BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Theory of Planned Behavior Theory of Planned Behavior pada awalnya bernama Theory of Reasoned
Action (TRA) dikembangkan tahun 1980 (Jogiyanto, 2007). Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam TRA, Ajzen dan Fishbein (1980) menyatakan bahwa seseorang dapat melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tergantung dari niat yang dimiliki oleh orang tersebut. Lebih lanjut, Ajzen dan Fishbein (1980) menyatakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms). Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen dan Fishbein (1980) melengkapi TRA ini dengan keyakinan (beliefs), mereka menyatakan bahwa sikap berasal dari keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs). Secara historis, TRA dapat digambarkan sebagai berikut:
9
10
Behavioral Belief
Attitude towards Behavior Intention to Behave
Normative Belief
Behavior
Subjective Norms
Sumber: Jogiyanto (2007) Gambar 2.1 Theory Reaction Action Penelitian di bidang sosial yang sudah membuktikan bahwa TRA ini adalah teori yang cukup memadai dalam memprediksi tingkah laku. Namun, seiring dengan perjalanan waktu TRA dikembangkan menjadi Theory of Planned Behavior (TPB). Pada TRA menjelaskan hanya berlaku pada tingkah laku yang berada pada kontrol penuh individu, namun tidak sesuai untuk menjelaskan tingkah laku yang tidak sepenuhnya dibawah kontrol individu. Karena, ada faktor yang dapat menghambat atau memfasilitasi realisasi intensi ke dalam tingkah laku. Berdasarkan analisis tersebut Ajzen (1988) menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yang berkaitan dengan kontrol individu yaitu perceived behavioral control (PBC). Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu. Dengan kata lain, dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol yang dapat dilakukannya yang bersumber pada keyakinannya terhadap kontrol tersebut (control beliefs). Secara lebih lengkap Ajzen (2002)
11
menambahkan faktor latar belakang individu ke dalam perceived behavioral control, sehingga secara historis perceived behavioral control di gambarkan sebagai berikut:
Sumber: Jogiyanto (2007) Gambar 2.2 Theory of Planned Behavior Model teoritik dari TPB (Theory of Planned Behavior) mengandung berbagai variabel yaitu : 1) Latar belakang (background factors) Seperti usia, jenis kelamin, suku, status sosial ekonomi, suasana hati, sifat kepribadian, dan pengetahuan mempengaruhi sikap dan perilaku individu terhadap sesuatu hal. Faktor latar belakang pada dasarnya adalah sifat yang hadir di dalam diri seseorang, yang dalam model Kurt Lewin dikategorikan ke dalam aspek O (organism). Dalam kategori ini Ajzen (2005), memasukkan tiga faktor latar belakang, yakni personal, sosial, dan informasi. Faktor personal adalah sikap
12
umum seseorang terhadap sesuatu, sifat kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi, dan kecerdasan yang dimilikinya. Faktor sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin (gender), etnis, pendidikan, penghasilan, dan agama. Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan, dan publikasi pada media. 2) Keyakinan perilaku (behavioral belief) Hal-hal yang diyakini oleh individu mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan negatif, sikap terhadap perilaku atau kecenderungan untuk bereaksi secara efektif terhadap suatu perilaku, dalam bentuk suka atau tidak suka pada perilaku tersebut. 3) Keyakinan normatif (normative beliefs) Berkaitan langsung dengan pengaruh lingkungan yang secara tegas dikemukakan oleh Lewin dalam Field Theory. Pendapat Lewin ini digaris bawahi juga oleh Ajzen melalui perceived behavioral control. Menurut Ajzen (2005), faktor lingkungan sosial khususnya orangorang yang berpengaruh bagi kehidupan individu (significant others) dapat mempengaruhi keputusan individu. 4) Norma subjektif (subjective norm) Sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya. Kalau individu merasa itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan
pandangan
orang
tentang
perilaku
yang
akan
13
dilakukannya. Ajzen dan Fishbein (1980), menggunakan istilah ”motivation to comply” untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak. 5) Keyakinan dari dalam diri individu bahwa suatu perilaku yang dilaksanakan (control beliefs) dapat diperoleh dari berbagai hal. Pertama adalah pengalaman melakukan perilaku
yang sama
sebelumnya atau pengalaman yang diperoleh karena melihat orang lain misalnya, teman, keluarga dekat dalam melaksanakan perilaku itu sehingga memiliki
keyakinan bahwa
melaksanakannya.
