23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori Dalam menganalisis permasalahan sebagaimana telah dijabarkan dalam rumusan masalah, Penulis menggunakan
beberapa pendekatan teori – teori
hukum, antara lain : Teori Kebijakan Formulasi Hukum Pidana, Teori Restorative Justice, dan Teori Justice in Many rooms.
1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana
Teori Kebijakan formulasi hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat Undang-Undang hukum pidana mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu”12. Kebijakan formulasi hukum pidana adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu dalam bentuk perundang-undangan hukum pidana yang merupakan awal dari perencanaan dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan sebagai bagian dari kebijakan kriminal yang secara fungsional merupakan bagian dari perencanaan dan prosedur usaha menanggulangi kejahatan. Teori kebijakan Formulasi Hukum Pidana menurut Sudarto memiliki keterkaitan
yang
erat
dengan
kebijakan
sehingga
untuk
mendapatkan rumusan kebijakan formulasi hukum pidana yang tepat
harus
memperhatikan berbagai aspek pertimbangan
12
kriminalisasi,
dalam melakukan kebijakan
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori danuser Kebijakan Pidana. commit to
1998, hlm. 198
PT Alumni, Bandung,
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kriminalisasi, yaitu13 : a.
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata secara materiil spiritual berdasarkan Pancasila, berkenaan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
b.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat;
c.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle);
d.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). Dalam konteks adanya keterkaitan yang erat teori kebijakan formulasi hukum
pidana dengan kebijakan kriminalisasi dapat dinyatakan
bahwa proses
kriminalisasi kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce yang banyak terjadi lewat internet sangat merugikan konsumen sebagai perkara pidana yang beraspek perikatan perdata antara Pelaku Usaha dan Konsumen dalam melakukan transaksi jual beli terhadap suatu produk atau barang yang ditawarkan Pelaku Usaha merupakan proses untuk “mengangkat/menetapkan/menunjuk” suatu perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Dalam hubungannya dengan masalah kebijakan formulasi norma 13
Nanda
Agung
Dewantara,
Kemampuan
Hukum
Pidana
Dalam
Menanggulangi
Kejahatan-Kejahatan Baru Yang Berkembang commit dalam to userMasyarakat, 1998, Liberty, Yogyakarta, hlm. 11
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum tindak pidana untuk kejahatan yang terjadi dalam transaksi e-commerce, tentunya harus memperhatikan ukuran atau kriteria kebijakan kriminalisasi hukum pidana, antara lain : a.
Penggunaan Hukum Pidana Harus Memperhatikan Tujuan Pembangunan Nasional Tujuan Pembangunan nasional yang dimaksud adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Republik Indonesia. Atas dasar tujuan tersebut, maka ditetapkannya perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang melakukan penipuan lewat internet (e-commerce fraud) dalam menawarkan produk barang dan atau jasa kepada konsumen sebagai masyarakat dalam transaksi e – commerce bertentangan
dengan
dapat dikategorikan tindak pidana yang
keselamatan
konsumen,
yang
diatur
dalam
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 pada Pasal 45 (2) jo Pasal 28 (1) yang menyatakan perbuatan yang dilarang “sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik” adalah dalam rangka menanggulangi kejahatan yang umumnya dilakukan oleh Pelaku Usaha kepada Konsumen dalam transaksi e – commerce, untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai bentuk perlindungan hukum kepada masyarakat. b.
Penetapan Perbuatan yang Tidak Dikehendaki Dalam hal ini yang diusahakan untuk dicegah melalui hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan dari Pelaku Usaha yang merugikan / tidak dikehendaki oleh konsumen. Sehubungan dengan tujuan hukum pidana pada umumnya ialah tercapainya kesejahteraan masyarakat secara materiil dan spiritual, maka perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang tidak dikehendaki dalam transaksi e – commerce adalah perbuatan-perbuatan yang mendatangkan commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kerugian bagi konsumen sebagai bagian dari warga masyarakat c.
Perbandingan Antara Sarana dan Hasil Ketika kejahatan yang umumnya dilakukan oleh Pelaku usaha / produsen dalam menjalankan usahanya/ bisnisnya dengan menawarkan produk barang dan atau jasa kepada konsumen menggunakan rangkaian kebohongan /tipu muslihat / cacat tersembunyi
dalam transaksi elektronik yang pada akhirnya
konsumen percaya dan membeli produk barang dan atau jasa yang ditawarkan yang berakibat kerugian konsumen akibat penipuan dari Pelaku usaha / produsen, dicegah dengan menggunakan sarana hukum pidana , dengan sanksi negatif berupa pidana, perlu disertai perhitungan akan biaya yang harus dikeluarkan dan hasil yang diharapkan dicapai. Orang tidak segera menyadari akan besarnya biaya tersebut. Pada waktu pembuatan rencana Undang-Undang ada biaya yang harus dikeluarkan, bahkan mungkin sebelum sampai pada perencanaan Undang-Undang itu, ialah kalau perlu, diadakan penelitian mengenai materi yang akan diatur. Yang jelas adalah kalau Undang-Undang itu sudah jadi dan dilaksanakan, ia akan menggerakkan sekian banyak badan dan orang untuk dapat diterapkan. Ada lembaga Kepolisian, lembaga Kejaksaan, Lembaga Pengadilan, dan lembaga Pemasyarakatan. Lembaga-Lembaga tersebut merupakan sistem peradilan pidana (criminal justice system) atau disebut juga sebagai sistem penyelenggaraan hukum pidana. Ini semua harus dibiayai oleh masyarakat, jadi dengan Undang-Undang Pidana tersebut bertambah pula beban dari rakyat yang disebut juga sebagai “social-cost”14. Dalam konteks kebijakan kriminalisasi kejahatan yang dilakukan Pelaku Usaha melakukan penipuan dalam transaksi e – commerce, setelah dipertimbangkan tentang biaya sosial (social costs) tersebut, kemudian yang 14
commit to user Nanda Agung Dewantara, Loc. Cit.
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perlu dipertanyakan adalah apakah hasil dari kebijakan kriminalisasi terhadap kejahatan yang dilakukan Pelaku Usaha melakukan penipuan dalam transaksi bisnis e – commerce tersebut ? kalau perbuatan yang dilarang melalui kebijakan penal dapat dicegah, tentunya dalam hal ini dapat mendatangkan rasa aman dan tentram dikalangan masyarakat khususnya konsumen dalam melakukan transaksi bisnis jual beli melalui transaksi elektronik . namun tetap tergantung pada sifat perbuatan yang dilarang itu dan pemilihan perbuatan tersebut, apakah benar-benar tidak dikehendaki oleh seluruh rakyat. Di samping hal tersebut, didalam hukum pidana masih ada lagi yang harus diperhatikan, yakni efek dari pidana itu sendiri terhadap si terpidana. Hal tersebut di dasarkan karena pada prinsipnya hukum pidana itu sendiri bersifat kriminogen, artinya menjadi sumber timbulnya tindak pidana . oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan akibat dari sesuatu peraturan pidana15. d.
Kemampuan Lembaga Penegak Hukum Ketika suatu undang-undang sudah berlaku secara sah, maka langkah berikutnya adalah penegakan undang-undang tersebut. Alat kelengkapan negara yang ditugaskan untuk menegakkan peraturan-peraturan hukum pidana adalah lebih luas dan lebih sempurna jika dibandingkan dengan penegakan peraturan - peraturan hukum lainnya. Ada lembaga Kepolisian, lembaga Kejaksaan, lembaga Pengadilan, dan lembaga Pemasyarakatan. Pelanggaran
terhadap
undang-undang
tersebut
menggerakkan
alat
perlengkapan negara tersebut. Kapasitas dari alat-alat perlengkapan negara itu terbatas, baik yang mengenai orang-orangnya yang juga membutuhkan keahlian dan kecakapan tertentu maupun yang mengenai peralatannya16.
15 16
Nanda Agung Dewantara, Op. Cit, hlm.13 commit to Nanda Agung Dewantara, Op. Cit, hlm.19
user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penetapan perbuatan-perbuatan pelaku usaha/produsen yang usahanya/ bisnisnya dengan menawarkan produk barang dan atau jasa kepada konsumen menggunakan rangkaian kebohongan /tipu muslihat / cacat tersembunyi
dalam transaksi elektronik yang pada
akhirnya konsumen percaya dan membeli produk barang dan atau jasa yang ditawarkan
yang
berakibat
kerugian
konsumen
yang
kemudian
diformulasikan menjadi Tindak pidana penipuan melalui internet dalam transaksi elektronik , harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting), hal mana akan mengakibatkan efek dari peraturan pidana tersebut menjadi berkurang. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, kebijakan penanggulangan kejahatan (kriminal) berkaitan erat dengan kebijakan formulasi hukum pidana sebagai rambu dalam upaya penegakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan (kriminal) terhadap pengaruh sosial dari ketidakharmonisan kekuatan-kekuatan sosial,
lembaga sosial,
hasrat
akan kemewahan,
ketidakpatuhan terhadap norma-norma kemasyarakatan dan prinsip-prinsip moral serta kemiskinan. Kebijakan penanggulangan kejahatan (kriminal) meliputi 3 (tiga) komponen, antara lain :
(1) Pembentukan undang – undang
hukum pidana oleh Legislatif; (2) Penerapan Sistem Peradilan Pidana oleh yudikatif ; dan (3) Pelaksanaan eksekusi pidana oleh eksekutif atau administratif. 1. Pembuatan Undang – Undang Hukum Pidana Kebijakan menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana disebut sebagai
kebijakan
kriminalisasi
termasuk
dalam
kebijakan
perundang-undangan yang selalu mendapat perhatian. Hal ini sehubungan dengan kenyataan bahwa commit tindak to pidana /kejahatan ditentukan oleh user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang-undang, sehinggga dapat dikatakan undang-undang itulah yang menciptakan kejahatan . Undang-undang memberikan wewenang dan dasar legitimasi kepada para penegak hukum untuk menyatakan apakah perbuatan seseorang merupakan kejahatan atau tidak. Ini bukan berarti undang-undang bersifat kriminogen, melainkan hanya memberi cap perbuatan sebagai kejahatan. Akan tetapi, undang-undang dapat merupakan faktor kriminogen apabila tidak konsisten dengan kenyataan, sehingga muncul sikap tidak percaya mengenai efektivitas sistem hukum tersebut. Untuk membantu pembuatan undang-undang Pidana (kriminalisasi) atau pencabutan undang-undang (dekriminalisasi), ilmu kriminologi
dapat
dipakai dalam perumusan jenis-jenis tindak pidana, sehingga kriminologi sering disebut signal wetenschap17. Jenis-jenis perumusan tindak pidana ada 2 (dua). Pertama, perumusan tindak pidana dalam undang-undang yang menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Dengan melakukan perbuatan sebagaimana tercantum dalam rumusan itu dianggap tindak pidana telah selesai dilakukan, ini sebagai perumusan secara formil (delik formil). Kedua, perumusan tindak pidana yang menitikberatkan pada akibat yang dilarang, bila akibat yang dilarang ini benar-benar terjadi barulah dianggap tindak pidana selesai dilakukan, ini disebut perumusan secara materiil (delik materiil). Kebijakan
hukum
pidana,
khususnya
dalam
tahap
kebijakan
perundang-undangan, selain mempunyai masalah sentral mengenai formulasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana, juga mengenai penetapan sanksi pidana yang diancamkan dan sesuai bagi si pelanggar. Penetapan sanksi pidana dalam perundang-undangan ini merupakan masalah yang fundamental dan strategis. Sehubungan dengan ini, perencanaan atau kebijakan 17
commit to user Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit,
hlm. 195
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam perundang-undangn menurut Barda Nawawi Arief18, meliputi : a.
Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;
b. Perencanaan /kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dibuat dikenakan terhadap pelaku perbuatan yang dilarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapannya; c.
Perencanaan /kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana. Peraturan Perundang-undangan (wet in materiele zin, gesetz in
materiellen sinne), mengandung 3 (tiga) unsur pokok: (1) norma hukum (rechtsnormen); (2) berlaku keluar (naar buiten werken); dan (3) bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin) 19 . Norma hukum merupakan salah satu unsur pokok dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Hans Kelsen, norma hukum adalah aturan, pola, atau standar yang perlu diikuti, yang pada dasarnya fungsi norma hukum, adalah : (a) memerintah
(gebeiten);
(b)
melarang
(verbeiten);
(c)
menguasakan
(ermachtigen); (d) membolehkan (erlauben); dan (e) menyimpang dari ketentuan (derogoereen)20. Dasar perumusan norma hukum tindak pidana pada hakekatnya bahwa tindak pidana merupakan pelanggaran terhadap kepentingan negara sebagai representasi kepentingan publik umumnya menjadi dasar pemberian kewenangan negara untuk menentukan, membuat peraturan, menuntut, dan 18
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit,
19
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan Pemerintah
hlm. 198
Negara. Disertasi, Universitas Indonesia,commit Jakarta, to 1990, hlm. 302 user
20
Ibid.
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghukum seseorang yang melanggar peraturan yang telah dibuat oleh negara. Hal ini diperkuat oleh pengklasifikasian ilmu hukum, dimana hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang tidak membolehkan campur tangan individu21. Dalam perspektif kebijakan hukum pidana dalam arti kebijakan menggunakan / mengoperasionalisasikan/ mengfungsionalisasikan hukum pidana, masalah sentralnya terletak pada masalah seberapa jauh kewenangan / kekuasaan mengatur dan membatasi tingkah laku manusia 22 . Mengatur perbuatan manusia antara lain berarti menentukan perbuatan apa yang tidak boleh dan yang boleh dilakukan. Hukum pidana mengatur perbuatan yang seharusnya dijadikan sebagai tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan dan dikenakan kepada si pelanggar23. Beccaria pernah mengatakan, hanya undang-undanglah yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatan-perbuatan mana pula dapat dijatuhkan, dan bagaimanakah tepatnya peradilan pidana harus terjadi24. “Every Crime and every penalty shall be embodied in a statute enacted by legislature”25. Dalam konteks ini dapat dikatakan, ada tidaknya tindak pidana ditentukan oleh 21
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek kebijakan Dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung,
Citra Aditya Bhakti. 1998, hlm. 111 22
Barda Nawawi Arief,
Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 32 23
Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Pustaka Magister,
Semarang, 2007, hlm. 53 24
Chairul
Huda,
Dari
Tiada
Pidana
Tanpa
Kesalahan
Menuju
Kepada
Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Timjauam Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban pidana, Media Kencana Prenada,
Jakarta, 2006, hlm. 21.
