BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep Teoretis 1. Pengembangan Evaluasi Ranah Afektif Siswa a. Pengertian Evaluasi Ranah Afektif Kata evaluasi berasal dari kata “to evaluate” yang berarti menilai1 dalam bahasa arab Al-Taqdir yaitu penilaian.2 Evaluasi adalah kata indonesiasi dari kata evaluation (Inggris) yang diterjemahkan menjadi penilaian. Evaluasi pembelajaran mengandung dua makna, yaitu:
(1)
measurenment,
dan
(2)
evaluation.
Measurement
(pengukuran) merupakan suatu proses untuk memperoleh gambaran beberapa angka dan tingkatan ciri yang dimiliki individu. Evaluation merupakan
suatu
proses
mengumpulkan,
menganalisis
dan
menginterpretasikan informasi guna menetapkan keluasan pencapaian tujuan oleh individu.3 Menurut Wand and Brown yang dikutip oleh Wina Sanjaya mendefinisikan evaluasi sebagai “…refer to the act process to determining the value of something”. Evaluasi mengacu kepada suatu proses untuk menentukan nilai sesuatu yang dievaluasi.4 Menurut istilah evaluasi berarti kegiatan yang terencana untuk mengetahui
1
Ramayulis, 2005, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia,h. 367 Mudasir, 2012, Desain Pembelajaran, Pekanbaru: STAI Nurul Falah Press, h. 156 3 Ramayulis, Op.cit.,h. 368 4 Wina Sanjaya, 2005, Pembelajaran Implementasi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, h. 181 2
keadaan suatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan
dengan
kesimpulan.5
Dalam
tolok arti
ukur
tertentu
luas, evaluasi
guna
memperoleh
adalah suatu proses
merencanakan memperoleh dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan.6 Menurut Daryanto, evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan dalam pribadi siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri siswa.7 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa evaluasi secara umum dapat diartikan sebagai kegiatan atau proses yang sistematis dimulai dengan mengumpulkan sejumlah informasi dari siswa kemudian mengambil keputusan untuk menentukan nilai sesuai dengan kemampuan siswa. Jika dikaitkan dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam maka evaluasi adalah proses pengumpulan data dengan cara memberikan tes atau dengan teknik non tes untuk selanjutnya dianalisis dan mengambil keputusan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 2-3 yang berbunyi :
5
Mudasir, Op.cit. h. 156 Ngalim Purwanto, 2002, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung: Remaja Rosdakarya, h. 3 7 Daryanto, Op.cit. h. 2 6
“ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan ‘ kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?. dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum merka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orangorang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Dalam ayat yang ke-2, menjelaskan apakah orang-orang berpikir bahwa mereka akan ditinggalkan sendirian karena mereka mengatakan: "Kami percaya,'' dan tidak akan diuji. Ini adalah teguran dalam bentuk pertanyaan, yang berarti bahwa Allah pasti akan menguji-Nya sesuai dengan tingkat iman mereka. Kemudian pada ayat ke-3, menjelaskan bahwa pengikut para nabi terdahulu telah diuji sebagaimana muhammad saw dan para sahabatnya diuji.8 Dari keterangan di atas menunjukkan bahwa Allah telah memberikan penilaian dan pengukuran terhadap iman orang-orang terdahulu melalui cobaan atau ujian yang Allah berikan kepada mereka. Hal itu menunjukkan bahwa evaluasi begitu penting untuk dilaksanakan, pembelajaran belum dianggap selesai dan sempurna jika para peserta didik belum dievaluasi, pengakuan peserta didik
8
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, 2000, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Penerjemah, Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani, h. 714
mengenai penguasaannya terhadap materi pembelajaran tidak cukup, tetapi mereka mesti diuji atas pengakuannya tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan ranah afektif ialah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan, bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahan-perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi.9 Menurut Ramayulis ranah afektif sangat penting dicapai dalam proses pembelajaran. Ranah afektif mengandung seperangkat nilai (value) dan
