12
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pembinaan Aktivitas Keagamaan 1. Pengertian Pembinaan Aktivitas Keagamaan Menurut
Poerwadarminta,
pembinaan
artinya
pembaruan.1
Sedangkan aktivitas artinya “kegiatan, kesibukan”.2 Adapun keagamaan terdiri dari kata dasar agama, yang mempunyai arti ”segenap kepercayaan kepada Tuhan serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu”.3 Agama dapat dipahami sebagai ketetapan Tuhan yang dapat diterima oleh akal sehat sebagai pandangan hidup, untuk kebahagiaan dunia akhirat. Harun Nasution dalam Ali Anwar Yusuf, mengatakan bahwa secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yang tersusun dari kata “a” berarti “tidak” dan “gam” berarti “pergi”. Dalam bentuk harfiah yang terpadu, perkataan agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, langgeng, abadi yang diwariskan secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi lainnya.4 Kata agama sendiri yang berarti ajaran; sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
1 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, Ed. III, Cet. 4, hlm 160. 2
Ibid., hlm. 20.
3
Ibid., hlm. 10.
4
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm. 17.
12
13
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya.5 Dengan demikian istilah keagamaan berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan agama. Sedangkan definisi agama dalam Islam, terdapat istilah din, yang mencakup
pengertian
keberhutangan,
ketundukan,
kekuatan
yang
mengadili dan kecenderungan alami. Istilah ini berhubungan erat dengan beberapa istilah yang memiliki akar kata sama, yaitu dana atau kondisi memiliki hutang. Manusia memiliki hutang yang tak terhingga kepada Sang Pencipta, berupa keseluruhan eksistensi. Orang yang berhutang disebut da’in, memiliki kewajiban untuk membayar. Karena pembayaran hutang ini melibatkan seluruh manusia dengan beragam kondisi, maka diperlukan ketentuan (idanan), dan penilaian terhadap yang patuh dan yang ingkar (daynunah). Segala ketentuan di atas hanya dapat diaktualisasikan dalam suatu masyarakat yang teratur (madinah) dan memiliki pemimpin (dayyan). Dengan demikian agama tidak lain adalah keseluruhan proses pemberadaban manusia yang akan menghasilkan kebudayaan.6 Oleh karena itu, agama secara mendasar dan umum, dapat diartikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur
5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm. 12. 6
Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Bulang Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 103.
14
hubungan manusia dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Berangkat dari uraian penjelasan di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa pembinaan aktivitas keagamaan adalah upaya membangun sikap dan perilaku iman seseorang yang tercermin dari pembenaran dalam hati, pernyataan dengan lisan dan tanggapan atau reaksi individu terhadap ajaran agama (wujud dari perilaku iman) berupa pelaksanaan kewajibankewajiban agama, baik berupa shalat, puasa, akhlak terhadap sesama dan sebagainya. 2. Bentuk-bentuk Pembinaan Aktivitas Keagamaan Pembinaan aktivitas keagamaan siswa yang dimaksudkan di sini adalah usaha yang direncanakan secara sistematis berupa bimbingan, pemberian
informasi,
pengawasan
dan
juga
pengendalian
untuk
peningkatan kualitas para siswa, khususnya dalam hal keagamaan dalam menciptakan sikap mental dan pengembangan potensi yang positif sehingga terbentuk keberagamaan yang baik pada diri siswa. Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di sekolah dalam rangka pembinaan keberagamaan siswa dilaksanakan melalui dua kelompok pelaksana kegiatan keagamaan yaitu sekolah sebagai lembaga pendidikan yang
utuh
dengan
kebijakan-kebijakan
yang
berkaitan
dengan
pengembangan budaya agama di komunitas sekolah dan Rohis (rohani Islam) sebagai jenis kegiatan ekstrakurikuler sekolah yang husus menaungi kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
15
Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan sekolah sebagai lembaga yang berkomitmen untuk mengembangkan budaya agama di
sekolah
yang wajib diikuti oleh seluruh warga sekolah dilaksanakan dalam bentuk: a. Membaca Al-Qur’an 5 sampai dengan 10 menit
sebelum jam
pelajaran pertama. b. Berdo’a secara Islami di awal dan akhir pelajaran. c. Melaksanakan shalat duhur berjama’ah d. Membiasakan berinfaq di hari Jum’at e. Pelaksanaan Perayaan Hari Besar Islam (PHBI) f. Mengadakan pesantren kilat di bulan Ramadhan g. Mengadakan kegiatan sosial keagamaan. h. Memasyarakatkan/membiasakan 3 S (senyum, salam, sapa) i. Mengadakan pengajian rutin j. Mengadakan kegiatan baca tulis/tilawah al-Qur’an. k. Pakaian sekolah muslim-muslimah pada bulan Ramadhan.7 Dilihat dari waktu pelaksanaannya, kegiatan keagamaan tersebut ada yang dilaksanakan secara rutin baik secara harian, mingguan maupun tahunan. Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan setiap hari antara lain membaca al-Qur’an selama 5 menit pada jam pelajaran pertama, bersalaman dengan guru sebelum masuk sekolah, sholat Zhuhur berjamaah. 7
Ermis Suryana dan Maryamah, “Pembinaan Keberagamaan Siswa Melalui Pengembangan Budaya Agama”, Jurnal Ta’dib, Vol. XVIII, No. 02, Edisi November 2013, hlm. 179.
16
c. Ciri-ciri Perilaku Keagamaan Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa seseorang yang mempunyai perilaku keagamaan atau keberagamaan yang baik akan selalu menunjukkan tingkah laku sebagaimana dituntunkan dalam ajaran Islam. Segala yang diperintahkan dalam ajaran Islam senantiasa dikerjakan dan segala yang dilarangnya senantiasa dijauhi, dan berusaha mendekatkan diri pada Allah. Ada beberapa ciri perilaku keagamaan yang baik yaitu : 1) Beriman dan bertakwa; 2) Gemar dan giat beribadah; 3) Berakhlak mulia; 4) Sehat jasmani, rohani dan aqli; 5) Giat menuntut ilmu; dan 6) Bercita-cita bahagia dunia akherat”8. Dari ciri-ciri tersebut akan diuraikan sebagai berikut : a. Beriman dan bertakwa Iman menempati kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena iman akan mengantarkan seseorang untuk meraih kebahagiaan dunia dan akherat.9 Manusia yang tidak mempunyai iman tidak akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akherat, sebagaimana diterangkan Allah dalam QS. Surat Yunus ayat 63-64 sebagai berikut :
8
Abu Tauhid MS, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1990, hlm. 26. 9
Ibid., hlm. 26.
17
Artinya : Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”.(QS. Surat Yunus ayat 63-64)10 b. Gemar dan giat beribadah Tujuan manusia diciptakan oleh Allah adalah hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Oleh sebab itu kalau manusia sudah beriman kepada Allah, harus menyembah atau menghambakan diri kepada-Nya, sesuai dengan ajaran Islam11. Hal ini seperti yang diterangkan dalam QS. Surat: Adz Dzariyaat ayat 56 :
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Surat Adz Dzariyaat ayat 56)12 c. Berakhlak mulia Ajaran Islam banyak sekali mengandung tuntunan akhlak, yang semuanya itu merupakan satu kesatuan yang mutlak dan tidak
10
Al-Qur’an Surah Yunus Ayat 63-64, Departemen Agama RI, hlm. 316.
11
Abu Tauhid MS, Op. cit., hlm. 26.
