BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kinerja Keuangan 2.1.1 Definisi Penilaian Kinerja Keuangan Penilaian kinerja menurut Mulyadi (1997) adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Karena organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia maka penilaian kinerja sesungguhnya merupakan penilaian atas prilaku manusia dalam melaksanakan peran yang mereka mainkan dalam organisasi. Sedangkan pengertian kinerja keuangan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba (Sucipto, 2003). 2.1.2 Tujuan Penilaian Kinerja Keuangan Dalam mengukur kinerja keuangan perlu dikaitkan antara organisasi perusahaan dengan pusat pertanggungjawaban. Dalam melihat organisasi perusahaan dapat diketahui besarnya tanggungjawab manajer yang diwujudkan dalam bentuk prestasi kerja keuangan. Namun demikian mengatur besarnya tanggungjawab sekaligus mengukur prestasi keuangan tidaklah mudah sebab ada yang dapat diukur dengan mudah dan ada pula yang sukar untuk diukur.
10
11
Berkaitan dengan analisis kinerja keuangan mengandung beberapa tujuan (Jumingan, 2009, p239): a.
Untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan keuangan perusahaan terutama kondisi likuiditas, kecukupan modal dan profitabilitas yang di capai dalam tahun berjalan maupun tahun sebelumnya.
b.
Untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan semua aset yang dimiliki dalam menghasilkan profit secara efisien.
2.2 Laporan Keuangan 2.2.1 Definisi Laporan Keuangan Laporan keuangan pada dasarnya merupakan hasil refleksi dari sekian banyak transaksi yang terjadi dalam suatu perusahaan. Transaksi dan peristiwa yang bersifat finansial dicatat, digolongkan, dan diringkaskan dengan cara setepattepatnya dengan satuan uang, dan kemudian diadakan penafsiran untuk berbagai tujuan. Berbagai tindakan tersebut tidak lain adalah proses akuntansi yang pada hakikatnya merupakan seni pencatatan, penggolongan, dan peringkasan transaksi dan peristiwa, yang setidak-tidaknya sebagian bersifat finansial, dalam cara yang tepat dan dalam bentuk rupiah, dan penafsiran akan hasil-hasilnya. Laporan keuangan merupakan hasil tindakan pembuatan ringkasan data keuangan perusahaan. Laporan keuangan ini disusun dan ditafsirkan untuk kepentingan manajemen dan pihak lain yang menaruh perhatian atau mempunyai kepentingan dengan data keuangan perusahaan (Jumingan, 2009, p4).
12
2.2.2 Jenis-Jenis Laporan Keuangan Setelah transaksi dicatat dan diikhtisarkan, maka disiapkan laporan bagi pemakai. Laporan akuntasi yang menghasilkan informasi demikian disebut laporan keuangan. Laporan keuangan yang utama bagi perusahaan perorangan adalah laporan laba rugi, laporan ekuitas pemilik, neraca dan laporan arus kas. Urutan-urutan penyusunan dan sifat data yang terdapat dalam laporan-laporan tersebut adalah sebagai berikut (Warren, 2005, p24): a. Laporan laba rugi Suatu ikhtisar pendapatan dan beban selama periode waktu tertentu, misalnya sebulan atau setahun berdasarkan konsep penandingan atau pengaitan. Konsep ini diterapkan dengan menandingkan atau mengaitkan beban dengan pendapatan yang dihasilkan selama periode terjadinya beban tersebut. Laporan laba rugi juga melaporkan kelebihan pendapatan terhadap bebanbeban yang terjadi. Kelebihan ini disebut laba bersih atau keuntungan bersih. Jika beban melebihi pendapatan, maka disebut rugi bersih. b. Laporan ekuitas pemilik Suatu ikhtisar perubahan ekuitas pemilik yang terjadi selama periode waktu tertentu, misalnya sebulan atau setahun. Laporan tersebut dipersiapkan setelah laporan laba rugi, karena laba bersih atau rugi bersih periode berjalan harus dilaporkan dalam laporan ini. Demikian juga, laporan ekuitas pemilik dibuat sebelum mempersiapkan neraca, karena jumlah ekuitas pemilik pada akhir periode harus dilaporkan di neraca. Oleh karena itu, laporan ekuitas
13
pemilik sering kali dipandang sebagai penghubung antara laporan laba rugi dan neraca. c. Neraca Suatu daftar aktiva, kewajiban, dan ekuitas pemilik pada tanggal tertentu, biasanya pada akhir bulan atau akhir tahun. Bentuk akun merupakan bentuk neraca dimana aktiva ditempatkan di sebelah kiri dan kewajiban ekuitas di sebelah kanan. Bentuk lain dari neraca adalah bentuk laporan, yang menempatkan kewajiban dan ekuitas pemilik di bawah aktiva. d. Laporan arus kas Suatu ikhtisar penerimaan kas dan pembayaran kas selama periode waktu tertentu, misalnya sebulan atau setahun. Laporan arus kas terdiri dari tiga bagian : (1) aktivitas operasi, (2) aktivitas investasi, (3) aktivitas pendanaan. 2.2.3 Keterbatasan Laporan Keuangan Empat keterbatasan laporan keuangan adalah sebagai berikut (Jumingan, 2009, p10): a. Laporan keuangan pada dasarnya merupakan laporan antara (interim report), bukan merupakan laporan final, karena laba-rugi riil (laba-rugi final) hanya dapat ditentukan bila perusahaan dijual atau dilikuidasi. Karena alasan tersebut laporan keuangan perlu disusun untuk periode waktu tertentu. Jadi, jelaslah bahwa sebenarnya data laporan keuangan itu tidak bersifat pasti, tidak dapat diukur secara mutlak diteliti, kekurang pastian ini antara lain diakibatkan adanya contingent assets, contingent liabilities, dan deferred maintenance.
