BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Kenakalan Remaja 2.1.1. Pengertian Kenakalan Remaja Menurut Arif Gunawan (2011) definisi kenakalan remaja adalah : Istilah juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan deliquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, durjana dan lain-lain. Juvenile deliquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.
Mussen dan kawan-kawan, (Arif Gunawan, 2011) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh remaja berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock,
(Arif Gunawan, 2011) mengatakan
kenakalan remaja adalah
tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara. Sama halnya dengan Conger dan Dusek, (Arif Gunawan, 2011) mendefinisikan kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur dibawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman.
8
Sarwono, (Arif Gunawan, 2011) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum-hukum pidana. Fuhrmann, (Arif Gunawan, 2011) menyebutkan bahwa kenakalan remaja adalah suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menganggu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock, (Arif Gunawan, 2011) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal. Secara umum kenakalan remaja didefinisikan sebagai berikut : Suatu sikap dan perilaku yang menyimpang dari aturan sosial, adat, hukum, dan agama. Tim penulis Sosiologi (Arif Gunawan, 2011) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai berikut : “ kenakalan remaja adalah istilah terjemahan dari kata Juvenille deliquency dan dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bahkan anti sosial yang melanggar norma-norma sosial, agama, serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat”.
Pengertian kenakalan remaja akhir-akhir ini mulai bergeser. Hal tersebut karena adanya perilaku remaja mengarah kepada tindak kejahatan (kriminalitas). Sebagai contoh, bentuk kenakalan remaja pada masa lalu hanya terbatas pada tindakan-tindakan kecil seperti kabur dari rumah, menipu orang tua dan tindakan sejenisnya,
namun
saat
ini
bentuk
kenakalan
remaja
sudah
semakin
memprihatinkan mulai dari pencurian sampai kepada penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja. 2.1.2. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja Jensen (Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi 4 bentuk yaitu : a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dll. b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dll
9
c. Kenakalan sosial yang menimbulkan korban dipihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas, dll. d. Kenakalan remaja yang melawan status dan aturan misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah, dll. Menurut Arif Gunawan (2011) sebagaimana telah diungkapkan bentuk kenakalan remaja akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Bentuk-bentuk kenakalan remaja tersebut antara lain : a) b) c) d)
Penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan terlarang. Pergaulan bebas yang mengarah perilaku seks bebas (free sex). Tindakan yang bersifat premanisme. Peredaran media hiburan yang bersifat pornografi.
Bentuk kenakalan remaja yang sedang mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak adalah peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di kalangan pelajar. Selain peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, pergaulan bebas di kalangan remaja kita juga mulai marak. Bentuk pergaulan bebas di kalangan remaja khususnya pelajar dapat kita lihat dari banyaknya remaja yang melakukan hubungan seksual di luar nikah. Hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi adanya gaya hidup kebarat-baratan yang ditontonnya dari berbagai media massa. 2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja Kenakalan remaja sebagai suatu fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita dapat timbul karena disebabkan oleh beberapa hal. Zakiah Derajat (Arif Gunawan, 2011) mengungkapkan sebab-sebab timbulnya kenakalan remaja antara lain : 1. 2. 3. 4. 5.
Lemahnya pendidikan agama di lingkungan keluarga. Kemerosotan moral dan mental orang dewasa. Pendidikan dalam sekolah yang kurang baik. Adanya dampak negatif dari kemajuan teknologi. Tidak stabilnya kondisi sosial, politik, ekonomi.
