10
BAB II KAJIAN TEORETIS
2.1 Persepsi 2.1.1 Definisi Persepsi Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2001), persepsi adalah tanggapan penerimaan langsung dari suatu serapan, atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Lebih lanjut menurut Rakhman (2013: 23) persespi merupakan sebuah proses yang hamper bersifat otomatik, dan ia bekera dengan cara yang hamper serupa pada masing-masing individu, tetapi sekalipun demikian secara tipikal menghasilkan persepsi yang berbeda-beda. Menurut Mar’at (1981) dalam Dewi (2010: 14) persepsi pada hakikatnya adalah suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari suatu kognisi secara terus menerus dan dipengaruhi oleh informasi baru dari lingkungannya. Semakin banyak informasi yang didapat maka akan timbul berbagai persepsi dari seorang individu. Lebih lanjut Walgito (2004: 70)
mengungkapkan
bahwa
persepsi
merupakan
suatu
proses
pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu
10
11
tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain. Sedangkan menurut Riggio (1990) dalam Dewi (2010: 14) persepsi didefinisikan sebagai proses kognitif baik lewat penginderaan, pandangan, penciuman dan perasaan yang kemudian ditafsirkan. 2.1.2 Proses Persepsi Terjadinya proses persepsi menurut Kotler dan Keller (2009) sebagai berikut: 1. Perhatian Selektif Orang mengalami sangat banyak rangsangan setiap hari.Kebanyakan orang dapat dibanjiri oleh lebih dari 1.500 iklan per hari.Karena seseorang tidak mungkin dapat menanggapi semua rangsangan itu, kebanyakan rangsangan akan disaring-proses yang dinamakan perhatian selektif. Menurut Thoha (2010: 149-156), selektifitas persepsi ini dapat dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. 1) Faktor perhatian luar Faktor perhatian luar terdiri dari pengaruh-pengaruh lingkungan luar seperti: a. Intensitas, prinsip intensitas dari suatu perhatian dapat dinyatakan bahwa semakin besar intensitas stimuli dari luar,
12
layaknya semakin besar pula hal-hal itu dapat dipahami (to be perceived). b. Ukuran, faktor ini menyatakan bahwa semakin besar ukuran suatu objek, maka semakin mudah untuk bisa diketahui atau dipahami. c.
Keberlawanan menyatakan
atau bahwa
kontras, stimuli
prinsip luar
keberlawanan
yang
ini
penampilannya
berlawanan dengan latar belakangnya atau sekelilingnya sangkaan orang banyak, akan menarik banyak perhatian. d. Pengulangan (repetition), dalam prinsip ini dikemukakan bahwa stimuli dari luar yang diulang akan memberikan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan yang sekali dilihat. e. Gerakan (moving), prinsip gerakan ini antaranya menyatakan bahwa orang memberikan banyak perhatian terhadap objek yang bergerak dalam jangkauan pandangan dibandingkan dari objek yang diam. f.
Baru dan familier, prinsip ini menyatakan bahwa baik situasi eksternal yang baru maupun yang sudah dikenal dapat digunakan sebagai penarik perhatian
2) Faktor perhatian dalam a. Belajar atau pemahaman learning dan persepsi, semua faktorfaktor dari dalam membentuk adanya perhatian kepada suatu
13
objek
sehingga
didasarkan
menimbulkan
dari
adanya
kekomplekan
persepsi
kejiwaan.
adalah
Kekomplekan
kejiwaan ini selaras dengan proses pemahaman atau belajar (learning) dan motivasi yang dipunyai oleh masing-masing orang. b. Motivasi
dan
persepsi,
selain
proses
belajar
dapat
menimbulkan persepsi, faktor dari dalam lainnya yang juga menentukan terjadinya persepsi antara lain motivasi dan kepribadian. Walaupun motivasi dan kepribadian tidak bisa dipisahkan
dari
proses
belajar,
tetapi
keduanya
juga
mempunyai dampak yang amat penting dalam proses penilaian persepsi. c. Motivasi sekunder juga memainkan peranan yang amat penting
didalam
mengembangkan
rangkaian
persepsi.
Seseorang yang haus akan kekuasaan, butuh afiiasi dan memerlukan pencapaian hasil akan lebih besar perhatiannya pada variable-variabel situasi yang relevan. d. Kepribadian dan persepsi. Dalam membentuk persepsi unsur ini amat erat hubungannya dengan proses belajar dan motivasi yang dibicarakan di atas, yang mempunyai akibat tentang apa yang diperhatikan dalam menghadiri suatu situasi.
14
2. Distorsi Selektif Distorsi
selektif
adalah
kecenderungan
menafsirkan
informasi
sehingga menjadi konsisten dengan keyakinan awal mereka atas merek dan produk. 3. Ingatan Selektif Orang akan melupakan banyak hal yang mereka pelajari, tetapi cenderung mengingat informasi yang mendukung pandangan dan keyakinan mereka karena adanya ingatan selektif. 2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Gibson, dkk (1989) dalam Hasminee (2012: 1) Faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Faktor Internal Faktor internal yang mempengaruhi persepsi, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, yang mencakup beberapa hal antara lain : a. Fisiologis. Informasi masuk melalui alat indera, selanjutnya informasi yang diperoleh ini akan mempengaruhi dan melengkapi usaha untuk memberikan arti terhadap lingkungan sekitarnya. Kapasitas indera untuk mempersepsi pada tiap orang berbedabeda sehingga interpretasi terhadap lingkungan juga dapat berbeda. b. Perhatian. Individu memerlukan sejumlah energi yang dikeluarkan untuk memperhatikan atau memfokuskan pada bentuk fisik dan
15
fasilitas mental yang ada pada suatu obyek. Energi tiap orang berbeda-beda sehingga perhatian seseorang terhadap obyek juga berbeda dan hal ini akan mempengaruhi persepsi terhadap suatu obyek. c. Minat. Persepsi terhadap suatu obyek bervariasi tergantung pada seberapa banyak energi atau perceptual vigilance yang digerakkan untuk
mempersepsi.
