BAB II KEABSAHAN SEBUAH AKTA YANG DIBUAT OLEH NOTARIS YANG MENIMBULKAN DELIK-DELIK PIDANA
Kode Etik Jabatan Notaris Dalam menjalankan sebuah profesi hukum, terutama dalam profesi notaris, terdapat beberapa hal yang harus ditaati oleh para professional tersebut. Berkaitan dengan kegiatan profesi hukum, maka kebutuhan manusia untuk memperoleh layanan hukum juga termasuk dalam lingkup dimensi budaya perilaku manusiawi yang dilandasi oleh nilai moral dan nilai kebenaran. Atas dasar ini, maka beralasan bagi pengemban profesi hukum untuk memberikan layanan bantuan hukum yang sebaikbaiknya kepada klien yang membutuhkannya. Namun dalam kenyataannya, manusia menyimpang dari dimensi budaya tersebut sehingga perilaku yang ditunjukkannya justru melanggar nilai moral dan nilai kebenaran yang seharusnya dijunjung tinggi. Manusia sebagai makhluk budaya selalu melakukan penilaian terhadap keadaan yang dialaminya, dengan arti memberikan pertimbangan untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah. 37 Hasil penilaian yang diberikan (nilai) yang hidup dalam pikiran anggota masyarakat membentuk sistem nilai yang berfungsi sebagai pedoman. 38
37
Muhammad Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997),
halaman 8 38
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Sistem nilai yang dianut oleh masyarakat itu menjadi tolak ukur kebenaran dan kebaikan cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan. Sistem nilai tersebut berfungsi sebagai kerangka acuan untuk menata kehidupan pribadi dan menata hubungan antara manusia dan manusia serta alam sekitarnya. 39 Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan manusia lainnya. Sebagai dasar penataan hubungan dengan manusia lain itu diperlukan aturan yang merupakan cerminan dari sistem nilai. Aturan dalam bentuk konkret yang bersumber pada sistem nilai disebut norma hukum. Sistem nilai menjadi dasar kesadaran masyarakat untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan. 40 Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan dengan manusia lain. Dalam hubungan tersebut, setiap manusia berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma moral sebagai acuan perilakunya. Nilainilai dan norma-norma moral ini merupakan sistem nilai yang kemudian dijelmakan ke dalam norma-norma sosial yang menjadi cermin setiap perbuatan bermasyarakat, yang disebut hukum kebiasaan. Dalam hubungan dengan manusia lain itu, manusia memenuhi apa yang seharusnya dilakukan (kewajiban) dan memperoleh apa yang seharusnya didapati (hak) sesuai dengan hukum kebiasaan. Setiap manusia mempunyai hak-hak yang diperolehnya sejak lahir (hak asasi), dan hak-hak yang diperoleh karena diberikan oleh undangundang. Namun karena manusia mempunyai kelemahan, seperti berbuat khilaf, keliru maka tidak mustahil suatu ketika terjadi penyimpangan atau pelanggaran norma-norma sosial yang menimbulkan keadaan tidak tertib, tidak stabil yang perlu dipulihkan kembali. Untuk memulihkan ketertiban dan menciptakan kestabilan diperlukan sarana pendukung, yaitu organisasi masyarakat. Dalam bidang hukum organisasi masyarakat
39
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), halaman 4. 40 Abdulkadir, Op. cit.
Universitas Sumatera Utara
itu dapat berupa organisasi profesi hukum yang berpedoman pada kode etik. Dalam bidang masyarakat, organisasi masyarakat itu berupa negara yang berpedoman pada hukum positif. Hukum positif merupakan bentuk konkret dari sistem nilai yang hidup dalam masyarakat. 41 Hukum positif adalah bagian dari hukum manusia yang dibentuk oleh penguasa Negara atau kelompok masyarakat untuk menjamin keberlakuan hukum kodrat dan hukum wahyu dalam kehidupan manusia. 42 Masalah etika akhir-akhir ini banyak dipersoalkan, tidak hanya di Indonesia saja. Akan tetapi mengenai etika ini dan permasalahannya telah lama dan selalu diusahakan agar etika ini betul-betul dapat berkembang dan melekat pada setiap profesi. Bahkan pada zaman dulu Hippocrates telah menyatakan ilmu kedokteran hanya boleh diajarkan kepada orang-orang yang betul-betul sacred person (orangorang yang suci). Karena itu dalam riwayat perjalanan hidup Hippocrates, maka ia hanya mau menerima dan mengajar seorang murid jika murid itu betul-betul sacred person. Hubungan antara ilmu, orang dan sacred person ini merupakan suatu aturan dan norma yang diharapkan oleh profesi, ilmu dan etiknya, guna dapat menjalankan profesi dan disebut sebagai seorang yang profesional. Hal mana disebabkan karena kode etik dari suatu profesi adalah tuntutan dan tuntutan untuk menjalankan profesi secara profesional atas nilai-nilai manusia yang luhur. 43
41
Abdulkadir, Op. cit, halaman 11. Ibid, halaman 11-12. 43 Ignatius Ridwan Widyadharma, Etika Profesi Hukum, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996), halaman 7. 42
Universitas Sumatera Utara
Bertens menjelaskan, etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu ethos dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaan. 44 Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah etika yang oleh filsuf yunani Aristoteles sesudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. berdasarkan asal usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. 45 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), Etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu : 1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dari beberapa pengertian etika tersebut, menurut A. Sonny Keraf, etika dipahami dalam pengertian moralitas sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam sistem situasi konkret, situasi khusus tertentu. Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret. 46 Disini kita dihadapkan kepada fakta, sehingga etika disini merupakan etika deskriptif. Apabila diharapkan adanya pola perilaku yang ideal yang wajib dipenuhi
44
Supriadi, Op. cit, halaman 7. Abdulkadir, Op. cit halaman 13. 46 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta, 2002, halaman 4-5. 45
Universitas Sumatera Utara