Selain
merekapun akan dapat
pengetahuan,
keterampilan,
dan
pengalaman, keyakinan individu mengenai suatu perilaku akan dapat dilaksanakan ditentukan juga oleh ketersediaan waktu untuk melaksanakan
perilaku
tersebut,
tersedianya
fasilitas
untuk
melaksanakannya, dan memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan yang menghambat pelaksanaan perilaku. 6) Persepsi kemampuan dalam mengontrol tingkah laku (perceived behavioral control) Keyakinan (beliefs) bahwa individu pernah melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku itu, kemudian individu melakukan estimasi atas kemampuan dirinya apakah dia punya kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan perilaku tersebut.
14
Ajzen (2005) menamakan kondisi ini dengan perceived behavioral control.
Niat
untuk
melakukan
perilaku
(intention)
adalah
kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya. Berdasarkan TPB, intensi merupakan fungsi dari tiga determinan, yang satu yang bersifat personal, kedua merefleksikan pengaruh sosial dan ketiga berhubungan dengan masalah kontrol (Ajzen, 2005).
2.2
Kecerdasan Intelektual
2.2.1
Pengertian Kecerdasan Intelektual Menurut Purwanto (2003:52) kecerdasan intelektual adalah kesanggupan
untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai dengan tujuan. Pratiwi (2011) merumuskan kecerdasan intelektual sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengelola dan meguasai lingkungan secara efektif.
15
Menurut Dwijayanti (2009) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual sebagai suatu kemampuan yang terdiri dari tiga ciri yaitu: 1) Kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan. 2) Kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan itu telah dilakukan. Menurut Robins dan Judge (2008:57) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual adalah kemampuan yang di butuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas mental berpikir, menalar dan memecahkan masalah. Kecerdasan intelektual menurut Yani (2011) adalah sebagai kemampuan untuk belajar dari pengalaman, berpikir menggunakan proses meta kognitif, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Kecerdasan intelektual merupakan kemampuan menganalisis, logika dan rasio seseorang. Dengan demikian, hal ini berkaitan dengan keterampilan bicara, kecerdasan akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika.
2.2.2
Aspek – Aspek Kecerdasan Intelektual Dwijayanti (2009) menyatakan bahwa aspek-aspek dalam kecerdasan
intelektual sebagai berikut: 1) Kemampuan memecahkan masalah Kemampuan menunjukkan pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi, mengambil keputusan tepat, membuat keputusan secara tepat, menyelesaikan masalah secara optimal, dan menunjukkan pikiran jernih.
16
2) Intelegensi verbal Kemampuan dalam memahami kosa kata yang baik, membaca dengan penuh pemahaman, ingin tahu secara intelektual, dan menunjukkan keingintahuan. 3) Intelegensi praktis Kemampuan mengetahui situasi, tahu cara mencapai tujuan, sadar terhadap dunia sekeliling, dan menujukkan minat terhadap dunia luar.
2.3
Kecerdasan Emosional
2.2.1
Pengertian Kecerdasan Emosional Istilah kecerdasan emosional muncul secara luas pada pertengahan tahun
1990-an. Goleman (2009:50) menyatakan bahwa kecerdasan majemuk adalah manisfestasi dari penolakan akan pandangan intelektual. Goleman (2009:57), menempatkan kecerdasan pribadi dari Gardner sebagai definisi dasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan antar pribadi dan kecerdasan intrapribadi. Kecerdasan emosional dapat menempatkan emosi individu pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Goleman (2009:45) menyatakan bahwa: “Kecerdasan emosional merupakan kemampuan emosional yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan emosi, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang lain”
17
Kecerdasan emosional dapat menempatkan emosi seseorang pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Mubayidh (2006:15) menyatakan bahwa kecerdasan emosional sebagai suatu kecerdasan sosial yang berkaitan dengan
kemampuan individu dalam
memantau baik emosi dirinya maupun emosi orang lain, dan juga kemampuannya dalam membedakan emosi dirinya dengan emosi orang lain, dimana kemampuan ini digunakan untuk mengarahkan pola pikir dan perilakunya. Sejalan dengan itu, Agustian (2001:44) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, emosi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Individu yang mampu memahami emosi individu lain, dapat bersikap dan mengambil keputusan dengan tepat tanpa menimbulkan dampak yang merugikan kedua belah pihak. Menurut Shapiro (2001:5) menyatakan bahwa kecerdasan emosional sebagai himpunan suatu fungsi jiwa yang melibatkan kemampuan memantau intensitas perasaan atau emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Individu memiliki kecerdasan emosional tinggi memiliki keyakinan tentang dirinya sendiri, penuh antusias, pandai memilah semuanya dan menggunakan informasi sehingga dapat membimbing pikiran dan tindakan.
