BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Filosofi K3 Salah satu organisasi profesional Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di USA, International Association of Safety Professional (IASP) menetapkan 8 prinsip K3 yang menjadi landasan pengembangan K3 (Ramli, 2010:23) sebagai berikut: 1. K3 adalah tanggung jawab moral atau etik (Safety is an ethical responsibility) Masalah K3 hendaknya dilihat sebagai tanggung jawab moral untuk melindungi keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, K3 bukan sekadar pemenuhan perundangan atau kewajiban, tetapi merupakan tanggung jawab moral setiap pelaku bisnis untuk melindungi keselamatan pekerjanya. 2. K3 adalah budaya, bukan sekadar program (Safety is a culture, not a program) Banyak perusahaan yang menganggap K3 hanya sekadar program yang dijalankan dalam perusahaan atau untuk memperoleh penghargaan dan sertifikat. Padahal K3 adalah cerminan dari budaya (safety culture) dalam organisasi. K3 harus menjadi nilai-nilai yang dianut dan menjadi landasan dalam pengembangan bisnis. 3. K3 adalah tanggung jawab manajemen (Management is responsible) Selama ini manajemen sering melemparkan tanggung jawab K3 kepada para pengawas dan jika terjadi kecelakaan akan melimpahkan kepada mereka yang berada di tempat kerja. Padahal secara moral, tanggung jawab mengenai keselamatan ada pada manajemen. Tanggung jawab ini tentu dalam wujud
8
9
kebijakan, kepedulian, kepemimpinan dan dukungan penuh terhadap upaya keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. 4. Pekerja harus dididik untuk bekerja dengan aman (Employees must be trained to work safety) Setiap tempat kerja, lingkungan kerja dan jenis pekerjaan memiliki karakteristik dan persyaratan K3 berbeda. Karena itu, K3 tidak bisa timbul sendirinya pada diri pekerja atau pihak lainnya. K3 harus ditanamkan dan dibangun melalui pembinaan dan pelatihan. 5. K3 adalah cerminan kondisi ketenagakerjaan (Safety is a condition of employment) Tempat kerja yang baik adalah tempat kerja yang aman. Lingkungan kerja yang menyenangkan dan serasi akan mendukung tingkat keselamatan. Oleh karena itu, kondisi K3 dalam perusahaan adalah pencerminan dari kondisi ketenagakerjaan dalam perusahaan. 6. Semua kecelakaan dapat dicegah (All injuries are preventable) Prinsip dasar ilmu K3 adalah semua kecelakaan dapat dicegah karena semua kecelakaan pasti ada sebabnya. Jika sebab kecelakaan dapat dihilangkan, maka kemungkinan kecelakaan dapat dihindarkan. 7. Program K3 bersifat spesifik (Safety programs must be site specific) Prinsip ini melihat bahwa program K3 tidak bisa dibuat, ditiru, atau dikembangkan semuanya. Namun harus berdasarkan kondisi dan kebutuhan nyata di tempat kerja sesuai dengan potensi bahaya sifat kegiatan, kultur, kemampuan finansial, dan lainnya. Program K3 harus dirancang spesifik untuk masing-masing
10
organisasi atau perusahaan sehingga tidak bisa sekadar meniru atau mengikuti arahan dan pedoman dari pihak lain. 8. K3 baik untuk bisnis (Safety is good business) Melaksanakan K3 jangan dianggap sebagai pemborosan atau biaya tambahan, namun harus dilihat sebagai bagian dari proses produksi atau strategi perusahaan. K3 adalah bagian integral dari aktivitas perusahaan. Kinerja K3 yang baik akan memberikan manfaat terhadap bisnis perusahaan.
2.2 Sistem Manajemen K3 (SMK3) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) harus dikelola sebagaimana dengan aspek lainnya dalam perusahaan seperti operasi, produksi, logistik, sumber daya manusia, keuangan dan pemasaran. Aspek K3 tidak akan bisa berjalan seperti apa adanya tanpa intervensi dari manajemen berupa upaya terencana untuk mengelolanya. Karena itu, ahli K3 sejak awal Tahun 1980an berupaya meyakinkan semua pihak, khususnya manajemen organisasi untuk menempatkan aspek K3 setara dengan unsur lain dalam organisasi. Hal inilah yang mendorong lahirnya berbagai konsep mengenai Manajemen K3 (safety management). Semua system manajemen K3 bertujuan untuk mengelola ririko K3 yang ada dalam perusahaan agar kejadian yang tidak diinginkan atau dapat menimbulkan kerugian dapat dicegah. Mengelola K3 sama juga dengan mengelola aspek lain dalam perusahaan dengan menggunakan pendekatan manajemen modern mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penerapan dan pengawasan.
11
Selanjutnya International Labour Organization (ILO) mengeluarkan pedoman Sistem Manajemen K3 untuk digunakan di lingkungan kerja. Hal serupa juga terjadi di sector industry lainnya sehingga berkembang berbagai system manajemen keselamatan seperti Food Safety Management System, Railway Safety Management System, Marine Safety Management System, Road Safety Management System, Construction Safety Management System, Hospital Safety Management System, dan lainnya. Faktor inilah antara lain yang mendorong lahirnya system manajemen K3 OHSAS 18001. 2.2.1 Pengertian SMK3 Menurut Kepmenaker 05 Tahun 1996, Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari system manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. SMK3 merupakan konsep pengelolaan K3 secara sistematis dan komprehensif dalam suatu sistem manajemen yang utuh melalui proses perencanaan, penerapan, pengukuran dan pengawasan. Pendekatan SMK3 telah berkembang sejak Tahun 1980an yang dipelopori oleh pakar K3 seperti James Tye dari British Safety Council, Dan Petersen, Frank Birds dan lainnya. Dewasa
12
ini terdapat berbagai bentuk SMK3 yang dikembangkan oleh berbagai lembaga dan institusi di dalam dan luar negeri. antara lain: a. Sistem Manajemen Five Star dari British Safety Council, UK Dikembangkan oleh lembaga K3 di Inggris sekitar Tahun 1970 dan digunakan di berbagai perusahaan dan institusi. Lembaga ini memberi penghargaan kepada perusahaan yang berprestasi berbentuk pedang keselamatan (Sword of Honour). Beberapa perusahaan di Indonesia, seperti Pertamina dan Petrokimia telah memperoleh penghargaan ini. b. British Standard BS 8800 Guide to Occupational Health and Safety Management System Merupakan standar tentang SMK3 yang diberlakukan di Inggris dan Negara lain di sekitarnya. c. Occupational Health and Safety (OHS) Management System, OHSA,USA d. International Safety Rating System (ISRS) dari ILCI/DNV Suatu SMK3 yang dipelopori oleh ahli K3 dari USA yaitu Mr. Frank Bird yang mengembangkan metode penilaian kinerja K3 yang disebut ISRS. Sistem ini memberi peringkat kinerja K3 suatu perusahaan melalui audit dan nilai (system scoring). Di Indonesia telah banyak perusahaan yang menerapkan sistem ini. e. Process Safety Management, OHSA Standard CFR 29 1910.119 Merupakan SMK3 yang dirancang khusus untuk industri proses berisiko tinggi seperti perminyakan dan petrokimia. Di Indonesia dikenal dengan
13
istilah Manajemen Keselamatan Proses (MKP) yang telah dikembangkan oleh berbagai industri dan perusahaan. f. Sistem Manajemen K3 dari Depnaker RI Sistem ini telah dikembangkan di Indonesia dan diimplementasikan oleh berbagai perusahaan. Auditnya dilakukan melalui Sucofindo. g. American Petroleum Institute: API 9100A: Model Environmental Health and Safety (EHS) Management System Lembaga ini mengeluarkan pedoman tentang sistem manajemen keselamatan kerja dan lingkungan h. American Petroleum Institute: API RP 750, Management of Process Hazards i. ILO – OHS 2001: Guideline on OHS Management System Lembaga perburuhan dunia ini juga mengembangkan pedoman SMK3 yang banyak digunakan sebagai acuan oleh berbagai Negara dan perusahaan. j. E&P Forum: Guidelines for Development and Application of HSE Management System Semua SMK3 tersebut memiliki kesamaan yaitu berdasarkan proses dan fungsi manajemen modern. Yang berbeda adalah elemen implementasinya yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. 2.2.2 Tujuan SMK3 Berbagai tujuan SMK3 tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: a. Sebagai alat ukur kinerja K3 dalam organisasi b. Sebagai pedoman implementasi K3 dalam organisasi
14
c. Sebagai dasar penghargaan (awards) d. Sebagai sertifikasi Mengingat banyaknya SMK3 yang dikembangkan oleh berbagai institusi tersebut, timbul kebutuhan untuk menstandarisasikan sekaligus memberikan sertifikasi atas pencapaiannya. Dari sini lahirlah penilaian kinerja K3 yang disebut OHSAS 18000 (Occupational Health and Safety Assessment Series). Sistem ini dapat disertifikasikan melalui lembaga sertifikasi dan diakui secara global. OHSAS 18000 pertama kali diperkenalkan pada Tahun 1999 dan kemudian disempurnakan pada Tahun 2007 dan disepakati sebagai suatu Standar Sistem Manajemen K3. OHSAS 18000 terdiri dari dua bagian yaitu OHSAS 18001 sebagai standar atau persyaratan SMK3, dan OHSAS 18002 sebagai pedoman pengembangan dan penerapannya. 2.2.3 Proses SMK3 Menurut OHSAS 18001, sistem manajemen merupakan suatu set elemenelemen yang saling terkait untuk menetapkan kebijakan dan sasaran untuk mencapai objektif tersebut. SMK3 terdiri atas dua unsur pokok yaitu proses manajemen dan elemen-elemen implementasinya. Proses SMK3 menjelaskan bagaimana sistem manajemen tersebut dijalankan atau digerakkan. Sedangkan elemen merupakan komponen-komponen kunci yang terintegrasi satu dengan yang lainnya membentuk satu kesatuan sistem manajemen. Elemen-elemen ini mencakup antara lain tanggung jawab, wewenang, hubungan antar fungsi, aktivitas, proses, praktis, prosedur dan sumber daya.