12
Al-Qur’an Surah Shaad Ayat 46, Departemen Agama RI, hlm. 856.
18
terpisahkan dari ajaran-ajaran lainnya. Akhlak yang mulia adalah sifatsifat utama yang terpuji.13 Akhlak dalam Islam dijadikan syarat kesempurnaan iman, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Surat Shaad ayat 46 :
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat”. (QS. Surat Shaad : 46)14 d. Sehat jasmani, rohani dan aqli Kesehatan jasmani dan rohani perlu dijaga, yang dalam ajaran Islam dimulai dari membersihkan diri dari kotoran yang melekat pada dirinya. Perintah membersihkan (mensucikan diri) dalam ajaran Islam bertujuan untuk memenuhi ketentuan taubat kepada Allah15. Seperti Firman-Nya dalam QS. Surat Al Baqarah ayat 222 :
13
Abu Tauhid MS, Op. cit., hlm. 26.
14
Al-Qur’an Surah Al Baqarah Ayat 222, Departemen Agama RI, hlm. 738.
15
Abu Tauhid MS, Op. cit., hlm. 26.
19
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orangorang yang mensucikan diri”. (QS. Surat Al Baqarah ayat 222) 16
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang suka mensucikan diri, senantiasa akan terpeliharanya kesehatan jasmani maupun rohani, untuk mencapai kesehatan yang maksimal. Dalam ajaran Islam telah menggariskan yaitu kewajiban menjalankan shalat lima waktu, jika seseorang itu mampu menjalankan dengan biak insya Allah akan terjamin kesehatan jasmani dan rohaninya. e. Giat menuntut ilmu Islam mengajarkan agar senantiasa menuntut ilmu dalam hidupnya di dunia ini untuk bekal kemudian hari. Nabi Muhammad Saw bersabda:
اﻃﻠﺒﻮا اﻟﻌﻠـﻢ وﻟـﻮ ﺑﺎﻟﺼـﲔ ﻓـﺎن ﻃﻠـﺐ اﻟﻌﻠـﻢ ﻓﺮﻳﻀـﺔ ﻋﻠـﻰ ﻛـﻞ ﻣﺴـﻠﻢ ان اﳌﻼﺋﻜـﺔ (ﺗﻀﻊ اﺟﻨﺤﺘﻬﺎ ﻟﻄﺎﻟﺐ اﻟﻌﻠﻢ رﺿﺎ ﲟﺎ ﻳﻄﻠﺐ )رواﻩ اﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﱪ ﻋﻦ اﻧﺲ Artinya : “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina, karena sesungguhnya mencari ilmu adalah fardlu setiap muslim, sesungguhnya para Malaikat menaruh sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu”. (HR. Ibnu Abdil Barr dari Annas).17
329.
16
Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 222, Departemen Agama RI, hlm. 54.
17
Al Hadits, Al Jami’us shaghir Juz 1, (terjemahan), Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hlm.
20
f. Bercita-cita bahagia dunia dan akherat Kehidupan di dunia maupun di akherat harus senantiasa diperhatikan dan berjalan seimbang. Manusia cenderung memiliki dua sikap dalam menempuh jalan hidup yaitu hidup yang materialis artinya hanya mementingkan kehidupan duniawi dan mementingkan harta benda, mereka beranggapan bahwa dengan harta yang melimpah, akan membahagiakan dirinya dan keluarganya.18 Yang kedua yaitu hidup yang spiritualis artinya seseorang yang menempuh jalan hidup dengan hanya mementingkan bekal di akerat saja, sedangkan kehidupan di dunia termasuk hidup rukun bermasyarakat diabaikan. Mereka beranggapan bahwa hidup di dunia hanya semu dan yang abadi di akherat yang hanya dapat ditempuh melalui menjauhkan diri dari ramainya dunia dan mementingkan akherat saja. Islam mengajarkan agar tidak menempuh seperti contoh jalan hidup seperti di disebutkan di atas, tetapi harus berjalan seimbang antara kebutuhan hidup di dunia untuk bekal selama hidup di dunia, dan mencari bekal di akherat untuk bekal mengarungi kehidupan akherat kelak. Allah berfirman dalam QS. Surat al Qashash ayat 77 :
18
Abu Tauhid MS, Op. cit., hlm. 26.
21
Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Surat Al Qashash: 77)19 B. Keberagamaan Siswa 1. Pengertian Keberagamaan Keberagamaan berasal dari kata “agama” yang berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan lingkungannya.20 Dan keberagamaan adalah perihal beragama. Keberagamaan dalam bahasa Inggris disebut religiosity dari akar kata religy yang berarti agama. Religiosity adalah merupakan bentuk dari religious yang berarti beragama atau beriman. Menurut Muslim A. Kadir, keberagamaan menunjuk pada ”respon terhadap wahyu yang diungkapkan dalam pemikiran, perbuatan dan kehidupan kelompok.”21 Lebih lanjut, Quraisy Syihab mengemukakan bahwa keberagamaan adalah “upaya seseorang meneladani sifat-sifat Tuhan yang dipercayainya”.22
19
Al-Qur’an Surah Al-Qashah Ayat 77, Departemen Agama RI, hlm. 623.
20
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 755. 21
Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan, Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 105-106. 22
Quraisy Syihab, Kultum: Mutiara Ramadhan, http://video.okezone.com/play/2009 /08/24/334/12574/keberagamaan, diakses pada tangga 16 September 2015.
22
Muhaimin mengemukakan bahwa keberagamaan atau religiusitas menurut Islam adalah melaksanakan ajaran agama atau ber-Islam secara menyeluruh, karena itu setiap muslim baik dalam berpikir maupun
bertindak diperintahkan untuk ber-Islam.23 Dengan demikian,
keberagamaan adalah sebagai segala perwujudan dari pada pengakuan seseorang terhadap suatu agama. Tetapi keberagamaan bukanlah sematamata karena seseorang mengaku beragama, melainkan bagaimana agama yang dipeluk itu dapat memengaruhi seluruh hidup dan kehidupannya. Menurut Jalaluddin, sikap beragama (keberagamaan) merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama, sikap keberagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antar kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif perasaan terhadap agama sebagai unsur efektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif.24 Oleh karena itu, keberagamaan dalam Islam tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ritual saja, akan tetapi dalam aktivitas lainnya. Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus secara Islami. Dengan demikian, sikap keberagamaan adalah tingkah laku yang taat kepada agama atau perilaku yang mencerminkan ketaatan dalam
23
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 297.
24
Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 184.
23
menjalankan ajaran agama yang didasarkan oleh pengetahuan dan perasaan terhadap agama dengan harapan mendapat ridla Allah SWT. Menurut Ahmad Zubaidi dalam Muhyani, kesadaran religius (beragama)
adalah
kepekaan
dan
penghayatan
seseorang
akan
hubungannya yang dekat dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan sekitarnya yang diungkap secara lahiriah dalam bentuk pengamalan ajaran yang diyakininya.25 Religiusitas atau keberagamaan diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan, keberagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan ritual agama yang dianutnya, tetapi juga ketika melakukan aktivitasaktivitas lainnya yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, masalah kesadaran religius seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.26 Keberagamaan dalam Islam adalah wujud dari adanya perilaku iman. Sebagai perilaku iman, maka keberagamaan terdiri dari beberapa unsur. Menurut Imam al-Sunnah wa al-Jamah, Abu Hasan al-Asy’ari seperti yang dikutip Muslim A. Kadir menyatakan bahwa “iman itu terdiri dari tiga unsur, yaitu pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qolbi), pernyataan dengan lisan (tasdiq bi al-lisan) dan realisasinya dalam amal 25
Muhyani, Pengaruh Pengasuhan Orang Tua dan Peran Guru di Sekolah Menurut Persepsi Siswa Terhadap Kesadaran Religius dan Kesehatan Mental, Kemenag RI, Jakarta, 2012, hlm. 55. 26
Ibid.
