BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Merek (Brand) 2.1.1 Pengertian Merek (Brand) Keahlian kemampuannya
yang untuk
sangat
unik
dari
menciptakan,
pemasar
memelihara,
profesional melindungi,
adalah dan
meningkatkan merek. Para pemasar mengatakan bahwa pemberian merek adalah seni dan bagian paling penting dalam pemasaran. Brand dapat diartikan sebagai asal atau sumber dari suatu produk atau pembeda sebuah produk dari produk lainnya. Karenanya pengertian brand berbeda dengan produk. “Produk meliputi benda-benda fisik, jasa layanan, toko eceran, bisnis online, orang, organisasi, tempat, maupun ide. Sedangkan brand, ada untuk sebuah produk, namun pada brand dapat ditambahkan dimensi yang menjadi pembeda dari produk-produk lain yang didesain untuk memenuhi kebutuhan yang sama”. (Keller, 2003, p.32-33). Menurut Wheeler (2006:5) pengertian brand adalah “A brand is the nucleus of sales and markerting activities, generating increased awareness and loyalty, when managed strategically”. (Sebuah merek adalah inti dari penjualan dan kegiatan pemasaran, menghasilkan peningkatan kesadaran dan loyalitas, bila dikelola secara strategis.) Definisi merek menurut Keller (2007:5) adalah: Sebuah merek merupakan lebih dari sekedar produk, karena mempunyai sebuah dimensi yang 8 1
9
menjadi diferensiasi dengan produk lain yang sejenis. Diferensiasi tersebut harus rasional dan terlihat secara nyata dengan performa suatu produk dari sebuah merek atau lebih simbolis, emosional, dan tidak kasat mata yang mewakili sebuah merek. Berdasarkan definisi di atas, satu merek berfungsi untuk mengidentifikasikan penjual atau perusahaan yang menghasilkan produk tertentu yang membedakannya dengan penjual atau perusahaan lain yang memiliki nilai yang berbeda pada setiap merek-nya. Merek (brand) dapat berbentuk logo, nama, trademark atau gabungan dari keseluruhannya. Aaker (2004) juga mengatakan merek dapat dikatakan sebagai sebuah janji seorang penjual atau perusahaan untuk konsisten memberikan nilai, manfaat, fitur dan kinerja tertentu bagi pembelinya. Janji tersebut harus janji yang benar dan harus ditepati kepada pembelinya sehingga merek yang menjanjikan tersebut dapat memberikan semua hal yang dijanjikan, dan juga memberikan nilai lebih dari janji tersebut. Hal ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan dan juga menjaga image dari suatu merek. Definisi Brand menurut Bennett (2005, p256) adalah “a name, term, sign, symbol, or any other feature that identifies one seller’s good or service as distinct from those of the sellers”. (sebuah nama, istilah, tanda, simbol atau ciri-ciri lain yang memperkenalkan barang atau jasa milik suatu penjual sebagai pembeda dari milik penjual-penjual lainnya.) Menurut Lamb (2001, p421) merek adalah suatu nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi semuanya, yang mengidentifikasikan produk para penjual dan membedakannya dari produk pesaing.
10
Menurut Simamora (2003, p504) “Brand (merek) adalah segala sesuatu yang mengidentifikasi barang atau jasa penjual dan membedakannya dari barang dan jasa lainnya. Merek dapat berupa sebuah kata, huruf-huruf, sekelompok kata, simbol, desain, atau beberapa kombinasi di atas.” Menurut Asosiasi Pemasaran Amerika mendefinisikan merek sebagai sebuah nama, tanda, istilah, simbol, desain, atau kombinasi dari semuanya, dengan tujuan untuk mengidentifikasi sebuah produk atau jasa dari seorang penjual ataupun sekelompok penjual untuk membedakannya dari produk atau jasa kompetitor lainnya (Kotler, 2003, p418). Sedangkan dalam kamus kosakata interbrand - Charles Brymer (CEO of Interbrand Schecter), mendefinisikan Brand secara lebih spesifik, yakni : A mixture of attribute, tangible and intangible, symbolized in a trade mark, which if managed properly, creates values and influence. (Interbrand Group, 2003, Par 5). (suatu perpaduan dari atribut, nyata dan abstrak, yang disimbolkan melalui sebuah nama dagang, yang apabila dikelola dengan tepat, dapat menghasilkan nilai dan pengaruh.) Shimp (2003:298) menyebutkan bahwa merek merupakan rancangan unik perusahaan atau merek dagang (trademark) yang membedakan penawarannya dari kategori produk pendatang lain. Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa merek adalah sesuatu hal yang membedakan produk atau jasa sebuah perusahaan menjadi berbeda dengan produk atau jasa yang ditawarkan oleh pesaing. Yang
11
membedakan adalah dikarenakan nama, simbol, tanda, dan rancangan dari setiap merek.
2.1.2 Tingkatan Pengertian Merek Menurut Kotler (2005, p82) ada enam tingkatan arti dari sebuah merek, yaitu: 1) Atribut (attributes): suatu merek mengingatkan atribut-atribut tertentu. 2) Manfaat (benefit): atribut-atribut harus diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan emosional. 3) Nilai (value): merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. 4) Budaya (culture): merek dapat mewakili atau melambangkan suatu budaya tertentu. 5) Personal (personality): sebuah merek dapat mencerminkan kepribadian tertentu. 6) Pemakai (user): merek tersebut menyiratkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut. Merek harus memiliki kualitas yang lebih sehingga suatu merek dapat dikenal dan memiliki keunikan sendiri. Menurut Kotler (2003, p413), suatu perusahaan dapat menentukan kebijakan mereknya perlu memperhatikan kualitas dari merek itu sendiri. Adapun kualitas dari suatu merek sebagai berikut : 1) Nama merek harus menunjukan manfaat produk tersebut 2) Nama merek harus menunjukan mutu suatu produk
12
3) Nama merek mudah diucapkan, dikenal dan diingat 4) Nama merek harus menjadi ciri khas yang dapat dibedakan 5) Nama merek tidak membawa arti yang kurang baik di lain negara atau bahasa
2.1.3 Peranan dan Kegunaan Merek Menurut Keller (2003, p20), merek bermanfaat bagi produsen dan konsumen. Bagi produsen merek berperan penting sebagai : 1) Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian persediaan dan pencatatan akuntansi. 2) Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik. Merek bisa mendapat perlindungan seperti intelektual. 3) Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi dilain waktu. 4) Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari para pesaing. 5) Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen. 6) Sumber financial return, terutama menyangkut pendapatan masa datang. Bagi konsumen, merek bisa memberikan beraneka ragam nilai melalui sejumlah fungsi dan manfaat potensial. Keller (2003, p21) mengemukakan 7 manfaat pokok merek bagi konsumen, yaitu sebagai:
13
1) Identifikasi sumber produk 2) Penetapan tanggung jawab pada pemanufaktur atau distributor tertentu 3) Pengurang resiko 4) Penekan biaya pencarian internal dan eksternal 5) Janji atau ikatan khusus dengan produsen 6) Alat simbolis yang memproyeksikan citra diri 7) Signal kualitas Menurut Durianto, et.al. (2004, p2), peranan dan kegunaan merek diantaranya adalah: 1) Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia dan budaya. 2) Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen Semakin kuat suatu merek, semakin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan semakin tampak asosiasi merek yang terbentuk dalam merek tersebut. Jika asosiasi merek telah terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat, potensi ini meningkatkan citra merek (brand image). 3) Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen Merek yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen. 4) Merek memudahkan proses pengambilan keputusan konsumen Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan
14
kualitas, keputusan, kebanggaan ataupun atribut lain yang merekat pada merek tersebut. 2) Merek berkembang menjadi sebuah sumber aset terbesar bagi perusahaan
2.2 Ekuitas Merek (Brand Equity) 2.2.1 Pengertian Ekuitas Merek (Brand Equity) Kotler dan Amstrong (2004) mendefinisikan ekuitas merek sebagai efek pembeda positif dari respon konsumen atas suatu barang dan jasa sebagai akibat dari pengetahuan konsumen atas nama merek dari barang dan jasa tersebut. Dalam perspektif pemasaran, salah satu definisi brand equity yang paling banyak dikutip adalah definisi versi David A. Aaker yang menyatakan bahwa brand equity adalah serangkaian aset dan kewajiban merek yang terkait dengan sebuah merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan sebuah produk atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan perusahaan tersebut. Aset ekuitas merek pada umumnya menambah atau mengurangi nilai bagi para konsumen. Aset-aset ini membentu mereka menafsirkan, berproses dan menyimpan informasi dalam jumlah besar mengenai produk dan merek. Ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam mengambil kepastian pembelian, yang lebih penting adalah kenyataan bahwa kesan kualitas dan asosiasi merek bisa menguatkan keputusan konsumen dengan pengalaman menggunakannya.