15
Elemen ini dipakai untuk menetapkan kebijakan K3, perencanaan, objektif dan program K3. Proses SMK3 menggunakan pendekatan PDCA (Plan – Do – Check – Action) yaitu mulai dari perencanaan, penerapan, pemeriksaan, dan tindakan perbaikan. Dengan demikian, SMK3 akan berjalan terus-menerus secara berkelanjutan selama aktivitas organisasi masih berlangsung. SMK3 dimulai dengan penetapan kebijakan K3 oleh manajemen puncak sebagai perwujudan komitmen manajemen dalam mendukung penerapan K3. Kebijakan K3 selanjutnya dikembangkan dalam perencanaan. Tanpa perencanaan yang baik, proses K3 akan berjalan tanpa arah (misguided), tidak efisien, dan tidak efektif. Berdasarkan hasil perencanaan tersebut, dilanjutkan dengan penerapan dan operasional, melalui pengerahan semua sumber daya yang ada, serta melakukan berbagai program dan langkah pendukung untuk mencapai keberhasilan. Secara keseluruhan, hasil penerapan K3 harus ditinjau ulang secara berkala oleh manajemen puncak untuk memastikan bahwa SMK3 telah berjalan sesuai dengan kebijakan dan strategi bisnis serta untuk mengetahui kendala yang dapat mempengaruhi pelaksanaanya. Dengan demikian, organisasi dapat segera melakukan perbaikan dan langkah koreksi lainnya.
16
Tinjauan Manajemen
Pengukuran & Pemantauan
ACTION
PLAN
Perencanaan
CHECK
DO
Implementasi
Gambar 2.1 Siklus Manajemen 2.3 Tujuan dan Manfaat K3 Sering timbul anggapan bahwa K3 merupakan pemborosan, pengeluaran biaya yang sia-sia atau sekadar formalitas yang harus dipenuhi oleh organisasi. K3 masih dianggap sebagai beban tambahan bagi organisasi. Persepsi seperti ini sangat menghambat pelaksanaan K3. Aspek K3 bersifat multi dimensi. Karena itu tujuan dan manfaat K3 juga harus dilihat dari berbagai sisi seperti dari sisi hukum, perlindungan tenaga kerja, ekonomi, pengendalian kerugian, sosial, dan lainnya.
2.4 Kecelakaan dan Keselamatan Kerja 2.4.1 Konsep Kecelakaan Dalam proses terjadinya (Ramli, 2010:30), kecelakaan terkait empat unsur produksi yaitu People, Equipment, Material, Environment (PEME) yang saling berinteraksi dan bersama-sama menghasilkan suatu produk atau jasa. Kecelakaan
17
terjadi dalam proses interaksi tersebut yaitu ketika terjadi kontak antara manusia dengan alat, material dan lingkungan dimana dia berada. Kecelakaan dapat terjadi karena kondisi alat atau material yang kurang baik atau berbahaya. Kecelakaan juga dapat dipicu oleh kondisi lingkungan kerja yang tidak aman seperti ventilasi, penerangan, kebisingan, atau suhu yang tidak aman melampaui ambang batas. Di samping itu, kecelakaan juga dapat bersumber dari manusia yang melakukan kegiatan di tempat kerja dan menangani alat atau material. Faktor-faktor penyebab kecelakaan seperti dikemukakan oleh H.W. Heinrich (1930) dengan teori dominonya yang menggolongkan atas: a. Tindakan tidak aman dari manusia (unsafe action), misalnya tidak mau menggunakan alat keselamatan dalam bekerja, melepas alat pengaman atau bekerja sambil bergurau. Tindakan ini dapat membahayakan dirinya dan orang lain yang dapat berakhir dengan kecelakaan. b. Kondisi tidak aman (unsafe condition), yaitu kondisi di lingkungan kerja baik alat, material, maupun lingkungan yang tidak aman dan membahayakan. Teori tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Frank Bird yang menggolongkan atas sebab langsung (immediate causes) dan faktor dasar (basic causes). Penyebab langsung kecelakaan adalah pemicu
yang langsung
menyebabkan terjadinya kecelakaan, sedangkan penyebab tidak langsung merupakan faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap kejadian tersebut. 2.4.2 Pendekatan Pencegahan Kecelakaan Prinsip mencegah kecelakaan sebenarnya sangat sederhana yaitu dengan menghilangkan faktor penyebab kecelakaan yang disebut tindakan tidak aman dan
18
kondisi yang tidak aman. Namun dalam prakteknya tidak semudah yang dibayangkan karena menyangkut berbagai unsur yang saling tekait mulai dari penyebab langsung, penyebab dasar dan latar belakang. Oleh karena itu, berkembang berbagai pendekatan dalam pencegahan kecelakaan. Banyak teori dan konsep yang dikembangkan para ahli, dan beberapa diantaranya yaitu: a. Pendekatan Energi Sesuai dengan konsep energi, kecelakaan bermula karena adanya sumber energi yang mengalir mencapai penerima (recipient). Karena itu pendekatan energi mengendalikan kecelakaan melalui tiga titik yaitu pada sumbernya, pada aliran energi (path way) dan pada penerima. b. Pendekatan Manusia Untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian mengenai K3 dilakukan berbagai pendekatan dan program K3 antara lain: 1). Pembinaan dan Pelatihan 2). Promosi dan Kampanye K3 3). Pembinaan Perilaku Aman 4). Pengawasan dan Inspeksi K3 5). Audit K3 6). Komunikasi K3 7). Pengembangan prosedur kerja aman (Safe Working Practices) c. Pendekatan Teknis
19
Pendekatan teknis menyangkut kondisi fisik, peralatan, material, proses maupun lingkungan kerja yang tidak aman. Untuk mencegah kecelakaan yang bersifat teknis dilakukan upaya keselamatan antara lain: 1) Rancang bangun yang aman disesuaikan dengan persyaratan teknis dan standar yang berlaku untuk menjamin kelaikan instalasi atau peralatan kerja. 2) Sistem pengaman pada peralatan atau instalasi untuk mencegah kecelakaan dalam pengoperasian alat atau instalasi. d. Pendekatan Administratif Pendekatan secara administratif dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: 1) Pengaturan waktu dan jam kerja sehingga tingkat kelelahan dan paparan bahaya dapat dikurangi 2) Penyediaan alat keselamatan kerja 3) Mengembangkan dan menetapkan prosedur dan peraturan tentang K3 4) Mengatur pola kerja, sistem produksi dan proses kerja e. Pendekatan Manajemen Banyak kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manajemen yang tidak kondusif sehingga mendorong terjadinya kecelakaan. Upaya pencegahan yang dilakukan antara lain: 1) Menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) 2) Mengembangkan organisasi K3 yang efektif 3) Mengembangkan komitmen dan kepemimpinan dalam K3, khususnya untuk manajemen tingkat atas.
