BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Tata Tertib Sekolah 2.1.1. Pengertian Tata Tertib Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang di dalamnya terdiri dari berbagai komponen yaitu siswa, guru, kepala sekolah, staff tata usaha, benda-benda dan lain sebagainya. Dan secara umum dapat dikatakan bahwa siswa, guru dan kepala sekolah secara bersama–sama berada dalam satu lembaga, dan bersama-sama pula mengatur dan membina serta menyelenggarakan program-program yang ditentukan dan diatur oleh Dinas Pendidikan yang dilaksanakan secara terus-menerus. Dalam upaya memudahkan pelaksanaan program yang sudah ada, maka sekolah membuat tata tertib sekolah. Tata tertib mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kedisplinan, karena kedisiplinan merupakan salah satu faktor penting didalam penegakan peraturan dan tata tertib sekolah. Tingkat kesadaran akan kedisplinan yang dimiliki oleh siswa sangat berpengaruh terhadap tingkat pelanggaran tata tertib sekolah. Tata tertib yaitu seperangkat aturan atau ketentuan yang secara organisatoris mengikat setiap komponen sekolah, baik murid, guru, kepala sekolah dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah mempunyai fungsi dan tugas edukatif yang meliputi tiga dimensi yaitu mendidik yang menghasilkan etika dalam pergaulan, mengajar menghasilkan kecerdasan dan melatih menghasilkan ketrampilan (Departemen Pendidikan Nasional: 2004) Menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(W.J.S
Poerwadarminta : 1990) Tata tertib yaitu peraturan yang harus dipatuhi dan ditaati atau dilakukan. Sedangkan menurut Muchdaarsyah Sinungan (2005) Tata tertib sekolah adalah sekumpulan aturan-aturan yang ditujukan oleh semua komponen di dalam suatu lembaga atau organisasi agar selalu tunduk dan melaksanakan apa yang telah ditetapkan. Tata tertib berkaitan erat dengan disiplin, disiplin merupakan suatu sikap yang menunjukkan untuk menepati, mematuhi dan mendukung ketentuan nilai-nilai serta kaidah yang berlaku (Slameto : 1998). Dengan demikian disiplin bukan sifat yang dibawa sejak lahir, tetapi sebagai sesuatu yang diperoleh dari faktor pengajaran atau pendidikan. Sekolah
merupakan
tempat
terjadinya
kegiatan
belajar
mengajar, sebab itulah interaksi antara guru dan murid merupakan proses perubahan sikap dan tingkah laku. Pelaksanaan disiplin terhadap tata tertib mempunyai dampak secara langsung terhadap kualitas hasil pelaksanaan kegiatan belajar mengajar itu sendiri.
Hubungannya dengan hal tersebut guru memegang peranan penting dan strategis. Karena disiplin lebih terkait dengan pembentukan sikap mental dan keteladanan. Disiplin dan tata tertib merupakan dua hal yang saling terkait, sebab tata tertib pada dasarnya perangkat untuk menegakkan disiplin. Disiplin dan tata tertib di sekolah yang dilaksanakan mempunyai dampak secara langsung terhadap kualitas dan hasil pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM ) itu sendiri. Menurut Otto seperti yang dikutip oleh Slameto (1998) ada enam prinsip dalam membentuk kedisiplinan yaitu : 1) Konsep guru tentang disiplin bukan saja mencakup tentang ketaatan belaka, tetapi mencakup percaya diri, control diri, kebebasan bertindak, serta merujuk kepada semua pengalaman sekolah. 2) Disiplin
yang
baik
bukan
ditutupi
dengan
kemunafikan,
kebohongan, kekuasaan belaka tetapi disiplin yang baik harus didasari oleh kejujuran dan kesopanan antara guru dan siswa. 3) Disiplin yang baik adalah kontrol bersama antara siswa dan guru sehingga tercapai keseimbangan antara siswa dan guru. 4) Terjadinya disiplin yang baik harus didasari dengan kegiatankegiatan yang sesuai dengan makna dan perencanaan bersama. 5) Siswa yang memiliki disiplin akan mudah membedakan perilaku baik dan perilaku buruk yang menunjang proses belajar mengajar.
6) Persiapan guru dan kesiapan siswa merupakan kunci sukses dalam mengatasi pelanggaran tata tertib. Konsep disiplin menurut Otto, mencerminkan keikutsertaan siswa dan penetuan perannya dalam kehidupan bersama-sama, mengoptimalkan siswa dalam mendisiplinkan siswa yang merupakan langkah tepat untuk mengatasi pelanggaran tata tertib sekolah. Secara umum tata tertib sekolah dapat diartikan sebagai ikatan atau aturan yang harus dipatuhi setiap warga sekolah tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Pelaksanaan tata tertib sekolah akan dapat berjalan dengan baik jika guru, aparat sekolah dan siswa telah saling mendukung terhadap tata tertib sekolah itu sendiri. Kurangnya dukungan dari siswa akan mengakibatkan kurang berartinya tata tertib sekolah yang diterapkan di sekolah. Peraturan sekolah yang berupa tata tertib sekolah merupakan kumpulan aturan – aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat di lingkungan sekolah. Dari beberapa pengertian tentang tata tertib di atas, dapat disimpulkan bahwa tata tertib adalah suatu aturan – aturan atau kaidah yang dibuat berdasarkan nilai nilai yang dianut di sekolah dan masyarakat dan harus dipatuhi oleh seluruh komponen yang berada didalamnya. Dengan adanya peraturan tata tertib tersebut diharapkan dapat dijadikan rambu – rambu dalam berperilaku bagi semua individu dalam kegiatan proses pendidikan di sekolah. 2.1.2. Tujuan dan Fungsi Tata Tertib
Secara umum dibuatnya tata tertib sekolah mempunyai tujuan umum agar semua warga sekolah mengetahui apa tugas, hak dan kewajiban serta melaksanakan dengan baik sehingga kegiatan sekolah dapat berjalan dengan lancar. Prinsip tata tertib sekolah adalah diharuskan, dianjurkan dan ada yang tidak boleh dilakukan dalam pergaulan dilingkungan sekolah. Tata tertib sekolah harus ada sanksi atau hukuman bagi yang melanggar. Menjatuhkan hukuman sebagai jalan keluar terakhir, harus dipertimbangkan sesuai dengan perkembangan siswa sehingga perkembangan jiwa siswa tidak dan jangan dirugikan. Tata tertib sekolah dibuat dengan tujuan sebagai berikut: 1. Agar siswa mengetahui tugas, hak, dan kewajibannya. 2. Agar siswa mengetahui hal-hal yang diperbolehkan dan kreatifitas meningkat serta terhindar dari masalah-masalah yang dapat menyulitkan dirinya. 3. Agar siswa mengetahui dan melaksanakan dengan baik dan sungguh-sungguh seluruh kegiatan yang telah diprogramkan oleh sekolah. Tujuan peraturan tata tertib sekolah dibuat dalam rangka untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peseta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( UU No. 20 Tahun 2003). Setelah guru dan siswa mengetahui tujuan tata tertib dan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing, maka akan tercipta suasana di sekolah yang aman, tertib, lancar, dan dapat mencapai apa yang menjadi tujuan pembelajaran ataupun tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sedangkan fungsi dari tata tertib sekolah menurut Hurlock (2001), adalah wujud dari peraturan sekolah yang mempunyai dua fungsi yang sangat penting dalam membantu anak menjadi makhluk yang bermoral : 1. Fungsi yang pertama adalah bahwa peraturan mempunyai nilai pendidikan sebab peraturan memperkenalkan pada anak perilaku yang disetujui anggota kelompok tersebut, misalnya anak belajar dari peraturan tentang memberi dan menerima dan mendapat
