12
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 PERSEPSI 2. 1.1 Pengertian Persepsi Sejak lahir, individu menerima informasi dari lingkungan melalui alat indera. Informasi yang diterima oleh alat indera merupakan stimulus yang berasal dari lingkungan yang kemudian dipersepsi oleh individu. Secara etimologis, persepsi atau dalam bahasa inggris perception berasal dari bahasa Latin perceptio; dari percipere, yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2003: 445). Menurut Gulo & Kartono (2003: 343), “persepsi dapat diartikan juga sebagai proses dimana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya; pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui interpretasi data indera”. Menurut Atkinson (Sobur, 2003: 446), ’persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus di dalam lingkungan’. Chaplin (Ginting: 2003) memandang persepsi sebagai proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera. Proses perseptual ini dimulai dengan perhatian, yaitu merupakan proses pengamatan selektif. Didalamnya mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian.
13
Pareek
(Sobur,
didefinisikan
2003:
sebagai
446)
proses
mengemukakan
menerima,
bahwa
menyeleksi,
’persepsi
dapat
mengorganisasikan,
mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data’. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai persepsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses menerima, memilih, mengatur, dan memahami serta menginterpretasikan rangsang-rangsang inderawi menjadi suatu gambar objek tertentu secara utuh. Dalam penelitian ini, karyawan bagian operasi
PT.
X
menerima,
memilih,
mengatur,
dan
memahami
serta
menginterpretasikan rangsang-rangsang inderawi berupa sistem penilaian prestasi kerja sehingga menjadi suatu gambaran objek tertentu secara utuh.
2.1.2 Proses Persepsi Persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan diterima oleh alat indera. Bagan berikut menerangkan bahwa persepsi dan kognisi diperlukan dalam kegiatan psikologis.
Penalaran Rangsangan
Persepsi
Pengenalan
Tanggapan
Perasaan Bagan 2.1 Variabel psikologis di antara Rangsangan dan Tanggapan (sumber: Sobur, 2003: 447)
14
Rasa dan nalar merupakan bagian yang perlu dari setiap situasi rangsangantanggapan, walaupun pada umumnya tanggapan individu yang sadar dan bebas terhadap satu rangsangan atau terhadap satu bidang rangsangan sampai tingkat tertentu dianggap dipengaruhi oleh akal atau emosi, atau kedua-duanya. Persepsi, pengenalan, penalaran, dan perasaan terkadang disebut dengan variabel psikologis yang muncul di antara rangsangan dan tanggapan (Hennessy, dalam Sobur, 2003: 447). Dalam psikologi, dikatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dari mengubah persepsinya. Soelaeman, dalam Sobur (2003: 447) mengemukakan bahwa dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama, yaitu: 1. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitas, dan jenisnya dapat banyak atau sedikit. Rangsangan yang disaring oleh karyawan bagian operasi PT. X melalui indera adalah sistem penilaian prestasi kerja. 2. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Sistem penilaian prestasi kerja kemudian diorganisasikan sehingga mempunyai arti bagi karyawan bagian operasi PT. X. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian, dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian
15
informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana. 3. Seleksi dan interpretasi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi. Setelah melakukan seleksi dan interpretasi, karyawan bagian operasi PT. X, memberikan reaksi terhadap sistem penilaian prestasi kerja. Jadi, proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang sampai. Menurut Hardy dan Heyes (Sobur, 2003: 448), proses persepsi terjadi ketika informasi yang datang dari organ-organ indera, diorganisasikan dan kemudian diinterpretasikan untuk dapat dimengerti. Dalam penelitian ini, informasi yang datang dari organ-organ indera berupa sistem penilaian prestasi kerja yang diorganisaikan dan kemudian diinterpretasikan untuk dapat dimengerti oleh karyawan bagian operasi PT. X. De Vito (Sobur, 2003: 449) menjelaskan bahwa cara persepsi bekerja dapat dijelaskan dengan tiga langkah yang terlibat dalam proses persepsi berikut ini:
Terjadinya stimulus alat indera
Stimulus alat indera diatur
Bagan 2.2 Proses Persepsi (Sumber: Sobur, 2003: 449)
Stimulus alat indera dievaluasi ditafsirkan
16
Proses persepsi diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Terjadinya Stimulus Alat Indera (Sensory Stimulation) Pada tahap pertama, alat-alat indera distimulasi (dirangsang). Rangsangan yang diterima oleh karyawan bagian operasi PT. X berupa sistem penilaian prestasi kerja. Contoh rangsangan lainnya diantaranya, kita mendengar suara musik, melihat seseorang yang sudah lama tidak kita jumpai, mencium parfum orang yang berdekatan dengan kita, mencicipi sepotong kue, dan merasakan telapak tangan yang berkeringat ketika berjabatan tangan. Meskipun, kita memiliki kemampuan untuk merasakan rangsang namun kita tidak selalu menggunakan. Contohnya, ketika kita melamun, tidak mendengar apa yang dikatakan oleh orang lain sampai dia memanggil nama kita, barulah kita sadar. 2. Stimulasi terhadap alat indera diatur Pada tahap kedua, rangsangan terhadap alat indera diatur menurut berbagai prinsip. Salah satu prinsip yang sering digunakan adalah prinsip proksimitas (proximity), atau kemiripan: orang atau pesan yang secara fisik mirip satu sama lain, dipersepsikan bersama-sama, atau sebagai satu kesatuan. Sebagai contoh, kita mempersepsikan orang yang sering kita lihat bersama-sama sebagai satu unity (sebagai satu pasangan). Demikian pula, kita mempersepsikan pesan yang datang segera setelah pesan yang lain sebagai satu unity dan menganggap bahwa keduanya tentu saling berkaitan. Kita menyimpulkan bahwa kedua pesan tersebut berkaitan menurut pola yang sudah tertentu. Karyawan bagian operasi PT. X menggunakan prinsip proksimitas atau kemiripan dalam menerima rangsangan
17
berupa sistem penilaian prestasi kerja yang dilaksanakan dengan tidak objektif sehingga muncul istilah ”Penggiliran Nilai’. Prinsip
lain
adalah
kelengkapan
(closure):
kita
memandang
atau
mempersepsikan suatu gambar atau pesan yang dalam kenyataan tidak lengkap sebagai gambar atau pesan yang lengkap. Sebagai contoh, kita mempersepsikan gambar potongan lingkaran sebagai lingkaran penuh meskipun sebagian dari gambar itu tidak ada. Kita akan mempersepsikan serangkaian titik atau garis putus yang ditata dalam pola melingkar sebagai sebuah lingkaran. Demikian pula, kita melengkapi pesan yang kita dengar dengan bagian-bagian yang tampaknya logis untuk melengkapi pesan itu. 3. Stimulasi alat indera ditafsirkan-dievaluasi Langkah ketiga dalam proses persepsi adalah penafsiran-evaluasi. Kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan. Langkah ketiga ini merupakan proses subjektif yang melibatkan evaluasi di pihak penerima yaitu karyawan bagian operasi PT. X yang menafsirkan dan mengevaluasi sistem penilaian prestasi kerja. Penafsiran-evaluasi tidak semata-mata didasarkan pada rangsangan luar, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan tentang yang seharusnya, keadaan fisik dan emosi pada saat itu, dan sebagainya.