Perceptual
vigilance
merupakan
kecenderungan seseorang untuk memperhatikan tipe tertentu dari stimulus atau dapat dikatakan sebagai minat. d. Kebutuhan yang searah. Faktor ini dapat dilihat dari bagaimana kuatnya seseorang individu mencari obyek-obyek atau pesan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan dirinya. e. Pengalaman dan ingatan. Pengalaman dapat dikatakan tergantung pada ingatan dalam arti sejauh mana seseorang dapat mengingat kejadian-kejadian lampau untuk mengetahui suatu rangsang dalam pengertian luas. f. Suasana hati. Keadaan emosi mempengaruhi perilaku seseorang, mood ini menunjukkan bagaimana perasaan seseorang pada waktu yang
dapat
mempengaruhi
bagaimana
seseorang
dalam
menerima, bereaksi dan mengingat. 2. Faktor Eksternal Faktor
Eksternal
yang
mempengaruhi
persepsi,
merupakan
karakteristik dari linkungan dan obyek-obyek yang terlibat didalamnya.
16
Elemen-elemen tersebut dapat mengubah sudut pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya dan mempengaruhi bagaimana seseoarang merasakannya
atau
menerimanya.
Sementara
itu
faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi persepsi adalah: a. Ukuran dan penempatan dari obyek atau stimulus. Faktor ini menyatakan bahwa semakin besrnya hubungan suatu obyek, maka semakin mudah untuk dipahami. Bentuk ini akan mempengaruhi persepsi individu dan dengan melihat bentuk ukuran suatu obyek individu akan mudah untuk perhatian pada gilirannya membentuk persepsi. b. Warna dari obyek-obyek. Obyek-obyek yang mempunyai cahaya lebih banyak, akan lebih mudah dipahami (to be perceived) dibandingkan dengan yang sedikit. c. Keunikan
dan
kekontrasan
stimulus.
Stimulus
luar
yang
penampilannya dengan latarbelakang dan sekelilingnya yang sama sekali di luar sangkaan individu yang lain akan banyak menarik perhatian. d. Intensitas dan kekuatan dari stimulus. Stimulus dari luar akan memberi makna lebih bila lebih sering diperhatikan dibandingkan dengan yang hanya sekali dilihat. Kekuatan dari stimulus merupakan daya dari suatu obyek yang bisa mempengaruhi persepsi.
17
e. Motion atau gerakan. Individu akan banyak memberikan perhatian terhadap obyek yang memberikan gerakan dalam jangkauan pandangan dibandingkan obyek yang diam. 2.1.4 Pengukuran Persepsi Menurut Shafaruddin, dkk (2013: 6) mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi yang diukur bersifat abstrak, tetapi secara alamiah sikap dan persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran sikap terdiri dari metode Self Report dan pengukuran Involuntary Behavior. 1. Self Report merupakan suatu metode dimana jawaban yang diberikan dapat menjadi indikator sikap seseorang. Namun kelemahannya adalah bila individu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan maka tidak dapat mengetahui pendapat atau sikapnya. 2. Involuntary Behaviour dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran sikap dipengaruhi kerelaan responden. 2.1.5 Faktor-faktor timbulnya perbedaan persepsi Menurut Walgito (2004: 70) ada beberapa faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya perbedaan persepsi seseorang, antara lain: a. Objek yang dipersepsi Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.
18
Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. b. Alat indera, syaraf dan susunan syaraf Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, di samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan motoris yang dapat membentuk persepsi seseorang. c.
Perhatian Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu sekumpulan objek.
2.2. Pengertian Bank Syariah Menurut Undang-undang No.10 tahun 2008 bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Menurut pendapat Antonio (2001: 13) bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip Islam.