14
b. Laporan keuangan ditunjukkan dalam sejumlah rupiah yang tampaknya pasti. Sebenarnya jumlah rupiah ini dapat saja berbeda bila dipergunakan standar lain (karena adanya lebih dari satu standar yang diperkenalkan). Apalagi bila dibandingkan
dengan
laporan
keuangan
seandainya
perusahaan
itu
dilikuidasi, jumlah rupiahnya dapat sangat berbeda. c. Neraca dan laporan laba-rugi mencerminkan transaksi-transaksi keuangan dari waktu ke waktu. Selama jangka waktu itu mungkin nilai rupiah sudah menurun (daya beli rupiah menurun karena kenaikan tingkat harga-harga). Oleh karena itu, untuk menghindari adanya analisis yang menyesatkan, analisi perbandingan harus dilakukan dengan hati-hati. d. Laporan keuangan tidak memberikan gambaran yang lengkap mengenai keadaan perusahaan. Laporan keuangan tidak mencerminkan semua faktor yang mempengaruhi kondisi keuangan dan hasil usaha karena tidak semua faktor dapat diukur dalam satuan uang.
2.3 Analisis Rasio 2.3.1 Definisi Analisis Rasio Keuangan Rasio dalam analisis laporan keuangan adalah angka yang menunjukan hubungan antara suatu unsur dengan unsur lainnya dalam laporan keuangan. Hubungan antara unsur-unsur laporan keuangan tersebut dinyatakan dalam bentuk matematis yang sederhana. Secara individual rasio itu kecil artinya, kecuali jika dibandingkan dengan suatu rasio standar yang dipakai sebagai dasar pembanding, dari penafsiran rasio-rasio suatu perusahaan, penganalisis tidak
15
dapat menyimpulkan apakah rasio-rasio itu menunjukan kondisi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan (Jumingan, 2009, p118). Analisis rasio keuangan merupakan peralatan untuk memahami laporan keuangan (khususnya neraca dan laba-rugi). Penting disadari bahwa analisis rasio bukanlah poses mekanis membagi suatu pos dengan pos lain (Mardiyanto, 2009, p51). 2.3.2 Rasio Keuangan dan Pengertiannya 2.3.2.1 Rasio Likuiditas Rasio lancar (current ratio)=
Aktiva lancar Hutang lancar
Menunjukkan kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka pendeknya dari aktiva lancarnya. Rasio ini dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan kewajiban jangka pendek. Rasio ini sering pula disebut rasio modal kerja (working capital ratio) karena modal kerja merupakan kelebihan aktiva lancar di atas hutang lancar. Kreditor jangka pendek sangat peduli dengan rasio lancar ini karena konversi persediaan dan piutang dagang menjadi kas merupakan sumber pokok darinya perusahaan dapat mendulang kas untuk membayar kreditor jangka pendek. Dari sudut pandang kreditor jangka pendek, semakin tinggi rasio lancar perusahaan maka semakin besar pula perlindungannya. Walaupun begitu, perusahaan gampang mempunyai rasio lancar yang tinggi. Rasio lancar yang terlalu tinggi biasanya diakibatkan
16
oleh dimilikinya aktiva lancar yang tidak diperlukan, yang tidak memberikan pendapatan, jumlah dana yang sangat banyak yang terbenam dalam bentuk piutang dagang yang mungkin terbukti tidak tertagih, atau dalam persediaan yang mengandung banyak jenis persediaan yang sudah usang atau lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan normal perusahaan. Rasio lancar sebesar 2 sudah dianggap memuaskan, tetapi perlu dipertimbangkan beberapa faktor antaralain: praktik yang berlaku dalam industri, lamanya siklus operasi perusahaan, dan bauran aktiva lancar perusahaan. Rasio lancar yang terlalu tinggi dalam perusahaan serupa dalam industri yang sama dapat mengindikasikan pengelolaan aktiva lancar yang tidak efisien. Bauran aktiva lancar adalah proporsi berbagai unsur yang membentuk aktiva lancar. Bauran ini akan berdampak pada seberapa cepat aktiva lancar dapat dikonversikan menjadi kas (Gamayuni, 2006, p18).