18
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Persepsi individu terhadap suatu objek dipengaruhi oleh banyak faktor, menurut De Vito (Sobur, 2003: 455-459) ada enam proses yang mempengaruhi persepsi, diantaranya: a.Teori Kepribadian Implisit Teori kepribadian implisit mengacu pada teori kepribadian individual yang diyakini seseorang dan yang mempengaruhi bagaimana persepsinya kepada orang lain (De Vito, dalam Sobur, 2003: 455).
Setiap orang mempunyai konsep
tersendiri tentang suatu sifat berkaitan dengan sifat yang lainnya. Konsep ini merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membentuk kesan tentang orang lain. Teori ini tidak pernah dinyatakan, karena itu disebut teori kepribadian implisit atau implicit personality theory (Rakhmat, dalam Sobur, 2003: 455). Menurut Calhoun & Acocella (Sobur, 2003: 456), kepribadian manusia jarang sama ”logisnya” dengan teori tentang kepribadian (kenyataannya, teori kepribadian yang implisit adalah sumber utama kesan yang salah). Akan tetapi, kita berpegang pada teori ini karena teori tersebut cocok dengan gagasan kita tentang apa yang benar dan karena teori tersebut juga mengizinkan kita untuk memberi kepada kesan kita kesadaran tentang perintah, meskipun perintah tersebut salah. Lebih lanjut, teori kepribadian yang implisit memberikan muatan tambahan terhadap persepsi sosial, dengan cara melengkapinya sehingga menjadi kebulatan yang memuaskan (Anderson & Khatzky, dalam Sobur, 2003: 456).
19
b. Ramalan yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy) Ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila kita membuat ramalan atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita membuat ramalan itu dan bertindak seakan-akan ramalan itu benar (De Vito, dalam Sobur, 2003: 456). Apa yang kita harapkan akan berpengaruh pada kesan kita terhadap orang lain. Mereka yang mengharapkan diterima oleh orang lain yang memandang orang lain sebagai bersahabat, seringkali muncul sebagai pribadi yang santai dan menyenangkan; perilaku ini membuat popularitas mereka baik serta mendapat respon positif dari orang lain. Sebaliknya, mereka
mengharapkan penolakan
sering kali memperolehnya pula (Adelmann, dalam Sobur, 2003: 456). Orang-orang yang memandang orang lain dengan sikap bermusuhan atau tidak bersahabat, sering kali mereka pun bersikap defensif atau sombong; perilaku mereka yang didasari oleh dugaan seperti ini boleh jadi memandang penolakan yang mereka khawatirkan. Dengan perangkat psikologis yang mereka miliki, orang-orang ini turut memperkuat harapan mereka sendiri sehingga konsep diri yang baik akan mengantarkan mereka pada keberhasilan, dan konsep diri yang tidak menguntungkan akan mengantarkan mereka pada kegagalan. Fenomena ini disebut ramalan yang dipenuhi sendiri (Tubbs dan Moss, dalam Sobur: 2003). Jadi ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila kita membuat perkiraan atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita meramalkannya dan bertindak seakan-akan itu benar. Ada empat langkah dasar dalam proses ini (De Vito, dalam Sobur, 2003:457):
20
1. Kita membuat prediksi atau merumuskan keyakinan tentang seseorang atau situasi. 2. Kita bersikap kepada orang atau situasi tersebut seakan-akan ramalan atau keyakinan kita benar. 3. Karena kita bersikap demikian (seakan-akan keyakinan kita benar), keyakinan kita itu menjadi kenyataan. 4. Kita mengamati efek kita terhadap seseorang atau akibat terhadap situasi, dan apa yang kita saksikan memperkuat keyakinan kita. c. Aksentuasi perseptual Aksentuasi perseptual membuat kita melihat apa yang kita harapkan dan apa yang ingin kita lihat. Kita melihat orang yang kita sukai lebih tampan dan lebih pandai ketimbang orang yang tidak kita sukai. Kontra argumen yang jelas adalah bahwa sebenarnya kita lebih menyukai orang yang tampan dan pandai sehingga kita mencari-cari orang seperti ini, bukan karena orang yang kita sukai itu kelihatannya tampan dan pandai. d. Primasi-resensi Primasi-resensi mengacu pada pengaruh relatif stimulus sebagai akibat urutan kemunculannya. Jika yang muncul pertama lebih besar pengaruhnya, kita mengalami efek primasi. Jika yang muncul kemudian mempunyai pengaruh yang lebih besar, kita mengalami efek resensi. Dalam
penelitian
awal
tentang
efek
primasi-resensi
pada
persepsi
antarpersonal, Solomon Asch, dalam Sobur (2003), membacakan daftar ajektif (kata sifat) yang menguraikan seseorang di depan sekelompok responden dan
21
menjumpai bahwa pengaruh urutan sangat penting. Orang yang dilukiskan sebagai ”cerdas, tekun, impulsif, kritis, keras kepala, dan dengki” dinilai lebih positif ketimbang orang yang dilukiskan sebagai ”dengki, keras kepala, kritis, impulsif, tekun, dan cerdas”. Implikasinya di sini adalah bahwa kita menggunakan informasi yang datang lebih dahulu untuk mendapatkan gambaran umum seperti apa orang itu. Kemudian kita menggunakan informasi yang datang belakangan untuk membuat gambaran umum ini lebih spesifik. Implikasi praktis dari efek primasi-resensi ini adalah bahwa kesan pertama yang tercipta tampaknya paling penting. Melalui kesan pertama ini, orang lain akan menyaring tambahan informasi untuk merumuskan gambaran seseorang yang mereka persepsikan. e.