Dari John Henry Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to The Legal System of Western Europe And Latin America., Stanford University Press, California, 2005, hlm. 132 25
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Edisi commitDan to user
Ketiga), Surabaya,
Airlangga University Press, 2005, hlm. 12
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peraturan perundang-undangan. Undang-undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan dari seluruh kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah 26 . “legal policy” yang dituangkan dalam undang-undang menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang memuat kebijaksanaan yang hendak dicapai pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru27. Disisi lain, Sudarto menyatakan hukum pidana atau lebih tepat sistem pidana merupakan bagian dari politik kriminal sebagai usaha yang rasional dalam menanggulangi kejahatan, sebab disamping penanggulangan dengan menggunakan pidana, masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat dari kejahatan, semisal dengan pengolahan kesehatan jiwa masyarakat (mental hygiene) atau dengan penerangan-penerangan serta pemberian contoh oleh golongan masyarakat yang mempunyai kekuasaan28. Dalam kaitannya dengan kejahatan yang terjadi dalam transaksi bisnis e –commerce yang merupakan bagian dari kejahatan yang terjadi di dunia maya (Cyber
Crime)
dibutuhkan
legal
policy
yang
dituangkan
dalam
undang-undang secara khusus dengan Crimal policy yang khusus pula. Sebagaimana diketahui
bahwa Criminal policy merupakan kebijakan dalam
menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya kebijakan formulasi dalam upaya penanggulangan cyber crime dalam tindak 26
Yuliandri., Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundangan – undangan Yang Baik., Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 2 27 28
Romly Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, commit to userMandar Maju, Bandung, 1998 hlm. 45 Ibid
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum pidana.
29
Jadi masalahnya bukan sekedar bagaimana membuat
kebijakan hukum pidana (kebijakan kriminalisasi/ formulasi/legislasi) di bidang penanggulangan cyber crime, tetapi bagaimana caranya agar ada harmonisasi kebijakan penal di berbagai Negara mengingat Cyber Crime ini sifatnya lintas negara.
Hal ini berarti kebijakan kriminalisasi tentang
masalah cyber crime bukan semata-mata masalah kebijakan nasional di Indonesia, melainkan juga terkait dengan kebijakan regional dan internasional. Diperlukan harmonisasi eksternal dalam pembentukan kebijakan. Patut dicatat juga bahwa kebijakan formulasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini. Tidak akan ada harmonisasi/ sinkronisasi apabila kebijakan formulasinya berada di luar sistem. Oleh karena itu kebijakan formulasi hukum pidana di bidang cyber crime harus tetap berada dalam sistem hukum pidana (materil) yang saat ini berlaku di Indonesia. Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard mengemukakan dalam persoalan cyber crime ini diperlukan standardisasi dan harmonisasi dalam tiga area, yaitu legislation, criminal enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur cyber crime; lebih dari itu adalah kerja sama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya30. Mengingat cyber crime merupakan kejahatan yang menggunakan atau 29
Barda Nawawi Arif, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 125-126. 30
Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard, Harmonizing National Legal Aproaches On
Cyber Crime, WSIS Thematic Meeting On Cybersecurity, Document:
CYB/04,
10
June
2005,
ITU, Jeneva, 28 June-1 Juli 2005, dapat
dibaca
di
:
http://www.itu.int/osg/cybersecurity//doc/background_paper_harmonizing_national_and_legal_apr commit to user oaches on_cybercrime.pdf, diakses 16 April 2011, 15.15 am
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersaranakan teknologi komputer, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana
bagi
pelakunya.
Jenis
sanksi
tersebut
adalah
tidak
diperbolehkannya/dilarang para pelaku untuk menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu. Bagi pengguna komputer yang sudah sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak menggunakan komputer merupakan penderitaan yang sangat berat, selain itu juga sangat diperlukan pembangunan konsep nilai-nilai baru yang akan dituangkan dalam undang–undang untuk dapat memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat berupa perencanaan untuk merekonstruksi
mediasi penal
sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dalam kejahatan transaksi bisnis e-commerce yang merupakan bagian dari cyber crime guna melindungi konsumen merupakan salah satu kebijakan formulasi hukum pidana, yakni perencanaan / kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana. Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijakan untuk
mengoperasionalisasikan
sanksi
pidana.
Dalam
tahap
inilah
dirumuskan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana. 2. Penerapan Sistem Peradilan Pidana Selanjutnya, setelah tahap formulasi menginjak tahap aplikasi. Tahap ini merupakan
kebijakan
hukum
pidana
yang
menyangkut
penerapan
perundang-undangan hukum pidana sebagai kebijakan yudikatif. Dalam hal ini akan melibatkan berbagai pihak, seperti: polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, serta penasehat hukum, serta masyarakat. Ini semua commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merupakan penegakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, yang bekerja berdasarkan peraturan hukum acara pidana agar tercipta sistem peradilan pidana yang benar, adil, dan tidak terjadi tindakan sewenang-wenang. Dasar bekerjanya aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan) dalam lingkup criminal justice system pada tahap aplikasi ini dalam menciptakan sistem peradilan pidana yang benar, adil, dan tidak terjadi tindakan sewenag-wenang mengikuti aturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Menurut
31
Sudarta pembentuk undang-undang
dalam menetapkan sanksi pidana disebut pemberian pidana dalam arti umum, yaitu menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto), sedangkan penerapan dan pelaksanaannya sebagai pemberian pidana dalam arti konkret (pemberian pidana in concreto). Pemberian pidana dalam arti umum merupakan bidang pembentuk undang-undang karena berhubungan dengan adanya asas legalitas, yakni nullum crimen, nulla poena, sine praevia lege (poenali). Jadi untuk mengenakan poena/pidana diperlukan undang-undang terlebih dahulu.
Pembentuk undang-undanglah yang
menentukan
pidananya,
peraturan
tentang
tidak
hanya
tentang
crimen/delictum, yaitu perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana Sistem
Peradilan
Pidana
dikembangkan
berdasarkan
landasan
rasionalisasi yang maju, hukum pidana dan acara yang humanis, alternatif kebijakan pemidanaan dan pengaturannya. Keseluruhannya itu di dalam kerangka keadilan sosial dan aspirasi masyarakat. Dalam Konggres PBB VII tahun 1990 dirumuskan bahwa the criminal justice system should be developed on basis of the progressive rationalization and humanization of criminal laws and procedures, sentencing policies and dispositional 31
commit to user Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983,hlm. 50
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
alternatives, within the overall framework of social justice and societal aspirations (sistem peradilan pidana harus dibangun berdasarkan usaha memanusiakan dan pemikiran yang bergerak maju dari hukum pidana dan acara pidana, kebijakan pemidanaan serta alternatif penerapan pidananya, dalam rangka keseluruhan kerangka kerja keadilan sosial dan cita-cita yang diidamkan masyarakat)32. Sistem Peradilan Pidana terpadu (criminal justice system) merupakan istilah yang menunjuk pada suatu mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem. Setiap negara memiliki sistem peradilan pidana
yang berbeda tergantung pada sistem hukum yang
digunakan serta kebijakan kriminal (criminal policy) yang diberlakukan. Hagan (1987) membedakan pengertian criminal justice process dan criminal justice system. Cryminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya, sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana 33 . Selanjutnya, Mardjono Reksodipoetro memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Dalam kesempatan lain, Mardjono mengartikan bahwa sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan, disini menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas – batas toleransi 32
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013, hlm.
59-60 33
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana:toPerspektif commit user Eksistensialisme dan Abolisionisme,
Jakarta, Putra Bardin. 1996, hlm. 14
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat34. Dalam KUHAP atau
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 desain
Prosedur (procedural design) dari sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice system) juga diatur didalamnya. Dalam hal ini, proses hukum terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku kejahatan dilakukan melalui tahapan yang dimulai sejak penyelidikan sampai dengan pelaksanaan hukuman, bahkan sampai narapidana siap kembali menjadi anggota masyarakat yang baik. Tahapan proses hukum ini secara garis besar dapat dibagi kedalam 3 (tiga) tahap, yaitu : tahap pra persidangan (pre-adjudication), tahap persidangan (adjudication), dan tahap purna-persidangan (post-adjudication). Proses penyelesaian perkara pidana dimulai dari tahap pemeriksaan perkara pidana sampai dengan persidangan, secara terperinci tahap penyelesaian perkara pidana sebagai berikut :
(1) penyelidikan; (2) penyidikan; (3)
penuntutan; (4) persidangan; dan (5) pelaksanaan putusan hakim. Sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia apabila dikaitkan dengan konsep pengayoman selain digunakan dalam pelaksanaan tugas lembaga pemasyarakatan (Lapas) dalam mewujudkan tujuan pemidanaan, juga digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian sebagai garda terdepan penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang – Undang No. 2 tahun 2002 tentang Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan tugas Polri diatur dalam Pasal 13 34
Ibid. Mengutip Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana : Melihat Kepada kejahatan
dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi. Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada fakultas commit toHukum user Universitas Indonesia. hlm. 1
Jakarta, 1993,
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang – Undang No. 2 Tahun 2002, yaitu : a.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas);
b. Menegakkan hukum; c.
Memberikan
perlindungan,
pengayoman,
dan
pelayanan
kepada
masyarakat. Sedangkan untuk tugas Jaksa dalam lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia mempunyai kedudukan serta peranan yang penting dan strategis dalam menjadi filter antara prosesn penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum. Pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penyidik, penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Oleh karena itu Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun sehingga lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum dan penegakan hak asasi manusia. Sedangkan untuk tugas dan wewenang lembaga Kejaksaan diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dirumuskan
sebagai
berikut : a) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan commit lepas bersyarat; to user
serta melakukan penyidikan
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. b) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kekuasaan khusus dapat bertindak baik didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. c) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat,
pengamanan kebijakan penegakan hukum,
pengawasan
peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, serta penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Kemudian daripada itu untuk tugas Hakim dalam lingkungan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia diatur dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menempatkan Hakim pada kedudukan yang mulia dalam sistem peradilan pidana, sebagai pejabat yang memeriksa dan memutus perkara pidana Hakim (pengadilan) tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16 ayat 1 Undang – Undang No. 4 Tahun 2004. Ketentuan ini menjelaskan bahwa seorang Hakim yang disodori sebuah perkara maka ia wajib memeriksanya, dan tidak diperkenankan menolak dengan dalih hukumnya tidak jelas namun Hakim harus dapat membuktikan kebenaran dari peristiwa pidana yang terjadi atas perkara yang diajukan kepadanya, dan ia harus dapat menemukan hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dan dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan commit pula sifat to yang user baik dan jahat dari terdakwa; apa
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
yang telah diputus oleh Hakim harus dianggap benar, dengan melihat dari bukti-bukti yang sah yang diajukan kepadanya, dan didukung dengan keyakinannya atas kesalahan pelaku atas dasar bukti-bukti yang ada sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang –Undang No. 4 Tahun 2004 bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, dari ketentuan ini dapat dikatakan Hakim tak dibenarkan menjatuhkan putusan tanpa didasarkan pada bukti-bukti dan membuat putusan yang harus ditaati oleh para pihak yang berperkara. Meskipun demikian dalam mengadili suatu perkara Hakim menentukan hukumnya in konkreto, sehingga putusan Hakim pun dapat dianggap sebagai hukum (Judge made law), namun dalam pembentukan hukum tersebut putusan Hakim dibatasi oleh undang-undang dan terikat oleh undang-undang; tidak ada Hakim yang baik dalam perkaranya sendiri, sehingga pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (1), kemudian pada ayat (2) Undang – Undang No. 4 Tahun 2004 disebutkan hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. Ketentuan ini mengisyaratkan agar Hakim dalam memeriksa perkara haruslah perkara yang tidak ada hubungan dengan dirinya dan keluarganya, artinya Hakim yang memeriksa perkara tidak boleh memiliki kepentingan atas perkara tersebut karena pihak-pihak yang berperkara masih mempunyai hubungan darah atau semenda (persaudaraan) dengan Hakim sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (3) bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Ketua, salah seorang hakim anggota, Jaksa, Advokat, atau panitera. Ketentuan ini mengisyaratkan putusan hakim harus netral tanpa bisa dipengaruhi pihak manapun, oleh karenanya dalam menjatuhkan putusan atas suatu perkara, Hakim harus benar-benar menemukan suatu kebenaran akan peristiwanya sehingga dapat menentukan sanksi yang dijatuhkan bersamaan putusan yang dijatuhkan pula. Dengan dijatuhkannya putusan berarti suatu bentuk keadilan harus terwujud diantara berbagai pihak terutama yang terlibat suatu perkara yang bersangkutan, dikarenakan setiap putusan Hakim pasti berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan Hakim inilah yang mempertaruhkan citra Hakim di mata masyarakat. Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa istilah sistem peradilan pidana menunjukkan kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem, sebagaimana yang dikemukakan oleh Remington dan Ohlin yang mengemukakan bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana35. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya36. Istilah sistem peradilan pidana secara otomatis mengharapkan sistem tersebut bekerja secara berkaitan satu dengan yang lain, saling berhubungan dalam satu tujuan bersama. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana dengan sendirinya disebut sebagai sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).
35 36
Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita, Refika commit toAditama, user Bandung, 2004, hlm. 74 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
Pendekatan sistem dalam sistem peradilan pidana, menurut Romli Atmasasmita , memiliki ciri sebagai berikut : 1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat); 2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; 3. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara; 4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of justice37. Dapat dinyatakan bahwa sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektifitas penegakan hukum yang maksimal demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. 3.