bantuan
dalam
fungsi
sekolahnya
bahwa
menyerahkan tugas yang dibuat sendiri merupakan suatu metode yang dapat diterima sekolah untuk menilai prestasinya. 2. Fungsi yang kedua adalah peraturan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Bila peraturan keluarga
mengatur bahwa tidak seorang anakpun boleh mengambil mainan milik saudaranya tanpa sepengetahuan dan ijin sipemilik, maka anak akan segera ditegur bahwa hal ini dianggap perilaku yang tidak baik. Sebagai pedoman perilaku belajar siswa dalam berhubungan dengan semua lingkungan di sekolah, tata tertib sekolah berfungsi untuk mengintegrasikan anggota masyarakat sekolah dan untuk mengatur serta mengendalikan perilaku siswa di sekolah agar tercipta keadaan
yang
tenang,
tertib,
terkendali
sehingga
proses
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat berjalan dengan baik dan lancar. Setiap lembaga apapun namanya dalam mengendalikan sesuatu pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Demikian halnya sekolah sebagai lembagai pendidikan formal dalam mengadakan tata tertib sekolah juga ada tujuan yang hendak dicapai. Berdasarkan rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan diadakan tata tertib sekolah adalah agar tercipta suasana sekolah yang kondusif, guru mampu melaksanakan tugas pembelajaran secara optimal, siswa mampu mengembangkan identitas keberhasilan sehingga membentuk watak disiplin, mandiri, dan santun, serta membentuk rasa hormat kepada kepala sekolah, guru, orang tua, maupun sesama teman. 2.1.3. Acuan Dasar Tatakrama dan Tata Tertib Kehidupan Sosial Sekolah Menengah Atas
Landasan dasar yang menjadi acuan dalam penyusunan tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial Sekolah Menengah Atas adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas; Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; Peraturan Pemerintah No. 25 tentang Kebijakan Pemerintah menggunakan KBK; Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Dikdasmen; Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Satuan Dikdasmen; Permendiknas No. 24 Tahun tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23 Tahun 2006; Akreditasi dari Badan Akreditasi Sekolah Nasional tanggal 31 Desember 2005; Visi dan Misi SMA. Landasan tersebut menjadi acuan dasar untuk menyusun tata tertib sekolah Menengah Atas sebagai berikut: I. ACUAN DASAR TATAKRAMA DAN TATA TERTIB KEHIDUPAN SOSIAL SEKOLAH Sebagai acuan dasar, tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah bersumber pada: nilai-nilai keislaman (akhlak mulia), nilai sosial budaya (seperti adat
istiadat
setempat
yang
dihormati),
tetapi
tetap
dalam
kerangka
pengembangan budaya nasional, hak-hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai lain yang mendukung proses pendidikan yang efektif. Mengingat sifatnya yang mencerminkan kebutuhan sekolah dalam konteks masyarakat lokal, tatakrama dan tata kehidupan sosial sekolah ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Program pembentukan kepribadian dan program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school-based quality improvement) sebagai salah satu manajemen pendidikan kita masa depan, yang telah dirintis di sejumlah sekolah. Dalam penyusunan tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah, sedikitnya ada dua acuan dasar yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan, yaitu: aspek nilai dasar dan aspek tata hubungan yang perlu dikembangkan oleh sekolah. A. Nilai Dasar Beberapa aspek nilai dasar yang dikembangkan dalam perumusan tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah, antara lain: ketaqwaan, sopan santun pergaulan,
kedisiplinan,
ketertiban,
kebersihan/kesehatan/kerapian,
dan
keamanan. Disamping itu, setiap tata tertib perlu diikuti dengan berbagai larangan, sanksi dan penghargaan. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin agar peraturan sekolah dapat berjalan dan tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. 1. Ketaqwaan Ketaqwaan adalah nilai dasar pertama dan utama yang menjadi perhatian sekolah dalam menyusun tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah. Nilai ini adalah nilai universal yang melandasi keseluruhan nilai-nilai yang dikembangkan sekolah dalam membentuk kepribadian siswa. Beberapa kegiatan yang berlandaskan nilai ketaqwaan yang perlu diperhatikan adalah: a) Berdoa sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai dan ketika kegiatan belajar mengajar berakhir;
b) Melaksanakan ibadah bersama di sekolah (Shalat Duha, Dzuhur, Ashar, Shalat Jumat dan Shalat Tahajud pada saat Qiyyamullail); c) Melaksanakan dan mengikuti kegiatan keagamaan yang dilaksanakan bersama (antara lain memperingati hari-hari besar keagamaan, membantu fakir miskin dan anak yatim piatu, dsb); d) Mendoakan dan menjenguk kepala sekolah, guru pegawai sekolah, teman atau keluarga mereka yang sakit atau ditimpa kesusahan; e) Mengingatkan teman yang lalai melaksanakan ibadah secara arif dan bijaksana; f) Menegur dan mencegah teman yang melanggar hukum agama atau tatakrama dan tata tertib kehidupan sekolah. 2. Sopan Santun Pergaulan Tata pergaulan antar siswa dan antar warga sekolah merupakan salah satu unsur sikap dan prilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah. Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan nilai dan tata pergaulan di sekolah antara lain: a) Mengucapkan salam antar sesama teman, dengan kepala sekolah dan guru, serta dengan karyawan sekolah lainnya, serta dengan tamu sekolah apabila bertemu; b) Menghormati dan menghargai kepala sekolah, guru, karyawan sekolah, para tamu dan orang lain yang dianggap lebih tua di sekolah;
c) Saling menghormati antar sesama siswa, menghargai perbedaan dalam memilih teman belajar, teman bermain, dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan menghargai perbedaan latar belakang sosial budaya masing-masing; d) Menghormati ide, pikiran dan pendapat, hak orang lain, dan hak milik teman dan warga sekolah; e) Berani menyampaikan sesuatu yang salah adalah salah dan menyatakan sesuatu yang benar adalah benar. (Sikap berani karena benar); f) Menyampaikan pendapat secara sopan tanpa menyinggung perasaan orang lain; g) Membiasakan diri mengucapkan terima kasih kalau memperoleh bantuan atau jasa dari orang lain; h) Berani mengakui kesalahan yang terlanjur telah dilakukan dan meminta maaf apabila merasa melanggar hak orang lain atau berbuat salah kepada orang lain.(Berani bertanggungjawab); i) Menggunakan bahasa (kata) yang sopan dan beradab yang membedakan hubungan dengan orang lebih tua dan teman sejawat, dan tidak menggunakan kata-kata kotor dan kasar, cacian, dan pornografi. 3. Kedisiplinan/Ketertiban
