jenis Penawaran IPO Setelah perusahaan memutuskan untuk go public, maka selanjutnya manajer
perusahaan tersebut akan bekerja dengan pihak underwriter. Menurut Berk dan DeMarzo (2007), ada 3 (tiga) jenis penawaran, yaitu best-efforts, firm commitment dan aution IPOs.
16
Best Efforts Umumnya, pihak underwriter memilih untuk menggunakan jenis penawaran ini untuk IPO yang kecil. Pada jenis penawaran ini, pihak underwriter tidak memberikan jaminan bahwa saham akan terjual, melainkan mencoba untuk menjual saham pada harga yang paling memungkinkan. Resiko akan saham yang tidak terjual akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak perusahaan yang menerbitkan IPO. Firm Commitment Pada jenis penawaran ini, pihak underwriter akan memberikan jaminan bahwa seluruh saham akan habis terjual dengan harga yang sesuai dengan harga penawaran. Pihak underwriter akan membeli seluruh saham (pada harga yang sedikit di bawah harga penawaran), untuk kemudian dijual dengan harga yang sesuai dengan harga penawaran. Apabila saham tidak terjual habis, maka pihak underwriter akan mengalami kesulitan: saham yang tidak terjual harus dijual pada harga yang lebih rendah dan pihak underwriter harus menerima kerugian yang dialami. Auction IPOs Dengan sistem lelang ini, investor akan mengajukan penawaran terhadap saham dalam periode waktu tertentu. Harga yang ditentukan adalah harga ‘x’ dimana jumlah seluruh saham yang ditawar oleh investor pada harga ‘x’ dan lebih tinggi dari ‘x’ sama dengan jumlah
17
saham yang diterbitkan. Seluruh pemenang lelang akan membayar saham dengan harga ‘x’ tersebut walaupun pada saat lelang, mereka mengajukan harga yang lebih tinggi.
2.6
Initial Return Initial Return mengacu kepada harga IPO pada hari pertama transaksi terjadi.
Harga penutupan pada hari pertama akan menjadi patokan apakah investor akan membeli saham perusahaan tersebut. Apabila harga yang ditawarkan lebih rendah daripada harga penutupan pada hari pertama, maka IPO tersebut akan dinyatakan underpriced dan terdapat sejumlah uang yang tertinggal di meja (money is left on the table) untuk investor baru. Karena pemegang saham yang lama sepakat dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang seharusnya mereka dapatkan, maka “money left on the table” direpresentasikan sebagai peralihan kekayaan dari pemegang saham yang lama kepada pemegang saham yang baru.
Umumnya, jumlah uang yang tertinggal di meja sebesar dua kali lipat dari jumlah biaya langsung penjaminan, dan untuk kebanyakan perusahaan yang melakukan IPO, jumlahnya setara dengan keuntungan operasional dalam beberapa tahun.
18
Pada proses IPO, pihak penerbit saham ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari IPO. Semakin tinggi harga IPO, maka semakin banyak uang yang akan didapat penerbit saham. Akan tetapi semakin tinggi harga IPO, maka semakin sedikit return yang didapat investor, oleh karena itu investor hanya mau membeli dengan harga penawaran yang memberikan discount yang signifikan. Bagi pihak underwriter, semakin tinggi harga IPO, semakin besar upah yang mungkin akan mereka terima. Akan tetapi, apabila harga IPO terlalu tinggi, dan tidak ada investor yang tertarik untuk membeli, maka pihak underwriter yang harus membeli saham tersebut. Underwriter akan mengalam kerugian dan membahayakan reputasinya. Inilah kenapa IPO pada umumnya underpriced. Seha M. Tinic (1988) menjelaskan teori underpricing dikarenakan oleh beberapa alasan sebagai berikut : Risk-Averse-Underwriter Hypothesis Investment bankers dengan sengaja menawarkan harga di bawah harga pasar dengan tujuan untuk mengurangi resiko dan biaya dari underwriting (the underwriter risk avertions). Underwriter ingin mengurangi resiko akan penawaran yang tidak sukses dan menghindari kerugian.
19
Monopsony-Power Hypothesis Investment banker memiliki kekuatan mutlak (pembeli tunggal) dalam menerbitkan saham dari perusahaan kecil dan hal ini menyebabkan underpricing
(Ritter).