Pelaksanaan Eksekusi Pidana Kebijakan hukum pidana pada tahap terakhir adalah kebijakan eksekutif /administratif yang merupakan kebijakan pelaksanaan dari yang telah ditetapkan secara konkret dalam kebijakan yudikatif dan mempunyai rentetan sejak tahap formulasi pada kebijakan legislatif. Kebijakan pelaksanaan eksekusi pidana mendasarkan pada sistem pemidanaan yang sudah direncanakan dengan maksud agar berdayaguna dan berhasil guna apabila dikenakan terhadap seseorang sebagai terpidana yang ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
37
Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan PidanatoKontemporer, Kencana Prenada Media Group, commit user
Jakarta, 1996,
hlm. 30
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
No.12
Tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan
ditegaskan
bahwa
Pemasyarakatan ialah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana, sedangkan Sistem Pemasyarakatan menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 dinyatakan sebagai suatu tatanan mengenai arahan dan batasan serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat Untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasakan asas : a. pengayoman; b. persamaan perlakuan dan pelayanan; c. pendidikan; d. pembimbingan; e. penghormatan harkat dan martabat manusia; f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan g. terjaminnya hak untuk tetap berhubunngan dengan keluarga dan orang - orang tertentu. Hal ini semua dapat terwujud bila ada pemahaman yang sama, bahwa : (1) terpidana adalah orang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat; (2) menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara; (3) tobat dari terpidana tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan; serta (4) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih jahat sebelum ia masuk penjara. Prinsip Pemasyarakatan ini, tidaklah adil bila hanya dipahami oleh petugas Lembaga commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemasyarakatan semata38. Dari keterangan tersebut sudah seharusnya dibutuhkan dukungan agar sub sistem lainnya mampu mempersiapkan mental dan fisik terdakwa saat menjalani pidana penjara dengan mempersiapkan sarana prasarana yang memadai pada lembaga Pemasyarakatan dengan sistem pemasyarakatannya sebagai model pembinaan yang humanis, dengan tetap menghargai seorang narapidana secara manusiawi, bukan semata-mata dengan melakukan tindakan balas dendam dari negara. Hukuman hilangnya kemerdekaan sudah cukup sebagai sebuah penderitaan tersendiri dengan demikian tidak perlu ditambah dengan penyiksaan serta hukuman fisik lainnya yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Sehingga pemasyarakatan dalam kehadiranya diharapkan dapat mengayomi tata prilaku terhadap pelanggar hukum, yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, ha ini semata – mata bukan untuk mewujudkan kepentingan Lembaga Pemasyarakatan, tetapi lebih kepada usaha resosialisasi dan rehabilitasi narapidana, serta mencegah agar tidak terjadi resedivis, maupun penolakan dan stigma masyarakat. Penentuan sistem pidana merupakan hal penting, namun hal itu tidak akan berarti apabila tidak disertai dengan pengaturan mengenai pelaksanaan eksekusi pidana yang akan mengoperasionalkan secara nyata tentang pidana terhadap para terpidana. Disini tidak hanya menyangkut masalah teknik perundang-undangan,
melainkan
perlu
mendapatkan
campur
tangan
ilmu-ilmu tentang kenyataan terutama ilmu yang berkaitan dengan prilaku manusia
bagaimana
memperlakukan
para
terpidana
dengan
memanusiakannya sebagai manusia dengan tidak melanggar hak – haknya sebagai manusia, menyamakan derajat para terpidana didepan hukum tanpa 38
Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty. Pemasyarakatan Narapidana (Pembaharuan
Pemikiran DR. Sahardjo), CV Indhill Co,commit Jakarta, to 2008, hlm 11. user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memandang status sosial mereka, dan adanya keseimbangan kejahatan dan hukuman yang diberikan. Teori kebijakan formulasi hukum pidana sebagai bentuk penerapan Penegakan hukum Pidana sebagaimana Muladi menyatakan bahwa hukum pidana dan penegakannya merupakan bagian dari politik kriminal (criminal policy), politik kriminal merupakan bagian dari politik penegakan hukum (law enforcement policy) yang mencakup pula penegakan hukum perdata dan penegakan hukum administrasi. Politik penegakan hukum merupakan bagian politik sosial (social policy) yang merupakan usaha setiap masyarakat dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya39. Selain itu, Muladi menyatakan bahwa penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana penanggulangan kejahatan yang efektif, mengingat kemungkinan besar adanya pelaku-pelaku tindak pidana yang berada diluar kerangka proses peradilan pidana40. Oleh karena itu masalah penegakan hukum senyatanya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran tentang efektifitas hukum. Masalah efektifitas hukum berhubungan erat dengan usaha yang dilakukan agar hukum itu benar-benar hidup di dalam masyarakat, dalam artian berlaku secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Berlaku secara filosofis artinya hukum itu berlaku sebagaimana yang dikehendaki atau dicita-citakan oleh adanya hukum tersebut. Berlaku secara yuridis, artinya sesuai dengan apa yang telah dirumuskan sebagai bentuk upaya pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan terhadap kejahatan / pelanggaran yang terjadi di masyarakat baik 39
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru
Besar 24 Februari 1990, Universitas Diponogoro, Semarang, 1990, 40
hlm. 6
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, commit to user
Semarang, 1995, hlm. 7
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara preventif maupun represif, dan berlaku secara sosiologis berarti hukum itu dipatuhi oleh warga masyarakat tersebut, dengan dipatuhinya hukum oleh warga masyarakat maka akan tercipta tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat. Sebagaimana dinyatakan pada pernyataan sebelumnya, Sistem Penegakan Hukum dilihat secara integral merupakan satu kesatuan berbagai Sub sistem (komponen) yang meliputi pembentukan Undang-Undang hukum pidana oleh legislatif, penerapan sistem peradilan pidana dan pelaksanaan eksekusi. Hal tersebut mempunyai harmonisasi dengan 3 (tiga) komponen sistem hukum (legal system) dari Lawrence. M. Freidmann
yang
mengemukakan ada 3 (tiga) komponen yang tertanam dalam sistem hukum terdiri dari legal structure, legal substantion, dan legal culture41. suatu sistem penegakan hukum
Sebagai
maka peradilan tidak bisa dilepaskan dari
tiga komponen tersebut yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substansi), aparat penegak hukum (struktur) dan nilai-nilai budaya hukum (culture). Ketiga komponen tersebut adalah: pertama,
komponen struktur
hukum (legal structure); Komponen struktur dari suatu sistem hukum adalah mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Salah satu diantaranya adalah sistem peradilan pidana (integreted criminal justice system) yang dijalankan prosesnya oleh para penegak hukum mulai tingkat penyidikan sampai pelaksanaan putusan. Penegak Hukum tersebut yaitu kekuasaan penyidikan oleh penyidik yang terdapat dalam Kepolisian, kekuasaan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum 41
Lawrence M. Friedman, The Legalcommit System:to Auser Social Science Perspective, Russel Sage
Foundation, New York, 1977, hlm. 77
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang terdapat dalam Kejaksaan, kekuasaan mengadili atau menjatuhkan putusan oleh hakim yang terdapat dalam Pengadilan, dan kekuasaan aparat pelaksana putusan (Lapas). Penegak hukum berprilaku nyata atau berperan aktual sesuai dengan undang-undang yang mengikatnya. Namun juga dapat melakukan diskresi dalam hal atau keadaan tertentu dengan melewati asas legalitas sesuai kewenangannya yang diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan tetapi hal ini bersifat tidak mengikat artinya upaya penyelesaian diluar pengadilan tidak menghentikan proses peradilan pidana sehingga memunculkan gagasan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan yang tidak pernal dikenal sebelumnya sebagai upaya meminimalisir berlakunya asas nebis in idem dalam pengertian yang luas dengan tujuan jangan sampai seseorang harus mengalami lebih dari satu kali penghakiman dalam satu perkara yang tidak dibenarkan oleh kaidah hukum pidana. Kedua, komponen substantif (legal substantion) adalah segala apa saja yang merupakan keluaran dari suatu sistem hukum yang berupa keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis (peraturan
perundang-undangan,
keputusan-keputusan,
doktrin-doktrin)
maupun yang tidak tertulis (norma-norma yang bersifat tegas), termasuk putusan pengadilan sebagai hukum positif yang berlaku saat ini (ius constitutum) sejauh semuanya ini digunakan dalam proses yang bersangkutan sebagai sistem normatif atau sistem penegak substansi hukum. Peraturan perundang-undangan merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat dan individu melalui pembaruan maupun
reformasi,
sewenang-wenang
artinya perlu
supaya
dibenahi
pembuat pula
undang-undang
keterbukaan
dalam
tidak proses
commit user masyarakat untuk mengajukan pembuatannya dan pemberian hak to kepada
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
usul. Namun Hal ini sering dikesampingkan sehingga aspek sosiologisnya juga hilang atau dikesampingkan pula. Demikian gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang karena tidak diikutinya asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang dan adanya norma menjadi kabur (obscuur), akibatnya memunculkan konflik norma dalam undang-undang yang telah dibuat sehingga membingungkan di dalam penerapannya. Ketiga, komponen budaya (legal culture) berupa opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan - kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. Menurut Friedman keberlakuan empirik dimana aspek legitimasi aturan hukum diletakkan dalam konteks budaya hukum atau
legal culture
sebagai suatu proses sosial. Hal ini tampak dalam tulisan Friedman42 bahwa “legitimacy is an attitude of respect or approval for law and legal proces; a sense the law as a whole, or some, structure or process, structure or are valid sehingga dapat dinyatakan budaya hukum sebagai bensinnya motor keadilan, yang selanjutnya dirumuskan sebagai sikap dan nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, Dalam Prakteknya, penegakan hukum sangat terlihat adanya kecenderungan berpikir yang parsial yakni hanya melihat dari sisi undang-undang saja, sehingga hakim seakan-akan corong undang-undang saja, padahal dilihat dari segi historisnya bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya yang lebih mengedepankan nilai-nilai musyawarah mufakat sebagaimana yang terkandung dalam sila IV Pancasila, sehingga sebenarnya konsep mediasi penal telah lama dikenal sebagai 42
commit to user Lawrence M. Friedman, Loc. Cit.
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kearifan lokal dalam masyarakat hukum adat di Indonesia yang dilandasi alam pikiran kosmis, magis, dan religius dengan mengangkat kembali kultur budaya
/ nilai – nilai yang hidup di masyarakat sehingga pada dasarnya
penyelesaian
perkara
pidana
melalui
mediasi
(perdamaian)
melalui
penyelesaian lembaga adat 43 sudah lama ada dan telah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia sebagai bentuk pelaksanaan eksekusi dalam tataran masyarakat hukum adat di Indonesia. Kebijakan formulasi hukum pidana sebagai bagian dari politik penegakan hukum senyatanya tidak dapat dilepaskan dari efektifitas hukum pidana yang dilakukan agar hukum itu benar-benar hidup di dalam masyarakat. Agar efektifitas hukum pidana tersebut berlaku sebagaimana yang dikehendaki atau dicita-citakan oleh adanya hukum tersebut, maka dibutuhhkan aturan hukum pidana yang tegas dan memaksa yang mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum (publik) atau mengatur hubungan antar subyek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan
yang
diharuskan
dan
dilarang
oleh
peraturan
perundang-undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan / atau denda bagi para pelanggarnya. Ruang lingkup hukum pidana secara garis besar menurut Herbert L. Packer dalam bukunya berjudul The Limits of Criminal Sanction pada dasarnya meliputi 3 (tiga) konsep yaitu pelanggaran, kesalahan, dan hukuman.
43
Tidak jarang terjadi kasus-kasus pidana seperti pembunuhan yang terjadi akibat konflik antar
suku di Papua dapat diselesaikan dengan baik dengan menggunakan instrumen hukum adat; perbuatan melarikan anak gadis sering diselesaikan dengan baik dengan hukum adatl; kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban mati diselesaikan dengan musyawarah atu perdamaian; dan kasus perzinahan diselesaikan kekeluargaan. Lihat Romli Atmasasmita. commit secara to user Op. Cit.
hlm. 46.
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adapun substansi hukuman, yaitu44 : a) What conduct should be designated as criminal; b) What determinations must be made before a person can be found to have committed a criminal offences; c) What should be done with persons who are found to have committed criminal offences Sejalan dengan pendapat Packer diatas, Barda Nawawi Arif membagi 3 (tiga) masalah sentral / pokok sebagai substansi dalam
hukum pidana,
yaitu masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggung jawaban pidana, serta masalah pidana dan pemidanaan. Tindak pidana (perbuatan pidana) berkaitan dengan subyek atau pelaku delik, pertanggung jawaban pidana atau kesalahan berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan pidana, sedangkan pidana merupakan sanksi yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan perbuatan atau tindak pidana dengan syarat orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal tindak pidana (perbuatan pidana) yang berkaitan dengan subyek atau pelaku delik, dapat dinyatakan seseorang bisa dipidana jika telah melakukan suatu tindak pidana, tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa yang terjadi di dalam hukum pidana45. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa – peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat.
44
Herbert L. Packer, Op, Cit.
45
Bambang Poernomo. Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1976, hlm. 124
hlm. 17 commit to
user
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari 3 (tiga) kata, yaitu: straf, baar, dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan 46. Dalam bahasa Indonesia Het strafbarefeit telah diterjemahkan sebagai perbuatan yang dapat/boleh dihukum atau peristiwa pidana atau perbuatan pidana, atau juga tindak pidana47. masing-masing penerjemah atau yang menggunakan, memberikan sandaran atau pengertian masing-masing dan bahkan perumusan pengertian dari istilah tersebut. Mr. R. Tresna mengutarakan bahwa sesuatu perbuatan itu baru dapat dipandang sebagai peristiwa pidana, apabila telah memenuhi persyaratan yang diperlukan, yaitu : 1. Harus ada perbuatan manusia; 2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum; 3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orang yang harus dapat dipertanggung jawabkan; 4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum; 5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang48. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di negara hukum Indonesia, tidak ada rumusan yang baku mengenai istilah strafbaarfeit 46
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana I (stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori
pemidanaan
dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hlm. 69 47
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm.to 204 commit user
48
R.Tresna,
Asas-asas Hukum Pidana, PT Tiara Limited, Jakarta, 1959, hlm. 27
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
maupun istilah hukum lain, melainkan adanya rumusan dari masing-masing peraturan tersebut hanyalah merupakan pembatasan terhadap suatu perbuatan tertentu, keputusan tertentu maupun untuk mencapai tujuan tertentu. Kemudian dalam hal pertanggung jawaban pidana atau kesalahan yang berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan pidana. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya dapat meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan orang tersebut49. Pertanggungjawaban Pidana atau “criminal liability” atau “criminal responsibility” (bahasa Inggris) atau “strafrechtterlijke toerekening” (bahasa Belanda) atau “straafbaarheid” (bahasa Jerman) pertama-tama merupakan tindak pidana, kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara pembuat tersebut dengan perbuatan (tindak pidana) dan sanksi (pidana) yang sepatutnya dijatuhkan. Dalam hukum pidana konsep pertanggungjawaban (liability)
itu
merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan (schuld) atau dalam bahasa latin dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada “maxim actus nonfacit reum nisi means real”(latin) atau “an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy” (Inggris), yang berarti “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat”50. Di samping mens rea, asas diatas juga melahirkan konsep actus reus sebagai konsep yang harus
49
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Pertanggungjawaban Pidana, 50
Kencana Prenada Media, Jakarta,
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran
Cetakan I, Jakarta, 1982, hlm.23
Kritis tehadap Teori pemisahan Tindak Pidana dan 2006, hlm. 63
tentang Pidana, Ghalia Indonesia, commitPertanggungjawaban to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipenuhi dalam memidanakan seseorang. Actus reus sebagai perbuatan lahiriah yang terlarang, sedangkan mens rea sebagai keadaan sikap batin seperti sifat jahat/tercela. Mengenai kesalahan, menurut Simons bahwa untuk adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku yaitu kemampuan bertanggung jawab, hubungan kejiwaan antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan, dan dolus (kesengajaan) atau culpa (kelalaian)51. Menurut Simons bahwa untuk adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu: (1) kemampuan bertanggung jawab; (2) hubungan kejiwaan antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan, serta (3) dolus atau culpa52. Sedangkan menurut Roeslan
Saleh
yang
mengikuti
pendapat
Moeljatno
bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah (1) mampu bertanggung jawab; (2) mempunyai kesengajaan atau kealpaan; dan (3) tidak adanya alasan pemaaf53. Selanjutnya unsur-unsur kesalahan tersebut harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya pelaku tindak pidana (tersangka, terdakwa), artinya terdapat unsur-unsur yang mutlak untuk dipenuhi agar seseorang dapat dipidana yang disebut dengan unsur pertanggungjawaban pidana, dimana apabila satu saja dari unsur ini tidak terpenuhi, maka orang yang dituduh melakukan tindak pidana tentunya tidak dapat dipidana. Berikut unsur-unsur pertanggungjawaban pidana54 :
51
Sofyan Sastrawidjadja, Hukum Pidana (Asas hukum Pidana Sampai Dengan
Peniadaan Pidana), Amico, Bandung, 1995, hlm. 180 52
Ibid
53
Sofyan Sastra Wijaya, Op.Cit, hlm. 181 commit to
54
Ibid
user
Alasan
perpustakaan.uns.ac.id
a.