15
Aaker menyiratkan bahwa brand equity bisa bernilai bagi perusahaan dan bagi konsumen. Peran ekuitas merek dalam memberikan nilai atau manfaat bagi konsumen antara lain: 1) Merek
membantu
konsumen
dalam
menafsirkan,
memproses
dan
menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut 2) Ekuitas merek dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan, dan asosiasi dengan berbagai karakteristik merek. 3) Perceived quality dan brand association dapat mempertinggi tingkat kepuasan konsumen. Bagi perusahaan brand equity berperan sebagai : 1) Dapat menguatkan program, memikat konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama 2) Memungkinkan margin yang lebih tinggi dan memungkinkan harga optimum dan mengurangi ketergantungan pada promosi 3) Dapat memberikan landasan untuk pertumbuhan melalui perluasan merek 4) Ekuitas merek yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena mampu menciptakan loyalitas saluran distribusi 5) Dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing
16
2.2.2 Lima Kategori Ekuitas Merek Dalam model Aaker, brand equity diformulasikan dari sudut pandang manajerial dan strategi korporat, meskipun landasan utamanya adalah prilaku konsumen. Aaker menjabarkan aset merek yang berkontribusi pada penciptaan brand equity kedalam lima dimensi, yaitu brand awareness, percieved quality, brand associations, brand loyalty, dan other proprietary brand assets (Tjiptono, 2005, p40-41) Konsep ekuitas merek ini dapat ditampilkan pada gambar 2.1, yang memperlihatkan kemampuan ekuitas merek dalam menciptakan nilai bagi perusahaan atau pelanggan atas dasar lima kategori aset yang telah disebutkan. percieved quality brand awareness
brand associations
other proprietary brand assets
brand loyality
BRAND EQUITY
Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat: • Interpretasi/proses informasi • Rasa percaya diri dalam pembelian • Pencapaian kepuasan dari pelanggan
Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat : • Efisiensi dan efektivitas program pemasaran • Brand loyalty • Harga/laba • Perluasan merek • Peningkatan perdagangan • Keuntungan kompetitif
Sumber : Aaker dalam Durianto, et.al. (2001)
Gambar 2.1 Konsep Brand Equity
17
Menurut Aaker (dalam Durianto, et al, 2004, pp3-4) ekuitas merek dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu: 1) Kesadaran merek (brand awareness) Kesanggupan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Peran brand awareness dalam keseluruhan brand equity tergantung dari sejauh mana tingkatan kesadaran yang dicapai oleh suatu merek. Tingkatan kesadaran merek secara berurutan, dapat digambarkan sebagai piramida seperti di bawah ini :
Puncak pikiran (top of mind) Pengingatan kembali merek (brand recall) Pengenalan merek (brand recognition) Tidak meyadari merek (brand unware)
Sumber : Aaker dalam Durianto, et. al. (2001)
Gambar 2.2 Piramida Brand Awareness Penjelasan Mengenai Piramida Brand Awareness dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi adalah : (1) Tidak meyadari merek (brand unware) Merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida kesadaran merek, di mana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek. (2) Pengenalan merek (brand recognition)
18
Tingkat minimal dari kesadaran merek. Hal ini penting pada saat seseorang pembeli memilih suatu merek pada saat melakukan pembelian. (3) Brand recall (Pengingatan kembali terhadap merek) Pengingatan kembali pada merek didasarkan terhadap permintaan seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini diistilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan, karena berbeda dari tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk memunculkan merek tersebut. (4) Top of Mind ( Puncak Pikiran) Apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan pengingatan dan ia dapat ,menyebutkan satu nama merek, maka merek yang paling banyak disebutkan pertama sekali merupakan puncak pikiran. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada di dalam benak konsumen. 2) Asosiasi merek (brand association) Segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Asosiasi ini merupakan atribut yang ada di dalam merek itu dan memiliki suatu tingkat kekuatan. Asosiasi merek menjadi salah satu komponen yang membentuk ekuitas merek. Hal ini disebabkan karena asosiasi merek dapat membentuk image positif terhadap merek yang muncul, yang pada akhirnya akan menciptakan perilaku positif konsumen.
19
Di sisi lain menurut Keller (2003 :52) bahwa asosiasi merek didorong pula oleh identitas dari merek tersebut yang ingin dibangun oleh perusahaan. Lebih lanjut disebutkan, asosiasi merek memiliki berbagai tipe sebagai berikut : (1) Atributes (Atribut), asosiasi yang dikaitkan terhadap atribut-atribut dari merek tersebut, baik yang berhubungan langsung terhadap produknya maupun yang tidak berhubungan langsung terhadap produknya. Seperti harga (price), perasaan (feeling), pengalaman (experiences) dan personalitas merek (brand Personality). (2) Benefit (manfaat), asosiasi suatu merek dikaitkan dengan manfaat fungsional (functional benefit), manfaat simbolik (symbolic benefit), dari pemakaian dan pengalaman yang dirasakan oleh pengguna (experiental benefit). (3) Attitudes (sikap), asosiasi yang muncul dikarenakan motivasi diri sendiri yang merupan sikap dari berbagi sumber, seperti punishment, reward dan ilmu pengetahuan (knowledge). patents, trade mark, dan lain sebagainya. 3) Persepsi kualitas (perceived quality) Persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang berkaitan dengan apa yang diharapkan pelanggan. 4) Loyalitas merek (brand loyalty)
20
Loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Loyalitas merek merupakan inti dari Brand Equity yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran, karena hal ini merupakan suatu ukuran keterkaitan seseorang pelanggan pada sebuah merek. 5) Aset-aset merek lainnya (other proprietary brand assets) Ekuitas merek dapat memberikan nilai, baik bagi perusahaan maupun bagi konsumen.
