BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Perilaku Agresif
2.1.1 Teori Perilaku Agresif Teori perilaku agresif mempunyai beberapa pendekatan yang dijelaskan oleh beberapa ahli. Namun, ada dua pendekatan utama, yaitu pendekatan biologis dan pendekatan belajar (Koeswara, 1988). Pendekatan biologis merupakan pendekatan yang memiliki akar sejarah yang panjang dan melibatkan beberapa tokoh yang memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda, meliputi psikologi, biologi, dan antropologi. Tokoh yang mewakili kelompok pendekatan biologis diantaranya adalah Sigmund Freud, Konrad Lorenz, dan Robert Ardrey (dalam Koeswara, 1988). Inti dari pendekatan biologis adalah mengasumsikan bahwa perilaku individu, termasuk perilaku agresif, bersumber atau ditentukan oleh faktor bawaan yang sifatnya biologis. Dalam pendekatan biologis, konsep naluri (instinct) merupakan faktor bawaan yang menjadi sumber agresi. Pendekatan lain yang bertentangan dengan pendekatan biologis adalah pendekatan belajar. Tokoh utama dalam pendekatan belajar adalah Ivan Pavlov kemudian dilanjutkan oleh tokoh behaviorisme lainnya seperti Edward Thorndike, Edward Tolman, Clark Hull, John Dollard, Neal Miller, dan B.F.
10
Skinner. Dalam pendekatan belajar menekankan bahwa perilaku agresif dihasilkan melalui proses belajar, baik dengan pengkondisian instrumental, yaitu belajar melalui hadiah dan hukuman, maupun meniru yaitu belajar melalui pengamatan terhadap model (Krahe, 2005). Disamping para teoris behavioris terdapat para teoris yang juga meyakini agresi sebagai hasil belajar, yang berlangsung dalam lingkup lebih luas melibatkan faktor sosial atau situasional (pendekatan belajar sosial). Teoris pendekatan belajar sosial adalah Albert Bandura, Ricard Walters, Robert Baron, dan Leonard Eron (dalam Koeswara, 1988). Dalam penelitian ini teori perilaku agresif menggunakan teori pendekatan belajar behavioral Thorndike dan Skinner, karena instrumen yang dipakai dalam mengukur perilaku agresif adalah kuesioner agresi (aggression questionnaire) yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) mengacu pada teori pendekatan belajar behavioral Thorndike dan Skinner. Dalam teori pendekatan behavioral, belajar merupakan proses perubahan perilaku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan individu mempunyai pengalaman baru. Individu dapat dikatakan telah belajar jika dapat menunujukan adanya perubahan dalam perilakunya. Dalam belajar hal yang paling penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan kepada individu, sedangkan respons adalah reaksi atau
11
tanggapan individu terhadap stimulus yang diterima. Teori pendekatan belajar behavioral berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati oleh Skinner (dalam Hergenhann & Olson, 2008). Hasil yang diharapkan dari penerapan teori pendekatan belajar behavioral adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Perilaku yang diinginkan mendapat penghargaan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Teori belajar pendekatan behavioral menjelaskan penyebab terjadinya perilaku agresif yang dilakukan oleh individu lain bukan bersifat instingtif, tetapi diperoleh melalui hasil belajar yang melibatkan faktor-faktor (stimulus) eksternal sebagai determinan dalam pembentukan perilaku agresif. Thorndike
(dalam
Koeswara,
1988)
mengembangkan
teori
belajar
koneksionisme. Dalam teori belajar koneksionisme, belajar merupakan proses pembentukan koneksi (hubungan) antara stimulus dan respon. Stimulus apa saja yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respons adalah reaksi yang dimunculkan individu ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan atau gerakan / tindakan. Agar tercapai hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui percobaan-percobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan
12
(error) terlebih dahulu. Thorndike (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) mengemukakan tiga hukum pokok belajar : 1.
Law of readiness (hukum kesiapan) Konsekuensi dari law of readiness adalah: a. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila melakukannya akan memuaskan. b. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila tidak melakukannya akan menjengkelkan. c. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan suatu tindakan tetapi dipaksa melakukan maka melakukannya akan menjengkelkan. 2. Law of exercise (hukum latihan) Hukum latihan terdiri dari dua bagian yaitu: a. Law of use (hukum penggunaan), yaitu semakin sering suatu koneksi (hubungan) stimulus dan respon dipraktekkan maka koneksi itu makin erat atau dengan kata lain koneksi antara stimulus dan respons akan menguat saat keduanya dipakai. b. Law of disuse (hukum ketidakgunaan), yaitu bila koneksi (hubungan) yang sudah terbentuk itu jarang atau tidak pernah lagi dipraktekkan, maka koneksi itu akan melemah dan akhirnya menghilang. 3. Law of effect (hukum akibat) Law of effect (hukum akibat) adalah penguatan atau pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus dan respons. Jika suatu respon diikuti dengan keadaan yang memuaskan (satisfying state of affairs), kekuatan koneksi itu menjadi lebih kuat. Jika respons diikuti dengan keadaan yang tidak memuaskan (annoying state of affairs), maka kekuatan koneksi itu menjadi menurun. Hadiah (reward) dan hukuman (punishment) memainkan peranan penting. Individu cenderung akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulakan efek yang menyenangkan atau memuaskan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang tidak menyenangkan atau tidak memuaskan bagi dirinya.
Penerapan teori belajar koneksionisme Thorndike dalam menjelaskan pengertian perilaku agresif yaitu bahwa perilaku agresif diperoleh dari hasil belajar dari proses pembentukan koneksi / hubungan antara stimulus dan respon. Dari hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect) dari teori belajar koneksionisme Thorndike
untuk
menjelaskan
pembentukan
disimpulkan bahwa :
13
perilaku
agresif
dapat
1. Ketika individu telah siap untuk melakukan tindakan agresif, maka melakukan tindakan agresif maka akan memuaskan. Ketika individu siap untuk melakukan tindakan agresif, maka tidak melakukan tindakan agresif maka akan menjengkelkan. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan tindakan agresif tetapi dipaksa melakukan kemudian melakukan tindakan agresif maka akan menjengkelkan. 2. Semakin sering individu berperilaku agresif maka perilaku agresif pada individu akan semakin kuat dan sebaliknya apabila individu jarang atau tidak pernah lagi mempraktikkan perilaku agresif maka perilaku agresif pada individu akan melemah dan akhirnya hilang. 3. Perilaku agresif terbentuk dan diulang oleh individu karena dengan perilaku agresif itu individu memperoleh efek atau hasil yang menyenangkan. Adapun apabila dengan perilaku agresif itu individu memperoleh efek atau hasil yang tidak menyenangkan, maka perilaku agresif itu tidak akan diulang (Koeswara, 1988). Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) mengembangkan teori belajar operant conditioning atau pengkondisian operan. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku (reinforcement) baik penguatan positif atau penguatan negatif yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan (Prasetyani, 2007). Menurut Skinner setiap suatu tindakan
14
yang telah diperbuat
ada
konsekuensinya,
dan
konsekuensi-konsekuensi
inilah
yang
nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) operant conditioning terdiri dari dua konsep utama, yaitu : 1. Penguatan (reinforcement) Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Penguatan boleh jadi kompleks. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua bagian: a. Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentukbentuk penguatan positif adalah berupa hadiah , perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (Juara 1 dsb). b. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan atau tidak menyenangkan. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa). 2. Hukuman (punishment) Hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku atau apa saja yang menyebabkan sesuatu respon atau perilaku menjadi berkurang atau bahkan langsung dihapuskan atau ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari kita dapat mengatakan bahwa hukuman adalah mencegah pemberian sesuatu yang diharapkan, atau memberi sesuatu yang tidak diinginnya.
Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya : a. b.
Law of operant conditioning yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Penerapan teori belajar operant conditioning Skinner untuk menjelaskan pengertian perilaku agresif maka dapat dikemukakan bahwa perilaku agresif terbentuk karena diikuti oleh penguatan positif dan perilaku tersebut akan diulang oleh individu untuk memperoleh penguatan kembali. Sebaliknya
15
individu yang melakukan perlaku agresif yang mendapatkan penguatan negatif maka perilaku agresif tersebut akan berkurang dan semakin lama akan terhapus. Berdasarkan teori behavioral Thorndike dan Skinner, Buss dan Perry mendefinisikan perilaku agresif sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang
niatnya untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun
psikologis (Buss & Perry, 1992). Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku menjadi agresi ketika individu menyalurkan stimulus berbahaya kepada orang lain. Kecenderungan perilaku agresif merupakan hasrat atau keinginan yang selalu timbul berulangulang untuk menyakiti, merusak dan mempengaruhi individu lain baik secara fisik maupun psikologis. Agar perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi, perilaku harus dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap targetnya. Menurut Buss & Perry (1992) perilaku agresif dipelajari seperti perilaku intrumental lainnya melalui reward dan punishment. Perilaku agresif akan terbentuk dan diulang oleh individu karena dengan melakukan perilaku agresif individu memperoleh efek yang menyenangkan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang perilaku agresif apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang tidak menyenangkan bagi dirinya (Koeswara, 1988).
16
Buss & Perry (1992) mengembangkan sebuah kuesioner untuk mengukur perilaku agresif yang juga akan digunakan dalam penelitian ini. Buss & Perry (1992) menyebut empat aspek perilaku agresif, yaitu: a. Aspek pertama yakni agresi fisik yang merupakan tindakan agresi yang menyakiti individu lain secara fisik, seperti memukul, menendang dan lain-lain. b. Aspek
kedua
adalah
agresi
verbal,
yaitu
respon
vokal
yang
menyampaikan stimulus yang menyakiti mental dalam bentuk penolakan dan ancaman. Seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek, membentak, dan berdebat. c. Aspek ketiga adalah kemarahan, yakni emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatik dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatik atau jasmani maupun verbal atau lisan.
17
d. Aspek yang terakhir adalah hostility atau permusuhan, yakni tindakan yang mengekspresikan kebencian, permusuhan, antagonisme ataupun kemarahan yang sangat kepada pihak lain. 2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Buss & Perry (dalam Anderson & Bushman, 2002) menyatakan bahwa secara umum perilaku agresif dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal meliputi karakter bawaan individu yang menentukan reaksi individu tersebut ketika menghadapi situasi tertentu. Sementara itu, faktor situasional mencakup fitur-fitur atau hal-hal yang terjadi di lingkungan yang juga mempengaruhi reaksi individu terhadap suatu peristiwa. Dengan kata lain, faktor personal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu, sedangkan faktor situasional adalah faktor yang berasal dari luar individu. Kedua faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Faktor Personal a. Sifat Sifat-sifat tertentu dapat menyebabkan seseorang lebih agresif dari orang lain. Misalnya, individu yang memiliki sifat pencemburu akan lebih agresif. b. Jenis Kelamin
18
Laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan perilaku agresif yang berbeda. Laki-laki terbukti lebih banyak terlibat tindakan agresif dibanding perempuan, dan pilihan agresi antara laki-laki dan perempuan terbukti berbeda. Perempuan lebih memilih agresi tidak langsung, sementara laki-laki lebih banyak terlibat pada tindak agresi langsung. c. Keyakinan Individu yang memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu melakukan tindakan agresif lebih mungkin memilih melakukan tindakan agresif ketimbang individu yang tidak yakin bahwa dirinya dapat melakukan tindakan agresif. d. Sikap Sikap adalah evaluasi umum seseorang terhadap diri mereka sendiri, orang lain, objek-objek ataupun isu-isu tertentu. Sikap positif terhadap perilaku agresif terbukti mempersiapkan individu untuk melakukan tindakan agresif. Sebaliknya, sikap negatif terhadap perilaku agresif terbukti mencegah seseorang untuk melakukan tindakan agresif. e. Nilai Nilai adalah keyakinan mengenai apa yang harus dan sebaiknya dilakukan. Nilai yang dianut seseorang mempengaruhi keputusannya untuk melakukan perilaku agresif. Contohnya, orang yang menganut
19
nilai bahwa kekerasan diperbolehkan untuk mengatasi konflik interpersonal lebih berperilaku agresif untuk menyelesaikan konflik yang dihadapinya. f. Tujuan Jangka Panjang Tujuan hidup jangka panjang juga mempengaruhi kesiapan individu untuk terlibat dalam perilaku agresif. Misalnya, tujuan beberapa anggota geng adalah untuk dihormati dan dihargai. Tujuan ini mewarnai persepsi, nilai-nilai, dan keyakinan anggota geng mengenai pantas tidaknya melakukan suatu tindakan tertentu, dan akhirnya mempengaruhi keputusan anggota geng untuk terlibat dalam perilaku agresif. 2. Faktor Situasional a. Petunjuk untuk Melakukan Tindakan Agresif (Aggressive Cues) Aggressive Cues adalah objek yang menimbulkan konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi dalam memori. Contohnya, ketika seseorang dihadapkan pada sebuah senjata api, maka akan lebih agresif dibandingkan ketika dihadapkan dengan sebuah raket. Selain senjata api, objek lain yang termasuk dalam kategori ini adalah eksposur pada tayangan bermuatan kekerasan di televisi, film, dan video games. b. Provokasi
20
Faktor situasional lain yang sangat penting pengaruhnya terhadap perilaku agresif adalah provokasi. Provokasi mencakup hinaan, ejekan, sindiran kasar serta bentuk agresi verbal lainnya, agresi fisik, gangguan-gangguan yang menghambat pancapaian suatu tujuan dan sejenisnya.
