BAB II LANDASAN TEORI
A. Inovasi 1. Pengertian Inovasi Inovasi memiliki fungsi yang khas bagi wirausahawan. Dengan inovasi wirausahawan menciptakan baik sumberdaya produksi baru maupun pengelolahan sumber daya yang ada dengan peningkatan nilai potensi untuk menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada (Drucker, 1985). Menurut Adair (1996), inovasi adalah proses menemukan dan mengimplementasikan sesuatu yang baru ke dalam situasi yang baru. Sedangkan menurut Raka (2001), inovasi adalah melakukan sesuatu yang baru yang menambah atau menciptakan nilai atau manfaat (sosial/ ekonomi). Luecke (2003) menjelaskan inovasi sebagai pengenalan atas sesuatu atau metode kerja yang baru dan ada usaha untuk memperbarui metode yang lama. Menurut Suryana (2006), inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan kreatifitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang (doing new thing). Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa inovasi adalah proses menemukan dan menambah atau menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada guna untuk memecahkan masalah dan menemukan peluang.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian Perilaku Inovatif Perilaku inovatif menurut Wess & Farr (dalam De Jong & Kemp, 2003)
adalah
semua
perilaku
individu
yang
diarahkan
untuk
menghasilkan, memperkenalkan, dan mengaplikasikan hal-hal ‘baru’, yang bermanfaat dalam berbagai level organisasi. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai shop-floor innovation (e.g., Axtell et al., 2000 dalam De Jong & Den Hartog, 2003). Menurut Kleysen & Street (2001), perilaku inovatif merupakan keseluruhan tindakan individu yang mengarah pada pemunculan, pengenalan, dan penerapan dari sesuatu yang baru dan menguntungkan pada seluruh tingkat organisasi. Sesuatu yang baru dan menguntungkan meliputi pengembangan ide produk baru atau teknologi-teknologi, perubahan
dalam
prosedur
administratif
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan relasi kerja atau penerapan dari ide-ide baru atau teknologiteknologi untuk proses kerja yang secara signifikan meningkatkan efisiensi dan efektifitas mereka (Kleysen & Street, 2001). Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku inovatif adalah keseluruhan tindakan individu yang memunculkan, mengenalkan, dan menerapkan sesuatu hal yang baru dan bermanfaat bagi suatu organisasi.
Universitas Sumatera Utara
3. Dimensi Perilaku Inovatif De Jong (2007) mengemukakan empat dimensi perilaku inovatif sebagai berikut: a. Oppurtunity exploration, proses inovasi ditentukan oleh kesempatan. Kesempatan akan memicu individu untuk mencari cara untuk meningkatkan pelayanan, proses pengiriman, atau berusaha memikirkan sebuah alternatif baru mengenai proses kerja, produk atau pelayanan. b. Idea generation, membangkitkan sebuah konsep untuk peningkatan. Idea generation merupakan pengelolaan kembali informasi dan konsep yang telah ada untuk meningkatkan performansi. Individu yang tinggi dalam level ini akan dapat melihat solusi dari sebuah masalah dengan cara pikir yang berbeda. c. Championing, melibatkan perilaku untuk mencari dukungan dan
membangun
koalisi,
seperti
mengajak
dan
mempengaruhi karyawan atau manajemen, dan bernegoisasi mengenai suatu solusi. d. Application, individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif terhadap suatu hal tapi juga mengaplikasikan ide tersebut ke dalam tindakan nyata.
Universitas Sumatera Utara
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif Riyanti (2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif, yaitu : a.
Entrepreneurial traits, yaitu sifat-sifat yang dimiliki wirausaha. Sukardi (1991) menyatakan ada sembilan sifat utama yang merupakan karakteristik-karakteristik
dari
wirausaha,
yaitu
instrumental,
prestatif, fleksibel dalam berteman, bekerja keras, percaya diri, berani mengambil resiko, kontrol diri, inovatif, dan autonomous. Penelitian Sukardi menemukan bahwa terdapat hubungan antara sembilan trait wirausaha Indonesia dengan sifat inovatif dan keberhasilan usaha. b.