24
perbuatan konkret (amal bi al-arkan)”.27 Secara rinci akan peneliti jelaskan pada uraian berikut: a. Keyakinan di dalam hati Keyakinan dalam hati merupakan bagian dari iman yang utama. Orang yang mengucapkan iman dengan lidahnya dan mengamalkan dengan segenap perbuatan anggota badan, tetapi tidak disertai dengan pengakuan dalam hati, tidaklah disebut iman. Orang yang demikian dalam pandangan al-Qur’an disebut orang munafiq.28 Allah berfirman:
Artinya: (8) Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (9). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. (Q.S. Al-Baqarah: 8-9)29 Dalam ayat tersebut jelas sekali, bahwa iman itu harus menyertakan hati atau pengakuan dalam batinnya, bahwa ia beriman. Pengakuan batin ini tentunya yang tahu hanya yang bersangkutan. Di hadapan orang lain mereka tidak diketahui, karenanya mereka dapat
27 28
Muslim A. Kadir, Op. cit., hlm. 82. M. Ali Hasan, Materi Pokok Aqidah Akhlak, Dirjen Binbagais, Depag RI, Jakarta, 2007,
hlm. 50. 29
Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 8-9, Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 2007, hlm. 2.
25
menipu orang-orang beriman. Sedangkan Allah Yang Maha Tahu, mengetahui apa yang terdapat dalam hatinya. Dengan demikian hati memiliki peran yang sangat penting dalam keimanan seseorang. b. Pengucapan dengan lisan Unsur iman yang kedua adalah ucapan atau qawl bil lisan, yakni ”membenarkan
dengan
ucapannya
terhadap
apa-apa
yang
diyakininya”.30 Bila keyakinan di dalam hati merupakan kerangka dalam membangun iman, maka tasdiq bi al-lisan sebagai lapisan kerangkanya, pengucapan dengan lisan sebagai pembuktian iman dalam hati kita. Allah berfirman:
Artinya: Dia berkata: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). (Q.S. Yunus: 90)31 Ayat di atas menunjukkan bahwa iman yang benar adalah iman yang disertai dengan pengakuan dan diikuti dengan amal perbuatan. Ungkapan pengakuan iman itu selanjutnya dinyatakan dalam ucapan dua kalimat syahadat. Dengan demikian, betapa pentingnya peran dan fungsi lisan sebagai salah satu unsur pokok ajaran Islam.
30
M. Ali Hasan, Op. cit., hlm. 53.
31
Al-Qur’an Surah Yunus Ayat 90, Departemen Agama RI, hlm. 219.
26
c. Pembuktian dengan amal perbuatan Amal perbuatan ini adalah bukti nyata sebagai suatu konsekuensi dari apa yang telah diyakini dalam hati, dan diucapkan dengan lisan yang diwujudkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.32 Unsur amal perbuatan dalam iman ini jelas pula terlihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak mengaitkan iman dengan amal sholih, di antaranya:
Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benarbenar akan kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Al-Ankabut: 7)33 Unsur iman dalam perbuatan ini, selanjutnya akan membawa pada hubungan iman dengan budi yang baik dan amal yang berguna, seperti mengerjakan shalat dengan khusyu’, menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna, membayar zakat dan lainlain. Dengan demikian, keberagamaan adalah merupakan wujud dari perilaku iman yang tercermin dari pembenaran dalam hati, pernyataan dengan lisan dan tanggapan atau reaksi individu terhadap ajaran agama (wujud dari perilaku iman) berupa pelaksanaan kewajiban-kewajiban
32
M. Ali Hasan, Op. cit., hlm. 53.
33
Al-Qur’an Surah Al-Ankabut Ayat 7, Departemen Agama RI, hlm. 423.
27
agama, baik berupa shalat, puasa, akhlak terhadap sesama dan sebagainya. 2. Dimensi-dimensi Keberagamaan Salah satu unsur dasar dalam Islam adalah adanya kesatuan antara dunia dan akhirat. Prinsip dasar ini kemudian dipertegas dengan rumusan Islam kaffah yang mengandung arti bahwa Islam di dalamnya meliputi seluruh kehidupan umat manusia. Ini berarti seluruh aspek kehidupan, apakah duniawi atau ukhrawi adalah medan keberagamaan dalam wujud memberi respon kepada wahyu Allah SWT dan bobot tampilan keberagamaan ini kemudian dipertajam dengan tampilan empiris pelaksanaannya oleh Rasulullah dalam praksis kehidupan manusia.34 Menurut Muslim A. Kadir, bahwa lingkup atau dimensi keberagamaan dalam Islam menjangkau seluruh segi kehidupan manusia. Ini berarti bahwa baik di dunia maupun akhirat adalah bagian integral dari lingkup tersebut. Suatu perbuatan disebut perilaku beragama bukan karena yang satu mengurusi dunia sedang lainnya akhirat, melainkan karena bentuk perbuatan tersebut merupakan wujud respon kepada Allah.35 Senada dengan hal itu, Ma’mun Mu’min menjelaskan bahwa lingkup keberagamaan dalam Islam mencakup seluruh segi kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya, seni, teknologi, dan sebagainya.36
34
Ma’mun Mu’min, Teknologi Beragama: Suatu Ikhtiar Implementasi Islam Praktis dalam Menyongsong Era Global, Media Ilmu Press, Kudus, 2008, hlm.109. 35 36
Muslim A. Kadir, Op. cit., hlm. 9. Ma’mun Mu’min, Op. cit., hlm.109.
28
Menurut Glock dan Stark dalam Muhyani, ada lima dimensi religiusitas
yang
bila
dilaksanakan
akan
memunculkan
aktivitas
keagamaan (keberagamaan), yaitu dimensi keyakinan (bilief), dimensi peribadatan atau praktek agama (practical), dimensi pengalaman dan penghayatan (the experiential dimensions/religious feeling), dimensi pengalaman dan konsekuensi (the consequential dimensions/religious effect), dan dimensi pengetahuan agama (intellectual).37 Secara rinci kelima dimensi penulis jelaskan pada uraian berikut: a. Dimensi keyakinan (bilief) Dimensi keyakinan berisi seperangkat keyakinan yang terpusat pada keyakinan adanya Allah. Kepercayaan kepada Allah ini selanjutnya melahirkan seperangkat keyakinan yang berkaitan dengan alam gaib dan alam nyata. Bagaimana misalnya tentang konsep penciptaan alam, penciptaan manusia dan adanya roh dalam diri manusia. Bagitu pula tentang alam lain yang akan menjadi tempat kembalinya manusia kelak. Dimensi ini pula umumnya memberikan muatan-muatan yang bercorak doktrinal.38 Jadi dimensi ini berkaitan dengan keyakinan (keimanan) akan adanya Tuhan. b. Dimensi peribadatan atau praktek agama (practical). Dimensi ini merupakan refleksi langsung dari dimensi pertama. Ketika agama
menkonsepsikan
adanya
Allah
yang
menjadi
pusat
penyembahan, disebut juga dimensi praktik agama atau peribadatan 37 38
Muhyani, Op. cit., hlm. 65-67. Ibid., hlm. 65-66.