Karyawan
yang
mendapatkan
provokasi
untuk
mempersiapkan bahwa ia dapat perlakuan yang tidak adil terbukti lebih agresif di tempat kerjanya. c. Frustasi Frustasi terjadi ketika individu menemui hambatan untuk mencapai tujuan. Seseorang yang mengalami frustasi terbukti lebih agresif terhadap agen yang menyebabkan terhalangnya pencapaian tujuan, ataupun pada pihak-pihak yang sebenarnya tidak bertanggungjawab atas gagalnya pencapaian tujuan. Selain itu, individu yang mengalami frustasi
juga
terbukti
melampiaskan
rasa
frustasinya
dengan
menyerang benda-benda yang ada di sekitarnya. d. Rasa Sakit dan Ketidaknyamanan Kondisi-kondisi
fisik
lingkungan
yang
menyebabkan
ketidaknyamanan dapat meningkatkan perilaku agresif. Lingkungan yang bising, terlalu panas, ataupun berbau tidak sedap terbukti meningkatkan perilaku agresif. e. Obat-obatan
21
Penggunaan obat-obatan atau zat-zat tertentu seperti kafein ataupun alkohol dapat meningkatkan perilaku agresif secara tidak langsung. Individu yang berada di bawah pengaruh zat-zat seperti alkohol ataupun zat psikotropika lainnya, lebih mudah terprovokasi, merasa frustasi, ataupun menangkap petunjuk untuk melakukan kekerasan dibanding individu yang tidak menggunakan zat-zat tersebut. f. Intensif Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk selalu menginginkan lebih banyak hal. Maka dari itu, ada banyak objek yang dapat digunakan sebagai intensif yang diberikan pada seseorang untuk melakukan tindakan agresif. Perilaku agresif dapat dimediasi dengan memberikan imbalan berupa hal yang dianggap berharga oleh pelaku. Misal, penggunaan uang dapat memancing individu untuk melakukan tindakan kekerasan. 2.1.3
Pengukuran Perilaku Agresif Dibutuhkan strategi-strategi pengukuran yang dapat memberikan informasi mengenai tingkat perilaku agresif. Catatan perilaku agresif dapat diperoleh melalui dua pendekatan umum, yaitu observasi dan bertanya Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005). 1. Observasi
22
Tindakan observasional memudahkan pencatatan perilaku agresif pada saat perilaku itu berlangsung dalam konteks alamiah. Misalnya di kalangan anak-anak ditempat bermain mereka di sekolah, atau di latar laboratoris yang dirancang dengan sengaja. Variasi pengukuran perilaku agresif melalui observasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Observasi alamiah Salah satu tujuan observasi dalam konteks alamiah adalah untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk-bentuk agresi dalam setting tertentu dan frekuensi kejadiannya. Pendekatan ini bisa disebut sebagai observasi naturalistik. Sebagai contoh, Humpert dan Dann (1988) mencatat interaksi yang berhubungan
dengan
agresi
selama
pelajaran
sekolah
dengan
menggunakan sistem pengodean yang dikembangkan secara khusus, yang meliputi 10 kategori perilaku agresif, seperti merusak milik teman sekelas, merampas benda-benda milik orang lain, mengamcam, dan menfitnah teman. Dalam tipe pengukuran observasi alamiah, alur alamiah perilaku pertama-tama dicatat, kemudian dipecah menjadi unit-unit analisis yang lebih kecil, dan yang terakhir dimasukkan ke dalam kategori-kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertanyaan tentang kapan dan dimana
23
sampel perilaku diambil dan bagaiman cara menetapkan unit-unit analisis dasar, itu semua sangat penting dalam pendekatan metodelogis ini. b. Eksperimen lapangan Pengukuran dengan metode eksperimen lapangan menggabungkan variasi sebuah variabel independen (misalnya kekuatan suatu frustrasi) dan efeknya terhadap sebuah variabel dependen (misalnya intensitas respon agresif). Metode ini dilakukan Baron (1976) dengan menggunakan situasi kemacetan lalu lintas biasa. Melalui eksperimen ini, Baron melihat reaksi agresif pengemudi melalui penetapan berdasarkan latensi dan durasi membunyikan klakson untuk melihat respons terhadap frustasi karena seorang eksperimen sengaja menghalangi mobilnya sehingga pengemudi tidak dapat menjalankan mobilnya ketika lampu hijau sudah menyala. Contoh penggunaan eksperimen lapangan yang lain dalam mengukur perilaku agresif misalnya dengan menggunakan situasi pada suatu antrean, orang-orang yang menunggu dalam antrean yang merasa frustrasi karena seorang petugas eksperimen dengan sengaja menyerobot antrean. Respons – respons agresif dikaji sebagai fungsi dari seberapa dekat mereka berusaha menuju antrean terdepan. c. Ekperimen laboratoris
24
Beberapa contoh eksperimen laboratoris yang sangat menonjol dalam penelitian agresi dapat dilihat dari beberapa temuan seperti berikut: 1) Paradigma guru-murid Milgram (1974) menggunakan eksperimen belajar dengan cara menunjuk seorang untuk memainkan peran guru yang harus mempresentasikan tugas asosiasi kata kepada orang lain yang berperan sebagai murid. Untuk kesalahan yang dibuat oleh murid akan diberikan hukuman oleh guru dengan menerapkan stimulus advertif kepada murid. Penunjukan kedua peran ini dilakukan secara bergantian sehingga setiap responden berkesempatan memainkan peran guru, yang pilihan intensitas hukumannya merupakan indeks kritis bagi perilaku agresifnya. 2) Paradigma evaluasi esai Pradigma ini diperkenalkan pertama kali oleh Berkowitz (1962). Paradigma ini digunakan untuk menginvestigasi perilaku agresif sebagai respons terhadap frustasi atau provokasi yang telah dialami sebelumnya. Subyek diminta menulis bagi sebuah tugas mengatasi masalah. Kemudian tugas tersebut akan dievaluasi yang akan diekspresikan
dalam
bentuk
jumlah
kejutan
listrik.