Disiplin atau tertib adalah suatu sikap konsisten dalam melakukan sesuatu. Beberapa kegiatan yang perlu dibudayakan di sekolah berkaitan dengan nilai dasar ini antara lain: a) Tepat waktu masuk sekolah/kegiatan belajar, mengikuti pertemuan, atau kegiatan lain yang dijadwalkan sekolah; b) Menumbuhkembangkan sifat sabar dan membiasakan budaya antri bagi siswa dan warga sekolah dalam mengikuti berbagai kegiatan sekolah dan luar sekolah yang berlangsung bersama-sama; c) Menjaga suasana ketenangan belajar baik di kelas, perpustakaan, laboratorium, maupun di tempat lainnya; d) Mentaati jadwal kegiatan sekolah, seperti penggunaan dan peminjaman buku di perpustakaan, penggunaan laboratorium dan sumber belajar lainnya. 4. Kebersihan/Kesehatan/Kerapian Beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan dalam membudayakan nilai-nilai ini, antara lain: a) Membiasakan siswa dan warga sekolah membuang dan memilah sampah (organic dan anorganik) sesuai tempatnya; b) Mengingatkan dan menegur siswa atau warga sekolah yang membuang sampah di sembarang tempat;
c) Mengatur jadwal piket siswa untuk membersihkan tempat makan, ruang belajar, taman sekolah dan lingkungan sekolah; d) Membiasakan siswa menjaga kebersihan dan kesehatan badan, kerapian pakaian (bersih dan sopan), rambut, kuku, dan semacamnya, kebersihan dan kerapihan alat tulis, alat shalat dan alat/inventaris sekolah lainnya; e) Tidak mengizinkan siswa merokok; f) Kepala sekolah, guru dan pegawai TU tidak merokok. 5. Keamanan Nilai keamanan harus menjadi landasan bagi siswa dan warga sekolah dalam berbagai kegiatan baik di dalam maupun di luar sekolah. Beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan, antara lain: a) Menjaga
keamanan
diri,
teman,
warga
sekolah,
barang-barang
perlengkapan sekolah milik pribadi dan inventaris sekolaj, dan hak milik dalam belajar di ruang kelas, laboratorium, kegiatan olahraga, dan kegiatan belajar serta kegiatan bermain lainnya; b) Menjaga keamanan dan keutuhan hak milik pribadi dan inventaris sekolah dari pihak-pihak yang mengganggu baik dari dalam maupun luar sekolah; c) Menjaga keamanan sekolah dari pengaruh negatif baik dari luar maupun dari dalam sekolah, seperti pengedaran obat-obatan terlarang (narkoba),
adu domba dengan warga sekolah maupun warga sekolah lain, dan upaya provokasi lainnya. 6. Kejujuran Kejujuran adalah sesuatu yang dilakukan dan tidak bertentangan dengan hati nuraninya (kebenaran). Kejujuran merupakan salah satu nilai dasar yang harus ditanamkan kepada seluruh siswa dalam rangka membentuk kepribadian siswa. Beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan dalam menanamkan kejujuran ini, antara lain: a) Membiasakan diri untuk berkata benar/jujur (tidak berbohong) dan tidak memfitnah orang lain; b) Membiasakan diri untuk tidak menyontek dan memberikan contekan pada orang lain; c) Membiasakan diri untuk tidak berbuat kebohongan dan kecurangan; d) Membiasakan diri untuk selalu menepati janji. 7. Tanggung jawab Bertanggung jawab mengandung arti berkewajiban menanggung atau memikul tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan nilai dasar yang tidak kalah penting dengan nilai dasar yang lain. Beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan, antara lain: a) Melaksanakan tugas piket di sekolah dengan baik;
b) Melaksanakan secara sungguh-sungguh seluruh tugas yang diberikan oleh sekolah; c) Taat memakai pakaian seragam sekolah yang telah ditetapkan; d) Selalu menyampaikan amanah/pesan yang diemban/ditugaskan baik dari orang tua, guru, teman dan orang lain. 8. Kebersamaan Kebersamaan adalah suatu tekad yang dilakukan secara bersama dalam rangka untuk mencapai satu tujuan. Kebersamaan merupakan wujud kepedulian terhadap sesama. Beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan dalam nilai ini, antara lain: a) Mengumpulkan dana untuk membantu teman yang tidak mampu atau mengalami kesulitan ekonomi; b) Mengunjungi teman, guru, karyawan sekolah yang mendapat musibah, maupun kunjungan silaturahmi; c) Melarang dan melerai siswa yang berkelahi; d) Melaksanakan kerja bakti di sekolah 9. Keadilan Keadilan yaitu suatu tindakan yang dilakukan dengan tidak memihak. Nilai dasar keadilan sangat perlu ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan, antara lain: a) Membiasakan
budaya
antri
(misalnya:
mengambil
air
wudhu,
menggunakan fasilitas laboratorium, perpustakaan, alat-alat olah raga, membayar SPP, dll); b) Membagi tugas kelompok secara merata sesuai dengan kemampuan masing-masing; c) Berani membela kebenaran dalam setiap langkah dan perbuatan; d) Tidak memperlakukan orang lain secara semena-mena; e) Menggunakan fasilitas sekolah sesuai dengan peruntukannya 10. Respek Respek adalah menaruh hormat atas perbuatan yang mulia. Nilai ini perlu dimiliki oleh seluruh siswa, guru, warga sekolah, dan masyarakat. Hal tersebut akan membawa kita kearah yang lebih baik. Beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan, antara lain: a) Menghargai pendapat teman dalam berdiskusi; b) Menghargai orang tua, guru dan karyawan serta orang lain; c) Mau menerima saran dan kritik dari orang lain; d) Tidak segan-segan untuk memberikan pujian atas hasil karya orang lain;
e) Membiasakan menyumbang/memberikan infaq untuk kepentingan umum seperti anak yatim piatu, kaum duafa, korban bencana, masjid dll. B. Tata Hubungan Yang Dikembangkan Aspek tata hubungan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah, yaitu: siswa, warga sekolah lainnya (kepala sekolah, guru, tenaga administratif), dan orangtua/masyarakat. 1. Siswa Tata hubungan yang paling penting untuk diperhatikan sekolah dalam membuat tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial di sekolah adalah tata hubungan siswa. Hal ini sangat penting karena siswa adalah subjek pendidikan dan pembelajaran yang sedang mengalami pertumbuhan kejiwaan, pembentukan kepribadian dan pengembangan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, tata tertib dan peraturan sekolah bagi siswa perlu mengatur hubungan: a) siswa dengan siswa; b) siswa dengan guru dan kepala sekolah; c) siswa dengan tenaga administratif dan karyawan sekolah lainnya (satpam, office boy, kantin, dll.); d) siswa dengan masyarakat (tamu, orang tua, tokoh masyarakat, dsb); e) siswa dengan lingkungannya.