manusia maka disini etika menampakkan diri sebagai tuntunan hidup dan hal mana lazim disebut etika normatif. 47 Menurut Franz Magnis Suseno, etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran-ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematis, dan normatif. 48 Secara lengkap dapat dipahami dengan terkaitnya etika dengan filsafat juga menguasai etika. Pada bagian inilah maka sikap rasional yang mendasarkan diri pada nalar, sikap kritis yang ingin mengerti suatu masalah sampai ke akar-akarnya dan sikap sistematis yang merupakan ciri pemikiran ilmiah, sikap yang mendasar adalah memiliki alasan yang bersumber pada pemikiran ilmiah, serta sikap normatif yang menempatkan bagaimana pandangan moral harus diterapkan dan dijalankan berdasarkan aturan yang ada, merupakan satu kesatuan bulat yang ada pada etika termasuk kode etik. Jadi etika adalah merupakan filsafat moral yaitu pemikiran yang dilandasi oleh rasional. Kritis, mendasar, sistematis, dan normatif. Kemudian memberikan jawaban dan pertanggung jawaban tentang ajaran moral yaitu bagaimana seorang yang berprofesi harus bersikap, bertanggung jawab. Dapat dirasakan sekarang bahwa etika termasuk kode etik itu dimaksudkan untuk membawa suatu profesi dalam menjalankan profesinya supaya betul-betul
47 48
Ignatius Ridwan Widyadharma, Op. cit, halaman 12. Franz Magnis Suseno, Etika Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), halaman 3.
Universitas Sumatera Utara
mencerminkan pekerjaan profesional yang bermoral dengan motivasi dan orientasi pada keterampilan intelektual serta beragumentasi secara rasional dan kritis. Menurut Darji Darmodiharjo, etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis. 49 Sedangkan menurut Magnis Suseno, fungsi utama etika yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Di sini terlihat bahwa etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dan yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. 50 Adapun empat alasan yang melatar belakanginya yaitu51 : 1. Etika dapat membantu dalam menggali rasionalitas dari moral agama, seperti mengapa Tuhan memerintahkan ini, bukan itu. 2. Etika membantu dalam menginterprestasikan ajaran agama yang saling bertentangan. 3. Etika dapat membantu menerapkan ajaran moral agama terhadap masalahmasalah baru dalam kehidupan manusia, seperti soal bayi tabung dan euthanasia, yaitu tindakan mengakhiri hidup dengan sengaja kehidupan makhluk. 4. Etika dapat membantu mengadakan dialog antar agama karena etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional belaka, bukan pada wahyu.
Peranan etika termasuk kode etik bagi seorang yang berprofesi, oleh Talcot Parson dijelaskan sebagai berikut 52 : 49
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Cetakan I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), halaman 237. 50 C.S.T. Kansil dan Christine T. Kansil, Pokok-pokok Profesi Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), halaman 2. 51 Ibid 52 Ignatius Ridwan Widyadharma, Op. cit, halaman 9.
Universitas Sumatera Utara
“Manusia adalah sosialisasi animal, artinya binatang yang tersosialisasi atau juga bisa diartikan secara bebas binatang yang bermasyarakat. Masyarakat adalah suatu sistem yang dibangun di atas sekumpulan nilai-nilai umum yang dilindungi oleh anggotaanggotanya dalam suatu proses sosialisasi. Melalui proses sosialisasi inilah, maka seorang individu belajar tentang bagaimana dia harus bertindak sesuai dengan normanorma yang berlaku dalam lingkungan sosialnya, bagaimana dia harus memberikan aksi dan reaksi terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungannya, dan semua itu merupakan bagian dari pada proses pembentukan mentalnya. Jadi individu selalu membentuk suatu interaksi tertentu dengan tata aturan sosial yang menjadi lingkungannya. Aturan-aturan sosial tidak hanya dibentuk oleh faktor-faktor internal melalui tindakan atau perilaku-perilaku dari anggota-anggota masyarakatnya. Selain itu aturan-aturan sosial tidak bersifat individual, tetapi ditujukan kepada seluruh individu yang ada dalam masyarakat di mana aturan-aturan sosial itu berlaku, hal itu dibuktikan dengan terbentuknya aturan-aturan sosial itu menjadi sekumpulan konsep-konsep tentang peran, norma, dan status yang memberikan arah tertentu terhadap kehidupan sosial dalam masyarakat”. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari semua itu adalah bahwa etika termasuk kode etik menjadikan landasan akan perlunya kesadaran akan tanggung jawab. Disinilah kemudian dilahirkan suatu dimensi bahwa menjalankan suatu profesi dalam masyarakat bukan ditentukan oleh pertimbangan untung rugi akan tetapi justru dengan pertimbangan untuk demi masyarakat. 53 Kode etik adalah suatu profesi yang bertujuan kepada pengabdian bagi sesama manusia, sehingga etika profesi menegaskan agar seorang profesional menjalankan profesinya dengan selalu memiliki idealisme, agar tuntutan etika profesi dijalankan dengan tekad semangat berkepribadian dan bertanggung jawab. Kemampuan sedemikian itu membawa pribadi si profesional untuk bersikap kritis dan rasional baik dalam melahirkan
53
Ibid, halaman 10
Universitas Sumatera Utara
pendapatnya sendiri maupun bertindak sesuai dengan apa yang dipertanggung jawabkan 54 . Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum. Menurut Ismail Saleh, notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut 55 : 1. Mempunyai integritas moral yang mantap. 2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual). 4. Sadar akan batas-batas kewenangannya. 5. Tidak semata-mata berdasarkan uang. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa empat pokok yang harus diperhatikan para notaris adalah sebagai berikut : 56 1. Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan. 2. Seorang notaris harus jujur, tidak hanya pada kliennya, juga pada dirinya sendiri. Ia harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji sekedar untuk menyenangkan kliennya, atau agar si klien tetap mau memakai jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang notaris. 3. Seorang notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya. Ia harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Adalah bertentangan dengan perilaku profesional apabila seorang notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak di tempat kedudukannya sebagai notaris. 54