20
2.4.3 Filosofi Keselamatan Setiap kecelakaan pasti ada penyebabnya. Tidak ada kejadian apapun yang tanpa sebab sebagai pemicunya. Jika faktor penyebab tersebut dihilangkan, maka dengan sendirinya kecelakaan bisa dicegah. Atas dasar tersebut, maka menurut Heinrich yaitu setiap kecelakaan dapat dicegah. Selanjutnya dikemukakan sepuluh aksioma sebagai berikut: a. Bahwa kecelakaan merupakan rangkaian proses sebab dan akibat. Tidak ada kecelakaan yang disebabkan oleh faktor tunggal, namun merupakan rangkaian sebab dan akibat yang saling terkait. b. Bahwa sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia dengan tindakannya yang tidak aman. c. Bahwa kondisi yang tidak aman dapat membahayakan dan menimbulkan kecelakaan. d. Bahwa tindakan tidak aman dari seseorang dipengaruhi oleh tingkah laku, kondisi fisik, pengetahuan dan keahlian serta kondisi lingkungan kerjanya. e. Untuk itu upaya pencegahan kecelakaan harus mencakup berbagai usaha antara lain dengan melakukan perbaikan teknis, tindakan persuasif, penyesuaian individu dengan pekerjaannya dan dengan melakukan penegakan disiplin (law inforcement). f. Keparahan suatu kecelakaan berbeda satu dengan lainnya. g. Program pencegahan kecelakaan harus sejalan dengan program lainnya dalam organisasi.
21
h. Pencegahan kecelakaan atau program keselamatan dalam organisasi tidak akan berhasil tanpa dukungan dan peran serta manajemen puncak dalam organisasi. i. Pengawas merupakan unsur kunci dalam program K3 j. Bahwa usaha keselamatan menyangkut aspek ekonomis.
2.4.4 Persyaratan Keselamatan Kerja Keselamatan kerja dalam suatu tempat kerja mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan kondisi dan keselamatan sarana produksi, manusia dan cara kerja. Persyaratan keselamatan kerja menurut Undang-undang No.1 tahun 1970 adalah sebagai berikut: a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran c. Mencegah dan mengurangi bahaya kebakaran d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri dalam kejadian kebakaran atau kejadian lainnya e. Memberikan pertolongan dalam kecelakaan f. Memberikan alat pelindung diri bagi pekerja g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu, kelembapan, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik, maupun psikis, keracunan, infeksi dan penularan.
22
i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai j. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang baik l. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerja n. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman, atau barang o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan p. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan, dan penyimpanan barang. q. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya
2.5 Alat Pelindung Diri (APD) Perlindungan tenaga kerja melalui usaha – usaha teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu diutamakan. Namun kadang-kadang keadaan bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya. Sehingga pihak manajemen akan mengambil tindakan untuk melindungi pekerja itu dengan berbagai cara yaitu mengurangi sumber bahaya ataupun menggunakan alat pelindung diri (personal protective devices). Namun dalam realisasinya pemakaian APD masih sangat sulit, mengingat para pekerja akan menganggap bahwa alat ini akan mengganggu pekerjaan.
23
APD adalah suatu kewajiban dimana biasanya para pekerja atau buruh bangunan yang bekerja di sebuah proyek atau pembangunan sebuah gedung, diwajibkan menggunakannya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Alat-alat demikian harus memenuhi persyaratan tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya. APD berperan penting terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam pembangunan nasional, tenaga kerja memiliki peranan dan kedudukan yang penting sebagai pelaku pembangunan, sehingga perlu dilakukan upaya – upaya perlindungan baik dari aspek ekonomi, politik, sosial, teknis dan medis dalam mewujudkan kesejahteraan tenaga kerja. Terjadinya kecelakaan kerja dapat mengakibatkan korban jiwa, cacat, kerusakan peralatan, menurunnya mutu dan hasil produksi, terhentinya proses produksi, kerusakan lingkungan, dan akhirnya akan merugikan semua pihak serta berdampak pada perekonomian nasional. Bahaya yang mungkin terjadi di lantai produksi dan menimpa tenaga kerja adalah: a. Tertimpa benda keras dan berat b. Tertusuk atau terpotong benda tajam c. Terjatuh dari tempat tinggi d. Terbakar atau terkena aliran listrik e. Terkena zat kimia berbahaya pada kulit atau melalui pernafasan f. Rusak pendengaran karena kebisingan g. Rusak penglihatan karena cahaya berlebihan h. Terkena radiasi
24
Kerugian yang harus ditanggung apabila terjadi kecelakaan adalah : a. Produktivitas pekerja berkurang selama beberapa waktu b. Adanya biaya perawatan medis atas tenaga kerja yang terluka, cacat, bahkan meninggal c. Kerugian atas kerusakan mesin d. Menurunnya efisiensi perusahaan, dan lain-lain APD bukanlah alat yang nyaman apabila dikenakan tetapi fungsi dari alat ini sangatlah besar sebab dapat mencegah penyakit akibat kerja ataupun kecelakaan pada waktu bekerja. Pada kenyataannya banyak para pekerja yang masih belum mengenakan APD karena merasakan ketidaknyamanan saat bekerja. Berdasarkan Pasal 14 huruf c UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pengusaha wajib menyediakan APD secara cuma-cuma terhadap tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja. Apabila kewajiban pengusaha/pengurus perusahaan tersebut tidak dipenuhi merupakan suatu pelanggaran undang-undang. Berdasarkan Pasal 12 huruf b, tenaga kerja diwajibkan memakai APD yang telah disediakan. APD yang disediakan oleh pengusaha dan dipakai oleh tenaga kerja harus memenuhi syarat pembuatan, pengujian dan sertifikat. Tenaga kerja berhak menolak memakainya jika APD yang disediakan tidak memenuhi syarat. Dari ketiga pemenuhan persyaratan tersebut, harus diperhatikan faktor – faktor pertimbangan dimana APD harus : a. Enak dan nyaman dipakai b. Tidak mengganggu ketenangan kerja dan tidak membatasi ruang gerak pekerja
25
c. Memberikan perlindungan yang efektif terhadap segala jenis bahaya/potensi bahaya d. Memenuhi syarat estetika e. Memperhatikan efek samping penggunaan APD f. Mudah dalam pemeliharaan, tepat ukuran, tepat penyediaan, dan harga terjangkau Beberapa jenis APD antara lain : masker, kacamata, sepatu pengaman, sarung tangan, topi pengaman (helmet), perlindungan telinga, perlindungan paruparu, dan APD lainnya. Penggunaan pelindung wajah dan alat pernafasan (Masker) pada tempat – tempat kerja tertentu seringkali udaranya kotor yang diakibatkan oleh bermacam-macam sebab antara lain: debu – debu kasar dari penggerindaan atau operasi – operasi sejenis; racun dan debu halus yang dihasilkan dari pengecatan atau asap; uap beracun atau gas beracun dari pabrik kimia; bukan gas beracun tetapi seperti Karbondioksida (CO2) yang menurunkan konsentrasi Oksigen (O2) di udara. Untuk mencegah masuknya kotoran-kotoran tersebut, kita dapat menggunakan alat yang disebut masker . Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan masker yaitu: bagaimana menggunakan masker secara benar; macam dari kotoran debu yang perlu dihindari; dan lamanya menggunakan alat tersebut. Jenis – jenis masker dan penggunaannya : a. Masker penyaring debu, berguna untuk melindungi pernafasan dari serbuk – serbuk logam, pengerindahan atau serbuk kasar lainnya.