2.2.3 Peran Ekuitas Merek Menurut Durianto, et.al. (2004, p6), ekuitas merek mempunyai peranan kepada konsumen dan perusahaan. Peran ekuitas merek bagi konsumen diantaranya adalah: 1) Aset (nama, simbol) yang dikandungnya dapat membantu dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut. 2) Ekuitas merek dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan, asosiasi dengan berbagai karakteristik merek. 3) Dalam kenyataannya, persepsi kualitas dan asosiasi merek dapat mempertinggi tingkat kepuasan konsumen. Peran ekuitas merek bagi perusahaan, antara lain sebagai berikut: 1) Ekuitas merek yang kuat dapat mempertinggi keberhasilan program dalam memikat konsumen baru atau mempertahankan konsumen lama. Promosi
21
yang dilakukan akan lebih efektif jika merek dikenal. Ekuitas merek yang kuat dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap kualitas merek. 2) Ekuitas merek yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk pertumbuhan dan perluasan merek kepada produk lainnya atau menciptakan bidang bisnis baru yang terkait yang biayanya akan jauh lebih mahal untuk dimasuki tanpa merek yang memiliki ekuitas merek tersebut. 3) Ekuitas merek yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena mampu menciptakan loyalitas saluran distribusi.
2.2.4 Pengertian Loyalitas Merek (Brand Loyalty) Menurut (Giddens, 2002) ”Brand loyalty adalah pilihan yang dilakukan konsumen untuk membeli merek tertentu dibandingkan merek yang lain dalam satu kategori produk.” Schiffman & Kanuk (2004) mendefinisikan ”Brand loyalty sebagai preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian pada merek yang sama pada produk yang spesifik atau kategori pelayanan tertentu.” Menurut Aaker dalam Durianto, et.al. (2004, p126) “Brand loyalty adalah suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada suatu merek.” Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk lain. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan suatu pembeliannya ke merek lain, apa pun yang terjadi dengan merek tersebut. Bila persepsi konsumen terhadap
22
merek meningkat, kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan serangan merek produk pesaing dapat dikurangi.
2.2.5 Tingkatan-Tingkatan Brand Loyalty Menurut Aaker dalam Durianto, et.al. (2004, p128), tingkatan-tingkatan yang terdapat dalam loyalitas merek adalah sebagai berikut: 1) Berpindah-pindah (switcher) Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin sering pembelian konsumen berpindah dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan bahwa mereka tidak loyal, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini, merek memegang peranan kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang jelas dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu merek karena harganya murah. 2) Pembeli yang bersifat kebiasaan (habitual buyer) Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini membeli suatu merek karena kebiasaan. 3) Pembeli yang puas karena biaya peralihan (satisfied buyer) Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk ke dalam kategori puas bila mereka mengonsumsi merek tersebut.
23
4) Menyukai merek (liking the brand) Pembeli dalam kategori ini adalah pembeli yang benar-benar menyukai merek tersebut. Pada tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait dengan merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait
dengan
simbol,
rangkaian
pengalaman
dalam
penggunaan
sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun kerabatnya ataupun yang disebabkan oleh karena persepsi kualitas yang tinggi. 5) Pembeli yang komit (comitted buyer) Pada tahap ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditujukan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain. Comitted buyer
Liking the brand Satisfied buyer Habitual buyer Switcher
Sumber : Aaker dalam Durianto, et.al. (2004:130)
Gambar 2.3 Piramida Brand Loyalty
24
Dari piramida loyalitas diatas terlihat bahwa bagi merek yang belum memiliki brand equity yang kuat, porsi tersebut dari konsumennya berada pada tingkatan switcher hingga porsi terbesar, di tempati oleh commited buyer. Meskipun demikian bagi merek yang memiliki brand equity yang kuat, tingkatan dalam brand loyalty-nya diharapkan membentuk segitiga terbalik, maksudnya makin ke atas makin melebar sehingga diperoleh jumlah commited buyer yang lebih besar dari pada switcher. Menurut Giddens (2002) konsumen yang loyal terhadap suatu merek memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Memiliki komitmen pada merek tersebut 2) Berani membayar lebih pada merek tersebut bila dibandingkan dengan merek yang lain 3) Akan merekomendasikan merek tersebut pada orang lain 4) Dalam melakukan pembelian kembali produk tersebut tidak melakukan pertimbangan 5) Selalu mengikuti informasi yang berkaitan dengan merek tersebut 6) Mereka dapat menjadi semacam juru bicara dari merek tersebut dan mereka selalu mengembangkan hubungan dengan merek tersebut
2.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Brand Loyalty Schiffman
&
Kanuk
(2004)
menyebutkan
faktor-faktor
memengaruhi terbentuk atau terciptanya brand loyalty adalah:
yang
25
1) Penerimaan keunggulan produk (perceived product superiority) 2) Keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap merek tersebut (personal fortitude) 3) Keterikatan dengan produk atau perusahaan (bonding with the product or company) 4) Kepuasan yang diperoleh konsumen Serta, menurut Subroto dalam majalah SWA 02/XXI/19 Januari–2 Februari 2005 menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan pelanggan loyal pada merek yang digunakannya, yaitu: 1) Nilai merek (brand value) Yaitu dimana pelanggan menilai merek secara relatif dibanding kompetitor dari tiga hal, yakni harga (economic price), kualitas, dan citra merek itu dibandingkan merek lain. Faktor itu sangat penting karena akan menghitung nilai ekonomi yang dikorbankan konsumen dalam mengakuisisi merek tertentu dibanding kualitas yang diterima, serta persepsi mereka terhadap citra merek itu dibanding merek lain. 2) Karakteristik pelanggan Faktor ini berhubungan dengan karakter konsumen dalam menggunakan merek. Jika konsumennya memiliki karakter yang setia terhadap suatu merek maka konsumen tersebut tidak akan beralih ke merek lain. 3) Switching barrier
26
Yakni hambatan yang muncul ketika konsumen akan pindah dari satu merek ke merek lain. Hambatan ini tidak selalu economic value, tetapi bisa juga berkaitan dengan fungsi, psikologis, sosial, bahkan ritual. 4) Pengalaman pelanggan. Pengalaman pelanggan ketika melakukan kontak dengan merek yang digunakannya. Peran kepuasan pelanggan (customer satisfaction), dengan harapan bahwa semakin puas pelanggan, semakin tinggi kemungkinan mereka tidak pindah ke merek lain. 5) Lingkungan yang kompetitif (competitive environment). Faktor ini menyangkut sejauh mana kompetisi yang terjadi antar merek dalam satu kategori produk.