Entrepreneurial personality, yaitu kepribadian wirausaha, yang terdiri dari : (1) personal achiever, (2) super salesperson, (3) real manager, dan (4) expert idea generator (Miner, 1996). Riyanti (2003) menyebutkan bahwa tipe kepribadian personal achiever merupakan tipe kepribadian Miner yang paling menonjol dalam perilaku inovatif.
c. Adversity personality Adversity intelligence merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi hambatan atau rintangan dalam hidup (Stoltz, 2000). Empat komponen adversity intelligence yaitu control, ownership and originality, reach, dan endurance. Adversity intelligence dapat memprediksi ketahanan seseorang dalam menghadapi hambatan dan rintangan. Karakteristik ini secara umum menggambarkan individu yang kreatif dan wirausaha yang sukses. Dalam penelitian Riyanti
Universitas Sumatera Utara
(2003) ditemukan bahwa variabel adversity personality memiliki pengaruh terhadap perilaku inovatif wirausaha dan keberhasilan usaha.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku inovatif dapat muncul bila dipengaruhi oleh adversity personality yang meliputi adversity intelligence yang dapat memprediksi ketahanan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku inovatif, yaitu entrepreneurial traits (karakteristik-karakteristik wirausaha) dan entrepreneurial personality (kepribadian wirausaha).
B. Adversity Intelligence 1. Pengertian Adversity Intelligence Adversity intelligence merupakan suatu kemampuan untuk menghadapi kesulitan dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki agar bisa terus maju dalam hidup (dalam Nashori & Kurniawan, 2006). Menurut Stoltz (2000), adversity intelligence adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup. Dengan adversity intelligence seseorang dapat diukur kemampuannya dalam mengatasi setiap persoalan hidup untuk tidak berputus asa. Stoltz menyebutkan bahwa adversity intelligence merupakan sesuatu potensi dimana dengan potensi ini seseorang dapat mengubah hambatan menjadi peluang.
Universitas Sumatera Utara
Lalu ia menyatakan bahwa suksesnya suatu pekerjaan dan hidup seseorang ditentukan oleh adversity intelligence. Menurut Stolzt (2000), adversity intelligence tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu: a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. b. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. c. Serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.
Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adversity intelligence adalah suatu kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan, mengubah hambatan menjadi peluang serta mampu bertahan hidup guna meraih kesuksesan.
2. Dimensi Adversity Intelligence Adversity Intelligence terdiri atas lima dimensi yaitu Control, Origin, Ownership, Reach, dan Endurance yang nantinya akan dihitung dengan perhitungan Adversity Response Profile (ARP) yang akan menghasilkan skor dari adversity intelligence (Stoltz, 2000) sebagai berikut : C + O2 + R + E = AQ Sumber: Stoltz, 2000
Universitas Sumatera Utara
a. Control (C) Dalam dimensi Control akan dipertanyakan (Stoltz, 2000), berapa banyak kendali yang seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan? Kata yang penting dalam dimensi ini adalah merasakan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur. Semakin tinggi adversity intelligence dan skor Control ini, semakin besar kemungkinan seseorang mempunyai kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk, juga semakin besar kemungkinan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan.
b. Origin (O) Dalam dimensi Origin akan dipertanyakan (Stoltz, 2000), apa yang akan menjadi asal usul dari kesulitan? Seseorang dengan nilai Origin yang rendah akan cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi, atau sebagai penyebab dari kesulitan tersebut. Rasa bersalah memiliki dua fungsi penting, yang pertama sebagai alat bantu untuk belajar atau yang kedua sebagi sebuah penjurusan terhadap penyesalan. Semakin tinggi skor Origin seseorang, semakin besar kecenderungan seseorang untuk menganggap sumber-sumber kesulitan itu berasal dari orang lain atau dari luar dan menempatkan peran seseorang sedemikian rupa sehingga seseorang bisa menjadi lebih cerdik, lebih cepat, lebih baik, atau lebih efektif bila di lain waktu menghadapi situasi serupa.
Universitas Sumatera Utara
c. Ownership (O) Dalam bukunya Paul Stoltz (2000) menyatakan, semakin tinggi skor Ownership seseorang, semakin besar orang tersebut mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apa pun penyebabnya. Semakin rendah skor Ownership seseorang, semakin besar kemungkinannya orang tersebut tidak mengakui akibat-akibatnya, apapun penyebabnya. Kecenderungan untuk menepis peristiwa-peristiwa buruk atau menghindari tanggung jawab ini jelas merupakan sifat yang tidak diinginkan. d. Reach (R) Dalam dimensi Reach akan dipertanyakan (Stoltz, 2000), sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang? Semakin
rendah
skor
Reach
seseorang,
semakin
besar
kemungkinannya orang tersebut menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai
bencana,
dengan
membiarkannya
meluas
seraya
menyedot
kebahagiaan dan ketenangan pikiran seseorang saat proses berlangsung. Semakin tinggi skor Reach, semakin besar kemungkinan seseorang membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. e. Endurance (E) Dimensi Endurance akan mempertanyakan 2 hal pada adversity intelligence, yaitu (Stoltz, 2000), berapa lamakah kesulitan akan berlangsung? Dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?
