BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Film 1. Pengertian Film Film merupakan media unik yang berbeda dengan bentuk-bentuk kesenian lainnya seperti seni lukis, seni pahat, seni musik, seni patung, seni tari dan cabang seni lainnya. Ini disebabkan oleh film merupakan perpaduan antara semua cabang seni yang pernah ada. Di dalam Anggaran Dasar Pasal 3 pada Persatuan Karyawan Film dan Televisi Indonesia yang merupakan Keputusan Kongres ke-8 pada 1995 menyatakan bahwa: “film dan televisi adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil teknologi lainnya dalam bentuk, jenis, ukuran, melalui kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya”. Menurut Palapah dan Syamsudin (1986: 114) mendefinisikan film sebagai “salah satu media yang berkarakteristik masal, yang merupakan kombinasi antara gambar-gambar bergerak dan perkataan”. Hal ini senada dengan Soegiono (1984: 13), ia mengemukakan bahwa film adalah: “rekaman segala macam gambar hidup atau bergerak, dengan atau tanpa suara, yang dibuat di atas pita seluloid, jalur pita magnetic, 1
piringan audio visual, dan atau benda hasil teknik kimiawi atau elektronik lainnya yang mungkin ditemukan oleh kemajuan teknologi dalam segala bentuk jenis dan ukuran baik hitam maupun putih atau berwarna yang dapat disajikan dan atau dipertunjukkan kembali sebagai tontonan di atas layar proyeksi atau layar putih atau layar TV dengan menggunakan sarana-sarana mekanis dari segala macam bentuk peralatan proyeksi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian film adalah merupakan media komunikasi sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indra, penglihatan dan pendengaran, yang mempunyai inti atau tema sebuah cerita yang banyak mengungkapkan realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat dimana film itu sendiri tumbuh. 2. Pengaruh dan Fungsi Film Sebagai sebuah karya seni kontemporer yang banyak digunakan di zaman modern saat ini, tentunya film tidak luput dari kekurangan dan kelebihannya. Di sinilah posisi kita dalam menentukan dipertaruhkan. Sebagai seni ketujuh, film sangat berbeda dengan seni sastra, teater, seni rupa, seni suara, dan arsitektur yang muncul sebelumnya. Seni film sangat mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan baku produksi maupun dalam hal ekshibisi ke hadapan penontonnya. Film merupakan penjelmaan keterpaduan antara berbagai unsur, sastra, teater, seni rupa, teknologi, dan sarana publikasi. Pada saat film dimulai, suasana di bioskop akan diatur sedemikian rupa sehingga emosi penonton akan tercurah habis di tempat tersebut. Adegan-adegan yang ditimbulkan oleh orang-orang film dibuat senyata
2
mungkin. Alhasil, menurut Effendi (2003: 208) bahwa “apabila penonton sudah tahu maksud pesan yang disampaikan, maka penonton biasanya mengeluarkan apresiasi dengan menangis dan tertawa”. Pada saat menyaksikan film, ada istilah “peralihan dunia”. Penonton biasanya mengimajinasikan dirinya sebagai tokoh yang dia lihat dalam cerita tersebut. Akhirnya akan timbul berbagai perasaan yang bergejolak, seperti rasa simpati atau antipati. Pengaruh film yang sangat besar tersebut biasanya akan berlangsung sampai waktu yang cukup lama. Pengaruhnya akan timbul tidak hanya digedung bioskop saja, melainkan ke luar gedung bioskop, bahkan sampai pada aktifitas kesehariannya. Biasanya anak-anak dan pemuda yang relatif lebih mudah terpengaruh. Mereka sering menirukan gaya atau tingkah laku para bintang film. (Effendy, 2003: 208) Dengan demikian kita dapat merasakan bahwa film mempunyai “power of influence” yang sangat besar, sumbernya terletak pada perasaan emosi penontonnya. Berikut ini ada beberapa faktor yang menyebabkan film menjadi “power of influence”, diantaranya: 1. Faktor dengan adanya film itu sendiri, maka kita memperoleh tanggapan-tanggapan secara langsung dan memberikan keadaan yang sebenarnya. 2. Faktor pemegang peranan (tokoh utama) dalam film itu sendiri. Faktor ini seakan-akan menyuruh penonton untuk memikirkan dan merasakan semua adegan yang dilihatnya.