26
b. Masker berhidung, berguna untuk menyaring debu atau benda lain sampai ukuran 0,5 mikron, bila kita sulit bernafas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti karena filternya telah tersumbat oleh debu. c. Masker bertabung, mempunyai filter yang baik daripada masker berhidung. Masker ini sangat tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas tertentu. Bermacam-macam tabung dapat dipasangkan dan tertulis untuk macam gas yang bagaimana masker tersebut digunakan. Salah satu masalah tersulit dalam pencegahan kecelakaan adalah pencegahan kecelakaan yang menimpa mata. Orang-orang merasa enggan memakai kacamata (goggles) karena ketidaknyamanannya sehingga dengan alasan tersebut pekerja merasa mengurangi kenikmatan kerja. Banyak upaya yang harus diselenggarakan ke arah pembinaan disiplin, atau melalui pendidikan dan penggairahan, agar tenaga kerja memakainya. Tenaga kerja yang berpandangan bahwa risiko kecelakaan terhadap mata adalah besar akan memakainya dengan kemauan sendiri. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa bahaya itu kecil, mereka tidak akan mau memakainya. Kecelakaan mata berbeda – beda dan aneka jenis kacamata pelindung diperlakukan. Misalnya, pekerjaan dengan kemungkinan adanya risiko dari bagian-bagian yang melayang memerlukan kacamata dengan lensa yang kokoh, sedangkan bagi pengelasan diperlakukan lensa penyaringan sinar las yang tepat. Sepatu pengaman (Safety Shoes) harus dapat melindungi tenaga kerja terhadap kecelakaan-kecelakaan yang disebabkan oleh beban berat yang menimpa kaki, paku-paku atau benda tajam lain yang mungkin terinjak, logam pijar, asam –
27
asam, dan sebagainya. Biasanya sepatu kulit yang buatannya kuat dan baik, cukup memberikan perlindungan, tetapi terhadap kemungkinan tertimpa benda – benda berat masih perlu sepatu dengan ujung bertutup baja dan lapisan baja di dalam solnya. Lapis baja di dalam sol perlu untuk melindungi tenaga kerja dari tusukan benda runcing dan tajam khususnya pada pekerjaan bangunan. Sarung Tangan (Gloves) harus diberikan kepada tenaga kerja dengan pertimbangan akan bahaya – bahaya dan persyaratan yang diperlukan, antara lain syaratnya adalah bebannya bergerak jari dan tangan. Macamnya tergantung pada jenis kecelakaan yang akan dicegah yaitu tusukan, sayatan, terkena benda panas, terkena bahan kimia, terkena aliran listrik, terkena radiasi, dan sebagainya. Harus diingat bahwa memakai sarung tangan ketika bekerja pada mesin pengebor, mesin pengepres dan mesin lainnya yang dapat menyebabkan tertariknya sarung tangan ke mesin adalah berbahaya. Sarung tangan juga sangat membantu pada pekerjaan yang berkaitan dengan benda kerja yang panas, tajam ataupun benda kerja yang licin. Sarung tangan juga dipergunakan sebagai isolator untuk pengerjaan listrik. Helm Pengaman (Safety Helmet) harus dipakai oleh tenaga kerja yang mungkin tertimpa pada kepala oleh benda jatuh, melayang, atau benda-benda lain yang bergerak. Topi demikian harus cukup keras dan kokoh, tetapi ringan. Bahan plastik dengan lapisan kain terbukti sangat cocok untuk keperluan ini. Telinga harus dilindungi selain dari suara yang berlebihan atau kebisingan, juga dari loncatan api, percikan logam, pijar, atau partikel-partikel yang melayang. Perlindungan terhadap kebisingan dilakukan dengan sumbat atau tutup telinga.
28
Masih terdapat APD lainnya seperti tali pengaman bagi tenaga kerja yang mungkin terjatuh, selain itu mungkin pula diadakan tempat kerja khusus bagi tenaga kerja dengan segala alat proteksinya. Juga pakaian khusus bagi tenaga kerja saat terjadinya kecelakaan atau untuk penyelamatan. Pakaian kerja harus dianggap suatu alat perlindungan terhadap bahaya – bahaya kecelakaan. 2.6 Kesehatan Kerja Hal – hal yang terkait prihal kesehatan kerja diantaranya diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terutama yang tertuang dalam Bab tersendiri yaitu prihal Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja. 2.6.1. Kesehatan Lingkungan Prihal Kesehatan Lingkungan, dalam beberapa pasal menyebutkan tentang upaya kesehatan lingkungan yang ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Adapun lingkungan sehat yang dimaksud mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, dan fasilitas umum. Lingkungan sehat juga dimaksudkan bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan antara lain: limbah cair; limbah padat; limbah gas; sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah; binatang pembawa penyakit; zat kimia yang berbahaya; kebisingan yang melebihi ambang batas; radiasi sinar pengion dn non pengion; air yang tercemar; udara yang tercemar; dan makanan yang terkontaminasi.
29
2.6.2 Kesehatan Kerja Prihal Kesehatan Kerja, dalam beberapa pasal menyebutkan tentang upaya kesehatan kerja yang ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terhindar dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan, meliputi pekerja di sektor formal dan informal, serta berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja. Pengelola tempat kerja wajib mentaati standar kesehatan kerja sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah, serta menjamin lingkungan kerja yang sehat dan bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja. Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja. Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan mentaati peraturan yang berlaku di tempat kerja. Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja. 2.6.3 Pengelolaan Sampah Terkait dengan kesehatan, pengelolaan sampah juga menjadi hal yang sangat penting. Seperti yang diatur dalam Undang - Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Proses pembangunan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia harus diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan
30
dan berwawasan lingkungan sesuai dengan amanah Pasal 33 Ayat (4) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemanfaatan sumber daya alam masih menjadi modal dasar pembangunan di Indonesia saat ini dan masih diandalkan dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam tersebut harus dilakukan secara bijak. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut hendaknya dilandasi oleh tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu: menguntungkan secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable), dan ramah lingkungan (environmentally sound). Proses pembangunan yang diselenggarakan dengan cara tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan generasi masa kini dan yang akan datang. Aktivitas pembangunan yang dilakukan dalam berbagai bentuk usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Dengan diterapkannya prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam proses pelaksanaan pembangunan, dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh
berbagai
perencanaannya,
aktivitas sehingga
pembangunan langkah
tersebut
dianalisis
sejak
awal
pengendalian
dampak
negatif
dan
pengambangan dampak positif dapat disiapkan sedini mungkin. Perangkat atau instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan hal tersebut adalah AMDAL dan UKL – UPL. Pasal 22 Undang – Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. AMDAL tidak hanya mencakup kajian terhadap aspek
31
biogeofisik dan kimia saja, tetapi juga aspek sosial ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Sedangkan untuk setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting, sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang – Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diwajibkan untuk memiliki UKL – UPL. Pelaksanaan AMDAL dan UKL – UPL harus lebih sederhana dan bermutu serta menuntut profesionalisme, akuntabilitas dan integritas semua pihak terkait agar instrumen dapat digunakan sebagai perangkat pengambilan keputusan yang efektif. AMDAL dan UKL – UPL juga merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan Ijin Lingkungan. Pada dasarnya proses penilaian Amdal atau pemeriksaan UKL – UPL merupakan satu kesatuan dengan proses permohonan dan penerbitan Ijin Lingkungan. Dengan dimasukkannya AMDAL dan UKL – UPL dalam proses perencanaan usaha dan/atau kegiatan, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya mendapatkan informasi yang luas dan mendalam terkait dengan dampak lingkungan yang mungkin terjadi dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dan langkah-langkah pengendaliannya, baik dari aspek teknologi, sosial, dan kelembagaan. Berdasarkan informasi tersebut, pengambilan keputusan dapat mempertimbangkan dan menetapkan apakah suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak, tidak layak, disetujui, atau ditolak, dan Ijin Lingkungannya dapat diterbitkan. Masyarakat juga dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan penerbitan Ijin Lingkungan. Tujuan diterbitkannya Ijin Lingkungan antara lain untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan,