Universitas Sumatera Utara
Semakin tinggi adversity intelligence dan skor Endurance, semakin besar kemungkinan seseorang untuk memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang berlangsung lama, atau bahkan permanen, dan mungkin menganggap penyebab kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan mungkin tidak akan terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemauan untuk bertindak. Dalam menganalisis adversity intelligence, akan ditemukan bahwa besar adversity intelligence tidak sekadar dikategorikan sebagai “tinggi” atau “rendah”, karena adversity intelligence terletak dalam sebuah rangkaian. Semakin tinggi skor adversity intelligence seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang tersebut menikmati manfaat-manfaat adversity intelligence yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada lima dimensi adversity intelligence yaitu, control, origin, ownership, reach, dan endurance.
3. Tipe Adversity Intelligence Stoltz membagi tipe adversity intelligence dalam tiga kelompok, yaitu pertama high- adversity intelligence, kedua low- adversity intelligence, dan yang ketiga adversity intelligence sedang/moderat (Stoltz, 2000). a. Kelompok pertama adalah seseorang yang mempunyai tingkat adversity intelligence tinggi yang dikenal dengan tipe pendaki (climbers). Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan dan kerugian, nasib buruk ataupun nasib baik, dia terus mendaki.
Universitas Sumatera Utara
Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinankemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya (Stoltz, 2000). b. Kelompok kedua adalah seseorang yang mempunyai tingkat adversity intelligence rendah atau yang dikenal dengan tipe quitters. Mereka adalah orang-orang yang berhenti dalam pendakian. Mereka menolak kesempatan, mengabaikan, menutupi dan meninggalkan dorongan-dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki. Dengan demikian berarti mereka juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. c. Kelompok ketiga adalah seseorang yang mempunyai tingkat adversity intelligence sedang atau moderat yang dikenal dengan tipe campers. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan mereka mungkin memang mudah, atau mungkin mereka telah mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai pada tempat dimana mereka berhenti. Meskipun campers telah mencapai tempat perkemahannya, mereka tidak mungkin mempertahankan
keberhasilan
itu
tanpa
melanjutkan
pendakiannya. Karena yang dimaksud dengan pendakian adalah pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang (Stoltz, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan ada tiga tipe adversity intelligence, yaitu tipe climbers (tingkat tinggi), quitters (tingkat rendah), dan campers (tingkat sedang).
4. Tingkat Kesulitan Adversity Intelligence Stoltz (2000) mengklasifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga arah, yaitu: 1. Masyarakat 2. Tempat kerja 3. Individu
Bagian
pertama
menggambarkan
social
adversity
(kesulitan
di
masyarakat). Kesulitan ini meliputi ketidakjelasan masa depan, kecemasan tentang keamanan, ekonomi, serta yang lainnya yang dihadapi seseorang ketika berada dan berinteraksi di dalam masyarakat (Stoltz, 2000). Kesulitan kedua yaitu kesulitan berkaitan dengan workplace adversity (kesulitan di tempat kerja), meliputi keamanan di tempat kerja, pekerjaan, jaminan penghidupan yang layak dan ketidakjelasan mengenai apa yang terjadi. Apabila terjadi pada mahasiswa, maka terkait dengan tempat ia belajar atau kampus. Kesulitan ketiga individual adversity (kesulitan individu) yaitu individu menanggung beban akumulatif dari ketiga tingkat, namun individu memulai perubahan dan pengendalian.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tingkatan kesulitan adversity intelligence, yaitu social adversity quotient (kesulitan di masyarakat), workplace adversity quotient (kesulitan di tempat kerja), individual adversity quotient (kesulitan individu).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Intelligence Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity intelligence menurut Stoltz (2000) adalah sebagai berikut: 1. Daya Saing Seligman (dalam Stoltz, 2000) berpendapat bahwa adversity intelligence yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi. 2. Produktivitas Dalam penelitiannya di Metropolitan Life Insurance Company, Seligman (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik menjual lebih sedikit kurang berproduksi dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik.