Rasio cepat (quick ratio/acid test ratio) =
Aktiva lancar – Persediaan Hutang lancar
Rasio cepat menunjukkan kemampuan perusahaan melunasi kewajiban jangka pendeknya dari aktiva cepatnya. Aktiva cepat adalah aktiva yang dapat segera dikonversikan menjadi kas. Rasio ini dihitung dengan membagi jumlah kas, surat berharga, dan piutang dagang bersih dengan kewajiban jangka pendeknya. Rasio cepat merupakan pelengkap penting untuk rasio lancar. Banyak kreditor yang lebih menyukai rasio cepat daripada rasio lancar sebagai ukuran solvensi jangka pendek perusahaan karena rasio cepat tidak
17
menyertakan persediaan dan beban dibayar di muka sebagai dasar aktiva lancarnya, karena persediaan dan beban dibayar di muka merupakan aktiva lancar yang paling tidak likuid (Gamayuni, 2006, p18). Rasio kas (cash ratio) =
Kas + surat berharga jangka pendek Hutang lancar
Jika piutang usaha dinilai akan sulit tertagih, komponen aktiva lancar yang benar-benar siap dicairkan hanyalah kas dan surat berharga jangka pendek. Jadi, rasio kas mengukur likuiditas dari aktiva lancar yang pasti dapat dicairkan menjadi kas. Bilamana persediaan diperkirakan lama terjual dan piutang lama tertagih, kita sebaiknya menggunakan rasio kas sebagai pengukur likuiditas, bukan rasio lancar atau rasio cepat (Mardiyanto, 2009, p56). 2.3.2.2 Rasio Aktivitas atau Aktiva Perputaran persediaan ( inventory turn over) =
Harga pokok penjualan Hutang lancar
Rumus awal dari perputaran persediaan sebenarnya adalah penjualan dibagi persediaan. Akan tetapi, dewasa ini lebih banyak dipakai rumus perputaran persediaan sebagaimana disajikan. Alasannya, harga pokok dan pesediaan sama-sama diukur dengan harga perolehan, sedangkan penjualan diukur dengan harga pasar. Ini berarti, kalau pembilangnya adalah penjualan, akan terjadi ketidaksepadanan pengukuran antara penjualan dan persediaan (Mardiyanto, 2009, p56).
18
Perputaran aktiva tetap (fixed assets turnover) =
Penjualan Aktiva tetap
Perputaran aktiva tetap yang makin meningkat menunjukan bahwa aktiva tetap perusahaan makin produktif dalam menghasilkan pendapatan (penjualan) (Mardiyanto, 2009, p58). 2.3.2.3 Rasio-Rasio Hutang atau Solvabilitas Rasio hutang (debt ratio) =
Total hutang Total aktiva
Debt to equity ratio melihat struktur keuangan perusahaan dengan mengaitkan jumlah kewajiban dengan jumlah ekuitas pemilik. Rasio ini mengindikasikan sejauh mana perusahaan dapat menanggung kerugian tanpa harus membahayakan kepentingan kreditornya. Dari sudut pandang kreditor, jumlah ekuitas dalam struktur permodalan perusahaan dapat dianggap sebagai katalisator, membantu memastikan bahwa terdapat aset yang memadai untuk menutup klaim pihak lain. Rasio yang tinggi dapat mengindikasikan bahwa klaim pihak lain relatif lebih besar ketimbang aset yang tersedia untuk menutupnya, meningkatkan resiko bahwa klaim kreditor kemungkinan tidak akan tertutup secara penuh bilamana terjadi likuidasi (Gamayuni, 2006, p20). Rasio kemampuan membayar bunga (time interest earned) =
EBIT Beban Bunga
19
Makin besar EBIT terhadap beban bunga makin meningkat time interest earned. Perusahaan dengan demikian semakin mampu membayar beban bunganya. Menurunnya time interest earned merupakan pertanda makin rendahnya kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya (Mardiyanto, 2009, p58). 2.3.4.4 Rasio-rasio Profitabilitas Rasio marjin laba merupakan suatu ukuran persentase dari setiap rupiah penjualan yang menghasilkan laba bersih (net income). Hubungan laba bersih dengan penjualan bersih kerap dipakai untuk mengevaluasi efisiensi perusahaan dalam mengendalikan biaya dan beban yang berkaitan dengan penjualan. Kelemahan rasio ini adalah bahwa rasio ini tidak mempertimbangkan investasi (jumlah aset atau ekuitas pemegang saham) yang diperlukan untuk menghasilkan penjualan dan laba, berikut adalah rumus profit margin (Gamayuni, 2006, p19): Rasio margin laba (profit margin) =
Laba bersih Penjualan
Rasio imbalan aktiva mengukur keberhasilan perusahaan dalam menggunakan aktivanya untuk menghasilkan laba. Tingkat imbal hasil atas total aktiva dihitung dengan rumus: Tingkat pengembalian atas total aktiva (return on asset) =
Laba bersih Total aktiva
20