19
Selanjutnya menurut Subagyo, dkk (2005: 124-125), bank syariah merupakan lembaga keuangan bank berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah seperti pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual
beli
barang
dengan
memperoleh
keuntungan
(murabahah),
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), dan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Berdasarkan berbagai pengertian mengenai bank syariah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang kegiatannya didasarkan pada syariat Islam. 2.3. Perkembangan Sistem Perbankan Syariah Pada awalnya penerapan sistem perbankan syariah, pembentukan lembaga keuangan syariah, serta penciptaan produk-produk syariah dalam sistem keuangan dimaksudkan untuk menciptakan suatu kondisi bagi umat muslim agar melaksakan semua aspek kehidupannya, termasuk aspek ekonomi dengan berlandaskan pada Al-Qur’an dan AsSunnah. Saat ini, sistem perekonomian Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menjadi objek kajian dan penelitian kalangan barat. Sistem syariah dewasa ini telah terintegrasi dan berinteraksi dengan
20
sistem perekonomian dunia. Sistem perbankan syariah tidak lagi hanya dimonopoli dan diklaim sebagai sistem perbankan negara-negara Islam (Rakhman, 2013: 12). Oleh para pengamat, sistem syariah ini diyakini akan mampu menjadi sistem alternatif untuk mengembalikan ekonomi Indonesia, yang saat ini masih belum benar-benar pulih dari krisis berkepanjangan. Keyakinan tersebut terbukti ketika akhir dekade 1990-an Indonesia dilanda krisis moneter yang melumpuhkan sistem perbankan di Indonesia dimana bank-bank konvensional banyak mengalami kerugian dan puluhan diantaranya dibekukan kegiatan usahanya dan dilikuidasi. Sebaliknya dalam waktu yang sama, bank-bank syariah tetap bertahan dan usahanya tidak terlalu banyak terpengaruh oleh krisis moneter. Ekonomi syariah pada dasarnya dijalankan sesuai dengan ajaran atau syariah Islam yang menekankan prisip keadilan, kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, sistem syariah ini sudah pasti akan sejalan dan cocok dengan berbagai jenis masyarakat, baik penganut Islam maupun pemeluk agama atau faham lain, karena Bank Syariah bersifat universal (Rakhman, 2013: 12) Pengembangan perbankan syariah di Indonesia dimaksudkan antara lain untuk menyediakan alternatif pelayanan kepada masyarakat baik dalam bentuk penyimpanan dana atau jenis jasa lainnya, maupun berupa pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Adanya produk syariah tersebut memberikan tempat bagi masyarakat yang belum
21
bisa menerima sistem konvensional disebabkan oleh karena hambatan keyakinan yang dianutnya (Rakhman, 2013: 8). Menurut Rakhman (2013: 9) Dalam upaya pengembangan Bank Syariah dijumpai berbagai kendala antara lain dapat disebutkan sebagai berikut: a. Masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap jenis operasi dan produk produk yang ditawarkan oleh bank-bank syariah. b. Jumlah dan jaringan kantor Bank Syariah yang masih terbatas sehingga menyulitkan masyarakat mengakses pelayanan Bank Syariah. c.
Kurangnya sumber daya manusia yang memiliki pemahaman dan pengalaman mengenai perbankan syariah. Kendala tersebut terjadi karena perbankan syariah merupakan
lembaga baru di Indonesia. Keberadaan perbankan syariah baru benarbenar dikatakan muncul pada dekade 1990-an yang diawali dengan disyahkannya Undang-Undang N0. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Oleh karena itu Undang-Undang ini dapat dikatakan sebagai embrio penerapan perbankan syariah di Indonesia, meskipun Undang-Undang ini tidak mengatur secara eksplisit mengenai perbankan syariah. UndangUndang tersebut bahkan hanya menggunakan istilah bagi hasil yang disisipkan dalam definisi kredit pada Pasal yang membahas mengenai Usaha Bank. Setelah UU No.7 Tahun 1992 tersebut diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan telah diubah kembali dengan UU No. 21 tahun
22
2008, penggunaan istilah Prinsip Syariah dinyatakan secara jelas dalam beberapa Pasal. Lebih lanjut, ketentuan pelaksanaan operasional perbankan syariah diatur secara komprehensif oleh peraturan Bank Indonesia (Rakhman, 2013: 10). Gagasan atas adanya sistem perbankan syariah ini pertama kali dikemukakan Majelis Ulama Indonesia diawal tahun 1990 dalam Musyawarah Nasional ke IV. Selanjutnya dengan inisiatif beberapa pihak termasuk Presiden Soeharto saat itu. Pendirian Bank Syariah pertama, PT.Bank Muamalat Indonesia (BMI), diresmikan dengan modal disetor berasal dari umat Islam sebesar Rp 106 miliar. Kantor-kantor cabang BMI saat ini telah tersebar ke beberapa ibukota provinsi di Jawa dan luar Jawa (Rakhman, 2013: 10). Sosialisasi konsep bisnis syariah semakin gencar dijalankan dengan dibentuknya Dewan Syariah Nasional (DSN), sebuah badan di bawah organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Badan ini berwenang mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan pelaksanaan bisnis syariah di Indonesia. Selanjutnya dari sisi perbankan, pemerintah dan Bank Indonesia telah mengantisipasi pertumbuhan bisnis syariah ini dengan mengaturnya dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan kemudian telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan telah digantikan dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Pelaksanaan kegiatan perbankan syariah secara teknis juga diatur oleh Bank Indonesia melalui beberapa peraturan, antara lain:
23
a. PBI No.10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. b. PBI No.5/7/PBI/2003 tentang Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Syariah. c.
PBI No.6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
d. PBI No.7/23/PBI/2005 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah. e. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan kegiatan yang mendasar dan memiliki dampak luas, bukan saja bagi perekonomian nasional tetapi juga kegiatan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengembangkan perbankan syariah tersebut perlu diikutsertakan unsur-unsur yang dapat membantu perkembangan sistem perbankan syariah antara lain banker syariah, para ahli ekonomi, hukum dan perbankan Islam, serta para ulama (Rakhman, 2013: 11). Perlu dipahami bahwa sistem perbankan syariah ini bukanlah sistem perbankan Arab. Bank Syariah merupakan suatu bentuk sistem perbankan yang mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Oleh karena itu, sistem perbankan syariah ini bersifat universal. Artinya, negara manapun dapat melakukan dan mengadopsi sistem perbankan syariah dalam hal:
24
a. Penetapan sehubungan
imbalan
yang
dengan
akan
diberikan
penggunaan
dana
kepada
masyarakat
masyarakat
yang
dipercayakan kepadanya. b. Penetapan
imbalan
yang
akan
diterima
sehubungan
dengan
penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja. c.