18
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami secara lebih efektif terhadap daya kepekaan emosi yang mencakup kemampuan memotivasi diri sendiri atau orang lain, pengendalian diri, mampu memahami perasaan oranglain dengan efektif, dan mampu mengelola emosi yang dapat digunakan untuk membimbing pikiran untuk mengambil keputusan yang terbaik.
2.3.2
Aspek – Aspek Kecerdasan Emosional Goleman (2009:58) merinci aspek-aspek kecerdasan emosional secara
khusus sebagai berikut: 1) Mengenali emosi diri Kemampuan individu yang berfungsi untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, mencermati perasaan yang muncul, ketidak mampuan
untuk
mencermati
perasaan
yang
sesungguhnya
menandakan bahwa orang berada dalam kekuasaan emosi, dan kemampuan mengenali diri sendiri meliputi kesadaran diri. 2) Mengelola emosi Kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau tersinggung dan akibat-akibat yang timbul karena kegagalan keterampilan emosi dasar. Orang yang buruk kemampuan dalam keterampilan ini akan terus menerus bernaung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar akan dapat bangkit
19
kembali jauh lebih cepat. Kemampuan mengelola emosi meliputi kemampuan penguasaan diri dan kemampuan menenangkan kembali. 3) Memotivasi diri sendiri Kemampuan untuk mengatur emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk memotivasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam upaya apapun yang dikerjakannya. Kemampuan ini didasari oleh kemampuan mengendalikan emosi, yaitu menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati. Kemampuan ini meliputi: pengendalian dorongan hati, kekuatan berpikir positif dan optimis. 4) Mengenali emosi orang lain, kemampuan ini disebut empati Kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional, kemampuan ini merupakan ketrampilan dasar dalam bersosialisasi. Orang
empati
lebih
mampu
menangkap
sinyal-sinyal
sosial
tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang atau dikehendaki orang lain. 5) Membina hubungan Seni membina hubungan sosial merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain, meliputi ketrampilan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan hubungan antar pribadi.
20
2.4
Kecerdasan Spiritual
2.4.1
Pengertian Kecerdasan Spiritual Kecerdasan individu tidak hanya dilihat dari kecerdasan intelektualnya
saja akan tetapi juga dari kecerdasan emosionalnya dan kecerdasan spiritualnya. Setelah
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional maka ditemukan
kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan spiritual yang diyakini sebagai kecerdasan yang mampu mengoptimalkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi secara efektif dan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi (Sukidi 2004:36). Zohar dan Marshal (2007:4) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Sedangkan menurut Buzan (2003:21) kecerdasan spiritual adalah aktualisasi diri (tahap spiritual) yaitu ketika individu dapat mencurahkan kreativitasnya dengan santai, senang, toleran dan merasa terpanggil untuk membantu orang lain mencapai tingkat kebijaksanaan dan kepuasan seperti yang telah dialaminya. Buzan (2003:21) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosi dan spiritual sehingga bisa dikatakan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Hal ini harus diraih dalam suatu lingkungan yang sarat dengan cinta dan kepedulian.
21
2.4.2
Aspek - Aspek Kecerdasan Spiritual Zohar dan Marshall (2007:14), aspek-aspek kecerdasan spiritual mencakup
hal-hal sebagai berikut: 1) Kemampuan bersikap fleksibel, yaitu kemampuan individu untuk bersikap adaptif secara spontan dan aktif, memiliki pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan di saat menghadapi beberapa pilihan. 2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi, yaitu kemampuan individu untuk mengetahui batas wilayah yang nyaman untuk dirinya, yang mendorong individu untuk merenungkan apa yang dipercayai dan apa yang dianggap bernilai, berusaha untuk memperhatikan segala macam kejadian dan peristiwa dengan berpegang pada agama yang diyakininya. 3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, yaitu kemampuan individu dalam menghadapi penderitaan dan menjadikan penderitaan yang dialami sebagai motivasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. 4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, yaitu kemampuan individu dimana di saat dia mengalami sakit, ia akan menyadari keterbatasan dirinya, dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan yakin bahwa hanya Tuhan yang akan memberikan kesembuhan.