Ibid, halaman 11. Lilian Tedjosaputro, Op.cit., halaman 86. 56 Ibid, halaman 87. 55
Universitas Sumatera Utara
Atau memasang papan dan mempunyai kantor di tempat kedudukannya, tetapi tempat tinggalnya di lain tempat. Seorang notaris juga dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya autentiknya. 4. Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam pelaksanaan tugas profesinya, ia tidak sematamata di dorong oleh pertimbangan uang. Seorang notaris yang pancasila harus tetap berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang, dan tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengabaikan rasa keadilan. Dalam menjalankan tugasnya, seorang notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan notaris. Dalam kode etik notaris Indonesia telah ditetapkan beberapa kaidah yang harus dipegang oleh notaris, diantaranya adalah: 57 1. Kepribadian notaris, hal ini dijabarkan kepada : a. Dalam melaksanakan tugasnya dijiwai pancasila, sadar dan taat kepada hukum peraturan jabatan notaris, sumpah jabatan, kode etik notaris dan berbahasa Indonesia yang baik. b. Memiliki perilaku profesional dan ikut serta dalam pembangunan nasional, terutama sekali dalam bidang hukum. c. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan notaris, baik di dalam maupun di luar tugas jabatannya. 2. Dalam menjalankan tugas, notaris harus : a. Menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
57
Supriadi, Op. cit., halaman 52-54.
Universitas Sumatera Utara
b. Menggunakan satu kantor sesuai dengan yang ditetapkan oleh undangundang, dan tidak membuka kantor cabang dan perwakilan dan tidak menggunakan perantara. c. Tidak menggunakan media massa yang bersifat promosi. 3. Hubungan notaris dengan klien harus berlandaskan : a. Notaris memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya. b. Notaris memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi, agar anggota masyarakat menyadari hak dan kewajibannnya. c. Notaris harus memberikan pelayanan kepada anggota masyarakat yang kurang mampu. 4. Notaris dengan sesama rekan notaris haruslah : a. Hormat menghormati dalam suasana kekeluargaan. b. Tidak melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama. c. Saling menjaga dan membela kehormatan dan korps notaris atas dasar solidaritas dan sifat tolong menolong secara konstruktif. Kode Etik Notaris adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia, berdasar keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku serta wajib ditaati oleh setiap jabatan sebagai notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.
Universitas Sumatera Utara
Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) merupakan salah satu organisasi profesi di Indonesia bagi kelompok profesi notaris, mempunyai kode etik yang ditetapkan dan disahkan oleh Kongres Ikatan Notaris Indonesia yang diadakan di Bandung, pada tanggal 27 Januari 2005. Kode etik notaris sangat berbeda dengan kode etik organisasi-organisasi profesi lainnya, karena telah diatur dan ditetapkan secara hukum melalui UUJN. Sebagai profesi hukum, notaris harus profesional dalam melayani masyarakat yang membutuhkan jasanya. Notaris sebagai Pejabat Umum yang diberikan kepercayaan, baik oleh Negara melalui peraturan perundangundangan maupun oleh masyarakat yang membutuhkan jasanya, harus berpegang teguh tidak hanya pada undangundang, tetapi juga pada kode etik profesinya, karena tanpa adanya kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang. Adanya hubungan antara kode etik dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 menghendaki agar notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus taat kepada undang-undang, harus taat juga kepada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negara. Terhadap notaris yang mengabaikan keluhuran dan martabat jabatannya selain dapat dikenakan sanksi moril, ditegur dan dipecat dari keanggotaan profesinya, juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai notaris. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas jabatannya : 58 1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan karena jabatannya. 2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. 3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna. 58
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center for Documentation and Studies of Business Law (CDSBL), 2003), halaman 269-270.
Universitas Sumatera Utara
Dalam menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, semua ketentuan, termasuk kewenangan, kewajiban dan larangan bagi notaris yang terdapat dalam undangundang maupun kode etik notaris, bahwa semua pasal yang tertuang dalam ketentuan itu, baik langsung maupun tidak langsung mengatur berbagai sanksi hukuman kepada notaris yang melakukan kesalahan atau pelanggaran di dalam menjalankan tugas jabatannya. Atas pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut, notaris tidak hanya menerima sanksi moril dari ikatan profesinya, tetapi dapat juga dikenakan sanksi, misalnya peneguran secara tertulis, pemberhentian dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia, bahkan diberhentikan dari jabatannya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya pengaturan kode etik notaris dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004. H. Penerapan Kode Etik Profesi Kerja pada hakikatnya merupakan salah satu kewajiban dasar setiap manusia. Dengan bekerja, manusia dapat memiliki segala sesuatu yang diinginkannya dan memperoleh apa yang menjadi haknya sendiri. Kerja adalah bagian kodrati dan integral dari kehidupan manusia, yang mana setiap orang menghadapi kerja sebagai bagiaan dari kodratnya sendiri dan sekaligus bagian dari aktivitas kehidupannya. 59
59
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Cetakan I, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), halaman 25.
