BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Belajar Matematika Lyle E. Bourne, J.R., dan Bruce R. Esktrand menjelaskan definisi belajar, yaitu “Learning as a relatively permanent change in behaviour traceacble to experience and practice” yang artinya belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tumbuh yang diakibatkan oleh pengalaman dan latihan (Mustaqim, 2008: 33). Menurut Ali Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 18), belajar adalah proses yang dilakukan manusia untuk
mendapatkan
aneka
ragam
kompetensi/kemampuan,
skill/ketrampilan, dan attitude/sikap secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui proses belajar sepanjang hayat dengan keterlibatan dalam pendidikan formal (sekolah), informal (kursus), dan non formal (majelis-majelis ilmu). Gregory A. Kimble mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan yang relatif permanen dalam potensialitas tingkah laku yang terjadi pada seseorang atau individu sebagai hasil latihan atau praktik (Purwa Atmaja Prawira, 2013:
225). H.C. Witherington
juga
mengemukakan definisi belajar, yaitu suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.
14
Passer pun menjelaskan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai akibat dari adanya latihan (Eva Latipah, 2012: 69). Definisi lain dari belajar juga disampaikan oleh Slameto (2013: 2) yang menurutnya belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Mustaqim (2008: 34) menerangkan definisi belajar secara rinci, yaitu: a. Suatu aktivitas atau usaha yang disengaja. b. Aktivitas tersebut menghasilkan perubahan, berupa sesuatu yang baru baik yang segera nampak atau tersembunyi tetapi juga hanya berupa penyempurnaan terhadap sesuatu yang pernah dipelajari. c. Perubahan-perubahan itu meliputi perubahan ketrampilam jasmani, kecepatan perseptual, isi ingatan, kemampuan berpikir, sikap terhadap nilai-nilai dan inhibisi serta lain-lain fungsi jiwa (perubahan yang berkenaan dengan aspek psikis dan fisik) d. Perubahan tersebut relatif bersifat konstan. Slameto (2013: 3-4) menyebutkan ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam belajar, yaitu (1) perubahan terjadi secara sadar; (2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional; (3) perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif; (4) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, (5) perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah, serta (6) perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Dari beberapa definisi belajar menurut Lyle E. Bourne, J.R., dan Bruce R. Esktrand; Ali Hamzah dan Muhlisrarini; Gregory A. Kimble; H.C. Witherington; Passer; Slameto; dan Mustaqim, maka dapat 15
disimpulkan definisi belajar. Belajar adalah usaha sadar pada diri seseorang yang terwujud dalam perubahan tingkah laku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan untuk mendapatkan aneka ragam kompetensi/kemampuan, skill/ketrampilan, dan attitude/sikap secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui proses belajar sepanjang hayat. H. Erman Suherman dkk (2003: 15) menerangkan bahwa matematika berasal dari beberapa kata lain, yaitu mathematics (Inggris), mathematik (Jerman), mathematique (Perancis), matematico (Itali), matematiceski
(Rusia),
atau
mathematick/wiskunde
(Belanda),.
Matematika juga berasal dari kata mathematica yang munculnya diambil dari perkataan Yunani, mathematike, yang berarti “relating to learning”. Perkataan itu mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge/science). Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar (berpikir). Ali Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 47) menyebutkan bahwa pengertian matematika tidak didefinisikan secara mudah dan tepat mengingat ada banyak fungsi dan peranan matematika terhadap bidang studi yang lain. Apabila ada definisi tentang matematika maka itu bersifat tentatif, tergantung kepada orang yang mendefinisikannya. Beberapa orang mendefinisikan matematika berdasarkan struktur matematika, pola pikir matematika, pemanfaatannya bagi bidang lain, dan sebagainya.
16
Herman Hudojo (2001:45) mengungkapkan bahwa saat ini belum ada definisi tunggal tentang matematika yang terbukti dengan belum adanya kesepakatan yang bulat di antara para matematikawan tentang apa yang disebut dengan matematika. Namun yang jelas, hakekat matematika dapat diketahui karena objek penelaahan matematika (sasarannya) telah diketahui sehingga dapat diketahui pula cara berpikir matematika. Selain itu, Gagne (dalam Bell, 1978: 108-109) membagi objek matematika menjadi 2, yaitu objek langsung dan tidak langsung. Objek langsung meliputi fakta (facts), keterampilan (skills), konsep (concepts), dan prinsip (principles). Objek tak langsung meliputi kemampuan penyelidikan
(inquiry
(problem-solving
ability),
ability),
kemampuan
belajar
mandiri
pemecahan
masalah
(self-discipline),
dan
pemahaman struktur matematika. Robert Slavin dkk (2012: 3) menjelaskan bahwa matematika dapat dimaknai dengan cara: (1) matematika adalah belajar mengenai bentuk dan relasi, (2) matematika adalah cara untuk berpikir, (3) matematika adalah seni, (4) matematika adalah bahasa yang menggunakan definisi, istilah, dan simbol, serta (5) matematika adalah sebuah alat untuk menjadikan siswa mengetahui alasan mengapa harus belajar matematika dan tahu kegunaannya. Secara singkat, Herman Hudojo (1988: 3) juga menjelaskan bahwa matematika berkenaan dengan ide/konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. Hal
17