Penetapan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank Syariah (Rakhman, 2013: 12).
2.4. Kelembagaan Perbankan Syariah di Indonesia Menurut Pendapat Rakhman (2013: 16) Perbankan syariah memiliki kelembagaan yang agak berbeda dengan perbankan konvensional. Dalam perbankan syariah, bank syariah terbagi menjadi Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan BPR Syariah (BPRS). 1. Bank Umum Syariah (BUS) Bank Umum Syariah (BUS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan
prinsip
syariah
yang
dalam
kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BUS merupakan badan usaha yang setara dengan bank umum konvensional dengan bentuk hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah atau Koperasi. Seperti halnya bank umum konvensional, BUS dapat berusaha sebagai bank devisa atau bank non devisa. 2. Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
25
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya
tidak
memberikan
jasa
dalam
lalu
lintas
pembayaran. BPRS merupakan badan usaha yang setara dengan bank
perkreditan
rakyat
konvensional
dengan
bentuk
hukum
Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi. 3. Unit Usaha Syariah Kantor-kantor cabang syariah dari bank umum konvensional pada dasarnya merupakan unit yang mempunyai karakteristik kegiatan usaha yang berbeda, serta mempunyai pencatatan dan pembukuan yang terpisah dari kantor-kantor konvensionalnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu unit kerja khusus yang disebut dengan Unit Usaha Syariah (UUS) yang berfungsi sebagai kantor induk dari seluruh kantor cabang syariah. Unit tersebut berada di kantor pusat bank dan dipimpin oleh seorang anggota direksi atau pejabat satu tingkat dibawah direksi. Secara umum tugas UUS mencakup: a. Mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor cabang syariah. b. Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka pengelolaan dan penempatan dana yang bersumber dari kantor-kantor cabang syariah. c. Menyusun laporan keuangan konsolidasi dari seluruh kantorkantor cabang syariah.
26
d. Melaksanakan tugas penatausahaan laporan keuangan kantorkantor cabang syariah. 2.5. Tujuan Bank Syariah Menurut pendapat Sudarsono (2008: 43-44) bank syariah memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut: 1) Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk ber-muamalat secara Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan, agar
terhindar
dari
praktek-praktek
riba
atau
jenis-jenis
usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur grahar (tipuan), dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat. 2) Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antar pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana. 3) Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha. 4) Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan
program
utama
dari
negara-negara
yang
sedang
berkembang. Upaya bank syariah didalam mengetaskan kemiskinan
27
ini
berupa
pembinaan
nasabah
yang
lebih
menonjol
sifat
kebersmaaan dari siklus usaha yang lengkap. 5) Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas perankan syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan. 6) Untuk menyelamatkan ketergantungan ummat Islam terhadap bank non-syariah 2.6. Ciri-ciri Bank Syariah Berikut merupakan ciri-ciri perbankan syariah menurut Sudarsono (2008: 44-45) 1) Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar-menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. 2) Pengguna
persentase
dalam
hal kewajiban
untuk melakukan
pembayaran selalu dihindari, karena persentase bersifat melekat pada sisi utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir. 3) Didalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan dimuka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang
28
untung ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata 4) Penyerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan oleh penyimpanan dianggap sebagi titipan (al-wadiah) sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariahsehingga pada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti 5) Dengan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya, selain itu manajer dan pimpinan bank Islam harus menguasai dasar-dasar muamalat Islam 6) Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal dengan yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya. 2.7. Prinsip-Prinsip dasar Operasional Bank Syariah Prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi Islam akan menjadi dasar beroperasinya bank Islam yaitu yang paling menonjol adalah tidak mengenal konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk tujuan komersial Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan/kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedang peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk
29
tujuan sosial tanpa adanya imbalan apapun. Lebih lanjut menurut Riadi (2012: 1). Prinsip bagi hasil (profit sharing), secara umum dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu almusyarakah, al-mudharabah, almuzara’ah dan al-mushaqah. Walau demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzara’ah dan al-mushaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertariian oleh beberapa bank islam. Di dalam menjalankan operasinya fungsi bank Islam akan terdiri dari (Muthaher, 2012: 16): 1) Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank. 2) Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana/sahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal ini bank bertindak sebagai manajer investasi). 3) Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 4) Sebagai pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta penyaluran dana kebajikan (fungsi optional).
30
2.8. Perbedaan Antara Bank Konvensional dan Bank Syariah Menurut Machmud dan Rukmana (2010: 11-12) Perbedaan pokok antara sistem bank konvensional dengan sistem bank syariah secara ringkas dapat dilihat dari empat aspek sebagai berikut: 1.
Falsafah: pada bank syariah tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi, dan ketidakjelasan sedangkan pada bank konvensional berdasarkan atas bunga.
2.
Operasional: pada bank syariah, dana masyarakat berupa titipan dan investasi baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu, sedangkan pada bank konvensional dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo, pada sisi penyaluran, bank syariah menyalurkan danannya pada sektor usaha yang halal dan menguntungkan, sedangkan pada bank konvensional, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama.