Konsistensi Konsistensi mengacu pada kecenderungan untuk merasakan apa yang
memungkinkan kita mencapai keseimbangan atau kenyamanan psikologis di antara berbagai sikap dan hubungan antar individu. Kita berharap seseorang yang kita sukai memiliki karakteristik yang kita sukai atau kita puja, dan kita berharap musuh-musuh kita tidak memiliki karakteristik yang kita sukai atau kita puja. Sebaliknya, kita berharap orang yang kita sukai tidak memiliki sifat-sifat yang tidak menyenangkan dan orang yang tidak kita sukai memiliki sifat-sifat yang tidak menyenangkan.
22
f. Stereotyping Stereotip mengacu pada kecenderungan untuk mengembangkan dan mempertahankan persepsi yang tetap dan tidak berubah mengenai sekelompok manusia dan menggunakan persepsi ini untuk mengevaluasi anggota kelompok tersebut, dengan mengabaikan karakteristik individual yang unik. Jika orangorang membentuk pendapat tentang segolongan objek atau orang tertentu dan bertindak sesuai dengan pendapat itu, hal ini dinamakan stereotip. Kata ”stereotip” digunakan untuk menunjukkan pendapat yang baik atau buruk pada umumnya yang dipunyai oleh seseorang tentang sekelompok orang tertentu (Pareek, dalam Sobur, 2003: 459). Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Baltus (Sobur, 2003: 459) adalah : 1. Kemampuan dan keterbatasan fisik dari alat indera dapat mempengaruhi persepsi untuk sementara waktu ataupun permanen. 2.
Kondisi lingkungan.
3. Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara individu untuk menginterpretasikan atau bereaksi terhadap suatu stimulus tergantung dari pengalaman masa lalunya. 4. Kebutuhan dan keinginan. Ketika seorang individu membutuhkan atau menginginkan sesuatu maka ia akan terus berfokus pada hal yang dibutuhkan dan diinginkannya tersebut. 5. Kepercayaan, prasangka dan nilai. Individu akan lebih memperhatikan dan menerima orang lain yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama
23
dengannya.
Sedangkan
prasangka
dapat
menimbulkan
bias
dalam
mempersepsi sesuatu. Sedangkan menurut Chaplin (Ginting: 2003), persepsi secara umum bergantung pada faktor-faktor perangsang, cara belajar, keadaan jiwa atau suasana hati, dan faktor-faktor motivasional. Maka, arti suatu objek atau satu kejadian objektif ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun faktor-faktor organisme. Dengan alasan sedemikian, persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda karena setiap individu menanggapinya berkenaan dengan aspek-aspek situasi tadi yang mengandung arti khusus sekali bagi dirinya.
2.1.4 Cara Pengukuran Persepsi Mann (Azwar, 2007: 24), mengemukakan bahwa: Komponen kognitif sikap berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotip yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem kontroversial. Dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan bagian dari sikap, sehingga pengukuran persepsi dapat menggunakan skala sikap. Menurut Ahmadi (2002), dalam pengukuran sikap sering digunakan skala Thurstone, Likert, Bogardus, dan perbedaan semantik (The Semantic Different Scale). Skala Thurstone meminta responden untuk memilih dua atau tiga pernyataan pendiriannya terhadap butir-butir pernyataan persepsi yang telah disusun menurut intensitas dari yang paling kuat hingga yang paling rendah. Skala Likert menggunakan sejumlah pernyataan untuk mengukur sikap yang mendasarkan pada rarta-rata jawaban, dalam skala ini responden diminta untuk menunjukkan
24
tingkatan dimana mereka setuju atau tidak setuju pada setiap pernyataan dengan lima pilihan skala yaitu sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju. Pada skala Bogardus, responden diminta untuk mengisi atau menjawab pernyataan satu atau semua dari tujuh pernyataan untuk melihat jarak sosial terhadap kelompok etnik group lainnya. Pada skala perbedaan semantik (The Semantic Different Scale), responden diminta untuk menentukan suatu ukuran skala yang bersifat berlawanan yaitu positif-negatif, baik-buruk, aktif-pasif, bijaksana-bodoh, dan sebagainya.