demikian membawa akibat bagaimana terjadinya proses belajar matematika itu. Dari uraian tentang matematika oleh H. Erman Suherman dkk; Ali Hamzah dan Muhlisrarini; Herman Hudojo; Gagne; dan Robert Slavin dkk, maka dapat disimpulkan bahwa semua definisi dan penjelasan tentang matematika dapat diterima sehingga definisi dan semua uraian yang dijelaskan oleh para tokoh tersebut dapat membantu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan matematika. Semua definisi akan menambah pengetahuan tentang matematika tetapi berapapun panjangnya penjelasan yang diberikan tidak akan memberi jawaban utuh yang dapat dipahami secara menyeluruh tentang apa yang dimaksud dengan matematika. Namun, peneliti memilih untuk memaknai matematika sebagai ilmu yang memiliki 2 objek penalaahan, yaitu objek langsung (fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip) dan tidak langsung (penyelidikan, kemampuan pemecahan masalah, belajar mandiri, dan pemahaman struktur matematika) yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. Dari definisi-definisi mengenai belajar dan matematika, maka dapat disimpulkan definisi belajar matematika. Belajar matematika adalah usaha sadar pada diri seseorang untuk mempelajari segala sesuatu tentang matematika yang terwujud dalam perubahan tingkah laku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan untuk mendapatkan aneka ragam kompetensi/kemampuan, skill/ketrampilan, dan attitude/sikap secara
18
bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui proses belajar sepanjang hayat. Dalam penelitian ini, belajar matematika menjadi hal utama yang diamati dari siswa. Jika proses belajar siswa baik maka diharapkan perolehan tes hasil belajar pelajaran matematika akan baik, tetapi jika proses belajar siswa tidak baik maka perolehan tes hasil belajar pelajaran matematika tidak akan baik. 2. Evaluasi dan Tes Hasil Belajar Siswa Proses belajar matematika di sekolah tidak akan lepas dari proses penilaian. Jika proses belajar matematika di sekolah berjalan dengan baik maka diharapkan hasil belajar siswa juga akan baik dalam rangka mencapai tujuan belajar matematika. Sehingga, diperlukan suatu alat untuk menilai keberhasilan belajar siswa dan pengajaran matematika oleh guru yang dikenal dengan evaluasi atau penilaian. Evaluasi terhadap hasil belajar yang dicapai oleh siswa dan terhadap proses belajar mengajar mengandung penilaian terhadap hasil belajar atau proses belajar itu, sampai berapa jauh keduanya dapat dinilai baik (Winkel, 2007: 531). Menurut Norman E. Gronlund (dalam Ngalim Purwanto, 2013: 3), evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa. Menurut Harjanto (2011: 277), evaluasi
adalah
penilaian/penaksiran
terhadap
pertumbuhan
dan
19
kemajuan peserta didik ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam hukum yang dapat dinyatakan secara kuantitatif atau kualitatif. Menurut Ngalin Purwanto (2013: 3-4), ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan evaluasi, yaitu: a. Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis, ini berarti bahwa evaluasi merupakan kegiatan yang terencana dan dilakukan secara berkesinambungan. Evaluasi bukan hanya merupakan kegiatan akhir atau penutup dari suatu program tertentu melainkan merupakan kegiatan yang dilakukan pada permulaan, selama program berlangsung, dan pada akhir program setelah program itu dianggap selesai. b. Di dalam kegiatan evaluasi diperlukan berbagai informasi atau data yang menyangkut objek yang sedang dievaluasi. Dalam pelajaran, data yang dimaksud mungkin berupa perilaku atau penampilan siswa selama mengikuti pelajaran, hasil ulangan atau tugas-tugas pekerjaan rumah, nilai ujian akhir caturwulan, nilai midsemester, nilai ujian akhir semester, dan sebagainya. Ketepatan keputusan hasil evaluasi sangat bergantung kepada kesahihan dan objektivitas data yang digunakan dalam pengambilan keputusan. c. Setiap kegiatan evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, tidak dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Tanpa menentukan atau merumuskan tujuan-tujuan terlebih dulu, tidak mungkin menilai sejauh mana pencapaian hasil belajar siswa. Hal ini karena setiap kegiatan penilaian memerlukan suatu kriteria tertentu sebagai acuan dalam menentukan batas ketercapaian objek yang dinilai. Secara garis besar dalam proses belajar mengajar, evaluasi memiliki fungsi pokok untuk mengukur kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar mengajar selama jangka waktu tertentu dan untuk mengukur sampai di mana keberhasilan sistem pengajaran yang digunakan (Harjanto, 2011: 277). Sehingga, evaluasi tidak dapat dilepaskan dari pengajaran. Mehrens dan Lehmann (dalam
20
Ngalin Purwanto, 2013: 8) menyebutkan satu ungkapan yang berbunyi, “To teach without testing is unthinkable” yang artinya mengajar tanpa melakukan tes tidak masuk akal. Ungkapan ini menunjukkan betapa erat kaitan antara pengajaran dan evaluasi. Evaluasi atau penilaian pencapaian belajar siswa tidak hanya merupakan suatu proses untuk mengklasifikasikan keberhasilan dan kegagalan dalam belajar (penilaian sumatif), tetapi juga untuk meningkatkan efisiensi dan keefektifan pengajaran (penilaian formatif). Evaluasi atau penilaian pencapaian belajar dapat dilaksanakan dengan alat evaluasi, yaitu tes-tes hasil belajar yang diselenggarakan oleh guru. Tes hasil belajar ialah tes yang dipergunakan untuk menilai hasil-hasil pelajaran yang telah diberikan oleh guru kepada murid-muridnya dalam jangka waktu tertentu (Ngalim Purwanto, 2013: 33). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan tes hasil belajar adalah tes-tes yang dapat digunakan oleh guru, yaitu tes yang telah distandarkan (standardized test) atau tes buatan guru sendiri (teachermade test) yang meliputi ulangan-ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Sehingga, peneliti dapat menilai dari hasil tes hasil belajar tersebut apakah siswa tuntas menurut KKM atau tidak sekaligus menilai apakah siswa berhasil dalam proses belajarnya atau tidak sebagai salah satu indikator untuk menganalisis persiapan siswa dalam menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika.