10
Secara luas, sebab-sebab kenakalan remaja dapat di bedakan menjadi dua, yaitu sebab intern dan ekstern. Sebab intern berasal dari pribadi remaja itu sendiri, sedangkan sebab ekstern datang dari lingkungan sekitar remaja. Yang tergolong sebab yang datang dari pribadi remaja itu sendiri (sebab intern) diantaranya : 1. Cacat keturunan yang bersifat biologis dan psikis. 2. Pembawaan negatif dan sukar untuk dikendalikan serta mengarah ke perbuatan nakal. 3. Pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak seimbang dengan keinginan remaja, sehingga menimbulkan konflik pada dirinya yang penyalurannya atau jalan keluar ke arah perbuatan nakal. 4. Lemahnya kemampuan pengawasan diri sendiri serta sikap menilai terhadap keadaan sekitarnya. 5. Kurang mampu mengadakan penyesuaian dengan lingkungan-lingkungan yang baik, sehingga mencari pelarian dan kepuasan dalam kelompok-kelompok nakal (tidak mempunyai kegemaran yang sehat, sehingga canggung dalam tingkah laku di dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya dapat mencari pelarian atau mudah dipengaruhi oleh perbuatan maksiat). Sedangkan penyebab yang datang dari luar diri remaja (sebab ekstern) diantaranya : 1. Rasa cinta dan perhatian yang kurang terutama dari orang tua dan guru di sekolah. 2. Kegagalan pendidikan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat. 3. Pengawasan yang kurang dari orang tua, guru, dan masyarakat. 4. Kurangnya penghargaan terhadap remaja oleh lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. 5. Kurangnya sarana-prasarana dan pengarahan serta pemanfaatan waktu senggang remaja. 6. Cara-cara pendekatan yang tidak sesuai dengan perkembangan remaja oleh orang tua, guru, masyarakat, dan pemerintah. 7. Cara-cara pendekatan kepada remaja yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. 8. Terbukanya kesempatan terhadap minat buruk remaja untuk berbuat nakal, baik oleh orang tua, guru atau masyarakat.
11
Selain sebab-sebab yang dapat menimbulkan kenakalan remaja, terdapat dua faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kenakalan remaja. Ada faktor yang dapat mengurangi tingkat kenakalan remaja (faktor positif) dan ada juga faktor yang justru mendorong timbulnya kenakalan remaja (faktor negatif). Faktor-faktor yang dapat mengurangi tingkat kenakalan remaja (faktor positif) diantaranya : 1. Masih ada dan masih diakuinya norma-norma agama dan norma-norma sosial oleh sebagian besar anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. 2. Masih adanya selalu usaha-usaha ke arah penegakan norma yang berlaku di masyarakat. 3. Daya tahan dan sikap menilai terhadap pengaruh negatif dari sebagian besar golongan di masyarakat masih kuat. 4. Susunan dan ikatan-ikatan sosial masyarakat Indonesia masih memungkinkan adanya kontrol terhadap pelanggaran-pelanggaran norma.
Sedangkan faktor-faktor yang justru memungkinkan timbulnya kenakalan remaja (faktor negatif) antara lain : 1. Situasi sosial politik yang kurang menguntungkan. 2. Keadaan sosial ekonomi yang belum kuat. 3. Suasana sosial psikologi yang belum stabil. 4. Kestabilan fisik dan mental masyarakat yang belum siap. 5. Perkembangan teknologi yang belum seimbang dengan kesiapan mental masyarakat untuk menerimanya. 6. Perkembangan komunikasi massa yang besar menyebabkan frekuensi peniruan yang besar.