Rasio ini merupakan ukuran yang berfaedah jika seseorang ingin mengevaluasi seberapa baik perusahaan telah memakai dananya, tanpa memperhatikan besaran relatif sumber dana tersebut (kreditor jangka pendek, kreditor jangka panjang, pemegang saham, pemegang obligasi). Rasio ini sering digunakan majemen puncak untuk mengevaluasi unit-unit bisnis dalam suatu perusahaan multidivisional (Gamayuni, 2006, p19). Tingkat pengembalian atas total ekuitas (return on equity) =
Laba bersih Total ekuitas
Return on equity (ROE) merupakan salah satu alat yang paling sering digunakan oleh investor dalam menilai suatu saham. ROE dihasilkan dari pembagian laba dengan ekuitas selama setahun terakhir. Pemahaman ROE dapat memberikan gambaran tiga hal, yaitu (1) kemampuan perusahaan menghasilkan laba (profitability); (2) efisiensi perusahaan dalam mengelola aset (assets management); (3) utang yang terpakai dalam melakukan usaha (financial leverage). Semakin besar profitabilitas yang diperoleh maka semakin besar pula dana yang tersedia bagi pemegang saham. Dengan demikian, dengan meningkatnya ROE, besar kemungkinan perusahaan akan membayarkan dividen lebih tinggi sehingga mempunyai risiko lebih kecil (Daito, 2005, p41). 2.3.2.5 Rasio-Rasio Nilai Pasar Rasio harga/laba (price earning ratio) =
Harga saham biasa per lembar Laba per lembar
21
Makin tinggi price earning ratio, makin mahal harga saham suatu perusahaan (relatif terhadap laba per lembarannya). Kendati disuatu sisi tingginya harga saham menunjukan tingginya nilai saham dimata investor, tetapi saham dengan price earning ratio yang tinggi umumnya dihindari para calon pembeli saham. Sebab, saham seperti itu cenderung menurun harganya dalam waktu dekat. Rasio nilai pasar/nilai buku (market book ratio) =
Harga saham biasa per lembar Nilai buku saham biasa per lembar
Perbedaan market book ratio dengan price earning ratio hanya terletak pada penyebut yang digunakan. market book ratio mengukur harga saham relatif terhadap nilai buku ekuitasnya (saham biasa) (Mardiyanto, 2009, p63).
2.4 Economic Value Added 2.4.1 Pengertian Economic Value Added (EVA) EVA merupakan modifikasi residual income. Stewart (1990) berusaha memeperbaiki residual income dengan melakukan penyesuaian atas NOPAT dan capital, yang menurut mereka menyebabkan distorsi dalam model akuntansi untuk pengukuran kinerja. Adapun beberapa pengertian EVA menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
22
1. Stewart (2010) Economic Value Added merupakan sebuah ukuran laba ekonomis yang dapat ditentukan dari selisih antara Laba Bersih Operasional Setelah Pajak (Net Operating Profit After Tax) dengan biaya Modal. Biaya modal ini ditentukan melalui biaya rata-rata tertimbang dari Hutang dan Ekuitas (Weighted Average Cost of Debt and Equity Capital – “WACC") dan jumlah dari modal yang digunakan. 2. Brealey (2002, p93) EVA adalah ukuran kinerja perusahaan yang lebih baik daripada laba akuntansi. 3. Brigham (2009, p69) EVA adalah suatu estimasi dari laba ekonomis yang sebenarnya dari bisnis untuk tahun yang bersangkutan, dan sangat jauh berbeda dari laba akuntansi. 4. Pradhono ( 2004, p144) EVA adalah ukuran kinerja keuangan yang paling baik untuk menjelaskan economic profit sutau perusahaan, dibandingkan dengan ukuran yang lain. EVA juga merupakan ukuran kinerja yang berkaitan langsung dengan kemakmuran pemegang saham sepanjang waktu. Berdasarkan definisi EVA yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa EVA merupakan tujuan perusahaan untuk meningkatkan nilai (value) dari modal (capital) yang investor dan pemegang saham telah tanamkan
23
dalam operasi usaha. EVA merupakan selisih dari laba operasi bersih setelah pajak dikurangi biaya modal. 2.4.2 Interpretasi Perhitungan EVA Cara menghitung EVA adalah seperti di bawah ini (Young, 2001, p34) : Net Sales -
Operating expenses_______________________________
=
Operating profit ( earnings before interest and tax (EBIT))
-
Taxes__________________________________________
=
Net operating profit after tax (NOPAT)
-
Capital charges (invested capital x cost of capital)_______
=
EVA
Dari perhitungan akan diperoleh kesimpulan dengan interpretasi hasil sebagai berikut: -
Jika EVA > 0 hal ini menunjukkan terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan.
-
Jika EVA < 0 hal ini menunjukkan tidak terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan.
-
Jika EVA = 0 hal ini menunjukkan posisi impas karena laba telah digunakan untuk membayar kewajiban kepada penyandang dana baik kreditur maupun pemegang saham.