Kesimpulan
tersebut
berdasarkan
dari
pengamatan bahwa perusahaan investment banker yang besar dan memiliki reputasi umumnya tidak menerima untuk menerbitkan saham dari perusahaan yang kecil atau spekulatif atau perusahaan baru. Perusahaan seperti itu dianggap kurang diterima dalam hal investasi dan memiliki resiko yang terlalu besar. Investment banker karena komitmennya, harus membeli saham, karena kewajibannya untuk menjual seluruh saham. Oleh karena itu, untuk saham-saham seperti itu, investment banker akan menawarkan harga di bawah harga pasar. Speculative-Bubble Hypothesis Investor spekulatif yang tidak mendapatkan jatah untuk IPOyang kelebihan permintaan dari underwriter pada harga penawaran, akan membeli saham dari pasar dengan harga yang lebih tinggi, dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan di pasar sekunder. Walaupun harga penawaran suatu IPOkonsisten terhadap nilai ekonominya, namun investor yang spekulatif dapat mendorong harga mereka hingga lebih dari harga penawaran.
20
Symetric-Information Hypothesis Hipotesis ini, menurut model Baron, mengasumsikan bahwa investment bankers memiliki informasi yang lebih mengenai permintaan investor terhadap saham dibandingkan perusahaan yang ingin menjual saham dan investor. Reputasi dari investment bankers dapat menjamin kualitas dari IPO dan menghasilkan permintaan. Underwriter yang memiliki informasi lebih baik mengenai pasar modal menentukan harga penawaran karena pihak penerbit saham tidak mengetahui kondisi pasar dengan pasti dan tidak mengetahui keseimbangan harga dari sahamnya. Pihak menebus
investment
banker
atas
penerbit saham harus
informasi
tersebut
dengan
memberikan wewenang kepada investment banker untuk menawarkan saham dengan discount dari harga yang diharapkan. Kondisi ini memunculkan fenomena underpriced.
2.7 2.7.1
Laporan Keuangan Pengertian Laporan Keuangan Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2004), dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan, “Laporan Keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara seperti misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan
21
laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Di samping itu juga termasuk jadwal dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga.” Menurut Reimers (2007), laporan keuangan adalah sebuah hasil proses akuntansi yang dapat menginformasikan kinerja dari periode sebelumnya dan kondisi keuangan dari sebuah perusahaan.
2.7.2
Komponen Laporan Keuangan Berdasarkan pernyataan Ikatan Akuntansi Indonesia (2004), laporan keuangan
yang lengkap meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, catatan dan laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. 1. Neraca Pengertian neraca menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2002), adalah “Neraca merupakan pembagian lancar dengan tidak lancar dan jangka pendek dan jangka panjang. Perusahaan menyajikan aktiva lancar terpisah dari aktiva tidak lancar dan kewajiban jangka pendek terpisah dari kewajiban jangka panjang kecuali untuk industri tertentu yang diatur dalam SAK khusus. Aktiva lancar disajikan menurut urutan likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh temponya.”
22
Sedangkan menurut Berk dan DeMarzo (2007), neraca terbagi menjadi dua bagian, yaitu aset pada sebelah kiri dan kewajiban pada sebelah kanan. Aset pada sebelah kiri menggambarkan cara perusahaan dalam menggunakan modalnya, dan bagian sebelah kanan menunjukkan sumber dari modal tersebut, atau cara perusahaan mendapatkan dana ketika dibutuhkan. Assets = Liabilities + Stockholder’s Equity 2. Laporan Laba Rugi Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2002), “Laporan laba rugi perusahaan disajikan sedemikian rupa yang menonjolkan berbagai unsur kinerja keuangan yang diperlukan bagi penyajian secara wajar. Laporan laba rugi minimal mencangkup pos-pos berikut: 1) Pendapatan ; 2) Laba rugi usaha ; 3) Beban pinjaman ; 4) Bagian dari laba atau rugi perusahaan afiliasi dan asosiasi yang diperlakukan menggunakan metode ekuitas ; 5) Beban pajak ; 6) Laba atau rugi dari aktivitas normal perusahaan ; 7) Pos luar biasa ; 8) Hak minoritas ; dan 9) Laba atau rugi bersih periode berjalan.”