3
3. Faktor cahaya yang terdapat dalam film. Secara psikologi cahaya yang berbeda-beda menimbulkan perasaan lain terhadap penonton. 4. Faktor musik yang mengiringi film itu, sehingga memberikan sugesti pada penonton. 5. Gerakan-gerakan yang harmonis antara gambar dan cahaya. Di sini adanya kerjasama antara gambar yang visual dan auditif dalam membentuk perasaan hati penonton. 6. Faktor penempatan kamera dapat memperlihatkan sugesti pada penonton. Dengan adanya penempatan kamera (sudut pengambilan adegan) akan menimbulkan gejala diri dengan objek yang sedang dilalui di dalam suatu situasi. (Arifin, 1984: 84) Berbeda dengan Arifin, Rakhmat (2007: 187) berpendapat bahwa film sebagai salah satu media komunikasi massa mempunyai efek yang mengkhawatirkan bagi para politisi, tokoh agama, penyair, sampai petani. Ia mengemukakan bahwa: “politisi baik karena kerakusan atau ketakutan mencoba ‘melunakkan’ pengaruh media massa atau mengendalikannya. Tokoh agama mencemaskan hilangnya warisan rohaniah yang tinggi karena penetrasi media erotica. Penyair mengeluh karena gadis-gadis desa tidak lagi mendendangkan lagu-lagu tradisional yang seronok. Petani telah menukarkan kerbaunya dengan radio transistor dan televisi”. Mengenai fungsi film sendiri mengacu pada Mukadimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa: “….film dan televisi tidak semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan darmabaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.”
4
Dari pernyataan di atas jelas bahwa film bukan sekedar media pandang dengar dan barang dagangan, juga berfungsi sebagai hiburan dan mengandung aspek-aspek pendidikan dan penerangan dan karenanya merupakan salah satu sarana pembinaan bangsa dan pembangun watak. Posisi film sendiri menurut Qardhawi (2009: 311) merupakan “alat yang sangat vital untuk mengarahkan dan memberikan hiburan. Dapat dilakukan untuk hal-hal yang baik dan hal-hal yang tidak baik”. Hal ini diperkuat oleh Siagian (2006: 3), ia mengemukakan bahwa: “bila ada itikad baik pada kita dan sanggup mempergunakan dengan baik kemungkinan-kemungkinan yang positif dari film, maka itu dapat member manfaat yang sangat besar bagi manusia, dapat memperkaya jiwa, manusia, dapat memberi bantuan yang sangat berharga bagi manusia, sebaliknya jika kita mempunyai itikad yang tidak baik, kita juga dapat menyalahgunakannya dengan mengeksploitir segi-segi negative dari film itu dan meracuni jiwa manusia. Dia merupakan alat propaganda yang paling ampuh untuk mempengaruhi umum untuk tujuan baik, maupun jahat”. Dengan demikian, film dapat digunakan sebagai media pendidikan dan dakwah sehingga menghasilkan karya-karya bernilai luhur. Sedangkan hal-hal yang buruk dari film sebagaimana yang diungkapkan oleh Ismail (1986: 98) adalah: “film sebagai alat komunikasi massa dewasa ini telah dipakai untuk berbagai tujuan. Bagi mereka yang melihat film itu sebagai media seni an sich, sebagai media seni tok dan menterapkan “seni untuk seni”, film hanyalah suatu media untuk menyatakan pikiran, perasaan, isi hati, kadang-kadang nafsu mereka pribadi dengan tidak mempedulikan norma, nilai-nilai selain daripada ukuranukuran mereka sendiri sebagai seniman”.