Tanpa
memerdulikan kualitas solusi yang subjek tulis, masing – masing subjek akan menerima satu sampai tujuh kejutan listrik. Dalam fase kedua peran dibalik subjek mendapat kesempatan untuk mengevaluasi
25
solusi yang dibut orang lain. Jumlah kejutan listrik yang diberilakan oleh subjek merupakan variabel dependen dan menunjukkan kekuatan respon agresif mereka. 3) Paradigma boneka Bobo Bandura, Ross dan Ross (1963) dalam penelitiannya mengukur perilaku agresif dengan cara memperlihatkan seorang model yang bertindak agresif terhadap boneka Bobo. Selanjutnya perilaku anak terhadap boneka Bobo diobservasi dan diukur dalam bentuk frekuensi tindakan yang dilakukan. 4) Agresi verbal Baron dan Richardson (1994) pengukuran perilaku agresif dilakukan dengan cara subjek dihadapkan pada sejumlah manipulasi yang dirancang untuk memunculkan respon agresif. Setelah itu reaksi verbal mereka dicatat, baik secara respons bebas yang nantinya akan dianalisis isi agresifnya maupun sebagai evaluasi terstandar dari orang yang memprovokasi reaksi agresif. 2. Bertanya Pendekatan bertanya dibutuhkan untuk mengukur perilaku agresif yang tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi, misalnya tindakan kekerasan, seperti serangan fisik, perkosaan, atau pembunuhan. Pada kasus semacam ini, peneliti harus bersandar pada metode meminta laporan tentang
26
perilaku, dan dalam konteks lain pernyataan penelitian perlu memfokuskan pada variabel-variabel internal, seperti pikiran dan khayalan agresif, yang tidak dapat diobservasi. Variasi pengukuran perilaku agresif melalui metode bertanya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Laporan diri tentang perilaku (behavioral self-report) Dalam metode ini, subjek diminta untuk memberikan keterangan verbal mengenai perilaku agresif mereka sendiri, baik dalam konteks survei berskala besar maupun sebagai bagian dari penelitian uji hipotesis. Berdasarkan
tujuan
pertanyaannya,
subjek
dapat
diminta
untuk
melaporkan pola perilaku agresifnya secara umum, atau hanya tindakan khusus pada ranah tertentu. Ukuran perilaku agresif umum itu diukur, misalnya dengan skala agresi fisik dan verbal dari kuesioner agresi (aggression questionnaire) yang disusun oleh Buss dan Perry (1992). Laporan diri mengenai perilaku agresif dapat dikombinasikan dengan laporan lain, misalnya untuk mengukur korespondensi antara laporan diri dan laporan orang lain. Contoh skala yang dapat digunakan adalah skala taktik konflik (conflict tactics scale) yang dikembangkan oleh Straus (1979) untuk mengukur kekerasan rumah tangga. b. Nominasi orang lain/teman sebaya (peer/other nominations)
27
Metode ini telah digunakan oleh Eron, Husman (1972). Dalam metode ini membutuhkan peran orang lain yang tahu banyak mengenai subjek diminta untuk menyumbangkan informasinya mengenai subjek tersebut. Guru, orang tua, teman sebaya, yang memiliki pengetahuan tangan pertama mengenai perilaku agresif subjek yang dimaksud, diminta membuat catatan perilaku, yang kemudian satu sama lain dapat dilihat konvergensinya dan dibandingkan dengan laporan diri yang dibuat oleh subjek yang bersangkutan. c. Catatan arsip Peneliti bisa mendapatkan informasi mengenai perilaku agresif yang dilakukan subjek dari data arsip yang dikumpulkan untuk keperluan lain. Misalnya penelitian Anderson (1989) yang memakai statistik kriminalitas dan catatan suhu udara yang sangat relevan dalam konteks penelitian agresi. d. Skala kepribadian dan teknik proyektif Di luar permintaan untuk melaporkan agresi pada tingkat perilaku, peneliti sering tertarik untuk meneliti kondisi kognitif dan afektif perilaku agresif serta mengidentifikasi perbedaan individual yang bersifat tetap dalam disposisi tindakan agresif. Untuk memenuhi tujuan ini, digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama ada dalam pengembangan skala kepribadian terstandar dimana responden diminta untuk mendiskripsikan
28
tentang keadaan yang ada dalam dirinya saat ini atau disposisi yang bersifat lebih menetap. Kuesioner agresi yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) berisi dua skala semacam itu, yaitu mengukur amarah dan permusuhan. Perbedaan antara keadaan saat ini dan ciri sifat yang stabil dicerminkan dalam state trait anger scale yang dikembangkan oleh Spielberger, Jacobs, Russel, dan Crane (1983). Pendekatan
kedua
untuk
mengeksplorasi
faktor
pendukung
intrapersonal perilaku agresif melibatkan teknik-teknik proyektif. Dalam metode ini subjek dihadapkan pada stimulus yang ambigu, seperti bercakbercak tinta pada tes Rorschach atau picture frustration test (Rosenzweig, 1981). Berdasarkan rumusan tentang metode pengukuran perilaku agresif, dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner perilaku agresif yang disusun oleh Buss dan Perry (1992). Melalui kuesioner ini, perilaku agresif diukur berdasarkan skor yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner perilaku agresif yang berjumlah 29 item dengan ketentuan semakin tinggi skor
yang diperoleh berarti semakin tinggi tingkat perilaku agresif
siswa, dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh berarti semakin rendah tingkat perilaku agresif siswa. Sementara itu, pengukuran perilaku agresif juga dapat diidentifikasi melalui aspek agresi verbal, agresi fisik, kemarahan, dan permusuhan.
29
2.1.4 Upaya Guru Bimbingan dan Konseling dalam Mengatasi Perilaku Agresif Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat individu dalam lingkungannya. Peserta didik (konseli) sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses perkembangan atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang kearah kematangan
atau
kemandirian.