32
meningkatkan upaya pengendalian usaha dan/atau kegiatan yang berdampak negatif pada lingkungan hidup, memberikan kejelasan prosedur, mekanisme dan koordinasi antar instansi dalam penyelenggaraan perijinan untuk usaha dan/atau kegiatan, dan memberikan kepastian hukum dalam usaha dan/atau kegiatan. Dalam Undang – Undang ini, yang dimaksud dengan : a. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. b. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus. c. Sumber sampah adalah asal timbulan sampah. d. Penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan timbulan sampah. e. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. f. Tempat penampungan sementara adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendaur ulangan, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. g. Tempat pengolahan sampah terpadu adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. h. Tempat
pemprosesan
akhir
adalah
tempat
untuk
memproses
dan
mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
33
i. Kompensasi adalah pemberian imbalan kepada orang yang terkena dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah. j. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum. k. Sistem tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengendalian yang meliputi pencegahan dan penanggulangan kecelakaan akibat pengelolaan sampah yang tidak benar. l. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. m. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. n. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan di bidang pemerintahan lain yang terkait. Ruang Lingkup dalam Undang – Undang ini mencakup: a. Sampah yang dikelola berdasarkan UU ini terdiri atas sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. b. Sampah rumah tangga berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
34
c. Sampah sejenis sampah rumah tangga berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. d. Sampah spesifik meliputi sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun, sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun, sampah yang timbul akibat bencana, puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, dan/atau sampah yang timbul secara tidak periodik. e. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis sampah spesifik diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup. 2.6.4 Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah Hal – hal yang terkait Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah: a. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri atas pengurangan sampah dan penanganan sampah. b. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan/atau pemanfaatan kembali sampah. c. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan sebagai berikut yaitu menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu, memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan, memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan, memfasilitasi
35
kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang, memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang. d. Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. e. Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan sampah menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. f. Kegiatan
penanganan
sampah
meliputi:
pemilahan
dalam
bentuk
pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah; pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu; pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir; pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi dan jumlah sampah; dan/atau pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. g. Pengelolaan sampah spesifik adalah tanggung jawab Pemerintah
36
2.7 Manajemen Proyek Konstruksi 2.7.1 Definisi Proyek Proyek didefinisikan sebagai sebuah rangkaian aktivitas unik yang saling terkait untuk mencapai suatu hasil tertentu dan dilakukan dalam periode waktu tertentu pula. Menurut PMBOK Guide (2004), sebuah proyek memiliki beberapa karakteristik penting yang terkandung di dalamnya yaitu: temporary, unique, progressive elaboration. Sementara (temporary) berarti setiap proyek selalu memiliki jadwal yang jelas kapan dimulai dan kapan diselesaikan. Sebuah proyek berakhir jika tujuannya telah tercapai atau kebutuhan terhadap proyek itu tidak ada lagi sehingga proyek tersebut dihentikan. Unique artinya bahwa setiap proyek menghasilkan suatu produk, solusi, service atau output tertentu yang berbeda-beda datu dan lainnya. Progressive elaboration adalah karakteristik proyek yang berhubungan dengan dua konsep sebelumnya yaitu sementara dan unik. Setiap proyek terdiri dari langkah-langkah yang terus berkembang dan berlanjut sampai proyek berakhir. Setiap langkah semakin memperjelas tujuan proyek. Karakteristik – karakteristik tersebut di atas yang membedakan aktivitas suatu proyek terhadap aktivitas rutin operasional. Aktivitas operasional cenderung bersifat terus – menerus dan berulang – ulang, sementara aktivitas proyek bersifat temporer dan unik. Dari segi tujuannya, aktivitas akan berhenti ketika tujuan telah tercapai. Sementara aktivitas operasional akan terus menyesuaikan tujuannya agar pekerjaan tetap berjalan.
37
2.7.2 Definisi Manajemen Proyek Manajemen
proyek
adalah
aplikasi
pengetahuan
(knowledges),
keterampilan (skills), alat (tools) dan teknik (techniques) dalam aktivitas – aktivitas proyek untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan proyek (PMBOK, 2004). Manajemen proyek dilaksanakan melalui aplikasi dan integrasi tahapan proses manajemen proyek yaitu initiating, planning, executing, monitoring dan controlling serta akhirnya closing keseluruhan proses proyek tersebut. Dalam pelaksanaannya, setiap proyek selalu dibatasi oleh kendala-kendala yang sifatnya saling mempengaruhi dan biasa disebut sebagai segitiga project constraint (lingkup pekerjaan, waktu dan biaya), dimana keseimbangan ketiga konstrain tersebut akan menentukan kualitas suatu proyek. Perubahan salah satu atau lebih faktor tersebut akan mempengaruhi setidaknya satu faktor lainnya. Untuk situasi sekarang, perusahaan perlu juga menjaga agar pencapaian yang diperoleh dalam pelaksanaan proyek tetap menjaga hubungan baik dengan pelanggan (customer relation). Hal ini ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Dalam gambar tersebut ditunjukkan bahwa dalam pencapaian tujuan proyek, kita perlu memperhatikan batasan waktu, biaya, lingkup pekerjaan dengan memanfaatkan resources yang kita punyai (Budi Santosa,2009). Di sini juga bisa dikemukakan bahwa dalam pelaksanaan proyek ada tawar – menawar (trade off) antara berbagai pembatas. Jika kualitas hasil ingin dinaikkan, akan membawa konsekuensi kenaikan biaya dan waktu. Sebaliknya, jika biaya ditekan agar lebih murah dengan waktu pelaksanaan tetap sama, maka konsekuensinya, kualitas bisa turun.
38
Hubungan Baik dengan Customer
Lingkup Pekerjaan
Waktu Resources
Biaya
Gambar 2.2 Pembatas-pembatas dalam Pelaksanaan Proyek (Sumber : Budi Santosa,2009) 2.7.3 Macam-Macam Proyek Menurut jenis pekerjaannya, proyek bisa diklasifikasikan antara lain sebagai berikut: 1. Proyek Konstruksi Proyek ini biasanya berupa pekerjaan membangun atau membuat produk fisik. Sebagai contoh adalah proyek pembangunan jalan raya, jembatan atau bangunan konstruksi lainnya. 2. Proyek Penelitian dan Pengembangan
39
Proyek ini bisa berupa penemuan produk baru, temuan alat baru, atau penelitian mengenai ditemukannya bibit unggul untuk suatu tanaman. Proyek ini bisa muncul di lembaga komersial maupun pemerintah. Setelah suatu produk baru ditemukan atau dibuat biasanya disusul pembuatan secara massal untuk dikomersialisasikan. 3. Proyek yang Berhubungan dengan Manajemen Jasa Proyek ini sering muncul dalam perusahaan maupun instansi pemerintah. Proyek ini bisa berupa : perancangan struktur organisasi; pembuatan sistem informasi manajemen; peningkatan produktivitas perusahaan; dan pemberian training.
2.7.4 Ukuran Proyek Proyek bisa dilihat dari sumber daya yang dibutuhkan, biayanya dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikannya. Hal-hal ini digunakan sebagai kriteria ukuran proyek, sehingga ukuran proyek bisa dilihat dari jumlah kegiatannya, besarnya biaya, jumlah tenaga kerja, dan waktu yang dibutuhkan. Sedangkan tingkat kompleksitasnya suatu proyek ditandai dengan jumlah kegiatan dan
hubungan
antar
kegiatan,
jenis
dan
jumlah
hubungan
antar
kelompok/organisasi dalam proyek, jenis dan jumlah hubungan antar kelompok di dalam organisasi dan pihak luar, dan tingkat kesulitan. Suatu proyek bisa berukuran besar dengan jumlah kegiatan banyak, tenaga kerja besar namun tingkat kesulitannya sedang.