3. Kreatifitas Inovasi pada pokoknya merupakan tindakan berdasarkan suatu harapan. Inovasi membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya tidak ada dapat menjadi ada. Menurut Barker (dalam Stoltz, 2000), kreatifitas juga muncul dari keputusasaan. Oleh karena itu, kreatifitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. 4. Motivasi Penelitian yang dilakukan Stoltz (2000) menunjukkan bahwa seseorang
yang
mempunyai
motivasi
yang
kuat
mampu
menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan motivasi kuat akan berupaya menyelesaikan dengan menggunakan segenap potensi. 5. Mengambil resiko Penelitian yang dilakukan Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2000) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai adversity intelligence tinggi lebih berani mengambil resiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan adversity intelligence tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif. 6. Perbaikan Seseorang dengan adversity intelligence yang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah maju dan melakukan perbaikan. Stoltz
(2000) menemukan bahwa orang-orang yang
memiliki adversity intelligence lebih tinggi menjadi lebih baik. Sedangkan orang-orang yang adversity intelligence -nya lebih rendah menjadi lebih buruk.
Universitas Sumatera Utara
7. Ketekunan Ketekunan adalah kemampuan untuk terus berusaha. Seseorang yang merespon buruk ketika berhadapan dengan kesulitan, maka ia akan mudah menyerah. Adversity intelligence menentukan keuletan yang dibutuhkan untuk bertekun (Stoltz, 2000). 8. Belajar Menurt Carol Dweck (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan anak- anak yang memilih pola pesimistis. 9. Merangkul perubahan Dalam penelitian Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang yang memeluk perubahan cenderung mnerespon kesulitan secara lebih konstruktif. 10. Keuletan Psikolog anak Emmy Werner (dalam Stoltz, 2000) menemukan anak-anak yang ulet adalah perencana-perencana, mereka yang mampu
menyelesaikan
masalah
dan
mereka
yang
bisa
memanfaatkan peluang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi adversity intelligence terdiri dari sepuluh, yaitu
Universitas Sumatera Utara
daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil resiko, perbaikan, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan.
C. Kewirausahaan 1. Pengertian Wirausaha Istilah wirausaha ini berasal dari entrepreneur (bahasa Perancis) yang diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan arti between taker atau go between. Wirausaha bila ditinjau dari segi etiologis berasal dari gabungan kata wira (gagah berani, perkasa) dan usaha. Jadi, wirausaha berarti orang yang gagah berani atau perkasa dalam usaha. Machfoedz (dalam Suryana, 2010) berpandangan bahwa wirausaha adalah orang yang bertanggung jawab dalam menyusun, mengelola, dan mengukur risiko suatu usaha. Para wirausaha merupakan orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dari padanya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan kesuksesan (Meredith et al., 2005). Wirausaha menurut Scarborough dan Zimmerer (2005) adalah seseorang yang membuat bisnis baru untuk menghadapi resiko ketidakpastian dengan tujuan untuk menerima keuntungan dan pertumbuhan dengan mengidentifikasi
kesempatan
dan
menggabungkan
sumberdaya
yang
diperlukan untuk dijadikan modal pada kesempatan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Joseph Schumpter (dalam Alma , 2006) menyebutkan wirausaha adalah
orang
yang mendobrak sistem ekonomi
yang ada dengan
memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru. Menger dalam Riyanti (2003) berpendapat bahwa wirausaha adalah orang yang dapat melihat cara-cara ekstrim dan tersusun untuk mengubah sesuatu yang tak bernilai atau bernilai rendah menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, dengan cara dan memberikan nilai baru ke barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wirausaha adalah orang yang membuat, menciptakan, dan mengolah bisnis baru dengan tujuan mendapatkan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
2. Karakteristik Wirausaha Wiryasaputra (dalam Suryana, 2010) menyatakan bahwa ada 10 karakter dari wirausaha yaitu : 1. Visionary (visioner) yaitu mampu melihat jauh ke depan, selalu melakukan yang terbaik pada masa kini, sambil membayangkan masa depan yang lebih baik. Seorang wirausaha cenderung kreatif dan inovatif.