2.2 PENILAIAN PRESTASI KERJA 2.2.1 Pengertian Penilaian Prestasi Kerja Penilaian prestasi kerja mutlak dilakukan oleh perusahaan untuk mengetahui sejauh mana prestasi yang dicapai oleh karyawan. Menurut Mengginson (Mangkunegara, 2005: 69), ”penilaian prestasi kerja adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya”. Sedangkan menurut Sikula (Mangkunegara, 2005: 69) ”penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan dan potensi pegawai yang dapat dikembangkan”. Penilaian dalam suatu proses mengetimasi atau menetapkan nilai, penampilan, kualitas, atau status dari beberapa objek, orang, atau benda. Hasibuan (2006) mendefinisikan penilaian prestasi kerja sebagai kegiatan manajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat
25
disimpulkan bahwa penilaian prestasi kerja adalah suatu sistem yang sistematik untuk mengevaluasi kinerja karyawan dan digunakan untuk mengembangkan potensi serta menentukan kebijakan bagi karyawan.
2.2.2 Syarat-Syarat Penilaian Prestasi Kerja Menurut Cascio/Award (Soeprihanto, 1988: 9), penilaian prestasi kerja yang efektif dapat diperoleh apabila sistem tersebut memiliki syarat-syarat sebagai berikut: 1. Keterkaitan (Relevance), yaitu sistem penilaian prestasi kerja harus memiliki kaitan yang jelas antara standar tampilan kerja dari suatu tugas dan tujuan organisasi. Dan ada kaitan jelas antara elemen tugas dan dimensi-dimensi yang dinilai dalam lembar penilaian. 2. Penerimaan (Acceptability), yaitu suatu sistem penilaian harus dapat diterima dan dimengerti baik oleh penilai maupun yang dinilai. Penilaian prestasi kerja yang tidak dapat dimengerti akan menyebabkan hasil penilaian tidak atau kurang objektif. 3. Konsisten (Reliability), yaitu suatu sistem penilaian prestasi kerja harus dapat dipercaya serta mempunyai alat ukur yang dapat diandalkan, konsisten dan stabil. Artinya apabila alat ukur tersebut digunakan oleh penilai lain untuk mengukur objek yang sama, maka akan memberikan hasil penilaian yang sama pula.
26
1. Kepekaan (Sensitivity), yaitu sistem penilaian prestasi kerja harus memiliki kepekaan dan kemampuan untuk membedakan kerja yang efektif dan tidak efektif. 5. Praktis (Practicality), yaitu suatu sistem penilaian prestasi kerja harus praktis dan mudah dilaksanakan, tidak rumit atau berbelit-belit, baik yang menyangkut administrasi dan interpretasi serta tidak memerlukan biaya yang besar.
2.2.3 Tujuan dan Kegunaan Penilaian Prestasi Kerja Tujuan penilaian prestasi kerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja sumber daya manusia dalam organisasi (Mangkunegara, 2006: 10). Secara lebih spesifik, tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan Sunyoto (Mangkunegara, 2006: 10-11) adalah: a. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja. b. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu. c. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karier atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang. d. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
27
e. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah. Sedangkan kegunaan penilaian prestasi kerja adalah (Mangkunegara, 2006: 11): a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balasa jasa. b. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya. c. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan. d. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan. e. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi. f.
Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik.
g.
Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.
h.
Sebagai kriteria menentukan, seleksi, dan penempatan karyawan.
i.
Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.
28
j.
Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description).
2.2.4 Syarat-Syarat Penilai Syarat-syarat penilai yang dikemukakan oleh Hasibuan (2006: 91), yaitu: 1.
Penilai harus jujur, adil, objektif, dan mempunyai pengetahuan mendalam tentang unsur-unsur yang akan dinilai supaya penilaiannya sesuai dengan realitas atau fakta yang ada.
2. Penilai hendaknya mendasarkan penilaiannya atas benar atau salah, baik atau buruk, terhadap unsur-unsur yang dinilai sehingga hasil penilaiannya jujur, adil, dan objektif. Penilai tidak boleh mendasarkan penilaiannya atas fisis rasa supaya penilaian bukan didasarkan atas suka atau tidak suka (like or dislike). 3. Penilai harus mengetahui secara jelas uraian pekerjaan dari setiap karyawan yang akan dinilainya supaya hasil penilaiannya dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. 4. Penilai harus mempunyai kewenangan (authority) formal, supaya mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. 5. Penilai harus mempunyai keimanan supaya penilaiannya jujur dan adil.
2.3 Persepsi Terhadap Sistem Penilaian Prestasi Kerja Sistem penilaian prestasi kerja yang diterapkan di sebuah perusahaan tidak lepas dari persepsi karyawan terhadap sistem tersebut. Menurut Desiderato, dalam Rakhmat (2005), ”persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi
29
(sensory stimuli)”. Sedangkan menurut Sikula (Mangkunegara, 2005: 69) ”penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan dan potensi pegawai yang dapat dikembangkan”. Berdasarkan pengertian tersebut, maka persepsi terhadap sistem penilaian prestasi kerja merupakan memberikan makna terhadap evaluasi yang sistematis dari pekerjaan dan potensi pegawai yang dapat dikembangkan.
2.4 MOTIVASI KERJA 2.4.1 Pengertian Motivasi Kerja Dalam bekerja, karyawan membutuhkan motivasi agar tercapai hasil kerja yang optimal. Dengan motivasi kerja yang dimiliki, karyawan dapat memacu diri agar bekerja lebih baik sehingga target pekerjaan pun tercapai. Motivasi kerja merupakan kondisi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau
tertuju
untuk
mencapai
tujuan
organisasi
perusahaan.