40
2.7.5 Pandangan terhadap Manajemen Proyek Ada cara pandang yang berbeda antara pandangan tradisional dan pandangan baru terhadap manajemen proyek. Beberapa perbedaan antara bagaimana pandangan tradisional dan pandangan baru terhadap manajemen proyek disajikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pandangan Baru dan Tradisional terhadap Manajemen Proyek Pandangan Tradisional
Pandangan Baru
Manajemen proyek perlu lebih banyak
Manajemen proyek memungkinkan
orang dan ongkos tambahan
untuk menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dengan ongkos lebih murah, dengan lebih sedikit orang
Keuntungan menurun
Keuntungan akan meningkat
Manajemen proyek meningkatkan
Manajemen proyek akan memberikan
jumlah perubahan cakupan pekerjaan
kontrol yang lebih baik terhadap perubahan cakupan pekerjaan
Manajemen proyek menciptakan
Manajemen proyek organisasi makin
ketidakstabilan dan konflik
efisien dan efektif melalui prinsip perilaku organisasi yang lebih baik
Manajemen proyek menyerahkan
Manajemen proyek memberikan solusi
produk kepada pelanggan Ongkos manajemen proyek membuat
Manajemen proyek meningkatkan
tidak kompetitif
bisnis kita
Manajemen proyek menambah masalah
Manajemen proyek meningkatkan
kualitas
kualitas
Sumber : Budi Santosa, 2009
41
2.8 Manajemen Risiko 2.8.1 Konsep Risiko Memahami konsep risiko secara luas, akan merupakan dasar yang esensial untuk memahami konsep dan teknik manajemen risiko. Oleh karena itu, dengan mempelajari berbagai definisi risiko, diharapkan pemahaman tentang konsep risiko menjadi semakin jelas. Definisi yang pertama adalah risk is the chance of loss yang menyebutkan bahwa risiko adalah kans kerugian, biasanya dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana terdapat suatu keterbukaan (exposure) terhadap kerugian atau suatu kemungkinan kerugian. Sebaliknya jika disesuaikan dengan istilah yang dipakai dalam statistik, maka chance sering dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan munculnya situasi tertentu. Definisi berikutnya adalah risk is the possibility of loss yaitu risiko merupakan kemungkinan kerugian, dimana istilah possibility berarti bahwa probabilitas suatu peristiwa berada diantara satu dan nol. Selanjutnya risk is uncertainty yaitu risiko adalah ketidakpastian baik yang bersifat subjektif maupun objektif. Ketidakpastian subjektif merupakan penilaian individu terhadap situasi risiko, sedangkan ketidakpastian objektif dimaksudkan sebagai frekuensi relatif yang didasarkan atas perhitungan ilmiah. 2.8.2 Manajemen Risiko K3 Tujuan upaya K3 adalah untuk mencegah kecelakaan yang ditimbulkan karena adanya suatu bahaya di lingkungan kerja. Karena itu pengembangan SMK3 harus berbasis pengendalian risiko sesuai dengan sifat dan kondisi bahaya yang ada. Bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa K3 tidak diperlukan jika
42
tidak sumber bahaya yang harus dikelola. Perhatikan Gambar 2.3 yang memperlihatkan hubungan bahaya dengan risiko. Keberadaan bahaya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan atau insiden yang membawa dampak terhadap manusia, peralatan, material dan lingkungan (Soehatman Ramli, 2010). Risiko
menggambarkan besarnya potensi bahaya tersebut untuk dapat
menimbulkan insiden atau cedera pada manusia yang ditentukan oleh kemungkinan dan keparahan yang diakibatkannya. Adanya bahaya dan risiko tersebut harus dikelola dan dihindarkan melalui manajemen K3 yang baik. Karena itu, manajemen K3 memiliki kaitan yang sangat erat dengan manajemen risiko.
Pihak Terdampak (Manusia Lingkungan Material Peralatan)
Kecelakaan
Bahaya
Manajemen K3
RISIKO
Gambar 2.3 Hubungan Bahaya dan Risiko (Sumber : Soehatman Ramli, 2010) 2.8.3 Proses HIRARC dalam Manajemen Risiko Sesuai persyaratan OHSAS 18001, organisasi harus menetapkan prosedur mengenai identifikasi bahaya (Hazards Identification), penilaian risiko (Risk Assessment), dan pengendalian risiko (Risk Control) atau disingkat HIRARC. Keseluruhan proses ini disebut juga manajemen risiko (Risk Management).
43
HIRARC merupakan elemen pokok dalam SMK3 yang berkaitan langsung dengan upaya pencegahan dan pengendalian bahaya. Disamping itu, HIRARC juga merupakan bagian dari sistem manajemen risiko. Menurut OHSAS 18001, HIRARC harus dilakukan di seluruh aktivitas organisasi untuk menentukan kegiatan organisasi yang mengandung potensi bahaya dan menimbulkan dampak serius terhadap K3. Selanjutnya hasil HIRARC menjadi masukan untuk penyusunan objektif dan target K3 yang akan dicapai, yang dituangkan dalam program kerja. HIRARC merupakan titik pangkal dari pengelolaan K3. Jika HIRARC tidak dilakukan dengan baik maka penerapan K3 akan salah arah, acak atau virtual, karena tidak mampu menangani isu pokok yang ada dalam organisasi. Elemen-elemen lainnya seperti pelatihan, dokumentasi, komunikasi, pengukuran, pengendalian rekaman dan lainnya adalah untuk menopang atau mengacu kepada program pengendalian risiko. Jangan terjadi sebaliknya, dimana organisasi hanya fokus kepada elemen – elemen pendukung, lengkap dengan prosedur dan dokumentasinya, namun mengabaikan proses HIRARC, sehingga kecelakaan masih akan dapat terjadi.
2.9 Konsep Perilaku 2.9.1 Definisi Umum Perilaku Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui secara sadar oleh individu yang bersangkutan. Adakalanya kita bertanya:”mengapa saya melakukan
44
hal itu?” Sigmund Freud adalah orang pertama yang memahami pentingnya motivasi di bawah sadar (Subsconcious Motivation), dimana beliau beranggapan bahwa manusia tidak selalu menyadari tentang segala sesuatu yang diinginkan, sehingga sebagian besar perilaku mereka dipengaruhi oleh motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan di bawah sadar. Sebagai analogi tentang motivasi kebanyakan orang, dapat kita menggunakan struktur sebuah gunung es. Segmen penting motivasi manusia muncul di bawah permukaan (gunung es tersebut) hal mana tidak selalu terlihat oleh individu yang bersangkutan. Maka oleh karenanya, seringkali hanya sebagian kecil dari motivasi jelas terlihat atau disadari oleh orang yang bersangkutan. Kesatuan dasar perilaku adalah sebuah aktivitas. Sebenarnya semua perilaku merupakan suatu seri aktivitas. Guna dapat meramalkan perilaku, para manajer mengetahui motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan apa pada manusia yang menyebabkan timbulnya tindakan tertentu pada waktu tertentu. 2.9.2 Motivasi dalam Perilaku Manusia bukan saja menunjukkan perbedaan dalam kemampuan, tetapi juga ada perbedaan dalam keinginan untuk melakukan sesuatu atau motivasi. Motivasi orang – orang bergantung pada kekuatan motif-motif mereka. Kadangkadang motif-motif dinyatakan orang sebagai kebutuhan (needs), keinginan (wants), dorongan (drives), atau impuls – impuls di dalam individu yang bersangkutan. Motif – motif merupakan “mengapa” dari perilaku. Mereka menimbulkan dan mempertahankan aktivitas serta menentukan arah umum perilaku seorang individu. Pada dasarnya motif – motif atau kebutuhan – kebutuhan merupakan sumber terjadinya aksi.