21
3. Persiapan Siswa dalam Menghadapi Tes Hasil Belajar Pelajaran Matematika Persiapan belajar siswa merupakan teori yang pernah disampaikan oleh Thorndike. Pada dasarnya Thorndike menggunakan stimulus-respon (S-R) dan teorinya disebut “koneksionisme”. Terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini menurut Thorndike menurut hukum-hukum, yaitu hukum persiapan (law of readiness), hukum latihan, dan hukum akibat (law of effect). Thorndike (dalam Herman Hudojo, 1988: 11) menerangkan bahwa hukum persiapan menjelaskan bahwa siswa akan berhasil dalam belajarnya apabila telah siap untuk belajar. Hukum latihan menjelaskan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah pengulangan. Hukum akibat menjelaskan pengaruh ganjaran dan hukuman. Darwis A. Soelaiman (1979: 168) menjelaskan definisi persiapan belajar,
yaitu
kemampuan
seseorang
mengambil
manfaat
dari
pengalamannya. Jika seseorang dihadapkan pada sebuah persoalan dan ia mampu menyelesaikan persoalan itu, maka diindikasikan bahwa ia mempunyai persiapan mengenal dan berpikir untuk menyelesaikan masalah itu. Persiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang yang membuatnya siap untuk memberi respons/jawaban di dalam cara tertentu terhadap suatu situasi (Slameto, 2013: 113). Menurut Asri Budiningsih (2003: 121), persiapan belajar dapat diartikan sebagai kondisi di mana siswa
22
telah memiliki bekal pengetahuan atau ketrampilan prasyarat yang diperlukan sebagai pijakan atau dasar untuk mempelajari informasi baru. Wasty Soemanto (2006: 191) menerangkan bahwa readiness sebagai persiapan atau kesediaan seseorang untuk berbuat sesuatu. Ia juga menjelaskan seorang ahli bernama Cronbach memberikan pengertian tentang readiness sebagai segenap sifat atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu. Dari definisi-definisi persiapan menurut Thorndike, Darwis A. Soelaiman, Slameto, Asri Budiningsih, dan Wasty Soemanto, maka dapat disimpulkan bahwa readiness atau persiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang untuk mampu merespon situasi tertentu. Situasi tersebut dapat berupa pengetahuan baru, misalnya untuk mempelajari materi baru dalam pelajaran
matematika,
atau
persoalan-persoalan
lain,
misalnya
menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika. Asri Budiningsih (2003: 119) membagi persiapan belajar menjadi dua, yaitu (1) persiapan mental dan (2) persiapan fisik. Persiapan mental meliputi kemampuan/prasyarat awal dan motivasi. Kemampuan atau prasyarat awal adalah pengetahuan yang telah dimiliki siswa yang dapat dijadikan pijakan atau dasar untuk mempelajari materi pelajaran yang baru. Misalnya untuk mempelajari matematika lanjut, siswa harus menguasai pengantar matematika terlebih dahulu. Motivasi merupakan dorongan, baik dari dalam maupun dari luar diri individu, yang membuat siswa belajar memiliki kemampuan untuk belajar. Persiapan fisik
23
mengandung arti bahwa siswa dalam melakukan kegiatan belajar tidak mengalami
kekurangan/cacat
fisik,
sebagai
faktor
yang
sangat
berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Herman Hudojo (2003: 38) menjelaskan bahwa persiapan belajar siswa dipengaruhi oleh tahap perkembangan intelektual siswa dan pengalaman belajar yang lampau. Tahap perkembangan intelektual sesuai dengan teori perkembangan intelektual siswa yang telah dikemukakan oleh Jean Piaget. Teori ini sangat cocok untuk pengajaran matematika di sekolah, sebab teori Piaget itu berhubungan dengan bagaimana siswa berpikir dan bagaimana berpikir mereka itu berubah sesuai dengan usianya. J. Piaget (dalam Slameto, 2013: 116) juga penjelaskan bahwa siswa sekolah menengah atas telah memasuki tahap perkembangan formal operation (lebih dari 11 tahun). Siswa yang dimaksud di sini adalah siswa yang normal dan tidak memiliki kekurangan baik secara fisik maupun mental. Kecapakan siswa tidak lagi terbatas pada objek-objek yang konkret. Siswa dapat (1) memandang kemungkinan-kemungkinan yang ada melalui pemikirannya (dapat memikirkan kemungkinankemungkinan); (2) mengorganisasikan situasi/masalah; dan (3) berpikir dengan betul (berpikir yang logis, mengerti hubungan sebab-akibat, serta memecahkan masalah/berpikir secara ilmiah). Slameto (2013:113) mengemukakan bahwa ada 3 aspek yang mempengaruhi persiapan, yaitu (1) kondisi fisik, mental, dan emosional;
24
(2) kebutuhan-kebutuhan, motif, dan tujuan; serta (3) keterampilan, pengetahuan, dan pengertian yang lain yang telah dipelajari. Darwis A. Soelaiman (1979: 168) membagi persiapan menjadi dua, yaitu persiapan intelektual dan persiapan emosional. Persiapan intelektual
menyangkut
kemampuan
mengemukakan
pendapat,