Menurut
Mangkunegara (2006), ”motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan”. Flippo, dalam Hasibuan (2006), mengemukakan bahwa ‘Direction or motivation is essence, it is a skill in aligning employee and organization interest so that behavior result in achievement of employee want simultaneously with attainment or organizational objectives.’
30
Berdasarkan pengertian diatas, motivasi diartikan sebagai suatu keahlian, dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja secara berhasil, sehingga keinginan para pegawai dan tujuan organisasi sekaligus tercapai. Terry (Hasibuan, 2006), mengemukakan bahwa ‘motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan’. Motivasi itu tampak dalam dua segi yang berbeda, yaitu: •
Pertama, kalau dilihat dari segi aktif/dinamis, motivasi tampak sebagai suatu usaha positif dalam menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan daya serta potensi tenaga kerja, agar secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang ditetapkan sebelumnya.
•
Kedua, jika dilihat dari segi pasif/statis, motivasi akan tampak sebagai kebutuhan sekaligus sebagai perangsang untuk dapat menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan potensi serta daya kerja manusia tersebut ke arah yang diinginkan.
2.4.2 Model-Model Motivasi Kerja Menurut Hasibuan (2006: 148), model-model motivasi kerja ada tiga, diantaranya: 1. Model Tradisional Model ini mengemukakan bahwa untuk memotivasi bawahan agar gairah kerjanya meningkat, perlu diterapkan sistem insentif, yaitu memberikan insentif (uang/barang) kepada karyawan yang berprestasi baik. Semakin banyak
31
produksinya semakin besar pula balas jasanya, jadi, motivasi bawahan hanya untuk mendapatkan insentif (uang/barang) saja. 2. Model Hubungan Manusia Model ini mengemukakan bahwa untuk memotivasi bawahan supaya gairah kerjanya meningkat ialah dengan mengakui kebutuhan sosial mereka dan membuat mereka merasa berguna dan penting. Sebagai akibatnya, karyawan mendapatkan beberapa kebebasan membuat keputusan dan kreativitas dalam pekerjaannya. Dengan memperhatikan kebutuhan materiil dan nonmateriil karyawan, motivasi kerjanya akan meningkat pula. Jadi motivasi karyawan adalah untuk mendapatkan materiil dan nomateriil. 3. Model Sumber Daya Manusia Model ini mengatakan bahwa karyawan dimotivasi oleh banyak faktor, bukan hanya uang/barang atau keinginan akan kepuasan, tetapi juga kebutuhan akan pencapaian dan pekerjaan yang berarti. Menurut model ini, karyawan cenderung memperoleh kepuasan dari prestasi yang baik. Karyawan bukanlah berprestasi baik karena merasa puas, melainkan karena termotivasi oleh rasa tanggung jawan yang lebih luas untuk membuat keputusan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Jadi, menurut model sumber daya manusia, untuk memotivasi bawahan dilakukan dengan memberikan tanggung jawab dan kesempatan yang luas bagi mereka untuk mengambil keputusan/kebijaksanaan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Motivasi moral/gairah bekerja seseorang akan meningkat, jika kepada mereka diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.
32
2.4.3 Teori-Teori Motivasi Kerja 2.4.3.1 Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer Teori ERG (Mangkunegara, 2005: 98) merupakan refleksi dari nama tiga dasar kebutuhan, yaitu: a.
Existence needs. Kebutuhan ini berhubungan dengan fisik dari eksistensi pegawai, seperti makan, minum, pakaian, bernapas, gaji, keamanan kondisi kerja, fringe benefits.
b. Relatedness
needs.
Kebutuhan
interpersonal,
yaitu
kepuasan
dalam
berinteraksi dalam lingkungan kerja. c. Growth needs. Kebutuhan untuk mengembangkan dan meningkatkan pribadi. Hal ini berhubungan dengan kemampuan dan kecakapan pegawai.
2.4.3.2 Achievement Theory McClelland (Mangkunegara, 2005: 97) mengemukakan adanya tiga macam kebutuhan manusia, yaitu: 1. Need for Achievement Kebutuhan untuk berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk pemecahan masalah. Seorang pegawai yang mempunyai kebutuhan akan berprestasi tinggi cenderung untuk berani mengambil resiko. Kebutuhan untuk berprestasi adalah kebutuhan untuk melakukan pekerjaan lebih baik daripada sebelumnya, selalu berkeinginan mencapai prestasi yang lebih tinggi.
33
2. Need for Affiliation Kebutuhan untuk berafiliasi yang merupakan dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain, berada bersama orang lain, tidak mau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Need of Affiliation merangsang gairah bekerja karyawan karena setiap orang menginginkan hal-hal berikut: a.
Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan ia tinggal dan bekerja (sense of belonging).
b. Kebutuhan akan perasaan dihormati karena setiap manusia merasa dirinya penting (sense of importance). c. Kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (sense of achievement). d. Kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation). 3. Need for Power Kebutuhan untuk kekuasaan yang merupakan refleksi dari dorongan untuk mencapai otoritas untuk memiliki pengaruh terhadap orang lain. Need of power akan merangsang dan memotivasi gairah kerja karyawan serta mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Ego manusia ingin lebih berkuasa dari manusia lainnya akan menimbulkan persaingan. Persaingan ditumbuhkan secara sehat oleh manajer dalam memotivasi bawahannya, supaya mereka termotivasi untuk bekerja giat.
34
2.4.3.3 Expectancy Theory Teori pengharapan dikembangkan oleh Victor H. Vroom (Mangkunegara, 2006: 70). Kemudian teori ini diperluas oleh Porter dan Lawler. Davis (Mangkunegara, 2006: 70) mengemukakan bahwa ’Vroom menjelaskan bahwa motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu, dan penaksiran seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menuntutnya’. Pernyataan diatas berhubungan dengan rumus di bawah ini: Valensi x Harapan x Instrumen = Motivasi Keterangan: • Valensi merupakan kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu. • Harapan merupakan kemungkinan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu. •
Motivasi merupakan kekuatan dorongan yang mempunyai arah pada tujuan tertentu.