45
2.9.3 Tujuan dalam Perilaku Tujuan – tujuan berada di luar seorang individu, yaitu mereka kadang – kadang dinyatakan sebagai imbalan yang diharapkan ke arah mana motif – motif diarahkan. Tujuan – tujuan tersebut seringkali dinamakan perangsang – perangsang (incentives) oleh para ahli ilmu jiwa. Tetapi sebaiknya kita tidak menggunakan istilah tersebut oleh karena kebanyakan orang mengaitkan imbalan dengan imbalan finansial konkret, seperti upah/gaji yang meningkat, tetapi kita pun harus mengakui bahwa terdapat pula cukup banyak imbalan yang tak berbentuk (intangible rewards) seperti misalnya pujian atau kekuasaan, yang sama pentingnya dalam hal menimbulkan perilaku. Para manajer yang berhasil dalam memotivasi pegawai mereka umumnya menyediakan sebuah lingkungan dimana tersedia tujuan – tujuan (perangsang – perangsang) yang tepat guna pemuasan kebutuhan. Sebuah motif cenderung menyusut kekuatannya, apabila ia dipenuhi atau apabila ia ditahan dari pemuasan. Kebutuhan – kebutuhan berkekuatan tinggi yang dipenuhi kadang – kadang dinyatakan dengan istilah “satisfied”, artinya kebutuhan tersebut telah dipenuhi hingga tingkat dimana kebutuhan lain yang bersangkutan kini lebih kuat. Apabila sebuah kebutuhan berkekuatan tinggi berupa perasaan haus, maka kalau orang minum, hal tersebut cenderung mengurangi kekuatan tersebut dan kebutuhan-kebutuhan lain, kini mungkin menjadi lebih penting.
46
Pemuasan suatu kebutuhan mungkin tertahan. Sekalipun dapat terjadi gejala menyusutnya kekuatan kebutuhan, hal tersebut tidak selalu terjadi pada waktu permulaan. Justru mungkin terdapat tendensi bagi orang yang bersangkutan untuk melakukan perilaku penyesuaian (coping behavior). Hal tersebut berupa sebuah upaya untuk mengatasi penghalang tersebut dengan jalan pemecahan masalah secara uji coba. Orang yang bersangkutan dapat mencoba aneka macam perilaku guna menemukan sebuah perilaku yang akan mencapai tujuan yang diinginkan atau yang akan mengurangi ketegangan yang timbul karena pemblokiran (blockage). Perhatikan Gambar 2.4 . Secara inisial, perilaku menyesuaikan tersebut mungkin bersifat rasional (J. Winardi, 2004). Mungkin orang tersebut berupaya melakukan macam-macam percobaan ke arah No.1 sebelum ia beralih ke arah No.2 dan hal yang sama diulanginya sebelum akhirnya menuju kearah No.3, dimana akhirnya ia mencapai keberhasilan hingga tingkat tertentu.
47
PEMBLOKIRAN
PEMBLOKIRAN
Perilaku yang
Perilaku yang Dicoba 1
Dicoba 2
KEBUTUHAN KEKUATAN TINGGI
Perilaku yang
Dicoba 3
SUKSES Dilanjutkan Perilaku yang Gambar 2.4. Perilaku Penyesuaian (Coping Behavior) (Sumber : J. Winardi, 2004) Apabila orang-orang berupaya untuk mencapai sesuatu hal tanpa adanya sesuatu hasil, maka mereka mungkin mensubstitusi tujuan – tujuan yang dapat memuaskan kebutuhan tersebut. Hubungan antara motif – motif, tujuan, dan aktivitas ditunjukkan dalam bentuk sederhana pada Gambar 2.5 . Ilustrasi skematik tersebut menunjukkan sebuah situasi yang memotivasi dimana motif – motif seorang individu dikerahkan ke arah pencapaian tujuan. Motif yang paling kuat menimbulkan perilaku yang atau diarahkan ke arah tujuan atau aktivitas tujuan. Oleh karena tidak semua tujuan dapat dicapai, maka para individu tidak selalu mencapai aktivitas tujuan, terlepas dari kekuatan motif yang ada. Jadi aktivitas tujuan ditunjukkan dengan garis putus-putus.
48
Aktivitas yang ditujukan ke arah sasaran
MOTIF
PERILAKU
TUJUAN
Aktivitas Tujuan
Gambar 2.5. Hubungan Perilaku dan Motivasi (Sumber : J. Winardi, 2004) 2.9.4 Hubungan Perilaku K3 dengan Budaya K3 Untuk mengubah budaya K3 bisa dilakukan dengan mengubah mindset (cara pandang) para pekerja. Perubahan mindset bisa dilakukan dari mengubah perilaku. Apa keterkaitan antara mindset dan perilaku. Perilaku adalah tindakan yang dapat diamati atau dilihat. Segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang yang dapat dilihat, dirasa, dan didengar. Oleh karena itu, perilaku dapat diukur sehingga bisa dikelola dan ditingkatkan. System manajemen secara menyeluruh akan mempengaruhi perilaku para pekerja. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku yang member dampak kerugian adalah perilaku yang tidak disadari dan terjadinya dalam waktu yang sangat cepat. Mengapa untuk mengubah budaya K3 perlu focus pada perilaku? Dari hasil analisis terhadap beberapa insiden, disimpulkan bahwa 95% kecelakaan kerja secara langsung berkaitan dengan perilaku tidak selamat sesaat sebelum kejadian kecelakaan kerja. Perilaku bisa diobservasi dan diukur. Insiden – insiden
49
terjadi disebabkan oleh kombinasi beberapa perilaku. Contoh, dari sebuah struktur perancah, toe board dilepas untuk memindahkan beberapa material. Setelah pemindahan material selesai, toe board tersebut tidak dikembalikan ke tempat semula. Sebuah batu bata jatuh dan menimpa seorang pekerja yang sedang bekerja di bawah perancah dan mati. Hanya butuh satu dari perilaku – perilaku terlihat dan dapat diukur dilakukan dengan aman untuk mencegah terjadinya kecelakaan fatal. Adapun hubungan perilaku dengan mindset : a. Mindset
menggambarkan
keseluruhan
persepsi
yang
terbentuk
oleh
pengamatan dari satu atau beberapa perilaku b. Mindset ada dalam kepala manusia, oleh karena itu dapat diukur dan diamati c. Mindset adalah hal yang dipikirkan, diketahui atau diyakini.
2.10
Kajian Analisis Data
2.10.1 Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/pertanyaan yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut Sugiyono (2008), populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam lain. Populasi bukan sekadar jumlah yang ada pada objek/pertanyaan yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh pertanyaan/objek.
50
Tujuan diadakan populasi adalah agar kita dapat menentukan besarnya anggota sampel yang diambil dari anggota populasi. Populasi dalam setiap penelitian harus disebutkan secara tersurat yaitu berkenan dengan besarnya anggota populasi serta wilayah penelitian yang dicakup. 2. Sampel Sampel adalah jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono,2008). Bila dalam penelitian populasinya besar, dan peneliti tidak dapat mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti itu dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi tersebut. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan sebagai objek penelitian adalah pekerja konstruksi pada proyek Pembangunan Jalan Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 3 sebanyak 137 orang dari populasi pekerja sebanyak 1159 orang Beberapa criteria yang perlu diperhatikan dalam mengambil sampel adalah: a. Menentukan daerah generalisasi terlebih dahulu b.Member batas-batas yang tegas tentang sifat-sifat populasi c. Menentukan sumber-sumber informasi tentang populasi d. Memilih teknik sampling dan menghitung jumlah besar anggota sampel yang sesuai dengan tujuan penelitiannya
51
2.10.2 Teknik Sampling Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Menurut Sugiyono (2008), untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian terdapat berbagai macam teknik sampling yang digunakan. Teknik sampling pada dasarnya dibagi atau dikelompokkan menjadi dua yaitu Probability Sampling dan Nonprobability Sampling. Pada penelitian ini digunakan teknik sampling Nonprobability Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak member peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilh menjadi sampel. Dari teknik nonprobability sampling ini dipakai Sampling Insidental yang merupakan teknik penentuan sampel dengan cara menjadikan setiap orang yang dijumpai dan sebagai pekerja konstruksi pada Proyek Pembangunan Jalan Tol Nusa DuaNgurah Rai-Benoa Paket 3 yang dianggap layak sebagai sumber data.