Universitas Sumatera Utara
2. Positive (bersikap positif) yaitu membantu seorang wirausaha selalu berpikir yang baik, tidak tergoda untuk memikirkan hal-hal yang bersifat negatif, sehingga dia mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan selalu berpikir akan sesuatu yang lebih besar. 3. Confident (percaya diri) sikap ini akan memandu seseorang dalam setiap mengambil keputusan dan langkahnya. Sikap percaya dan tidak selalu mengatakan “Ya” tetapi juga berani mengatakan “Tidak” jika memang diperlukan. 4. Genuine (asli) seorang wirausaha harus mempunyai ide, pendapat dan mungkin model sendiri. Bukan berarti harus menciptakan sesuatu yang betul-betul baru, dapat saja dia menjual produk yang sama dengan yang lain, nemun dia harus member nilai tambah atau baru. 5. Goal Oriented (berpusat pada tujuan) selalu berorientasi pada tugas dan hasil. Seorang wirausaha ingin selalu berprestasi, berorientasi pada laba, tekun, tabah, bekerja keras dan disiplin untuk mencapai sesuatu yang telah ditetapkan. 6. Persistent (gigih) harus maju terus, mempunyai tenaga dan semangat yang tinggi, pantang menyerah, tidak mudah putus asa dan kalau jatuh segera bangun kembali. 7. Ready to face a risk (siap menghadapi resiko) risiko yang paling berat adalah bisnis gagal dan uang habis. Siap sedia untuk menghadapi risiko, persaingan , harga turun-naik, kadang untung atau rugi, barang tidak laku atau tak ada order. Harus dihadapi dengan penuh keyakinan. Dia membuat
Universitas Sumatera Utara
perkiraan dan perencanaan yang matang, sehingga tantangan dan risiko dapat diminimalisasi. 8. Creative (kreatif menangkap peluang) peluang selalu ada dan lewat didepan kita. Sikap yang tajam tidak hanya mampu melihat peluang, tetapi juga mampu menciptakan peluang. 9. Healthy Competitor (menjadi pesaing yang baik). Kalau berani memasuki dunia usaha, harus berani memasuki dunia persaingan. Prsaingan jangan membuat stress, tetapi harus dipandang untuk membuat kita lebih maju dan berpikir secara lebih baik. Sikap positif membantu untuk bertahan dan unggul dalam persaingan. 10. Democratic leader (pemimpin yang demokratis) memiliki kepemimpinan yang demokratis, mampu menjadi teladan dan inspirator bagi yang lain. Mampu membuat orang lain bahagia, tanpa kehilangan arah dan tujuan dan mampu bersama orang lain tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat sepuluh karakteristik wirausaha, yaitu visionary (visioner), positive (berpikir positif), confident (percaya diri), genuine (asli), goal-oriented (berorientasi pada tujuan), persistent (gigih), ready to face a risk (siap menghadapi resiko), creative (kreatif), healthy competitor (competitor yang baik), democratic leader (pemimpin yang demokratis).
Universitas Sumatera Utara
3. Sifat – sifat Wirausaha : Sukardi (dalam Riyanti, 2003) mengemukakan sembilan sifat yang ada pada wirausaha sebagai berikut: 1. Sifat instrumental yaitu tanggap terhadap peluang dan kesempatan berusaha maupun yang berkaitan dengan perbaikan kerja. 2. Sifat prestatif yaitu selalu berusaha memperbaiki prestasi, selalu menyukai tantangan dan berupaya hasil kerjanya selalu lebih baik dari sebelumnya. 3. Sifat keluwesan bergaul yaitu selalu aktif bergaul dengan siapa saja, membina kenalan baru dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. 4. Sifat kerja keras yaitu tidak mudah menyerah sebelum pekerjaannya selesai. 5. Sifat keyakinan diri yaitu penuh optimisme bahwa usahanya akan berhasil. 6. Sifat pengambilan resiko yang diperhitungkan yaitu tidak khawatir akan menghadapi situasi yang serba tidak pasti dimana usahanya belum tentu membuahkan keberhasilan. 7. Sifat swa-kendali yaitu menentukan apa yang harus dilakukan dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. 8. Sifat inovatif yaitu selalu bekerja keras mencari cara–cara baru untuk memperbaiki kinerjanya. 9. Sifat mandiri yaitu apa yang dilakukan merupakan tanggung jawab pribadi.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat sembilan sifatsifat wirausaha, yaitu sifat instrumental, prestatif, keluwesan bergaul, kerja keras, keyakinan diri, pengambilan resiko, swa-kendali, inovatif, dan mandiri.