24
2.4.2.1 Net Operating Profit After Taxes (NOPAT) Jika dua perusahaan memiliki jumlah hutang yang berbeda, dan akibatnya beban bunga yang berbeda, mereka masih dapat memiliki kinerja operasi yang sama tetapi dengan laba bersih yang berbeda, perusahaan yang memiliki lebih banyak hutang akan memiliki laba bersih yang lebih rendah. Laba bersih sudah pasti merupakan sesuatu yang penting, tetapi laba bersih tidaklah selalu mencerminkan kinerja yang sebenarnya dari operasi sebuah perusahaan atau ke efektifan dari para manajer operasi dan karyawannya. Ukuran yang lebih baik untuk membandingkan kinerja diantara para manajer adalah Laba operasi bersih setelah pajak. Dimana laba operasi bersih setelah pajak (NOPAT) adalah laba yang akan dihasilkan oleh sebuah perusahaan jika perusahaan tidak memiliki hutang maupun aktiva non-operasi (Brigham, 2009, p64). 2.4.2.2 Cost of Capital Biaya modal atau cost of capital adalah tingkat pengembalian minimum yang diharapkan oleh pemegang saham (pemilik) perusahaan dalam investasinya. Untuk praktisi bidang keuangan, istilah cost of capital ini digunakan (Utomo, 1999): 1. sebagai tarif diskonto (discount rate) untuk membawa arus kas masa mendatang suatu project ke nilai sekarang (present value) 2. sebagai tarif minimum yang diinginkan untuk menerima project baru
25
3. sebagai biaya modal (capital charge) dalam perhitungan economic value added 4. sebagai bandingan (benchmark) untuk menaksir tarif biaya pada modal yang digunakan Cost of capital sangat dipengaruhi oleh hubungan antara risiko (risk) dan tingkat pengembalian (return), dimana semakin besar risiko yang ditanggung oleh investor semakin tinggi pula tingkat pengembalian yang dikehendaki sebelum nilai tambah dapat diciptakan dan semakin tinggi biaya modal yang timbul. 2.4.2.3 Cost of Equity Cost of equity adalah tingkat pengembalian yang dikehendaki investor karena adanya ketidakpastian tingkat laba. Kewajiban membayar bunga dan pokok hutang membuat laba bersih perusahaan lebih bervariasi (naik turun) daripada laba operasi, dan sehingga menyebabkan timbulnya tambahan risiko. Jadi biaya ekuitas ini mencakup adanya risiko bisnis (business risk) dan risiko finansial (financial risk). Business risk adalah risiko yang berhubungan dengan tidak stabilnya laba atau profit, sedangkan financial risk adalah risiko kesulitan finansial dalam hal pembayaran biaya bunga dan pokok pada hutang (Utomo, 1999). Biaya ekuitas bisa dihitung dengan menggunakan capital asset pricing model (CAPM), build up model, ataupun arbitrage pricing model (APM) (Pardhono, 2004, p145).
26
Dimana terdapat tiga asumsi utama yang menggaris bawahi CAPM, yaitu (Berk, 2007, p364): 1. Investor dapat membeli dan menjual semua sekuritas pada harga pasar yang kompetitif (tanpa terkena pajak atau biaya transaksi) dan dapat meminjam dan meminjamkan pada tingkat bunga bebas resiko. 2.
Investor hanya memiliki portofolio yang efisien yang diperdagangkan pada sekuritas-portofolio yang diharapkan menghasilkan keuntungan maksimum pada tingkat volatilitas.
3. Investor memiliki harapan yang homogen mengenai volatilitas, korelasi, dan efek pengembalian yang diharapkan. 2.4.2.4 Cost of Debt Biaya hutang (cost of debt) adalah tingkat pengembalian yang dikehendaki karena adanya risiko kredit (credit risk), yaitu risiko perusahaan dalam memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan pokok hutang. Dengan kata lain, cost of debt adalah tarif yang dibayar perusahaan untuk memperoleh tambahan hutang baru jangka panjang di pasar sekarang (Utomo, 1999). Biaya hutang setelah pajak digunakan untuk menghitung biaya ratarata tertimbang modal, dan hal itu merupakan tingkat bunga atas hutang, kd, dikurangi dengan penghematan pajak yang timbul karena pembayaran bunga (bunga deductible dalam perhitungan pajak). Jumlah ini sama
27
dengan kd dikali dengan (1-T), dimana T adalah tarif pajak marjinal dari perusahaan (Brigham, 1994, p106). 2.4.2.5 Weighted Average Cost of Capital (WACC) WACC adalah biaya ekuitas dan biaya hutang masing-masing dikalikan dengan persentase ekuitas dan hutang dalam struktur modal perusahaan. Karena biaya bunga (interest) dapat dikurangkan dari penghasilan dalam rangka menentukan pendapatan kena pajak (interest on debt is tax deductible), maka cost of debt dalam perhitungan WACC adalah after-tax cost of debt (Utomo, 1999) Dalam praktek, pembiayaan atau pendanaan yang digunakan perusahaan diperoleh dari berbagai sumber. Dengan demikian biaya riil yang ditanggung oleh perusahaan merupakan keseluruhan biaya untuk semua sumber pembiayaan yang digunakan (Brigham, 1994, p116). Ada pun berdasarkan Brealey (2008, p360) WACC atau biaya rata-rata tertimbang adalah ekspektasi tingkat pengembalian atas portofolio semua sekuritas perusahaan yang disesuaikan dengan penghematan pajak karena pembayaran bunga. 2.4.3 Keunggulan dan Kelemahan EVA Salah satu keunggulan EVA sebagai penilai kinerja perusahaan adalah dapat digunakan sebagai penciptaan nilai (value creation). Keunggulan EVA yang lain adalah (Iramani, 2005):
28
1. EVA
memfokuskan
penilaian
pada
nilai
tambah
dengan
memperhitungkan beban sebagai konsekuensi investasi. 2. Konsep EVA adalah alat perusahaan dalam mengukur harapan yang dilihat dari segi ekonomis dalam pengukurannya yaitu dengan memperhatikan harapan para penyandang dana secara adil dimana derajat keadilan dinyatakan dengan ukuran tertimbang dari struktur modal yang ada dan berpedoman pada nilai pasar dan bukan pada nilai buku. 3. Perhitungan EVA dapat dipergunakan secara mandiri tanpa memerlukan data pembanding seperti standar industri atau data perusahaan lain sebagai konsep penilaian. 4. Konsep EVA dapat digunakan sebagai dasar penilaian pemberian bonus pada karyawan terutama pada divisi yang memberikan EVA lebih sehingga dapat dikatakan bahwa EVA menjalankan stakeholders satisfaction concepts. 5. Pengaplikasian EVA yang mudah menunjukan bahwa konsep tersebut merupakan ukuran praktis, mudah dihitung, dan mudah digunakan sehingga merupakan salah satu bahan pertimbangan dalam mempercepat pengambilan keputusan bisnis. Selain berbagai keunggulan, konsep EVA juga memiliki kelemahankelemahan, antara lain: 1.