Universitas Sumatera Utara
Thomas Aquinas menyatakan bahwa setiap wujud kerja mempunyai empat tujuan, yaitu 60 : 1. Dengan bekerja, orang dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidup sehari-harinya. 2. Dengan
adanya
lapangan
pekerjaan,
maka
pengangguran
dapat
dihapuskan/dicegah. Ini juga berarti bahwa dengan tidak adanya pengangguran, maka kemungkinan timbulnya kejahatan dapat dihindari pula. 3. Dengan surplus hasil kerjanya, manusia juga dapat berbuat amal bagi sesamanya. 4. Dengan kerja, orang dapat mengontrol atau mengendalikan gaya hidupnya. Pekerjaan dapat dibedakan menurut : a. Kemampuan, yaitu fisik dan intelektual. b. Kelangsungan, yaitu sementara dan tetap (terus menerus). c. Lingkup, yaitu umum dan khusus (spesialisasi). d. Tujuan, memperoleh pendapatan dan tanpa pendapatan. 61 Dengan demikian, pekerjaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu 62 : a. Pekerjaan dalam arti umum, yaitu pekerjaan apa saja yang mengutamakan kemampuan fisik, baik sementara atau tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan (upah). b. Pekerjaan dalam arti tertentu, yaitu pekerjaan yang mengutamakan kemampuan fisik atau intelektual, baik sementara atau tetap dengan tujuan pengabdian.
60
Loc.cit. Abdulkadir Muhammad, Op. cit, halaman 57. 62 Ibid, halaman 57-58. 61
Universitas Sumatera Utara
c. Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang tertentu, mengutamakan kemampuan fisik dan intelektual, bersifat tetap, dengan tujuan memperoleh pendapatan. Dari tiga jenis pekerjaan tersebut, profesi adalah pekerjaan yang tercantum pada butir (c), dengan kriteria sebagai berikut : 63 a. Meliputi bidang tertentu saja (spesialisasi). Pekerjaan bidang tertentu adalah spesialisasi yang dikaitkan dengan bidang keahlian yang dipelajari dan ditekuni. Biasanya tidak ada rangkapan dengan pekerjaan lain di luar keahliannya itu, karena hal demikian tidak memungkinkan yang bersangkutan melakukan pekerjaannya secara profesional. b. Berdasarkan keahlian atau keterampilan khusus. Pekerjaan bidang tertentu berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus, yang diperolehnya melalui pendidikan dan latihan. Pendidikan dan latihan itu ditempuhnya secara resmi pada lembaga pendidikan dan latihan yang diakui oleh pemerintah berdasarkan undang-undang. Keahlian dan keterampilan yang diperolehnya itu dibuktikan oleh sertifikasi yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah atau lembaga lain yang diakui oleh pemerintah.
c. Bersifat tetap atau terus-menerus.
63
Ibid, halaman 58-61.
Universitas Sumatera Utara
Tetap artinya tidak berubah-ubah pekerjaan. Sedangkan terus menerus artinya berlangsung untuk jangka waktu lama sampai pensiun, atau berakhir masa kerja profesi yang bersangkutan. d. Lebih mendahulukan pelayanan dari pada imbalan (pendapatan). Pekerjaan bidang tertentu itu lebih mendahulukan pelayanan dari pada imbalan (pendapatan). Artinya mendahulukan apa yang harus dikerjakan, bukan berapa bayaran yang diterima. Kepuasan konsumen atau pelanggan lebih diutamakan. Pelayanan itu diperlukan karena keahlian profesional, bukan amatir. Seorang profesional selalu bekerja dengan baik, benar, dan adil. Baik artinya teliti, tidak asal kerja, tidak sembrono. Benar artinya diakui oleh profesi yang bersangkutan. Adil artinya tidak melanggar hak pihak lain. Sedangkan imbalan dengan sendirinya akan dipenuhi secara wajar apabila konsumen atau pelanggan merasa puas dengan pelayanan yang diperolehnya. e. Bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat. Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual, dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan profesinya, tanpa membedakan antara pelayanan
Universitas Sumatera Utara
bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak sematamata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berarti berani menanggung segala risiko yang timbul akibat pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau merugikan diri sendiri, orang lain, dan berdosa kepada Tuhan. f. Terkelompok dalam suatu organisasi Para profesional itu terkelompok dalam suatu organisasi profesi menurut bidang keahlian dari cabang ilmu yang dikuasai. Bertens menyatakan, kelompok profesi merupakan masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan yang disebut kode etik profesi. Pengakuan terhadap organisasi profesi didasarkan pada nilai moral yang tercermin pada keahlian dan keterampilan anggota profesi yang bersangkutan bukan karena ketentuan hukum positif. Jadi, profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan. Pekerja yang menjalankan profesi disebut profesional. Hakikat kerja juga menuntut manusia supaya memilih profesinya atau keahliannya secara bertanggung jawab dan untuk itu manusia juga dituntut untuk mempersiapkan diri sepenuhnya. Pilihan yang dapat dipertanggung jawabkan atas sebuah profesi juga memerlukan bakat dan kemampuan dan untuk pilihan ini manusia