2.2.7 Fungsi Brand Loyalty Menurut Durianto, et.al. (2004, p21), beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan adalah: 1) Mengurangi biaya pemasaran Dalam
kaitannya
mempertahankan
dengan pelanggan
biaya
pemasaran,
dibanding
dengan
akan upaya
lebih
mudah
mendapatkan
pelanggan baru. Jadi, biaya pemasaran akan mengecil jika loyalitas merek meningkat. Ciri yang paling terlihat dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah. 2) Meningkatkan perdagangan
27
Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan meningkatkan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. Dapat disimpulkan bahwa pembeli dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini. 3) Menarik minat pelanggan baru Dengan banyaknya pelanggan baru yang merasa puas dan suka pada merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon pelanggan untuk mengkonsumsi merek tersebut terutama jika pembelian yang mereka lakukan mengandung resiko tinggi. Di samping itu, pelanggan yang puas umumnya akan merekomendasikan merek tersebut kepada orang yang dekat dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru. 4) Memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan Jika salah satu pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelanggan yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersebut untuk memperbaharui
produknya
dengan
cara
menyesuaikan
atau
menetralisasikannya.
2.2.8 Keuntungan Brand Loyalty Menurut Reichfield (dalam Gommans, et.al., 2001) keuntungan yang diperoleh oleh suatu merek yang memiliki pelanggan yang loyal adalah: 1) Dapat mempertahankan harga secara optimal 2) Memiliki posisi tawar menawar yang kuat dalam saluran distribusi 3) Mengurangi biaya penjualan
28
4) Memiliki penghalang yang kuat terhadap produk-produk baru yang memiliki potensi yang besar untuk masuk dalam kategori produk atau layanan yang dimiliki oleh merek tersebut 5) Keuntungan sinergis yang diperoleh dari brand extension yang berhubungan dengan kategori produk atau pelayanan dari merek tersebut Giddens (2002) juga menambahkan dengan adanya loyalitas merek maka dapat meningkatkan: 1) Volume penjualan Dengan adanya loyalitas merek, maka kehilangan konsumen dapat dikurangi. Dengan adanya pengurangan kehilangan konsumen, maka akan meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan penjualan. 2) Kemampuan perusahaan untuk menetapkan harga yang optimal Karena konsumen yang memiliki loyalitas merek kurang sensitif pada perubahan harga. 3) Konsumen dengan loyalitas merek akan selalu mencari merek favoritnya dan kurang sensitif pada promosi yang kompetitif 4) Dengan adanya loyalitas merek di kalangan pelanggan, maka perusahaan dapat mengurangi biaya promosi produknya karena konsumen tetap akan mencari merek yang disukainya.
2.3 Ekuitas Merek Berbasis Pelanggan (Customer-Based Brand Equity) Sementara itu model Keller lebih berfokus pada perspektif perilaku konsumen. Ia mengembangkan model ekuitas merek berbasis pelanggan (CBBE :
29
Customer-Based Brand Equity). Asumsi pokok model ini menekankan bahwa kekuatan sebuah merek terletak apa yang dipelajari, dirasakan, dilihat dan didengarkan konsumen tentang merek tersebut sebagai hasil pengalamannya sepanjang waktu (Keller, 2007). Berdasarkan model ini, sebuah merek dikatakan memiliki customer-based brand equity positif apabila pelanggan bereaksi lebih positif terhadap sebuah produk dan cara produk tersebut dipasarkan manakala mereknya diidentifikasi, dibandingkan bila nama mereknya tidak teridentifikasi. Brand equity baru terbentuk jika pelanggan mempunyai tingkat awareness dan familiaritas yang tinggi terhadap sebuah merek dan memiliki asosiasi merek yang kuat, positif dan unik dalam memorinya. Jika suatu brand memiliki CBBE yang tinggi dapat memberikan banyak keuntungan dan manfaat seperti meningkatkan loyalitas konsumen terhadap kenaikan harga, lebih sensitifnya mereka terhadap penurunan harga, dan sebagainya. Keller mengajukan proses empat langkah dalam membangun merek, yakni : menyusun identitas merek yang tepat, menciptakan makna merek yang sesuai, menstimulasi respon merek yang diharapkan, dan menjalin relasi merek yang tepat bagi pelanggan. Dengan kata lain, keempat langkah ini mencerminkan empat pertanyaan fundamental : 1) Who are you ? (identitas merek) 2) What are you ? (makna merek) 3) What about you, what do I think or feel about you ? (respon merek)
30
4) What about you and me ? what kind association and how much of a connection would I like to have with you ? (relasi merek) Proses implementasi keempat tahap ini membutuhkan enam brand building blocks utama, yaitu brand salience, brand performance, brand imagery, brand judgments, brand feelings dan brand resonance. 1) Brand salience, berkenaan dengan aspek-aspek awareness sebuah merek, seperti seberapa sering dan mudahkah merek diingat dan dikenali dalam berbagai situasi. Faktor ini menyangkut seberapa bagus elemen merek menjalankan fungsinya sebagai pengidentifikasi produk. Brand awareness bukan sekadar menyangkut apakah konsumen mengetahui nama merek dan pernah melihatnya, namun berkaitan pula dengan mengkaitkan merek (nama merek, logo, simbol, dan seterusnya) dengan asosiasi-asosiasi tertentu. 2) Brand performance, berkenaan dengan kemampuan produk dan jasa dalam memenuhi kebutuhan fungsional konsumen. Secara garis besar ada lima atribut dan manfaat pokok yang mendasari kinerja merek, yaitu : (1) Unsur primer dan fitur suplemen, (2) Reliabilitas, durabilitas, dan serviceability produk, (3) Efektivitas, efisiensi, dan empati layanan, (4) Model dan desain, dan (5) Harga. Pada hakikatnya, kinerja merek mencerminkan intrinsic properties merek dalam hal karakteristik inheren (bawaan) sebuah produk atau jasa. 3) Brand imagery, menyangkut extrinsic properties produk atau jasa, yaitu kemampuan merek dalam memenuhi kebutuhan psikologis atau sosial pelanggan. Brand imagery bisa terbentuk secara langsung dan tak langsung. Empat kategori brand imagery meliputi :
31
1) Profil pemakai, baik berdasarkan faktor demografi deskriptif (seperti usia, gender, ras, pendapatan) maupun psikografis abstrak (seperti sikap terhadap hidup, karir, kepemilikan, isu sosial atau institusi politik) (2) Situasi pembelian (berdasarkan tipe saluran distribusi, toko spesifik, kemudahan pembelian, dan sejenisnya) dan situasi pemakaian (kapan dan dimana merek digunakan) (3) Kepribadian dan nilai-nilai (4) Sejarah, warisan (heritage), dan pengalaman 4) Brand judgments, berfokus pada pendapat dan evaluasi personal konsumen terhadap merek dan asosiasi citra yang dipersepsikannya. Aspek brand judgments meliputi : 1. Brand quality, yakni persepsi konsumen terhadap nilai dan kepuasan yang dirasakannya. 2. Brand credibility, yaitu seberapa jauh sebuah merek dinilai kredibel dalam hal expertise (kompeten, inovatif, pemimpin pasar), trustworthiness (bisa diandalkan, selalu mengutamakan kepentingan pelanggan), dan likeability (menarik, memang layak untuk dipilih dan digunakan). 3. Brand consideration, yaitu sejauh mana sebuah merek dipertimbangkan untuk dibeli atau digunakan oleh konsumen. 4. Brand superiority, yakni sejauh mana konsumen menilai merek bersangkutan unik dan lebih baik dibanding dengan merek-merek lain.