3.
Sosial: pada bank syariah, aspek sosial dinyatakan secara eksplisit dan tegas tertuang dalam visi dan misi perusahaan, sedangkan pada bank konvensional tidak secara tegas.
4.
Organisasi, bank syariah harus memiliki DPS. sementara itu, bank konvensional tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah. Selain itu, perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah
dapat dilihat dari empat aspek lain, yaitu sebagai berikut.
31
1. Akad dan aspek legalitas Akad yang dilakukan dalam bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. 2. Lembaga penyelesaian sengketa Penyelesaian perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabah pada perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Kedua belah pihak pada perbankan syariah tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai dengan tata cara hukum menteri syariah. 3. Struktur organisasi Bank syariah dapat memiliki stuktur yang sama dengan bank konvensional tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya DPS yang berfungsi mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. 4. Bisinis usaha yang dibiayai Bisnis dan usaha yang dilaksanakan bank syariah tidak terlepas dari kriteria syariah hal tersebut akan menyebabkan bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang mengandung unsur-unsur yang diharamkan.
32
5. Lingkungan dan budaya kerja Bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sesuai dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tecermin integritas eksekutif muslim yang baik. Selain itu karyawan bank syariah harus profesional (fatanah) dan mampu melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi. Secara garis besar perbandingan bank syariah dan bank konvensional dapat dilihat pada tabel 3 berikut: Tabel 3: Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Aspek Legalitas Struktur organisasi
Bank syariah Akad syariah Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwah Dewan Pengawas Syariah Bisnis dan usaha Melakukan investasiyang dibiayai investasi yang halal saja
Bank konvensional Akad konvensional Tidak terdapat dewan sejenis
Invenstasi yang halal dan haram profit oriented hubungan dengan Hubungan dengan nasabah dalam bentuk nasabah dalam kemitraan bentuk hubungan kreditur-debitur Berdasarkan prinsip bagi Memakai perangkat hasil, jual beli dan sewa bunga Lingkungan kerja Islami Non Islami Sumber: Machmud dan Rukmana (2010: 12) 2.9. Pengertian dan Pengharaman Riba 2.9.1 Pengertian Riba Pengertian riba menurut Muhammad Syafi’i Antonio, (2000:10) Riba dari segi istilah sama dengan Ziyadah artinya tambahan. Sedangkan
33
menurut istilah teknis Riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok (Modal) secara bathil. Selanjutnya Menurut Chair (2012: 11-13) Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam dosa besar. Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step by step). Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan perbuatan riba dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang pada akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan. 1. Tahap pertama Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan menjauhkan riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan barakah-Nya dan melipat gandakan pahalaNya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.
34
2. Tahap kedua Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. riba digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim 3. Tahap ketiga Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap menerimanya. 4. Tahap keempat Turun surat Al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat
35
tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. 2.9.2 Dasar Hukum Tentang Riba dalam Islam Dasar hukum tentang riba dalam Islam meliputi: 1. Al-Qur’an Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (QS.Al-Baqarah (2): 276). Seharusnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS.AlBaqarah (2): 277). Hai orang-orangyang beriman.Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat dari pengambilan riba maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiayadan tidak pula dianiaya (Q.S. Al-Baqarah (2): 278-279). 2. Al- Hadits Dari Jubair ra, Rasullullah SAW mencela penerima dan pembayar bunga orang yang mencatat begitu pula yang menyaksikkan.Beliau bersabda, “mereka semua sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim, Thirmizi dan Ahmad). Dari Abu Said Al-Khudri ra, Rasululah SAW bersabda, jangan melebih-lebihkan satu dengan lainnya; jangan menjual perak untuk perak kecuali keduanya setara; dan jangan melebihlebihkan satu dengan lainnya; dan jangan menjual sesuatu yang tidak tampak”(HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad) 2.9.3 Prinsip-prinsip Riba Menurut
Sudarsono
(2012:
17-18)
Prinsip-prinsip
untuk
menentukan adanya riba di dalam transaksi kredit atau barter yang diambil dari sabda Rasulullah SAW adalah:
36
1. Pertukaran barang yang sama jenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara kredit maupun tunai, mengandung unsure riba. 2. Pertukaran barang yang sama jenis dan jumlahnya, tetapi berbeda nilai atau harganya dan dilakukan secara kredit, mengandung unsure riba 3. Pertukaran barang yang sama nilai atau harganya tetapi berbeda jenis dan kuantitasnya, serta dilakukan secara kredit, mengandung unsure riba. Tetapi apabila pertukaran dengan cara dari tangan ke tangan tunai, maka pertukaran tersebut terbebas dari unsure riba. 4. Pertukaran barang yang berbeda jenis, nilai dan kuantitasnya, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari riba, sehingga diperbolehkan. 5. Jika barang itu campuran yang mengubah jenis dan nilainya, pertukaran dengan kuantitas yang berbeda baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan terbebas dari unsure riba sehingga sah. 2.9.4 Alasan Melakukan Riba Menurut Sudarsono (2012: 18-21) Ada beberapa alasan untuk membenarkan bunga di dalam sistem perbankan diantaranya: 1. Teori Abstinence Teori ini menganggap bunga adalah sejumlah uang yang diberikan kepada seseorang karena pemberi pinjaman telah menahan diri (abstinence). Ia menahan keinginannya memanfaatkan uangnya sendiri
semata-mata
untuk
memenuhi
keinginan
peminjam.