merumuskan buah pikiran, mengintegrasikan dengan gagasan yang telah ada dari hasil pemikiran sebelumnya. Jenis persiapan ini juga termasuk juga kemampuan mengerti, mengingat, dan memproduksi. Adanya persiapan intelektual bergantung beberapa faktor, yaitu (1) tingkat kematangan intelektual; (2) latar belakang pengalaman dan keberhasilan; (3) struktur pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya; dan (4) cara guru menyampaikan bahan pelajaran yang baru. Persiapan emosional berkenaan dengan persiapan mempelajari hal yang menyangkut aspek perasaan dan sangat erat hubungannya dengan motivasi. Banyak anak yang mempunyai kemampuan intelektual tetapi menghadapi kegagalan mengambil manfaat dari pengalaman belajar yang dihadapinya karena kurangnya minat, semangat, dan keinginan untuk berbuat lebih baik. Persiapan emosional itu bergantung pula pada beberapa faktor, yaitu: (1) Bentuk motif, terutama keperluan untuk mengetahui. Pengalaman anak semasa kecil sangat mempengaruhi bentuk motif tersebut. (2) Sikap dan nilai kebudayaan yang dihadapi dan diterima oleh anak. (3) Timbulnya keinginan untuk berbuat dengan sebaik-baiknya. Keinginan itu sangat bergantung pula pada corak dan sifat pengalaman anak sebelumnya, misalnya sikap teman-teman 25
terhadapnya, pada kurikulum dan metode mengajar yang dapat merangsang anak untuk memecahkan masalah, dan juga pada penyadaran anak mengenai sukses yang dicapainya. Wasty Soemanto (2006: 191) menjelaskan bahwa readiness dalam belajar melibatkan beberapa faktor yang bersama-sama membentuk readiness, yaitu: (1) Perlengkapan dan pertumbuhan fisiologis, ini menyangkut pertumbuhan terhadap kelengkapan pribadi seperti tubuh pada umumnya, alat-alat indra, dan kapasitas intelektual. (2) Motivasi; yang menyangkut kebutuhan, minat, serta tujuan individu untuk mempertahankan serta mengembangkan diri. motivasi berhubungan dengan sistem kebutuhan dalam diri manusia serta tekanan-tekanan lingkungan. Dari
uraian
mengenai
aspek-aspek
persiapan
oleh
Asri
Budiningsih, Herman Hudojo, Darwis A. Soelaiman, dan Wasty Soemanto, dapat disimpulkan bahwa persiapan belajar siswa dapat dikategorikan menjadi tiga aspek, yaitu persiapan fisik, persiapan mental, dan persiapan intelektual. Persiapan fisik mengandung arti bahwa siswa dalam melakukan kegiatan belajar tidak mengalami kekurangan atau halangan/cacat fisik, sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Persiapan mental meliputi motivasi belajar siswa yang menyangkut kebutuhan, minat, dan tujuan siswa untuk mempertahankan serta mengembangkan diri. Persiapan intelektual meliputi (1) tingkat kematangan intelektual; (2) latar belakang pengalaman dan keberhasilan; serta (3) struktur pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya.
26
Untuk membantu pengamatan terhadap aspek persiapan intelektual siswa, akan digunakan pula fase-fase dalam proses belajar siswa menurut Gagne sebagai indikator persiapan intelektual siswa. Namun, sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu mengenai teori pengolahan informasi menurut Winkel (2007: 342-345) yang menjelaskan satuan struktural dan subprosesnya sebagai berikut: Tabel 1. Teori Pengolahan Informasi Menurut Winkel Satuan Struktural a. Receptor
Subproses Menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi rangsangan neural. b. Sensory Menampung kesan-kesan sensoris dan Register mengadakan seleksi, sehingga terbentuk suatu kebulatan perseptual. c. Shor-Term Menampung hasil pengolahan perseptual dan Memory (STM) menyimpannya. Informsi tertentu disimpan lebih lama dan diolah untuk menemukan maknanya. d. Long-Term Menampung hasil pengolahan informasi yang Memory (LTM) berada di STM dan menyimpannya sebagai informasi siap pakai pada saat dibutuhkan (working memory). Informasi dapat dikebalikan STM (Working ke STM atau langsung diteruskan ke pusat Memory) perencanaan reaksi/jawaban. e. Response Menampung informasi yang tersimpan dalam Generator LTM dan mengubahnya menjadi reaksi /jawaban f. Effector Menampung hasil perencanaan dan melaksanakan rencana dalam bentuk tindakan dan perbuatan, diberikan prestasi yang menampakkan hasil belajar. Sumber: Winkel. (2007). Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi. Halaman 342-345. Kemudian Gagne (dalam Winkel, 2007: 354) menjelaskan fasefase dalam proses belajar sebagai berikut: a. Menaruh Perhatian (Attention, Aertness) Siswa khusus memperhatikan hal yang akan dipelajari, sehingga konsentrasi terjamin. b. Menyadari Tujuan Belajar (Motivation, Epectancy) 27
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Siswa sadar akan tujuan instruksional dan bersedia melibatkan diri. Menggali dari LTM (Retrieval to Working Memory) Siswa mengingat kembali dari ingatan jangka panjang apa yang sudah diketahui/dipahami/dikuasai tentang pokok bahasan yang sedang dipelajari. Berpersepsi Selektif (Selection Perception) Siswa mengamati unsur-unsur dalam perangsang yang relevan bagi pokok bahasan. Siswa memperoleh pola perseptual. Mengolah Informasi di STM (Encoding Entry to Storage) Siswa memberikan makna pada pola perseptual LTM dengan membuat informasi sungguh berarti, antara lain dengan menghubungkan. Menggali informasi dari LTM (Responding to Question or Task) Siswa membuktikan melalui suatu prestasi kepada guru dan diri sendiri bahwa pokok bahasan telah dikuasi; memberikan indikasi bahwa tujuan instruksional khusus pada dasarnya telah dicapai. Mendapatkan Umpan Balik (Feedback, Reinforcement) Siswa mendapat penguatan dari guru kalau prestasinya tepat, mendapat koreksi kalau prestasinya salah. Memantapkan Hasil Belajar (Frequent Retrieval, Transfer) Siswa mengerjakan berbagai tugas untuk mengakarkan hasil belajar. Siswa mengadakan transfer belajar. Siswa mengulangulang kembali.