23
3. Laporan Perubahan Ekuitas Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2002), “Perubahan ekuitas perusahaan menggambarkan peningkatan atau penurunan aktiva bersih atau kekayaan selama periode bersangkutan berdasarkan prinsip pengukuran tertentu yang dianut dan harus diungkapkan dalam laporan keuangan. Laporan perubahan ekuitas, kecuali untuk perubahan yang berasal dari transaksi dengan pemegang saham seperti setoran modal dan pembayaran dividen, menggambarkan jumlah keuntungan dan kerugian yang berasal dari kegiatan perusahaan selama periode yang bersangkutan.” 4. Laporan Arus Kas Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2002), “Tujuan pernyataan ini adalah memberi informasi historis mengenai perubahan kas dan setara kas
dari
suatu
perusahaan
melalui
laporan
arus
kas
yang
mengklasifikasikan arus kas berdasarkan aktivitas operasi, investasi maupun pendanaan (financing) selama suatu periode akuntansi.” 5. Catatan Atas Laporan Keuangan Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2002), “Catatan keuangan atas laporan keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian jumlah yang tertera dalam neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas serta informasi tambahan seperti kewajiban kontijensi dan komitmen. Catatan atas laporan keuangan juga mencakup
informasi
yang
diharuskan
dan
dianjurkan
untuk
24
diungkapkan
dalam
pernyataan
PSAK
serta
pengungkapan-
pengungkapan lain yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar.”
2.8
Capital Expenditure Capital Expenditure adalah salah satu kebijakan yang penting dalam suatu
perusahaan. Pada perusahaan besar umumnya mereka tidak mengeluarkan biaya sewaktu-waktu (arbitrarily) sepanjang tahun. Biasanya, terdapat sebuah tim yang menyusun perencanaan untuk anggaran belanja pada setiap awal tahun. Bahkan, perusahaan yang baik dapat menyusun perencanaan untuk beberapa tahun ke depan, walaupun dapat dimodifikasi setiap tahun apabila diperlukan.Capital Expenditure dilakukan berdasarkan beberapa alasan antara lain: untuk ekspansi operasional perusahaan, untuk memperbaharui aktiva-aktiva tetap yang telah usang dan untuk keperluan lainnya seperti iklan, penelitian dan pengembangan, konsultan manajemen dan produk-produk baru (Syahrul S.E., Muhamad Afdi Nizar, SE, dan Ardiyos, 2000). Capital Expenditure dapat diartikan sebagai pengeluaran yang digunakan perusahaan untuk mendapatkan atau menyempurnakan aktiva modal, seperti bangunan dan peralatan. Atau pengeluaran yang dilakukan perusahaan yang diharapkan dapat menghasilkan manfaat selama periode waktu lebih dari satu tahun (Syahrul S.E., Muhamad Afdi Nizar, SE, dan Ardiyos, 2000).
25
Griner dan Gordon (1995) mengatakan, “capital expenditure represents the amount of fund disbursed by management to acquire property, plant and equipment.” Berdasarkan definisi yang dinyatakan oleh Griner dan Gordon, secara matematis untuk menghitung capital expenditure menggunakan persamaan sebagai berikut: Capexit = TFAt – TFAt-1 Dimana: Capex = Capital Expanditure dari perusahaan (i) untuk periode (t) TFAt = Total Aktiva Tetap pada periode (t) TFAt-1 = Total Aktiva Tetap pada periode (t-1) Berdasarkan pengertian capital expenditure menurut Griner dan Gordon, total aktiva tetap yang digunakan adalah aktiva tetap setelah dikurangi dengan akumulasi depresiasi.
2.9
Ukuran Perusahaan Dalaam menentukan besar kecilnya / ukuran suatu perusahaan dapat
direpresentasikan melalui total aset dari perusahaan tersebut. Total aset yang dimaksud adalah jumlah keseluruhan aset perusahaan selama tahun buku yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, total aset digunakan sebagai ukuran perusahaan yaitu seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan yang terdiri dari aktiva lancar dan aktiva tetap. Ukuran perusahaan dalam bentuk jumlah aset umumnya menunjukkan nilai yang besar, sehingga dalam suatu model penelitian bilangan tersebut biasanya dilogaritmakan.
26
Dalam mengukur besar kecilnya perusahaan seringkali terjadi size effect. Size effect adalah suatu anomali pasar dimana saham perusahaan kecil justru menghasilkan return yang lebih tinggi daripada perusahaan besar.
2.10 Suku Bunga Menurut Bank Indonesia, suku bunga adalah beban biaya yang dinyatakan dengan persentase tertentu dalam rangka peminjaman uang untuk jangka waktu tertentu. Suku bunga merupakan biaya kredit bank kepada nasabah (interest rate).