4. Pengelompokan Kewirausahaan Zimmerer (1996) mengelompokkan profil kewirausahaan menjadi empat, yaitu : 1. Part Time Enterpreneur, yaitu wirausaha yang melakukan usahanya hanya sebagian waktu saja sebagai hobi. Kegiatan bisnis biasanya hanya bersifat sementara. 2. Home Based New Ventures, yaitu usaha yang dirintis berdasarkan asal tempat tinggal. 3. Family Owned Business, yaitu usaha yang dilakukan beberapa anggota keluarga secara turun-temurun. 4. Corpreneurs, yaitu usaha yang dilakukan oleh dua orang wirausaha yang bekerja sama sebagai pemilik bersama.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan terdapat empat kelompok kewirausahaan, yaitu part-time entrepreneur (berwirausaha hanya sebagai hobi), home based new ventures (berdasarkan tempat tinggal), family owned business (milik keluarga), dan corpreneurs (bekerja sama).
Universitas Sumatera Utara
D. Etnis Tionghoa 1. Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang asal dari satu daerah di negara China, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung, setiap imigran membawa kebudayaan suku bangsanya sendirisendiribersama dengan berbedaan bahasanya. Ada empat bahasa China di Indonesia, yaitu Hokkien, TeoChiu, Hakka, dan Kanton yang kesemuanya sangat besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti pembicara dari yang lain (Koentjaraningrat, 1982). Imigrasi bangsa Tionghoa secara besar-besaran ke Indonesia mulai pada abad ke 16 Masehi sampai pertengahan abad ke-19 Masehi, mereka berasal dari suku bangsa Hokkien berasal dari provinsi Fukien bagian selatan. Daerah Fukien merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang Tionghoa ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini walau telah terendap selama berabad-abad namun masih tampak jelas pada orang Tionghoa dari suku bangsa ini di Indonesia. Orang Tionghoa dari suku Teo-Chiu berasal dari pantai selatan negeri Cina di daerah pedalaman Swatow di sebelah timur propinsi Kwantung. Orang-orang Tionghoa dari suku Hakka berasal dari pedalaman propinsi Kwantung yang umumnya tandus dan berkapur. Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di provinsi Kwantung merupakan daerah asal orang Kanton (Kwong Fu). Walaupun orang Tionghoa perantau, itu terdiri dari paling sedikit berasal dari empat suku
Universitas Sumatera Utara
bangsa, namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka hanya terbagi ke dalam dua golongan, yaitu: peranakan dan totok (Koentjaraningrat, 1982). Penggolongan orang Tionghoa menjadi peranakan dan totok berdasarkan pada sebab kelahiran dan derajat penyesuaian serta akulturasi dari para perantau Tionghoa terhadap kebudayaan Indonesiayang ada di sekitar mereka dan perkawinan campuran antara para perantau Tionghoa dengan orang Indonesia (Koentjaraningrat, 1982). Kelompok minoritas Tionghoa tumbuh dalam mayoritas pribumi yang memberi merk dan cap bahwa semua orang Tionghoa adalah negatif, tertutup, mementingkan diri sendiri, egois, pelit, jahat dan memandang rendah pribumi (Tan, 1981). Ketidaksukaan pribumi terhadap Tionghoa semakin parah ketika golongan Tionghoa mampu mengembangkan ekonomi mandirinya, sehingga mereka berhasil menguasai kehidupan perekonomian mikro dan makro dimana pun mereka berada. Kejayaan ekonomi golongan Tionghoa dengan tingkat kesejahteraan yang relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok pribumi semakin memposisikan golongan Tionghoa sebagai kelompok yang paling tidak disukai, walau pun ada kelompok etnis Tionghoa yang memiliki kedekatan dengan rakyat kecil/ penduduk pribumi. Kelompok minoritas Tionghoa diibaratkan sebagai binatang ekonomi (economic animal) yang hanya
Universitas Sumatera Utara
mementingkan kehidupan dan kepentingan dagang dari pada bersosialisasi dan berhubungan dengan penduduk pribumi (Kwartanada, 1996). Setelah Indonesia merdeka orang-orang Tionghoa yang bergerak di bidang ekonomi masih tetap eksis menguasai bidang ekonomi di Indonesia, mereka berada di tengah gelora bangsa yang baru merdeka yang sedang menata dan menyusun identitas nasionalnya. Golongan minoritas Tionghoa kemudian berada di posisi yang sudah tidak mendapatkan hak istimewa dan perlindungan harus mampu bertahan untuk tetap hidup di tanah air baru dengan bangsa yang baru merdeka. Terpaan badai krisis ekonomi sebagai negara yang baru merdeka, kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang gerak minoritas Tionghoa membuat orang-orang Tionghoa harus mencermati setiap peluang bisnis yang ada (Kompas, 2012).