EVA hanya mengukur hasil akhir (result), konsep ini tidak mengukur aktivitas-aktivitas penentu.
29
2.
EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa investor sangat mengandalkan pendekatan fundamental dalam mengkaji dan mengambil keputusan untuk menujual atau membeli saham tertentu padahal factor-faktor lain terkdang justru lebih dominan.
2.4.4 Hubungan EVA dengan keputusan manajemen keuangan Pada gambar 2.1 diadaptasi dari Jaringan Nilai Pemegang Saham Rappaport,
menunjukkan
hubungan
antara
EVA,
dihitung
dengan
menggunakan value driver dan jenis utama dari keputusan yang dapat diambil di perusahaan (Sandias, 2002).
Sumber : Sandias, 2002 Gambar 2.1 Pengambilan keputusan dalam EVA Dengan definisi ini EVA sulit untuk menentukan apa penciptaan nilai dalam periode disebabkan oleh, dan, yang lebih penting, siapa yang bertanggung jawab dan harus dihargai. Ekspresi EVA menunjukkan bahwa
30
perusahaan memiliki alternatif untuk meningkatkan nilai adalah sebagai berikut: 1.
Untuk meningkatkan laba operasional bersih, yaitu, untuk meningkatkan efisiensi dalam penggunaan aset dan, karena itu, sumber daya yang tersedia. Dengan kata lain, untuk meningkatkan NPV dari proyek berlangsung. Opsi ini akan meningkatkan net laba operasional dengan tetap menjaga biaya sumber daya yang konstan dan akan pada dasarnya merupakan hasil dari keputusan operasi.
2.
Untuk mengurangi sumber daya total tanpa membahayakan laba operasional bersih, Oleh karena itu dijual aset yang tidak berguna, sehingga meningkatkan NPV dari proyek yang sedang mereka kerjakan. Pilihan ini akan menyimpan laba bersih operasional konstan tetapi akan mengurangi biaya sumber daya. Hal ini akan melibatkan keputusan investasi, khususnya sebuah divestasi.
3.
Untuk mengurangi biaya pembiayaan sehingga tingkat diskonto yang secara implisit berarti peningkatan pada NPV. Pengurangan ini disebabkan
oleh kenaikan volume hutang, yang merupakan sumber
daya "murah" dan memiliki keuntungan pajak, tetapi
juga secara
bersamaan membawa peningkatan di dalam risiko keuangan, dimana pada hutang tingkat tinggi juga dapat menimbulkan peningkatan terhadap biaya rata-rata yang lebih tinggi. Seperti pilihan sebelumnya, pilihan ini membuat laba operasional bersih konstan dan pada tingkat
31
tertentu dari hutang mengurangi biaya sumber daya. Namun demikian, ini adalah murni keputusan keuangan. 4.
Akhirnya, beberapa alternatif yang tetap sulit untuk mengklasifikasikan dan yang mewakili dua sisi mata uang yang sama. Ini adalah sebagai berikut: -
Peningkatan laba operasional bersih dengan menempatkan ke tempat investasi baru
yang meningkatkan total sumber daya dan tingkat
pengembalian yang lebih besar untuk biaya pembiayaan, yaitu, untuk melaksanakan proyek-proyek baru dengan NPV yang positif. -
Mengurangi total sumber daya oleh penurunan biaya pembiayaan yang lebih besar terhadap penurunan yang berakibat terhadap laba bersih, yaitu penjualan aset yang meskipun mereka dapat menghasilkan laba tidak cukup menghasilkan keuntungan untuk membenarkan kehadiran mereka di perusahaan, dan dengan demikian NPV incrementing. Ini berarti meringankan aset perusahaan tersebut yang tidak memberikan kontribusi yang efektif bagi generasi dari nilai.