54 digilib.uns.ac.id
Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
b. Mampu bertanggungjawab c.
Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan
d. Tidak adanya alasan pemaaf. Menurut Muladi pembenaran pertanggungjawaban seseorang dan atau korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan atas hal – hal sebagai berikut: 1. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial; 2. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945; 3. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan); 4. Untuk perlindungan konsumen; 5. Untuk kemajuan teknologi55. Menurut Sudarto bahwa56 : “Di samping kemampuan bertanggung jawab kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederchtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana ialah pembahayakan masyarakat oleh pembuat. Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya si pembuat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Ada suatu tindak pidana dilakukan oleh pembuat; 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab; 4. Tidak ada alasan pemaaf ” Hal ini pun jika dipandang dalam konteks berlakunya asas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan (nulla poena sine culpa), sehingga 55
Sofyan Sastra Wijaya, Loc. Cit.
56
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi, Makalah Seminar commit to user
Kejahatan Korporasi, Semarang, 1989, hlm 7
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sehubungan dengan perkembangan masyarakat, yang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana tidak hanya orang (dalam arti manusia), tetapi juga korporasi, berkaitan dengan pelaku tindak pidana kejahatan e-commerce fraud
dalam
transaksi
e-commerce
dapat
diketahui
berdasarkan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik disebutkan bahwa : Pasal 1 (butir 6) : “ Penyelenggaraan sistem elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh negara, orang, badan usaha, dan / atau masyarakat.” Pasal 1 (butir 10) : “Penyelenggaraan sertifikasi elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.” Pasal 1 (butir 11) : “Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik.” Pasal 1 (butir 21) : “Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.” Pasal 1 (butir 22) : “Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.” Pasal 52 ayat (4) : “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 37 (perbuatan yang dilarang) dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.” commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penjelasan pasal ini diterangkan bahwa,
ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghukum setiap perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur sebagaimana Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang dilakukan oleh korporasi (corporate crime) dan/atau oleh pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk : a) mewakili korporasi, b) mengambil keputusan dalam korporasi, c) melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi, dan d) melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 61 ditentukan bahwa penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Dimaksudkan Pelaku Usaha termasuk perusahaan korporasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain (Penjelasan Pasal 1 angka 3). Dalam undang-undang ini jelas menentukan pelaku tindak pidana oleh korporasi, sehingga korporasi menjadi subyek hukum pidana sekaligus ditentukan pertanggungjawaban pidananya. Pertanggungjawaban hukum dalam hukum perlindungan konsumen sudah dikenal umum mengenai ajaran-ajaran pertanggungjawaban yang dikenakan terhadap para Pelaku Usaha. Mengenai masalah ini, Johannes Gunawan memerincikannya dalam klasifikasi pertanggungjawaban, yaitu : 1) pertanggungjawaban kontraktual; 2) pertanggungjawaban produk; dan 3) pertanggungjawaban profesional57. Pertanggungjawaban dalam perlindungan konsumen ini dapat diterapkan sebagai pertanggungjawaban pidana bagi Pelaku
usaha
yang
berbentuk
korporasi.
Dalam
pengkajian
dua
perundang-undangan diatas, kedua undang-undang tersebut menentukan
57
Ida Susanti et. al,
Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum
indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. hlm. commit to user 117
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adanya
korporasi
sebagai
subjek
hukum
pidana
dan
beban
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Untuk mewujudkan tanggung jawab pidana, Fisse dan Braithwaite58 mengatakan bahwa tanggung jawab pidana
adalah alat untuk melakukan
pengendalian sosial yang tidak tergantung pada ciri metafisika atau ciri yang melekat pada moralitas orang. Oleh karena itu, tanggung jawab pidana harus diterapkan
baik
korporasinya.
untuk
individu
yang
bertanggung
jawab
maupun
Pertanggungjawaban dari kejahatan korporasi ada tiga
kemungkinan yaitu
59
: (1) Orang yang bersalah dalam tindak pidana tersebut,
sesuai dengan ajaran kesalahan dalam hukum pidana yakni tiada pidana tanpa kesalahan. Mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dicari orang yang bersalah; (2) Korporasinya yang dipertanggungjawabkan, berdasarkan ajaran strict liability. Di sini tidak perlu memperhatikan bentuk kesalahannya, kesengajaan, atau kelalaian; (3) baik orangnya maupun perusahaannya. Orang yang bersalah dimungkinkan dipertanggungjawabkan dan dipidana sesuai dengan KUHP, sedangkan perusahaannya dikenai kewajiban pengganti kerugian. Oleh sebab itu terhadap seseorang (pelaku) yang akan dilakukan mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana tentunya harus memenuhi semua unsur pertanggungjawaban pidana dengan adanya bukti permulaan yang cukup, dimana dengan alat bukti tersebut mencondongkan perbuatan pidana terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diancamkan terhadapnya. Jika satu unsur atau satu elemen saja tidak terpenuhi, maka penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme mediasi penal (penal mediation) antara pihak pelaku dan pihak korban tidak 58
Sue Titus Reid, Criminal Law, Prentice Hall, New Jersey, 1995, hlm. 53
59
Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Datacom, Jakarta, commit to user
2002, hlm. 35
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
dapat dilaksanakan. Tentunya hal yang pokok dalam penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal ini adalah kesepakatan antara kedua belah pihak yang berperkara dan pengakuan bersalah pelaku tindak pidana dengan tujuan yang bersifat reparatoir (pemulihan keadaan semula). Paling akhir, dalam hal pidana merupakan sanksi yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan perbuatan atau tindak pidana dengan syarat orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan memiliki keterkaitan dengan pemidanaan. Pidana merupakan nestapa / derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana. Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap hati nurani bersama sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap prilaku tertentu. Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan 60 . Anggapan ini yang menekankan bahwa pidana pada hakikatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa sangat berbeda dengan pendapat Hulsman yang berpendapat bahwa hakekat pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot de order roepen), pidana pada hakekatnya mempunyai 2 (dua) tujuan utama, yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflic toplossing). Penyelesaian konflik ini dapat
60
http://www.mahathir71.blogspot.com/2014/03/pidana-dan-pemidanaan-hukum-penitensier.html, commit to user
diakses tanggal 12 Februari 2014, 12. 30 pm
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia. Demikian pula G.P. Hoefnagels tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan suatu pencelaan (censure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering) tetapi lebih ditekankan bahwa pemberian sanksi
merupakan
suatu proses
pembangkitan semangat
(encouragement) dan pencelaan (censure) untuk tujuan agar seseorang berorientasi atau menyesuaikan diri dengan suatu norma atau undang-undang yang berlaku61. Pendapat ini bertolak pada pengertian yang luas bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis dijatuhkan. Jadi Hoefnagels melihatnya secara empiris bahwa pidana merupakan suatu proses waktu. Keseluruhan proses pidana itu sendiri (sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan) merupakan suatu pidana. Dilihat secara empiris, pidana memang dapat merupakan suatu penderitaan tetapi hal itu tidak merupakan suatu keharusan/kebutuhan. Ada pidana tanpa penderitaan. Terlebih harus pula dibedakan antara : (a) Penderitaan yang sengaja dituju oleh si pemberi pidana; (b) Penderitaan yang oleh si pemberi pidana dipertimbangkan tidak dapat dihindari (effek sampingan yang sudah diketahui); dan (3) Penderitaan yang tidak sengaja dituju (effek sampingan yang tidak diketahui). Sedangkan pemidanaan menurut Sudarto 62 adalah sinonim dengan 61
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT Alumni, Bandung,
1998, hlm. 9 62
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, HukumtoPenitensier Indonesia, commit user
2010, hlm. 35
Sinar Grafika, Jakarta,
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kata penghukuman, dimana tentang hal itu dinyatakan bahwa penghukuman yang berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten), penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau vervoordeling. Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri. Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana, atau tindakan yang akan digunakan. Teori pemidanaan muncul didasarkan pada pemikiran mengenai manfaat pidana bahwa pemidanaan itu sesuatu yang penting sebagai penjamin utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia, maksudnya ia merupakan penjamin apabila digunakan secara cermat dan manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Teori – teori pemidanaan tersebut antara lain seperti pembalasan (retribution), utilitarian (deterence) atau pencegahan, rehabilitasi,
integratif (gabungan) , dan penghapusan pidana
(abolisionis). Teori Pembalasan (retribution) secara historis telah dipelopori oleh Immanuel Kant yang berpendapat 63
63
: barang siapa yang melakukan kejahatan
commit to user J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harus dipidana. Dipidananya itu berdasarkan atas pembalasan karena disyaratkan
oleh
perintah
yang
tidak
bersyarat
dari
akal
yang
praktis(onvoorwaardelijk gebud der praktishe rede, kategoris cher imperative der praktischen vernuf). Dengan demikian, maka tuntutan pembalasan menjadi suatu syarat yang etis. Hanya keadilan dan bukan tujuan lain yang dapat membenarkan dijatuhkan pidana, dalam hubungan ini tidaklah penting tujuan apa yang dicapai melalui pembalasan itu, ukurannya cuma pembalasan sebagai tujuan hukuman . Menurut teori pembalasan (retribution theory) alasan pembenar dalam penjatuhan hukuman, hukuman semata – mata sebagai imbalan dari perbuatan jahat yang dilakukan. Hal ini menggambarkan bahwa penjahat itu harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya, sehingga dapat dikatakan 64 : teori ini berpandangan setiap orang itu dalam keadaan apapun juga dapat untuk berbuat sesuatu dengan keinginannya, oleh karena itu ada alasan dilakukan pembalasan. Dengan demikian memahami tujuan hukuman dari teori retributif, maka dapat dinyatakan kriteria yang dipakai sebagai dasar dijatuhkannya hukuman dapat dirumuskan bahwa hukuman hanya dijatuhkan untuk membalas perbuatan jahat seseorang, tidak ada tujuan lain selain daripada perbuatan, ada kerugian yang harus dibayar (ditebus) oleh pelaku, serta hukuman hanya untuk pelaku dan bukan untuk orang lain. Menurut teori utilitarian (deterence) atau pencegahan, pada dasarnya dilaksanakannya penjatuhan hukuman sebagai upaya membuat jera guna mencegah terulangnya kejahatan merupakan ide dasar dari deterrence (pencegahan kejahatan). Berencana, Radjawali, Jakarta, 1982. Cetakan Kedua, hlm, 201. 64
Muladi dan Paulus Hadisuprapto, Reorientasi commitMendasar to user Terhadap Dampak Pemidanaan dalam
Hukum dalam Perspektif Sosial, Alumni, Bandung, 1982, hlm 41
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pelopor pemikiran tentang tujuan hukuman yang mengemukakan teori utilitarian
adalah
utilitarianisme65.
Jeremy
Bentham
yang
menghasilkan
paham
Menurut teori ini kejahatan tidak harus dijatuhi dengan
suatu hukuman tetapi harus ada manfaatnya baik untuk si Pelaku tindak pidana maupun untuk masyarakat. Hukuman diberikan bukan saja karena apa yang ditimbulkan si pelaku pada masa lalu, melainkan ada tujuan yang utama untuk masa depan, sehingga hukuman berfungsi mencegah agar kejahatan tidak diulangi, dan menakut - nakuti anggota masyarakat sehingga menjadi takut melakukan kejahatan66. Teori detterence ini dibedakan ke dalam dua macam, yaitu teori special detterence (pencegahan khusus) dan general detterence (pencegahan umum). Dalam teori special detterence, efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan setelah pemidanaan dilakukan, sehingga si terpidana tidak melakukan kejahatan serupa dimasa datang, sedangkan pada teori general detterence (pencegahan umum), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan. Pencegahan ini dilakukan melalui ancaman – ancaman, contoh keteladanan, dan juga pemidanaan yang dijatuhkan secara terbuka sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan67. 65
Utilitarianisme diturunkan dari kata latin utilitis, yang berarti berguna, berfaedah,
menguntungkan. Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat, bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, menguntungkan. Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain (A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 228) 66
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia,
Akademika Pressindo, Jakarta, 1983, hlm. 26 67
Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety (mengutip dari Jimly Asshidiqe, Pendekatan
Sistem dalam Pemasyarakatan Terpidana menurut Tinjauan Ilmu Hukum, Hukum dan Pembangunan No. 5 Oktober 1987, Tahun ke XVIII, hal 17-18), Pidana Penjara Mau Kemana, commit to user CV Inhill Co, Jakarta, 2007, hlm. 18
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan demikian dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pandangan utilitarian tentang dibenarkannya suatu hukuman dijatuhkan, untuk mencegah agar kejahatan tidak dilakukan sehingga orang tidak bertindak melanggar hukum, sifat pencegahannya lebih ditonjolkan dengan cara ataupun nuasa menakut-nakuti, seperti dengan ancaman pidana yang mengakibatkan orang menjadi takut melakukan kejahatan, jadi menurut teori utilitarian bukan perbuatan yang menjadi sorotan, tapi pembuatnya. Pemidanaan dipandang masih lebih baik daripada tidak menjatuhkan pidana. Jadi disini kemanfaatan pidana itu menjadi prioritas sebagai sarana mencegah sebagai upaya mengurangi sesuatu yang jahat, dengan menekankan pada sasaran apa yang hendak dicapai dengan sanksi pidana kalau diberikan pada pelaku kejahatan serta orientasi hukuman itu sendiri agar bermanfaat. Teori rehabilitasi pada dasarnya menjelaskan bahwa dijatuhkannya hukuman kepada pelaku kejahatan karena seseorang tersebut itu dianggap sakit sehingga perlu direhabilitasi, sebagaimana dinyatakan oleh Rudolph J. Gerber and Patrick D. Mc Anany yang mernyatakan bahwa68 : Person put into penal incarceration in the name of social reform have been left there interminably because they were being cured (terjemahan : seseorang menjalani pidana dalam penjara atas nama perubahan sosial dengan dibiarkan disana tanpa akhir sampai mereka sembuh karena mereka diobati). Hal ini berarti keberadaan seseorang yang direhabilitasi disebabkan adanya kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca sebagai simptom disharmoni
mental atau ketidakseimbangan personal
yang
membutuhkan terapi psikiatris, counseling, latihan – latihan spiritual.