32
5) Brand feelings, yaitu respon dan reaksi emosional konsumen terhadap merek. Reaksi semacam ini bisa berupa perasaan warmth, fun, excitement, security, social approval, dan self-respect. 6) Brand resonance, mengacu pada karakteristik relasi yang dirasakan pelanggan terhadap merek spesifik. Resonansi tercermin pada intensitas atau kekuatan ikatan psikologis antara pelanggan dan merek, serta tingkat aktivitas yang ditimbulkan loyalitas tersebut (misalnya, tingkat pembelian ulang, usaha dan waktu yang dicurahkan untuk mencari informasi merek, dan seterusnya). Secara khusus, resonansi meliputi loyalitas behavioral (share of category requirements), loyalitas attitudinal, sense of community (identifikasi dengan brand community), dan keterlibatan aktif (berperan sebagai brand evangelists dan brand ambassadors). 4. Relationship What about you and me? Resonance
Judgments
3. Response What about you?
Feelings
Performance Salience
Imagery
2. Meaning What are you?
1. Identity Who are you
Sumber : Keller (2001, p17)
Gambar 2.4 Customer-Based Brand Equity Pyramid
33
Model Aaker dan Keller memiliki kesamaan prinsip, yaitu bahwa brand equity mencerminkan nilai tambah yang didapatkan sebuah produk sebagai hasil investasi pemasaran sebelumnya pada merek bersangkutan.
2.4 Keputusan Pembelian 2.4.1 Pengertian Keputusan Pembelian Setiap konsumen melakukan berbagai macam keputusan tentang pencarian, pembelian, penggunaan beragam bentuk, dan merek pada setiap periode tertentu. Menurut Schiffman & Kanuk (2004, p347), “Keputusan adalah pilihan diantara alternatif tindakan yang ada.” Menurut Schermerchon (2002, p72), “Keputusan adalah penyeleksian dari pilihan-pilihan dua atau lebih alternatif.” Maka dapat disimpulkan oleh Schiffman & Kanuk (2004, p289) mendefinisikan suatu keputusan adalah sebagai pemilihan suatu tindakan dari dua atau lebih pilihan alternatif. Seorang konsumen yang hendak melakukan pilihan, maka ia harus memilih pilihan alternatif. Jika konsumen tidak memilih pilihan alternatif, maka hal tersebut merupakan bukan situasi konsumen melakukan keputusan. Suatu keputusan tanpa pilihan tersebut, maka disebut sebagai sebuah hobson’s choice. Sedangkan menurut Kotler & Amstrong (2004:227) mengemukakan bahwa “keputusan pembelian adalah tahap proses keputusan dimana konsumen secara aktual melakukan pembelian produk”.
34
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa keputusan pembelian merupakan tindakan atau keputusan dari beberapa alternatif yang kemudian dipilih salah satu atau lebih untuk dibeli. Proses kunci di dalam pembuatan keputusan konsumen ialah proses integrasi dengan mana pengetahuan dikombinasikan untuk mengevaluasi dua atau lebih alternatif perilaku, kemudian pilih salah satu. Hasil dari proses integrasi adalah suatu pilihan, secara kognitif terwakili sebagai intensi perilaku. Intensi perilaku disebut rencana keputusan (Supranto dan Limakrisna, 2007, p211). Berdasarkan faktor yang dipertimbangkan, menurut Hawkins et al. dalam Simamora (2003, p8), pengambilan keputusan pembelian dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Pengambilan keputusan berdasarkan atribut produk (atribute based choice). Pengambilan keputusan ini memerlukan pengetahuan tentang apa atribut suatu produk dan bagaimana kualitas atribut tersebut. Asumsinya, keputusan diambil secara rasional dengan mengevaluasi atribut-atribut yang dipertimbangkan. 2) Pengambilan keputusan berdasarkan sikap (attitude based choice). Pengambilan keputusan ini diambil berdasarkan kesan umum, intuisi, maupun perasaan. Pengambilan keputusan seperti ini bisa terjadi pada produk yang belum dikenal atau tidak sempat dievaluasi oleh konsumen.
35
Peter & Donnely (2007, p41) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan konsumen itu disebabkan oleh beberapa pengaruh yaitu : 1) Pengaruh sosial (Social influences) Dalam perilaku konsumen, budaya, kelas sosial, dan grup referensi dapat mempengaruhi
keputusan
pembelian
dan
konsumsi.
Yang
dapat
mempengaruhi proses pembelian baik secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung, melalui komunikasi langsung antara individu dan anggota sosial lain tentang keputusan tertentu. Secara tidak langsung, melalui pengaruh sosial pada nilai dasar individu dan sikap yang berperan penting bahwa grup bermain dalam struktur personal individu. 2) Pengaruh pemasaran (Marketing influences) Strategi-strategi pemasaran yang sering didesain untuk mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen dan menentukan pertukaran keuntungan. Setiap elemen dari bauran pemasaran (produk, harga, promosi, dan distribusi) dapat mempengaruhi konsumen dalam berbagai cara. 3) Pengaruh situasional (Situational influences) Pengaruh situasional dapat didefinisikan sebagai semua faktor tertentu pada suatu waktu dan tempat dari pengamatan yang mampu dibuktikan dan sistematik mempengaruhi perilaku saat ini. Dalam situasi pembelian, ada lima kelompok pengaruh situasional yang teridentifikasi, yakni fitur fisik, fitur sosial, waktu, fitur tugas, dan kondisi saat ini. Pengaruh ini dipersepsikan secara sadar dan mungkin telah cukup berefek pada pemilihan merek dan produk.