32
2.5 Market Value Added Market Value Added mengukur perbedaan antara nilai pasar dari suatu perusahaan (Hutang dan Ekuitas) dengan jumlah Modal yang diinvestasikan. Secara ekuivalen, MVA sama dengan present value dari EVA yang diharapkan di masa datang. Perusahaan yang bertransaksi pada harga premium atas modal yang diinvestasikan memiliki MVA positif, sedangkan perusahaan yang bertransaksi di bawah Modal yang diinvestasikan memiliki MVA negatif (Stewart, 2010). Menurut Stern dan Shiely (2001), untuk menentukan nilai pasar, ekuitas diambil di harga pasar pada tanggal perhitungan dibuat, dan hutang sebesar nilai buku. Total investasi di perusahaan karena satu hari kemudian dihitung sebagai hutang berbunga dan ekuitas, termasuk laba ditahan. nilai pasar sekarang ini kemudian dibandingkan dengan total investasi. Jika jumlah yang sebelumnya lebih besar dari yang pertama, perusahaan telah menciptakan kekayaan. MVA adalah pengukuran nilai kumulatif yang diciptakan oleh manajemen untuk mengukur kelebihan modal yang diinvestasikan (Ramana, 2005). Adapun rumus dari MVA adalah sebagai berikut (Young, 2001, p29): MVA = market value – invested capital MVA identik dengan makna market-to-book ratio. Perbedaannya hanya bahwa MVA merupakan ukuran mutlak dan market-to-book ratio adalah ukuran relatif. Jika MVA positif yang berarti bahwa market-to-book ratio lebih dari satu. MVA Negatif berarti market-to-book ratio kurang dari satu. Apakah sebuah perusahaan memiliki MVA positif atau negatif tergantung pada tingkat pengembalian
33
dibandingkan dengan biaya modal. Semua ini berlaku untuk EVA juga. Jadi EVA positif berarti juga MVA positif dan sebaliknya. Tapi, MVA bukan metrik kinerja seperti EVA, melainkan merupakan metrik kekayaan, mengukur tingkat nilai perusahaan yang telah diakumulasi dari waktu ke waktu (Shil, 2009, 171).
2.6 Financial Value Added 2.6.1 Pengertian Financial Value Added (FVA) Financial Economic Value Added atau lebih singkat disebut Financial value Added (FVA) merupakan metode baru dalam mengukur kinerja dan nilai tambah keuangan. Financial Value Added adalah selisih antara laba operasi setelah pajak (NOPAT) dengan equivalent depreciation yang telah dikurangi dengan penyusutan. Hasil perhitungan FVA yang positif menunjukan bahwa keuntungan bersih dan penyusutan dapat menutupi equivalent depreciation. Jika hal ini terjadi maka perusahaan akan dapat meningkatkan pengembalian atas modal yang telah ditanamkan di dalam perusahaan sehingga akan dapat meningkatkan kekayaan pemegang sahamnya. Metode ini mempertimbangkan kontribusi dari fixed asset dalam menghasilkan keuntungan bersih perusahaan (Iramani, 2005). 2.6.2 Interpretasi Perhitungan FVA Interpretasi dari hasil pengukuran FVA dapat dijelaskan sebagai berikut (Iramani, 2005):
34
-
Jika FVA > 0 hal ini menunjukkan terjadi nilai tambah finansial bagi perusahaan.
-
Jika FVA < 0 hal ini menunjukkan tidak terjadi nilai tambah finansial bagi perusahaan.
-
Jika FVA = 0 hal ini menunjukkan posisi impas. 2.6.2.1 Equivalent Depreciation Dalam situasi ketika perusahaan menginvestasi ulang semua penyusutan dan dalam horizon waktu yang tak terbatas, maka Equivalent Depreciation hanya akan menjadi interest (k x TR).
Equivalent
depreciation dikurangi depresiasi adalah kontribusi dari fixed assets dan merupakan akibat pembiyaan yang tidak termasuk dalam proses akuntansi dari penyusutan (Sandias, 2002). 2.6.2.2 Depresiasi Ketika sebuah perusahaan membeli suatu aktiva dengan usia lebih lama dari satu tahun, untuk kepentingan pelaporan kepada pemegang saham dan internal manajemen perusahaan ini biasanya akan menyusutkan aktiva tersebut selama waktu dimana aktiva tersebut akan digunakan. Umumnya, perusahaan akan mengestimasikan kemungkinan tahun penggunaan secara aktual, membagi biaya dengan jumlah tahun, dan membebankan nilai yang diperhitungkan sebagai biaya dalam laporan laba rugi setiap tahunnya. Akan tetapi kongres memperbolehkan perusahaan menggunakan metode perhitungan depresiasi yang berbeda untuk tujuan
35
pajak. Depresiasi bukanlah suatu beban kas, sehingga beban depresiasi yang lebih tinggi tidak akan memiliki efek yang merugikan pada arus kas. Namun, depresiasi yang lebih tinggi akan menurunkan jumlah pajak dan akibatnya meningkatkan arus kas (Brigham, 2009, p74). 2.6.3 Keunggulan dan Kelemahan FVA Kelebihan FVA dibanding EVA adalah (Iramani, 2005): 1. Jika ditilik ulang konsep NOPATD, FVA melalui defenisi equivalent depreciation mengintegrasikan seluruh kontribusi aset bagi kinerja perusahaan, demikian juga opportunity cost bagi pembiayaan perusahaan. Kontribusi ini konstan selama umur proyek investasi. 2. FVA secara jelas mengakomodasikan kontribusi konsep value growth duration (durasi proses penciptaan nilai) sebagai unsur penambahan nilai. Unsur ini merupakan hasil pengurangan nilai equivalent depreciation akibat bertambah panjang umur aset dimana aset bisa terus berkontribusi bagi kinerja perusahaan. Dalam konsep EVA, proses ini tidak secara jelas dijabarkan. 3. FVA mengedepankan konsep equivalent depreciation dan accumulated equivalent tampaknya lebih akurat menggambarkan financing costs. Lebih lanjut, FVA mampu mengharmoniskan hasilnya dengan konsep net present value (NPV) tahun per tahun, dimana NPV setidaknya saat ini dianggap sukses mengukur proses penciptaan nilai.