22
5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, yaitu kualitas hidup individu yang didasarkan pada tujuan hidup yang pasti dan berpegang pada nilai-nilai yang mampu mendorong untuk mencapai tujuan tersebut. 6) Kemampuan untuk tidak menyebabkan kerugian yang tidak perlu, yaitu
individu
yang
mempunyai
kecerdasan
spiritual
tinggi
mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain, maka berarti dia merugikan dirinya sendiri sehingga mereka enggan untuk melakukan kerugian yang tidak perlu. 7) Kemampuan berpikir secara holistik, yaitu kecenderungan individu untuk melihat keterkaitan berbagai hal. 8) Kemampuan untuk bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar. 9) Kemampuan untuk menjadi pribadi mandiri, yaitu kemampuan individu yang memiliki keinginan untuk bekerja dan tidak tergantung dengan orang lain.
2.5
Etika Etika dalam bahasa latin adalah "ethica" yang berarti falsafah moral. Etika
merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, susila serta agama. Sedangkan menurut Keraf (1998), etika secara harfiah berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya ta etha), yang artinya sama dengan moralitas, yaitu adat kebiasaan yang baik. Etika merupakan suatu prinsip moral dan
23
perbuatan yang menjadi landasan bertindak seseorang sehingga apa yang dilakukannya dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang (Marwanto, 2007). Etika sangat erat kaitannya dengan hubungan yang mendasar antar manusia dan berfungsi untuk mengarahkan kepada perilaku moral. Makna kata etika dan moral memang sinonim, namun menurut Marwanto (2007) antara keduanya mempunyai nuansa konsep yang berbeda. Moral atau moralitas biasanya dikaitkan dengan tindakan seseorang yang benar atau salah. Sedangkan etika ialah studi tentang tindakan moral atau sistem atau kode berperilaku yang mengikutinya. Etika juga bisa dimaksudkan sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk (Bertens, 2002). Comunale et al. (2006) menyatakan bahwa terdapat beragam filsafat moral pribadi yang dimiliki seorang individu, terutama pada relativisme dan idealisme, yaitu: 1) Idealisme Merupakan tingkat dimana nilai-nilai yang diyakini individu berkaitan dengan kesejahteraan orang lain. Individu yang idealismenya tinggi merasakan mengganggu orang lain selalu dapat dihindarkan. Seseorang yang idealis tidak akan memilih perilaku negatif yang dapat mengganggu orang lain. Hal yang sebaliknya terjadi jika idealisnya rendah.
24
2) Relativisme Merupakan penolakan aturan moral yang absolut dalam memandu perilaku. Individu yang relativismenya tinggi mengadopsi falsafah moral pribadi yang didasarkan pada skeptis. Mereka umumnya merasa bahwa tindakan moral tergantung pada sifat situasi dan individu yang terlibat. Ketika menilai sesuatu, mereka menekan aspek keadaan daripada prinsip etika yang dilanggar. Orang yang memiliki relativisme rendah berargumen bahwa moralitas memerlukan tindakan yang konsisten dengan prinsip moral, norma, atau hukum.
2.6
Gender Gender adalah konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
antara laki-laki dan perempuan diihat dari non-biologis yaitu aspek sosial budaya atau psikologis (Nugroho, 2008). Betz (1989) mengemukakan dua pendekatan dalam perbedaan gender untuk menentukan pemikiran etis dalam perempuan maupun laki-laki: 1) Pendekatan Struktural Pendekatan Struktural menyatakan bahwa perbedaan antara seorang yang bergender laki-laki dan perempuan disebabkan oleh sosialisasi sebelumnya dan persyaratan peran lainnya. Sosialisasi sebelumnya yang dimaksud dibentuk oleh reward dan cost sehubungan peran jabatan karena pekerjaan membentuk perilaku melalui struktur reward.