Pengaturan hubungan siswa dengan warga sekolah, masyarakat dan lingkungannya hendaknya tetap mengacu pada nilai-nilai dasar yang telah dibahas terdahulu atau nilai-nilai lainnya yang dipandang penting oleh sekolah dan masyarakat sekitarnya. 2. Kepala Sekolah, Guru dan Pegawai Sekolah Tata hubungan antar warga sekolah lainnya yang meliputi kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan serta staf administratif perlu diatur agar masingmasing unsur mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dalam menciptakan kultur sekolah yang dapat menunjang pembentukan kepribadian dan akhlak siswa. Beberapa hal yang perlu diatur dalam tata hubungan ini antara lain: a) Hubungan kolegial dan profesional antara kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru/kepala sekolah dengan tenaga lainnya, seperti tenaga laboratorium, pustakawan, penjaga sekolah, dan lain-lain; b) Keteladanan warga sekolah dalam sikap, ucapan, dan tindakan sehari-hari di sekolah berdasarkan nilai dasar yang telah disepakati; c) Tugas dan tanggungjawab bagi setiap warga sekolah untuk ikut memberikan bimbingan kepada siswa berdasarkan tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah yang telah disepakati. 3. Orangtua dan Masyarakat Tata hubungan sekolah dengan orangtua dan masyarakat dimaksudkan untuk mendukung penciptaan suasana yang kondusif bagi proses pembelajaran siswa
yang efektif dan pengembangan kepribadian serta budi pekerti siswa baik di sekolah maupun di rumah. Tata hubungan sekolah dengan orangtua dan masyarakat paling tidak memuat: a) Upaya dan bantuan orangtua untuk ikut serta mendidik anak-anaknya dalam bersikap, berpri-laku, dan belajar di rumah dalam upaya mendukung pendidikan budi pekerti in action di sekolah; b) Saling tukar informasi antara sekolah dan orangtua tentang perkembangan kepribadian dan belajar anak masing-masing serta upaya mencari alternatif pemecahan bilamana anak mereka mengalami hambatan belajar atau masalah etika dan moral; c) Pemecahan masalah apabila terdapat kesalahfahaman antara sekolah dan orangtua dalam pendidikan anak-anaknya.
II. LARANGAN, SANKSI, DAN PENGHARGAAN A. Larangan-larangan Pada dasarnya larangan adalah semua kegiatan atau sikap yg bertentangan dengan tata tertib dan peraturan sekolah yang disepakati bersama. Namun demikian, ada beberapa larangan yang secara eksplisit disepakati untuk tidak dilakukan siswa dan warga sekolah lainnya di sekolah antara lain:
a) Merokok, minum-minuman keras, mengedarkan dan mengkonsumsi narkotika, obat psikotropika, dan obat terlarang lainnya (narkoba), dan berpacaran; b) Berkelahi baik perorangan maupun kelompok (tawuran), di dalam sekolah atau di luar sekolah; c) Membuang sampah tidak pada tempatnya; d) Mencoret dinding bangunan, pagar sekolah, perabot dan peralatan sekolah lainnya; e) Berbicara kotor, mengumpat, bergunjing menghina atau menyapa antar sesama siswa atau warga sekolah dengan kata sapaan atau panggilan yang tidak senonoh; f) Membawa barang yang tidak ada hubungan dengan kepentingan sekolah, HP
berkamera,
seperti
senjata
tajam
atau
alat-alat
lain
yang
membahayakan keselamatan orang lain; g) Membawa, membaca, atau mengedarkan bacaan, gambar, sketsa, audio, atau video pornografi; h) Membawa kartu judi atau alat sejenisnya dan bermain judi di lingkungan sekolah. B. Sanksi dan Penghargaan
Sanksi adalah hukuman yang diberikan kepada siswa atau warga sekolah lainnya yang melanggar tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah, khususnya larangan-larangan yang secara eksplisit ditetapkan oleh sekolah. Sanksi yang ditetapkan harus bersifat mendidik, tidak bersifat hukuman fisik, dan tidak menimbulkan trauma psikologis. Sanksi dapat diberikan secara bertingkat dari yang paling ringan sampai yang seberat-beratnya. Sanksi ini bisa berupa: a) Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan; b) Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya mencuci piring/rantang, membersihkan ruang/halaman sekolah, kesegaran jasmani, membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris, menghafal ayat-ayat Al Quran dan lain-lain; c) Melaporkan secara lisan dan tertulis kepada orangtua siswa tentang pelanggaran yang dilakukan putera-puterinya; d) Memanggil
yang
bersangkutan
bersama
orangtuanya
agar
yang
bersangkutan tidak mengulangi lagi pelanggaran yang dilakukan; e) Melakukan skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat(sesuai dengan tata tertib);
f) Mengeluarkan
yang
bersangkutan
dari
sekolah;
misalnya:
yang
bersangkutan tersangkut perkara pidana dan perdata yang dibuktikan bersalah oleh pengadilan, melakukan pelanggaran berat. Penghargaan diberikan oleh sekolah kepada siswa atau warga sekolah yang mempunyai kepribadian baik, tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap tata tertib dan peraturan sekolah atau warga sekolah yang patut diteladani. Penghargaan ini bisa diberikan kepada satu orang atau lebih yang dilakukan setiap semester atau setiap tahun dan diumumkan pada acara khusus, misalnya pada upacara bendera, pertemuan dengan orang tua,dsb.
III. PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN TATAKRAMA DAN TATA TERTIB KEHIDUPAN SOSIAL SEKOLAH Tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah merupakan pegangan setiap warga sekolah: siswa, guru, kepala sekolah, tenaga administratif, dan orangtua siswa dalam menciptakan iklim dan kultur sekolah yang mendukung pembentukan kepribadian dan pengembangan potensi siswa dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, tata tertib dan peraturan sekolah harus disusun dengan benar, dilaksanakan secara konsekuen, serta dipantau dan dievaluasi secara terus menerus, agar dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan yaitu: membentuk akhlak mulia dan budi pekerti luhur serta meningkatkan prestasi belajar siswa. A. Penyusunan Tata Tertib
Penyusunan
tatakrama
dan
tata
tertib
kehidupan
sosial
sekolah
mempertimbangkan hal–hal sebagai berikut: 1. Tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial mengacu pada nilai-nilai dasar (ketaqwaan,
sopan
santun
pergaulan,
kedisiplinan,
ketertiban,
kebersihan/kesehatan/ kerapian) yang disepakati oleh setiap warga sekolah serta mencakup keseluruhan tata hubungan dalam sekolah (siswa, kepala sekolah, guru, pegawai sekolah, dan orang tua serta masyarakat). 2. Tatakrama dan tata tertib dibuat oleh sekolah dengan melibatkan guru, pegawai sekolah, siswa, dan orangtua/masyarakat untuk mewadahi berbagai tuntutan, kebutuhan, dan keinginan masing-masing pihak dalam mengatur kehidupan sekolah yang diinginkan. 3. Tatakrama
dan tata tertib yang disusun sekolah diharapkan dapat
mengembangkan ciri yang berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lain yang merefleksikan visi dan misi sekolah sesuai dengan sosio kultural setempat. 4. Sebelum ditetapkan, tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah yang telah disusun bersama hendaknya diketahui dan ditandatangani oleh pihakpihak yang berkepentingan dan terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan (stakeholder) di sekolah, yaitu: kepala sekolah, wakil guru, wakil pegawai sekolah, wakil siswa, wakil orangtua/BP3/masyarakat, dan pengawas sekolah. B. Pelaksanaan Tata Tertib
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah adalah: 1. Tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada seluruh warga sekolah, termasuk kepada penjaga sekolah dan petugas keamanan sekolah (Satpam), serta orangtua siswa. 2. Tatakrama dan tata tertib sekolah dicetak dalam bentuk buku saku yang dapat dibawa kemana saja oleh siswa. Buku saku tata tertib ini hendaknya dapat dibaca dan ditandatangani oleh siswa dan orangtua siswa, sebagai tanda bahwa mereka menyetujui isi buku tata tertib tersebut, dan bersedia menjalani sanksi jika siswa melanggarnya. 3. Dalam pelaksanaan tatakrama dan tata tertib, kepala sekolah membentuk Tim Piket Sekolah yang bertugas memantau dan mengawasi sikap, ucapan dan tindakan siswa di sekolah. Sementara itu, setiap guru dan tenaga kependidikan lainnya bertanggungjawab dalam mengawasi, memantau dan menilai prilaku siswa di kelas masing-masing. Hasil pemantauan dan penilaian guru dilaporkan setiap minggu kepada wali kelas untuk dimasukkan ke dalam catatan portfolio budi pekerti siswa yang bersangkutan. 4. Guru bersama-sama dengan wali kelas dan guru pembimbing (BP) mencermati, mengawasi, dan menegur setiap siswa yang bermasalah dan sekaligus membantu yang bersangkutan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
5. Hasil pemantauan dan penilaian budi pekerti siswa yang terdapat dalam portfolio masing-masing merupakan bahan catatan yang harus disampaikan kepada orangtua siswa secara berkala atau pada setiap semester. Pada setiap akhir tahun pelajaran, hasil penilaian ini merupakan salah satu bahan untuk menentukan kelayakan siswa yang bersangkutan pantas naik kelas atau tamat belajar. IV. PENUTUP Program pendidikan budi pekerti yang dipraktikan dalam kehidupan seharihari di sekolah akan berhasil apabila: (a) siswa, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi dan orangtua siswa memahami dan mempunyai komitmen yang kuat dalam melaksanakan tatakrama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah tersebut, (b) siswa dan warga sekolah dilatih dan dibiasakan untuk menaati nilai dan norma yang telah disepakati dan melaksanakan tata tertib dalam kehidupan sehari-hari di sekolah dan di rumah, dan (c) kepala sekolah, guru, pegawai sekolah, dan orangtua memberikan contoh dan teladan dalam melaksanakan tata kehidupan sosial sekolah tersebut. Pemahaman dan komitmen yang kuat dapat dilihat dari upaya yang sungguh-sungguh dari setiap warga sekolah dan orangtua untuk melaksanakan ketentuan sekolah yang telah dibuat bersama secara konsekuen, dengan menerapkan semua ketentuan yang ada, khususnya sanksi bagi para pelanggar tanpa pandang bulu. Namun demikian, penerapan tatakrama dan tata tertib bukanlah semata-mata diarahkan untuk memberikan sanksi tetapi yang paling
penting adalah melakukan internalisasi nilai-nilai dasar melalui latihan dan pembiasaan, sehingga setiap siswa dapat melakukan dengan kesadaran sendiri, tanpa merasa dipaksa. Hal ini akan terjadi apabila kepala sekolah, guru, tenaga administratif, dan orangtua memberikan contoh konkrit dan teladan dalam melaksanakan tatakrama dan tata tertib tersebut. Kita jangan terlalu berharap banyak agar siswa tidak merokok, apabila guru, kepala sekolah dan tenaga administratif juga masih merokok di lingkungan sekolah. Pedoman ini hanya merupakan rambu-rambu umum untuk membantu sekolah dalam menata pendidikan budi pekerti yang langsung dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah dapat mengembangkan sendiri nilai-nilai dasar sesuai dengan keadaan, agama dan kultur masyarakat setempat.
2.2. Pelanggaran Tata Tertib 2.2.1. Jenis-Jenis Pelanggaran Tata Tertib Sekolah Setiap sekolah pasti mempunyai peraturan tata tertib, tetapi masih banyak dijumpai siswa yang melanggar peraturan-peraturan tata tertib sekolah yang ada. Pelanggaran tata tertib merupakan perbuatan yang dilakukan oleh siswa yang bertentangan dengan peraturanperaturan tata tertib sekolah yang bisa mengakibatkan kerugian pada semua pihak yaitu pada diri siswa, orang tua dan guru (sekolah) dan masyarakat lingkungan sekitar. Pelanggaran tata tertib sekolah
berhubungan erat dengan disiplin. Pelanggaran yang diawali dengan tidak disiplinnya para siswa dalam mematuhi peraturan yang ada. Menurut
Widi
Rahardjo
(1998)
apabila
peserta
didik
berperilaku disiplin dan menaati segala peraturan tata tertib sekolah, merupakan modal dasar yang sangat berharga sekali dalam menunjang terciptanya tujuan belajar mengajar. Tingkah laku disiplin siswa adalah salah satu kunci sukses untuk meraih prestasi sekolah yang maksimal. Bentuk Perilaku Pelanggaran Tata Tertib Sekolah menurut Willis (2004:31), klasifikasi pelanggaran yang dilakukan oleh siswa dimulai dari pelanggaran kecil sampai pelanggaran berat. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pelanggaran ringan seperti membolos, malas belajar, kesulitan belajar bidang pelajaran tertentu, suka ramai di dalam kelas, tidak mengerjakan tugas atau PR, terlambat datang ke sekolah, tidak ikut upacara bendera tanpa alasan yang jelas. 2. Pelanggaran sedang seperti berpacaran, berkelahi antar sekolah lain, menyalahgunakan uang SPP, merokok. 3. Pelanggaran berat seperti membawa minuman keras, narkoba, membawa senjata tajam, hamil, menodong dan perilaku lainya yang mengarah pada tindakan kriminal. Menurut Slameto (1986) pelanggaran-pelanggaran peraturanperaturan tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa yang dapat