36
4. Dengan berbasis pada definisi EVA yang sudah dikenal luas, FVA memberi solusi terhadap mekanisme kontrol dalam periode tahunan, yang selama ini merupakan kendala bagi konsep NPV. EVA dan FVA samasama mampu menyelaraskan output-nya dengan hasil NPV, dalam bentuk periode yang terdiskonto, namun FVA memberi output lebih maju dengan berhasil melakukan harmonisasi hasil dengan NPV dalam ukuran tahunan. Oleh karena itu, FVA menjadi lebih bermanfaat sebagai alat kontrol. Kelemahan FVA dibandingkan EVA, FVA kurang praktis dalam mengantisipasi fenomena bila perusahaan menjalankan investasi baru di tengah-tengah masa investasi diperhitungkan. EVA akan merefleksikan situasi ini melalui peningkatan aset dan sumber daya yang terlibat dalam perusahaan atau proyek. Fenomena ini tidak biasa diakomodasi dalam penentuan titik impas pada konsep NPV dan FVA (Iramani, 2005). 2.6.4 Hubungan FVA dengan keputusan manajemen keuangan Pengukuran FVA sangatlah membantu perusahaan dalam kaitannya dengan keputusan-keputusan yang harus dilakukan oleh perusahaan. Hubungan antara pengukuran FVA dengan keputusan dalam manajemen keuangan dapat digambarkan sebagai berikut (Iramani, 2005):
37
Sumber : Sandias, 2002 Gambar 2.2 Pengambilan keputusan dalam FVA Berdasarkan gambar 2.2, dapat dijabarkan sebagai berikut, terdapat tiga keputusan dalam manajemen keuangan yang akan menjadi value drivers bagi terciptanya Financial Value Added. Ketiga keputusan tersebut adalah: (1) Operating Decision adalah suatu keputusan yang harus diambil perusahaan dalam menghasilkan volume penjualan dan mengelola biaya-biaya yang timbul baik variable cost maupun fixed cost sedemikian rupa sehingga menghasilkan operating profit margin bagi perusahaan. Pertumbuhan volume penjualan (sales growth) merupakan indikator dari pertumbuhan perusahaan yang ini merupakan value drivers bagi terciptanya Financial Value Added. Dengan sales growth yang tinggi dan income tax rate tertentu akan meningkatkan operating profit margin yang pada akhirnya financial value added diharapkan juga akan meningkat.
38
(2) Financing Decision adalah suatu keputusan pembiayaan perusahaan dimana perusahaan harus menentukan sumber dana yang paling efisien, yang direfleksikan oleh cost of capital (k) yang dibayarkan selama periode n. Cost of capital ini kemudian menjadi faktor pembagi terhadap nilai income yang diterima (δn,k). Dalam konteks value driver, semakin rendah cost of capital yang ditanggung oleh perusahaan maka semakin besar nilai per 1 sen uang yang diterima oleh perusahaan. Konsekuensinya, pada formula measure, semakin kecil cost of capital, semakin besar δn,k, sehingga semakin besar nilai FVA. (3) Investment Decision, adalah keputusan manajemen terhadap pilihanpilihan investasi yang secara normatif harus mampu memaksimalkan nilai perusahaan. Proses pemilihan alternatif investasi harus mempertimbangkan sumber-sumber pendanaan yang terlibat, karena akan mempengaruhi struktur modal perusahaan. Hal ini secara intuitif juga mempengaruhi komposisi working capital dan fixed capital yang merupakan komponen pengubah nilai dalam
konteks
pengukuran
FVA
di
atas.
Manajemen
harus
bisa
mengoptimalkan pengelolaan working capital dan fixed capital-nya agar tidak tercipta idle capital atau kapital yang kurang efektif dalam proses peningkatan nilai perusahaan. Otomatis, jumlah working capital dan fixed capital yang besar akan menciptakan tanggungan cost of capital yang lebih besar bagi perusahaan. Ini juga akan menurunkan nilai FVA, karena TR menjadi besar.