68
Rudolp J. Gerber and Patrick D. Mc.commit Anany. to Theuser Philosophy of Punishment in Sociology of
Punishment is Correction, edited by Norman Jhonston , et al,
second edition, 1970, p. 354
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dipergunakannya metode seperti ini jelas menyerupai cara – cara tirani dan mengingkari hak asasi manusia. Sekali orang narapidana dirawat oleh dokter, maka tidak dapat diperkirakan kapan ia akan dinyatakan sembuh, dan manusia diperlakukan seperti kelinci percobaan. Pada lain sisi dalam pandangan rehabilitasi, pemidanaan dilakukan untuk memudahkan dilakukannya pembinaan guna merehabilitasi si terpidana, sehingga ia dapat mengubah kepribadiannya agar dapat diharapkan menjadi orang baik yang taat hukum
pada waktu – waktu selanjutnya, sebagaimana
dinyatakan oleh John Kaplan yang menyatakan bahwa69 : The rehabilitative ideal teaches us that we must treat each offender as an individual whose special needs and problems must be known as fully as possible in order to enable us to deal effectively with him. (terjemahannya : pada dasarnya rehabilitasi mengajarkan bahwa kita harus merawat tiap – tiap pelaku sebagai seorang individu dengan mengetahui sebanyak mungkin apa yang menjadi kebutuhan khususnya dan masalah – masalah mereka, sehingga kita dapat melakukan tindakan yang efektif kepadanya) Dari pernyataan – pernyataan tersebut diatas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa pandangan teori rehabilitasi menjelaskan dalam penjatuhan pidana, dalam pelaksanaannya bukan diletakkan pada pidana badan tetapi pada pidana hilangnya kemerdekaan seseorang yang dalam pelaksanaannya seseorang itu ditempatkan dalam satu tempat tertentu untuk direhabilitasi prilakunya yang bertujuan memperbaiki pelaku kejahatan agar dapat berprilaku sepatutnya dengan menanamkan norma – norma yang berlaku di masyarakat. Teori integratif (gabungan) muncul seiring dengan tidak puasnya atas hasil yang dicapai pada teori-teori sebelumnya, teori ini dikemukakan oleh 69
John Kaplan. Punishment and Detterence, Criminal Justice Introductory Cases and materials,
dalam Tongat. Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan commit to user Hukum Pidana Indonesia . djambatan, Jakarta, 2001, hlm. 44
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
Muladi dengan menyatakan bahwa tujuan pemidanaan dikategorisasikan ke dalam 4 (empat) tujuan, yaitu70 : 1) Pencegahan (umum dan khusus), salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga orang-orang lain yang mungkin punya maksud untuk melakukan kejahatan – kejahatan tersebut, oleh karenanya mencegah kejahatan lebih lanjut; 2) Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan pemidanaan, secara sempit hal ini digambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana; 3) memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan; dan 4) pidana bersifat pengimbalan / pengimbangan. Tujuan pemidanaan integratif sebagaimana dikemukakan oleh Muladi di atas, memberi arahan bahwa pidana itu seperti pedang bermata dua, sisi yang satu menggambarkan keadilan, yaitu keadilan bagi pelaku dan adil bagi masyarakat, sisi yang lain menunjukkan adanya perlindungan, bagi pelaku dari tindakan balas dendam masyarakat serta masyarakatpun menjadi terlindung dari perbuatan yang tidak adil dimana pelaku menerima pidana atas perbuatannya. Sehubungan dengan itu pula, Muladi menjelaskan bahwa di dalam teori integratif tentang tujuan pemidanaan yang mengedepankan baik buruknya suatu hukuman yang diterima pelaku kejahatan haruslah di dasarkan atas alasan – alasan, yaitu71 : a) alasan secara sosiologis, bahwa pidana harus sesuai dengan masyarakat dan kondisi bangsa indonesia, yang 70
Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung , 1985, hlm. 81
71
Gregorius Aryadi. Putusan Hakim dalam Perkara Pidana , Universitas Atmajaya. Yogyakarta, commit to user
1995, hlm. 25
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengutamakan keseimbangan, keserasian, keharmonisan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara perorangan dengan manusia seluruhnya sebagai satu kesatuan; b) alasan secara ideologis, bahwa pemidanaan bertujuan memelihara ketertiban keamanan dan perdamaian berdasarkan Pancasila yang menempatkan manusia kepada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk pribadi dan makhluk sosial; dan c) alasan secara yuridis filosofis, bahwa tujuan pemidanaan adalah pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan. Dari pernyataan – pernyataan tersebut diatas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa pandangan teori integratif (gabungan) yang dikemukakan oleh Muladi, menjelaskan dalam penjatuhan pidana dengan menempatkan pidana itu bukan semata – mata sebagai sarana dalam menanggulangi kejahatan, dalam hal ini fungsi pidana harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya antara lain pidana untuk melindungi kepentingan hukum, masyarakat, dan negara, yang dalam praktek penerapan hukuim pidana tidak harus dengan pemanfaatan pidana sebagai sarana efektif menjerakan pelaku tetapi lebih melihat pada adanya pembenaran pidana terletak pada pembalasan dengan dasar hanya yang bersalah yang boleh di pidana, itu pun disesuaikan dengan delik yang dilakukan dengan kata lain antara perbuatan yang dilakukan dengan pidana yang dijatuhkan harus proporsional . pidana hanya dapat dijatuhkan terhadap orang yang bersalah, dan beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya pelanggaran secara proporsional. Paling akhir adalah teori abolisionis. Teori abolisionis ini muncul karena adanya gerakan abolisionis yang memandang ketidakpuasan terhadap hasil yang dicapai dari adanya sanksi berupa pidana penjara sehingga mendorong gerakan ini membentuk masyarakat yang bebas, dengan cara commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghapuskan pidana penjara sebagai refleksi pemikiran punitif72. Dalam hal ini kelompok abolisionis ingin menghapus hukum pidana, karena tidak layak lagi dipertahankan dalam masyarakat beradab, disamping karena dipandang kurang efektif untuk pencegahan kejahatan dalam masyarakat73. Gerakan abolisionis mulai dikembangkan Louk Hulsman di Eropa, perspektif yang dimaksudkan gerakan ini adalah memperhatikan aspek manusia yang dipandangnya dapat dikikis oleh keadilan hukum pidana, hukum pidana menurutnya sebagai suatu sarana mencapai tujuan pencegahan dan perbaikan terhadap ketidakadilan dalam masyarakat74, dan memandang sistem peradilan pidana sebagai suatu masalah sosial dimana sistem kepenjaraan merupakan jantungnya yang bersifat represif (the criminal justice system as a whole) karena sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan yang dicita-citakannya75. Dikatakan demikian, karena tujuan jangka pendek dalam sistem peradilan pidana adalah resosialisasi terhadap terpidana, yang dalam pelaksanaannya membatasi kemerdekaan, mereka dipisahkan atau diasingkan dari masyarakat, tujuannya memberikan pembalasan dalam melindungi masyarakat, sampai tujuan yang bersifat rehabilitatif dan sosialisasi, akan tetapi tujuan itu tidak pernah tercapai secara optimal. Sedangkan menurut Adi Sulistiyono bahwasanya kritik yang menarik untuk diketengahkan pada paham abolisionisme datang dari Sabastian Scherer yang menyatakan paham abolisionisme merupakan suatu utopia dan
72
Muladi, Gerakan Abolisionis Ancaman non-Represif Terhadap Kejahatan, Makalah Ceramah
Ilmiah Semarang: Universitas Tujuh Belas Agustus 1945, 1988 , hlm. 4, dalam Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, CV Inhill Co, Jakarta, hlm. 23 73
Gregorius Aryadi, Putusan Hakim dalam Perkara Pidana, Penerbitan Universitas Atmajaya,
Yogyakarta, 1995, hlm. 17 74
Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme,
Bina Cipta, Bandung, 1996, hlm. 97 75
Ibid, Romli Atmasasmita, hlm. 98
commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempertanyakan apakah mungkin masyarakat tanpa ada sama sekali suatu sistem peradilan pidana. Scherer yakin sekali bahwa sekalipun hal ini merupakan utopia tidak berbeda dengan kenyataan yang terjadi dalam sistem peradilan Jepang yang berorientasi pada konsep Barat, namun dalam praktek lebih mengutamakan dasar pemikiran dan budaya masyarakat Jepang yang dalam pandangan hukum tidak bertolak pada paham yang universal, melainkan bersandar pada paham yang khusus (particular) yang dalam praktik penegakan hukum di Jepang lebih mengutamakan kesepakatan atau musyawarah dibandingkan dengan penyelesaian melalui litigasi semata- mata, karena dengan cara ini ternyata Jepang dapat menekan angka kriminalitas menjadi terendah diseluruh dunia76. Demikian pula dalam mekanisme sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan tidak pernah diikut sertakan menentukan tujuan akhir dari pidana yang diterimanya, bahkan para korban kejahatan tidak pernah memperoleh manfaat dari hasil akhir suatu sistem peradilan pidana. Dengan demikian dalam memahami sistem peradilan pidana, telah terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dan kejahatan atau penjahat. Apabila diantara konsep-konsep tersebut terdapat hubungan yang erat, tidak selalu berarti bahwa jika ada kejahatan (dan juga penjahat) harus selalu ada pidana, sehingga dalam konteks ini tampak bahwa sistem peradilan pidana tidak luwes dan tidak kreatif dalam menemukan bentuk lain dari pengendalian sosial (social control)77. Adapun dasar pemikiran maupun nilai-nilai (values) yang melandasi perspektif abolisionis Louk Hulsman sebagaimana dikemukakan oleh A. Cohen, adalah : 1) masih masuk akal untuk mencari alternatif yang lebih 76
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji. Hukum Ekonomi Sebagai Panglima. Mas Media
Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, hlm. 183commit to
77
Ibid, Romli Atmasasmita, hlm. 99
user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manusiawi, layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara; 2) kerjasama timbal balik persaudaraan dan hidup bertetangga secara baik terkesan lebih baik daripada bergantung pada birokrasi dan para ahli; 3) kota – kota seharusnya diperuntukkan sedemikian rupa sehingga setiap orang merasa memilikinya dan dimana gangguan ketertiban lebih ditenggang rasa (ditoleransi) daripada dibedakan dalam zona daerah rawan dan aman; 4) pandangan masyarakat seharusnya ditujukan kepada keadaan fisik dan kebutuhan sosial; dan 5) perlu dicari suatu cara yang dapat menghentikan proses yang sangat merugikan dimana masyarakat tetap memelihara klasifikasi,
pengawasan
dan
mengasingkan
kelompok
masyarakat
berdasarkan usia, etnis, tingkah laku, status moral, kemampuan
dan
keunggulan fisik78. Cara mengatasi sifat represif dari sistem peradilan pidana serta efek negatif dari pidana penjara yang tidak saja berakibat bagi yang terkena, tetapi juga bagi masyarakat. Bagi yang terkena, penderitaan tidak hanya dialami sendiri, tetapi juga bagi keluarganya dan orang – orang yang hidupnya bergantung kepada terpidana. Gerakan ini menghendaki penggantian (replace) dari sistem dan teori yang dengan bentuk deinstitusionalization, yaitu penghapusan penjara sebagai suatu keharusan yang harus dilakukan dan diganti dengan pengendalian dan pelayanan dalam masyarakat terbuka, diversion (menghindarkan pelaku tindak pidana dari proses peradilan pidana yang formal dan menggantikannya dengan kelembagaan yang berorientasi pada
masyarakat),
decategorization
(mematuhkan
berbagai
sistem
pengetahuan dan diskusi yang menciptakan kategori – kategori perbuatan menyimpang, delegalization (menemukan suatu cara penyelesaian konflik di luar sistem peradilan pidana yang formal) dan deprofesionalisasi (perlunya 78
commit to user Ibid, Romli Atmasasmita, hlm. 100
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
dibentuk jaringan kontrol masyarakat dan pelayanan informal untuk menggantikan struktur monopoli profesional yang ada)79.
Dari pernyataan – pernyataan tersebut diatas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa pandangan teori abolisionis menjelaskan bahwa hukuman bukanlah cara yang paling efektif untuk menghadapi kejahatan, karena alasan yang mendasarinya kejahatan telah ada sebelum hukum pidana dibentuk dan pelaku kejahatan bukanlah anggota masyarakat yang terasing, teori abolisionis lebih berprinsip bahwa pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan semata – mata dikarenakan sistem peradilan pidana mengandung cacat sehingga sistem peradilan pidana sendiri bersifat kriminogen (pemicu munculnya tindak pidana) sebagai efek pidana penjara karena dianggap sistem peradilan pidana tidak luwes dan kreatif dalam menemukan bentuk lain dari pengendalian sosial (social control).
2. Restorative Justice Dalam teori restorative justice Tonny Marshal mengemukakan restorative justice sebagai suatu proses dimana para pihak yang terlibat dalam kejahatan secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan bagaimana cara menghadapi permasalahan pasca terjadinya kejahatan serta akibat-akibatnya (implikasinya) di masa depan”80. Van Ness menyatakan bahwa landasan restorative justice theory didasarkan dalam beberapa karakteristik sebagai berikut81: 79
Barda Nawawi Arief, Gerakan Abolisionis dalam Sistem Peradilan Pidana, Bahan Penataran
Hukum Pidana dan Kriminologi, 1994, hlm. 5 dalam Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2001, hlm. 42-43 80
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),
Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 119 commit to user
81
Daniel W. Van Ness, Restorative Justice and International Human Right, dalam Restorative
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves, only secondary is it lawbreaking. (kejahatan menurut sifat dasar / primernya merupakan konflik antara individu – individu yang mengakibatkan cedera pada korban, masyarakat, dan pelaku sendiri, sedangkan pengertian kejahatan sebagai sesuatu yang pelanggaran hukum hanya bersifat sekunder saja) b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes. (Tujuan menyeluruh dari proses peradilan pidana harus mendamaikan para pihak yang berkonflik / bersengketa, disamping pula memperbaiki luka yang disebabkan oleh kejahatan) c. The criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders, and their communities. A should not be dominated by government to the exclusion of others. (proses peradilan pidana harus memfasilitasi partisipasi aktif dari korban, pelaku dan komunitas (masyarakat). Hal ini tidak boleh didominasi oleh pemerintah dengan mengesampingkan orang lain atau hal-hal lainnya). Pada intinya Van Ness menyatakan bahwasanya kadilan restoratif adalah teori keadilan yang mengutamakan pemulihan kerugian akibat pelaku melakukan kejahatan, dimana pemulihannya dilakukan secara tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif , sehingga dapat dinyatakan bahwasanya keadilan restoratif lebih mengutamakan rekonsiliasi daripada pembalasan. Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice theory mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut82 : a.
Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain dan
Justice: International Perspective, edited by Burt Galaway and Joe Hudson., The Netherland. Kugler Publication, Amsterdam, 1996, hlm. 23 to commit 82
Muladi, Loc cit.
user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
diakui sebagai konflik; b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan; c.
Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d.
Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
e.
Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
f.
Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g.
Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h.
Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i.
Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j.
Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, dan ekonomis;
k.
Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif. Dari karakteristik restorative justice theory yang dikemukakan Muladi,
dapat dinyatakan bahwasanya pada intinya keadilan restoratif adalah korban diperhitungkan martabatnya, pelaku harus bertanggung jawab dan diintegrasikan kembali kedalam komunitasnya, pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling membutuhkan , karena itu dirukunkan. Restorative justice theory menempatkan posisi korban dan pelaku sejajar dalam pemenuhan persamaan hak baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban dengan Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab atas segala bentuk commitkejahatan to user yang dilakukan kepada korban
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai dampak pemahaman terhadap
perbuatan dan untuk membantu
memutuskan yang terbaik, dengan tindakan restoratif menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, sebagaimana yang dinyatakan oleh Nonet dan Selznik lewat hukum responsif. Hukum
responsif
ini
dalam
mewujudkan
restorative
justice
mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan sosial dan emansipasi publik. Kepedulian pada akomodasi aspirasi sosial menyebabkan hukum responsif ini dipandang sebagai wilayah sociological jurisprudence. Hukum responsif adalah pemahaman mengenai hukum melampaui aturan atau teks dokumen atau looking to words. Pada hasil akhir adalah akibat dan manfaat hukum itu sendiri. Itulah sebabnya hukum responsif mengandalkan dua doktrin utama, yaitu : 1) Hukum itu fungsional, pragmatik bertujuan dan rasional. 2) Kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum. Dengan demikian ini (karena kompetensi) maka tatanan hukum responsif adalah menekankan kepada : 1) Keadilan substantif 2) Merupakan subordinasi dari prinsip kebajikan 3) Tujuan hukum harus berorientasi pada kemaslahatan hukum 4) Pengambilan keputusan hukum berorientasi pada tujuan 5) Memupuk sistem kewajiban daripada paksaan 6) Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum. 7) Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat83.
83
Bernard L Tanya dkk,
Teori Hukumcommit Strategi to Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV user
Kita, Surabaya, 2007, hlm. 240
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari pemahaman hukum responsif dalam mewujudkan restorative justice di atas dapat dimengerti bahwa hukum bergerak dan berubah seiring dengan perubahan zaman dan perilaku manusia. Dan ia berubah bersamaan dengan perubahan sosial politik dan budaya, dengan demikian hukum bersifat dinamis. Meskipun hukum bersifat dinamis (dapat mengikuti perubahan zaman, prilaku manusia dan budaya), hal ini tidak menjadi masalah besar karena mereka mempunyai central yang sama, yaitu bersifat antroposentris, sehingga dapat dinyatakan hukum responsif dalam mewujudkan restorative justice yaitu hukum sebagai suatu sarana untuk menanggapi ketentuan - ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat yang dikembangkan sebagai sistem supremasi judicial, dimana menempatkan prinsip the rule of law sebagai konsekwensi paham rechtstaat. Artinya, hukum yang dikembangkan mempunyai sasaran kebijakan dan penjabaran yuridis dari reaksi kebijakan yang diambil oleh pemerintah serta pentingnya partisipasi kelompok dan pribadi- pribadi dalam masyarakat yang terlibat dalam penentuan kebijakan negara. Restorative justice theory dalam menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan langsung dari para pihak yang bermasalah atau berkonflik sebagai bentuk respon untuk menanggapi ketentuan - ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat yang dikembangkan sebagai sistem supremasi judicial dengan perubahan zaman dan perilaku manusia, menempatkannya sebagai sebuah pilihan mekanisme penyelesaian perkara, sebagaimana Nader dan Todd
84
menyatakan dalam menentukan pilihan mekanisme penyelesaian perkara, dikenal model penyelesaian perkara sebagai berikut : 84
Laura Nader and Harry F. Todd JR. 1989. The Disputing Process LawinTen societies, Columbia
University Press, New York, hlm.21-26. Mengutip di Adi Sulistiyono. Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa Non Litigasi Dalam Rangka Perberdayaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/ Hak Kekayaan Intelektual, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Semaramg, 2002, hlm. 35
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
1. Tindakan kekerasan / paksaan (coersion), dalam model ini penyelesaian perkara yang bersifat memaksakan kehendak atau melakukan tindakan kekerasan kepada salah satu pihak kepada pihak lawan yakni dapat berupa tindakan fisik seperti melakukan perbuatan hukum sendiri (self-help) atau dalam bentuk perang antar suku (warfer); 2. Tindakan membiarkan saja (lumping fit), hal ini berupa model penyelesaian perkara yang dilakukan oleh salah satu pihak dengan tidak menanggapi keluhan, gugatan, tuntutan pihak yang lain, atau mengabaikan perkara yang terjadi dengan pihak lain; 3.
Tindakan Penghindaran (advoidance), hal ini berupa model penyelesaian perkara yang dilakukan oleh salah satu pihak dengan menghindari perkara dengan pihak lain, karena sejak awal perkara yang bersangkutan secara sosial, ekonomi, politik, dan psikologis merasa sudah tidak berdaya untuk menghadapi pihak lain. Tindakan penghindaran dipandang paling aman dan menguntungkan tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan kerabatnya, dalam rangka menjaga hubungan sosial yang bersifat jangka panjang;
4.
Persidangan (adjudication), hal ini berupa model penyelesaian perkara
yang
rumit, birokratis dan formalistik. Keberadaannya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai the last resort untuk mencari kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat, oleh karena itu khususnya dalam Civil Law System, kedudukan dan peran hakim merupakan faktor yang menentukan dalam mengatasi perkara yang dipercayakan dari pihak-pihak yang berperkara; 5.
Negosiasi (negotiation), hal ini berupa model penyelesaian perkara melalui perundingan secara langsung antara para pihak yang berperkara
guna
mencari atau menemukan bentuk-bentuk commit to userpenyelesaian yang dapat diterima
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pihak-pihak yang bersangkutan. Nolan Haley mendefinisikan negosiasi as consensual bargaining process in which parties attempt to reach agreement on a disputed or potentially disputed matter85. Dalam negosiasi para pihak yang berperkara berunding secara langsung atas dasar prinsip win-win solution. Negosiasi bersifat informal dan tidak terstruktur serta waktunya tidak terbatas, oleh karena itu efisiensi dan efektivitas negosiasi tergantung sepenuhnya pada itikad baik para pihak yang berperkara. Penggunaan jalur negosiasi secara optimal dan dilandasi itikad baik akan membawa banyak manfaat bagi pihak-pihak yang berperkara86. Sedangkan
dalam Pilihan Mekanisme Penyelesaian Perkara menurut
Donald Black87 menyatakan orang-orang dalam masyarakat yang mempunyai perkara dengan pihak lain, selain menggunakan pranata hukum dalam manajemen penyelesaian konflik sebagaimana telah dilakukan banyak orang pada berabad-abad silam, masing-masing dapat memilih dari cara penanganan konflik, yaitu : 1.
Self help (Penanganan sendiri);
2.
Avoidance (penghindaran/pengelakan);
3.
Negotiation (negosiasi);
4.
Settlement by a third party (penyelesaian oleh pihak ketiga/mediasi)
5.
Toleration (toleransi) Didasarkan pada model-model penyelesaian konflik dalam teori pilihan
mekanisme penyelesaian perkara sebagaimana dinyatakan oleh Nader-Todd dan Donald Black tersebut diatas, dapatlah dinyatakan bahwa penyelesaian konflik
85
Nolan-Haley, jacqueline M, Alternative Dispute Resolution, West Publishing,
St. Paul,
Minnesota, 1992, hlm.56 86
Nolan-Haley, jacqueline M,
87
Donald Black, Sociological Justice, commit OxfordtoUniversity Press, New York, 1989. hlm. 103 user
Op. Cit,
hlm. 58
Mengutip di Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986, hlm 48
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dilakukan oleh masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) pandangan, yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi). Perwujudan restorative justice theory dalam hukum yang responsif dengan pilihan mekanisme penyelesaian perkara dengan mediasi penal dalam hukum pidana sebagai bentuk respon untuk menanggapi ketentuan - ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat yang dikembangkan sebagai sistem supremasi judicial dengan perubahan zaman dan perilaku manusia yang dilakukan di luar pengadilan (non litigasi), pada akhirnya menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan langsung dari para pihak yang bermasalah atau berkonflik. Korban harus mampu mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk dapat memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas atau masyarakat secara aktif memperkuat komunitas / masyarakat itu sendiri dan mengikat komunitas / masyarakat akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini demi mewujudkan keadilan substantif bagi pelaku, korban, dan masyarakat sebagai bentuk manifestasi penerobosan asas legalitas pidana yang formalistik, birokratis, dan membutuhkan waktu lama.
3. Justice in Many rooms Teori justice in many room digunakan sebagai terobosan dalam penyelesaian perkara pidana yang terjadi di masyarakat tidak seluruhnya harus diselesaikan melalui prosedur pengadilan melalui mekanisme sistem peradilan pidana (criminal justice system), sub sistem yang ada dalam sistem peradilan pidana antara lain pihak kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan lembaga pemasyarakatan dengan pelaku kejahatan
dapat commit melakukan pilihan dalam penyelesaian perkara to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pidana untuk memilih forum yang digunakan apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipengaruhi oleh budaya yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, hal ini sesuai dengan pandangan golongan abolisionis dalam teori abolisionis yang dikemukakan oleh Look Hulsman bahwasanya hukuman bukanlah cara yang paling efektif untuk menghadapi kejahatan dikarenakan sistem peradilan pidana yang tidak efektif bekerja sebagai pengendalian sosial (social control) oleh karenanya masuk akal untuk mencari alternatif yang lebih manusiawi, layak dan efektif daripada lembaga penjara. Hal ini dapat terlihat dalam dinamika hukum yang terjadi pada pengadilan yang menggambarkan interaksi antara sistem hukum dan masyarakat, yang oleh March Galanter 88 ditulis what courts do has to address the problem of the autonomy and authority of the various other sorts of normative ordering in the legal system with which it coexists in society through extract from the kinds of endoments in these cultures.
It is a society in which actors with different amount
of wealth and power are constantly in competitive or partially cooperative relationships in which they have opposing interests (Terjemahan: dinamika hukum yang ada di pengadilan ditujukan pada permasalahan yang mandiri dan beragam aturan nornatif dari penguasa dalam sistem hukum yang ada di masyarakat yang berasal dari beragam unsur dalam budaya mereka. Beragam unsur budaya dalam masyarakat tersebut yaitu para pelaku sosial dengan strata sosial yang beragam untuk senantiasa melakukan kerjasama, dengan sebagian dari mereka melakukannya secara bersaing karena adanya kepentingan yang berlawanan). Peraturan yang mengatur tata cara berperkara dikembangkan lebih lanjut melalui perilaku berperkara para pihak yang terlibat dalam proses peradilan,
88
Marc Galanter, Justice In many room:commit Courts, to Private user Ordering, and Indegenous Law. Journal
of Legal Pluralism No.19. Vol. 9 .1981. hlm 27-28.
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
khususnya hakim sebagaimana dinyatakan dalam teori justice in many rooms oleh Marc Galanter89 bahwa : Courts concern to provide access to justice to groups and interests that have found difficult to obtain a judicial hearing. Judges should get the number and kind of cases they can handle, and cases should find appropriate forums in which they can resolved. Judges may displace disputes into various forums and endow these forums with regulatory power thus judges not only resolve disputes but also they prevent disputes, mobilize various forums,displace and transform them. (Terjemahan : Peradilan berkaitan dengan tersedianya akses keadilan bagi para kelompok dan para pihak yang berkepentingan yang mengalami kesulitan untuk memperoleh keadilan tersebut. idealnya, Hakim seharusnya menangani sejumlah perkara yang dapat diselesaikannya, dan dalam perkara tersebut seharusnya menemukan berbagai forum yang tepat. Sehingga dalam hal ini, hakim dapat memindahkan perselisihan dalam berbagai forum diluar pengadilan dan membantu penyelesaian dalam forum-forum tersebut dengan kekuatan peraturan yang dipegangnya, sehingga dalam hal ini hakim tidak hanya menyelesaikan kembali perselisihan tetapi juga dapat mencegah adanya perselisihan, menggerakkan, memindahkan dan merubah tersedianya berbagai forum diluar peradilan). Pernyataan March Galanter tersebut menunjukkan cara untuk mendapatkan keadilan yang tidak diperoleh dari pengadilan maka keadilan dapat diperoleh di luar pengadilan. Mengamati pengadilan dan peradilan di masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa pengadilan ternyata tidak hanya satu, yaitu pengadilan formal, melainkan lebih banyak daripada itu. Tulisan Marc Galanter tersebut memberitahukan tentang kompleksitas dan mungkin juga relativitas dari pengadilan dan yang karena itu tidak bisa dimonopoli oleh pengadilan Negara. Pengadilan rakyat, ternyata bisa bekerja lebih efektif daripada pengadilan negeri yang terikat pada prosedur. Jadi proses peradilan adalah jauh lebih kompleks dari pada yang dikira banyak orang, yaitu tidak sekadar menerapkan ketentuan dalam perundang-undangan. Perilaku para pejabat maupun pengguna jasa pengadilan menentukan arsitektur pengadilan.
89
commit to user Marc Galanter, Op.Cit, hlm 10-11
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Proses peradilan juga tercermin dalam perilaku orang-orang yang berperkara atau perilaku dari pejabat pengadilan (court behavior). Mengadili tidak selalu berkualitas full adjudication. melainkan sering juga berlangsung in the shadow of law, di mana penyelesaian secara hukum hanya merupakan lambing di permukaan saja, sedang yang aktif berbuat adalah interaksi para pihak dalam mencari penyelesaian. Hukum dipakai untuk mengemas proses-proses sosiologis dan kemudian memberinya legitimasi melalui ketukan palu hakim90. Para Pelaku pencari keadilan substantif tidak bisa dimonopoli oleh Pengadilan (litigasi), tetapi mereka adalah pelaku yang aktif dan kreatif yang tidak bisa dibelenggu oleh proses litigasi yang terikat pada birokrasi dan prosedur, tetapi mereka memiliki kemampuan menilai dan memilih dari alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan keadilan restoratif sebagai tujuan substantif, dengan tindakan
voluntarisme
untuk
menentukan
alternatif
penyelesaian
yang
menguntungkan dan bermanfaat bagi semua pihak baik bagi pelaku, korban maupun masyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh Parson 91 ,
bahwa
yang terlibat dalam suatu konflik atau sengketa adalah aktor atau
pelaku
pelaku aktif
dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan. Sedangkan norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor sendiri untuk melakukan suatu pilihan. Dengan kata lain, voluntarisme adalah kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya di tengah-tengah kondisi dan norma serta situasi penting lainnya yang kesemuanya membatasi kebebasan aktor. 90
Ibid, hlm. 12-13.
91
Talcott Parsons. TheStruktur of Social Action. Glencoe. Free Press. 1949) dalam Ia Craib.
Teori-teori Sosial Modern dari Parson sampai Habermas. commit to user Jakarta, hlm. 60-61.