diidentifikasikan atau dikelompokkan sebagai pelanggaran tata tertib sebagai berikut : 1. Pelanggaran dalam hal waktu. 2. Pelanggaran dalam beretika (sopan santun). 3. Pelanggaran dalam hal menggunakan fasilitas sekolah yang ada. 4. Pelanggaran dalam hal menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah. 5. Pelanggaran dalam hal kriminal. 6. Pelanggaran dalam hal berpakaian dan berhias (bagi perempuan) Jenis-jenis pelanggaran peraturan tata tertib sekolah dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Ketidakdisiplinan atau pelanggaran tata tertib sekolah dalam hal waktu dapat terwujud ketidakpatuhan siswa pada waktu yang telah ditentukan untuk hadir, pulang dan istirahat. Sebagai contoh : terlambat datang ke sekolah, membolos dan istirahat terlalu lama. (siswa masih di warung atau berbincang-bincang dengan teman). 2. Ketidakdisiplinan atau pelanggaran tata tertib sekolah dalam beretika yaitu cara-cara bersikap , bertutur kata kepada Kepala Sekolah, Guru, Karyawan dan semua teman. Dasar adanya tata tertib ini adalah agar semua siswa dapat bertutur kata dengan baik, sehingga perilaku yang tidak sopan dianggap sebagai pelanggaran terhadap tata tertib sekolah. Contoh perilaku yang tidak sopan :
berbicara tidak dengan bahasa yang baik terhadap warga sekolah yang lain. 3. Ketidakdisiplinan atau pelanggaran tata tertib sekolah dalam menggunakan fasilitas sekolah baik ruang laboratorium, ruang perpustakaan, meja kursi sekolah, papan tulis, WC, buku paket dan fasilitas yang lain. 4. Ketidakdisiplinan atau pelangaran tata tertib sekolah dalam menjaga kebersihan dan keindahan sekolah yaitu perilaku siswa untuk mencoret-coret dinding, meja, kursi, papan tulis, buku perpustakaan, pintu dan jendela, membuang sampah tidak pada tempatnya dan tidak melaksanakan piket kelas pada hari pembagian untuk piket. 5. Ketidakdisiplinan atau pelanggaran tata tertib sekolah dalam hal kriminal yang dilakukan oleh siswa baik individu atau kelompok sangat kecil seperti : mencuri, berkelahi, menodong uang temannya dan tawuran pelajar. 6. Ketidakdisiplinan atau pelanggaran tata tertib sekolah dalam hal berpakaian dan berhias (bagi perempuan) yaitu perilaku berlebihan yang dilakukan dengan membawa lipstik, bedak dan perhiasan seperti kalung, cincin dan gelang. Djiwandono
(2002:307),
menjelaskan
bahwa
bentuk
pelanggaran tata tertib sekolah yang sering dilakukan oleh siswa antara
lain : bicara di kelas, keluar kelas tanpa ijin, gagal mengikuti aturan kelas dan tidak ada perhatian. Berdasarkan
penjelasan
tersebut
di
atas
diatas
dapat
disimpulkan bahwa bentuk - bentuk perilaku pelanggaran terhadap tata tertib sekolah adalah bentuk perilaku yang tidak diinginkan oleh penyelenggaraan sekolah. Bentuk perilaku pelanggaran tata tertib sekolah seperti membolos, berkelahi, terlambat, membuat gaduh di dalam kelas, tidak mengerjakan PR, mencontek, membantah perintah guru, tidak membawa buku-buku maupun alat-alat pelajaran sekolah, tidak mengikuti upacara, tidak mengerjakan tugas piket, merokok, merusak benda-benda milik sekolah, pencurian, membawa barangbarang terlarang misalnya senjata tajam, gambar-gambar porno, dan lain sebagainya, semua itu termasuk jenis-jenis pelanggaran tata tertib sekolah. 2.2.2. Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran Tata Tertib Sekolah Menurut Bimo Walgito (2003) pelanggaran kedisiplinan terhadap tata tertib sekolah seringkali disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal yang terdapat dalam diri sendiri dan faktor ekternal dari pengaruh lingkungan luar : 1. Faktor internal yaitu dari dalam diri siswa yaitu kepribadian siswa itu sendiri misalnya, rasa malas yang timbul dari dalam diri sendiri, kurangnya rasa tanggung jawab, ingin mencari perhatian dan kurang religius.
2. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yaitu lingkungan
sekolah,
keluarga
dan
masyarakat
misalnya,
lingkungan keluarga atau orang tua yang kurang memperhatikan anak, orang tua bercerai, tinggal terpisah dengan orang tua, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang kurang baik juga sangat mempengaruhi. Maman Rachman (1999) membagi ke dalam tiga kelompok penyebab munculnya pelanggaran disiplin sekolah. a. Pelanggaran disiplin yang ditimbulkan oleh guru antara lain : 1) Aktivitas yang kurang tepat untuk saat atau keadaan tertentu; 2) Kata-kata atau sindiran tajam yang menimbulkan rasa malu peserta didik; 3) Ketidakcocokan antara kata dan perbuatan dan antara teori dan praktek; 4) Bertindak tidak sopan tanpa pertimbangan yang matang, tanpa melihat situasi; 5) Memiliki rasa ingin terkenal, rasa ingin ditakuti, atau ingin disegani; 6) Kurang pengendalian diri, seperti suka menggunjing peserta didik di tempat orang banyak; 7) Kegagalan menjelaskan tujuan pelajaran kepada peserta didik; 8) Menggunakan metode yang monoton atau kurang variatif, sama dari suatu hari ke hari yang lain;
9) Gagal mendeteksi perbedaan individu peserta didik; 10) Berbicara menggumam atau tidak jelas; 11) Memberikan tugas yang berat dan kompleks; 12) Tidak
mengontrol
pekerjaan
peserta
didik,
apalagi
mengembangkan pekerjaan tersebut; dan 13) Tidak memberikan umpan balik kepada hasil kerja peserta didik. b. Pelanggaran disiplin yang ditimbulkan oleh siswa antara lain. 1) Anak yang “suka membadut” atau berbuat aneh yang sematamata untuk menarik perhatian di kelas; 2) Anak dari keluarga yang kurang harmonis atau kurang perhatian dari orang tuanya; 3) Anak yang sakit; 4) Anak yang tidak punya tempat untuk mengerjakan pekerjaan sekolah rumah; 5) Anak yang kurang tidur (karena melek mata sepanjang malam); 6) Anak yang malas membaca atau tidak mengerjakan tugas-tugas sekolah; 7) Anak yang pasif atau potensi rendah yang datang ke sekolah sekadarnya; 8) Anak yang memiliki rasa bermusuhan atau menentang kepada semua peraturan;
9) Anak yang memiliki rasa pesimis atau putus asa terhadap semua keadaan; 10) Anak yang berkeinginan berbuat segalanya dikuasai secara “sempurna” c. Pelanggaran disiplin yang yang ditimbulkan oleh lingkungan antara lain : 1) Lingkungan rumah atau keluarga seperti kurang perhatian, ketidakteraturan,
pertengkaran,
ketidakharmonisan,
kecemburuan, masa bodoh, tekanan, dan sibuk urusannya masing-masing. 2) Lingkungan atau situasi tempat tinggal, seperti lingkungan kriminal, lingkungan bising, dan lingkungan minuman keras. 3) Lingkungan sekolah, seperti kelemahan guru, kelemahan kurikulum, kelemahan manajemen kelas, ketidaktertiban, dan kekurangan fasilitas. 4) Situasi sekolah seperti: hari-hari pertama dan hari-hari akhir sekolah (akan libur atau sesudah libur), pergantian pelajaran, pergantian guru, jadwal yang kaku atau jadwal aktivitas sekolah yang kurang cermat, bau makanan dari kafetaria, dan suasana gaduh dari praktik pelajaran musik atau bengkel ruang sebelah. Perilaku tidak disiplin melaksanakan tata tertib atau kaidah yang ada merupakan sesuatu hal yang menghambat tujuan yang ingin
dicapai dalam suatu kegiatan pendidikan. Perilaku tersebut dapat terjadi karena adanya sesuatu hal yang mempengaruhi (penyebab). Priyatno dan Amti (1994:61) menjelaskan kemungkinan penyebab perilaku tidak disiplin melaksanakan tata tertib ada 5, yaitu: 1. Tidak begitu memahami kegunaan masing-masing aturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah, aturan tersebut tidak didiskusikan dengan siswa sehingga siswa hanya terpaksa mengikutinya. 2. Siswa yang bersangkutan terbiasa hidup terlalu bebas, baik di rumah maupun di masyarakat. 3. Tindakan yang dilakukan terhadap pelanggaran terlalu keras sehingga siswa mereaksi secara tidak wajar (negatif). 4. Ciri khas perkembangan remaja yang agak “ sukar diatur ” tetapi “ belum dapat mengatur diri sendiri “. 5. Ketidaksukaan terhadap mata pelajaran tertentu dilampiaskan pada tidak disiplin melaksanakan tata tertib sekolah.