• Instrumen merupakan insentif atau pengharapan yang akan diberikan. Valensi lebih menguatkan pilihan seorang pegawai untuk suatu hasil. Jika seorang pegawai mempunyai keinginan yang kuat untuk suatu kemajuan, maka berarti valensi pegawai tersebut tinggi untuk suatu kemajuan. Valensi timbul dari internal pegawai yang dikondisikan dengan pengalaman. Selanjutnya, Vroom mendasarkan teorinya pada tiga konsep penting, yaitu: a. Harapan (Expectancy) Harapan adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena perilaku. Harapan mempunyai nilai yang berkisar dari nol yang menunjukkan tidak ada kemungkinan bahwa suatu hasil akan muncul sesudah perilaku atau tindakan
35
tertentu, sampai angka positif satu yang menunjukkan kepastian bahwa hasil tertentu akan mengikuti suatu tindakan atau perilaku. Harapan dinyatakan dalam probabilitas (kemungkinan). b. Nilai (valence) Nilai adalah akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai tertentu (daya atau nilai memotivasi) bagi setiap individu tertentu. Sebagai contoh, peluang untuk dipindahkan ke posisi dengan gaji yang lebih besar di tempat lain mungkin mempunyai rangsangan dari lingkungan baru, tetapi mungkin mempunyai nilai (valensi) rendah bagi orang yang mempunyai ikatan kuat dengan tetangga, kawan, atau kelompok kerja. Nilai/valensi ditentukan oleh individu dan tidak merupakan kualitas objektif dari akibat itu sendiri. Pada suatu situasi tertentu, nilai itu berbeda bagi satu orang ke orang lain. Satu hasil mempunyai valensi positif apabila dipilih dan lebih disenangi, dan sebaliknya mempunyai valensi negatif jika tidak dipilih. Suatu hasil mempunyai valensi nol apabila orang acuh tak acuh mendapatkannya. c. Pertautan (Instrumentality) Pertautan adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengan hasil tingkat kedua. Vroom mengemukakan bahwa pertautan dapat mempunyai nilai yang berkisar antara minus satu (-1) yang menunjukkan persepsi bahwa tercapainya tingkat kedua adalah pasti tanpa hasil tingkat pertama dan tidak mungkin timbul dengan tercapainya hasil tingkat pertama dan positif satu (+1) yang menunjukkan bahwa hasil tingkat pertama perlu dan sudah cukup untuk menimbulkan hasil tingkat kedua. Karena hal ini menggambarkan suatu
36
gabungan atau asosiasi maka instrumentality dapat dipikirkan sebagai pertautan atau korelasi. Selanjutnya Davis (Mangkunegara, 2006: 71) mengemukakan bahwa: Pengharapan merupakan kekuatan keyakinan pada suatu perlakuan yang diikuti dengan hasil khusus. Hal ini menggambarkan bahwa keputusan pegawai yang memungkinkan mencapai suatu hasil dapat menuntun hasil lainnya. Pengharapan merupakan suatu aksi yang berhubungan dengan hasil, dari jarak 0-1. jika pegawai merasa tidak mungkin mendapatkan hasil maka harapannya adalah 0. jika aksinya berhubungan dengan hasil tertentu maka harapannya bernilai 1. harapan pegawai secara normal adalah diantara 0-1.
2.4.3.4 Maslow’s Need Hierarchy Theory Kebutuhan dapat didefinisikan sebagai suatu kesenjangan atau pertentangan yang dialami antara suatu kenyataan dengan dorongan yang ada dalam diri. Apabila pegawai kebutuhannya tidak terpenuhi maka pegawai tersebut akan menunjukkan perilaku kecewa. Sebaliknya, jika kebutuhannya terpenuhi maka pegawai tersebut akan menunjukkan perilaku yang gembira sebagai manifestasi dari rasa puasnya. Kebutuhan merupakan hal yang mendasari perilaku pegawai. Perilaku
pegawai
tidak
dapat
dipahami
tanpa
mengerti
kebutuhannya
(Mangkunegara, 2006: 63). Abraham Maslow (Amelinda: 2006) mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia adalah sebagai berikut: a. Kebutuhan fisiologis (Physiological Needs), yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik, bernafas, seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut sebagai kebutuhan yang paling dasar.