36
4) Pengaruh psikologis (Psychological influences) Informasi dari pengaruh sosial, pemasaran, dan situational mempengaruhi apa yang konsumen pikirkan dan raskan tentang produk dan merek tertentu. Bahwa, terdapat faktor psikologis yang mempengaruhi bagaimana informasi diinterpretasikan dan digunakan dan bagaimana itu berdampak pada proses pengambilan keputusan konsumen. Ada dua hal penting dalam faktor psikologis yaitu pengetahuan produk (product knowledge) dan keterlibatan produk (product involvement). Pengetahuan produk yang mengacu pada seberapa banyak informasi yang ada dalam ingatan seorang konsumen tentang kelas-kelas produk tertentu, bentuk produk, merek, model, dan cara membeli produk tersebut. Sedangkan, keterlibatan produk mengacu pada persepsi seorang konsumen pentingnya atau relevansi personal dari sebuah produk. Gambaran pengaruh pada proses pengambilan keputusan konsumen dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut: Social influences
Marketing influences
Situational influences
Psychological influences
Consumer decision making
Sumber : Peter & Donnely (2007, p41)
Gambar 2.5 Gambaran Proses Pembelian
37
2.4.2 Peran dalam Keputusan Pembelian Peran keputusan pembelian merupakan hal yang penting bagi pembeli dan penjual (perusahaan) itu sendiri. Bagi perusahaan adalah penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian, namun terdapat hal lain yang harus juga diperhatikan perusahaan, yaitu pemegang peranan dalam pembelian dan keputusan untuk membeli. Terdapat lima peran yang terjadi dalam keputusan pembelian yang dijelaskan oleh Simamora (2004, p15) yakni: 1) Pemrakarsa (initiator): orang yang pertama kali menyarankan membeli suatu produk atau jasa tertentu. 2) Pemberi pengaruh (influencer): orang yang pandangan/nasehatnya memberi bobot dalam pengambilan keputusan terakhir. 3) Pengambil keputusan (decider): orang yang sangat menentukan sebagian atau keseluruhan keputusan pembelian, apakah membeli, apa yang dibeli, kapan hendak membeli, dengan bagaimana cara membeli, dan dimana akan membeli. 4) Pembeli (buyer): orang yang melakukan pembelian nyata. 5) Pemakai (user): orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa.
2.4.3 Perilaku Pembelian Menurut Asosiasi pemasaran Amerika (Peter, J. Paul & Olson, Jerry C., 2005) menyatakan bahwa definisi perilaku konsumen sebagai interaksi yang
38
dinamis antara rasa ingin tahu dan rasa suka, tingkah laku, dan lingkungan yang akan mempengaruhi perubahan aspek-aspek dalam kehidupan seseorang. Dengan kata lain, perilaku konsumen meliputi pengalaman yang dirasakan maupun pemikiran seseorang dan tingkah laku yang ditunjukkan dalam proses konsumsi. Perilaku Konsumen menurut Schiffman & Kanuk (2004, p8) adalah perilaku yang ditunjukkan konsumen dalam pencarian akan pembelian, penggunaan,
pengevaluasian,
dan
penggantian
produk
dan jasa yang
diharapkan dapat memuaskan kebutuhan konsumen. Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah : 1) Faktor Sosial a) Group Sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak grup kecil. Kelompok dimana orang tersebut berada yang mempunyai pengaruh langsung disebut membership group. Membership group terdiri dari dua, meliputi primary groups (keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja) dan secondary group yang lebih formal dan memiliki interaksi rutin yang sedikit (kelompok keagamaan, perkumpulan profesional dan serikat dagang). (Kotler, Bowen, Makens, 2003, pp. 203-204). b) Family Influence Keluarga memberikan pengaruh yang besar dalam perilaku pembelian. Para pelaku pasar telah memeriksa peran dan pengaruh suami, istri, dan anak dalam pembelian produk dan servis yang berbeda. Anak-anak
39
sebagai contoh, memberikan pengaruh yang besar dalam keputusan yang melibatkan pemilihan restoran fast food. (Kotler, Bowen, Makens, 2003, p.204). c) Roles and Status Seseorang memiliki beberapa kelompok seperti keluarga, perkumpulanperkumpulan, organisasi. Sebuah role terdiri dari aktivitas yang diharapkan pada seseorang untuk dilakukan sesuai dengan orang-orang di sekitarnya. Tiap peran membawa sebuah status yang merefleksikan penghargaan umum yang diberikan oleh masyarakat (Kotler & Amstrong, 2006, p.135). 2) Faktor Personal a) Economic Situation Keadaan ekonomi seseorang akan mempengaruhi pilihan produk, contohnya rolex diposisikan konsumen kelas atas sedangkan timex dimaksudkan untuk konsumen menengah. Situasi ekonomi seseorang amat sangat mempengaruhi pemilihan produk dan keputusan pembelian pada suatu produk tertentu (Kotler & Amstrong, 2006, p.137). b) Lifestyle Pola
kehidupan
seseorang
yang
diekspresikan
dalam
aktivitas,
ketertarikan, dan opini orang tersebut. Orang-orang yang datang dari kebudayaan, kelas sosial, dan pekerjaan yang sama mungkin saja mempunyai gaya hidup yang berbeda (Kotler & Amstrong, 2006, p.138) c) Personality and Self Concept
40
Personality adalah karakteristik unik dari psikologi yang memimpin kepada kestabilan dan respon terus menerus terhadap lingkungan orang itu sendiri, contohnya orang yang percaya diri, dominan, suka bersosialisasi, otonomi, defensif, mudah beradaptasi, agresif (Kotler & Amstrong, 2006, p.140). Tiap orang memiliki gambaran diri yang kompleks, dan perilaku seseorang cenderung konsisten dengan konsep diri tersebut (Kotler, Bowen, Makens, 2003, p.212). d) Age and Life Cycle Stage Orang-orang merubah barang dan jasa yang dibeli seiring dengan siklus kehidupannya. Rasa makanan, baju-baju, perabot, dan rekreasi seringkali berhubungan dengan umur, membeli juga dibentuk oleh family life cycle. Faktor-faktor
penting
yang
berhubungan
dengan
umur
sering
diperhatikan oleh para pelaku pasar. Ini mungkin dikarenakan oleh perbedaan yang besar dalam umur antara orang-orang yang menentukan strategi marketing dan orang-orang yang membeli produk atau servis. (Kotler, Bowen, Makens, 2003, pp.205-206) e) Occupation Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang dibeli. Contohnya, pekerja konstruksi sering membeli makan siang dari catering yang datang ke tempat kerja. Bisnis eksekutif, membeli makan siang dari full service restoran, sedangkan pekerja kantor membawa makan siangnya dari rumah atau membeli dari restoran cepat saji terdekat (Kotler, Bowen, Makens, 2003, p. 207).