2.3. Anak Usia sekolah (Remaja) 2.3.1. Pengertian Remaja Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock: 1992). Remaja sebenarnya tidak mempunyai
tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk: 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990) remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 sampai 15 tahun adalah masa
remaja awal, 15 sampai 18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18 sampai 21 tahun adalah masa remaja akhir. Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 sampai 12 tahun, masa remaja awal 12 sampai 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 sampai 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 sampai 21 tahun (Deswita: 2006) Definisi yang dipaparkan oleh Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat, dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis. Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup perubahan transisi biologis, transisi kognitif, dan transisi sosial: 1. Transisi Biologis Menurut Santrock (2003) perubahan fisik yang terjadi pada remaja terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai
dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tandatanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono: 2006). Selanjutnya, Menurut Muss (dalam Sunarto & Agung Hartono: 2002) menguraikan bahwa perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu; pertumbuhan tulang-tulang, badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang, tumbuh payudara. Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulu-bulu ketiak. Sedangkan pada anak laki-laki peubahan yang terjadi antara lain; pertumbuhan tulang-tulang, testis (buah pelir) membesar, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi (keluarnya air mani), bulu kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh rambut-rambut halus diwajah (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan gelap, dan tumbuh bulu dada. Pada dasarnya perubahan fisik remaja disebabkan oleh kelenjar pituitary dan kelenjar hypothalamus. Kedua kelenjar itu masingmasing menyebabkan terjadinya pertumbuhan ukuran tubuh dan merangsang aktifitas serta pertumbuhan alat kelamin utama dan kedua pada remaja (Sunarto & Agung Hartono: 2002).
2. Transisi Kognitif Menurut Piaget (dalam Santrock: 2002) pemikiran operasional formal berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa bahwa remaja terdorong
untuk
memahami
dunianya
karena
tindakan
yang
dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam. Menurut Piaget (dalam Santrock: 2003) secara lebih nyata pemikiran opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak misalnya dapat menyelesaikan persamaan aljabar abstrak. Remaja juga lebih idealistis dalam berpikir seperti memikirkan karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan. Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan
budaya dalam perkembangan kognitif remaja 3. Transisi Sosial Santrock (2003) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional dalam perkembangan remaja. John Flavell (dalam Santrock: 2003) juga menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka secara efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial mereka. Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertama-tama masih sangat terbatas dengan orang tuanya dalam kehidupan keluarga, khususnya dengan ibu dan berkembang semakin meluas dengan anggota keluarga lain, teman bermain dan teman sejenis maupun lain jenis (dalam Rita Eka Izzaty dkk: 2008). Hurlock (2001) mengatakan bahwa secara tradisional masa remaja diamggap sebagai periode “ badai dan tekaan “ suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan isik
dan kelenjar. Hurlock juga menyebutkan bahwa perubahan awal pada remaja yang bersifat universal seperti : 1. Meningginya emosi Intensitas
meningginya
emosi
tergantung
pada
tingkat
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi karena perubahan emosi biasanya terjadi lebih cepat selama masa awal remaja. 2. Perubahan Tubuh 3. Minat dan Peran Remaja akan merasa selalu banyak masalah dan masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit untuk diselesaikan. Remaja akan tetap merasa mengalami masalah sampai
ia
sendiri
yang
menyelesaikannya
menurut
kepuasannya. 4. Perubahan minat dan Pola Perilaku Perubahan
minat
dan
pola
perilaku
diharapkan
tetap
dipertahankan, apa yang pada masa kanak-kanak dianggap penting sekarang sudah tidak lagi. Misalnya, sebagian remaja tidak lagi menganggap bahwa banyaknya teman merupakan petunjuk popularitas yang lebih penting dari sifat-sifat yang dikagumi dan dihargai oleh teman-teman sebaya. 5. Sikap ambivalen terhadap setiap perubahan Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan
kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut. 2.3.2. Kenakalan Remaja dan Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja Dalam kehidupan masyarakat remaja mempunyai kedudukan yang sangat sulit. Di satu pihak ia bukan lagi dikatakan anak-anak, di pihak lain ia juga belum tergolong dewasa. Dalam rangka memantapkan kepribadiannya banyak hal yang dilakukan oleh remaja tersebut, bahkan bila menjumpai benturan-benturan atau rangsanganrangsangan
dari
luar
dirinya
yang
dianggap
membelenggu
kebebasannya sering ia melakukan tindakan yang menyimpang. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh mereka apabila menyimpang dari hukum pidana yang berlaku dalam masyarakat sering dikatakan sebagai kenakalan anak atau kenakalan remaja. Secara etimologis kenakalan remaja berasal dari istilah Juvenile delinquency, Juvenile yang berarti anak dan delinquency yang berarti kejahatan. Jadi kenakalan remaja adalah kejahatan anak. Seperti yang dikutip oleh Sudarsono (1995), Bimo Walgito dan Fuad Hasan memberikan arti Juvenile delinquency dengan penekanan pada subyeknya. Menurut Bimo Walgito Juvenile delinquency ialah tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Jadi merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dilakukan oleh anak, khususnya remaja. Sedangkan Fuad Hasan mengemukakan bahwa Juvenile delinquency
ialah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasi sebagai tindak kejahatan. Jansen seperti yang dikutip oleh Sarlito Wirawan (1997) membagi kenakalan remaja ini menjadi 4 jenis, yaitu: 1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti misalnya perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan sebagainya. 2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti misalnya pengrusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan sebagainya. 3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, seperti misalnya pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks sebelum nikah. 4. Kenakalan yang melawan status, misalnya perbuatan mengingkari status sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara pergi (minggat) dari rumah, membantah perintah orang tua dan sebagainya. Perilaku mereka memang belum melanggar hukum pada waktu usia remaja, dalam arti yang sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur oleh hukum secara rinci. Namun kelak ketika remaja ini menjadi dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap atasannya di kantor atau petugas hukum di
dalam masyarakat. Karena itulah pelanggaran status ini oleh Jansen digolongkan juga sebagai kenakalan dan bukan sekedar perilaku menyimpang.