25
Jadi dalam pendekatan struktural laki-laki dan perempuan akan memberi respon yang sama dalam lingkungan jabatan yang sama. 2) Pendekatan Sosialisasi Gender Pada pendekatan sosialisasi gender menyatakan bahwa laki – laki dan perempuan membawa nilai – nilai dan norma yang berbeda ke tempat mereka bekerja, yang mengakibatkan perbedaan nilai dan norma ini didasarkan pada perbedaan gender antara laki – laki dan perempuan dalam hal membangun kepentingan pekerjaan, keputusan dan praktik. Maka dari itu, laki–laki dan perempuan akan merespon secara berbeda dan terhadap reward dan cost jabatan yang sama.
2.7
Hasil Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian sebelumnya telah menguji dan mengaitkan kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, gender maupun sikap etis, dengan berbagai variabel antara lain Chakraborty (2004) penelitian dengan judul The Transformed Leader and Spiritual Psychology: a Few Insight. Variabel dependen yang digunakan adalah kepemimpinan, sedangkan variabel independen kecerdasan spiritual. Tenik analisis data yang digunakan adalah regresi linier sederhana. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kecerdasan Spiritual berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bersikap sebagai pemimpin. Pemimpin yang baik adalah mereka yang memiliki kecerdasan spiritual yang bagus, serta dapat membawa nilai-nilai spiritual dalam kepemimpinannya.
26
Trihandini (2005) penelitian dengan judul Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan. Variabel dependen yang digunakan adalah kinerja karyawan, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual memiliki peran yang sama penting baik secara individu atau secara bersama-sama dalam meningkatkan kinerja karyawan. Tikollah, dkk (2006) penelitian dengan judul Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi. Variabel dependen yang digunakan adalah sikap etis mahasiswa akuntansi, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. . Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi. Walaupun, secara parsial hanya kecerdasan intelektual yang berpengaruh signifikan dan dominan terhadap sikap etis mahasiswa. Vittel et al. (2006) penelitian dengan judul The Impact of Corporate Ethical Values and Enforcement of Ethical Codes on the Perceived Importance of Ethics in Business: A Comparison of U.S. and Spanish Managers. Variabel dependen yang digunakan adalah etika bisnis, sedangkan variabel independen
27
yang digunakan adalah nilai-nilai etika dan penerapan etika. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa nilai etika dan penerapan etika berpengaruh signifikan terhadap etika bisnis. Rachmi (2010) penelitian dengan judul Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, dan Perilaku Belajar terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi. Variabel dependen yang digunakan adalah tingkat pemahaman akuntansi, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah kecerdasan emosional, kecerdasan, spiritual, dan perilaku belajar. Tenik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan perilaku belajar berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Ika (2011) penelitian dengan judul Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Spiritual Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi Dipandang Dari Segi Gender. Variabel dependen yang digunakan adalah sikap etis, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan gender. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan gender berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi. Jamaluddin (2011) penelitian dengan judul Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual terhadap Etika Mahasiswa Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako. Variabel
28
dependen yang digunakan adalah etika mahasiswa akuntansi, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara signifian berpengaruh simultan terhadap etika mahasiswa akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako. Agustini (2013) penelitian dengan judul Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Sikap Etis Mahasiswa S1 Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Variabel dependen yang digunakan adalah sikap etis mahasiswa S1 Akuntansi, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan, spiritual. Tenik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual, berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa S1 Akuntansi. Julianto (2013) penelitian dengan judul The Ethical Perception of Accounting Student: Review of Gender, Religiosity and The Love of Money. Variabel dependen yang digunakan adalah persepsi etis, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah gender, religiosity, dan love of money. Tenik analisis data yang digunakan adalah Partial Least Square (PLS). Hasil penelitian yang diperoleh bahwa gender, religiosity, dan love of money berpengaruh signifikan terhadap persepsi etis.
29
Rochmah (2013) penelitian dengan judul Pengaruh Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) terhadap Persepsi Mahasiswa Akuntansi Mengenai Keetisan Praktek Earnings Management. Variabel dependen yang digunakan adalah keetisan praktek earning management, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual berpengaruh signifikan terhadap keetisan praktek earning management. Fadli (2014) penelitian dengan judul Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Sosial Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi.
Variabel
dependen
yang
digunakan
adalah
Sikap
Etis
Mahasiswa Akuntansi, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa hanya kecerdasan emosional yang berpengaruh terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi, sedangkan kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial tidak berpengaruh terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Lampiran 1.