2. Bahasa dan Budaya Etnis Tionghoa Pada umumnya
dapat dikatakan
bahwa kaum peranakan adalah
keturunan imigran laki-laki China yang datang sebelum akhir abad ke-19 M dari perkawinan dengan wanita setempat atau keturunan dari perkawinan semacam itu. Sedangkan kaum totok adalah keturunan imigran yang datang setelah akhir abad ke-19, biasanya dengan istrinya. Kebudayaan orang peranakan cenderung sangat teralkulturasi dengan kebudayaan setempat, sedangkan kebudayaan orang totok lebih kentara akar kebudayaannya (Oetomo, 1992). Imigran pertama berasal dari keturunan pada masa
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan Chang Chow (Ciang Ciu) di provinsi Fuhkien. Suku bangsa Fuhkien (Hokkien) merupakan gelombang imigran China yang pertama datang ke Hindia Belanda dalam jumlah besar. Sifat kuat berdagang melekat kuat dalam diri suku bangsa ini (Tan, 1981). Suku bangsa Hakka berasal dari daerah Kia Ying di sebelah utara provinsi Kanton, Tiang Chow, dan Leong Yen hingga sebelah selatan provinsi Fuhkien. Kelompok imigran Hakka bermigrasi ke Kalimantan Barat, Bangka, Belitung, dan Deli. Suku bangsa Kwongfu berasal dari provinsi Kanton di selatan Kwantung bermigrasi ke Jawa. Suku bangsa Kwongfu merupakan nenek moyang suku Hakka. Suku Tio Cu berasal dari pedalaman Chaochow (Swatow) sebelah timur Kwangtung. Sebagian besar suku Tio Cu di Indonesia bermukim di sepanjang pantai Timur Sumatera, Riau, Kalimantan Barat terutama di Pontianak (Tan, 1981). Bahasa-bahasa daerah Tionghoa yang ada di Indonesia: Hokkian, Hakka (Kheq), Kanton (Kuongfu), Hokcia, Hokciu, dan Hinghua terutama dituturkan oleh para imigran generasi pertama, yang lahir di Tiongkok, dan kadang-kadang olrh imigran generasi kedua dalam berkomunikasi dengan orang tuanya. Bahasa Tionghoa Mandarin dituturkan oleh kaum totok dan sedikit kaum peranakan yang pernah mendapat pendidikan berbahasa Tionghoa Mandarin (Oetomo, 1992).
Universitas Sumatera Utara
F. Hubungan Antara Adversity Intelligence Dengan Perilaku Inovatif Pada Wirausaha Etnis Tionghoa Dunia wirausaha masih ditakuti oleh sebagian orang karena dianggap beresiko dengan pendapatan yang fluktuatif, kadang naik, kadang turun, dan bisa saja bangkrut. Padahal tidak sedikit wirausaha yang sukses, bahkan kebanyakan orang kaya di Indonesia saat ini adalah wirausahawan (Soetadi, 2011). Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Sesuatu yang baru dan berbeda adalah nilai tambah barang dan jasa yang menjadi sumber keunggulan untuk dijadikan peluang. Jadi, kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda (Suryana, 2006). Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang (Suryana, 2006). Berkaitan dengan perilaku manusia, maka inovasi lebih dikenal sebagai perilaku inovatif yaitu sebagai intens untuk memunculkan, meningkatkan dan menerapkan ide-ide baru dalam tugasnya, kelompok kerjanya atau organisasinya (West & Farr, 1989). Tidak semua inovasi yang dilakukan oleh wirausahawan berhasil, beberapa diantaranya ada yang mengalami hambatan/kesulitan. Bukan hanya hambatan/kesulitan yang akan dihadapi, tetapi juga persaingan dengan
Universitas Sumatera Utara
perusahaan lain dalam berinovasi. Hal ini akan menjadi tantangan bagi para wirausahawan untuk mempertahankan perusahaannya. Pada umumnya, ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti berusaha sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji (Stoltz, 2000). Untuk menghadapi hambatan/kesulitan, bukan hanya kecerdasan intelegensi saja yang diperlukan, akan tetapi wirausahawan memerlukan suatu kecerdasan yang disebut dengan adversity intelligence. Adversity intelligence adalah kemampuan seseorang untuk melihat dan mengubah suatu persoalan menjadi sebuah kesempatan (Stoltz, 2000). Stoltz juga mengatakan bahwa adversity intelligence adalah seperangkat ukuran untuk mengetahui respon terhadap tantangan kerja yang dihadapi. Penelitian Stoltz (2000) di Metropolitan Life Insurance Company membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik menjual lebih sedikit, kurang berproduksi dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik. Dalam penelitian Rahastyana & Rahma (2010) dinyatakan bahwa adversity quotient dan emotional quotient berhubungan secara signifikan dengan kewirausahaan. Dalam penelitian Putra (2008) yang berjudul “Analisis Hubungan adversity quotient dengan intensi berwirausaha” didapat hasil bahwa terdapat hubungan positif dan sigifnikan antara adversity intelligence dan intensi