nilai-nilai
inilah
yang
diinternalisasikan
dalam
proses
pembelajaran.10 Menurut Abdul Majid, afektif adalah pembinaan sikap mental (mental attitude) yang mantap dan matang sebagai penjabaran dari sikap amanah Rasulullah.11 Indikator dari seseorang yang mempunyai kecerdasan afektif adalah sikapnya yang selalu ingin menampilkan sikap ingin dipercaya (kredibel), menghormati dan dihormati. Pendidikan agama justru mempunyai kepentingan yang besar dengan aspek ini karena lebih menekankan kepada pembentukan kepribadian, pembentukan sikap, pembentukan karakter, pemupukan perasaan, penyempurnaan akhlak, penanaman keimanan dan ketakwaan.Oleh
9
Anas sudijono, Op.cit, h. 49 Ramayulis, Op.cit., h. 394 11 Abdul Majid, 2006, Perencanaan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, h. 76. 10
karena itu, sangat perlu dilaksanakan evaluasi afektif ini yang memang tampaknya belum begitu mendapat perhatian. Jadi evaluasi ranah afektif mata pelajaran Pendidikan Agama Islam adalah proses kegiatan pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan instrumen tentang sikap, nilai, kepribadian, serta akhlak siswa baik dalam pembelajaran ataupun diluar pembelajaran Pendidikan Agama Islam. b. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Ranah Afektif Evaluasi afektif adalah suatu kegiatan yang direncanakan dan mempunyai tujuan. Sebelum guru melakukan evaluasi, harus terlebih dahulu merumuskan tujuan bagaimana dan untuk apa evaluasi itu dilakukan. Adapun tujuan dilaksanakannya kegiatan evaluasi, secara umum ada dua, yaitu: 1) Untuk mengetahui tingkat perubahan tingkah laku siswa yang dicapai yang antara lain diperlukan sebagai bahan bagi perbaikan tingkah laku siswa, pemberian laporan kepada orang tua dan penentuan lulus tidaknya siswa.12 Dalam Al-Quran surat an-Naml ayat 40 dijelaskan sebagai berikut:
12
Suharsimi Arikunto, 2003, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, h. 178.
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah bersyukur atau mengingkari (akan nikmatNya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia. (Q.S. an-Naml : 40) 2) Untuk mengukur dan menilai sampai dimanakah efektivitas mengajar dan metode-metode mengajar yang telah disampaikan atau dilaksanakan oleh guru serta kegiatan belajar yang dilaksanakan oleh siswa.13 Setiap kegiatan pembelajaran, seorang guru akan memilih metode apa yang akan digunakan dalam menyampaikan materi pelajaran, apabila setelah dievaluasi ternyata hasilnya banyak siswa yang tidak menguasai materi, maka hal ini menjadi umpan balik bagi guru untuk mengadakan suatu perbaikan dalam pembelajaran berikutnya. Selain tujuan evaluasi diatas, evaluasi juga mempunyai fungsi danfungsi ini harus diketahui oleh guru, fungsi tersebut antara lain: 1) Menumbuhkan motivasi belajar siswa. 13
Anas Sudijono, Op.cit, h. 16
Tes-tes yang dikonstruksi secara cermat dapat mendorong motivasi belajar peserta didik.14 Pada umumnya, setiap siswa inginberhasil dalam ujian yang ditempuhnya, bahkan ingin lebih baik dari teman-teman sekelasnya sehingga siswa akan bersaing dengan siswa yang lain untuk memperoleh nilai yang terbaik. Setelah mengetahui hasil ulangannya berbeda atau lebih rendah dari kebanyakan siswa, siswa akan belajar lebih giat lagi. Allah SWT berfirman.
`Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS. Al-Maidah: 48) 2) Penempatan Tes memungkinkan guru untuk mengambil keputusan mengenai klasifikasi dan penempatan terhadap siswa.15 Kemampuan siswa berbede-beda, hal ini dapat dilihat dari latar belakang karakteristik siswa yang melekat pada sikap dan tingkah lakunya ketika proses kegiatan pembelajaran berlangsung. 3) Menentukan kelulusan siswa Setelah kegiatan evaluasi selesai dan data-data hasil evaluasi terkumpul dan dianalisis, maka kegiatan selanjutnya adalah mengambil keputusan terhadap siswa apakah diluluskan semua
14
Oemar Hamalik, 1989, Teknik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan, Bandung: Mandar Maju, h. 7. 15 Suharsimi Arikunto, Op. cit., h. 178.