Universitas Sumatera Utara
mempersiapkan diri sepenuhnya. Kelalaian terhadap tuntutan sebuah profesi mempunyai dampak, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap Tuhan sendiri. Di samping itu, pelaksanaan sebuah profesi juga menuntut manusia untuk mempersiapkan diri dalam hal kejujuran, kesadaran diri, ketekunan dan keuletan. 64 Habeyb menyatakan bahwa profesi adalah pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencarian. 65 Sedangkan menurut Komaruddin, profesi adalah suatu jenis pekerjaan yang karena sifatnya menuntut pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan yang istimewa. 66 Menurut Liliana Tedjosaputro, agar suatu lapangan kerja dapat dikategorikan sebagai profesi, diperlukan 67 : 1. Pengetahuan. 2. Penerapan keahlian (competence of application). 3. Tanggung jawab sosial (social responsibility). 4. Self control. 5. Pengakuan oleh masyarakat (social sanction). Sedangkan menurut Brandels, agar suatu pekerjaan dapat disebut sebagai profesi, maka pekerjaan itu sendiri harus mencerminkan adanya dukungan yang berupa 68 : 1. Ciri-ciri pengetahuan (intellectual character). 64 65
E. Sumaryono, Ibid, halaman 26. Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),
halaman 30. 66
Ibid. Ibid. 68 Ibid, halaman 33 67
Universitas Sumatera Utara
2. Diabdikan untuk kepentingan orang lain. 3. Keberhasilan tersebut bukan didasarkan pada keuntungan financial. 4. Keberhasilan tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik, serta pula bertanggung jawab dalam memajukan dan penyebaran profesi yang bersangkutan. 5. Ditentukan adanya standar kualifikasi profesi. Daryl Koehn mengatakan bahwa meskipun kriteria untuk menentukan siapa yang memenuhi syarat sebagai profesional amat beragam, ada lima ciri yang kerap disebut kaum profesional sebagai berikut 69 : 1. Mendapat izin dari negara untuk melakukan suatu tindakan tertentu. 2. Menjadi anggota organisasi/pelaku-pelaku yang sama-sama mempunyai hak suara yang menyebarluaskan standar dan/atau cita-cita perilaku yang saling mendisiplinkan karena melanggar standar tersebut. 3. Memiliki pengetahuan atau kecakapan esoteric (yang hanya diketahui dan dipahami oleh orang-orang tertentu saja) yang tidak dimiliki oleh anggotaanggota masyarakat lain. 4. Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka, dan pekerjaan itu tidak amat dimengerti oleh masyarakat yang lebih luas. 5. Secara publik di muka umum mengucapkan janji untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan dan akibatnya mempunyai tanggung jawab dan tugas khusus, yang tidak mengucapkan janji ini tidak terikat pada tanggung jawab dan tugas khusus tersebut. Selain kesimpulan kriteria profesi hukum di atas, Budi Santoso mengatakan bahwa ciri-ciri profesi ada 10, yaitu70 : 1. Suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang dan diperluas. 2. Suatu teknis intelektual. 3. Penerapan praktis dari teknis intelektual pada urusan praktis. 69
Daryl Koehn, The Ground of Professional Ethics, terjemahan oleh Agus M. Hardjana, Landasan Etika Profesi, Cetakan ke-5, (Jakarta: Kanisius, 2004), halaman 74-75. 70 C.S.T Kansil dan Chiristine T. Kansil, Ibid, halaman 4.
Universitas Sumatera Utara
4. 5. 6. 7.
Suatu periode jenjang untuk pelatihan dan sertifikasi. Beberapa standard dan pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan. Kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri. Asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi antara anggota. 8. Pengakuan sebagai profesi. 9. Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi. 10. Hubungan erat dengan profesi lain. Profesi dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu profesi pada umumnya dan profesi luhur. Dalam profesi pada umumnya, paling tidak terdapat dua prinsip yang wajib ditegakkan, yaitu : 71 1. Prinsip agar menjalankan profesinya secara bertanggung jawab. 2. Hormat terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan dalam profesi yang luhur (officium noble), motivasi utamanya bukan untuk memperoleh nafkah dari pekerjaan yang dilakukannya, di samping itu juga terdapat dua prinsip yang penting yaitu : 1. Mendahulukan kepentingan orang yang dibantu. 2. Mengabdi pada tuntutan luhur profesi. Untuk melaksanakan profesi yang luhur secara baik, dituntut moralitas yang tinggi dari pelakunya. Tiga ciri moralitas yang tinggi adalah : 1. Berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi. 2. Sadar akan kewajibannya. 3. Memiliki idealisme yang tinggi. 72
71 72
Liliana Tedjosaputro, Op. cit, halaman 35. Liliana Tedjosaputra, Op. cit., halaman 36.