29
(ritual). Semua bentuk peribadatan itu tidak lain merupakan sarana untuk melestarikan hubungan manusia dengan Allah. Lestarinya hubungan ini akan berakibat pada terlembaganya agama itu secara permanen.39 Jadi dimensi ini berkaitan dengan pelaksanaan ibadah seseorang sebagai manifestasi adanya keimanan seseorang. c. Dimensi
pengalaman
dan
penghayatan
(the
experiential
dimensions/religious feeling) Dimensi ini berhubungan dengan bentuk respon kehadiran Tuhan yang dirasakan oleh seseorang atau komunitas keagamaan. Respon kehadiran Tuhan dalam diri seseorang atau komunitas keagamaan tercermin pada adanya emosi keagamaan yang kuat. Terdapat rasa kekaguman, keterpesonaan dan hormat yang demikian melimpah. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir. Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang oleh suatu kelompok keagamaan.40
39
Ibid., hlm. 66.
40
Ibid.
30
d. Dimensi
pengalaman
dan
konsekuensi
(the
consequential
dimensions/religious effect) Dimensi ini berupa pelaksanaan secara konkrit dari tiga dimensi di atas. Pengamalan adalah bentuk nyata dari semua perbuatan manusia yang disandarkan kepada Tuhan. Hidup dalam pengertian ini merupakan pengabdian yang sepenuhnya diabdikan kepada Tuhan. Orientasi dari semua perilkau dalam hidup semata tertuju kepada Tuhan. Komitmen seorang pemeluk suatu agama akan nampak dari dimensi ini.41 e. Dimensi pengetahuan agama (intellectual) Dimensi ini mengacu pada indentifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama. 42 Dengan demikian, pengamalan adalah bentuk nyata dari semua perbuatan manusia yang disandarkan kepada Tuhan. Hidup dalam pengertian ini merupakan pengabdian yang sepenuhnya diabdikan kepada Tuhan. Orientasi dari semua perilaku dalam hidup semata tertuju kepada Tuhan. Komitmen seorang pemeluk suatu agama akan nampak dari dimensi ini.
41 42
Ibid.
Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori, Psikologi Islami: Solusi Islam atas ProblemProblem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 78.
31
Berdasarkan dari lima dimensi keberagamaan atau religiusitas di atas, dapat dikemukakan bahwa aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi, yaitu dimensi keyakinan, dimensi praktik agama, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama dan dimensi pengamalan atau konsekuensi. 3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberagamaan Tumbuh kembangnya manusia dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor pembawaan dan faktor lingkungan. Kedua faktor inilah yang mempengaruhi manusia berinteraksi dari sejak lahir hingga akhir hayat. Dalyono mengatakan bahwa setiap individu yang lahir ke dunia dengan suatu hereditas tertentu. Ini berarti karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan atau pemindahan cairan-cairan “germinal” dari pihak kedua orang tuanya. Disamping itu individu tumbuh dan berkembang tidak lepas dari lingkungannya, baik lingkungan fisik, psikologis, maupun lingkungan sosial.43 Dengan demikian dapat diartikan bahwa faktor yang memengaruhi kesadaran beragama ataupun kepribadian pada diri seseorang pada garis besarnya berasal dari dua faktor, yaitu :
43
Dalyono, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 120.
32
a. Faktor internal (pembawaan) Faktor internal yang dimaksud disini adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, yaitu
segala
sesuatu
yang
dibawanya sejak lahir di mana seseorang yang baru lahir tersebut memiliki kesucian (fitrah) dan bersih dari segala dosa serta fitrah untuk beragama. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Ar-Rum ayat 30 sebagai berikut:
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30) Yang dimaksud fitrah Allah pada ayat di atas adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah melalui naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan. Jadi sejak lahir manusia membawa fitrah dan mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan karena banyaknya potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya kecenderungan itu dapat dibagi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan
33
menjadi orang yang jahat. Sedangkan kecenderungan beragama termasuk dalam kecenderungan menjadi baik. b. Faktor eksternal (lingkungan) 1) Lingkungan keluarga Keluarga adalah lembaga pendidikan yang paling utama. Keluarga sejahtera sangat besar pengaruhnya untuk pendidikan dalam lingkup kecil dan juga sangat menentukan dalam lingkup besar yaitu pendidikan bangsa dan negara.44 Melihat kenyataan ini dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga di dalam pendidikan anaknya. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga (orang tua) dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. Orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada anak dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka. Dalam kehidupan manusia, lingkungan keluargalah yang menjadikan
dasar
pembentukan
memberikan andil yang sangat
perilaku
seseorang,
juga
banyak dalam memberikan
bimbingan dan pendidikan keagamaan. Sebab seseorang sebelum mengenal dunia luar, mereka terlebih dahulu menerima normanorma dan pengalaman-pengalaman dari anggota keluarganya, 44 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, hlm. 138.
34
terutama dari orang tuanya. Dan orang tualah yang berperan banyak dalam mendidik anak-anaknya, selain itu orang tua dalam keluarga sangat menentukan pribadi anak dalam berperilaku terutama kesadaran beragama. Sehubungan hal tersebut, Zakiah Daradjat menyatakan orang tua adalah “pembina pribadi yang utama dan pertama dalam kehidupan anak”. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung yang dengan sendirinya akan masuk dan memengaruhi pribadi anak yang sedang tumbuh dan berkembang.45 Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa, orang tua memiliki pengaruh yang penting dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Melalui peran orang tua dan hubungan yang baik antara orang tua dan anak dalam proses pendidikan, maka kesadaran beragama dapat berkembang melalui peran keluarga dalam memengaruhi dan menanamkannya kepada anak. Di mana orang tualah yang bertanggung jawab dalam membentuk perilaku keberagamaan anak dalam kaitannya dengan kesadaran beragama. b) Lingkungan sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (peserta didik) agar mereka
45
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 2008, hlm. 56.
35
berkembang
sesuai dengan potensinya secara optimal, baik
menyangkut aspek fisik, psikis, (intelektual dan emosional), sosial, maupun moral-spiritual.46 Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak atau peserta didik, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlaq yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama.47 Adapun faktor yang menunjang perkembangan beragama pada individu di lingkungan sekolah adalah sebagai berikut: (1) Kepedulian kepala sekolah, guru dan staf sekolah lainnya terhadap pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, baik melalui contoh yang baik dalam bertutur kata, berperilaku dan berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama. (2) Tersedianya sarana ibadah yang memadai dan memfungsikannya secara optimal. (3) Penyelenggaraan ekstra kurikuler kerohanian bagi para peserta didik dan ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.48 Dengan demikian lingkungan sekolah adalah faktor yang potensial dalam rangka mendidik dan mengembangkan ajaran agama untuk peserta didik terutama melalui bidang studi agama Islam dan membiasakan suasana keagamaan melalui berbagai kegiatan keagamaan dan perilaku sehari-hari sehingga dapat meningkatkan kesadaran beragama bagi mereka.
46
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Belajar Agama, Maestro, Bandung, 2001, hlm. 48.
47
Ibid., hlm. 48-49.
48
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 36.