41
3) Faktor Psychological a) Motivation Kebutuhan yang mendesak untuk mengarahkan seseorang untuk mencari kepuasan dari kebutuhan. Berdasarkan teori Maslow, seseorang dikendalikan oleh suatu kebutuhan pada suatu waktu. Kebutuhan manusia diatur menurut sebuah hierarki, dari yang paling mendesak sampai paling tidak mendesak (kebutuhan psikologikal, keamanan, sosial, harga diri, pengaktualisasian diri). Ketika kebutuhan yang paling mendesak itu sudah terpuaskan, kebutuhan tersebut berhenti menjadi motivator, dan orang tersebut akan kemudian mencoba untuk memuaskan kebutuhan paling penting berikutnya (Kotler, Bowen, Makens, 2003, p.214). b) Perception Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengorganisasi, dan menerjemahkan informasi untuk membentuk sebuah gambaran yang berarti dari dunia. Orang dapat membentuk berbagai macam persepsi yang berbeda dari rangsangan yang sama (Kotler, Bowen, Makens, 2003, p.215). c) Learning Pembelajaran adalah suatu proses, yang selalu berkembang dan berubah sebagai hasil dari informasi terbaru yang diterima (mungkin didapatkan dari membaca, diskusi, observasi, berpikir) atau dari pengalaman sesungguhnya, baik informasi terbaru yang diterima maupun pengalaman
42
pribadi bertindak sebagai feedback bagi individu dan menyediakan dasar bagi perilaku masa depan dalam situasi yang sama (Schiffman, Kanuk, 2004, p.207). d) Beliefs and Attitude Beliefs adalah pemikiran deskriptif bahwa seseorang mempercayai sesuatu. Beliefs dapat didasarkan pada pengetahuan asli, opini, dan iman (Kotler, Amstrong, 2006, p.144). Sedangkan attitudes adalah evaluasi, perasaan suka atau tidak suka, dan kecenderungan yang relatif konsisten dari seseorang pada sebuah obyek atau ide (Kotler & Amstrong, 2006, p.145). 4) Faktor Cultural Nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan, dan perilaku yang dipelajari seseorang melalui keluarga dan lembaga penting lainnya (Kotler & Amstrong, 2006, p.129). Penentu paling dasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Culture, mengkompromikan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan, dan perilaku yang dipelajari seseorang secara terus-menerus dalam sebuah lingkungan. (Kotler, Bowen, Makens, 2003, pp.201-202). a) Subculture Sekelompok orang yang berbagi sistem nilai berdasarkan persamaan pengalaman hidup dan keadaan, seperti kebangsaan, agama, dan daerah (Kotler & Amstrong, 2006, p.130). Meskipun konsumen pada negara yang berbeda mempunyai suatu kesamaan, nilai, sikap, dan perilakunya
43
seringkali berbeda secara dramatis. (Kotler, Bowen, Makens, 2003, p.202). b) Social Class Pengelompokkan individu berdasarkan kesamaan nilai, minat, dan perilaku. Kelompok sosial tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja misalnya pendapatan, tetapi ditentukan juga oleh pekerjaan, pendidikan, kekayaan, dan lainnya (Kotler & Amstrong, 2006, p.132). Pengambilan keputusan konsumen berbeda-beda, tergantung pada jenis keputusan pembelian. Ahli pemasaran Henry Assael, membedakan empat jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembelian dan tingkat perbedaan antar merek yang dikutip dari Kotler & Amstrong (2010, p176) sebagai berikut: 1) Perilaku pembelian yang rumit Konsumen terlibat dalam perilaku pembelian yang rumit bila mereka sangat terlibat dalam pembelian dan sadar akan adanya perbedaan besar antar merek. Perilaku pembelian yang rumit itu lazim terjadi bila produknya mahal, jarang dibeli, berisiko, dan sangat mengekspresikan diri, seperti mobil. 2) Perilaku pembelian pengurang ketidaknyamanan Dalam kasus ini konsumen akan berbelanja dengan berkeliling untuk mempelajari merek yang tersedia. Jika konsumen menemukan perbedaan mutu antar merek, mungkin mereka akan memilih harga yang lebih tinggi. Jika konsumen menemukan perbedaan kecil, mereka mungkin akan
44
membeli, semata-mata berdasarkan harga dan kenyamanan. Setelah pembelian tersebut, konsumen mungkin mengalami ketidaknyamanan yang muncul karena adanya fitur yang tidak mengenakkan atau mendengar kabar yang menyenangkan tentang merek lain. Disini fungsi pemasar sangat diperlukan untuk meyakinkan konsumen agar konsumen merasa yakin dan benar dengan pilihannya. 3) Perilaku pembelian karena kebiasaan Banyak produk yang dibeli pada kondisi rendahnya keterlibatan konsumen dan tidak adanya perbedaan antar merek yang signifikan. 4) Perilaku pembelian yang mencari variasi Beberapa situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen yang rendah tetapi perbedaan antar merek yang signifikan. Dalam situasi ini, konsumen sering melakukan peralihan merek. Peran pemasar sangat diperlukan, untuk mencari tahu sesuatu yang berbeda dari produk lain yang diinginkan oleh para konsumen. Empat jenis perilaku pembelian ini dapat di lihat dalam tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Empat Jenis Perilaku Pembeli
Perbedaan Besar antar
Keterlibatan Tinggi
Keterlibatan Rendah
Perilaku pembelian yang rumit
Perilaku pembelian yang mencari variasi
Merek Perbedaan Kecil Antar
Perilaku pembelian yang
Perilaku pembelian yang
Merek
mengurangi ketidaknyamanan
rutin/biasa
Sumber : Kotler & Amstrong (2010, p176)
45
2.4.4 Tahap-Tahap Proses Pengambilan Keputusan Menurut Schiffman & Kanuk (2004, p.547), keputusan untuk membeli dapat mengarah kepada bagaimana proses dalam pengambilan keputusan tersebut itu dilakukan. Bentuk proses pengambilan keputusan tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: 1) Fully Planned Purchase, baik produk dan merek sudah dipilih sebelumnya. Biasanya terjadi ketika keterlibatan dengan produk tinggi (barang otomotif) namun bisa juga terjadi dengan keterlibatan pembelian yang rendah (kebutuhan rumah tangga). Planned purchase dapat dialihkan dengan taktik marketing misalnya pengurangan harga, kupon, atau aktivitas promosi lainnya. 2) Partially Planned Purchase, bermaksud untuk membeli produk yang sudah ada tetapi pemilihan merek ditunda sampai saat pembelajaran. Keputusan akhir dapat dipengaruhi oleh harga diskon, atau display produk. 3) Unplanned Purchase, baik produk dan merek dipilih di tempat pembelian. Konsumen sering memanfaatkan katalog dan produk pajangan sebagai pengganti daftar belanja. Dengan kata lain, sebuah pajangan dapat mengingatkan sesorang akan kebutuhan dan memicu pembelian. Menurut Kotler & Amstrong (2010, p178) ada lima tahap dalam proses pembelian konsumen yaitu: 1) Pengenalan masalah
46
Proses pembelian dimulai saat pembeli mengenali sebuah masalah atau kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal atau eksternal. 2) Pencarian informasi Konsumen yang tergugah kebutuhannya, akan terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak. Tantangan bagi marketer adalah mengenali sumber informasi yang paling berpengaruh. 3) Evaluasi alternatif Mengevaluasi berbagai alternatif yang ada dalam konteks kepercayaan utama
tentang
konsekuensi
yang
relevan
dan
mengkombinasikan
pengetahuan tersebut untuk membuat keputusan. 4) Keputusan pembelian Calon pembeli menentukan apa dan dimana produk pilihan mereka akan dibeli. Marketer harus menyediakan jalan paling mudah bagi calon pembeli untuk mendapatkan produk yang mereka inginkan. Misalnya, produk sudah disalurkan hingga ke pengecer-pengecer kecil sekalipun sehingga dapat menjangkau para calon pelanggan. 5) Perilaku pasca pembelian Dalam perilaku pasca pembelian, hanya ada tiga kemungkinan, yaitu: - Performa produk/jasa sama dengan ekspektasi. - Performa produk/jasa lebih rendah dari ekspektasi. - Performa produk/jasa lebih tinggi dari ekspektasi.