Raja Grafindo Persada, 1994,
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perwujudan
tindakan
voluntarisme dari Parson
dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa pada dasarnya manusia aktif, kreatif, dan evaluatif dalam melakukan suatu tindakan. Namun demikian, dalam kaitannya dengan penyelesaian perkara, pihak-pihak yang sedang berperkara bisa bertindak rasional, irasional, ataupun emosional, tergantung sampai seberapa dalam dan kompleks perkara yang dialaminya dalam lingkungan masyarakatnya. Untuk mengukur seberapa dalam dan kompleks perkara yang dialaminya dalam lingkungan masyarakatnya, dibutuhkan hukum responsif yang dapat bekerja dalam masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidman, sebagaimana dikutip oleh Ronny Hanitijo Soemitro92 bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat, di samping hukum berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial (as a tool of social control), hukum juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk rekayasa sosial (as a tool of social engineering) sebagaimana dideskripsikan oleh Roscou Pound. Bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu: lembaga pembuat hukum (Law Making Institutions), lembaga penerap sanksi, pemegang peran (Role Occupant) serta kekuatan sosial personal (Social Personal Force), budaya hukum serta unsur-unsur umpan balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan. Berkaitan dengan perilaku manusia untuk menyelesaikan perkara, menurut Chamblis dan Seidman menyatakan bahwa pendekatan yang diambil dalam hal penyelesaian perkara dipengaruhi oleh tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak yang berperkara. Berdasarkan hal tersebut, ada dua cara yang ditempuh, yaitu: 1) apabila tujuan yang hendak dicapai adalah untuk merukunkan para pihak sehingga
92
Hanitijo Soemitro, Ronny. Perspektif Sosial to dalam commit userPemahaman Masalah-Masalah Hukum,
Semarang CN. Agung. 1989, hlm. 23
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dapat hidup bersama kembali dengan baik sesudah penyelesaian perkara, maka perlengkapan yang dipakai akan lebih menekankan pada mediasi dan kompromi; dan 2) apabila tujuannya adalah untuk melakukan penerapan peraturan-peraturan, maka cara-cara penyelesaian yang birokratis mungkin akan lebih banyak dipakai. Menurut Chamblis dan Seidman pendekatan pilihan penyelesaian perkara ditentukan pula oleh struktur masyarakatnya bahwa masyarakat yang tidak komplek dan kurang berlapis lebih senang menggunakan penyelesaian perkara dalam perdamaian, sedangkan yang lebih komplek dan lebih terlapis lebih senang menggunakan penerapan hukum dalam menyelesaikan konflik perkara sehingga dengan pilihan penyelesaian perkara, pihak yang berkonflik atau bersengketa menjadi aktif, kreatif, dan evaluatif dalam melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan keadilan substantif
yang
dapat ditemukan dimana saja dan
diruang mana saja, ketika sistem peradilan pidana tidak dapat memberikan keadilan yang diinginkan dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien, maka para pihak yang bermasalah dapat mencari alternatif lain yang dapat memberikan harapan tersebut oleh berbagai forum dalam lingkungan sosialnya, yang dilandasi hukum asli (indegenous law).
B. Kerangka Konseptual 1. Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Alternatif Penyelesaian Perkara, umumnya disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Ada 2 (dua) pandangan konseptual tentang ADR. Pandangan pertama,
Istilah Alternatif lebih ditekankan pada pengertian
penyelesaian selain pengadilan, sehingga dapat dinyatakan bahwa ADR adalah sebuah konsep yang merangkum sebagai bentuk penyelesaian sengketa proses peradilan melalui cara – cara yang sah menurut hukum, berdasarkan pendekatan konsensual (negosiasi, konsiliasi,commit dan mediasi) to user ataupun berdasarkan pendekatan
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
adversial (arbitrase). Pandangan kedua, berpendapat bahwa ADR hanya mencakup bentuk-bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan pendekatan konsensual93. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1 butir 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyebutkan bahwa : “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Akan tetapi dalam penjelasan ketentuan tersebut tidak ada penjelasan atau keterangan yang berkaitan dengan bentuk, prosedur, dan pengertian konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Bukan menjadi rahasia masyarakat umum lagi bahwa alternatif penyelesaian sengketa sejauh ini banyak dikenal pada ranah hukum privat atau hukum perdata, sedangkan dalam hukum pidana mengenai ADR belum banyak diketahui oleh masyarakat umum, padahal apabila dikaji lebih lanjut, alternatif penyelesaian sengketa ini tidak hanya dapat dilakukan diranah hukum perdata, melainkan pula di ranah hukum pidana, walaupun alternatif penyelesaian sengketa dalam hukum pidana dapat dilakukan dengan beberapa kondisi yang menyertainya. Dalam konteks mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dapat dilihat dari sejarah awal mula mediasi penal diperkenalkan dalam ranah hukum pidana dengan beberapa kondisi yang menyertainya. Untuk pertama kalinya istilah mediasi penal dikenal di Kitchener, Ontario, kanada pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara di Eropa. Istilah mediasi penal (penal mediation) dapat diartikan sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternatif Dispute Resolution, ada
93
Hadimulyo, Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar commit to user
Pengadilan, Elsarh, Jakarta, 1997, hlm. 31
perpustakaan.uns.ac.id
pula yang menyebutnya Apropriate Dispute Resolution)94.
84 digilib.uns.ac.id
ADR pada umumnya
digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana diberbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi95. Hal ini bersesuaian dengan pendapat yang dikemukakan oleh Seidman96 berkenaan dengan mediasi penal, menyatakan : In the common law system, the form of penal mediation can be looked at from sanctioning function developed out of the dispute-settling function at court. Courts became institutions by which the breach of norms was sanctioned only, and no longer a device by which reconciliation and compromise were accomplished. There slowly developed institutions devoted to the enforcement of specific sets of norms, too complex or too important to be left to private adversary litigation. (Terjemahan : pada negara hukum yang menganut sistem common law, bentuk mediasi penal dapat dilihat dari penerapan fungsi pemidanaan yang berkembang di luar fungsi penyelesaian perkara di luar pengadilan, lembaga pengadilan hanya menjadi tempat untuk dijatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana tanpa adanya kesepakatan bersama yang disusun para pihak sehingga lembaga tersebut menjadi lambat dan rumit perkembangannya dalam penegakan hukum atau dapat dikatakan sangat mendesak untuk ditinggalkan penyelesaian perkara pidana melalui perlawanan di pengadilan ) Daniel van Nes dan Karen Heetderks memberikan pemahaman mengenai mediasi penal yang komprehensif, yaitu : Victims and offenders are given the opportunity to meet together with the assistance of a trained mediator to begin to 94
The Free Encyclopedia, http://www,en.wikipedia.org/wiki/Alternativedisputeresolution, diakses
14 Februari 2014. 10.10 am 95
http://www.wings.buffalo.edu/law/bclc/bclr.htm. diakses 2 Maret 2014. 11.20 am
96
J. Chamrliss S Seidman, 1971, Order and Power, Addison Wesley Publishing Company, Inc commit to user
Philippines, page 35
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
resolve the conflict and to construct their own approach to achieving justice. Unlike the formal criminal justice system, which removes both the victim and offender from pro-active roles, these programs seek to empower the participants to resolve their conflict on their own “in an atmosphere of structured informality”. Unlike arbitration, in which a third party hears both sides and makes a judgement, the VORP process relies on the victim and offender to resolves the dispute together. No specific outcome is imposed by the mediator, the goal is to empower participans, promotes dialogue and encourage mutual problem solving 97 . (terjemahan : korban dan pelaku diberikan kesempatan untuk bertemu bersama dengan bantuan seorang mediator yang mempunyai keahlian untuk memulai penyelesaian perkara dan membangun pendekatan yang mereka buat sendiri dalam mencapai keadilan yang mereka inginkan. Tidak seperti sistem peradilan pidana formal yang menepikan peran dari kedua belah pihak, mediasi penal mendayagunakan para pihak untuk menyelesaikan perkara sendiri dalam sebuah suasana yang terstruktur namun informal, tidak seperti arbitrase dimana ada arbiter (hakim swasta) yang mendengarkan dan memutus perkara, mediator tidak menentukan penyelesaian. Tujuan mediasi penal adalah mendayagunakan para pihak , mengutamakan dialog dan pemecahan masalah secara bersama - sama). Mediasi penal yang dikembangkan bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut98 : a. Penanganan konflik (conflict Handling / konflikbearbeitung) Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong para pihak terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik 97
Daniel van Ness dan Karen Heetderks Strong,
Restoring Justice, Anderson Publishing,
Cincinati,. 1997, hlm. 67 98
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian commit to user Perkara Di luar Pengadilan, Pustaka
Magister, Semarang, 2008, hlm. 5-7.
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
itulah yang dituju oleh proses mediasi b. Berorientasi pada proses (Proses Orientation; Prozessorientierung) Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan – kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan sebagainya. c. Proses Informal (Informal Proceeding-Informalitat) Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation – Parteiautonomie/Subjektivie-rung) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Para pihak diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. Mediasi penal bisa digunakan untuk menangani perkara pidana yang dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak. Menurut Barda Nawawi Arief99 menyatakan bahwa metode ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediator dapat berasal dari pejabat formal, mediator independent, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses mulai tahap kebijakan polisi sampai pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana atau khusus untuk anak atau untuk tipe tindak pidana tertentu (ringan). Selain itu, bisa ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, juga untuk delik-delik berat bahkan resedivis.
99
commit to user Barda Nawawi Arief, Op cit, hlm. 8
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Penyelesaian Perkara dalam Sistem Peradilan Pidana Terhadap Kejahatan E-Commerce Fraud dalam Transaksi E-commerce Dalam penyelesaian perkara pidana termasuk perkara pidana terhadap kejahatan e-commerce fraud
dalam transaksi e-commerce dalam setiap tahapan
dalam proses peradilan pidana, korban tidak terlibat langsung dalam memperjuangkan hak-haknya, karena sudah diwakili oleh negara melalui lembaga yang ada pada sistem peradilan pidana. Dimana korban tidak diberikan kesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan pelaku guna menuntut hak-haknya dan memulihkan kerugian materiil yang dialaminya. Proses penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan pidana sesuai ketentuan yang tertuang dalam KUHAP meliputi 5 (lima) tahapan, yaitu 1) proses penyelidikan; 2)
proses penyidikan; 3)
proses penuntutan; 4)
proses
pemeriksaan di Pengadilan; dan 5) proses pelaksanaan putusan pengadilan. Tahap pertama dimulai dengan proses penyelidikan sebagai awal dari proses pemeriksaan
perkara
pidana
oleh
penyelidik.
Penyelidikan
merupakan
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan100. Penyelidik adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik. Tahap kedua dilanjutkan dengan proses penyidikan oleh penyidik, berupa serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti guna membuat 100
commit to user Pasal 1 butir 5 KUHAP
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya 101. Penyidik yang dimaksud dalam ketentuan KUHAP
adalah Pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang melakukan proses penyidikan, yang meliputi antara lain: 1) diawali dengan bahan masukan adanya dugaan suatu tindak pidana; 2) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; 3) pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi; 4) melakukan upaya paksa yang diperlukan; dan 5) pembuatan berita acara pemeriksaan. Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada Penuntut Umum. Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 hari Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyidikan dianggap selesai. Tahap ketiga berupa proses penuntutan, tahap di wilayah kejaksaan ini memberikan kewenangan penuh kepada Jaksa Penuntut Umum, berupa tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan102. Sebelum Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan umumnya didahului dengan Pra Penuntutan, yakni tindakan Jaksa Penuntut Umum untuk mempelajari dan meneliti kembali Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diajukan oleh Penyidik termasuk mempersiapkan surat dakwaan sebelum dilakukan penuntutan. Tujuannya adalah dalam rangka mengetahui BAP sudah lengkap atau belum, atau untuk mengetahui berkas perkara itu telah memenuhi persyaratan atau belum untuk dilimpahkan ke pengadilan. Jika dalam Pra Penuntutan ditemukan
101
Pasal 1 butir 2 KUHAP
102
Pasal 1 butir 7 KUHAP
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
kekurangan atau tidak lengkapnya persyaratan yang diperlukan, Jaksa Penuntut Umum dapat mengembalikan BAP tersebut ke Penyidik untuk dilengkapi dengan memberi petunjuk hal-hal yang perlu dilengkapi. Tetapi jika Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa BAP yang disampaikan oleh Penyidik telah lengkap maka dapat dilakukan penuntutan, yakni secepatnya harus segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat, dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Tahap keempat adalah pemeriksaan perkara pidana dimuka sidang pengadilan, yakni serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam undang-undang103. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan diawali dengan penetapan majelis hakim, selanjutnya ditetapkan hari sidang. Setelah tiba hari sidang, hakim menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum. Setelah itu pemeriksaan identitas terdakwa, kemudian diteruskan dengan pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Proses pemeriksaan diteruskan dengan pembuktian, bagian ini yang paling penting dari tiap tahapan atau proses peradilan pidana, khususnya bagi terdakwa karena dari hasil pemeriksaan inilah tergantung apakah terdakwa akan dinyatakan terbukti bersalah atau tidak. Setelah pemeriksaan dilaksanakan, dilanjutkan tuntutan pidana, pembelaan/pledooi, replik, duplik, dan putusan pengadilan 104. Hal ini merupakan mekanisme penyelesaian perkara pidana terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana yang masih pada tahapan proses penyelesaian perkara pidana di tingkat pertama. Apabila Terdakwa / penasehat hukumnya maupun Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara sebagai 103
Pasal 1 butir 9 KUHAP
104
Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka,
yang berupa pemidanaan atau bebas, commit atau lepastodari usersegala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butur 11 KUHAP)
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