atau tidak. Keputusan kelulusan ini disesuaikan dengan masingmasing nilai hasil evaluasi belajar siswa. c. Aspek-aspek yang di nilai dalam Ranah Afektif Ranah afektif ini berhubungan dengan sikap mental, perasaan dan kesadaran siswa. Hasil belajar dalam ranah ini diperoleh melalui proses internalisasi, yaitu suatu proses ke arah pertumbuhan rohaniah dan batiniyah siswa. Pertumbuhan itu terjadi ketika siswa menyadari suatu “nilai” yang terkandung dalam pengajaran agama dan kemudian nilai-nilai dijadikan suatu “sistem nilai diri” sehingga menuntut segenap pernyataan sikap, tingkah laku dan perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan ini. Ranah afektif ini oleh Krathwohl dan kawan-kawan di taksonomi menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu:16 1) Receiving / Attending (menerima atau memperhatikan) Pada aspek ini peserta didik memiliki keinginan untuk memperhatikan suatu fenomena khusus (stimulus). Di sini seorang guru hanya bertugas mengarahkan perhatian (fokus) peserta didik pada fenomena yang menjadi obyek pembelajaran afektif. Misalnya guru mengarahkan dan memotivasi peserta didik untuk membaca buku, mengerjakan tugas, memberi motivasi belajar, senang bekerja sama dan lain sebagainya. 2) Responding (tanggapan) Merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya.Pada peringkat ini peserta didik tidak hanya memperhatikan fenomena khusus tetapi juga beraksi terhadap fenomena yang ada. Peringkat tertinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus. Misalnya senang bertanya, 16
Mimin Haryati, 2007, Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press, h.h. 36-37
senang membaca buku, senang membantu sesama, senang dengan kebersihan dan lain sebagainya. 3) Valuing (menilai) Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangnya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Hasil belajar pada peringkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi. 4) Organization (organisasi) Pada peringkat ini antara nilai yang satu dengan nilai yang lain dikaitkan dan konflik antar nilai diselesaikan, serta mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Misalnya pengembangan filsafat hidup. 5) Characterization (karakter) nilai Pada peringkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada suatu waktu tertentu hingga terbentuk pola hidup. Hasil belajar pada peringkat ini adalah berkaitan dengan emosi dan rasa sosialis. Dari kelima jenjang inilah, seorang guru harus mengetahui sampai tingkat mana perubahan yang di alamai oleh siswa. Karena, ketika siswa telah menguasai lima tingkatan di atas maka kemampuan afektif pada siswa dapat diukur. Selain aspek-aspek afektif diatas, ada beberapa prilaku ranah afektif sebagaimana yang dikemukakan oleh Mimin Haryati, yaitu ada lima aspek penting diantaranya sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral.17 Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut: a) Sikap Sikap dapat didefinisikan sebagai suatu predisposisi atau kecenderungan untuk melakukan suatu respon dengan cara-cara 17
Mimin Haryati, Ibid., h. 38.
tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu-individu maupun objek-objek tertentu. Sikap ini akan memberi arah kepada perbuatan atau tindakan seseorang.18 Sikap anak-anak terhadap sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap berhasil tidaknya pendidikan anakanak di sekolah. Sikap yang sangat positif terhadap sekolah, guru-guru, teman-teman dan sebagainya akan merupakan dorongan yang besar bagi anak untuk mengadakan hubungan yang baik. Dengan hubungan yang baik ini akan dapat melancarkan proses pendidikan di sekolah. Sebaliknya sikap yang negatif akan menyebabkan terjadinya hubungan yang tidak baik.19 Sikap dapat dibentuk melalui : (1) Mengamati (2) Menirukan sesuatu yang positif, (3) Melalui penguatan (4) Menerima informasi. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap siswa terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik dan sebagainya. Sikap siswa terhadap mata pelajaran, misalnya Pendidikan Agama Islam harus lebih positif setelah siswa mengikuti pembelajaran Pendidikan Agama Islam dibanding sebelum mengikuti 18
Wayan Nurkancana dan P.P.N. Sumartana, Evaluasi Pendidikan,Surabaya: Usaha Nasional, h. 275 19 Ibid., h. 276
pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. b) Minat Menurut kamus besar bahasa Indonesia, minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu.20 Minat senantiasa erat hubungannya dengan perasaan individu, objek, aktivitas dan situasi. Minat sangat erat hubungannya dengan kebutuhan. Misalnya
seorang
anak
laki-laki
sedang
berkembang
yang