37
Pengorbanan untuk menahan keinginan sehingga menunda suatu kepuasan menuntut suatu kompensasi, dan kompensasi itu adalah bunga. 2. Teori bunga sebagai imbalan sewa Teori ini menganggap uang sebagai barang yang menghasilkan keuntungan jika digunakan untuk melakukan produksi. Jadi uang bila tidak digunakan tidak menghasilkan keuntungan tetapi bila digunakan dipastikan menghasilkan keuntungan sekian persen dari usaha yang dilakukan. Menurut Heri Sudarsono bahwa teori ini mempunyai kelemahan yaitu: a. Uang tidak bisa disamakan dengan barang-barang rumah tangga atau perusahaan, sebab barang-barang tersebut membutuhkan perawatan dan nilainya cenderung menyusut. b. Nilai uang akan sama dengan nilai barang dan sifat uang sama dengan sifat barang. Nilainya tidak stabil, maka fungsi uang akan kehilangan esensinya. c. Sulit memperhitungkan besarnya sewa uang yang dikenakan kepada orang lain, dan bisa saja ini akan mengingkari aspek kemanusiaan. 3. Teori produktif- konsumtif Teori ini menganggap setiap uang yang dipinjamkan akan membawa keuntungan bagi orang yang dipinjaminya. Jadi setiap uang yang dipinjamkan baik untuk produktif maupun konsumtif pasti menambah
38
keuntungan bagi peminjam sehingga pihak yang meminjami berhak untuk menarik sekian persen dari keuntungan atas pinjaman tersebut. Teori produktif-konsumtif ini juga mempunyai kelemahan yaitu: a. Setiap
pengunaan
pinjaman
terdapat
dua
kemungkinan
memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Jika peminjam dalam menjalani bisnisnya mengalami kerugian dasar apa yang dapat membenarkan kreditor menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari debitor. b. Keuntungan dari debitor tidak bisa dijamin selalu sama dari bulan ke bulan atau tahun ke tahun. Bisa saja debitor mengalami keuntungan dan kerugian dalam menjalani usahanya, sehingga peminjam belum tentu bisa membayar kreditnya yang telah ditentukan sebelumnya. 4. Teori Opportunity Cost Teori ini beranggapan bahwa dengan meminjamkan uangnya berarti pemberi pinjaman menunggu atau menahan diri untuk tidak menggunakan modal sendiri guna memenuhu keinginan sendiri. Hal ini serupa dengan memberikan waktu kepada peminjam. Dengan waktu itulah yang berutang memiliki kesempatan untuk menggunakan modal pinjamannya untuk memperoleh keuntungan. Besar kecilnya keuntungan terkait langsung dengan besar kecilnya waktu, sehingga pemberi pinjaman dianggap berhak mengenakan harga (bunga) sesuai dengan lamanya waktu pinjaman. Hal ini dijadikan alasan para
39
penganut teori ini untuk menganggap bahwa kreditor berhak menikmati sebagian keuntungan debitor. 5. Teori Inflasi Teori ini menganggap adanya kecenderungan penurunan nilai uang di masa datang. Maka menurut paham ini, mengambil tambahan dari uang yang dipinjamkan merupakan sesuatu yang logis sebagai kompensasi penurunan nilai uang selama dipinjamkan. 2.9.5 Dampak Riba Menurut Sudarsono (2012: 22-23) Dampak adanya riba di tengahtengah masyarakat tiduk saja berpengaruh dalam kehidupan ekonomi, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan manusia: 1. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama atau saling menolong dengan sesama manusia, dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan menimbulkan prasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu penderitaan orang lain. 2. Menimbulkan tumbuhnya mental pemboros dan pemalas. Dengan membungakan
uang,
kreditur
bisa
mendapatkan
tambahan
penghasilan dan waktu ke waktu. Keadaan ini menimmbulkan anggaran bahwa dalam janka waktu yang tidak terbatas ia mendapatkan tambahan pendapatan rutin, sehingga menurunkan dinamisasi, inovasi dan kreativitas dalam bekerja.