2.11
Uji Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Penelitian
Sebagaimana diketahui bahwa data mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi suatu penelitian, karena merupakan penggambaran variable yang diteliti dan berfungsi sebagai alat untuk membuktikan hipotesis. Oleh karena itu, data dalam suatu penelitian dapat dikumpulkan dengan suatu instrument yang dipakai dalam mengumpulkan data haruslah memenuhi persyaratan penting yaitu Validitas dan Reliabilitas.
52
2.11.1 Validitas Instrumen dikatakan valid apabila dapat mengungkapkan data dari variable yang diteliti secara tepat. Uji validitas dilakukan dengan teknik korelasi yaitu mengkorelasikan skor setiap butir dengan total variable tersebut dengan menggunakan teknik korelasi PPM (Pearson Product Moment) dengan rumus sebagai berikut (Arikunto, 2006;168), dalam (Riduwan, 2006;110) r hitung =
∑
∑
∑
∑ .
∑
∑
∑
…………………………(1)
Dimana: r hitung
= Koefisien Korelasi
X
= Variabel Bebas
Y
= Variabel Terikat
n
= Jumlah Responden
Korelasi PPM dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari harga (-1 ≤
r ≤
+1). Apabila nilai r = -1 artinya korelasinya negatif
sempurna; r = 0 artinya tidak ada korelasi; dan r = 1 artinya korelasinya sangat kuat. Sedangkan arti harga r akan dikonsultasikan dengan Tabel 2.2 interpretasi nilai r sebagai berikut:
53
Tabel 2.2 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r Interpretasi Koefisien
Tingkat Hubungan
0,80 - 1,000
Sangat Kuat
0,60 - 0,799
Kuat
0,40 - 0,599
Cukup Kuat
0,20 - 0,399
Rendah
0,00 - 0,199
Sangat Rendah
Sumber : Riduwan 2006
Selanjutnya untuk mencari makna hubungan variable X terhadap Y maka hasil korelasi PPM tersebut dihitung dengan Uji-t dengan rumus: t hitung =
√ √
………………………..…………(2)
Dimana: t hitung
= Nilai t
r
= Nilai Koefisien Korelasi
n
= Jumlah Sampel
Distribusi (Tabel t) untuk α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk = n – 2), Kaidah keputusan:
t hitung > t table berarti valid t hitung < t table berarti tidak valid
54
2.11.2 Reliabilitas Reliabilitas adalah menunjukkan pada tingkat kehandalan sesuatu yang dapat dipercaya dan dapat dihandalkan dengan menggunakan metode Alpha Cronbach’s, rumus reliabilitas dengan metode Alpha adalah (Arikunto, 2002): =
1−
∑ "# "$
…………………………(3)
Dimana: = Reliabilitas Instrumen k
= Banyaknya butir pertanyaan
∑ %&
= Jumlah varian butir
%
= Varian total
Uji signifikansi dilakukan pada taraf signifikansi 0,05 artinya instrument dapat dikatakan reliable apabila nilai alpha lebih besar dari r kritis product moment.
2.11.3 Interpretasi Hasil Penelitian Penafsiran atas hasil penelitian terhadap hasil analisis data dilakukan untuk mendapatkan informasi lebih jauh yang berkaitan dengan hasil penelitian. Selain itu, interpretasi juga dimaksudkan untuk mendapatkan inferensi yang relevan dengan hasil penelitian. Interpretasi yang dilakukan adalah cara terbatas berdasarkan data dan hubungannya dengan penelitian serta dilaksanakan pada saat yang bersamaan. Interpretasi cara ini akan menghasilkan pengertian yang sempit dan terbatas.
55
2.12
Skala Pengukuran Penelitian Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan
untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada pada alat ukur, sehingga alat ukur tersebut jika digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Dengan skala pengukuran maka variabel yang diukur dengan instrument tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan lebih akurat, efisien dan komunikatif (Sugiyono,2011). Berbagai skala sikap yang digunakan antara lain: 1. Skala Likert Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena social. Dalam penelitian, fenomena social ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut variabel penelitian. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indicator variabel. Kemudian indicator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrument yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban setiap item instrument yang menggunakan skala Likert dapat berupa kata-kata antara lain: a. Sangat Sering
= 5
b. Sering
= 4
c. Kadang-kadang
= 3
d. Hampir Tidak Pernah = 2 e. Tidak Pernah
= 1
56
2. Skala Guttman Skala pengukuran dengan tipe ini akan didapat jawaban yang tegas, yaitu “yatidak”, “benar-salah”, “pernah-tidak pernah”, dan lain-lain 3. Semantic Differensial Skala pengukuran yang berbentuk Semantic Differensial dikembangkan oleh Osgood. Skala ini juga digunakan untuk mengukur sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda maupun checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum yang jawaban sangat positifnya terletak di bagian kanan garis dan jawaban sangat negatifnya terletak di bagian kiri garis. 4. Rating Scale Dari ketiga skala pengukuran seperti yang telah dikemukakan, data yang diperoleh semuanya adalah data kualitatif yang kemudian dijadikan data kuantitatif. Tetapi dengan rating scale data mentah yang diperoleh berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.
2.13
Analisis Regresi
2.13.1 Analisis Regresi Linear Sederhana Secara umum analisis regresi linear sederhana digunakan untuk menganalisis satu variabel dependen dengan satu variabel independen. Persamaan umum analisis regresi linear sederhana adalah: Y = a + bX …………………………..………(4) Keterangan: Y
= Subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan
57
a
= Harga Y prediksi jika X = 0 (harga konstan)
b
= Koefisien regresi, menunjukkan angka peningkatan atau penurunan
X
= Subyek dalam variabel independen yang mempunyai nilai tertentu
2.13.2 Analisis Regresi Linear Berganda Analisis regresi linear berganda yaitu didasarkan pada hubungan fungsionalnya, dimana mempunyai lebih dari satu variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y). persamaan umum analisis regresi linear berganda yaitu: Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b 4X4 + ……. + b nXn ……………(5) Keterangan: Y
= Subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan
a
= Harga Y prediksi jika X = 0 (harga konstan)
b1, b n = Koefisien regresi, menunjukkan angka peningkatan atau penurunan X1, Xn = Subyek dalam variabel independen yang mempunyai nilai tertentu Tahap selanjutnya, hasil perhitungan dengan regresi linear berganda tersebut dapat dilakukan analisis sebagai berikut: a. Koefisien Determinan (R2) Menilai koefisien determinasi yang digunakan untuk mengetahui ketepatan model yang dipakai, yang dinyatakan dengan beberapa persen variabel dependent dijelaskan oleh variabel independent di dalam model regresi. Koefisien ini menunjukkan seberapa besar persentase variasi variabel independen yang digunakan dalam model mampu menjelaskan variabel dependen.
58
b. Uji-F Uji-F digunakan untuk menguji koefisien regresi secara keseluruhan dengan cara membandingkan F hitung dengan F tabel atau berdasarkan probabilitas pada tingkat signifikan 5%. Kriteria pengambilan keputusan dalam Uji-F adalah apabila F hitung lebih besar dari F tabel atau probabilitas/signifikansi regresi lebih kecil dari α yang digunakan, maka variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Tetapi jika F hitung lebih kecil dari F tabel atau probabilitas/signifikansi regresi lebih besar dari α yang digunakan, maka variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. c. Uji-t Uji Parameter Regresi (Uji-t) dilakukan untuk membuktikan dan untuk mengetahui keberartian koefisien regresi parsial, dengan cara membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel pada tingkat signifikansi 5% atau dengan melihat probabilitas/signifikansi masing-masing regresi. Apabila t hitung lebih besar dari t tabel atau jika signifikansi lebih kecil dari α yang digunakan berarti variabel-variabel bebas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel bergantung.