Aspek persiapan fisik, mental, dan intelektual adalah aspek-aspek yang akan menjadi perhatian dalam penelitian ini. Namun, ada pengecualian pada aspek persiapan fisik dan aspek intelektual khusus pada tingkat kematangan intelektual siswa karena dianggap semua siswa yang menjadi subyek penelitian ini telah memiliki persiapan fisik dan tingkat kematangan intelektual yang sama dan sesuai dengan usianya. Sehingga, aspek yang akan menjadi perhatian dalam penelitian adalah aspek persiapan mental dan aspek persiapan intelektual seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
28
4. Analisis Persiapan Siswa dalam Menghadapi Tes Hasil Belajar Pelajaran Matematika Fokus masalah dalam penelitian ini adalah persiapan siswa dalam menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika. Fokus masalah tersebut merupakan suatu masalah yang dinamis dan dimungkinkan untuk berkembang saat peneliti memasuki lapangan. Sehingga, perlu adanya metode penelitian yang mampu menganalisis persiapan siswa dalam menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika, yaitu metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif bukan menguji teori tetapi bersifat menemukan teori, yaitu menemukan teori berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Selanjutnya, metode penelitian kualitatif akan disebut dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, populasi disebut dengan situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi karena berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan digeneralisasikan ke populasi tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari. A
Transferabili ty
B C D
E F
Gambar 2. Model generalisasi penelitian kualitatif. Dari hasil A dapat ditransferkan hanya ke B, C, dan D. 29
Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai sumber data, narasumber, partisipan, atau informan. Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maskimum, bukan untuk digeneralisasikan. Teknik sampling
(teknik
pengambilan sampel) dalam penelitian kualitatif biasanya menggunakan purposive sampling atau showball sampling (Sugiyono, 2013: 218). Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertembingan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan sehingga akan memudahkan peneliti menjelajah objek/situasi sosial yang diteliti. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit tetapi lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian, jumlah sampel sumber data akan semakin besar seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar. Penentuan sampel dianggap telah memadai jika telah sampai pada taraf redundancy (datanya telah jenuh dan sampel tidak lagi memberikan informasi yang baru), artinya bahwa dengan menggunakan sumber data selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan informasi baru yang berarti.
30
Terdapat dua hal yang mempengaruhi kualitas hasil penelitian kualitatif, yaitu kualitas instrumen penelitian dan pengumpulan data. Instrumen atau alat penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri (Sugiyono, 2013: 222).. Peneliti adalah key instument atau alat peneliti utama sebab hanya manusia sebagai instrumen yang dapat memahami makna interaksi antar-manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan, dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatanperbuatan responden (Nasution, 2003: 9). Maka, peneliti sebagai instrumen juga harus divalidasi yang dilakukan oleh peneliti sendiri dengan cara evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori, wawasan terhadap bidang yang diteliti, dan bekal memasuki lapangan. Peneliti sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas semuanya. Secara umum, ada 4 teknik pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi/gabungan. Untuk teknik pengumpulan data dengan wawancara, Esterberg (Sugiyono, 2013: 233234) mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu: a.
Wawancara terstruktur, yaitu peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Sebelum wawancara, peneliti telah menyiapkan instrumen penelitian berupa
31
pertanyaan-pertanyaan yang tertulis dan alternatif jawabannya pun telah dipersiapkan; b.
Wawancara semiterstruktur, yaitu jenis wawancara yang sudah lebih bebas pelaksanaannya dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara ini untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dimana pihak sumber data dimintai pendapat atau ide-idenya. Sehingga, peneliti perlu mendengarkan dengan teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh sumber data;
c.
Wawancara tak terstruktur, yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap tetapi berupa garis-garis besar permasalahan. Wawancara tidak terstruktur sering digunakan dalam penelitian pendahuluan atau malahan untuk penelitian yang lebih mendalam tentang subyek yang diteliti. Maka, peneliti dapat mengajukan berbagai pertanyaan yang semakin mengarah pada suatu tujuan tertentu. Sanapiah Faisal (Sugiyono, 2013: 226-228) membagi teknik
observasi menjadi: a.