40
3. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan menenutut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut keasepakatan tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang telah diperoleh dari kelibahan bunga yang akan didapat, dan itu sebenarnya hanya berupa pengharapan dan belum terwujud. 4. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Bagi orang yang memiliki pendapatan lebih akan banyak mempunyai kesempatan untuk menaikkan pendapatannya dengan membungakan pinjaman pada orang lain. Sedangkan bagi yang mempunyai pendapatan kecil tidak hnya kesulitan dalam membayar cicilan utang tetapi harus memikirkan bunga yang akan dibayarkan. 5. Riba pada kenyataannya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. uang tidak memiliki fungsi selain sebagai alat tukar yang mempunyai sifat stabil karena nilai uang dan barang sama atau intrinsik. bila ada uang di potong uang tidak bernilai lagi, bahkan nilainya tidak lebih dari kertas biasa. oleh karena itu, uang tidak dijadikan komoditas. 6. Tingkat bunga tinggi menurunkan minat untuk berinvestasi. Investor akan memperhitungkan besarnya harga pinjaman atau bunga bank. Investor tidak mau menanggung biaya produksi yang tinggi yang
41
diakibatkan biaya bunga dengan mengurangi produksinya. Bila hal ini terjadi maka akan mengurangi kesempatan kerja dan pendapatan sehingga akan menghambat pertumbuhan ekonomi. 2.10. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Adapun perbedaan bunga dan bagi hasil menurut Machmud dan Rukmana (2010: 10), dapat dijelaskan lebih jauh dalam tabel 4 berikut: Tabel 4: Perbedaan antara bagi hasil dan bagi hasil BAGI HASIL BUNGA Penentuan bagi hasil dibuat Penentuan bunga dibuat sewaktu sewaktu perjanjian dengan perjanjian tanpa berdasarkan berdasarkan kepada untung/rugi untung/rugi Jumlah nisbah dan bagi hasil Jumlah persen bunga berdasarkan berdasarkan jumlah keuntungan jumlah uang (modal) yang ada yang telah dicapai Bagi hasil bergantung pada hasil Pembayaran bunga tetap seperti proyek, jika proyek tidak mendapat perjanjian tanpa diambil keuntungan atau mengalami pertimbangan apakah proyek yang kerugian, risikonya ditanggung dilaksanakan pihak kedua untung kedua belah pihak atau rugi Jumlah pemberian hasil Jumlah pembayaran bunga tidak keuntungan meningkat sesuai meningkat walaupun jumlah dengan peningkatan keuntungan keuntungan berlipat ganda yang didapat Penerimaan/pembagian Pengambilan/ pembayaran bunga keuntungan adalah halal adalah haram Sumber: Machmud dan Rukmana (2010: 10) 2.11. Produk Bank Syariah Untuk memenuhi kebutuhan modal dan pembiayaan, bank syariah memiliki ketentuan-ketentuan yang berbeda dengan bank konvensional secara umum dijelaskan sebagai berikut:
42
1. Sumber dana Menurut Sudarsono, (2008: 63-68), sumber dana bank syariah dapat diperoleh dari empat sumber, yaitu modal, titipan, invenstasi dan investasi khusus. Secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut ini: 1) Al-Wadiah Al-wadiah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meningkatkan atau meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari aspek teknis, wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki. 2) Investasi a. Al-Mudharabah Dalam mengaplikasikan mudharabah, penyimpanan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib
(pengelola).Dana
tersebut
digunakan
bank
untuk
melakukan pembiayaan mudharabah atau ijarah. Dapat pula dana tersebut
digunakan
bank
untuk
melakukan
pembiayaan
mudharabah. Hasil usaha ini dibagihasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. b. Al-Mudharabah Mutlaqah Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis himpunan dana yaitu
43
tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. 3) Investasi Khusus c. Al-Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya, disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu. d. Al Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran danamudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. 2. Penyaluran Dana Menurut Sudarsono (2008: 68-84), penyaluran dana bank syariah dilakukan
dengan
pembiayaan,
berbagai
pinjaman
dan
metode,
seperti
investasi
jual-beli,
khusus.
Secara
bagi
hasil,
sederhana
penyaluran dana dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Prinsip Jual beli Prinsip
jual-beli
dilaksanakan
sehubungan
dengan
adanya
perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan
44
didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang yaitu sebagai berikut: a. Bai’ al-Murabahah Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dengan nasabah.
Dalam
murabahah,
penjual
menyebutkan
harga
pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu. b. Bai’ as-Salam Salam ialah akad pemesanan barang yang disebutkan sifatsifatnya, yang dalam majelis itu pemesanan barang menyerahkan uang seharga barang pemesan yang barang pemesan tersebut menjadi tanggungan penerima pesanan. c. Bai’ al-Istishna Bai‘ al-istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur.Dengan demikian, ketentuan istisna mengikuti ketentuan dan aturan akadbai’ as-salam. Produk istisna menyerupai produk salam namunistishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran.
45
2) Prinsip Sewa (Ijarah) Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas (ownership/milkiyyah) barang itu sendiri. 3) Prinsip Bagi Hasil a. Al-Musyarakah Musyarakah adalah kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. b. Al-Mudharabah Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibulmaal) menyediakan seluruh modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. 4) Akad Pelengkap a. Al-Hiwalah Al-Hiwalah adalah memindahkan hutang dari tanggungan orang berhutang (muhil) menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (muhal alaih).
46
b. Ar-Rahn Rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh piutangnya.Secara sederhana dapat dijelaskan rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai. c. Al-Qardh Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam akadtathwawwu atau saling membantu dan bukan transaksi komersial. d. Al-Wakalah Wakalah atau wikalah berarti menyerahkan, pendelegasian atau pemberian mandat. Yang dimaksud wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan. Dalam hal ini, pihak kedua hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila telah dilaksanakan sesuai dengan disyaratkan, maka semua resiko dan tanggungjawab
atas
dilaksanakannya
perintah
tersebut
47
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak pertama atau pemberi kuasa. e. Al-kafalah Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai jaminan. 3. Jasa Perbankan Menurut Sudarsono (2008: 85-86),bank syariah dapat melakukan berbagai
pelayanan
jasa
perbankan
kepada
nasabah
dengan
mendapatkan imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain: 1) Al-Sharf Arti harfiah dari sharf adalah penambahan, pertukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi-transaksi jual-beli.Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. 2) Al-Ijarah Jenis kegiatan antara menyewa kontan simpanan (safe deposit cox) dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian).Bank dapat imbalan sewa dari jasa-jasa tersebut .
48
2.12. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang bank syariah sebelumnya telah dilakukan oleh Haryadi (2007), Simpulan penelitiannya menunjukkan adanya potensi untuk menerima perbankan syariah, adanya keraguan pada masyarakat tentang perbankan syariah, adanya faktor yang mendorong masyarakat dalam memilih bank syariah, faktor loyalitas memilki pengaruh signifikan untuk menjadi nasabah bank syariah, adanya minat masyarakat untuk menabung pada bank syariah, masyarakat yang lebih modern dan memiliki penghasilan cukup baik lebih memilih bank konvensional. Hamidi (2000), yang meneliti tentang persepsi dan sikap masyarakat santri Jawa Timur terhadap bank syariah, dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat santri Jawa Timur baik yang merupakan nasabah maupun yang bukan nasabah bank syariah, ditinjau dari pendekatan budaya, sosial, pribadi, dan psikologis, adalah positif terhadap bank syariah. Perbedaan yang terdapat pada kelompok masyarakat santri nasabah dan non nasabah adalah pada sikap atau pilihan mereka untuk memilih atau tidak memilih bank syariah. Bank Indonesia (2000),
meneliti tentang potensi, preferensi dan
perilaku masyarakat terhadap bank syariah, yang mengidentifikasikan bahwa Bank Syariah adalah Bank dengan system bagi hasil dan Bank Islami. Hasil penelitian tersebut menyatakan adanya keberagaman persepsi masyarakat terhadap bank syariah.
49
Yuli (2008), meneliti tentang persepsi nasabah PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi nasabah terhadap PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Malang dipengaruhi oleh faktor tingkat bagi hasil yang diberikan Bank, sikap personil, lokasi Bank dan tingkat keamanan. Sebagai upaya PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Malang dalam meningkatkan kualitas keamanan bank melalui struktur
organisasi
dengan
pembagian
tugas,
wewenang
dan
tanggungjawab yang jelas, terutama Bagian Pengawas Intern dan Kepatuhan (PIK). Aiyub (2007), meneliti tentang analisis perilaku masyarakat terhadap keinginan menabung dan memperoleh pembiayaan pada bank syariah di nanggroe aceh darussalam. Hasil penelitian menunjukkan perilaku masyarakat sebagian besar tidak diketahui tentang sistem dan produk bank
syariah.
Perilaku
masyarakat
memiliki
dua
sisi,
yaitu
kesediaan untuk menyimpan dan untuk mendapatkan dana dari Bank Syariah.
Hal
ini
menunjukkan
sebagian
besar
kesediaan
untuk menyimpan, adalah 462 orang (92,4%) tambahan, kesediaan untuk mendapatkan dana besar juga itu 466 orang (93,2%).
50
Berikut ini tabel tentang penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu: Tabel 5: Penenlitian Terdahulu No 1.
Nama
Judul
Hasil Penelitian
Haryadi
Perilaku dan Persepsi Masyarakat Terhadap Perbankan Syariah
Simpulan dari penelitian ini menunjukkan adanya potensi untuk menerima perbankan syariah, adanya keraguan pada masyarakat tentang perbankan syariah, adanya faktor yang mendorong masyarakat dalam memilih bank syariah, faktor loyalitas memilki pengaruh signifikan untuk menjadi nasabah bank syariah, adanya minat masyarakat untuk menabung pada bank syariah, masyarakat yang lebih modern dan memiliki penghasilan cukup baik lebih memilih bank konvensional.` Simpulan dari penelitian ini menjelaskan bahwa persepsi masyarakat santri Jawa Timur baik yang merupakan nasabah maupun yang bukan nasabah bank syariah, ditinjau dari pendekatan budaya, sosial, pribadi, dan psikologis, adalah positif terhadap bank syariah. Perbedaan yang terdapat pada kelompok masyarakat santri nasabah dan non nasabah adalah pada sikap atau pilihan mereka untuk memilih atau tidak memilih bank syariah. Dalam penelitian ini mengidentifikasikan bahwa Bank Syariah adalah Bank dengan system bagi hasil dan Bank Islami. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa adanya keberagaman persepsi masyarakat terhadap bank syariah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi nasabah terhadap PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Malang dipengaruhi oleh faktor tingkat bagi hasil yang diberikan Bank, sikap personil, lokasi Bank dan tingkat keamanan. Hasil penelitian menunjukkan perilaku masyarakat sebagian besar tidak diketahui tentang sistem dan produk bank syariah. Perilaku masyarakat memiliki dua sisi, yaitu kesediaan untuk menyimpan dan untuk mendapatkan dana dari Bank Syariah. Hal ini menunjukkan sebagian besar kesediaan untuk menyimpan, adalah 462 orang (92,4%) tambahan, kesediaan untuk mendapatkan dana besar juga itu 466 orang (93,2%).
(2007)
2.
Hamidi (2000)
3.
Bank Indonesia (2000)
4.
Yuli (2008)
5.
Aiyub
Persepsi dan sikap masyarakat santri Jawa Timur terhadap bank syariah
Potensi, Preferensi dan perilaku masyarakat terhadap Bank Syariah Persepsi nasabah PT. Bank syariah mandiri Cabang malang
Analisis Perilaku Masyarakat (2007) Terhadap Keinginan Menabung Dan Memperoleh Pembiayaan Pada Bank Syariah Di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumber: Data Olahan 2014