Universitas Sumatera Utara
Kehidupan profesi dengan profesionalismenya memasuki permasalahan tentang peningkatan profesionalisme, ciri, semangat, cita-cita dan tata krama kerjanya. Kesemuanya itu perlu dimantapkan, di dukung dan dijalankannya etika serta asas-asas moralitas dalam mendasari profesi. Soelarman Soemardi mengatakan bahwa profesionalisme dan etika profesi perlu dibina secara simultan karena dengan mengikuti kiasan (dalam Bahasa Belanda) tentang duduk persoalan hubungan antara kekuasaan (macht) dan hukum (recht). Profesionalisme tanpa etika menjadikannya bebas sayap (vleugel vrij) dalam arti hanya kendali dan hanya pengarahan. 73 Oleh karena itu profesionalisme yaitu keahlian di dalam menjalankan karyanya wajib didukung oleh etika profesi sebagai dasar moralitas, sekaligus kedua hal tersebut. Profesionalisme dan etika profesi merupakan satu kesatuan yang manunggal. Jadi setiap profesi itu mengandung dua aspek yaitu profesionalisme dan etika profesi sebagai pedoman suatu moralitas. Sehingga pada setiap profesi dijumpai technics dan ethics pada profesi. Maka etika profesi sangat berperan dalam kehidupan masyarakat dan sekaligus dapat dijadikan agent of change pelantar perubahan dari perkembangan suatu masyarakat dan hukumnya. Karena etika profesi memiliki muatan technics dan ethics yang dibutuhkan guna kemajuan perkembangan dan keseimbangan dalam suatu masyarakat. 74 Profesi hukum mempunyai ciri tersendiri, karena profesi ini sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan manusia/orang yang lazim disebut klien. Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral
73 74
Ignatius, Op. cit, halaman 15. Ibid
Universitas Sumatera Utara
dan pengembangannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat. 75 Nilai moral merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat mendasari kepribadian profesional hukum, antara lain : 1. Kejujuran; merupakan dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesioal hukum mengingkari misi profesinya, sehingga dia menjadi munafik, licik, penuh tipu diri. Dua sikap yang terdapat dalam kejujuran, yaitu (1) sikap terbuka, yang berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan melayani secara bayaran atau secara cuma-cuma (2) sikap wajar berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, dan tidak memeras. 2. Autentik ; artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Autentik pribadi profesional hukum antara lain : (1) tidak menyalahgunaan wewenang; (2) tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (perbuatan tercela); (3) mendahulukan kepentingan klien; (4) berani berinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu perintah atasan; (5) tidak mengisolasi diri dari pergaulan. 3. Bertanggung jawab. Dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib bertanggung jawab, artinya (1) kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya; (2) bertindak secara profesional, 75
Supriadi, Op. cit, halaman 19.
Universitas Sumatera Utara
tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo); (3) kesediaan
memberikan
laporan
pertanggung
jawaban
atas
pelaksanaan
kewajibannya. 76 4. Kemandirian moral, artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan membentuk penilaian sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), menyesuaikan diri dengan nilai kesusilaan agama. 5. Keberanian moral, adalah kesetiaan terhadap suatu hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menaggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain : (1) menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli; (2) menolak tawaran damai di tempat atas tilang karena pelanggaran lalu lintas jalan raya; (3) menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah. 77 Tiga nilai moral yang dituntut dari pengemban profesi, yaitu : 78 1. Berani berbuat untuk memenuhi tuntutan profesi. 2. Menyadari kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan profesi. 3. Idealisme sebagai perwujudan makna misi organisasi profesi. Atas dasar ini setiap profesi dituntut bertindak sesuai dengan cita-cita dan tuntutan profesi serta memiliki nilai moral yang kuat. Dalam melakukan tugas
76
Abdulkadir, Op. cit, halaman 63. Supriadi, Op.cit, halaman 19-20. 78 Abdulkadir Muhammad, Op.cit, halaman 61. 77
Universitas Sumatera Utara
profesi, profesional harus bertindak objektif, artinya bebas dari rasa malu, sentiment, benci, sikap malas, dan enggan bertindak. Apabila profesi itu berkenaan dengan bidang hukum, maka kelompok profesi itu disebut kelompok profesi hukum. Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat. Pengemban profesi hukum bekerja secara profesional dan fungsional. Mereka memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan, kritis, dan pengabdian yang tinggi karena mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada sesama anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka bekerja sesuai dengan kode etik, mereka harus rela mempertanggung jawabkan akibatnya sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada Dewan Kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik. Kehidupan manusia dalam melakukan interaksi sosialnya selalu akan berpatokan pada norma atau tatanan hukum yang berada dalam masyarakat tersebut. Manakala manusia melakukan interaksinya, tidak berjalan dalam kerangka norma atau tatanan yang ada, maka akan terjadi bisa dalam proses interaksi tersebut. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menyimpang dari norma atau tatanan yang ada, karena terpengaruh oleh adanya hawa nafsu yang tidak terkendali. Hal yang sama juga akan berlaku bagi yang namanya profesi, khususnya profesi hukum. Berjalan tidaknya penegakan hukum dalam suatu masyarakat tergantung pada baik buruknya professional hukum yang menjalani profesinya tersebut. Untuk
menghindari
jangan
sampai
terjadi
penyimpangan
terhadap
menjalankan profesi, khususnya profesi hukum, dibentuklah suatu norma yang wajib
Universitas Sumatera Utara
dipatuhi oleh orang yang tergabung dalam sebuah profesi yang lazim disebut etika profesi. 79 Menurut Notohamidjojo, dalam melaksanakan kewajibannnya, profesional hukum perlu memiliki : 80 1. Sikap manusiawi, artinya tidak menanggapi hukum secara formal belaka, melainkan kebenaran yang sesuai dengan hati nurani. 2. Sikap adil, artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasaan masyarakat. 3. Sikap patut, artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara konkret. 4. Sikap jujur, artinya menyatakan sesuatu itu benar menurut apa adanya, dan menjauhi yang tidak benar dan tidak patut. Berkaitan dengan kemajuan suatu profesi, maka terdapat masalah-masalah yang merupakan kelemahan dalam mengembangkan profesi tersebut. Menurut Sumaryono 81 , ada lima masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius bagi profesi hukum, yaitu : 1. Kualitas pengetahuan profesional hukum. Seorang profesional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum yang andal, sebagai penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional kepada masyarakat, sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Mendikbud No. 17/Kep/O/1992 tentang kurikulum nasional bidang hukum, program pendidikan sarjana bidang hukum bertujuan untuk menghasilkan sarjana hukum yang : a. Menguasai hukum Indonesia. b. Mampu menganalisis masalah hukum dalam masyarakat.