12
2.2. Pola Asuh Orang Tua 2.2.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Tarmudji (http://wawan-junaidi.com) pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Menurut
Theresia
(http://www.polaasuhpenuhcinta.com)
pola
asuh
merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak, yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak, termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai / norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya. 2.2.2. Model Pola Asuh Orang Tua Hurlock (1999) menyatakan ada tiga macam cara yang digunakan oleh orang tua dalam mendidik putra-putrinya yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh
permisif. Dalam penerapannya tidak bisa dibedakan secara tegas sehingga
kecenderungan pola asuh tertentu dapat diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Ketiga pola asuh tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pola asuh otoriter Adanya kontrol yang ketat dari orang tua, aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak, anak harus bertingkah laku sesuai aturan yang ditetapkan orang tua, orang tua tidak mempertimbangkan pandangan atau pendapat anak dan orang tua memusatkan perhatian pada pengendalian secara otoriter yaitu berupa hukuman fisik. Pada tipe ini orang tua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak tanpa memberi penjelasan tentang alasannya. Apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan oleh orang tua, anak tidak diberi kesempatan untuk memberi alasan atau penjelasan sebelum hukuman diterima anak. Pada umunya hukuman berwujud hukuman badan. Pada pola ini orang tua jarang atau tidak memberikan hadiah, baik berwujud kata-kata maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuai dengan orang tua. Tipe pola asuh otoriter anak mempunyai sifat submitif, anak tidak mempunyai
13
inisiatif karena takut berbuat kesalahan, anak menjadi penurut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan tidak mempunyai tanggung jawab. Pada tipe ini kontrol orang tua ketat. Namun dipihak lain orang tua menuntut agar anak lebih bertanggung jawab sesuai dengan perkembangannya, tetapi anak merasa terkekang dalam mencari kemandirian. Karena itu sering terjadi konflik antara anak dan orang tua, anak tidak mau mengadakan komunikasi dengan orang tua, yang akhirnya terjadi jurang pemisah antara anak dan orang tua. 2. Pola asuh demokratis Aturan yang dibuat bersama oleh seluruh anggota keluarga, orang tua memperhatikan keinginan dan pendapat anak, selalu mengadakan diskusi atau mengambil suatu keputusan, anak mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan diberi kepercayaan serta ada bimbingan dan kontrol dari orang tua. Apabila anak harus melakukan tugas tertentu, orang tua memberikan penjelasan atau alasan perlunya hal tersebut dilakukan dan bila anak melanggar peraturan yang telah ditetapkan, anak diberi kesempatan untuk memberikan alasan mengapa ketentuan itu dilanggar sebelum anak menerima hukuman. Hukuman yang diberikan berkaitan dengan perbuatannya dan berat ringannya hukuman tergantung pada pelanggarannya. Hadiah atau pujian diberikan oleh orang tua untuk perilaku yang diharapkan. Pada tipe ini hubungan antara orang tua dan anak harmonis, kontrol orang tua terhadap anak tidak berlebihan. Ada dialog diantara mereka sehingga anak merasa dihargai untuk mengeluarkan pendapat, karena itu anak dan orang tua saling bertukar pikiran, orang tua menghargai anak dan respek terhadap orang tua. Anak tidak takut akan membuat kesalahan, dengan demikian rasa percaya diri pada anak akan berkembang dengan baik dan anak mempunyai tanggung jawab. 