47
Proses pembelian dimulai jauh sebelum pembelian aktual dilakukan dan memiliki dampak yang lama setelah itu. Proses tersebut dapat dipahami melalui gambar 2.6 berikut : Pengenalan Masalah
Pencarian Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Perilaku Pasca Pembelian Sumber : Kotler & Amstrong (2010, p177)
Gambar 2.6 Tahap Proses Pengambilan Keputusan
Menurut Comegys, et.al. (2006, p337) mengemukakan bahwa model lima tahapan proses keputusan pembelian adalah sebuah alat yang berguna bagi para pemasar untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai pelanggan dan perilaku pelanggan tersebut. Ide dari model adalah ketika seorang pelanggan membeli sebuah item, peristiwa pembelian adalah sebuah proses pergerakan ke depan, yang mana jauh dimulai sebelum pembelian aktual dan kelanjutannya bahkan setelah pembelian dilakukan. Menurut Ma’ruf (2006, pp61-62), dalam membeli barang atau jasa, seorang konsumen akan melalui tiga proses keputusan pembelian, yaitu: 1) Proses keputusan yang panjang (extended decision making)
48
Proses keputusan yang panjang ini biasanya terjadi untuk barang durable seperti (rumah, lahan, mobil). Proses tersebut adalah stimulus Æ kebutuhan Æ mencari informasi Æ evaluasi Æ transaksi Æ perilaku pasca pembelian. Dimana pengertian stimulus adalah situasi yang menyebabkan munculnya kebutuhan dalam diri konsumen. 2) Proses keputusan terbatas (limited decision making) Proses keputusan terbatas sebenarnya hampir sama dengan proses diatas, tetapi terjadi secara lebih cepat dan kadang meloncati tahapan-tahapan. Proses keputusan terbatas ini biasanya untuk barang seperti pakaian, hadiah, mobil kedua, dan tempat wisata. 3) Proses keputusan pembelian rutin (routine decision making) Keputusan pembelian ini terjadi secara kebiasaan sehingga proses pembelian sangat singkat. Begitu dirasa ada kebutuhan, langsung dilakukan pembelian.
2.5 Hubungan Antar Variabel Customer-Based Brand Equity, Variabel Keputusan Pembelian, dan Variabel Loyalitas Merek • Customer-Based Brand Equity dan Keputusan Pembelian Kekuatan sebuah merek terletak pada apa yang dipelajari, dirasakan, dilihat dan didengarkan konsumen tentang merek tersebut sebagai hasil pengalamannya dari sepanjang waktu (Keller, 2001). Dengan adanya ekuitas merek berbasis konsumen (customer-based brand equity) mampu meningkatkan pengambilan keputusan pembelian konsumen pada merek
49
tersebut. Proses pengambilan keputusan pembelian menurut Kotler (2005, p224), yakni dimulai dari pengenalan masalah atau kebutuhan yang paling dasar sampai dengan perilaku pasca pembelian sebagai proses yang dilalui oleh seorang konsumen dalam pembuatan keputusan membeli. Melalui customer-based brand equity, intensitas atau kekuatan ikatan psikologis antara pelanggan dan merek menjadi lebih baik. Bila ekuitas merek perusahaan dikembangkan sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen maka dapat mempengaruhi keputusan pembelian konsumen tersebut. Leon Schiffman dan Leslie Lazar Kanuk (2004:6) mengemukan bahwa: “studi perilaku konsumen terpusat pada cara individu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya mereka yang tersedia (waktu, uang, usaha)
guna
membeli
barang-barang
yang
berhubungan
dengan
konsumsi”. Oleh karena itu, perusahaan harus lebih cekatan dalam menanggapi apa yang menjadi perhatian konsumen dengan menciptakan ekuitas merek berbasis pelanggan (customer-based brand equity) yang dibutuhkan. Beberapa hal di atas ingin mengatakan bahwa adanya hubungan kausalitas antara customer-based brand equity dengan keputusan pembelian. • Customer-Based Brand Equity dan Loyalitas Merek Seperti yang sudah diulas sebelumnya pada sub-bab 2.3, tingkat elemen-elemen ekuitas merek berbasis pelanggan (customer-based brand equity) sangat erat kaitannya dengan persepsi konsumen terhadap brand. Hal senada juga diyakini oleh Durianto, et.al. (2004, p2), yang menyatakan
50
bahwa salah satu peranan dan kegunaan merek ialah sebuah merek mampu menciptakan interaksi dengan konsumen. Dengan kata lain, semakin kokoh ikon itu berdiri, semakin kokoh pula interaksi antara ikon dengan konsumen sehingga terbentuklah asosiasi merek yang memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat di benak konsumen. Lanjut Beliau, brand loyalty termasuk kategori ekuitas merek yang berperan meningkatkan penjualan karena bisa menciptakan loyalitas konsumen. Sedangkan menurut Giddens (2002), para konsumen yang loyal akan proaktif mengikuti informasi-informasi terbaru yang berkaitan dengan merek tersebut. Yang dapat mengembangkan hubungan interaksi dengan merek yang bersangkutan sehingga perusahaan dapat meningkatkan loyalitas merek dan menguasai pangsa pasar. Situasi saat ini, permintaan pasar telah mendorong perusahaan untuk menyediakan produk yang sesuai dengan harapan konsumen. Hal ini berarti bahwa terjadi kausalitas antara customer-based brand equity dengan brand loyalty. • Keputusan Pembelian dan Loyalitas Merek Menurut Tjiptono (2005, p387) mengemukakan bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara konsisten dimasa mendatang, sehingga menimbulkan pembelian merek yang sama secara berulang meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran berpotensi menyebabkan perilaku beralih merek. Dengan demikian berarti bahwa brand loyalty mengakibatkan keputusan pembelian bila dijelaskan
51
dalam teori Lau dan Lee (2001, p46) pada jurnalnya yang berjudul "Consumers Trust in a Brand and the Link in Brand Loyalty" dan teori yang dikemukakan Tjiptono (2005, p387). Berarti bahwa terjadi kausalitas antara brand loyalty dengan keputusan pembelian.
2.6 Kerangka Pemikiran Pengenalan Kebutuhan
Pencarian Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Pasca Pembelian
Salience
Switcher
Performance Imagery Judgement
Habitual Buyer CustomerBased Brand Equity (X)
Keputusan Membeli (Y)
Loyalitas Merek (Z)
Feelings
Satisfied Buyer Liking the Brand
Resonance Comitted Buyer
Sumber : Penulis
Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran
2.6 Hipotesis Berdasarkan pada latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian serta uraian diatas, maka didapatkan suatu hipotesis sebagai berikut : 1) Ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel customer-based brand equity terhadap keputusan pembelian produk Joy Green Tea. 2) Ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel customer-based brand equity terhadap loyalitas merek pada produk Joy Green Tea.
52
3) Ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel keputusan pembelian terhadap loyalitas merek pada produk Joy Green Tea. 4) Ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel customer-based brand equity dan keputusan pembelian secara simultan terhadap loyalitas merek pada produk Joy Green Tea.