Untuk
mencapai
kematangan
atau
kemandirian, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Perkembangan individu tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis, maupun sosial. Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi dan kekerasan di televisi dan VCD, minuman keras, dan obatobatan terlarang, ketidak harmonisan dalam keluarga sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia). Salah satu contoh perilaku yang menyimpang adalah timbulnya perilaku agresif pada konseli (siswa). Upaya untuk menangkal atau mencegah perilaku
30
menyimpang, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kopetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilaksanakan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang memengaruhinya. Upaya yang dapat dilakukan guru bimbingan dan konseling dalam mengatasi perilaku agresif yang dilakukan oleh konseli diantaranya adalah: 1. Guru BK dapat memberikan contoh atau teladan berperilaku secara baik (sesuai dengan kaidah moral / aturan sekolah) kepada siswanya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Bandura (dalam Hergenhahn, 2008) perilaku agresif dapat dipelajari melalui pengamatan (observasi) dan meniru atas perilaku yang ditampilkan oleh model yang ada disekitarnya. Model akan sangat efektif jika dilihat memilki kehormatan, kompetensi, status tinggi, atau kekuasaan. Oleh karena itu guru BK dapat menjadi model yang berpengaruh besar. Guru BK juga harus memahami dalam proses belajar observasional siswa diatur oleh empat variabel yakni siswa meretensi perilaku sebuah model yang dilihatnya. Dalam proses retensi sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan verbal seseorang. Oleh karenannya guru BK harus memerhatikan kemampuan verbal siswa saat akan merencanakan modeling. Dalam proses mereduksi guru BK juga harus mengetahui proses pembentukan perilaku siswa. Jika siswa
31
memerhatikan, menyimpan, dan mampu melakukan perilaku yang dipelajari lewat observasi itu, siswa harus punya dorongan untuk melakukannya. Dalam tahapan ini guru BK harus melakukan pemberian motivasi, Misalnya dengan memberikan pujian, hadiah, dan penghargaan apabila siswa mampu menunjukkan apa yang telah mereka pelajari. Dalam proses pemberian modeling kepada siswa, guru BK dapat juga menggunakan media seperti: film, televisi, ceramah, demonstrasi sebagai model efektif utuk tujuan pendidikan.
2. Bagi siswa yang telah terindikasi berperilaku agresif maka guru BK dapat menyelenggarakan konseling dengan pendekatan behavioral. Tujuan dari konseling behavioral yaitu Menghapus atau menghilangkan perilaku maladaptif (bermasalah) untuk digantikan dengan perilaku baru yaitu perilaku adaptif yang diinginkan oleh konseli. Dalam konseling behavioral Guru BK (konselor) berfungsi sebagi konsultan, guru, penasihat, pemberi dukungan dan fasilitator. Konselor juga dapat memodifikasi perilaku konseli melalui pemberian penguatan. Agar konseli terdorong untuk merubah perilaku agresifnya, penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui perilaku konseli. Selanjutnya konseli diminta untuk mengurangi frekuensi berlangsungnya perilaku agresif. Konselor juga dapat mengkondisikan perubahan perilaku
32
melalui pemberian contoh atau model seperti: film, tape recorder, atau contoh nyata langsung dari perilaku konselor. Selanjutnya apabila konseli berhasil menunjukkan perilaku baru (berhasil mencontoh perilaku adaptif) maka konselor dapat memberikan ganjaran/hadiah, misalnya berupa pujian. 2.2 Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan pada Televisi 2.2.1
Pengertian Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan pada Televisi Intensitas dalam kehidupan sehari-hari menggambarkan tingkat atau ukuran. Intensitas dari bahasa Inggris "intensity" yang berarti: (a) quality of being intense: the strength, power, force, or concentration of something; The pain increased in intensity; (b) intense manner: a passionate and serious attitude or quality; a rare emotional intensity in her work. Selanjutnya, Dahrendorf (dalam Apollo, 2003) mengartikan intensitas sebagai sebuah istilah yang terkait dengan pengeluaran energi atau banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu tertentu. Intesitas berarti kualitas dari tingkat kedalaman: kemampuan, kekuatan, daya atau konsentrasi terhadap sesuatu atau tingkat keseringan atau kedalaman cara atau sikap, perilaku seseorang. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa intentsitas menonton tayangan kekerasan pada televisi artinya tingkat seringnya melihat tayangan yang berisi kekerasan yang ditayangkan dalam televisi dengan tingkat perhatian tertentu.
33
Pengertian intensitas menonton tayangan kekerasan pada televisi dapat dijelaskan melalui teori belajar observasional Bandura. Menurut Bandura (dalam Koeswara, 1988) teori belajar observasional memiliki asumsi dasar bahwa sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atau observasi dan meniru atas perilaku yang ditampilkan oleh model yang ada disekitarnya. Dalam teori Bandura, model adalah apa saja yang menyampaikan informasi, seperti orang, film, televisi, pameran, gambar, video game, atau instruksi (Hergenhahn, 2008). Menurut
Bandura
(dalam
Koeswara,
1988)
dalam
belajar
observasional terdapat empat proses yang satu sama lain berkaitan, yakni: 1.
2.
3.
4.
Proses atensional, yakni proses individu tertarik untuk memerhatikan atau mengamati perilaku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristikkarakteristik yang dimilikinya. Model yang sering tampil dan memiliki karakteristik yang menarik dimata pengamat, atau memiliki pengaruh terhadap individu, lebih mudah mengundang perhatian pengamat dibandingkan dengan model yang jarang tampil, tidak menarik, atau tidak memiliki pengaruh. Proses retensi, yakni proses individu menyimpan perilaku model yang telah diamatinya didalam ingatannya, baik melalui kode verbal maupun kode imajinal atau pembayangan gerak. Proses reproduksi, yaitu proses individu mencoba mengungkap ulang perilaku model yang telah diamatinya. Pengungkapulangan atau reproduksi perilaku model ini pada mulanya bersifat kaku dan kasar, tetapi dengan pengulangan yang intensif lambat laun induvidu bisa mengungkapkan perilaku model itu dengan sempurna atau setidaknya mendekati perilaku model. Proses motivasional dan perkuatan. Perilaku yang telah diamati tidak akan diungkapkan oleh individu apabila individu kurang termotivasi. Seperti teoris belajar umumnya, Bandura percaya bahwa perkuatan positif bisa memotivasi individu kearah pengungkapan perilaku, dalam hal ini perilaku yang telah diamati. Disamping itu perkuatan juga memengaruhi proses atensional individu. Artinya, individu lebih tertarik untuk mengamati dan mencontoh perilaku yang menghasikan perkuatan yang besar dibandingkan dengan perilaku yang menghasilkan perkuatan yang kecil.
Untuk menjelaskan belajar observasional (observasional learning) Bandura (dalam Sears, 1991) melakukan eksperimen boneka Bobo. Subyek dalam
34
penelitian ini adalah anak taman kanak-kanak yang dibagi rata ke dalam tiga kelompok yang masing-masing ditunjukan pada video yang menayangkan rang dewasa melakukan tindakan agresif pada boneka Bobo. Pada kelompok pertama, model diberi penguat berupa permen dan minuman ringan. Pada kelompok kedua, model mendapatkan hukuman dan kritik, dan pada kelompok ketiga model tidak menerima konsekuensi apapun. Anak-anak ini kemudian ditinggalkan di dalam ruangan seorang diri dengan boneka Bobo. Hasilnya, anak yang melihat model mendapatkan penguat atau tidak mendapatkan konsekuensi apapun, cenderung melakukan tindakan yang lebih agresif ketimbang anak yang melihat model mendapatkan hukuman. Beberapa point penting dari hasil eksperimen Bandura adalah: 1. Belajar observasional terjadi dengan baik saat model mendapat penguat atau tidak mendapat konsekuensi apapun dari perbuatannya. 2. Terdapat perbedaan antara belajar dan bertindak. Ketika pembelajaran tidak memberikan respon, bukan berarti tidak belajar. Ketika anak tidak memberikan respon tampak, ia mungkin mempelajari suatu model dalam bentuk kognitif. Dalam teori belajar observasional memberikan sebuah kerangka teoritis untuk melihat hubungan intensitas menonton tayangan kekerasan pada televisi terhadap perilaku agresif. Dalam teori belajar observasional, televisi merupakan salah satu contoh model yang ada disekitar individu. Adegan
35
kekerasan dalam tayangan televisi, seperti pembunuhan, perusakan, dan perilaku lain yang mencelakakan atau menyakiti subjek atau orang lain adalah bagian yang umumnya dianggap menarik dalam sebuah tayangan televisi (Baron, dkk, 2006). Melihat kekerasan yang disajikan secara dramatis akan menyebabkan orang makin terbiasa dan bahkan mendukung kekerasan daripada mencari solusi alternatif (Bandura, 1986). Kekerasan bukan hanya digambarkan bisa membuahkan hasil, tetapi juga sering dipakai oleh tokoh pahlawan, yang menghabisi musuhnya dengan cepat seolah-olah nyawa tidak ada harganya sama sekali. Adegan-adegan kekerasan dalam tayangan televisi digemari pemain sehingga frekuensi dan intensitas kemunculannya makin meningkat. Oleh karenanya model berupa kekerasan yang ditampilkan dalam tayangan kekerasan pada televisi dapat menjadi teladan perilaku agresif bagi pemainnya. Dengan mengacu pada teori Bandura, dalam penelitian ini peneliti membuat definisi operasional bahwa intensitas menonton tayangan kekerasan pada televisi didefinisikan sebagai frekuensi dan intensitas seseorang menonton tayangan kekerasan pada televisi serta tingkat kekerasan dan tingkat perilaku agresif tayangan yang ditonton sehingga mengimitasi atau meniru agresi yang dilihatnya. Dalam hal ini frekuensi diartikan sebagai keseringan atau lama waktu yang dibutuhkan oleh individu dalam bermain video game. Intensitas adalah tingkat atau kadar kekerasan yang diterima oleh
36
individu dari tayangan kekerasan pada televisi. Imitasi atau meniru adalah suatu proses melakukan tindakan maupun aksi (atensional, retensi, reproduksi dan motivasi) seperti yang dilakukan oleh model berupa tayangan kekerasan pada televisi. 2.2.2 Pengukuran Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan pada Televisi Pengukuaran
intensitas
menonton
tayangan
kekerasan
pada
televisi
berdasarkan teori Bandura yang disususn oleh penulis. Subjek diminta mengisi sesuai dengan kolom yang tersedia dengan dua pernyataan, yaitu frekuensi serta tingkat adegan kekerasan dari masing-masing tayangan televisi yang disediakan. Jumlah dari keseluruhan yang dijadikan sebagai tingkat intensitas menonton tayangan kekerasan pada televisi. 2.2.3
Dampak Menonton Televisi Hurlock (1999) menyatakan bahwa banyak bayi diperkenalkan dengan televisi pada saat bayi masih di tempat tidur. Baginya televisi merupakan pengasuh yang setia karena selalu menghibur bila tidak ada yang melakukan peran tersebut. Bagi sebagian anak prasekolah dan bahkan anak yang lebih tua, menonton televisi merupakan kegiatan tambahan dan tidak hanya sebagai pengganti bermain aktif dan bentuk bermain pasif lainnya. Akan tetapi, bagi kebanyakan anak, menonton televisi lebih popular dan lebih banyak menyita waktu bermainnya ketimbang kegiatan bermain lainnya. Jika intensitas
37
menonton televisi pada anak TK terlalu tinggi, maka akan berakibat yang negatif pada anak. a.
Pengaruh terhadap Perkembangan Otak Masalah yang muncul adalah berapa lama anak-anak menonton televisi dan pengaruhnya bagi anak-anak. Belum lama ini, American Academy of Pediatrics (AAP) dalam publikasi di jurnal Pediatrics membuat pernyataan yang menimbulkan pro dan kontra. Pernyataan itu antara lain: “Dua tahun pertama seorang bayi adalah masa yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan otak, dan dalam masa itu anak membutuhkan interaksi dengan anak atau orang lain. Terlalu banyak menonton televisi akan memberikan pengaruh negatif pada perkembangan otak. Hal ini benar, terutama bagi usia yang masih awal, di mana bermain dan berbicara adalah sangatpenting”.
Lebih
lanjut,
AAP
mengeluarkan
penyataan
tidak
merekomendasikan anak di bawah dua tahun menonton televisi. Sedangkan anak yang berusia lebih tua, AAP menyarankan batasan menonton televisi hanya 1 sampai 2 jam saja, dan yang ditonton adalah acara edukatif dan tidak menampilkan kekerasan. Hal ini jelas belum bisa dipenuhi stasiun-stasiun televisi di Indonesia, yang sangat berorientasi pada bisnis. b. Pengaruh terhadap Logika Anak Televisi bisa memberi dampak yang begitu buruk pada anak. Masalah utamanya ialah ketidakmampuan anak kecil membedakan dunia yang
38
dilihatnya di televisi dengan apa yang sebenarnya. Bagi orang dewasa tidak ada masalah, sebab orang dewasa tahu apa yang sungguh terjadi di dunia dan fiksi belaka. Ketika orang dewasa melihat film aksi atau horror, maka mengerti apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin. Orang dewasa juga mengerti, orang tidak dibunuh atau dipukul sungguh-sungguh dalam film. Sebaliknya, anak kecil kebanyakan belum mengenal dan mengetahui apa acting, efek film, tipuan kamera dan sebagainya. Bagi anak, dunia di luar rumah adalah seperti yang tersaji di televisi, yang dilihatnya tiap hari. Di mata anak-anak, kekerasan yang ada menjadi hal biasa, dan boleh-boleh saja dilakukan, apalagi terhadap orang yang bersalah, seperti ditunjukkan di dalam film-film. Sebuah penelitian di AS melaporkan, karena terlalu banyak menonton televisi, anak-anak dapat beranggapan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar, dan bagian dari hidup sehari-hari. Sebagai akibatnya, anak menjadi lebih agresif dan memiliki kecenderungan untuk memecahkan tiap persoalan dengan jalan kekerasan terhadap orang lain. c.
Pengaruh pada Sikap Hurlock (1999) menjelaskan bahwa tokoh di televisi biasanya digambarkan dengan berbagai stereotip. Anak kemudian berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Ini mempengaruhi sikap anak terhadap kelompok.
d. Efek “Kecanduan”
39
Efek candu yang disebabkan oleh televisi mengakibatkan anak-anak selalu ingin menonton televisi dengan frekuensi yang makin meningkat. Tidak hanya anak-anak, bahkan orang dewasa dapat kecanduan nonton film televisi, bisa melupakan segalanya. Orang dewasa yang dapat dikatakan memiliki kekuatan dan kepribadian cukup matang, sering tidak bisa menahan diri untuk tidak menonton sinetron atau telenovela. Pada anak-anak, efek kecanduan tersebut dapat terlihat pada anak-anak yang amat kecanduan dengan film-film dan tokoh kartun seperti Pokemon, Winnie the Pooh, Doraemon, Dragon Ball, dan sebagainya. Kecanduan ini akan semakin menjadi masalah, bila anak sampai tidak mau bermain di luar dengan lingkungan sekitarnya, anak tidak mau bersosialisasi, dan dunianya tidak bertambah luas. Stimulasi berupa interaksi sesama anak dan orang dewasa di sekitarnya menjadi minimal, dan dapat menjadi kuper (kurang pergaulan). Waktu belajar pun akan terpotong oleh jam-jam tertentu waktu acara televisi sedang ditayangkan. Kelanjutan dari berkurangnya waktu belajar ini akan berdampak pada prestasi di sekolah. Anak yang kurang belajar, tentu nilainya akan kurang baik dibandingkan teman-temannya yang lebih rajin. e.
Pengaruh pada Nilai Hurlock (1999) menjelaskan bahwa menu acara yang terus menerus menunjukkan adegan pembunuhan, penyiksaan, dan kekejaman pada saatnya akan menumpulkan kepekaan dan mendorong pengembangan nilai anak yang
40
tidak sejalan dengan nilai mayoritas kelompok sosial. Apabila anak terbiasa dan tidak peka terhadap kekerasan, mereka akan menerima perilaku itu sebagai pola hidup yang normal. Milton Chen (1996) menjelaskan, hingga saat merampungkan kelas enam, anak Amerika rata-rata menyaksikan 100.000 tindak kekerasan yang ditayangkan di televisi, termasuk 8.000 pembunuhan. f.
Pengaruh terhadap Kreativitas Anak Dampak lain dari terlalu banyak menonton televisi adalah anak menjadi pasif dan tidak kreatif. Anak-anak kurang beraktivitas, tetapi hanya duduk di depan televisi, dan melihat apa saja yang ada di depannya. Baik secara fisik maupun mental, anak menjadi pasif, karena memang orang yang menonton televisi tidak perlu berbuat apa-apa. Hanya duduk, mendengar dan melihat apa yang di televisi. Kemampuan berpikir dan kreativitas anak tidak terasah, karena tidak perlu lagi membayangkan sesuatu seperti halnya membaca buku atau mendengar musik. Hal lain yang menyertai kepasifan ini adalah anak cenderung menjadi lebih gemuk, bahkan bisa overweight karena mereka biasanya menonton televisi sambil makan kudapan atau cemilan terus menerus tanpa terasa. Robert Kleges, seorang peneliti pada Memphis State University menemukan bahwa anak-anak yang menonton televisi cenderung menghabiskan lebih sedikit kalori per menit, tidak hanya lebih sedikit dari mereka yang membaca atau “tidak melakukan apa-apa”, kenyataannya, sedikit
41
kalori yang digunakan oleh anak-anak yang tidur. Anak-anak pada waktu dulu menghabiskan waktu dengan bermain dan mencari tahu situasi di sekitar mereka. Kini, anak-anak sekarang menghabiskan waktunya dengan nonton televisi selama mungkin. Anak-anak muda yang seharusnya keluar rumah untuk mengalami memar, kotor, dan kecapekan, kini hanya menggerakkan kelopak mata mereka ketika duduk berjam-jam di depan pesawat televisi. Ada bukti yang menunjukkan bahwa televisi mempengaruhi kemampuan menyenangkan diri sendiri, dan melumpuhkan kemampuan mengemukakan pendapatnya secara logis dan sensitif. Tontonan televisi menggantikan kegiatan bermain yang aktif dengan sikap pasif. g.
Pengaruh pada Perilaku Karena anak suka meniru, anak merasa bahwa apa saja yang disajikan dalam acara televisi tentunya merupakan cara yang dapat diterima baginya dalam bersikap sehari-hari. Karena para pahlawan yang patuh kepada hukum kurang menonjol ketimbang yang menyimpangkan perhatian dengan kekerasan dan tatanan sosial lainnya, anak-anak cenderung memperhatikan cara yang terakhir untuk mengidentifikasikan diri dan menirunya (Hurlock, 1999). Chen (1996) memaparkan beberapa pengkajian perilaku anak-anak di berbagai wilayah sebelum dan sesudah masuknya televisi. Pada awal 1970-an, Tannis Machbeth Williams dan para periset lain dari Universitas British Columbia membandingkan tingkat agresi pada anak-anak kelas satu dan dua
42
SD dari dua kota Kanada, yang satu mempunyai televisi dan yang lain tidak bisa menerima televisi karena terhalang deretan pegunungan. Ketika kota pegunungan itu akhirnya bisa menerima siaran televisi, tingkat pukulmemukul, gigit-menggigit, dan dorong-mendorong pada anak-anak itu meningkat sebesar 160 persen. h. Pengaruh Konsumerisme Selain hal-hal yang tersebut di atas, terdapat dampak negatif lain dari televisi yaitu pengaruh dari iklan di televisi yang makin hari makin bombastis. Begitu banyak iklan yang menawarkan berbagai barang, dari mainan anak, makanan, minuman, dan lain sebagainya. Iklan-iklan itu dengan memberikan janji-janji kesenangan dan kebahagiaan keluarga yang akan diperoleh bila membeli produk tersebut. Chen (1996) menyebutkan rata-rata anak Amerika menonton 20.000 iklan per tahun. Para pemasang iklan membelanjakan sekitar $700 juta dolar per tahun untuk melontarkan iklan kepada anak-anak. Tanpa sadar, pesan ini dapat menanamkan pada anak nilai-nilai konsumerisme dan bahwa kebahagiaan /kesuksesan sebuah keluarga diukur dari kemampuan memiliki produk yang ditawarkan. i.
Pengaruh pada Cara Berbicara Cara berbicara anak sangat dipengaruhi pembicaraan yang didengarnya, apa yang diucapkan orang dan bagaimana cara mengucapkannya, sehingga meningkatkan pelafalan dan tata bahasa, namun belum tentu akan memberi
43
pola yang baik dalam pengungkapan hal-hal yang dikatakan anak (Hurlock, 1999). j.
Pengaruh Positif Meski demikian, ada juga dampak positif dari televisi. Misalnya menambah kosakata (vocabulary) terutama kata-kata yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari, belajar tentang berbagai hal melalui program edukasi dari siaran televisi, dan sebagainya. Berbagai acara di televisi (selain film), misalnya musik, olahraga, kesenian, berita, dan lain-lain, juga dapat menambah wawasan dan minat. Anak menjadi mengenal berbagai aktivitas yang bisa dilakukannya. Anak akan mengetahui perkembangan iptek, perkembangan peristiwa dunia, dan perkembangan permasalahan yang ada di luar lingkungannya. Namun persentase acara televisi yang bersifat pendidikan masih sedikit. Dengan adanya berbagai pengaruh negatif dan positif tersebut, perlu adanya upaya orang tua dalam membimbinganak menonton televisi. Orangtua perlu melakukan beberapa seleksi ketat, mulai dari jam serta lama menonton,jenis
tontonan,
dan
kesesuaian
umur.
Kalau
ada
waktu
senggang,orang tua perlu mendampingi anak saat menonton televisi. Dengan menemani anak menonton, orang tua dapat mengajak anak membahas apa yang ada di televisi, dan membuatnya mengerti bahwa apa yang ada di televisi tidak semua sama dengan apa yang ada sebenarnya. Orang tua juga akan makin erat hubungan komunikasinya dengan anak (Dudung A M, 2002:4).
44
2.2.4 Pengertian Televisi Televisi adalah alat elektronik yang berfungsi menyebarkan gambar dan diikuti oleh suara tertentu. Pada dasarnya sama dengan gambar hidup bersuara (Danim, 1995). Chen (1996) mengatakan bahwa menonton televisi adalah kegiatan khusus; yakni menyaksikan program-program
yang
ditayangkan televisi. Tayangan televisi dalam hal ini adalah acara-acara yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia. Sedangkan menurut Effendy (1986), televisi terdiri dari istilah “Tele” artinya far, off, jauh ditambah dengan “Vision” yang berarti penglihatan. Pengertian televisi menurut Effendy menerangkan bahwa bila dipandang dari segi jauhnya diusahakan oleh prinsip radio dan segi penglihatannya oleh gambar. Tanpa adanya gambar pemirsa tidak melihat apa-apa sedangkan penonton dapat menikmati siaran televisi kalau televisi dapat memancarkan gambar dan gambar yang dipancarkan adalah gambar yang bergerak dan kadang-kadang gambar yang diam (Still Picture). 2.2.5
Jenis-jenis Tayangan Televisi Williams (2009) membagi jenis-jenis tayangan televisi menjadi dua bagian yang masing-masing bagian telah memiliki tayangan yang beragam.
1.
Kombinasi dan Pengembangan atas Bentuk-bentuk Kultural Terdahulu a. Berita b. Debat dan Diskusi
45
c. Pendidikan d. Drama e. Film f. Variety Show g. Olahraga h. Iklan i. Acara Waktu Senggang (pastimes) 2.
Bentuk-bentuk campuran dan baru a. Drama dokumenter b. Pendidikan dengan menonton c. Diskusi d. Feature e.
Sekuen
f. Televisi 2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Berkaitan dengan penelitian ini yaitu hubungan intensitas menonton tayangan kekerasan pada televisi dengan perilaku agresif salah satu faktor yang ditengarai berpengaruh terhadap perilaku agresif. Agresi dipelajari dengan melihat orang lain melakukan agresi, seperti yang ditunjukan anak meniru adegan kekerasan yang ditontonnya. Villani (2000) menyatakan bahwa anak-anak mempelajari nilai-nilai hidup dari tayangan media, sehingga
46
apabila media sarat dengan muatan kekerasan, maka anak-anak berpeluang mengimitasi agresi. Strassburger dan Donnerstein
(1998),
membuktikan pengaruh
intensitas menonton tayangan kekerasan pada televisi terhadap agresi. Frekuensi menonton televisi, khususnya program bermuatan kekerasan, pada usia anak-anak terbukti berpengaruh pada tingkat perilaku agresif. Intensitas menonton adegan kekerasan di televisi terbukti berhubungan positif dan signifikan terhadap perilaku agresif pada usia remaja (Murray, 2008). Individu terbukti mempelajari nilai-nilai hidup dari media, sedangkan media didominasi tayangan berbau kekerasan dan seks. Akibatnya, eksposur kekerasan di media menyebabkan peningkatan perilaku agresif, diantaranya bertindak sadis, kejam, dan melakukan perilaku berisiko tinggi seperti mengkonsumsi alkohol, merokok, dan melakukan hubungan seksual pra-nikah (Villani, 2000). Berlawanan dengan hasil penelitian Widiastuti (2002), bahwa intensitas menonton adegan kekerasan di televisi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku agresif yang berarti tidak memiliki hubungan dengan perilaku agresif. Tindak kekerasan yang sering muncul di media elektronik khususnya televisi sering dihubung-hubungkan dengan perilaku agresif di dunia nyata. Hal itu ditegaskan dalam penelitian terbaru di Amerika Serikat dan dipublikasikan di jurnal Pediatrics oleh Dr. Michelle L.Ybarra dari lembaga
47
internet solution for kids, bahwasanya perilaku agresif di dalam media berhubungan dengan perilaku agresif yang serius di kalangan remaja. American Academy of Pediatric menyatakan bahwa, perilaku agresif di media merupakan faktor utama perilaku agresif di kalangan remaja. Adapun dalam survey terbaru pada 1.558 remaja usia 15 sampai 18 tahun, diteliti hubungan antara perilaku agresif di dunia nyata seperti banyak yang bertemakan kekerasan, seperti memukul, menendang, menembak lawan, mencuri ataupun menyerang secara seksual. Para peneliti menyimpulkan, responden yang mengakses
situs
yang
menampilkan
perkelahian,
penembakan,
dan
pembunuhan maka lima kali berpotensi terlibat tindak kekerasan di dunia nyata daripada responden yang tidak mengakses situs semacam itu. Media lainnya seperti televisi, film, musik, dan game yang berpengaruh terhadap perilaku agresif remaja (Kristo, 2008). 2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori di aatas, penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut : Ada hubungan antara intensitas menonton tayangan kekerasan pada televisi dengan perilaku agresif siswa kelas VIII SMP Mardi Rahayu Ungaran.
48