5
Inilah dampak buruk dari mempergunakan film. Mereka yang disebutkan di atas akan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan mengesampingkan nilai-nilai kebenaran dan moral dalam sebuah film demi kepuasan semata. 3. Jenis-Jenis Film Seiring perkembangannya film dibagi menjadi dua jenis. Pertama, menurut ukurannya yaitu jenis film yang berukuran 35 mm dan 16 mm menggunakan pita seluloid. Kedua, menurut jenisnya, Effendy dalam bukunya Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi membaginya terdiri atas: 1. Film Cerita (story film), yaitu jenis film yang menceritakan kepada publik sebuah cerita. Sebagai cerita harus mengandung unsur-unsur yang dapat menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang dapat disajikan kepada public dalam bentuk gambar yang dapat dilihat dengan suara yang dapat didengar, dan yang merupakan suatu hidangan yang sudah masak untuk dinikmati, sungguh merupakan suatu medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur tadi. 2. Film Berita (newsreel), film mengenai fakta, peristiwa yang beanrbenar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada public harus mengandung nilai berita (newsvalue). Sebenarnya, kalau dibandingkan dengan media lainnya seperti surat kabar dan radio sifat “newsyfact”-nya film berita tidak ada. Sebab sesuatu berita harus actual. Ini disebabkan proses pembuatannya dan penyajiannya kepada public yang memerlukan waktu yang cukup lama. Akan tetapi dengan adanya TV yang juga sifatnya auditif visual seperti film, maka berita yang difilmkan dapat dihidangkan kepala public melalui TV lebih cepat daripada kalau dipertunjukkan juga di gedung-gedung bioskop mengawali film utama yang sudah tentu film cerita. 3. Film Dokumenter (documentary film). Istilah “documentary” mula-mula dipergunakan oleh seorang sutradara Inggris, John Grierson, untuk menggambarkan suatu jenis khusus film yang dipelopori oleh seorang Amerika bernama Robert Flaberty. Film
6
dokumenternya itu didefinisikan oleh Gierson sebagai : “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality). Titik berat dari film dokumenter adalah fakta atau peristiwa yang terjadi. Berbeda dengan film berita yang harus dihidangkan kepada penonton secepat-cepatnya, maka film dokumenter dapat dilakukan dengan pemikiran dan perencanaan yang matang. 4. Film Kartun (cartoon film), titik berat pembuatan film kartun adalah seni lukis. Setiap lukisan memerlukan ketelitian. Satu persatu dilukis dengan seksama untuk kemudian dipotret satu per satu pula. Dan apabila rangkaian lukisan yang 16 buah itu setiap detiknya diputar dalam proyektor film, maka lukisan-lukisan itu menjadi hidup. Sebuah film kartun tidaklah dilukis oleh satu orang, tetapi oleh pelukis-pelukis dalam jumlah banyak.
B. Tinjauan Tentang Nilai Pendidikan Islam 1. Pengertian Nilai Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 677) mendefiniskan “nilai sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan”. Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan (Titus, 1984: 122). Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat. Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Thoha (1996: 61) mengartikan nilai sebagai berikut : “nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang
menuntut
pembuktian
empirik,
melainkan
penghayatan
yang
dikehendaki dan tidak dikehendaki”.
7
Sementara itu Thoha (1996: 61) mendefiniskan nilai sebagai “sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini)”. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalaah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.
2. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan merupakan kata yang sudah umum dan tidak asing lagi dimasyarakat. Semua orang mengenal kata ini, baik ia dari kalangan awam sampai pada kalangan elit berpendidikan tinggi. Di mana pun berada, di desa maupun di kota. Banyak pula yang berpendapat bahwa pendidikan identik dengan sekolah. Definisi pendidikan sangat rumit dan hampir tidak pernah menemukan kata sepakat di kalangan ahli. Namun mereka memiliki tujuan yang sama. Menurut Ramayulis (2008: 13), istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, 8
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara.”