Observasi partisipatif (participant observation), yaitu peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh
32
sumber data sehingga data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak. Makna berarti data di balik yang tampak. Misalnya, peneliti dapat memahami siswa yang diam saja mendengarkan penjelasan guru padahal dia sebenarnya belum paham dengan apa yang disampaikan oleh guru. b.
Observasi yang secara terang-terangan dan tersamar (overt and covert observation), yaitu peneliti menyatakan terus terang kepada sumber data bahwa sedang melakukan pengumpulan data tetapi dalam suatu saat peneliti juga tidak terus terang atau tersamar untuk menghindari kalau suatu data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan. Kemungkinan kalau dilakukan terus terang, maka peneliti tidak akan diijinkan untuk melakukan observasi;
c.
Observasi yang tak terstruktur (unstructured observation), yaitu observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati. Dalam melakukan pengamatan, peneliti tidak menggunakan instrumen yang ada tetapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan. Oleh karena itu, peneliti dapat melakukan pengamatan bebas, mencatat apa yang tertarik, melakukan analisis, dan kemudian dibuat kesimpulan. Teknik pengumpulan data selanjutnya adalah dokumentasi.
Dokumen adalah catatan peristiwa yang telah berlalu. Dokumen bisa
33
berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan teknik observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Teknik yang terakhir adalah triangulasi, yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari bebagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Ada 2 macam triangulasi, yaitu triangulasi teknik dan triangulasi sumber. Triangulasi teknik yaitu peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Triangulasi sumber yaitu mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data sekaligus mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang selanjutnya akan dijelaskan pada bagian uji keabsahan data. Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi) dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh, artinya sampel tidak lagi memberikan informasi yang baru. Setelah memperoleh data, hal yang harus diketahui selanjutnya adalah analisis data. Sugiyono (2013: 244) menjelaskan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara
34
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unitunit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, serta membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Proses analisis data dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Namun dalam kenyataanya, analisis data kualitatif berlangsung selama proses pengumpulan data dari pada setelah selesai pengumpulan data. Proses analisis tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Sebelum memasuki lapangan, analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian; b. Analisis data di lapangan model Miles dan Huberman, yaitu analisis dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam waktu tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai tahap tertentu, yaitu diperoleh data yang kredibel. Miles dan Huberman menjelaskan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan terus menerus sampai tuntas sehingga datanya jenuh. Aktivitas dalam analisis data tersebut adalah data reduction,
35
data display, dan conclusion drawing/verification yang dijelaskan sebagai berikut (Emzir, 2012: 129-135): 1) Data Reduction (Reduksi Data) Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya banyak, maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks, dan rumit. Sehingga, perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, membuang data yang tidak diperlukan, memfokuskan pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya. Reduksi data merupakan proses berpikir sensitif yang memerlukan kecerdasan, keluasan, dan kedalaman wawasan yang tinggi. Bagi peneliti yang masih baru, dalam melakukan reduksi data dapat mendiskusikan pada teman atau orang yang dipandang ahli. Melalui diskusi tersebut, wawasan peneliti akan berkembang sehingga dapat mereduksi data-data yang memiliki nilai temuan dan pengembangan teori yang signifikan. 2) Data Display (Penyajian Data) Setelah
data
direduksi,
langkah
selanjutnya
adalah
menyajikan data. Miles dan Huberman (dalam Emzir, 2012: 131) mengatakan bahwa yang sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat
36
naratif. Akan tetapi, penyajian datadapat pula dibantu dengan tabel, grafik, matrik, atau network (jaringan kerja). Dengan menyajikan data, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami dan dapat merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. 3) Conlusion Drawing/verification Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali
ke
lapangan
untuk
mengumpulkan
data,
maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan yang baru dan sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal/interaktif, hipotesis, atau teori. Setelah peneliti menentukan fokus masalah, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, maka yang sangat penting selanjutnya dalam penelitian kualitatif adalah uji keabsahan data. Uji keabsahan data dalam penelitian, sering ditekankan hanya pada uji
37
validitas dan reliabilitas. Menurut Sugiyono (2013: 270-277), uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (objektivitas) yang dijelaskan sebagai berikut: a.
Uji Credibility Uji Credibility atau uji kredibilitas disebut dengan validitas internal dalam penelitian kuantitatif. Uji kredibilitas berkenaan dengan derajad akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai. Uji kredibilitas atau kepercayaan data terhadap hasil penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, menggunakan bahan referensi, analisis kasus negatif, dan membercheck yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Perpanjangan Pengamatan Perpanjangan
pengamatan
dapat
meningkatkan
kepercayaan data karena dengan perpanjangan data tersebut, peneliti kembali ke lapangan untuk melakukan pengamatan dan wawancara dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru sehingga antara peneliti dan narasumber semakin terbentuk rapport, semakin akrab (tidak ada jarak lagi), semakin terbuka, saling mempercayai, sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan lagi. Bila telah terbentuk rapport, maka telah
38
terjadi kewajaran dalam penelitian karena kehadiran peneliti tidak lagi menganggu perilaku yang dipelajari. Perpanjangan pengamatan sebaiknya difokuskan pada pengujian terhadap data yang telah diperoleh, apakah data yang diperoleh itu setelah dicek kembali ke lapangan benar atau tidak, berubah atau tidak. Bila setelah dicek kembali ke lapangan data sudah benar yang berarti kredibel, maka waktu perpanjangan pengamatan dapat diakhiri. 2) Meningkatkan Ketekunan Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut, maka kepastian data dan urutan peristitwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis. Selain itu, peneliti dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati. Sebagai bekal peneliti untuk meningkatkan ketekunan adalah dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti sehingga wawasan peneliti akan semakin luas dan tajam yang dapat digunakan untuk memeriksa data yang ditemukan itu apakah dapat dipercayai atau tidak.