3. Pola asuh permisif Tidak adanya bimbingan dan aturan dari orang tua, tidak ada tuntutan kepada anak, tidak ada pengendalian atau pengotrolan dari orang tua. Orang tua tidak memberikan aturan kepada anaknya, anak diberikan kebebasan dan diijinkan untuk membuat keputusan untuk dirinya sendiri, anak harus belajar sendiri untuk berperilaku dalam lingkungan sosial, anak diperkenankan berbuat sesuai apa yang dipikirkan anak. Tidak ada hukuman dari orang tua meskipun anak melanggar peraturan dan tidak diberi hadiah bila berperilaku baik. Pada tipe serba boleh, karena tidak ada kontrol dari orang tua, anak dapat berbuat sekehendak hatinya, maka anak kurang respek terhadap orang tua, kurang menghargai apa yang diperbuat orang tua untuknya. Anak yang diasuh dan dididik dengan pola asuh ini biasanya dapat proteksi yang berlebihan, sehingga apapun yang dilakukan anak dibiarkan oleh orang tua. Dengan demikian perhatian serta hubungan orang tua dengan anak akan terganggu, karena tidak ada pengarahan atau informasi dari orang tua, maka anak tidak akan mengerti apa yang sebaiknya dikerjakan dan mana yang sebaiknya ditinggalkan. Anak kurang mempunyai tanggung jawab dan biasanya anak sulit dikendalikan serta berbuat hal-hal yang sebenarnya tidak dibenarkan. Perilaku sering melanggar norma-norma masyarakat karena itu akan terbentuk sikap penolakan dari lingkungan dan akibatnya kepercayaan diri goyah serta penghargaan diri sendiri kurang baik. Gunarsa (1986) juga mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Hurlock mengenai pola asuh orang tua, pola asuh tersebut yaitu :
14
1. Pola asuh otoriter Yaitu pola asuh dimana anak harus mengikuti pendapat dan keinginan orang tua. Anak tidak diperkenankan memberikan pendapatnya pada orang tua. 2. Pola asuh demokratis Yaitu pola asuh dimana anak diberi kebebasan dan kesempatan luas dalam mendiskusikan segala permasalahannya dengan orang tua dan orang tua mendengarkan, memberi tanggapan, pandangan serta menghargai pendapat anak. Keputusan orang tua harus dipertimbangkan dengan anak-anaknya, namun orang tua tetap menentukan dalam segala pengambilan keputusan. 3. Pola asuh permisif Yaitu pola asuh dimana anak diberi kekuasaan dan kebebasan sepenuhnya tanpa dituntut kewajiban dan tanggung jawab, orang tua kurang kontrol terhadap perilaku anak dan hanya berperan sebagai pemberi fasilitas serta kurang berkomunikasi dengan anak. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang tua yang berpola asuh otoriter memiliki ciri-ciri cenderung memberikan perintah dan larangan, menetapkan disiplin yang kaku, mengharuskan anak untuk patuh dan tidak boleh membantah orang tua, anak tidak mempunyai hak untuk berpendapat, bila bersalah anak harus dihukum, orang tua merasa paling benar dan anak yang disalahkan. Orang tua yang berpola asuh demokartis memiliki ciri-ciri keputusan dan aturan di rumah dibuat bersama oleh orang tua dan anak, ada bimbingan dan kontrol dari orang tua kepada anak, bila melakukan kesalahan anak akan mendapat peringatan atau hukuman dan bila anak berbuat baik akan mendapat pujian atau hadiah, pelaksanaan peraturan dan disiplin mempertimbangkan keadaan atau alasan dari anak yang dapat diterima oleh orang tua, hubungan keluarga sangat komunikatif dan hangat. Sedangkan orang tua menerapkan pola asuh permisif memiliki ciri-ciri tidak membimbing dan memonitor anak, tidak ada aturan yang digariskan oleh orang tua, anak bebas melakukan segala sesuatu, bila anak bermasalah tidak diberi hukuman, bila anak berbuat baik atau memenuhi harapan orang tua tidak diberi hadiah dan tidak ada kehangatan dalam hubungan keluarga.
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang tua Hurlock (http://www.dewintahani.com) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu karakteristik orang tua yang berupa: 1. Kepribadian orang tua Setiap orang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran, intelegensi, sikap dan kematangannya. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orang tua dan bagaimana tingkat sensifitas orang tua terhadap kebutuhan anak-anaknya. 2. Keyakinan Keyakinan yang dimiliki orang tua mengenai pengasuhan akan mempengaruhi nilai dari pola asuh dan akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam mengasuh anak-anaknya.