Sedangkan pendidikan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata “education”. Menurut Donald (1959: 4): “Education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producing desirable changes in the behavior of human being”.
Sementara itu, Ma’arif dalam Taufik (2007: 194) mengemukakan bahwa: “arti pendidikan sebagai keseluruhan proses dalam rangka mengantarkan manusia agar memiliki kekuatan intelektual, kecerdasan emosional dan kedalaman spiritual serta ketangguhan religious, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup disegala bidang kehidupan”.
Tafsir (2006: 39) mendefinisikan pendidikan sebagai: “usaha menolong agar ia mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya”. Berbeda dengannya Roqib (2009: 15), ia mengartikan pendidikan sebagai: “pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu ikhtiar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai denga nilai-nilai dan kebudayaan yang ada di masyarakat”. Sedangkan menurut Arifin (1976: 12), pendidikan adalah “usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan
9
kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal”. Hal ini senada dengan Marimba (1989: 19), ia mengemukakan bahwa pendidikan adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”. Dengan demikian, berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha sadar dari seorang pendidik untuk mengoptimalkan potensi manusia baik secara intelektual, emosional, maupun religius baik dalam bentuk formal maupun non formal menuju kepribadian yang sempurna. Di lain sisi, definisi pendidikan Islam pun banyak tokoh yang berbeda pendapat, namun pada hakekatnya memiliki esensi yang sama. Salim dan Mahrus (2009: 13) berpendapat bahwa “pendidikan Islam adalah upaya sadar untuk mengubah tingkah laku individu dan kehidupannya ke arah yang lebih baik dan berarti”. Sedangkan An-Nashir dan al-Qadir Darwis dalam Roqib (2009: 17), mendefinisikan pendidikan Islam sebagai berikut: “proses pengarahan perkembangan manusia (ri’ayah) pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkah-laku, dan kehidupan sosial, dan keagamaan yang diarahkan pada kebaikan menuju kesempurnaan”.
10
Sementara itu, Asy-Syaibani dalam Roqib
(2009: 17-18)
sebagaimana disitir oleh M. Arifin, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah “usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan di alam sekitarnya”. Hal ini senada dengan Salim dan Mahrus (2009:13) mendefinisikan pendidikan Islam sebagai berikut: “upaya sadar untuk mengubah tingkah laku individu dan kehidupannya ke arah yang lebih baik dan berarti”. Thoha (1996: 61) mendefinisikan pendidikan Islam: “adalah pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pendidikan berdasarkan nilai-nilai dan dasar Islam yang terkandung dalam alQuran dan Hadist”.
Dengan demikian, berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun alam sekitarnya berdasarkan nilai-nilai dan dasar Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadist. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan Islam adalah kualitas suatu hal yang menjadikan berguna, untuk mengubah cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran yang sesuai dengan ajaran Islam.
3. Landasan dan Tujuan Nilai-Nilai Pendidikan Islam
11
a. Landasan Nilai Pendidikan Islam Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan individu maupun sosial penganutnya yang akan membawa pada pengaplikasian Islam dalam kehidupan sehari. Oleh karena itu, menurut an-Nahlawi (1995: 28), keberadaan sumber dan landasan pendidikan Islam harus sama dengan sumber Islam itu sendiri, yaitu al-Qurān dan as-Sunnah. Hal ini senada dengan Marimba (1989: 19) yang menjelaskan bahwa “yang menjadi landasan atau dasar pendidikan diibaratkan sebagai sebuah bangunan sehingga isi al-Quran dan al-Hadits menjadi pondasi, karena menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan”. a. al-Qur’an Al-Quran merupakan pedoman umat Islam sekaligus kitab penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Selain itu, Al-Quran AlKarim juga merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah SWT, sebagaimana firman_Nya dalam Surah Al-Hijr: 9: b.
֠
!"# $ %&'
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
12
ERROR: ioerror OFFENDING COMMAND: image STACK: