BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Pengukuran Kinerja Pada sub bab ini akan dijabarkan mengenai apa yang dimaksud dengan
pengukuran kinerja dan manfaat yang akan diberikan.
2.1.1 Definisi Pengukuran Kinerja Menurut Yuwono, Sukarno, dan Ichsan (2002, p23), pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai (value chain) yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik (feedback) yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian- penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian. Kaplan dan Norton (1996) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai : “the activity of measuring the performance of an activity or the entire value chain”. Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktifitas dalam rantai nilai yang ada di perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi
6
7
tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian.
2.1.2 Manfaat Pengukuran Kinerja Pada tahun 1891, ahli ilmu fisika Inggris Lord Kevin menulis : “Bila anda dapat mengukur apa yang anda sedang bicarakan, dan menyatakannya dalam bentuk angka-angka, maka anda mengetahui sesuatu tentang itu, tetapi apabila anda tidak dapat mengukurnya, dan anda tidak dapat menyatakannya dalam bentuk angka-angka. Maka pengetahuan anda adalah tidak lengkap dan tidak memuaskan” (Gasperz, 2000). Menurut Lynch dan Cross (1991), manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sebagai berikut : 1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa perusahaan lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan. 2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata-rantai pelanggan dan penyedia internal. 3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste).
8
2.2
IT Balanced Scorecard Pada tahun 1997, Van Grembergen dan Van Bruggen menyesuaikan
Balanced Scorecard tradisional untuk digunakan dalam Teknologi Informasi yang hadir ketika ketertarikan masyarakat terhadap IT meningkat, lalu muncul masalah mengenai bagaimana mengevaluasi fungsi IT pada perusahaan sebagai investasi IT. Mereka mencatat bahwa Departemen IT merupakan penyedia layanan internal, sehingga keempat perspektif tersebut disesuaikan dengan perubahan yg terjadi.
Gambar 2.1 Perubahan Perspektif Balanced Scorecard Tradisional menjadi IT Balanced Scorecard IT Balanced Scorecard menerjemahkan misi dan strategi perusahaan ke dalam seperangkat ukuran yang menyeluruh yang memberi kerangka kerja bagi pengukuran
dan
sistem
manajemen
strategis.
IT
Balanced
Scorecard
memungkinkan untuk membangun sebuah ukuran untuk menentukan efektifitas IT, bagaimana IT menciptakan nilai dan mendukung operasi bisnis, menyediakan dukungan untuk menciptakan rencana dan pengembangan IT strategis. Selain tetap memberi penekanan pada pencapaian tujuan finansial, IT Balanced
9
Scorecard juga memuat faktor pendorong kinerja tercapainya tujuan finansial tersebut. IT Balanced Scorecard yang telah disesuaikan untuk pengukuran kinerja Teknologi Informasi yang terdiri dari beberapa perspektif, yaitu : 1. Perspektif Kontribusi Terhadap Perusahaan (Corporate Contribution) 2. Perspektif Orientasi Pengguna (User Orientation) 3. Perspektif Keunggulan Operasional (Operational Excellence) 4. Perspektif Orientasi Masa Depan (Future Orientation)
2.2.1 Perspektif Orientasi Pengguna Perspektif ini menggambarkan kemampuan IT dalam memenuhi kebutuhan user IT internal dan eksternal. Dalam perspektif ini organisasi melakukan identifikasi pelanggan dan segmen pasar yang akan dimasuki. Dan dengan
perspektif
orientasi
pengguna
ini
maka
organisasi
dapat
menyelaraskan berbagai ukuran pelanggan penting yaitu : kepuasan, loyalitas, retensi, akuisisi dan profitabilitas, dengan pelanggan sendiri dan segmen pasar sasaran. Selain itu perspektif ini juga memungkinkan organisasi melakukan identifikasi dan pengukuran dimana secara eksplisit menetapkan proposisi nilai (faktor pendorong) yang akan organisasi berikan kepada pelanggan dan pasar sasaran.
10
Faktor-faktor penentu dari perspektif pelanggan, yaitu : 1. Performa layanan perbaikan yang diberikan. 2. Tingkat keluhan. 3. Waktu yang diperlukan untuk melayani keluhan. 4. Jangka waktu penyelesaian.
2.3
IT Infrastructure Library (IT-IL) Pada sub bab ini akan dijabarkan mengenai apa yang dimaksud dengan
Information Technology Infrastructure Library (IT-IL) beserta fungsi-fungsi didalamnya.
2.3.1 Pengertian IT-IL Menurut Cartlidge (2007, p8), Information Technology Infrastructure Library
(IT-IL)
adalah
sebuah
kerangka
kerja
atau
konsep
yang
menggambarkan praktek terbaik dalam manajemen layanan teknologi informasi (TI). IT-IL menyediakan sebuah kerangka kerja untuk pengelolaan IT dan berfokus pada pengembangan dan pengukuran yang terus menerus terhadap kualitas dari layanan IT yang diberikan baik terhadap bisnis atau pelanggan. Fokus dari IT-IL sendiri ialah memberikan kontribusi dan keuntungan dalam menjalankan teknik-teknik dan proses-proses pada organisasi.
11
Menurut Addy (2007, p38), IT-IL merupakan kumpulan dari petunjuk-petunjuk
yang
dikembangkan
United
Kingdom’s
Office
of
Government Commerce (OGC). Petunjuk-petunjuk ini, yang menggambarkan proses-proses yang terintegrasi, yang menyediakan pendekatan praktek terbaik untuk mengelola layanan IT.
2.3.2 Sejarah IT-IL Menurut Addy (2007, p38), IT-IL pertama kali muncul pada akhir tahun 80an. Central Computer and Telecommunication Agency (CCTA) yang merupakan bagian dari departemen pemerintahan Inggris, dengan biaya IT sebesar 9 miliar pound, mendapatkan tekanan besar untuk dapat mengurangi biaya tersebut secara signifikan. CCTA memutuskan efisiensi besar merupakan salah satu cara potensial untuk mengurangi biaya tersebut. Akhirnya mereka menciptakan sebuah linkungan yang berfokus pada proses dan efisiensi untuk pengembangan sebuah kerangka kerja yang saat ini dikenal sebagai IT-IL. Pada tahun 90an banyak perusahaan besar dan agen pemerintahan di Eropa mulai mengadopsi kerangka kerja IT-IL ini sebagai dasar dalam operasional IT. IT-IL mulai menyebar secara luas dan dengan cepat menjadi standar de facto untuk manajemen layanan IT. Pada tahun 2001, kerangka kerja IT-IL versi 2 diperkenalkan. Revisi baru ini telah diperbarui dengan definisi dan terminology yang lebih modern terutama dalam pengembangan Service Delivery dan Service Support yang significant sehingga menjadi ringkas dan dapat digunakan.
12
2.3.3 Tujuan IT-IL Tujuan IT-IL adalah untuk menyediakan petunjuk untuk praktek terbaik dalam manajemen layanan teknologi informasi. Ini mencakup pilihan yang dapat diapdopsi dan diadaptasi oleh organisasi berdasarkan kebutuhan bisnisnya, keadaan, dan kedewasaan dari penyedia layanan (BMCSoftware, 2006).
2.3.4 Keuntungan IT-IL Menurut Cartlidge (2007, p8), beberapa keuntungan dari IT-IL, antara lain: 1. Meningkatkan kepuasan user dan pelanggan terhadap layanan IT. 2. Memperbaiki ketersediaan layanan, yang berpengaruh secara langsung dalam meningkatkan keuntungan dan pendapatan bisnis. 3. Menghemat keuangan, dari pengurangan kerja, kehilangan waktu. 4. Memperbaiki manajemen sumber daya dan kegunaan. 5. Memperbaiki pembuatan keputusan dan mengoptimalkan resiko. 6. Memperbaiki waktu terhadap pasar untuk produk baru dan layanan.
2.3.5 Konsep IT-IL IT-IL merupakan metodologi yang memberikan panduan best practice bagi IT Service Management dalam membantu menghubungkan IT dengan kebutuhan pelayanan bisnis dan juga sebaliknya. IT-IL memberikan pengaruh
13
kepada manajemen termasuk di dalamnya manajemen orang dan proses, efektifitas teknologi, serta efisiensi dan ekonomis dalam memberikan pelayanan bisnis dengan service level yang telah disetujui bersama (antara IT dengan bisnis). Keuntungan yang diperoleh dari IT-IL adalah bisnis yang lebih kompetitif diantaranya dengan meningkatnya kepuasan dan pelayanan nasabah, meningkatnya availability dan reliability dari pelayanan IT, meningkatnya roles dan responsibilities dari organisasi IT, menghubungkan IT dengan bisnis dan bisnis dengan IT.
Gambar 2.2 IT-IL Publication Framework (BMCSoftware, 2006) IT-IL memiliki beberapa proses (OGC,2003), diantaranya : 1
The Business Perspective Berfokus kepada pelurusan, pemahaman dan peningkatan IT yang berhubungan dengan kebutuhan bisnis sekarang dan yang akan datang.
14
2
ICT Infrastructure Management Manajemen infrastruktur Information and Communications Technology (ICT) berfokus pada kuantitas, kualitas, dan ketersediaan dari informasi yang berhubungan dengan infrastruktur. Meliputi manajemen pelayanan jaringan, manajemen operasi, manajemen dari lokal prosesor, instalasi komputer, dan manajemen sistem.
3
Planning to Implement Service Management Merupakan permintaan proses dan fungsi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan atau meningkatkan ketentuan pelayanan IT. Meliputi IT maturity, keuntungan dari manajemen pelayanan, peningkatan yang terus menerus yang pasti dihubungkan untuk mengimplementasikan proses IT-IL dan fungsi Service Desk.
4
Application Management Lifecycle
dari
aplikasi
dan
pengaruhnya
terhadap
implementasi,
pengembangan, dukungan dan pengiriman pelayanan ICT. Manajemen aplikasi meliputi perubahan bisnis, definisi permintaan, dan implementasi dari solusi untuk menemukan kebutuhan bisnis. 5
Security Management Merupakan bagian dari manajemen IT.
6
IT Service Management Merupakan kumpulan dari tanggung jawab yang saling berbagi, ditambah dengan disiplin dan proses yang saling berhubungan yang memampukan perusahaan untuk menjamin, mengawasi, dan mengatur infrastruktur IT
15
untuk memberikan kualitas dan efektifitas pelayanan agar dapat menghubungkan keperluan bisnis jangka pendek dan jangka panjang.
2.4
IT Service Management Menurut Addy (2007), IT Service Management terdiri dari dua bagian
penting yaitu Service Delivery dan Service Support. Dimana dalam keseluruhan IT Service Management terdapat sepuluh proses manajemen dan sebuah fungsi Service Desk.
Gambar 2.3 IT Service Management (Addy,2007) Service
Delivery
merupakan
proses
tactical
yang
menyediakan
kemampuan dalam memberikan dukungan yang memadai terhadap nasabah bisnis, lebih fokus kepada planning (rencana ke depan). Service Delivery meliputi proses
Service
Level
Management,
Capacity
Management,
Availability
Management, Financial Management, IT Service Continuity Management.
16
Service Support merupakan fungsi dan proses operasional yang menjamin user untuk dapat mengakses pelayanan yang tepat demi mendukung fungsi dan pelayanan bisnis, lebih fokus kepada pelayanan operasional sehari-hari. Service Support meliputi proses Configuration Management, Incident Management, Problem Management, Change Management, Release Management, serta fungsi Service Desk.
2.4.1 Service Level Management Service
Level
Management
(SLM)
melaksanakan
negosiasi,
menyetujui dan mendokumentasikan sasaran layanan IT (IT service) yang sesuai dengan perwakilan dari pihak bisnis, kemudian memonitor dan membuat laporan tentang kemampuan penyedia layanan (service provider) dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan tingkat layanan (level of service) yang telah disetujui. SLM merupakan suatu proses yang sangat penting bagi setiap organisasi penyedia layanan IT (IT service provider) yaitu bertanggungjawab menyetujui dan mendokumentasikan sasaran dan tanggung jawab tingkat layanan (service level targets and responsibilities) yang terdapat dalam Service Level Agreement (SLA) dan Service Level Request (SLR), untuk setiap aktifitas di lingkungan IT (OGC, 2003). SLM menyediakan suatu mekanisme untuk meluruskan layanan IT dengan kebutuhan perusahaan dan juga menyediakan susunan kerangka tentang bagaimana cara pelanggan dan penyedia IT dengan mendiskusikan serta mengkaji layanan agar terlayani dengan baik.
17
Tujuan utama SLM harus menyediakan mekanisme yang mudah dimengerti sebagai ekspektasi pelanggan dan kelompok pemakai agar dapat menggunakan layanan yang disediakan. Akivitas-aktivitas tercakup cara membuat katalog meliputi layanan, mengidentifikasikan persyaratan, SLAs negosiasi, dan mengelola kontinyutas layanan, ketersedian dan kapasitas (OGC, 2003).
2.4.2 Financial Management Proses manajemen keuangan merupakan konsep dari budgeting, accounting dan charging untuk IT Delivery Service kepada pelanggan. Budgeting dan accounting mencakup pemahaman biaya untuk menyediakan berbagai layanan. Manajemen keuangan memastikan dimana layanan IT apapun keperluan biaya diusulkan disetujui berdasarkan budget yang ada. Aktivitas-aktivitas dilakukan dalam fungsi meliputi beberapa standar akuntansi praktek seperti penganggaran dan alokasi biaya (OGC, 2003). Terdapat 3 proses inti dalam Financial Management, yaitu : 1. Budgeting 2. IT Accounting 3. Charging
18
2.4.3 Capacity Management Aktivitas-aktivitas Capacity Management meliputi perencanaan, ukuran, dan mengontrol kapasitas sebagai solusi layanan untuk memuaskan permintaan pemakai di dalam meningkatkan kinerja SLA, ini memerlukan koleksi informasi tentang skenario pemakaian, pola, dan karakteristik beban maksimum dari solusi layanan (OGC, 2003). Capacity Management layanan IT, yaitu : 1. Proses-proses untuk memastikan bahwa kapasitas infrastruktur TI dapat memenuhi kebutuhan bisnis (yang selalu berubah) secara tepat waktu dan tepat anggaran. 2. Faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah cost, capacity, supply dan demand. Ruang lingkup dari Capacity Management adalah : 1. Semua hardware (personal computer, mainframe, server). 2. Semua perlengkapan jaringan (LAN, WAN, bridge, router). 3. Semua peripheral (storage, printer). 4. Semua software (operating software, network software, sistem). 5. Sumber daya manusia, kurangnya SDM bisa menyebabkan delay dalam response time.
19
2.4.4 IT Service Continuity Management IT Service Continuity Management, juga dikenal sebagai manajemen ketidaktentuan, memfokuskan pada meminimumkan gangguan kepada perusahaan yang disebabkan oleh kegagalan sistem kritis untuk mencapai misi. Proses ini berhubungan dengan perencanaan untuk mengatasi dan memulihkan dari suatu bencana/kecelakan IT (OGC, 2003).
2.4.5 Availability Management Tujuan Availability Management harus memastikan bahwa layanan IT adalah tersedia kepada para pemakai ketika mereka memerlukan layanan tersebut. Ketersediaan layanan dihitung dan dilaporkan berdasarkan prosentase jam terjadi dimana layanan tersebut tersedia (OGC, 2003).