79
Supriadi, Op.cit, halaman 21. Abdulkadir Muhammad, Op.cit, halaman 66. 81 Ibid, halanan 67-73. 80
Universitas Sumatera Utara
c. Mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah konkret dengan bijaksana dan tetap berdasarkan prinsip-prinsip hukum. d. Menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum. e. Mengenal dan peka akan masalah keadilan dan masalah sosial. 2. Terjadi penyalahgunaan profesional hukum. Terjadinya penyalahgunaan profesi hukum tersebut disebabkan adanya faktor kepentingan. Sumaryono mengatakan bahwa penyalahgunaan dapat terjadi karena adanya persaingan individu profesional hukum atau tidak adanya disiplin diri. Dalam profesi hukum dilihat dua hal yang sering berkontradiksi satu sama lain, yaitu di satu sisi, cita-cita etika yang terlalu tinggi, dan di sisi lain, praktik pengembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut. Selain itu, penyalahgunaan profesi hukum terjadi karena desakan pihak klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunya ingin menang. 3. Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis. Kehadiran profesi hukum bertujuan untuk memberikan pelayanan atau memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Dalam artian bahwa yang terpenting dari itu adalah pelayanan dan pengabdian. Namun dalam kenyataannya di Indonesia, profesi hukum dapat dibedakan antara profesi hukum yang bergerak dibidang pelayanan bisnis dan profesi hukum di bidang pelayanan umum. Profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan bisnis menjalankan pekerjaan berdasarkan hubungan bisnis (komersil), imbalan yang diterima sudah ditentukan menurut standar bisnis. Contohnya para konsultan yang menangani masalah
Universitas Sumatera Utara
kontrak-kontrak dagang, paten, merek. Untuk profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan umum menjalankan pekerjaan berdasarkan kepentingan umum, baik dengan bayaran maupun tanpa bayaran. Contoh profesi hukum pelayanan umum adalah pengadilan, notaris, Lembaga Bantuan Hukum, kalaupun ada bayaran, sifatnya biaya pekerjaan atau biaya administrasi.
4. Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial. Kesadaran dan kepedulian sosial merupakan kriteria pelayanan umum profesional hukum. Wujudnya adalah kepentingan masyarakat lebih diutamakan atau didahulukan dari pada kepentingan pribadi, pelayanan lebih diutamakan dari pada pembayaran, nilai moral lebih ditonjolkan dari pada nilai ekonomi. Namun gejala yang dapat diamati sekarang sepertinya lain dari apa yang seharusnya diemban oleh profesional hukum. Gejala tersebut menunjukkan mulai pudarnya keyakinan terhadap wibawa hukum. 5. Kontinuitas sistem yang sudah usang. Profesional hukum adalah bagian dari sistem peradilan yang berperan membantu menyebarluaskan sistem yang sudah dianggap ketinggalan zaman karena didalamnya terdapat banyak ketentuan penegakan hukum yang tidak sesuai lagi. Padahal profesional hukum melayani kepentingan masyarakat yang hidup dalam zaman modern. Kemajuan teknologi sekarang kurang diimbangi oleh percepatan
Universitas Sumatera Utara
kemajuan hukum yang dapat menangkal kemajuan teknologi tersebut sehingga timbul pameo hukum selalu ketinggalan zaman. Menurut Abdulkadir Muhammad, kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik profesi dapat berubah dan diubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga anggota kelompok profesi tidak akan ketinggalan zaman. Bertens menyatakan bahwa kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Oleh karena itu, kelompok profesi harus menyelesaikan berdasarkan kekuasaannya sendiri. Kode etik profesi merupakan hasil pengaturan diri profesi yang bersangkutan, dan ini perwujudan nilai moral yang hakiki, yang tidak dipaksakan dari luar. Selain itu, kode etik profesi sebagai rumusan norma moral manusia yang mengemban profesi itu. Kode etik profesi hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan profesi itu sendiri. Kode etik profesi menjadi tolak ukur perbuatan anggota kelompok profesi dan merupakan upaya pencegahan berbuat yang tidak etis bagi anggotanya. Setiap kode etik profesi selalu dibuat tertulis yang tersusun secara teratur, rapi, lengkap, tanpa cacat dalam bahasa yang baik, sehingga menarik perhatian dan menyenangkan pembacanya. Akan tetapi, di balik semua itu terdapat kelemahankelemahan sebagai berikut 82 :
82
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, halaman 78
Universitas Sumatera Utara
1. Idealisme yang terkandung dalam kode etik profesi tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar para profesional sehingga harapan sangat jauh dari kenyataan. Hal ini cukup menggelitik para profesional untuk berpaling kepada kenyataan dan menggambarkan idealisme kode etik profesi. Kode etik profesi tidak lebih dari pajangan lukisan berbingkai. 2. Kode etik profesi merupakan himpunan norma moral yang tidak dilengkapi dengan sanksi yang keras karena keberlakuannya semata-mata berdasarkan kesadaran profesional. Rupanya kekurangan ini memberi peluang kepada profesional yang lemah iman untuk berbuat menyimpang dari kode etik profesinya. Kode etik profesi dibuat bentuk tertulis dengan maksud agar dapat dipahami secara konkret oleh para anggota profesi tersebut. Dengan tertulisnya setiap kode etik, tidak ada alasan bagi anggota profesi tersebut untuk tidak membacanya dan sekaligus merupakan pegangan yang sangat berarti bagi dirinya. Menurut Sumaryono, fungsi kode etik profesi memiliki tiga makna, yaitu83 : 1. Sebagai sarana kontrol sosial. 2. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain. 3. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Menurut Abdulkadir Muhammad, kode etik profesi merupakan kriteria prinsip-prinsip profesional yang telah digariskan sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru ataupun calon anggota kelompok 83