Universitas Sumatera Utara
berwirausaha. Suwarno (2012) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa adversity quotient merupakan modal dasar wirausaha sukses. Seorang individu yang memiliki adversity intelligence diduga akan lebih mudah menjalani profesi sebagai seorang wirausahawan karena memiliki kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang (Stoltz, 2000). Individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan akan memiliki kemampuan untuk menangkap peluang usaha (wirausaha) karena memiliki kemampuan menanggung resiko, orientasi pada peluang/ inisiatif, kreativitas, kemandirian dan pengerahan sumber daya, sehingga adversity intelligence dalam
diri
individu
memiliki
pengaruh
terhadap
keinginan
untuk
berwirausaha. Pernyataan diatas didukung oleh pendapat Riyanti (2003), yaitu konsep adversity quotient terkait erat dengan keberhasilan wirausaha dalam melakukan proses kewirausahaan karena menjalankan usaha pribadi memerlukan keberanian untuk menghadapi kegagalan dan kemauan untuk mencoba terus menerus sampai berhasil. Keberhasilan dalam berwirausaha dapat diperoleh apabila berani mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan dari waktu ke waktu. Berani mengadakan perubahan dalam usahanya disebut inovasi. Inovasi memiliki fungsi yang khas bagi wirausahawan. Dengan adanya inovasi, wirausahawan menciptakan sumberdaya produksi baru maupun pengelolaan sumber daya yang ada dengan meningkatkan nilai potensi untuk menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada (Drucker, 1985).
Universitas Sumatera Utara
Firmansyah (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara Perilaku Inovatif Wirausaha dengan Keberhasilan Usaha Kecil”, didapat hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dimana perilaku inovatif wirausaha dengan keberhasilan usaha kecil. Dalam penelitian tersebut juga menyatakan bahwa sebagian besar keberhasilan usaha, sangat ditentukan oleh faktor wirausaha. Meskipun faktor-faktor lainnya juga turut mendukung keberhasilan usaha kecil namun faktor wirausaha, seperti kepribadian dan kemampuan wirausaha yang diwujudkan dalam perilaku inovatif wirausaha telah memberikan kontribusi yang sangat penting sebagai penggerak dalam mencapai keberhasilan usaha kecil. Di Indonesia, sektor usaha dengan skala besar didominasi oleh wirausaha keturunan etnis Tionghoa.
Bisnis usaha Tionghoa di Asia
diperkirakan mencapai 80% perusahaan, baik yang berskala menengah sampai berskala besar. Menurut Widyohartono (dalam Susetyo, 2007), orang-orang Tionghoa memiliki prinsip seperti sistem nilai untuk bertahan hidup dengan segala kondisi. Setyorini (2002) menyatakan bahwa wirausaha etnis Tionghoa lebih berani memanfaatkan peluang yang ada. Selain itu, dalam berwirausaha mereka menjual barang-barang yang lebih variatif serta berani mengambil resiko. Adicondro (dalam Setyorini, 2007) mengatakan bahwa keberhasilan etnis Tionghoa dalam berwirausaha karena etos kerja yang mereka miliki yang tergambarkan dalam karakteristik ulet, tekun, hemat, dan berani berspekulasi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat diasumsikan bahwa terdapat hubungan positif antara adversity intelligence dengan perilaku inovatif pada wirausaha etnis Tionghoa.
G. Hipotesis penelitian Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada hubungan positif antara adversity intelligence dengan perilaku inovatif pada wirausaha etnis Tionghoa”.
Universitas Sumatera Utara