37
b. Kebutuhan rasa aman (Safety Needs), yaitu kebutuhan akan perlindungan dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup. c. Kebutuhan untuk rasa memiliki (Belongingness Needs), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebuthan untuk mencintai serta dicintai. d. Kebutuhan akan harga diri (Esteem Needs), yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain. e. Kebutuhan akan pengetahuan (Needs of Knowledge), yaitu kebutuhan untuk mengetahui, memahami, dan menggali informasi yang terdapat di lingkungan. f. Kebutuhan akan keindahan (Needs of Aesthetic), yaitu kebutuhan akan unsurunsur keindahan seperti keurutan, simestris, kecantikan, dan sebagainya. g. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (Self Actualization), yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, skill, dan potensi. Kebutuhan untuk berpendapat dengan mengemukakan ide-ide memberi penilaian dan kritik terhadap sesuatu. h. Kebutuhan untuk transedensi diri (Self Transcedensi), yaitu kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang bisa mengalahkan egonya sehingga termotivasi untuk membantu orang lain meraih pemenuhan diri (Self Fullfilment) dan menyadari potensinya masing-masing. Hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow ditunjukkan dengan bentuk piramida pada bagan berikut:
38
Self Transcendence Self Actualization Aesthetic Needs Needs of Knowledge
Bagan 2.3
Esteem Needs Belongingness Needs
Bagan 2.3
Safety and Security Needs Physiological Needs
P Bagan 2.3 Piramida Maslow (Sumber:http://amelinda05.blogs.friendster.com/my_wonderful_canvas_of_li /2006/05/index.html)
2.4.3.5 Integrated Model of Motivation Intergrated Model of Motivation atau yang disebut juga Model Motivasi yang diintegrasikan adalah salah satu teori motivasi yang dikemukan oleh Kinlaw. Menurut Kinlaw (Puspita: 2003): Karyawan yang memiliki motivasi kerja yang tinggi akan atau selalu mencoba melakukan yang terbaik serta bersedia meluangkan waktu dan upaya ekstra untuk melakukan pekerjaannya, karyawan menjadi termotivasi bila ia mempersepsi bahwa pekerjaannya berhubungan dengan sesuatu yang penting baginya. Kinlaw mencoba menerangkan teori-teori motivasi yang ada dalam suatu model yang terintegrasi. Model ini berusaha menjelaskan mengenai kekuatan pertimbangan-pertimbangan seseorang yang mempengaruhi motivasi kerja.
39
Kinlaw mengembangakan alat ukur motivasi kerja yang didasarkan teori Intergrated Model of Motivation. Alat ukur ini dinamakan ’The Motivation Assessment Inventory (MAI)’, yang digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2.4 Motivation Assessment Inventory (Sumber: http://www.team-zone.com/mai/default.asp) Asumsi dasar MAI adalah bahwa motivasi bukanlah merupakan tindakan yang bersifat refleks, tetapi merupakan hasil dari pilihan sukarela yang dibuat oleh diri. Diri memproses informasi yang berkaitan dengan pengerahan usaha yang selanjutnya menghasilkan tiga buah pertimbangan. Jumlah kekuatan dari ketiga buah pertimbangan tersebut menentukan kekuatan motivasi individu dalam melaksanakan pekerjaannya. Orang yang memiliki motivasi yang kuat maka ia akan berusaha semaksimal mungkin dan meluangkan waktu untuk pekerjaan agar dapat mencapai hasil kerja yang tinggi. Ketiga pertimbangan yang mendasari pelaksanaan tersebut adalah:
40
1. Kecocokan (Match) Dalam kecocokan (Match) individu akan menilai kebutuhan-kebutuhan dan mengevaluasi dengan alternatif tujuan (goals) yang dimiliki dalam rangka atau tujuan semakin dan sejalan dengan kebutuhan-kebutuhannya maka individu akan semakin terangsang untuk mengerjakan tugas atau mencapai tujuannya. Cara seseorang menilai kebutuhan dan mengevaluasi tujuannya dipengaruhi oleh nilainilai (value), keyakinan (belief) dan prioritas. Jika seseorang mempersepsi bahwa suatu tugas atau tujuan makin jelas dan sejalan dengan kebutuhan-kebutuhannya maka individu akan semakin terangsang untuk mengerjakan tugas atau pencapaian tujuan. Bahasan Kinlaw tentang aspek ini erat kaitannya dengan Maslow, Aldefer, dan Herzberg. 2. Imbalan (Return) Dalam imbalan (return) individu akan membandingkan ganjaran ekstrinsik yang diperoleh seperti upah, rasa aman dalam bekerja, status dan sebagainya dengan kerugian yang dialaminya seperti kehilangan waktu, ketidaknyamanan atau kesulitan yang dialami, kebosanan dan sakit hati. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka selanjutnya individu memutuskan tingkat upaya yang akan dikerahkan dalam bekerja. Semakin kuat pertimbangan seseorang terhadap kedekatan penghargaan dengan kenyataan maka semakin kuat motivasinya untuk melakukan suatu tingkah laku. Aspek ini erat kaitannya dengan teori ekspektansi Vroom.
41
Dalam aspek imbalan (return) individu mempertimbangkan untung ruginya dalam melakukan tingkah laku tertentu, maka hal tersebut akan menurunkan motivasinya karena tidak memiliki nilai penguat (reinforncement). Jika individu menilai bahwa ia akan memperoleh keuntungan tertentu dengan menampilkan suatu tingkah laku tertentu maka motivasinya meningkat karena memiliki nilai penguat. Imbalan ekstrinsik yang dapat membangkitkan motivasi haruslah: 1. Mempunyai nilai 2. Dipersepsi sebagai hal yang berkaitan langsung dengan upaya yang dilakukan seseorang 3. Dipersepsi sebagai sesuatu hal yang kemungkinan besar terjadi 3. Harapan (Expectation) Dalam harapan (expectation) individu akan memastikan sejauh mana lingkungan memberikan kemudahan atau menguntungkannya. Individu mencoba melihat pada kompetensi diri dan sumber-sumber eksternal, seperti orang, waktu, dan teknologi yang dimiliki serta membandingkan hal tersebut dengan hambatanhambatan yang dihadapi pada saat bekerja, seperti kebijaksanaan, persaingan, pengawasan yang buruk dan birokrasi. Berdasarkan perbandingan antara sumbersumber dengan hambatan-hambatan tersebut, seseorang dapat memperkirakan kemungkinan untuk mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan dengan baik. Cara mempersepsi hambatan-hambatan eksternal dan sumber-sumber yang tersedia tersebut sangatlah dipengaruhi oleh cara seseorang mempersepsi kompetensi yang dimiliki. Semakin kecil tekanan dan hambatan yang dihadapi
42
maka seseorang semakin mempunyai keyakinan untuk dapat melaksanakan suatu pekerjaan. Teori motivasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah Integrated Model of Motivation dari Kinlaw (Puspita: 2003). Teori ini menggabungkan beberapa teori motivasi sehingga dapat menggambarkan motivasi kerja lebih menyeluruh.