Ibid
Universitas Sumatera Utara
profesi. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota kelompok profesi atau anggota masyarakat dapat melakukan kontrol melalui rumusan kode etik profesi, apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi. 84 Lebih jauh Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa kode etik profesi telah menentukan standardisasi kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Dengan demikian, pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya. Kode etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya akan lebih efektif lagi apabila norma perilaku tersebut dirumuskan sedemikian baiknya, sehingga memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan. Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang bersangkutan. Dengan demikian, kalau dikatakan bahwa etika profesi merupakan pegangan bagi anggota yang tergabung dalan profesi tersebut, maka dapat pula dikatakan bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara etika dengan profesi hukum. Menurut Liliana 85 , etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, dan oleh karena itulah di dalam melaksanakan profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi yaitu sebagai berikut 86 :
84
Ibid, halaman 79. Liliana Tedjosaputro, Op.cit, halaman 50. 86 Ibid. 85
Universitas Sumatera Utara
1. Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan karena itu, maka sifat tanpa pamrih menjadi ciri khas dalam pengembangan profesi. Yang dimaksud dengan tanpa pamrih di sini adalah bahwa pertimbangan yang menentukan dalam pengambilan keputusan adalah kepentingan klien atau pasien dan kepentingan umum, dan bukan kepentingan sendiri (pengembangan profesi). Jika sifat tanpa pamrih itu diabaikan, maka pengembangan profesi akan mengarah pada pemanfaatan (yang dapat menjurus kepada penyalahgunaan sesama manusia yang sedang mengalami kesulitan atau kesusahan). 2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien atau pasien mengacu kepada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindak. 3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. 4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi, maka pengemban profesi harus bersemangat solidaritas antar rekan seprofesi. Dengan demikian pada hubungan etika dan profesi tersebut, maka organisasi profesi memiliki tujuan agar menjalankan profesinya dengan cara profesional.
I. Sanksi Hukum Terhadap Notaris yang Membuat Akta yang Menimbulkan Delik-Delik Pidana
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai segala kewajiban dan larangan yang mengikat seorang pejabat notaris, maka di atur pula berbagai macam sanksi-sanksi yang akan dikenakan bagi notaris yang telah melanggar ketentuan tersebut. Terhadap ketentuan-ketentuan
tersebut,
apabila
dilanggar,
maka
terhadap notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi yang di atur dalam Bab XI Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tersebut. Secara garis besar, ada pun sanksi-sanksi yang dapat diterapkan kepada notaris yang melanggar ketentuan dalam menjalankan jabatan menurut UUJN adalah sebagai berikut : 1. Teguran lisan. 2. Teguran secara tertulis. 3. Pemberhentian sementara. 4. Pemberhentian dengan hormat. 5. Pemberhentian dengan tidak hormat. Sedangkan sanksi bagi notaris yang diatur menurut Kode Etik Notaris, dapat berupa : 1. Teguran. 2. Peringatan. 3. Schorsing (pemecatan sementar) dari keanggotaan perkumpulan. 4. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan. 5. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Selain sanksi-sanksi tersebut, terdapat juga akibat hukum lainnya bagi notaris yang melakukan pelanggaran, yang mana akibatnya akan berpengaruh terhadap kepentingan klien. Akibat hukum lain
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksud antara lain adalah bahwa akta yang dibuat hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Oleh karena itu, bagi pihak yang dirugikan dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris yang bersangkutan. Jika hal tersebut dikaitkan dengan tindakan notaris yang melakukan penggelapan, penipuan dalam hal pembayaran pajak, maka akta yang dibuatnya tersebut sampai telah terjadinya proses balik nama sertipikat No. 120/Tg Mulia di BPN, tidaklah dikatakan akta itu mengandung cacat hukum atau batal demi hukum. Karena yang salah dalam hal ini adalah proses pembayaran pajak BPHTB dan PPh yang tidak disetor notaris ke kas Negara. Yang mana tindakan yang dilakukan notaris tersebut merupakan tindak pidana murni, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Akte Jual Beli. Karena dalam hal ini yang melapor merasa dirugikan dan ditipu adalah pihak pembeli bukan pihak penjual. 87
87
Hasil Wawancara dengan Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Medan, pada tanggal 4 September 2009.
Universitas Sumatera Utara