membutuhkan pertumbuhan fisik akan menaruh minat terhadap aktivitas-aktivitas fisik, seperti sepak bola, basket, dan aktivitasaktivitas lainnya yang dapat mempercepat pertumbuhan fisiknya. Minat timbul dari kebutuhan anak-anak akan merupakan faktor pendorong bagi anak dalam melaksanakan usahanya. Jadi dapat dilihat bahwa minat sangat penting dalam pendidikan, sebab merupakan sumber dari usaha. Anak-anak tidak perlu mendapat dorongan dari luar, apabila pekerjaan yang dilakukannya cukup menarik minatnya.21 c) Konsep Diri Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang, tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif dan intensitasnya bisa 20 21
W. J. S. Poerwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, h. 583 Wayan Nurkancana dan P.P.N. Sumartana, Op. cit., h. 230
dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir siswa, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi siswa. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar siswa dengan tepat. d) Nilai Nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu. Definisi lain tentang nilai yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu siswa menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi siswa untuk memperoleh
kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat. e) Moral Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
d. Langkah-langkah Pelaksanaan Evaluasi Ranah Afektif Pelaksanaan evaluasi dilakukan pada setiap mata pelajaran yang ada dalam satuan pendidikan, termasuk Pendidikan Agama Islam. Dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 pasal 22 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa : (1) Penilaian hasil Pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan Kompetensi Dasar yang harus dikuasai. (2) Teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok.22 Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan
22
http://google.com/peraturan-pemerintah-no-32-tahun-2013- tentang-standar-pendidikan-nasional, diakses pada tanggal 13 April 2014 pukul 14.28 WIB
belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran.23 Penilaian tersebut meliputi sebagai berikut : a) Perencanaan evaluasi Afektif
Hal yang dilakukan dalam perencanaan evaluasi yaitu menginformasikan silabus mata pelajaran yang didalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester. Setelah itu mengembangkan indikator pencapaian kompetensi dasar dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran. Hal terakhir dalam perencanaan evaluasi afektif adalah mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih.24 b) Pelaksanaan evaluasi afektif
Pelaksanaan evaluasi afektif dilakukan berdasarkan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Pelaksanaan evaluasi afektif didalam kelas erat kaitannya dengan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Bagaimana
guru
menyampaikan
pelajaran
dengan
baik
dan
pembawaan guru serta sikap guru akan menjadi panutan bagi peserta didik. Dalam kegiatan pembelajaran hal yang harus dilakukan guru adalah mengajar sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Berikut ini adalah komponen dalam RPP, sebagai berikut : (1) Pendahuluan
23
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Permendiknas Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, (Jakarta 2007), h. 12 24 Ibid.
Guru memotivasi siswa untuk fokus terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. (2) Inti Eksplorasi: (a) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas tentang materi yang diajarkan. (b) Menggunakan model pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar. (c) Memfasilitasi terjadinya interaksi antara guru dengan peserta didik. (d) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran. (3) Elaborasi (a) Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam mengenai tugas yang diberikan. (b) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi untuk memunculkan gagasan baru. (c) Memberi
kesempatan
untuk
berfikir,
menganalisis,
menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut (d) Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatifkolaboratif. (4) Konfirmasi
(a) Memberikan umpan balik yang positif, dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik. (b) Memfasilitasi
peserta
didik
melakukan
refleksi
untuk
memperoleh pengalaman belajar yang dilakukan. (c) Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai KD. (5) Penutup Guru merefleksikan untuk mengakhiri proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam. c) Analisis Evaluasi Afektif
Analisis evaluasi ranah afektif dilakukan setelah data dari evaluasi terkumpul. Guru mata pelajaran merumuskan sintesis, sebagai deskripsi dari sikap, perilaku dan unjuk kerja peserta didik dalam semester
tersebut
untuk
mata
pelajaran
yang
bersangkutan.
Berdasarkan catatan-catatan tentang peserta didik yang dimiliki guru, guru mata pelajaran dapat memberi masukan pula kepada guru Bimbingan Konseling untuk merumuskan catatan, baik berupa peringatan atau rekomendasi, sebagai bahan bagi wali kelas dalam mengisi kolom deskripsi perilaku dalam rapor. Catatan guru tersebut menggambarkan sikap atau tingkat penguasaan peserta didik berkaitan dengan mata pelajaran yang ditempuhnya juga perilaku peserta didik
yang perlu mendapat penghargaan/pujian atau peringatan dalam bentuk kalimat naratif. d) Pelaporan evaluasi afektif
Laporan kemajuan hasil belajar peserta didik dibuat sebagai pertanggungjawaban lembaga madrasah kepada orangtua/wali peserta didik, komite madrasah, masyarakat dan instansi terkait lainnya. Laporan tersebut merupakan sarana komunikasi dan kerjasama antara madrasah, orangtua dan masyarakat yang bermanfaat baik bagi kemajuan belajar peserta didik maupun pengembangan madrasah. Laporan kemajuan belajar peserta didik dapat disajikan dalam data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif disajikan dalam angka (skor), misalnya seorang peserta didik mendapat nilai 75 pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Data kuatitatif untuk aspek pengetahuan dan praktik. Sedangkan aspek kompetensi sikap (afektif) dinyatakan dalam bentuk kualitatif, yaitu disajikan bukan dalam bentuk angka, melainkan huruf yang melambangkan nilainya. e. Model/Teknik Evaluasi Ranah Afektif25 1) Observasi Perilaku (pengamatan) Observasi ialah model, metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara
25
Mimin Haryati, Op.cit., h. 63
langsung.26 Dalam observasi penilai (guru) tidak perlu mengadakan komunikasi langsung dengan siswa, karena karakteristik afektif seorang siswa dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan oleh siswa yang dapat ditemukan dalam berbagai tempat baik di kelas ketika siswa mengikuti pelajaran ataupun diluar kelas waktu siswa bermain dan berinteraksi dengan temannya. Observasi dapat dibedakan menjadi 2 bentuk, yaitu : a) Participant observation, yaitu secara teratur pengamat terlibat langsung dalam program atau kegiatan yang diamati.27 Contoh: Observer ingin mengumpulkan informasi bagaimana aktivitas siswa dalam kegiatan diskusi, maka sambil melakukan pengamatan, observer juga merupakan bagian dari peserta diskusi. b) Non-participant observation,
yaitu pengamat
tidak terlibat
langsung dalam kegiatan yang diamati.28 Maksudnya, observer dalam melakukan pengamatan tidak aktif sebagai bagian dari kegiatan itu, akan tetapi ia berperan semata-mata hanya sebagai pengamat saja. Untuk kepentingan observasi, kita perlu membuat pedoman observasi misalnya dalam ceklist, catatan anekdot, dan skala penilaian.
26
M. Ngalim Purwanto, Op.cit., h. 149 Muri Yusuf, Asesmen dan Evaluasi Pendidikan: Pilar Penyedia Informasi dan Kegiatan Pengendalian Mutu Pendidikan, 2011, padang, h. 109 28 Ibid. 27
a) Ceklist (Daftar Cek) Ceklist atau daftar cek adalah pedoman observasi yang berisikan daftar dari semua aspek yang akan diobservasi, sehingga observer tinggal memberi tanda ada atau tidak adanya dengan tanda cek (V) tentang aspek yang diobservasi. b) Catatan Anekdot. Catatan anekdot adalah alat observasi untuk mencatat kegiatankegiatan yang sifatnya luar biasa, sehingga di anggap penting.29 Adapun jenis catatan-catatan anekdot adalah sebagai berikut: a. Catatan anekdot deskriptif. Suatu catatan anekdot yang menggambarkan tingkah laku yang terjadi tanpa disertai komentar atau interpretasi dari guru. b. Catatan anekdot interpretatif. Suatu catatan anekdot yang menggambarkan tingkah laku atau situasi yang telah diobservasi oleh observer dengan di dukung oleh fakta. c. Catatan anekdot evaluatif. Berisi catatan yang menerangkan penilaian berdasarkan ukuran baik buruk, dapat diterima dan tidak dapat diterima.30 b) Skala penilaian (Ratting Scale) Adalah pencatatan gejala menurut tingkatan-tingkatannya, dalam skala penilaian ini observer memberikan penilaian
29
Wina Sanjaya, 2008, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, h. 191 30 Mulyadi, 2010, Evaluasi Pendidikan : Pengembangan Model Evaluasi Pendidikan Agama di Sekolah, Malang: UIN-Maliki Press, h.62
terhadap tingkah laku yang mencakup dalam skala yang telah di susun sebelumnya. c) Alat-alat Mekanis (kamera, tape recorder, video cassette dan sebagainya) 2) Wawancara (Pertanyaan Langsung) Guru dapat menanyakan secara langsung (wawancara) tentang sikap kepada peserta didik yang berkaitan dengan suatu obyek/peristiwa. Contohnya, bagaimana tanggapan peserta didik tentang kebijakan yang baru diberlakukan di sekolah mengenai “Peningkatan Ketertiban”. Kemudian dari jawaban peserta didik guru dapat mengambil kesimpulan tentang sikap peserta didik tersebut terhadap suatu obyek/peristiwa. Dalam penilaian sikap peserta didik, guru dapat menggunakan metode ini melakukan pembinaan terhadap peserta didik. 3) Laporan diri Model/teknik penilaian sikap ini, dimana guru meminta peserta didik
untuk
membuat
laporan/ulasan
yang
berisi
pandangan/tanggapannya tentang suatu masalah, keadaan, atau hal yang menjadi objek sikap.31 Misalnya peserta didik menulis pandangannya tentang “Perkelahian antar sekolah yang banyak terjadi akhir-akhir ini”. Dari ulasan yang dibuat oleh peserta didik dapat dibaca dan dipahami kecenderungan sikap yang dimilikinya.
31
Asep jihad dan Abdul Haris, Op.cit., h. 106
Sebagaimana dikatakan diawal bahwa hasil penilaian sikap dapat digunakan sebagai umpan balik untuk melakukan pembinaan terhadap peserta didik. Guru dapat memantau setiap perubahan perilaku yang dimunculkan peserta didik dengan melakukan pengamatan. Setiap perubahan perilaku peserta didik secara keseluruhan dapat dirangkum dalam lembar pengamatan siswa. 4) Penggunaan skala sikap Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objektertentu. Hasilnya berupa ketegori sikap, yakni mendukung (positif),menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus yang datang kepada dirinya. Skala sikap yang dapat digunakan dalam menilai ranah afektif adalah skala likert, skala thurstone, skala beda semantik (semantic differential). a) Skala Likert Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial.32 Indikator-indikatornya dapat dijadikan titik tolak untuk membuat item instrument yang berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh responden. Setiap jawaban dihubungkan dengan
32
Riduwan, 2004, Statistik untuk Lembaga & Instansi Pemerintah/Swasta, Bandung: Alfabeta, h. 26
bentuk pernyataan atau dukungan sikap yang diungkapkan dengan kata-kata sebagai berikut:33 Pernyataan Positif Sangat setuju (SS) = 5 Setuju (S) =4 Netral (N) =3 Tidak setuju (TS) = 2 Sangat tidak setuju (STS)= 1
Pernyataan Negatif sangat setuju (SS) = 1 setuju (S) = 2 netral (N) = 3 tidak setuju (TS) = 4 sangat tidak setuju (STS) = 5
b) Skala Thurstone Skala ini terdiri atas tujuh kategori dengan ketentuan untuk yang paling besar diberi nilai 7 dan yang paling kecil diberi nilai 1. Contoh instrumen Skala Thurstone: No 1 2 3 4
Pernyataan
1
2
Skala 3 4 5
6
7
Saya senang belajar PAI Belajar PAI sangat bermanfaat Belajar PAI sangat sulit Saya harus mengerjakan tugas PAI
c) Skala Beda Semantic Instrumen ini digunakan untuk mengukur konsep-konsep untuk tiga dimensi. Dimensi-dimensi yang akan diukur dalam kategori: baik-tidak baik, kuat-lemah, dan cepat-lambat atau aktif-pasif, atau dapat juga berguna-tidak berguna.34 Contoh instrument skala beda semantik pada materi PAI Belajar Shalat 33
Ibid, h. 27 Suharsimi Arikunto, Op.cit., h.h. 181-182
34
Menyenangkan Sulit Bermanfaat Menantang Banyak
7 6 5 4 3 2 1 !.....!.....!.....!.....!.....!.....!.....! Membosankan !.....!.....!.....!.....!.....!.....!.....! Mudah !.....!.....!.....!.....!.....!.....!.....! Tdkbermanfaat !.....!.....!.....!.....!.....!.....!.....! Menjengkelkan !.....!.....!.....!.....!.....!.....!.....! Sedikit
2. Kendala-Kendala yang Dihadapi Guru dalam Mengembangkan Ranah Afetkif Siswa Masalah penilaian pendidikan adalah masalah yang selalu implisit dalampekerjaan pendidikan, oleh karena itu sudah seharusnya menjadi bagian pentingdalam kelengkapan keahlian seorang pendidik. Kendala yang dihadapi para pekerja pendidikan saat ini ada beberapa hal, diantaranya : a. Belum adanya rambu-rambu pelaksanaan evaluasi afektif dari pemerintah. Selama ini proses pendidikan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan pada penguasaan pemahaman (kognitif). Akibatnya, upaya dilakukan guru diarahkan bagaimana agar siswa dapat menguasai sejumlah pengetahuan sesuai dengan standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan penguasaan materi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan, baik tingkat sekolah, tingkat wilayah, maupun evaluasi nasional diarahkan kepadakemampuan siswa meguasai mata pelajaran.35
35
Wina Sanjaya, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 286.
b. Evaluasi afektif sangat sulit, karena berkaitan dengan perasaan siswa. Banyak pakar pendidikan yang mengatakan bahwa evaluasi terhadap aspek afektif paling sulit dilakukan. Hasil belajar afektif tidak dapat dilihat atau bahkan diukur seperti halnya dalam bidang kognitif dan psikomotorik. Guru tidak dapat langsung mengetahui apa yang bergejolak dalam hati peserta didik, apa yang ia rasakannya atau dipercayainya. Yang dapat diketahui hanya ucapan dan tingkah laku siswa, seperti pergaulan dan interaksi siswa di sekolah sebagai indikator apa yang terkandung dalam hati siswa.36 c. Instrument evaluasi afektif sulit dikembangkan. Kurangnya pengetahuan dan penguasaan guru terhadap teknik-teknik evaluasi afektif, membuat guru dalam mengevaluasi afektif yaitu dengan melaksanakan pengamatan yang hanya mencatat dalam ingatan guru sejauh mana siswa mencapai tujuan belajar afektifnya, karena menganggap bahwa instrumen evaluasi afektif sulit untuk dikembangkan. d. Guru kurang menguasai dan memahami teknik evaluasi afektif.37 Banyak guru yang telah memiliki kemampuan yang memadai tentang bagaimana cara merumuskan tujuan, bahan pelajaran, memilih dan menentukan
metode pembelajaran, tetapi masih belum memiliki
penguasaan terhadap teknik evaluasi, khususnya evaluasi afektif.
36
S. Nasution, 1995, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: BumiAksara,h 69 Roestiyah N. K, 1994, Masalah Pengajaran, Jakarta: PT. Renika Cipta, h. 80-81
37
Sudah seharusnya sebagai guru profesional memiliki penguasaan terhadap teknik evaluasi afektif ini. e. Evaluasi afektif memerlukan banyak waktu Pelaksanaan evaluasi ranah afektif merupakan evaluasi proses, sehingga dalam pelaksanaannya tidak hanya pada akhir program pembelajaran atau pada akhir semester, evaluasi ini dilakukan guru pada setiap saat, baik dalam jam pelajaran maupun diluar jam pelajaran dan dilaksanakan pada setiap tempat baik di kelas maupun diluar kelas. f. Tidak mudah menciptakan kerja sama dalam evaluasi afektif.38 Kebanyakan guru ingin mengevaluasi aspek afektif dengan caranya sendiri-sendiri sehingga untuk mengadakan kerja sama dengan antara guru bidang studi, kepala sekolah, administrator pendidikan, pengembangan kurikulum sangat sulit untuk dilakukan.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dilakukan dengan maksud untuk menghindari duplikasi pada desain dan temuan peneliti. Disamping untuk menunjukkan keaslian bagi peneliti dalam memilih dan menetapkan desain penelitian yang sesuai karena peneliti memperoleh gambaran dan perbandingan dari desaindesain yang telah dilaksanakan. Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian penulis adalah: 38
Nurul Zuriah, 2007, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, h. 140.
Pada tahun 2013 saudara Siti Sabariah, jurusan Pendidikan Agama Islam melakukan penelitian dengan judul Kemampuan Guru dalam Penilaian Afektif pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Kejuruan Darel al-hikmah Pekanbaru. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa penilaian afektif disekolah itu dikategorikan “cukup baik”. Hal ini dapat dilihat dari jumlah frekuensi jawaban “ya” sebanyak 97 kali dengan presentase (76%) sedangkan frekuensi jawaban “tidak” sebanyak 31 kali dengan presentase (24%). Hal ini menunjukkan jawaban terbanyak adalah “ya”. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan guru dalam penilaian afektif pada mata pelajaran PAIadalah : 1. Faktor intern adalah hal-hal atau keadaan yang datang dari dalam diri guru seperti
kemampuan,
sikap,
pengetahuan,
dan
pengalaman
serta
keterampilan. 2. Faktor kesibukan guru karena kesibukan guru diluar akhirnya mereka tidak sempat lagi membuat lembar format observasi untuk penilaian. 3. Faktor kurang kontrolnya kepala sekolah. Pengontrolan kepala sekolah sangat berpengruh terhadap kemampuan guru dalam penilaian termasuk penilaian afektif. Menurut Imam Muhardika mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau pada tahun 2013 meneliti dengan judul Kompetensi
Pendidik
dalam
Mengembangkan
Ranah
Afektif
pada
Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah Matlabul Ulum Kab. Kampar mengatakan bahwa kompetensi dalam mengembangkan
ranah afektif cukup mampu karena secara kualitatif persentase hanya diperoleh 71 %. Ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi pendidik dalam mengembangkan ranah afektif, yakni : 1. Kurangnya sarana dan prasarana pembelajaran. 2. Pendidik kurang menguasai kelas dalam meningkatkan minat dan sikap pada pembelajaran. 3. Pendidik kurang mampu mengaplikasikan materi pembelajaran dalam kehidupan. 4. Pendidik kurang mendapat perhatian dalam mengembangkan ranah afektif. Meskipun daridua penelitian di atas sama-sama membahas masalah penilaian afektif seperti yang penulis lakukan sekarang,
namun fokus
penelitiannya sangat berbeda. Siti Sabariah meneliti tentang kemampuan guru dalam penilaian afektif, kemudian Imam Muhardika meneliti tentang kompetensi
pendidik
dalam
mengembangkan
ranah
afektif
dalam
pembelajaran SKI, sementara penulis meneliti tentang model pengembangan evaluasi ranah afektif siswa pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Dengan demikian penelitian penulis ini merupakan penyempurna atau pengembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya.
C. Konsep Operasional Konsep operasional adalah konsep yang digunakan guru untuk memberikan batasan terhadap kerangka teoretis dan ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penelitian. Adapun yang menjadi indikator pengembangan model/teknik evaluasi ranah afektif siswa pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut : 1. Model/Teknik penilaian Observasi (Pengamatan) Indikatornya adalah : a. Guru
menentukan
aspek-aspek
yang
akan
diobservasi
saat
pembelajaran dilaksanakan. b. Guru menyediakan lembar observasi siswa. c. Guru mencatat aktivitas belajar yang dilakukan siswa dari awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran. d. Guru membina siswa dalam melaksanakan rutinitas keagamaan di sekolah. e. Guru mengumpulkan hasil observasi afektif yang diperoleh dalam belajar ke dalam buku catatan penilaian afektif. 2. Model/Teknik penilaianWawancara (Pertanyaan Langsung) Indikatornya adalah : a. Guru membuat kisi-kisi atau layout pedoman wawancara. b. Guru menyusun pertanyaan sesuai dengan data yang diperlukan dan bentuk pertanyaan yang diinginkan.
c. Guru memilih waktu yang tepat dalam melakukan pertanyaan kepada siswa. d. Guru melakukan wawancara kepada seluruh siswa. e. Guru melakukan wawancara pada siswa yang mempunyai kasus atau permasalahan di sekolah 3. Model/Teknik penilaian skala sikap Indikatornya adalah : a. Guru mampu membuat lembar skala sikap. b. Guru mmenentukan aspek afektif siswa yang akan dinilai. c. Guru menentukan skala pengukuran afektif mana yang akan digunakan. d. Guru merumuskan pernyataan tentang variabel afektif yang akan dinilai. e. Guru menilai afektif siswa menggunakan instrumen skala sikap. 4. Model/Teknik penilaian laporan diri Indikatornya adalah : a. Guru menyuruh siswa dalam membuat ulasan berisi pandangan bahwa pentingnya belajar Pendidikan Agama Islam. b. Guru meminta siswa untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaan yang dialami selama pembelajaran PAI dilaksanakan. c. Guru meminta siswa untuk menyatakan paham atau tidak paham terhadap materi PAI yang diajarkan.
d. Guru meminta siswa untuk membuat laporan kegiatan ibadah selama di rumah. e. Guru memeriksa laporan kegiatan siswa Sedangkan yang menjadi indikator dari kendala atau problema guru dalam melaksanakan penilaian afektif adalah : 1. Guru memahami dan memiliki pengetahuan tentang teknik evaluasi afektif 2. Guru mengikuti pelatihan-pelatihan pendidikan 3. Guru memerlukan tenaga dan waktu dalam mengevaluasi ranah afektif siswa 4. Guru membutuhkan kerja sama antara siswa dan guru mata pelajaran lain dalam melakukan evaluasi afektif. 5. Siswa memiliki kejujuran pada setiap perbuatan yang dilakukan.