2.5 Hubungan Antara Persepsi Terhadap Sistem Penilaian Prestasi Kerja dengan Motivasi Kerja Karyawan di dalam perusahaan dituntut bekerja secara optimal untuk menghasilkan produk dengan kualitas tinggi yang dapat mendatangkan laba bagi perusahaan. Perusahaan melakukan penilaian prestasi kerja untuk mengetahui apakah kinerja karyawan sudah optimal atau belum. Menurut Sikula, dalam Mangkunegara (2005), 'penilaian prestasi kerja karyawan merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan karyawan dan potensi yang dapat dikembangkan’. Penilaian prestasi kerja dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan suatu sistem tertentu. Sistem penilaian prestasi kerja karyawan tidak lepas dari persepsi karyawan. Menurut Atkinson, dalam Sobur (2003), ’persepsi adalah proses saat kita mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan’. Dalam penelitian ini, sistem penilaian prestasi kerja merupakan stimulus yang berasal dari lingkungan. Karyawan mengorganisasikan dan menafsirkan sistem penilaian prestasi kerja yang diterapkan oleh perusahaan.
43
Persepsi karyawan terhadap sistem penilaian prestasi kerja dapat menjadi positif atau negatif, bergantung pada bagaimana pelaksanaan sistem penilaian prestasi kerja tersebut. Hal ini akan mempengaruhi motivasi kerja karyawan dalam bekerja. Terkait dengan salah satu tujuan penilaian prestasi kerja yang dikemukakan oleh Sunyoto, dalam Mangkunegara (2006), yaitu ’mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi untuk
berprestasi
sesuai
dengan
potensinya’.
Terry (Hasibuan,
2006),
mengemukakan bahwa ‘motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan’. Apabila karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap sistem penilaian prestasi kerja, maka karyawan akan termotivasi dalam melaksanakan tugastugasnya karena mereka beranggapan bila melaksanakan tugas secara optimal akan mendapatkan nilai yang tinggi sehingga nilai tersebut dapat menunjang pengembangan karir. Namun, apabila karyawan memiliki persepsi yang negatif terhadap penilaian prestasi kerja maka karyawan akan mengalami penurunan motivasi
dalam
bekerja
karena
mereka
beranggapan
walaupun
sudah
melaksanakan tugas secara optimal, tidak mempengaruhi nilai yang diberikan oleh perusahaan. Hubungan antara persepsi terhadap penilaian prestasi kerja dengan motivasi kerja karyawan dapat dijelaskan melalui bagan berikut ini:
44
Bagan 2.5 Hubungan Antara Persepsi Terhadap Penilaian Prestasi Kerja Dengan Motivasi Kerja Karyawan Perusahaan
Sistem Penilaian Prestasi Kerja
Persepsi Karyawan
2.6
Negatif
Positif
Motivasi Rendah
Motivasi Tinggi
Studi-Studi Terdahulu Penelitian sebelumnya, dilakukan oleh Puspita (2003) yang meneliti hubungan
antara persepsi terhadap sistem penilaian kinerja dengan motivasi kerja pada pegawai pada tingkat Crew Biasa di Mc Donald’s Buah Batu Kodya Bandung. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap sistem penilaian kinerja dengan motivasi kerja. Penelitian Angin dan Tesi (2008) yang berjudul persepsi karyawan terhadap penilaian kinerja dampaknya pada motivasi kerja karyawan,menunjukkan bahwa persepsi karyawan
45
terhadap penilaian kinerja mempengaruhi secara signifikan pada motivasi kerja yang dimiliki karyawan. Artinya apabila persepsi karyawan terhadap penilaian kinerja positif maka motivasi kerja karyawan akan meningkat, sebaliknya jika persepsi karyawan terhadap penilaian kinerja negatif
maka motivasi kerja
karyawan akan menurun. Bartol, Durham, dan Pool (2001) melakukan penelitian serupa yang berjudul Influence of Performance Evaluation Rating Segmentation on Motivation and Fairness Perceptions, menyatakan bahwa karakteristik dari sistem penilaian prestasi kerja dapat mempengaruhi motivasi dan persepsi bawahan tentang keadilan. Penelitian yang mendukung dilakukan oleh Wijoyo (2000) yang meneliti tentang hubungan antara motivasi kerja dengan prestasi kerja disebuah perusahaan. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan positif dan siginifikan antara motivasi kerja dengan prestasi kerja. Penelitian serupa dilakukan oleh Adisasmito dan Paramita (2005) yang meneliti tentang persepsi pegawai dinas kesehatan kabupaten Bogor terhadap penilaian prestasi kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek memiliki persepsi kurang baik terhadap aspek-aspek penilaian prestasi kerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dan sebagian besar responden memiliki persepsi kurang baik terhadap atasan sebagai penilai. Efendi (2007) meneliti tentang pengaruh kepuasan kerja dan motivasi kerja terhadap kinerja individual, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara motivasi kerja dengan kinerja individual. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sulistiowati (2001) yang meneliti tentang hubungan motivasi kerja
46
dengan absenteeism pada tenaga operator departemen sanding assembly PT. Maitland Smith Indonesia, hasilnya terdapat hubungan yang negatif antara motivasi kerja dengan absenteeism. Koesmono (2005) meneliti tentang pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi dan kepuasan kerja serta kinerja karyawan pada sub sektor industri pengolahan kayu skala menengah di Jawa Timur, yang hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja dan kinerja karyawan.