2.4.6 IT Service Desk Dengan meningkatnya permintaan user dan globalisasi di tingkat perusahaan, seringkali membuat pelayanan yang world-class menjadikan perbedaan yang besar diantara kesuksesan dan kegagalan. Dengan memahami kebutuhan user dan bisnis secara benar, perusahaan dapat memberikan pelayanan yang memuaskan serta keuntungan yang kompetitif. Untuk itu, diperlukan peranan IT Service Desk dalam memahami kebutuhan user.
2.4.6.1 Pengertian IT Service Desk IT Service Desk mempunyai peranan penting dalam IT Services. IT Service Desk merupakan kontak pertama pelaku bisnis atau user yang
20
memanfaatkan IT Service, jika terjadi sesuatu dengan IT Service yang tidak mereka harapkan. IT Service Desk merupakan “pintu” komunikasi utama bagi end user jika membutuhkan bantuan. Tanpa IT Service Desk, suatu
perusahaan
mungkin
akan
menghadapi
ketidakefisien
(BMCSoftware, 2006).
2.4.6.2 IT Service Desk sebagai Single Point Of Contact (SPOC) Menurut (BMCSoftware, 2006), terdapat perbedaan antara penanganan masalah dari user, yaitu ; With SPOC
User
User
User
Service Desk
Problem Email
Problem Printer
Gambar 2.4 With SPOC
Install Software
Upgrade Computer
21
Gambar 2.5 SPOC Namun, dengan kehadiran IT Service Desk sebagai Single Point Of Contact (SPOC), pada saat user memiliki request ataupun incident, cukup IT Service Desk yang mereka hubungi, kemudian untuk berikutnya IT Service Desk yang akan meng-eskalasi. Dalam hal ini, IT Service Desk menjadi penghubung antara user dengan IT.
22
2.4.6.3 Tugas dan Tanggung Jawab IT Service Desk Dibawah ini akan dijelaskan mengenai tugas dan tanggung jawab dari IT Service Desk, pembagian masalah, prioritas dan kategori dari setiap masalah yang masuk menurut BMCSoftware (2006). Tugas dan tanggung jawab dari IT Service Desk adalah : 1. Menerima incident. 2. Mencatat dan men-track incident. 3. Memberikan solusi pada saat first-call. 4. Monitoring status dan progress dari semua incident yang masuk. 5. Menginformasikan perkembangan incident ke user. 6. Mengkoordinasikan ke second level support jka incident belum closed. Secara garis besar masalah yang terjadi dibedakan menjadi : 1. Incident adalah setiap kejadian dalam TI baik itu berupa kegagalan suatu fungsi atau proses TI maupun layanan TI. 2. Problem adalah incident yang telah terjadi secara berulang-ulang. 3. Request adalah permintaan dari user baik itu berupa layanan maupun produk TI.
23
Berdasarkan prioritasnya setiap masalah yang masuk dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu : 1. Urgent, merupakan klasifikasi untuk masalah yang memiliki prioritas pengerjaan paling tinggi. Masalah ini biasanya dapat berdampak pada terhentinya seluruh proses layanan TI. 2. High, merupakan klasifikasi untuk setiap masalah yang memiliki dampak pada sebagian proses layanan TI. Namun jika tidak dapat diselesaikan dengan cepat maka akan menganggu proses yang lain. 3. Medium, merupakan klasifikasi untuk setiap masalah yang kurang begitu berdampak besar terhadap proses layanan TI namun jika tidak ditangani dengan segera akan menimbulkan masalah lain. 4. Low, merupakan klasifikasi untuk setiap masalah yang memiliki dampak yang kecil terhadap proses layanan TI. Dan pembagian kategori dari setiap permasalahan yang masuk adalah sebagai berikut : 1. Application merupakan kategori incident yang berhubungan dengan aplikasi maupun software produk dan layanan TI. Incident yang mungkin terjadi adalah terjadinya penyimpangan atau bahkan tidak beroperasinya aplikasi tersebut. 2. Hardware
merupakan
kategori
untuk
setiap
incident
yang
berhubungan dengan peralatan keras. Umumnya incident yang terjadi
24
adalah kerusakan atau penggantian beberapa bagian perangkat keras dari alat-alat TI. 3. Default merupakan kategori standar dari sistem yang merupakan kateogri untuk incident yang mungkin tidak termasuk kedalam jenisjenis kategori diatas. 4. Net/Comms merupakan kategori untuk setiap incident yang berkaitan dengan gangguan komunikasi atapun jaringan internal dan eksternal. 5. Request adalah merupakan untuk incident yang merupakan suatu permintaan dari user layanan atau produk TI
2.4.6.4 Faktor-faktor Kesuksesan IT Service Desk Menurut OGC (2003), terdapat faktor-faktor penentu kesuksesan dari IT Service Desk, yaitu : 1. Komitmen Manajemen (Management’s commitment) Komitmen manajemen yang dimaksud adalah setiap kegiatan yang memerlukan perubahan dalam suatu organisasi atau perusahaan memerlukan dukungan manajemen dan komitmen untuk melaksanakan kegiatan tersebut. 2. Mengerti tentang kebutuhan bisnis dan keperluan dari user (Understanding of business needs and Customer requirement)
25
Mengerti akan kebutuhan bisnis dan keperluan dari customer dalam hal ini user sangat di perlukan untuk mendukung proses bisnis yang terjadi pada organisasi atau perusahaan. 3. Pengumpulan dan penggunaan dari Bisnis Metrik atau efektivitas layanan (Collection and use of business metrics) Pengumpulan bisnis metrik yang dimaksud adalah memantau efektivitas layanan yang disediakan dan layanan yang diminta sudah dijalankan dengan baik. 4. Dukungan proses pemeliharaan, dan investasi dalam pelatihan dan pelayanan ( Maintanance of support processes, and investments in training support teams and service staff) Mendukung proses pemeliharaan adalah memastikan tidak ada proses change dan release yang tidak valid, serta pelatihan dan pelayanan dari stafnya. 5. Kemudahan penggunaan dan kualitasnya (Ease of Use and Quality Content) Kemudahan penggunaan dan kualitasnya yang dimaksud adalah kemudahan pengguanaan dari sistem yang sudah berjalan dan kualitas dari layanan terhadap customer atau user.
26
6. Komunikasi (Communication) Komunikasi terhadap customer atau user sangat diperlukan untuk mendukung kesuksesan dari layanan IT Service Desk.
2.4.7 Incident Management 2.4.7.1 Pengertian Incident Management Menurut OGC (2003), incident adalah semua kejadian diluar standar layanan operasional yang menyebabkan atau dapat menyebabkan interupsi atau berkurangnya kualitas layanan. Incident biasanya merupakan akibat dari kegagalan sistem atau error pada infrastruktur IT yang menyebabkan atau berpotensial menjadi penyebab terganggunya operasional. Contoh dari incident adalah : 1. Adanya aplikasi potensial menyebabkan kerusakan sistem. 2. Sistem yang down dapat menyebabkan sistem lain terganggu. 3. Jaringan komputer yang terganggu menyebabkan sistem terganggu. Incident Management merupakan salah satu proses manajemen dari IT-IL yang bertujuan untuk mengembalikan pelayanan operasional seperti keadaan semula dengan se-segera mungkin dan untuk meminimalkan dampak buruk terhadap bisnis (OGC, 2003). Tujuan utama dari Incident Management adalah membantu organisasi untuk membangun kembali layanan senormal dan secepat
27
mungkin dan meminimumkan gangguan kepada semua kegiatan IT dalam organisasi. Dalam hal ini IT Service Desk memainkan peran kunci di proses Incident Management (OGC, 2003).
2.4.7.2
Tugas
dan
Tanggung
Jawab
Incident
Management Menurut OGC (2003) tugas dan tanggung jawab dari Incident Management adalah : 1. Mengendalikan efisiensi dari proses incident management. 2. Mengkoordinasikan pekerjaan staf incident support (first-and secondline). 3. Mendeteksi kemungkinan adanya problem dan dilanjutkan ke tim Problem Management agar diinvestigasi lebih lanjut.
2.4.8 Problem Management 2.4.8.1 Pengertian Problem Management Menurut Addy (2007), problem adalah incident yang sering muncul dan dicurigai memiliki akar permasalahan (root cause) yang sama. Problem management adalah sebuah proses yang mengidentifikasi akar permasalahan dari kerusakan (problem). Tujuan utamanya adalah meyakinkan layanan atau service dari IT stabil, tepat waktu, dan akurat serta mencegah problem yang sama terulang kembali.
28
Problem management juga bisa diartikan sebagai sebuah penanganan
dan
pencegahan
suatu
kejadian/masalah
yang
akan
mempengaruhi IT Service suatu organisasi. Hal ini memastikan bahwa suatu masalah diperbaiki, mencegah terjadinya kembali masalah yang sama, dan melakukan perawatan dan pencegahan untuk mengurangi masalah-masalah ini muncul pada saat pertama kali (OGC, 2007).
2.4.8.2 Proses Problem Management
Gambar 2.6 Proses Problem Management (BMCSoftware, 2006) Begitu mendapat eskalasi problem dari IT Service Desk atau Incident Management, maka tiket problem di buat dan tim Problem Management akan dibentuk untuk melaksanakan proses Problem Management seperti pada flow di atas. Pembuatan tiket problem terjadi pada step Reactive dan Proactive Problem Management, yang akan
29
dilanjutkan dengan proses Problem Control dan Error Control seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Menurut BMCSoftware (2006), aktivitas-aktivitas utama yang dilakukan didalam proses Problem Management antara lain : 1. Reactive Problem Management merupakan aktivitas yang dilakukan oleh tim Problem Management untuk menganalisa incident setelah incident
tersebut
muncul.
Ketika
problem
terindikasi,
maka
dibentuklah suatu tim Problem Management yang terdiri dari berbagai bagian yang terkait dengan problem tersebut untuk melaksanakan proses Problem Management hingga problem tersebut resolved dan closed. 2. Proactive Problem Management merupakan aktivitas yang dilakukan tim Problem Management dalam rangka mencegah incident sebelum incident tersebut muncul. Proactive Problem Management dapat dilakukan dengan mengidentifikasi trend dan mereview informasi dari proses lain yang mengindikasikan adanya potensi terjadi incident. Ketika problem terindikasi, maka dibentuklah suatu tim Problem Management yang terdiri dari berbagai bagian yang terkait dengan problem tersebut untuk melaksanakan proses Problem Management hingga problem tersebut resolved dan closed. 3. Problem Control berfokus pada transformasi Problem menjadi Known Error. Adapun sasaran dari Problem Control adalah :
30
a. Menangani problem dengan cara yang efektif dan efisien b. Mengidentifikasi root cause c. Menyediakan informasi dan solusi sementara (workround) bagi IT Service Desk 4. Error Control berfokus pada penyelesaian known error melalui proses Change Management. Adapun sasaran dari Problem Control adalah : a. Menyadari error yang terjadi b. Memonitor error c. Mengeliminasi error d. Mengidentifikasi root cause e. Menyediakan informasi dan solusi sementara (workround) bagi IT Service Desk
2.4.8.3
Faktor-faktor
Kesuksesan
Problem
Management Menurut OGC (2003), terdapat faktor-faktor kesuksesan dari Problem Management, yaitu : 1. Klasifikasi masalah. Klasifikasi masalah yang efektif adalah fundamental bagi keberhasilan Problem Management
31
2. Kompetensi Memecahkan setiap permasalahan merupakan aktivitas yang sangat penting. 3. Sinergi Perlunya kerja sama yang baik antara Incident Management dengan Problem Management karena keduanya bersinergi dan dapat saling membantu.
2.4.9 Change Management 2.4.9.1 Pengertian Change Management Menurut Addy (2007, p186), Change Management merupakan proses yang memungkinkan organisasi dalam mengimplementasikan proses yang efektif dan efisien untuk mengidentifikasi, merencanakan, dan mengelola perubahan terhadap infrastrukturnya. Change Mangament juga menyediakan
layanan
kepada
user,
dan
kemampuannya
untuk
mengidentifikasi dan mengurangi resiko terhadap perubahan tersebut sehingga
perubahan
tersebut
dapat
diimplementasikan
dengan
kepercayaan. Menurut Cartdlidge (2007, p25), Change Management merupakan proses memastikan bahwa perubahan-perubahan yang ada dicatat, dievaluasi,
disahkan,
diprioritaskan,
direncanakan,
diuji,
diimplementasikan, didokumentasikan dan ditinjau dalam cara yang
32
terkontrol. Change Management mengurangi kesalahan pada perubahan layanan dan lebih cepat, lebih akurat dalam implementasi perubahan, dan memberikan keuntungan lebih dalam bisnis.
2.4.9.2 Tujuan Change Management Menurut
OGC (2007, p80), tujuan dari proses Change
Management adalah untuk memastikan bahwa smua perubahan terhadap Configuration Items (CI) tercatat, terencana dan disetujui. Hal ini meliputi: 1. Memastikan bahwa ada suatu alasan yang terkait dengan bisnis pada setiap perubahan. 2. Identifikasi spesifik item-item dan IT Service yang akan terpengaruh oleh perubahan yang akan dilakukan. 3. Merencanakan perubahan. 4. Melakukan pengetesan dari perubahan yang dilakukan. 5. Mempunyai rencana cadangan jika perubahan yang dilakukan tidak berhasil atau tidak sesuai harapan.
2.4.9.3 Sasaran Change Management Menurut OGC (2007, p80), sasaran dari proses change management, antara lain : 1. Memberi reaksi terhadap perubahan kebutuhan bisnis pelanggan dengan meminimalkan nilai dan mengurangi incident, gangguan, dan
33
pekerjaan berulang. 2. Memberi reaksi terhadap permintaan bisnis dan IT kepada perubahan yang akan mensejajarkan layanan dengan kebutuhan bisnis.
2.4.9.4 Keuntungan Change Management Beberapa keuntungan dari Change Management adalah : 1. Penjajaran layanan IT yang lebih baik untuk kebutuhan bisnis. 2. Meningkatkan penglihatan dan komunikasi terhadap perubahan pada bisnis dan staf service support. 3. Memperbaiki penaksiran resiko. 4. Mengurangi dampak perubahan yang merugikan atas kualitas layanan dan atas Service Level Agreement (SLA). 5. Meningkatkan problem dan availability magement melalui penggunaan informasi valueable management berhubungan dengan perubahan.
2.4.10 Release Management 2.4.10.1 Pengertian Release Management Menurut BMCSoftware (2006), release adalah perubahanperubahan terhadap IT service yang telah di-approve, dimana perubahanperubahan tersebut ditunjukkan dengan adanya pembuatan Request For Change (RFC) yang dikendalikan oleh Change Management.
34
Release Management adalah pengaturan mengenai release dari awal sampai akhir rollout – dari proses planning, building, testing, sampai release tersebut di-deploy di lingkungan production. Release Management juga mengatur mengenai pengaturan versi dari software berikut tempat penyimpannya.
2.4.10.2 Ruang Lingkup Release Management Tidak semua perubahan yang terdapat dalam suatu organisasi dikendalikan oleh Release Management. Adapun perubahan-perubahan yang dikendalikan oleh pihak Release Management meliputi : 1. Rollout
hardware
yang
kritikal,
terutama
ketika
terdapat
ketergantungan dengan perubahan software dalam suatu sistem bisnis. 2. Rollout software yang besar, terutama aplikasi baru dan distribusinya serta
prosedur-prosedur
yang
mendukung
untuk
penggunaan
tambahan, apabila dibutuhkan. 3. Kumpulan perubahan yang berhubungan yang membentuk suatu ukuran unit yang dapat diatur.
2.4.11 Configuration Management 2.4.11.1 Pengertian Configuration Management Menurut BMCSoftware (2006),
Configuration Management
merupakan bagian dari IT Service Management (ITSM) yang bertugas untuk mengumpulkan dan me-manage data dari suatu Configuration Item
35
(CI). Dalam pengumpulan data ini, Configuration Management dibantu oleh beberapa bagian. Misal untuk incident, diperoleh dari Incident Management, problem dan know error dari Problem Management. Spesifikasi dan konfigurasi, bisa didapat dari tim Infrastruktur IT. Dari data-data inilah Configuration Management Database (CMDB) terbentuk. Configuration Management yang terdiri dari 4 task (identifikasi, kontrol, status, verifikasi) adalah penerapan suatu database yang disebut Configuration Management Database (CMDB). CMDB berisi detail dari elemen-elemen dalam suatu perusahaan yang digunakan dalam mengatur IT Service. CMDB lebih dari sekedar “pendataan asset”, karena CMDB berisi informasi yang terkait perawatan, perpindahan, dan masalah yang terjadi pada item-item yang berada di dalam CMDB. Selain itu CMDB juga berisi informasi yang lebih luas tentang item-item yang sangat dibutuhkan oleh organisasi pelayanan IT, seperti hardware, software, dokumentasi dan personal.
2.5
Definisi End-user Computing (EUC)
Untuk mengetahui definisi End-user Computing (EUC) perlu dibedakan terlebih dahulu antara end-user dengan EUC. Harrison dan Rainer (1992) mendefinisikan end-user sebagai orang yang berinteraksi dengan sistem informasi yang berbasis komputer
hanya
sebagai
konsumen/pemakai.
Sedangkan
Parker
(1989)
mendefinisikan end-user sebagai orang yang membutuhkan hasil dari aplikasi perangkat lunak untuk menyelasaikan pekerjaanya. EUC adalah penggunaan
36
komputer secara langsung oleh seseorang untuk menyelasaikan masalah yang memerlukan computer-based solution dengan tepat (Doll dan Torkzadeh 1989, Harrison dan Rainer 1992). Nelson (1990) mengatakan bahwa kesuksesan penggunaan TI sangat tergantung pada teknologi itu sendiri dan tingkat keahlian individu meliputi word processing, electronic communication dan aktivitas otomasi kantor lainnya dapat berjalan dengan baik, sehingga aplikasi teknologi yang berbasis komputer dapat memberikan manfaat bagi perusahaan. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa faktor individu atau perilaku mempengaruhi pengadopsian TI. Hal ini terlibat pada “Theory of Reasoned Action” (TRA) yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) yang mengatakan bahwa seseorang akan menggunakan komputer jika dia dapat melihat adanya manfaat (hasil) positif dari penggunaan komputer tersebut. Zmud (1979) meneliti pengaruh perbedaan individual terhadap kesuksesan MIS. Zmud memadukan temuan-temuan empiris yang meneliti tentang cara perbedaan individual mempengaruhi kesuksesan MIS. Dalam penelitian tersebut, ia mengelompokkan perbedaan individual ke dalam tiga kategori : demografi, personality dan cognitive style.
2.5.1 Faktor Demografi Umur Raub (1981) mengatakan bahwa terhadap hubungan yang positif antara umur dengan anxiety. Czara et al. (1989) menemukan adanya
37
perbedaan kelompok umur dalam menguasai keahlian komputer, di mana subjek yang lebih muda mencapai hasil yang lebih baik daripada subjek yang lebih tua. Harrison dan Rainer (1992) menemukan bahwa personil tinggi daripada personil EUC yang lebih tua. Jenis Kelamin Igbaria dan Parasuraman (1989) menemukan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap sikap mikrokomputer. Harrison dan Rainer (1992) menemukan bahwa personil EUC pria mempunyai keahlian komputer yang lebih tinggi daripada wanita. Alter (1996) mengatakan bahwa wanita menghadapi banyak masalah kesehatan sehubungan dengan penggunaan komputer. Penggunaan Video Display Terminals (VDTs) secara terus menerus dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti stress, ketegangan pada mata, tangan, punggung, dan ketegangan otot. Alter juga mengutip suatu penelitian yang menggunakan sampel kecil wanita hamil yang menghabiskan waktu selama 20 jam atau lebih per minggu untuk bekerja pada VDTs akan menderita keguguran dua kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja pada VDTs, selama tiga bulan pertama masa kehamilan. Pendidikan Igbaria dan Parasuraman (1989) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara pendidikan dengan computer anxiety. Umur, pendidikan, external locus of control, dan dimensi-feeling thinking dan cognitive style, mempunyai hubungan langsung dengan sikap terhadap mikrokomputer.
38
Pengalaman Harrison dan Rainer (1992) mengemukakan bahwa orang yang mempunyai pengalaman di bidang komputer mempunyai keahlian yang lebih tinggi dari orang yang tidak mempunyai pengalaman. Hal ini didukung oleh Igbaria (1995) bahwa pengalaman berpengaruh terhadap perceived ease of use, perceived usefulness, perceived usage dan variety usage atas penggunaan mikrokomputer.
2.5.2 Faktor Personality Computer Anxiety Computer Anxiety didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang menjadi susah, khawatir, atau ketakutan mengenai penggunaan komputer di masa sekarang atau di masa yang akan datang (Igbaria dan Parasuraman, 1989). Harrison dan Rainer (1992) menemukan bahwa computer anxiety mempunyai pengaruh negatif terhadap keahlian dalam EUC. Computer Attitudes Computer Attitudes menunjukkan reaksi atau penilaian seseorang terhadap komputer berdasarkan kesenangan atau ketidaksenangannya terhadap komputer. Mandell (1989) menemukan bahwa subjek memandang komputer suatu penurunan nilai-nilai kemanusiaan. Peneliti lain seperti Loyd dan Gressard (1984) mengatakan bahwa sikap terhadap komputer mempunyai
39
pengaruh terhadap penggunaan dan sukses atau gagalnya suatu sistem komputer. Math Anxiety Math Attitudes merupakan ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran yang berhubungan secara khusus dengan matematika. Dambrot (1998) menemukan bahwa sikap dan pengalaman terhadap matematika merupakan predictor kegagalan yang signifikan dalam pelaksanaan suatu program komputer.
2.6
Kuesioner Menurut Umar (2000) kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data
dengan menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden dengan harapan perusahaan akan memberikan response terhadap daftar pertanyaan tersebut. Daftar pertanyaan tersebut bersifat terbuka jika jawaban tidak ditemukan sebelumnya dan bersifat tertutup jika alternatif-alternatif jawaban telah disediakan. Instrumen lembar daftar pertanyaan dapat berupa angka, checklist ataupun skala. Kuesioner ini dipakai sebagai metode pengumpulan data.
2.7
Skala Likert Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur.
Instrumen yang dibuat sendiri harus diuji validitas dan realibilitasnya. Setiap
40
instrumen memiliki skala pengukuran, salah satu skala pengukuran yang dipakai dalam penelitian ini adalah skala Likert (Sugiyono, 2007). Menurut Sugiyono (2007), skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian, fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut variabel penelitian. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Menurut Sugiyono (2007), jawaban dari setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata yaitu untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban dapat diberikan nilai misalnya : 1. Setuju / Selalu / Sangat Positif
nilai 5
2. Setuju / Sering / Positif
nilai 4
3. Ragu-ragu / Kadang-kadang / Netral
nilai 3
4. Tidak Setuju / Hampir / Tidak Pernah / Negatif
nilai 2
5. Sangat Tidak Setuju / Tidak Pernah / Sangat Negatif
nilai 1
Instrumen penelitian dengan menggunakan skala Likert juga dapat dibuat dalam bentuk checklist ataupun pilihan ganda. Skala Likert ini digunakan sebagai metode skala pengukuran.
41
2.8
Uji Validitas dan Reliabilitas Validitas menunjukkan sejauh mana skor/ nilai/ ukuran yang diperoleh
benar-benar menyatakan hasil pengukuran atau pengamatan yang ingin diukur. Validitas pada umumnya dipermasalahkan berkaitan dengan karakteristik psikologis, hasil pengukuran yang diperoleh sebenarnya diharapkan dapat menggambarkan atau memberikan skor atau nilai suatu karakterisitk lain yang menjadi pilihan utama. Menurut Sugiyono (2007) terdapat tiga jenis pengujian validitas instrumen, yaitu : 1. Construct Validity, yaitu instrumen disusun berdasarkan masukan dari orang yang ahli dibidangnya. Pengujian ini bisa dilakukan dengan analisis faktor atau korelasi. 2. Content Validity, untuk instrumen yang berbentuk test pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi atau rancangan yang telah ditetapkan. 3. External Validity, diuji dengan cara membandingkan (untuk mencari kesamaan) antara kriteria yang ada pada instrumen dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di lapangan. Misalnya instrumen untuk mengukur kinerja sekelompok pegawai, maka kriteria kinerja pada instrumen itu dibandingkan dengan catatan-catatan (empiris) tentang kinerja pegawai yang baik. Bila telah terdapat kesamaan antara kriteria dalam instrumen dengan fakta di lapangan,
42
maka dapat dinyatakan instrumen tersebut mempunyai validitas eksternal yang tinggi. Menurut Ghozali (2005, p45) untuk mengukur validitas dapat dilakukan dengan tiga cara : 1. Melakukan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan skor konstruk atau variabel . 2. Uji validitas dapat juga dilakukan dengan melakukan korelasi bivariate antara masing-masing skor indicator dengan total skor konstruk. Dengan melihat nilai korelasi positif dan probabilitas korelasi ≤ 0.005 maka nilai data dapat dikatakan valid. 3. Uji dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat dihandalkan. Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran relative konsisten dari waktu ke waktu. Cara mencari reliabilitas untuk keseluruhan item adalah dengan mengkoreksi angka korelasi yang diperoleh dengan menggunakan rumus. (Singarimbun, 1989) Menurut Ghozali (2006, p46) terdapat dua jenis pengujian reliabilitas instrumen , yaitu : 1. Repeated Measure atau pengukuran ulang. Disini seseorang akan disodori pertanyaan yang sama pada waktu yang berbeda, dan kemudian dilihat apakah ia tetap konsisten dengan jawabannya.
43
2. One Shot atau pengukuran sekali saja. Disini pengukurannya hanya sekali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lain atau mengukur korelasi antar jawaban pertanyaan. SPSS memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistik Alpha Cronbach (α). Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliable jika memberikan nilai Alpha Cronbach > 0.6 (Nunnaly 1960). Uji validitas dan reliabilitas ini dilakukan untuk menganalisis hasil penelitian.
2.9
Analisis Faktor Kerlinger (1993) menyebutkan bahwa analisis faktor merupakan ratu atau
primadona metode analisis sehubungan dengan kekuatan, keluwesan dan kedekatannya dengan hakekat maksud dan tujuan penelitian. Lebih lanjut dikatakan bahwa analisis faktor berfungsi melayani tujuan efisiensi kegiatan ilmiah karena dapat mengurangi kelipatgandaan tes dan pengukuran hingga menjadi jauh lebih sederhana. Suatu faktor merupakan konstrak yang dianggap melandasi tes, skala, butir dan bahkan hampir semua jenis ukuran.
2.9.1 Pengertian Analisis Faktor Analisis faktor adalah salah satu metode statistik multivariat yang mencoba menerangkan hubungan antar sejumlah peubah-peubah yang saling independen antara satu dengan yang lain sehingga bisa dibuat satu atau lebih kumpulan peubah yang lebih sedikit dari jumlah peubah awal. Analisis faktor
44
juga digunakan untuk mengetahui faktor-faktor dominan dalam menjelaskan suatu masalah. (Kerlinger, 1993). Metode analisis faktor pertama kali digunakan oleh Charles Spearmen untuk memecahkan persoalan psikologi dalam tulisannya pada American Journal of Psychology pada tahun 1904 mengenai penetapan dan pengukuran intelektual. Analisis faktor menganalisis sejumlah variabel dari suatu pengukuran atau pengamatan yang dititikberatkan pada teori dan kenyataan yang sebenarnya dan menganalisis interkorelasi (hubungan) antarvariabel tersebut untuk menetapkan apakah variasi-variasi yang tampak dalam variabel tersebut berasal atau berdasarkan sejumlah faktor dasar yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah variasi yang ada pada variabel. Analisis faktor menyederhanakan hubungan yang beragam dan kompleks pada set data/variabel amatan dengan menyatukan faktor atau dimensi yang saling berhubungan atau mempunyai korelasi pada suatu struktur data yang baru yang mempunyai set faktor yang lebih kecil (Wibisono, 2003, p236). Analisis faktor dikerjakan untuk memperoleh sejumlah kecil faktor yang mempunyai sifat-sifat (Santoso, 2001) : 1. Mampu menerangkan keragaman data secara maksimal. 2. Terdapat kebebasan faktor 3. Tiap faktor dapat dijelaskan dengan sejelas-jelasnya
45
Menurut Dermawan Wibisono (2003, p237), fungsi dari analisis faktor adalah sebagai berikut: a. Menentukan himpunan dari dimensi yang tidak mudah diamati dalam himpunan variabel (R faktor analysis). b. Mengelompokkan orang-orang (misalnya responden kuis) kedalam kelompok-kelompok berbeda didalam populasi (Q faktor analysis). c. Mengidentifikasi variabel-variabel yang akan digunakan kedalam analisis lanjutan (regresi, korelasi atau diskriminan). d. Membentuk himpunan dari variabel (dengan jumlah lebih sedikit) untuk menggantikan (sebagian/seluruh) himpunan variabel awal. e. Menganalisis suatu fenomena dengan data yang sangat besar. f. Menjabarkan/menguraikan suatu kaitan kompleks diantara fenomena ke dalam fungsi kesatuan-kesatuan atau ke dalam bagian-bagiannya dan dapat mengidentifikasikan pengaruh luar. Dan penggunaan metode analisis faktor menurut Dermawan Wibisono (2003, p237), dapat diklasifikasikan menjadi : a. Penyelidikan untuk penemuan (exploratory) Analisis faktor digunakan untuk menyelidiki dan mendeteksi suatu pola dari variabel-variabel yang ada, dengan tujuan untuk menemukan suatu konsep baru dan kemungkinan pengurangan data dari data dasar. b. Penegasan suatu hipotesa (confirmatory uses) Analisis faktor digunakan untuk mengadakan pengujian suatu hipotesis mengenai struktur dan variabel-variabel baru yang berkaitan dengan sejumlah faktor yang signifikan dan faktor loading yang diharapkan.
46
c. Alat pengukur (measuring device) Analisis faktor digunakan untuk membentuk variabel-variabel untuk digunakan sebagai variabel baru pada analisis berikutnya.
2.9.2 Metode Analisis Faktor Terdapat beberapa teknik analisis interpendensi variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam analisis faktor (Wibisono, 2003, p238), yaitu: a. Analisis Komponen Utama Merupakan teknik reduksi data yang bertujuan untuk membentuk suatu kombinasi linier dari variabel awal dengan memperhitungkan sebanyak mungkin jumlah variasi variabel awal yang mungkin. b. Analisis Faktor Umum (Common Faktor Analysis) Merupakan model faktor yang digunakan untuk mengidentifikasikan sejumlah dimensi dalam data (faktor) yang tidak mudah untuk dikenali. Tujuan utamanya adalah mengidentifikasikan dimensi laten yang direpresentasikan dalam himpunan variabel asal. Terdapat beberapa model yang terdiri dari: - Principal-axis factoring - Unweighted least-squares - Generelized least-squares - Maximum likehood - Alpha factoring - Image factoring
47
Perbedaan berbagai macam teknik tersebut terutama terletak pada jumlah variansi yang dianalisis, apakah total variansi atau hanya variansi umum. Variansi itu sendiri dapat dibagi menjadi variansi umum (common variance) dan variansi unik (unique variance). Variansi umum adalah variansi variabel yang merupakan variansi bersama dengan variabel lain. Sedangkan variansi unik adalah variansi variabel yang digunakan oleh variabel itu sendiri. Menurut Dermawan Wibisono (2003, p240), prinsip kerja analisis faktor dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.7 Esensi dari Analisis Faktor Pada gambar Esensi dari Analisis Faktor terdapat 9 variabel yang saling berkorelasi satu dengan lainnya. Analisis faktor mengintegrasikan variabel
manifes
tadi
kedalam
tiga
faktor
berdasarkan
keterkaitan
antarvariabel. Demikian sehingga faktor 1 dibentuk oleh oleh variabel manifes X1, X2, X3, X4, dan X6. Faktor 2 oleh X2, X7, dan faktor 3 oleh X5, X8, X9. Variabel laten yang satu dengan yang lainnya memiliki hubungan bebas linear ortogonal, artinya tidak memiliki korelasi antarvariabel-variabel
48
laten tersebut. Variabel laten yang terbentuk tidak dapat menjelaskan semua variansi yang ada dalam variabel-variabel manifest pembentuknya.Ada bagian unik yang merupakan karakteristik masing-masing variabel manifes.
2.9.3 Mekanisme Analisis Faktor Dermawan Wibisono (2003, p244) mengatakan prinsip kerja analisis faktor adalah dari n variabel yang diamati dimana beberapa variabel mempunyai korelasi maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut memiliki p faktor umum (common faktor) yang mendasari korelasi antarvariabel dan juga mfaktor unik (unique faktor) yang membedakan tiap variabel. Faktor umum dilambangkan dengan F1,F2,F3,F4,….,Fm dan faktor unik U1,U2,U3,U4,….,Um. Model matematis dasar analisis faktor yang digunakan untuk setiap variabel independen X1.
i = 1,2,3,4,…p Di mana: Xi = variabel independen ke-i Fj = faktor kesamaan ke-j Ui = faktor unik ke-i Aij = koefisien faktor kesamaan bi = koefisien faktor unik Koefisien Aij (loading Aij) dapat menyatakan besarnya kontribusi variabel Xi pada faktor kesamaan Fj dan memegang peranan dalam mengambil
49
suatu kesimpulan sampai seberapa jauh pengaruh variabel Xi terhadap faktor kesamaan Fj. Koefisien faktor unik bi berfungsi untuk membantu satuan faktor unik agar dapat dipilih sesederhana mungkin. Faktor kesamaan dapat pula menyatakan korelasi diantara variabel, sedangkan faktor unik menerangkan sisa variansi dari faktor kesamaan atau dapat menunjukkan kegagalan faktor kesamaan dalam menjelaskan variansi satuan total dari variabel (Wibisono, 2003, p244). Sebagai sebuah metode, analisis faktor mempunyai serangkaian langkah atau tahap. Terdapat empat langkah penting dalam proses tersebut, yaitu matriks korelasi, ekstraksi faktor, rotasi faktor dan interpretasi faktor (Fruchter, 1954). Penjelasan dari langkah- langkah tersebut adalah : 1. Matriks Korelasi Interkorelasi antar variabel biasanya dibangun berdasarkan rumus korelasi Pearson. Matriks korelasi diperlukan untuk menyajikan berbagai korelasi ke dalam tabulasi silang. Jika korelasinya cukup tinggi, proses analisis faktor dapat dapat dilanjutkan. Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) adalah suatu tes yang dipergunakan untuk melihat kecukupan sampel penelitian. Sampel dinyatakan cukup apabila nilai KMO-nya diantara 0.5-1. (Tjiptono, 2001, 253). Dermawan Wibisono (2003, p247) mengatakan untuk menguji kesesuaian pemakaian analisis faktor, digunakan metode Kaiser-MeyerOlkin (KMO). KMO adalah indeks pembanding besarnya koefisien relasi observasi dengan besarnya koefisien parsial. Jika nilai kuadrat koefisien
50
korelasi parsial dari semua pasangan variabel lebih kecil daripada jumlah kuadrat koefisien korelasi, maka harga KMO akan mendekati satu, yang menunjukkan kesesuaian penggunaan analisis faktor. Kaiser (1974) menyarankan untuk nilai KMO > 0.5 dinilai dapat diterima, dimana: -
Nilai KMO > 0.9 dianggap sangat baik
-
Nilai KMO 0.8 - 0.9 dianggap baik
-
Nilai KMO 0.7 - 0.8 dianggap cukup baik
-
Nilai KMO 0.5 - 0.7 dianggap cukup Untuk menentukan apakah proses pengambilan sampel telah
memadai atau tidak digunakan pengukuran Measure of Sampling Adequacy (MSA). Nilai MSA berkisar antara 0 sampai 1, dengan kriteria sebagai berikut : -
Nilai MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel lain
-
Nilai MSA > 0.5, variabel masih diprediksi dan bisa dianalisis lebih lanjut
-
Nilai MSA < 0.5, variabel tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih lanjut, atau dikeluarkan dari variabel lainnya
Seringkali, karena jumlah data yang banyak, perhitungan KMO dan MSA hanya dimungkinkan dengan bantuan komputer.
51
2. Ekstraksi Faktor Dalam statistik ada banyak teknik yang telah dikembangkan untuk melakukan ekstraksi data, tetapi yang paling terkenal dan sering digunakan adalah metode kemungkinan maksimum dan analisis komponen utama (Wahana Komputer, 2009, p246). Metode ekstraksi adalah teknik yang digunakan dalam analisis faktor untuk melakukan reduksi data. Reduksi data menjadikan data menjadi lebih ringkas, karena dari sejumlah variabel atau indikator yang memiliki karakteristik sama akan digabung. -
Maximum-likehood Method (Metode kemungkinan maksimum). Metode kemungkinan maksimum adalah teknik ekstraksi faktor untuk memperoleh nilai hasil estimasi parameter dengan kemungkinan tertinggi untuk menghasilkan matriks korelasi observasi. Metode ini digunakan bila data yang digunakan memiliki distribusi normal multivariate.
-
Principal Component Analisis (Analisis komponen utama). Analisis komponen utama adalah teknik ekstraksi faktor dengan melakukan kombinasi linier tidak berhubungan dari variabel observasi. Dengan menggunakan teknik ini, akan disusun komponen berdasarkan urutannya. Semakin besar urutan berarti semakin tinggi korelasinya.
Setelah ekstraksi faktor dilakukan, kemudian dilakukan perhitungan eigen value, yang menyatakan nilai variansi dari variabel manifest. Banyaknya faktor ditentukan berdasarkan nilai persentase dari variansi total yang
52
ditetapkan oleh variabel tersebut. Variansi nilai tersebut merupakan jumlah variansi masing-masing variabel yang disebut nilai eigen. Untuk menentukan berapa faktor yang akan diidentifikasikan sebagai faktor yang mendominasi, ditentukan dengan nilai karakteristik (eigenvalue). Salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah faktor yang akan mendominasi adalah dengan menetapkan nilai eigenvalue ≥ 1 (Norusis, 1986). Bila dari hasil analisis faktor diperoleh jumlah faktor cukup banyak dan faktor tersebut perlu dibatasi lagi hingga jumlah tertentu, maka penentuan jumlah faktor dapat dilakukan dengan menetapkan persentase variance tertentu secara subjektif (Dillon dan Goldstein, 1984). Dalam penelitian ini nilai eigenvalue ditetapkan ≥ 1 dan apabila faktor yang diperoleh masih banyak (misalkan lebih dari 5 faktor dengan jumlah peubah dalam faktor lebih dari 4 peubah), maka nilai presentasi variance dari extraction sum yang yang ditetapkan untuk penelitian ini adalah sebesar 5%. Artinya hanya faktor-faktor dengan presentasi variance yang lebih besar dari 5% yang akan dipilih sebagai faktor dominan. Sedangkan untuk menentukan peubah dalam faktor yang dominan ditentukan berdasarkan nilai faktor ≥ 5% atau 0.05.
3. Rotasi Faktor Factor
Rotation
atau
rotasi
faktor
adalah
teknik
untuk
menyederhanakan data atau mereduksi dari beberapa variabel menjadi lebih sedikit, dengan menggabungkan beberapa kategori yang memiliki
53
kategori yang sama. Metode ini digunakan bila metode ekstraksi tidak bisa digunakan (Wahana Komputer, 2009, p247). Menurut Dermawan Wibisono (2003, p250) adalah rotasi faktor, bertujuan untuk mempermudah interpretasi dalam menentukan variabelvariabel mana saja yang tercantum dalam suatu faktor. Proses inti dari analisis faktor adalah melakukan ekstraksi terhadap jumlah variabel sehingga terbentuk satu faktor atau lebih. Ada kemungkinan suatu variabel sulit ditentukan akan masuk ke dalam faktor yang mana. Rotasi faktor akan memperjelas posisi sebuah variabel, akankah dimasukkan pada faktor yang satu atau pada faktor yang lain (metode varimax). Beberapa metode yang digunakan untuk merotasikan faktor menurut Dermawan Wibisono (2003, p250), antara lain: a. Metode Quartimax, bertujuan untuk merotasi faktor awal hasil ekstraksi sehingga pada akhirnya diperoleh hasil rotasi diamana setiap variabel member bobot yang tinggi di satu faktor dan sekecil mungkin pada faktor lain. b. Metode Varimax, bertujuan merotasi faktor awal hasil ekstraksi sehingga pada akhirnya diperoleh hasil rotasi dimana dalam satu kolom nilai yang ada sebanyak mungkin mendekati nol. Hal ini berarti di dalam setiap faktor tercakup sesedikit mungkin variabel. c. Metode Equimax, bertujuan untuk mengkombinasikan metode quartimax dan varimax.
54
4. Interpretasi faktor Setelah
dilakukan
rotasi
faktor, selanjutnya adalah tahap
interpretasi faktor berdasarkan bobot masing-masing variabel dalam setiap faktor. Tahapan interpretasi terdiri dari: a. Dimulai dari variabel pada urutan pertama. Interpretasi dimulai dengan bergerak dari faktor paling kiri ke faktor paling kanan pada setiap baris untuk mencari bilangan yang nilai mutlaknya paling besar dalam baris tersebut. b. Bilangan yang paling besar menunjukkan dalam faktor mana setiap variabel termasuk. Dengan demikian dapat diketahui variabel-variabel mana yang masuk dalam suatu faktor. c. Poin 1 dan 2 dilakukan berulang sehingga semua variabel telah tercakup dalam faktor-faktor hasil ekstraksi. d. Bila ada variabel yang belum termasuk dalam salah satu faktor (karena bobotnya kurang dari batas keberartian) maka terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan: -
Mengintepretasikan solusi apa adanya tanpa mengikutkan variabel yang bobotnya tidak signifikan.
-
Mengevaluasi variabel yang tidak memiliki bobot signifikan tersebut. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui relevansi variabel dalam penelitian yang dilakukan. Faktor-faktor yang terbentuk dari hasil reduksi akan diberikan
nama, dimana penamaan faktor tergantung pada nama-nama variabel yang
55
menjadi satu kelompok pada interpretasi masing-masing analisa dan aspek lainnya, sehingga pemberian nama ini sebenarnya bersifat subyektif serta tidak ada ketentuan yang pasti mengenai pemberian nama tersebut (Santoso dan Tjiptono, 2001, p269). Tahapan analisis faktor tersebut sejalan dengan proses yang dibuat oleh Santoso (2001) yang memiliki empat tahapan, yaitu : 1. Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor. Oleh karena analisis faktor berupaya mengelompokkan sejumlah variabel, maka seharusnya ada korelasi yang cukup kuat di antara variabel, sehingga akan terjadi pengelompokkan. Jika sebuah variabel atau lebih berkorelasi lemah dengan variabel lainnya, maka variabel tersebut akan dikeluarkan dari analisis faktor. 2. Setelah jumlah variabel terpilih, maka akan dilakukan “ekstrasi” variabel tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor. Kaiser (1974) menyarankan untuk menganggap nilai KMO and Barlett’s Test > 0.5 dapat diterima dimana nilai 0.5 – 0.7 dianggap cukup, nilai 0.7 – 0.8 dianggap cukup baik, nilai 0.8 – 0.9 dianggap baik, dan nilai > 0.9 dianggap sangat baik. 3. Faktor yang terbentuk, pada banyak kasus, kurang menggambarkan perbedaan diantara faktor-faktor yang ada. Namun apabila isi faktor masih diragukan, dapat dilakukan proses rotasi untuk memperjelas apakah faktor yang terbentuk sudah secara signifikan berbeda dengan faktor lain.
56
4. Setelah faktor benar-benar sudah terbentuk, maka proses dilanjutkan dengan menamakan faktor yang ada. Kemudian beberapa langkah akhir juga perlu dilakukan, yaitu validasi hasil faktor. Menurut Malhotra (1993), dalam melakukan analisis faktor terdapat beberapa konsep statistik yang berhubungan, yaitu : 1. Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) measure of sampling adequacy (MSA), yaitu indeks yang digunakan untuk menguji ketepatan analisis faktor. Value yang tinggi (antara 0.5 sampai 1,0) menunjukkan bahwa analisis tersebut tepat, sementara value dibawah 0.5 menunjukkan bahwa analisis tersebut tidak tepat. 2. Barlett’s test of sphericy, yaitu tes statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bahwa diantara variabel-variabel di dalam satu populasi tidak saling berhubungan. Dengan signifikan < 0.05 maka antar variabel terjadi korelasi. 3. Communality, yaitu jumlah varians yang dimiliki semua variabel yang dianalisis. Communality dapat pula dikatakan sebegai proporsi varians yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor umum. Semakin besar nilai communality sebuah variabel atau indikator, berarti semakin erat hubungannya dengan faktor yang terbentuk. 4. Total Variance Explained, yaitu presentase varians konstruk ukur yang dapat dijelaskan oleh pembagian faktor.
57
5. Eigenvalue, yaitu nilai yang mewakili total varian yang dijelaskan oleh setiap faktor. 6. Component Matrix, yaitu menunjukkan nilai korelasi antara suatu variabel atau indikator dengan faktor yang terbentuk. 7. Rotated Component Matrix, yaitu menunjukkan nilai korelasi antara suatu variabel atau indikator dengan faktor yang terbentuk dengan maksud untuk memperjelas nilai korelasinya. 8. Factor loading, yaitu korelasi-korelasi sederhana antara variabelvariabel dan faktor-faktor. Factor loading > 0.5 menunjukkan korelasi yang kuat antara variabel dan faktor, sehingga meningkatkan 9. Factor matrix, memuat factor loading dari seluruh variabel pada faktor-faktor yang telah disarikan/dipilih.