39
3) Triangulasi Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber, cara, dan waktu. Dengan demikian, terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu. 4) Analisis Kasus Negatif Kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai atau berbeda dengan hasil penelitian pada saat tertentu. Dengan analisis kasus negatif, peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan, maka data yang ditemukan sudah dapat dipercaya. 5) Menggunakan Bahan Referensi Bahan
referensi
adalah
adanya
pendukung
untuk
membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Data-data yang ditemukan perlu dilengkapi dengan foto-foto atau dokumen autentik sehingga dapat lebih dipercaya. 6) Mengadakan Membercheck Membercheck adalah
proses pengecekan data
yang
diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan membercheck adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data berarti
40
data tersebut valid, sehingga semakin kredibel/dipercaya. Namun, apabila data yang ditemukan peneliti dengan berbagai penafsirannya tidak disepakati oleh pemberi data, maka peneliti perlu melakukan diskusi dengan pemberi data dan apabila perbedaannya tajam, maka peneliti harus mengubah temuannya dan harus menyesuaikan dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Jadi, tujuan membercheck adalah agar informasi yang diperoleh dan akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaskud sumber data. b.
Uji Transferability Uji transferability atau uji transferabilitas disebut dengan validitas eksternal dalam penelitian kuantitatif. Uji transferabilitas menunjukkan derajad ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi di mana sampel tersebut diambil. Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan, hingga mana hasil penelitian dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi lain. Peneliti sendiri tidak dapat menjamin nilai transfer ini. Oleh karena itu, supaya orang lain dapat memahami hasil penelitian kualitatif sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian tersebut,
maka
peneliti
dalam
membuat
laporannya
harus
memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan demikian, pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian
41
tersebut dan dapat memutuskan apakah hasil penelitian tersebut dapat diaplikasikan di tempat lain atau tidak. c.
Pengujian Depenability Dalam penelitian kuantitatif, depenability disebut reliabilitas. Suatu penelitian yang reliabel adalah apabila orang lain dapat mengulangi/mereplikasi proses penelitian tersebut. Uji depenability atau uji depenabilitas dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh auditor yang independen atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah/fokus, memasuki
lapangan, menentukan
sumber data, melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan data, sampai dengan membuat kesimpulan harus dapat ditunjukkan oleh peneliti. Jika peneliti tidak dapat menunjukkan “jejak aktivitas lapangannya”, maka depenability penelitiannya patut diragukan (Sanapiah Faisal, dalam Sugiyono, 2013: 277). d.
Uji Konfirmability Uji konfirmability dalam penelitian kuantitatif disebut dengan uji objektivitas. Penelitian dikatakan objektif jika hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Uji konfirmability mirip dengan uji depenability
sehingga
pengujiannya
dapat
dilakukan
secara
bersamaan. Menguji konfirmability berarti menguji hasil penelitian yang dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian
42
merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmability. Dalam penelitian, jangan sampai proses tidak ada tetapi hasilnya ada. Karena penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persiapan siswa dalam menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika yang dilakukan dengan metode penelitian kualitatif, maka diperlukan penulisan laporan yang mampu menjelaskan hasil analisis persiapan siswa tersebut dengan jelas. Maka dalam penulisan laporan penelitian ini, dapat digunakan jenis penelitian deskriptif untuk mendeskripsikan seluruh proses penelitian dari
awal
hingga
akhir.
Penelitian
deskriptif
ditujukan
untuk
mengeksplorasi suatu keadaan atau fenomena yang ada secara mendalam dengan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti untuk menemukan teori berdasarkan data yang dikumpulkan dari keadaan atau fenomena tersebut (Sanapiah Faisal, 2008: 20-21). Penelitian ini mengembangkan pertanyaan dasar apa dan bagaimana kejadian itu terjadi, siapa yang terlibat dalam kejadian tersebut, kapan terjadinya, atau di mana terjadinya. Oleh karena itu, penelitian deskriptif sangat cocok jika penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif. Uraian tentang masalah, fokus, populasi, sampel, instrumen, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan uji keabsahan data penelitian kualitatif serta penulisan laporan penelitian dengan jenis penelitian deskriptif yang telah dijelaskan sebelumnya menjadi panduan bagi
43
peneliti dalam melaksanakan penelitian yang akan dijelaskan lebih rinci dalam metode penelitian, pembahasan, dan kesimpulan skripsi ini.
B. Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian yang telah ada dan relevan dengan penelitian ini, yaitu: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Eliya Fitriana (2013) dengan judul “Hubungan Antara Persiapan Belajar dengan Hasil Belajar Matematika Warga Belajar Kelas XI Kelompok Belajar Paket C SKB Bondowoso Semester Genap Tahun Pelajaran 2012-2013”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa antara perhatian belajar dengan hasil belajar terdapat tingkat korelasi sedang yaitu sebesar 0,586, antara motivasi belajar dengan hasil belajar terdapat tingkat korelasi sedang yaitu sebesar 0,481, dan antara perkembangan persiapan dengan hasil belajar terdapat tingkat korelasi kuat yaitu 0,775. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa yang memiliki pengaruh paling besar terhadap hasil belajar adalah perkembangan persiapan.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Danu Jati Pradipta (2013) dengan judul “Analisis Cara Belajar Matematika Siswa pada Materi Garis dan Sudut di SMP Negeri 3 Gamping”. Dari hasil penelitian tersebut, diantaranya menunjukkan bahwa (1) siswa mempersiapkan peralatan (penggaris, busur derajat, dan jangka; (2) siswa tidak mempelajari dahulu materi yang akan diberikan saat proses pembelajaran garis dan sudut, (3) siswa
44
mengerjakan soal-soal latihan materi garis dan sudut, (4) siswa mencatat hal-hal penting, (5) siswa mengerjakan PR garis dan sudut, (6) siswa berdiskusi dengan teman sebangku dalam mengerjakan soal dan memahami materi garis dan sudut, (7) siswa tidak mempelajari kembali catatan garis dan sudut, (8) siswa mempelajari bahan ujian garis dan sudut secara mendadak, (9) siswa tidak menambah waktu belajar ketika akan melaksanakan ujian garis dan sudut (10) siswa mengerjakan soal ujian garis dan sudut dengan kemampuan sendiri, (11) siswa tidak membuat rencana belajar di rumah. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Eliya Fitriana menunjukkan bahwa yang memiliki pengaruh paling besar terhadap hasil belajar matematika adalah perkembangan persiapan sehingga hasil tersebut mendukung perlunya penelitian terhadap persiapan siswa menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika sebagai alat evaluasi untuk menilai hasil belajar siswa. Sedangkan hasil penelitian yang dilalukan oleh Danu Jati Pradipta mengenai cara belajar matematika siswa akan digunakan peneliti sebagai panduan dalam mengamati perilaku siswa selama proses belajar matematika dan menjadi bagian dari pedoman wawancara.
C. Kerangka Berpikir Suatu proses selalu membutuhkan penilaian untuk menilai apakah proses tersebut berhasil atau tidak. Demikian pula dengan proses belajar siswa di sekolah. Keberhasilan belajar siswa di sekolah dinilai dapat berhasil
45
jika telah mencapai tujuan-tujuan pembelajaran di sekolah yang secara spesifikasi menjadi tujuan pembelajaran di setiap pelajaran dan dalam hal ini dikhususkan dalam pelajaran matematika. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu alat evaluasi pencapaian hasil belajar pelajaran matematika, yaitu dengan tes hasil belajar siswa melalui ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester untuk pelajaran matematika. Berdasarkan ulangan harian pokok bahasan statistika, sebagian besar siswa Kelas XI IPS 1 dan XI IPS 2 belum tuntas menurut KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum), yaitu 75. Seluruh siswa Kelas XI IPS 1 dan XI IPS 2 juga tidak ada yang tuntas dalam Ulangan Tengah Semester Ganjil Tahun Ajaran 2015/2016 pada pelajaran matematika menurut KKM. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kurang baik dalam mempersiapkan diri menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika. Selain itu, kurang baiknya siswa dalam mempersiapkan diri menghadapi tes hasil belajar juga ditunjukkan bahwa (1) beberapa siswa sudah lupa dengan materi yang belum lama dipelajari, (2) beberapa siswa mengaku tidak paham dengan materi yang diajarkan oleh guru karena menurut siswa penjelasannya yang kurang dapat dipahami, (3) adanya siswa yang mengaku tidur selama pelajaran walaupun guru sudah menegurnya, (4) ada siswa yang mengaku masih menggunakan cara belajar sistem kebut semalam, dan (5) dalam menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika, siswa lebih memilih belajar pelajaran lain, tidak belajar matematika sama sekali, belajar matematika hanya dengan dibaca, kebiasaan menghindari atau tidak mengerjakan soal-soal matematika yang
46
sukar selama proses belajar. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis terhadap persiapan siswa menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika. Untuk memperoleh data tentang persiapan siswa dalam menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika, maka peneliti menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi baik sumber maupun teknik secara langsung kepada siswa untuk memperoleh kesesuaian data. Setelah data terkumpul, dilaksanakan analisis data meliputi reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan dari data-data persiapan belajar siswa dalam menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika. Dengan mengetahui bagaimana persiapan siswa dalam menghadapi tes hasil belajar pelajaran matematika, maka siswa dapat mengevaluasi diri untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik dan optimal. Guru juga dapat menjadikannya
sebagai
acuan
untuk
menentukan
strategi-strategi
pembelajaran yang tepat dan lebih baik dari sebelumnya guna menunjang keberhasilan siswa belajar matematika. Kerangka berpikir ditunjukkan dalam Gambar 3 berikut ini.
47
Tidak ada siswa yang tuntas menurut KKM dalam UTS pelajaran matematika
Proses belajar
siswa mengaku: • Lupa • Tidak paham dengan materi yang dijelaskan oleh guru • Belajar saat menghadapi ujian saja • dll
Pelajaran Matematika
melihat ketercapaian tujuan pembelajaran matematika
Evaluasi melalui tes hasil belajar
Siswa kurang siap
Perlunya Analisis Persiapan Siswa
Observasi
Wawancara
Dokumentasi
T r i a n g u l a s i
Diperoleh Data
Analisis Data: 1. Reduksi Data 2. Penyajian Data 3. Penarikan Kesimpulan
Hasil Analisis Persiapan Siswa
Gambar 3. Kerangka Berpikir
48