15
3. Persamaan dengan pola asuh yang diterima orang tua Bila orang tua merasa bahwa orang tua mereka dahulu berhasil menerapkan pola asuhnya pada anak dengan baik, maka mereka akan menggunakan teknik serupa dalam mengasuh anak bila mereka merasa pola asuh yang digunakan orang tua mereka tidak tepat, maka orang tua akan beralih ke teknik pola asuh yang lain. 4. Penyesuaian dengan cara disetujui kelompok Orang tua yang baru memiliki anak atau yang lebih muda dan kurang berpengalaman lebih dipengaruhi oleh apa yang dianggap anggota kelompok (bisa berupa keluarga besar, masyarakat) merupakan cara terbaik dalam mendidik anak. 5. Usia orang tua Orang tua yang berusia muda cenderung lebih demokratis dan permissive bila dibandingkan dengan orang tua yang berusia tua. 6. Pendidikan orang tua Orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan mengikuti kursus dalam mengasuh anak lebih menggunakan teknik pengasuhan otoriter dibandingkan dengan orang tua yang tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam mengasuh anak. 7. Jenis kelamin Ibu pada umumnya lebih mengerti anak dan mereka cenderung kurang otoriter bila dibandingkan dengan bapak. 8. Status sosial ekonomi Orang tua dari kelas menengah dan rendah cenderung lebih keras, memaksa dan kurang toleran dibandingkan dengan orang tua dari kelas atas. 9. Konsep mengenai peran orang tua dewasa Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional cenderung lebih otoriter dibanding orang tua yang menganut konsep modern. 10. Jenis kelamin anak Orang tua umumnya lebih keras terhadap anak perempuan daripada anak lakilaki. 11. Usia anak Usia anak dapat mempengaruhi tugas-tugas pengasuhan dan harapan orang tua. 12. Temperamen Pola asuh yang diterapkan orang tua akan sangat mempengaruhi temperamen seorang anak. Anak yang menarik dan dapat beradaptasi akan berbeda pengasuhannya dibandingkan dengan anak yang cerewet dan kaku. 13. Kemampuan anak Orang tua akan membedakan perlakuan yang akan diberikan untuk anak yang berbakat dengan anak yang memiliki masalah dalam perkembangannya. 14. Situasi Anak yang mengalami rasa takut dan kecemasan biasanya tidak diberi hukuman oleh orang tua. Tetapi sebaliknya, jika anak menentang dan berperilaku agresif kemungkinan orang tua akan mengasuh dengan pola asuh otoriter.
16
2.3. Temuan Penelitian yang Relevan 1. Hasil penelitian oleh Am. Endah Sri Astuti (2004) yang berjudul “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Gejala Kenakalan Anak/ Remaja dan Penanggulangannya (studi kasus kenakalan anak/ remaja di Kab. Semarang)” yang menyatakan bahwa penerapan cara asuh atau model asuh orang tua yang kaku atau otoriter, terutama cara asuh orang tua yang bersifat permisif telah memberikan cukup sumbangan yang berarti terhadap perilaku anak dan remaja yaitu pengaruhnya sebesar 19,9%, dengan demikian dapat dikatakan bahwa memang ada pengaruh antara pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja. 2. Berdasarkan pengujian hipotesis hasil penelitian dari Elok Dyan Mayasari (2008) yang berjudul “Hubungan antara persepsi pola asuh orang tua dengan kenakalan pada siswa kelas XI IPS di SMU Laboratrium Malang” dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki orang tua dengan pola asuh demokratis sebanyak 53 siswa (69,7%), siswa yang memiliki pola asuh permisif sebanyak 19 siswa (25%), dan siswa yang memiliki orang tua dengan pola asuh otoriter sebanyak 4 siswa (5,3%). Sedangkan siswa yang tergolong dalam kategori kenakalan non kriminal sebanyak 53 siswa (69,7%) dan 23 siswa (30,3%) tergolong dalam kategori kenakalan kriminal. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja siswa kelas XI SMU Laboratorium Malang. 3. Berdasarkan hasil penelitian dari Fifin Dwi Purwaningtyas (2010) yang berjudul “Hubungan antara Persepsi terhadap Pola Asuh Otoriter Orang Tua
17
dengan perilaku Kenakalan (Delinquency) pada Remaja di SMU X Surabaya” yang menyatakan bahwa diperoleh nilai korelasi antara persepsi pola asuh otoriter dengan kenakalan remaja sebesar -0,217 sedangkan Asymp sig (2tailed) sebesar 0,071. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat ada hubungan yang signifikan antara persepsi pola asuh otoriter orang tua dengan perilaku kenakalan (Delinquency) remaja di SMU X Surabaya. 2.4. Hipotesis Berdasarkan landasan teori di atas hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Ada pengaruh yang signifikan antara pola asuh orang tua terhadap kenakalan remaja siswa kelas XI IPA SMA Kartika III-1 Banyubiru tahun pelajaran 2012 / 2013.
18