36
c) Lingkungan masyarakat Lingkungan
masyarakat
adalah
interaksi
sosial
dan
sosiokultural yang berpotensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama remaja). Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sebaya itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlaq mulia), maka anak cenderung berakhlaq mulia. Namun sebaliknya, yaitu perilaku teman sepergaulannya buruk, maka anak akan cenderung berperilaku seperti temannya tersebut. Hal ini terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orang tuanya.49 Dengan demikian lingkungan masyarakat merupakan faktor yang penting dalam rangka mengembangkan kesadaran beragama khususnya pada masa remaja (pubertas), di mana hal ini dilakukan dengan teman sebaya. Namun peran orang tua dalam keluarga dan guru di sekolah amat dibutuhkan dalam mengawasi pergaulan tersebut, guna menghindari pergaulan yang melanggar ajaran agama. C. Hasil Belajar PAI 1.
Pengertian Hasil Belajar PAI Istilah hasil belajar berasal dari dua kata yaitu ”hasil” dan ”belajar”.
49
Menurut Poerwadarminta, hasil adalah ”sesuatu yang
Syamsu Yusuf, Op. cit., hlm. 51-52.
37
diadakan oleh usaha”.
50
Sedangkan menurut I.L. Pasaribu dan S.
Simanjutak dalam bukunya Proses Belajar Mengajar menyatakan bahwa hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai setelah mengikuti pendidikan atau latihan.51 Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa prestasi merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang dari sesuatu yang telah ia kerjakan. Secara akademis prestasi merupakan hasil pelajaran yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah yang bersifat kognitif dan biasanya melalui pengukuran dan penilaian. Adapun mengenai pengertian belajar, Howard L. Kingskey seperti yang dikutip Syaiful Bahri Djamarah mengatakan bahwa “Learning is the process by which behavior (in the broader sense) is originated or changed through practice or training”atau“Belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan”.52 Dengan demikian, belajar merupakan proses untuk merubah tingkah laku seseorang yang belajar melalui latihan-latihan. Muhibbin Syah mendefiniskan belajar sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses
50
Poerwadarminta, Op. cit., hlm. 408.
51
I.L. Pasaribu dan S. Simanjutak, Proses Belajar Mengajar, Tarsito, Bandung, 2000, hlm.
52
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 13.
15.
38
kognitif.53 Jadi belajar merupakan perubahan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari pengalaman. Nana Sudjana mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bentuk-bentuk kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar.54Pendapat yang sama dikemukakan oleh I Wayan Nurkancana yang mengemukakan prestasi hasil belajar adalah kecakapan baru yang diperoleh seorang individu yang mempengaruhi tingkah lakunya.55 Pendidikan
Agama
Islam
sebagaimana
mata
pelajaran
sebagaimana dijelaskan dalam buku Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Islam yaitu upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan
peserta
didik
untuk
mengenal,
memahami,
menghayati hingga mengimani, bertaqwa dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber-sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, dan penggunaan pengalaman yang dibarengi tuntutan untuk menghormati penganut agama dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.56
53
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, hlm. 64.
54
Agus Suprijono, Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 5-6. 55 56
I Wayan Nurkancana, Evaluasi Hasil Belajar, Usaha Nasional, Surabaya, 1990, hlm. 27.
Departemen Pendidikan Nasional, Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam, Depdiknas, Jakarta, 2003, hlm. 7.
39
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spritual mencakup
pengenalan,
pemahaman,
dan
penanaman
nilai-nilai
keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.57 Berdasarkan dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup. Berdasarkan dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar PAI adalah hasil usaha belajar yang dicapai seorang siswa dari kegiatan belajar PAI berupa suatu kecakapan yang berupa ranah pengetahuan, nilai dan sikap serta keterampilan, yang diwujudkan dalam bentuk angka (nilai).
57
Ibid., hlm. 2.
40
2. Ranah Hasil Belajar PAI Ranah hasil belajar PAI merupakan bentuk-bentuk kemampuan atau kecakapan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar. Menurut Gagne seperti yang dikutip Agus Suprijono menyatakan bahwa bentuk hasil belajar terdiri dari 5 kategori, yaitu:
informasi
verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan motoris.58 Berikut ini akan penulis jelaskan kelima bentuk prestasi belajar tersebut: a. Informasi verbal Kemampuan ini sangat erat berhubungan dengan kapabilitas seseorang untuk mengungkapkan pengetahuan yang dimilikinya dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan ini timbul akibat adanya tanggapan dari rangsang yang ada. Akan tetapi kemampuan ini hanya terbatas pada pengungkapan sesuatu dengan ucapan atau perkataan saja, yang meliputi nama benda, fakta dan data.59 b. Keterampilan intelektual Keterampilan intelektual ini merupakan kemampuan yang bersifat khas yang berhubungan dengan kegiatan otak. Seorang individu yang memiliki keterampilan intelektual ini akan mampu untuk mempresentasikan konsep dan lambang menjadi uraian-uraian 58
Suprijono, Op. cit., hlm. 5-6.
59
Ibid., hlm. 5.
41
yang lebih terperinci dan mengelompokkan sesuai dengan kategorikategori. Selain itu, keterampilan intelektual ini diperlukan dalam rangka pengembangan prinsip-prinsip keilmuwan yang dimiliki oleh seseorang.60 c. Strategi kognitif Bentuk hasil belajar ini merupakan kecakapan yang lebih menekankan pada penggunaan konsep-konsep yang sudah diperoleh dari belajar untuk diterapkan dalam aktivitas sehari-hari terutama untuk memecahkan suatu masalah. 61 Dengan demikian keterampilan ini lebih bersifat aplikatif. Seseorang yang memiliki strategi kognitif akan mampu menerapkan pengetahuan yang diperolehnya untuk mengatasi problem-problem yang ditemui dalam hidupnya, sehingga ia akan menemukan pemecahan masalah dari problema tersebut. d. Sikap Sikap adalah ”Kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek”.62 Dengan demikian sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilainilai yang diperolehnya dari belajar. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku. Sikap ini akan mampu mengarahkan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma-
60
Ibid.
61
Ibid.
62
Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 135.
42
norma yang berlaku di masyarakat, sehingga ia akan mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan masyarakat yang ada.63 e. Keterampilan motoris Keterampilan motoris merupakan hasil belajar yang memiliki tingkatan paling tinggi. Kemampuan ini lebih mengarah kepada skill seorang individu untuk melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. Gerak ini secara sadar akan diterapkan dalam aktivitas sehari-hari.64 Ranah
hasil
belajar
dalam
sistem
pendidikan
nasional
menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benjamin S. Bloom. Secara garis besar Benjamin S. Bloom dalam bukunya Taxonomy of Educational Objectives sebagaimana dikutip Anas Sudijono, membagi hasil belajar menjadi tiga jenis domain (ranah), yaitu: ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain) dan ranah psikomotorik (psychomotor domain).65 Berikut ini akan penulis jelaskan ketiga ranah hasil belajar tersebut: a. Ranah Kognitif (Cognitive Domain) Ranah kognitif adalah “Ranah yang mencakup kegiatan mental (otak)”.66 Ranah kognitif merupakan salah satu ranah psikologis
63
Agus Suprijono, Op. cit., hlm. 6.
64
Ibid., hlm. 6.
65 66
Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 49. Ibid., hlm. 49.
43
manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Ranah kejiwaan ini berpusat pada otak yang berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa.67 Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif ini terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah, yaitu pengetahuan sampai jenjang yang paling tinggi, yaitu penilaian.68 Keenam jenjang yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan merupakan jenjang berpikir terendah. Seorang individu yang belajar akan mengetahui apa yang dikemukakan oleh guru,
sehingga
ia
memperoleh
pengetahuan.
Pengetahuan
merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali atau mengenali kembali apa saja yang telah dipelajari, baik yang menyangkut
nama,
sebagainya,
tanpa
istilah,
ide,
gejala,
mengharapkan
rumus-rumus
kemampuan
dan untuk
menggunakannya.69 Dengan demikian, jenjang berpikir ini lebih pada mengetahui apa yang dipelajarinya tanpa untuk berfikir untuk melakukan sesuatu yang diketahuinya tersebut.
67
Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 66.
68
Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 49.
69
Ibid., hlm. 49.
44
2) Pemahaman (comprehension) Pemahaman merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Sesuatu yang telah diketahui sebelumnya kemudian dipahami dari berbagai aspek, sehingga menjadi sesuatu yang diketahuinya lebih mendalam. Seorang peserta didik yang memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri, atau dengan kata lain dapat mengungkapkan sesuatu hal berdasarkan inti pokok yang diketahuinya.70 Dengan demikian, pemahaman merupakan kemampuan individu untuk memahami makna dari sesuatu yang telah diketahui sebelumnya. Pemahaman merupakan jenjang kognitif setelah pengetahuan. Tanpa adanya pengetahuan sebelumnya, maka individu tidak akan mampu untuk memahami sesuatu. 3) Penerapan (application) Penerapan atau aplikasi adalah “Kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum atau teoriteori dan sebagainya dalam situasi yang
baru dan konkret”.71
Dengan demikian, seorang individu yang sudah memiliki jenjang penerapan, apabila ia sudah mampu menerapkan pengetahuan yang 70
Ibid.
71
Ibid., hlm. 50.
45
dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, melaksanakan ibadah shalat. 4) Analisis (analysis) Analisis adalah “Kemampuan seseorang untuk menguraikan suatu bahan atau keadaan menjadi bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian yang satu dengan yang lainnya”.72 Dengan dimilikinya kemampuan analisis ini, seseorang akan mampu menguraikan sesuatu hal menjadi beberapa hal yang lebih detail sehingga mudah dipahami oleh seseorang yang diajak bicara. 5) Sintesis (synthesis) Sintesis adalah “Suatu proses memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi sesuatu unsur yang berstruktur atau berbentuk pola baru”.73 Sintesis merupakan kebalikan dari analisis. 6) Penilaian (evaluation) Penilaian adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif menurut taksonomi Bloom. Penilaian atau evaluasi merupakan “kemampuan seseorang untuk membuat
72
Ibid., hlm. 51.
73
Ibid.
46
pertimbangan terhadap situasi, nilai atau ide, sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada”.74 b. Ranah Afektif (Affective Domain) Ranah afektif adalah ”Ranah yang berkaitan dengan sikap mental dan kesadaran siswa yang diperoleh siswa melalui proses internalisasi yaitu proses menuju ke arah pertumbuhan batiniah”.75 Dalam kaitannya dengan hasil belajar, ranah afektif (sikap) dapat diungkapkan sebagai kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini, perwujudan perilaku siswa belajar siswa akan ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang telah berubah lebih maju terhadap suatu objek yang dipelajarinya. Beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil proses belajar antara lain: 1) Recieving/attending atau penerimaan, Recieving atau penerimaan merupakan ”Semacam kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain”.76 Dalam kategori ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar. Dengan 74
Ibid., hlm. 52.
75
Ibid., hlm. 54.
76
Ibid.
demikian,
dapat
dikemukakan
bahwa
receiving
47
merupakan kemauan seseorang untuk memperhatikan suatu kegiatan atu objek. 2) Responding atau memberi respon jawaban Responding merupakan ”Reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar, yang meliputi: ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya”.77 Jadi responding merupakan kemampuan seseorang untuk menanggapi rangsang yang datang pada dirinya, sehingga ia mampu untuk mengikutsertakan dirinya dalam kegiatan tersebut. 3) Valuing atau penilaian, Valuing atau penilaian berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi. Menilai artinya ”Memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap sesuatu kegiatan atau obyek”.78 Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut. 4) Organisasi Organisasi adalah ”Pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain,
77
Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 30.
78
Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 55.
48
pemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya”.79 Kategori ini adalah konseptualisasi suatu nilai yakni mau menilai, menemukan dan mengkristalisasikan kaidah-kaidah dan menata suatu nilai, yaitu menimbang berbagai macam alternatif penyelesaian sehingga timbul sistem nilai. Dengan kata lain, mempertemukan perbedaan-perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih bersifat universal.80 5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai Internalisasi nilai yaitu ”Keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya yang di dalamnya termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya”.81 c. Ranah Psikomotorik (Psychomotor Domain) Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Menurut Muhibbin Syah, kecakapan psikomotor adalah “Segala amal jasmaniah yang konkrit dan mudah diamati, baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka”.82 Ada enam tingkatan keterampilan motoris, yakni: 1) Gerakan refleks, yakni keterampilan pada gerakan yang tidak sadar; b) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar; c) 79
Nana Sudjana, Loc. cit. 80
Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 56.
81
Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 30.
82
Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 52.
49
Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris dan lain-lain; d) Kemampuan di bidang fisik, misalnya: kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan; e) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks; dan f) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.83 Jadi kecakapan psikomotor siswa merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya. Berdasarkan dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ranah hasil belajar PAI meliputi tiga ranah, yaitu ranah kognitif yang berkaitan dengan kemampuan intelektual siswa, ranah afektif yang berkaitan dengan sikap siswa, dan ranah psikomotorik yang berkaitan dengan keterampilan (skill) siswa. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar PAI Hasil belajar Pendidikan Agama Islam yang dicapai oleh siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Muhibbin Syah secara global mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: Pertama, faktor internal (faktor dari dalam diri siswa) yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa. Kedua, faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa, yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa dan ketiga, faktor pendekatan belajar (approach
to
learning),
pembelajaran.84
83 84
Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 30-31. Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 132.
yang
meliputi
strategi
dan
metode
50
Faktor pendekatan belajar ini merupakan jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan guru dan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.85 Dengan demikian, seorang guru yang profesional akan memilih pendekatan atau metode pembelajaran yang lebih sesuai dengan materi dan kondisi siswa, sehingga diharapkan mampu mempermudah penyampaian materi pelajaran kepada siswa. Menurut Ngalim Purwanto prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.86 Senada dengan hal tersebut, menurut Sumadi Suryabrata dalam bukunya Psikologi Pendidikan, faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktorfaktor yang berasal dari luar diri siswa dan dari dalam diri siswa. Yang termasuk faktor yang berasal dari luar diri pelajar adalah faktor nonsosial dan faktor sosial. Sedangkan faktor-faktor yang berasal dari dalam diri siswa adalah faktor fisiologi dan faktor psikologis.87 Faktor Fisiologis dalam belajar terdapat dua bagian, yaitu: keadaan tonus jasmani dan keadaan fungsi jasmani. Keadaan tonus jasmani adalah keadaan yang
melatar belakangi aktivitas belajar,
misalnya nutrisi harus selalu sesuai dengan kebutuhan tubuh jangan sampai kekurangan. Juga beberapa ancaman penyakit seperti sakit gigi,
85
Ibid.
86
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997, hlm.
87
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.
102. 233.