2.4. Hasil Penelitian yang Relevan Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Miftakhul Amin (2005), dengan judul penelitian “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelanggaran Tata Tertib Sekolah Siswa SLTP Muhammadiyah Salatiga dan Cara Mengatasinya” menyimpulkan bahwa : Selama semester I tahun pelajaran 2004/2005, siswa kelas II dan kelas III SLTP Muhammadiyah Salatiga yang berjumlah 4005 siswa, yang melanggar peraturan tata tertib sekoalh sebanyak 38 siswa atau ( 24,19%). Bentuk pelanggaran terhadap peraturan tata tertib yang paling banyak setiap hari adalah : masalah membolos (12,34%), merokok (4,44%), tidak piket (2,22%). Faktorfaktor yang mempengaruhi pelanggaran tata tertib sekolah meliputi : faktor intern (dari dalam diri siswa) yaitu pelanggaran tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa dengan disengaja. Faktor ekstern (dari luar diri siswa) yaitu faktor yang timbul dari luar diri siswa untuk melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Lingkungan tempat tinggal yaitu lingkungan yang tidak mendukung akan pendidikan anak, sehingga anak akan melakukan pelanggaran tata tertib di sekolah. Dari lingkungan sekolah yaitu kurangnya perhatian guru terhadap siswa yang kurang
pandai, banyak tugas yang dirasa berat oleh siswa, kejenuhan siswa dengan cara penyampaian pelajaran dengan metode ceramah. Cara mengatasi masalah pelanggaran tata tertib sekolah dengan cara pencegahan melalui nasehat dan pemberian motivasi yang baik kepada siswa baik dari guru, wali kelas, guru BP dan Kepala Sekolah. Selain dari pihak sekolah, yayasan juga turut serta membantu untuk menanggulangi masalah pelanggaran tata tertib dengan memberikan ceramah agama. Sanksi yang diterima bagi siswa yang melanggar yaitu masih berupa peringatan dan pernyataan lewat surat. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Cheppy Parlindungan (2006), dengan judul penelitian “Pendekatan Manajemen Kelas yang Digunakan Guru Mata Pelajaran PKn dalam Mengatasi Pelanggaran Tata Tertib Di Kelas” menyimpulkan bahwa : Pelanggaran tata tertib kelas yang dilakukan oleh siswa kelas I, II, III selama proses belajar mengajar khususnya pada mata pelajaran PKN, semester II Tahun Pelajaran 2005/2006 I SMK Kristen (Bisnis dan Manajemen) adalah : Clemongan atau menyeletuk; Tidur dikelas; Berbicara dengan teman sebangku; Mengganggu teman yang lain; Bahkan bersolek didalam kelas; Meninggalkan pelajaran setelah mengerjakan soal yang diberikan oleh guru dan duduk didepan kelas pada saat guru meninggalkan kelas. Pelanggaran yang paling dominan dilakukan oleh siswa : Kelas I adalah tidur didalam kelas dilakukan oleh siswa putra, sedangkan berbicara dengan teman sebangku, bersolek, dan clemongan dilakukan oleh siswa
putri. Kelas II adalah berbicara dengan teman sebangku yang dilakukan oleh siswa putri, dan clemongan dilakukan oleh siswa putra dan putri. Kelas III pelanggaran yang dominan dilakukan adalah meninggalkan atau duduk didepan kelas setelah selesai mengerjakan soal pada saat guru meninggalkan kelas, clemongan dan berbicara dengan teman sebangku, dilakukan oleh siswa baik putra maupun putri, sedangkan bersolek dilakukan oleh siswa putri. Faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan pelanggaran taat tertib kelas adalah siswa merasa jenuh terhadap materi pelajaran serta pola mengajar guru, serta suasana belajar yang kurang mendukung misalnya proses belajar mengajar mata pelajaran PKn dilakukan pada siang hari menjelang jam pelajaran berakhir. Selain faktor diatas pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh siswa disebabkan oleh kurangnya perhatian dari orang tua maupun sekolah khususnya guru mata pelajaran PKn. Upaya dalam mengatasi pelanggaran tata tertib di dalam kelas selama proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru mata pelajaran PKn adalah dengan menggunakan pendekatan manajemen kelas yaitu pendekatan intimidasi dan pendekatan permisif. Dalam memilih pendekatan manajemen kelas guna mengatasi pelanggaran tata tertib kelas guru mempertimbangkan sifat kelas, situasi kelas, kondisi kelas, dan sebagainya.
2.5. Kerangka Berpikir Penelitian
Tata tertib yaitu peraturan yang harus dipatuhi dan ditaati atau dilakukan. Tata tertib berkaitan erat dengan disiplin, disiplin merupakan suatu sikap yang menunjukkan untuk menepati, mematuhi dan mendukung ketentuan nilai-nilai serta kaidah yang berlaku . Dengan demikian disiplin bukan sifat yang dibawa sejak lahir, tetapi sebagai sesuatu yang diperoleh dari faktor pengajaran atau pendidikan. Pelanggaran tata tertib merupakan perbuatan yang dilakukan oleh siswa yang bertentangan dengan peraturan-peraturan tata tertib sekolah yang bisa mengakibatkan kerugian pada semua pihak yaitu pada diri siswa, orang tua dan guru (sekolah) dan masyarakat lingkungan sekitar. Pelanggaran tata tertib sekolah berhubungan erat dengan disiplin. Pelanggaran yang diawali dengan tidak disiplinnya para siswa dalam mematuhi peraturan yang ada. Pelanggaran-pelanggaran tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa yang dapat diidentifikasi atau dikelompokkan sebagai pelanggaran tata tertib sebagai berikut : 1) Pelanggaran dalam hal waktu; 2) Pelanggaran dalam hal beretika; 3) Pelanggaran dalam hal menggunakan fasilitas sekolah yang ada; 4) Pelanggaran dalam hal menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah; 5) Pelanggaran dalam hal berpakaian dan berhias ( bagi perempuan ). Perilaku tersebut dapat terjadi karena adanya sesuatu hal yang mempengaruhi (penyebab) antara lain : 1) Tidak begitu memahami kegunaan masing-masing aturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah,
aturan tersebut tidak didiskusikan dengan siswa sehingga siswa hanya terpaksa mengikutinya; 2) Siswa yang bersangkutan terbiasa hidup terlalu bebas, baik di rumah maupun di masyarakat; 3) Tindakan yang dilakukan terhadap pelanggaran terlalu keras sehingga siswa mereaksi secara tidak wajar (negatif); 4) Ciri khas perkembangan remaja yang agak “ sukar diatur ” tetapi “ belum dapat mengatur diri sendiri “; 5) Ketidaksukaan terhadap mata pelajaran tertentu dilampiaskan pada tidak disiplin melaksanakan tata tertib sekolah. Berdasarkan uraian di atas dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Pelanggaran Tata Tertib Sekolah
Jenis-Jenis Pelanggaran Tata Tertib Sekolah
Faktor Internal : rasa malas, kurang tanggung jawab, ingin mencari perhatian, dan kurang religius.
Pelanggaran Tata Tertib Sekolah
Faktor Eksternal : lingkungan keluarga (tinggal terpisah dengan orang tua, orang tua bercerai, kurang kasih sayang dari orang tua), lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang kurang baik.
Gambar 1. Kerangka Berpikir
1. Pelanggaran dalam hal waktu. 2. Pelanggaran dalam beretika. 3. Pelanggaran dalam menggunakan fasilitas sekolah yang ada. 4. Pelanggaran dalam menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan. 5. Pelanggaran dalam hal berpakaian dan berhias. 6. Dll.