51
influenza, batuk dan lain-lain.88 Dengan demikian harus selalu sesuai dengan kebutuhan tubuh jangan sampai kekurangan gizi. Seorang individu yang kekurangan gizi akan berakibat pada menurunnya prestasi belajar. Adapun faktor psikologis merupakan faktor yang terdapat di dalam diri siswa yang menyangkut perkembangan pribadi siswa tersebut. Di antara faktor-faktor psikologis yang dipandang lebih esensial menurut Muhibbin Syah, yaitu: intelegensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa.89 Secara rinci akan dijelaskan pada bagian berikut: a. Intelegensi siswa Intelegensi kemampuan
pada
psiko-fisik
umumnya untuk
dapat
mereaksi
diartikan rangsangan
sebagai atau
menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Jadi, inteligensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan inteligensi manusia lebih menonjol.90 Intelegensi itu besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar, sebab dalam keadaan yang sama siswa yang mempunyai inteligensi
88
Ibid., hlm. 235.
89
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, hlm. 132.
90
Ibid., hlm. 133.
52
yang lebih tinggi dalam pencapaian keberhasilan dengan siswa yang kurang inteligensinya (rendah). b. Sikap siswa Sikap merupakan “kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek”.91 Sikap siswa bisa berupa sikap positif maupun negatif. Sikap positif yang timbul pada siswa terhadap mata pelajaran merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap mata pelajaran akan dapat menimbulkan kesulitan belajar bagi siswa. Hal ini berarti bahwa sikap merupakan salah satu faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Artinya, prestasi belajar berhubungan erat dengan sikap yang ditunjukkan siswa dalam mengikuti aktivitas belajarnya. Apabila dalam belajar siswa menunjukkan sikap yang baik dan perhatian maka hasil belajarnyapun akan lebih baik dan meningkat. c. Minat siswa Minat (interest) berarti “kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu”.92 Minat yang dimiliki oleh siswa akan mampu menumbuhkan perhatian terhadap mata pelajaran lebih banyak dari pada siswa yang tidak memiliki minat belajar. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif 91
Ibid., hlm. 134.
92
Ibid., hlm. 136.
53
terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat.93 d. Bakat siswa Secara umum bakat (attitude) adalah “kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang”.94 Biasanya siswa yang memiliki bakat dalam bidang tertentu akan lebih berhasil belajarnya dibanding yang lain. Jadi secara global bakat itu mirip dengan intelegensi. e. Motivasi siswa Motivasi adalah “dorongan untuk berbuat atau bertindak”.95 Timbulnya motivasi disebabkan adanya motif yang ada pada diri individu. Motif merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh siswa dalam belajar. Jika motivasi yang ada pada siswa baik, maka sangat menunjang pada hasil baik yang akan diperoleh siswa tersebut. Sedangkan faktor-faktor non sosial merupakan faktor yang dapat mempengaruhi belajar seseorang yang terdapat pada alat, tempat, atau keadaan serta lingkungan tempat dilaksanakannya proses pembelajaran. Contoh iklim, waktu, tempat, serta alat peraga yang digunakan.96 Sedangkan faktorsosial yaitu faktor yang terjadi karena adanya interaksi manusia, baik kehadirannya itu dapat disimpulkan ada, maupun tidak
93
Ibid., hlm. 136-137.
94
Ibid., hlm. 136.
95
Ibid., hlm. 137.
96
Sumadi Suryabrata, Op. cit., hlm. 233.
54
langsung hadir. Contohnya ketika siswa belajar sedangkan di luar terdengar kebisingan atau disisinya terdapat gambar yang mengganggu konsentrasi belajar. Adapun faktor-faktor sosial ini terdiri dari: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.97 Pertama, Faktor keluarga. Keluarga adalah lembaga pendidikan yang paling utama. Keluarga sejahtera sangat besar pengaruhnya untuk pendidikan dalam lingkup kecil dan juga sangat menentukan dalam lingkup besar yaitu pendidikan bangsa dan negara.98 Melihat kenyataan ini dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga di dalam pendidikan anaknya. Di antara faktor ini adalah cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, susunan keluarga, keadaan ekonomi keluarga dan pengertian orang tua dalam mendidik anak serta latar belakang kebudayaan keluarganya akan dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar yang dicapai oleh siswa.99 Jadi keluarga yang memberikan perhatian dan bimbingan lebih terhadap anaknya akan berpengaruh terhadap prestasi yang dicapainya. Kedua, Faktor sekolah. Faktor yang mempengaruhi belajar yang termasuk dalam faktor sosial sekolah ini mencakup metode pengajaran, media pembelajaran, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, peraturan-peraturan sekolah, misalnya disiplin sekolah, pelajaran dan waktu belajar akan dapat mempengaruhi semangat belajar
97
Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 137-138.
98
Ibid., hlm. 138.
99
Ibid.
55
siswa. Para guru yang menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan suri teladan yang baik dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.100 Dengan demikian, faktor lingkungan sosial sekolah berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Ketiga, Faktor masyarakat. Masyarakat merupakan faktor eksternal yang juga berpengaruh pada proses belajar siswa, pengaruh itu terjadi karena keberadaan siswa di dalam lingkungan masyarakat. Di antara faktor ini yang termasuk adalah kegiatan siswa dalam masyarakat, juga masyarakat bisa dijadikan media informasi dan sarana bergaul yang berfungsi sebagai tempat curahan hati antar sebaya dalam berbagai bentuk kehidupan dalam masyarakat.101 Dengan demikian, siswa akan menemukan kemudahan dalam belajar jika berada di lingkungan masyarakat syang aman dan kondusif dan juga sebaliknya, siswa akan menemukan kesulitan belajar ketika berada lingkungan masyarakat yang kumuh. Dengan demikian, hasil belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu.
100
Ibid., hlm. 137.
101
Ibid.
56
D. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu merupakan telaah atau ulasan yang mengarah kepada pembahasan tesis periode sebelumnya, sehingga akan diketahui titik perbedaan yang jelas. Dari segi tesis yang pernah penulis baca adalah: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Aisyah Khumairo mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Hubungan Antara Intensitas Mengikuti Pembinaan Keagamaan dengan Kedisiplinan Siswa di MAN Lab. UIN Yogyakarta.102 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan positif signifikan antara intensitas mengikuti pembinaan keagamaan di sekolah dengan kedisiplinan siswa. Variabel intensitas mengikuti pembinaan keagamaan menggunakan skala model likert berdasarkan aspek-aspek dari teori Glock dan Stark, yaitu frekuensi kehadiran siswa, minat siswa, pemahaman makna dan keseriusan. Sedangkan dari variabel kedisiplinan siswa didasarkan pada Hurlock, yaitu peraturan, hukuman, penghargaan dan konsistensi. Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode survey dan pendekatan deskriptif analitik. Sampel diambil secara stratified cluster random sampling. Teknik pengumpulan data melalui angket skala lima kategori Likert. Hasil analisis dengan menggunakan koefisien spearman rank menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0,624 dengan nilai koefisien signifikan sebesar 0,000. Maka
102
Aisyah Khumairo, “Hubungan Antara Intensitas Mengikuti Pembinaan Keagamaan dengan Kedisiplinan Siswa di MAN Lab. UIN Yogyakarta”, Skripsi Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2013.
57
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara intensitas mengikuti pembinaan keagamaan di sekolah dengan kedisiplinan siswa dengan taraf hubungan yang kuat. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Nurul Maisyaroh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Pengaruh Keaktifan Mengikuti Kegiatan Keagamaan Terhadap Pengamalan Keagamaan Siswa Kelas VIII MTs. Negeri Bantul Kota Tahun Pelajaran 2008/2009.103 Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan sampel penelitian adalah siswa kelas VIII sebanyak 54 siswa yang terbagi dalam 6 kelas. Metode pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner (angket), observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis menggunakan analisis statistik dengan bantuan komputer program SPSS versi 13.0 for windows. Analisis data menggunakan analisis korelasi product moment dan analisis regresi sederhana. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang positif antara keaktifan mengikuti kegiatan keagamaan terhadap pengamalan keagamaan siswa MTs. Negeri Bantul Kota. Ini ditunjukkan dengan angka koefisien korelasi sebesar 0,891. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Agus Mulyadi mahasiswa IAIN Walisongo Semarang yang berjudul Pengaruh Kegiatan Rohis Terhadap Hasil Belajar Kognitif Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 01
103
Nurul Maisaroh, “Pengaruh Keaktifan Mengikuti Kegiatan Keagamaan Terhadap Pengamalan Keagamaan Siswa Kelas VIII MTs. Negeri Bantul Kota Tahun Pelajaran 2008/2009”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
58
Weleri Tahun Ajaran 2011/2012.104 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kegiatan Rohis terhadap hasil belajar kognitif PAI di SMA. Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan yang dilaksanakan di SMA Negeri 01 Weleri. SMA Negeri 01 Weleri dijadikan sumber data untuk mendapatkan data kegiatan kegiatan Rohis dan hasil belajar PAI pada mid semester II. Datanya diperoleh dengan cara observasi secara langsung di lapangan, wawancara bebas, metode dokumentasi dan metode tes. Semua data dianalisis menggunakan korelasi. Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh tetapi tidak signifikan antara kegiatan Rohis terhadap hasil belajar kognitif Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMA Negeri 01 Weleri dengan signifikansi kategori sangat lemah dengan signifikansinya sebesar 0,103. Hal ini disebabkan materi yang diberikan peserta kegiatan Rohis disamakan tanpa melihat jenjang kelas dan materi yang diberikan pada mata pelajaran PAI di kelas ditambah kurangnya keaktifan peserta didik dalam kegiatan Rohis yang menyebabkan mereka tidak dapat memadukan materi kegiatan Rohis dengan materi PAI di kelas, sehingga pengaruh yang diberikan kegiatan Rohis di SMA Negeri 01 Weleri tehdapa hasil belajar kognitif PAI pada Mid semester II tidak signifikan menurut perhitungan statistik. Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Hidayad mahasiswa program
104
pascasarjana
UIN
Walisongo
Semarang
yang
berjudul
Agus Mulyadi, “Pengaruh Kegiatan Rohis Terhadao Hasil Belajar Kognitif Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 01 Weleri Tahun Ajaran 2011/2012”, Skripsi IAIN Walisongo Semarang, 2012.
59
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Luar Jam Pelajaran Sebagai Laboratorium Sosial Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Jepara Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional.105 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) di luar jam pelajaran sebagai laboratorium sosial dan juga untuk mengetahui proses pengawasan dan penilaian pembelajaran pendidikan agama di luar jam pelajaran sebagai laboratorium sosial di SMA Negeri 1 Jepara Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa pembelajaran pendidikan agama Islam yang dilakukan di luar jam pelajaran merupakan kegiatan keagamaan dalam rangka mengaktualisasikan pendidikan agama yang dilakukan di dalam jam pelajaran. Pembelajaran pendidikan agama Islam yang dilakukan di luar jam pelajaran seperti shalat dzuhur berjamaah, shalat jumat, shalat tarawih satu bulan penuh, pelatihan membaca al-Qur’an bagi siswa yang mengalami kesulitan atau tidak dapat membaca al-Qur’an dengan lancar, kantin kejujuran, zakat fitrah, qurban dan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) sangat mendukung program pembelajaran keagamaan yang dilakukan secara formal, sehingga siswa mampu mengaplikasikan pendidikan agama Islam dengan baik dan benar. Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Ahyan Yusuf Sya’bani mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Peranan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Penanaman Nilai-nilai Karakter 105
Hidayad, “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Luar Jam Pelajaran Sebagai Laboratorium Sosial Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Jepara Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional”, Tesis, UIN Walisongo Semarang, 2011.
60
Terhadap Siswa Tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (Studi Kasus Guru PAI SMK Muhammadiyah Imogiri dan SMK Nasional Bantul).106 Fokus dari penelitian ini adalah mengetahui bentuk-bentuk peranan dan cara yang dilakukan oleh guru PAI dalam menanamkan nilai-nilai karakter terhadap siswa SMK Muhammadiyah Imogiri dan SMK Nasional Bantul. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan
peranan
guru PAI SMK
Muhammadiyah Imogiri dan SMK Bantul sebagai pengajar, pendidik, korektor, inspirator, informator, organizator, motivator, inisiator, fasilitator, pembimbing, demonstrator, pengelola kelas, mediator, supervisor, evaluator, da’i, konsultan dan pemimpin informal dengan kekurangan yaitu beberapa guru tidak berperan sebagai demonstrator, belum memiliki program kegiatan pengamalan agama. Sedangkan cara yang dilakukan oleh guru PAI dalam menanamkan nilai-nilai karakter lebih berorientasi pada aspek keagamaan terutama nilai karakter religius. Persamaan dari ketiga dari kelima penelitian di atas dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah sama-sama menggunakan pendekatan kuantitatif dan mengkaji tentang pembinaan keagamaan dan hasil belajar Pendidikan Agama Islam. Sedangkan perbedaannya adalah sebagai berikut: 1) penelitian pertama, mengkaji tentang hubungan intensitas mengikuti
106 Mohammad Ahyan Yusuf Sya’bani, “Peranan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Penanaman Nilai-nilai Karakter Terhadap Siswa Tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (Studi Kasus Guru PAI SMK Muhammadiyah Imogiri dan SMK Nasional Bantul)”, Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
61
pembinaan keagamaan dengan sikap disiplin siswa, sedangkan pada penelitian yang akan penulis lakukan mengkaji dengan pengaruh pembinaan aktivitas keberagamaan terhadap perubahan perilaku dan hasil belajar PAI. 2) penelitian kedua, mengkaji tentang pengaruh keaktifan mengikuti kegiatan keagamaan terhadap pengamalan keagamaan siswa, sedangkan pada penelitian yang akan penulis lakukan mengkaji dengan pengaruh pembinaan aktivitas keberagamaan terhadap perubahan perilaku dan hasil belajar PAI. 3) penelitian ketiga mengkaji tentang pengaruh kegiatan Rohis terhadap hasil belajar kognitif Pendidikan Agama Islam, sedangkan pada penelitian yang akan penulis lakukan mengkaji dengan pengaruh pembinaan aktivitas keberagamaan terhadap perubahan perilaku dan hasil belajar PAI. Adapun persamaan dengan penelitian keempat dan kelima adalah sama-sama mengkaji tentang peran guru Pendidikan Agama Islam. Namun perbedaannya adalah kedua tesis di atas menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif sedangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan memfokuskan pada pengaruh pembinaan aktivitas keberagamaan yang dilakukan oleh guru PAI terhadap perubahan perilaku dan hasil belajar PAI. Berdasarkan dari ketiga penelitian terdahulu sebagaimana di atas, posisi peneliti dalam penelitian ini adalah melengkapi penelitian terdahulu, dengan memfokuskan pada pengaruh pembinaan aktivitas keberagamaan terhadap perubahan perilaku dan hasil belajar PAI di SD Negeri Tlutup Trangkil Kabupaten Pati.