mandataris korban tindak pidana tidak menerima dengan keputusan hakim pada Pengadilan Negeri, mereka masih diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum, antara lain : 1) upaya hukum biasa, berupa banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung; dan 2) upaya hukum luar biasa, berupa Peninjauan Kembali (PK) atau Kasasi Demi Hukum yang keduanya diajukan ke Mahkamah Agung. Tahap kelima adalah pelaksanaan putusan pengadilan. Pasal 270 KUHAP menentukan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 36 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Jaksa. Berdasarkan berbagai tahapan dalam proses penyelesaian perkara pidana pada sistem peradilan pidana sebagaimana dideskripsikan diatas yang dimulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pelaksanaan putusan pengadilan, terdapat kelemahan - kelemahan dalam proses penyelesaian perkara pidana pada sistem peradilan pidana, antara lain bahwa : 1) dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, memang memerlukan beberapa tahapan. Dimulai sebelum masuk pada inti perkara, banyak proses yang mesti harus dilalui agar perkara tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana; 2) perkara pidana memerlukan waktu yang lama dalam proses penyelesaiannya tanpa ada batasan waktu, sehingga banyak yang menganggap hal tersebut menjadi berbeli-belit dan mengeluarkan biaya yang sangat besar; dan 3) tidak semua orang bisa dikenakan hukuman atas perbuatan atau tindak pidananya. Semuanya tergantung pada proses pemeriksaan, mulai dari tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan, dan banyak faktor yang bisa mempengaruhi hasil putusan pengadilan. Dari kelemahan-kelemahan dalam proses penyelesaian perkara pidana pada sistem peradilan pidana tersebut, secara khusus dapat dideskripsikan akar commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyebab berbelit-belitnya proses penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce karena selain pembuktiannya yang memerlukan keterangan ahli dibidang IT (information technology) juga tidak terlepas dari sistem administrasi dan manajemen yang terdapat dalam lembaga peradilan saling ada gap (jarak/perbenturan kepentingan untuk mempertahankan kekuatan institusinya masing-masing) sehingga sulit ditemui adanya sinkronisasi antar institusi yang berperan didalamnya, sehingga hal ini menyebabkan bekerjanya sistem peradilan pidana dalam menjalankan proses penegakan hukum pidana pada prakteknya sangat rumit, memakan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Akibatnya asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak relevan lagi. Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum bagi korban. Kedudukan korban dalam perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce tidak hanya bertindak sebagai korban pada umumnya tetapi juga sebagai konsumen selaku pembeli barang dan atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku selaku produsen/ pelaku usaha, unsur pidananya adalah kejahatan penipuan melalui alat atau sarana teknologi canggih internet. Seperti halnya juga korban dalam perkara pidana pada umumnya sangat lemah posisinya . Dilihat dari optik aspek hukum pidana, menurut
105
Romli Atmasasmita lebih mendahulukan sikap
negara terhadap pelaku agar dapat dipidana daripada kepentingan untuk melindungi korban. Dalam konteks mendorong keterlibatan korban dalam memperjuangkan hak-haknya dalam proses penyelesaian perkara pidana kejahatan dalam transaksi e-commerce, maka penerapan mediasi penal menjadi sangat urgen dan relevan. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip kerja mediasi penal, adalah penekanan 105
commit to user Romli Atmasasmita, Globalisasi Kejahatan Bisnis,
Kencana, Jakarta,
2010, hlm. 76
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada partisipasi aktif dari para pihak yang berkonflik, yakni pihak pelaku dan korban dengan syarat utama yang mendasarinya kesepakatan dari kedua belah pihak yang dipilih diawal terjadinya proses kesepakatan untuk pemulihan keseimbangan pada keadaan semula (sebelum terjadinya kejahatan). Barda Nawawi Arief 106 menyatakan bahwa, salah satu prinsip kerja mediasi penal adalah adanya partisipasi aktif dan atonom para pihak. Dalam penyelesaian perkara pidana e-commerce fraud melalui mediasi penal, pelaku dan korban tidak dilihat sebagai objek dari prosedur penyelesaian perkara pidana , tetapi lebih sebagai subyek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat atas kehendaknya sendiri untuk menyelesaikan perkaranya. Pendekatan restorative justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penyelesaian perkara pidana
kejahatan
e-comnmerce fraud melalui mediasi penal yang melibatkan para pihak secara aktif dan otonom , termasuk pihak korban yang muncul sebagai respon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan / partisipasi korban (masyarakat) yang merasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini. Restorative justice lebih memandang pemidanaan dari sudut yang berbeda, yaitu berkaitan mengenai pemenuhan atas kerugian yang diderita oleh korban, dan sekaligus diharapkan mampu mengembalikan magis religius dalam komunitas masyarakat si pelaku, sehingga kedamaian menjadi tujuan akhir dari pendekatan ini. Dalam penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud melalui mediasi penal telah menempatkan kepentingan korban sebagai pertimbangan utama dan substansial dalam hasil akhir . Hasil akhir proses penyelesaian perkara pidana e-commerce fraud melalui mediasi penal mencerminkan pada kepentingan 106
commit to user Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
korban, khususnya yang berkenaan dengan jenis, bentuk dan cara restitusi (ganti kerugian) yang sesuai kesepakatan. Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menyebutkan, bahwa restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Mengutamakan kepentingan korban untuk mendapatkan hak-haknya berupa restitusi (ganti kerugian) akibat dari perbuatan pelaku sejalan dengan tujuan pemidanaan yang mengalami pergeseran paradigma pemidanaan, yang tidak hanya terfokus pada pelaku tindak pidana tetapi mulai mengarah kepada kepentingan korban. Pergeseran paradigma pemidanaan untuk lebih mengarah kepada kepentingan korban dengan fokus memberikan reparasi, restitusi, dan kompensasi sebagai bagian tujuan pemidanaan, yang telah meletakkan posisi korban sebagai bagian penting dari tujuan pemidanaan. Menurut Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan hukum perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi107. Penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud melalui mediasi penal yang mengutamakan proses yang berorientasi pada dialog dengan penekanan pada keterlibatan korban secara aktif dan otonom, akan menghasilkan kesepakatan bersama berupa ganti rugi yang sesuai kesepakatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa, proses penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud melalui mediasi penal dapat memberikan solusi terbaik bagi kepentingan korban. Untuk itu, mediasi penal dapat dijadikan sebagai alternatif penyelesaian 107
commit to user Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 4
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkara pidana kejahatan e-commerce fraud pada sistem peradilan pidana di Indonesia. Dalam kontek hubungan harmonisasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan transaksi elektronik dengan tindak pidana kejahatan e-commerce fraud
dalam cyberspace dapat dikatakan bahwa secara umum
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan transaksi elektronik membawa dampak yang luar biasa (extra ordinary effect) terhadap kejahatan modern yang menggunakan alat atau media komputer yang lebih dikenal dengan sebutan cyber crime yang semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan populasi pengguna internet. Kesukaran dan kekaburan dalam membuat definisi kejahatan siber berpengaruh dalam model perlindungan hukum yang sesuai baik dalam perumusan norma dalam perundang-undangan maupun dalam penegakan hukumnya, hal ini disebabkan karena cyber space merupakan tempat imajiner yang tidak berupa tempat kediaman dalam bentuk fisik dan lokasi geografis. Cyber space merupakan sebuah tempat elektronik yang berdaulat dimana individu, komunitas, korporasi ataupun pemerintah dapat eksis bersama tanpa batasan negara. Hal ini digambarkan
108
Jessica Lipnack dan Jeffrey Stamp dengan
ungkapan smash the boundaries, tear down the hierarchy and dismantle the bureaucracy. Karakter cyberspace di sini merupakan media komunikasi global yang menghubungkan kepentingan internasional dalam jaringan elektronik yang tidak tampil secara fisik melainkan dalam jaringan protokol yang memungkinkan terjadinya transformasi informasi dan komunikasi antar individu. Dalam bahasa yang lugas, internet merupakan media yang menghubungkan pengguna atau individu di suatu jurisdiksi dengan individu yang lain di jurisdiksi yang berbeda, sehingga dengan perkembangan teknologi komunikasi dan
108
Jessica Lipnack & Jeffrey Stamps, The Age oftothe Network, Organizing Principle for the 21st commit user
Century, John Willey & Sons, Inc ., New York, 1994, hlm 3.
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
informasi yang begitu pesat membuat banyak perubahan perilaku masyarakat dunia sebagai sebuah perilaku baru antar masyarakat dari berbagai belahan dunia. Perubahan perilaku tersebut terkait pola interaksi masyarakat yang sebelumnya hanya dapat dilihat,didengar dan disentuh menjadi sebuah interaksi maya/virtual. Arus teknologi informasi dan komunikasi ini juga telah mengubah pola hubungan antar negara dan mengintegrasikan dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi maupun keuangan. Proses integrasi yang terjadi dari sistem–sistem kecil lokal, nasional menjadi sistem global yang menyatu, terbuka dan saling bergantung satu sama lain. Akibat perubahan prilaku dalam interaksi masyarakat di era globalisasi ini ditandai dengan hadirnya masyarakat informasi (information society) yang memanfaatan teknologi internet dalam berbagai aktivitas keseharian, disini perilaku bisnis dan perdagangan mampu menempatkan informasi sebagai komoditas ekonomi yang menguntungkan109. Bahkan sekarang, paradigma yang sedang dikembangkan baik di negara maju maupun negara berkembang ialah memanfaatkan internet dalam mengubah paradigma ekonomi dari ekonomi berbasis manufaktur menjadi ekonomi yang berbasis data yang pada akhirnya akan melenyapkan batas-batas teritorial, batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan. Bahkan internet telah menjadi second life dan lifestyle dengan beragam penggunaan aplikasi yang menggunakan internet seperti e-komunikasi dengan menanamkan software OS dalam hand phone yangmenyediakan fasilitas jejaring sosial (facebook, twitter, yahoo messenger), TV online (www.cnn.com dan www.bbc.co.uk),
media
online
(www.jawapos.co.id,
www.kompas.com), perpustakaan online, e-banking, dan 109
e – commerce 110
Budi, AR, Aspek Perlindungan Hukum Nasabah dalam sistem Pembayaran Internet. Artikel
dalam Jurnal Hukum 2011. No 16, hlm 59. commit to
110
www.detik.com;
user
Harian pagi Surya, Hal 3 (Surya.co.id/Surabaya.tribunnews.com),
diakses 20 Januari 2013,
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan banyak bermunculannya
investor-investor asing dalam melakukan
perniagaan secara online, diantaranya lazada, jaringan e – commerce dari grup Rocket Internet di Jerman, adapula Zalora, situs belanja online yang menjual khusus produk – produk fashion, Zalora di Indonesia merupakan salah satu cabang situs belanja online di Eropa. Selain itu, banyak pula bermunculan investor – investor dalam negeri yang telah populer dan tak lagi asing bagi masyarakat, diantaranya tokobagus.com, berniaga.com, buka lapak.com, lazada. co. id, dan oxl. co. id, dan kemudian baru – baru ini
Pertengahan Desember
2013, misalnya situs jual beli online berlabel lapak Ajaib muncul di Indonesia. Situs dibawah bendera PT Saroyo Lintas Media ini, bahkan berani membidik 3.5 juta pengunjung perbulan. Berdasarkan data yang dirilis oleh internetworldstats.com. Pengguna internet di Asia juga mengalami pertumbuhan yang signifikan, yaitu sebesar 63 %, diantaranya : rilis yang dilakukan per september 2009 jumlah pengguna internet di Indonesia sebesar 30.000.000 orang dengan 32.126.780 orang menggunakan Facebook pada 31 Desember 2010 atau dengan tingkat penetrasi 14.5%,
India
81.000.000 per November 2008, Korea Selatan 34.440.000 per Juni 2010, Malaysia 16.902.600 Per Juni 2009, Jepang dengan Populasi penduduk 126.804.433 berdasarkan rilis per Juni 2010 terdapat 99.143700 pengguna internet atau 78.2%111. Untuk negara Indonesia sendiri memiliki andil yang cukup besar dalam perniagaan online (e- commerce), hal ini dikuatkan oleh data yang dinyatakan oleh Samuel A Pangerapan, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia baik di pedesaan dan perkotaan sepanjang 2013 mencapai 71,19 juta orang. Meski meleset dari proyeksi APJII sebelumnya yang memperkirakan 82 juta orang,
14.12 pm 111
commit to user
http://www.internetworldstats.com/asia.htm#id diakses 17 April 2011. 11.40 am
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
namun terjadi pertumbuhan cukup signifikan dibandingkan 2012 sebesar 63 juta orang. Maka berdasarkan hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS), tentang profil pengguna internet di Indonesia sepanjang 2013 yang dirilis pertengahan Januari ini menunjukkan bahwa :
Tabel 1 Jenis Pemanfaatan Internet Jenis Pemanfaatan Internet
Persentase
Email (mengirim maupun menerima)
95.75 %
Mencari berita atau informasi
78.49%
Mencari barang atau jasa
77.81%
Mencari informasi lembaga pemerintahan atau tender
65.07%
Sosial media
61.23%
Dari riset tersebut menyebutkan bahwa pemanfaatan internet untuk mencari barang atau jasa mencapai 77,81 %. Angka itu jauh lebih besar ketimbang persentase pemanfaatan internet untuk sosial media sebesar 61,23 %. Padahal dari hasil survei di tahun 2013 masyarakat Indonesia yang melebihi 240 juta jiwa sangat suka berinteraksi melalui situs sosial
media. Wakil Ketua Umum
Aprindo (Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia) Tutum Rahanta menyebutkan bahwa omzet ritel online dalam transaksi e – commerce di Indonesia pada tahun 2013 berkisar mencapai Rp 150 triliun. Angka itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang berkisar Rp 135 triliun. Hal tersebut menandakan bahwa to user transaksi e – commerce dengan commit penawaran dan penjualan barang dan atau jasa
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melalui media internet kini makin digemari dan pertumbuhannya makin pesat112. Semakin besar populasi yang menggunakan teknologi Informasi dan komunikasi (TIK)
ternyata
membawa
sebuah
konsekuensi
munculnya
berbagai
aktivitas-aktivitas yang memanfaatkan TIK ini untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Mulai dari sekadar perbuatan yang menyimpang sampai perbuatan yang dapat dikategorikan tercela dan melawan hukum. Beberapa aktivitas ilegal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah cyber crime atau kejahatan siber. Istilah kejahatan siber113 menunjukkan bahwa bentuk kejahatan ini hanya dapat dilakukan dengan perangkat atau alat yang menghasilkan realita siber seperti sistem dan rangkaian komputer yang terkoneksi dengan internet. Konsep inilah yang menyebabkan beberapa pakar hukum mempunyai pandangan berbeda mengenai apa yang seharusnya dimaknai sebagai kejahatan siber. Bahkan dalam konvensi PBB tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offenderes di Havana, Kuba pada tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000, konsep kejahatan siber diberi pemaknaan dalam istilah yang sempit dan luas, yaitu114 : a. Cyber crime in a narrow sense (dalam arti sempit) disebut computer crime: any illegal behaviour directed by means of electronic operation that target the security of computer system and the data processed by them (setiap perilaku ilegal yang ditujukan pada operasi elektronik yang menargetkan sistem keamanan komputer dan data yang diproses oleh sistem komputer tersebut). b. Cyber crime in a broader sense (dalam arti luas) disebut computer related 112
Harian pagi Surya, 20 Januari 2013 (Surya.co.id/Surabaya.tribunnews.com). Loc. cit
113
Gordon dan Ford mendefinisikan kejahatan siber sebagai : “any crime that is facilitated or
committed using a computer, network, or hardware device” lihat Gordon, S., & Ford, R.
On the
definition and classification of cybercrime. 2006, http://www.springer-verlag.com. diakses 13 April 2011, 14.10 pm 114
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: commit to user Perkembangan Kajian Cybercrime di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2007, hlm. 17
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
crime: any illegal behaviour committed by means on relation to, a computer system offering or system or network, including such crime as illegal possession in, offering or distributing information by means of computer system or network (setiap perilaku ilegal yang dilakukan dengan maksud atau berhubungan dengan sistem komputer atau jaringan, termasuk kejahatan pemilikan, penawaran atau distribusi informasi dari sistem atau jaringan komputer)115. Susahnya membuat definisi kejahatan siber yang dapat menampung kriteria aktivitas dalam dunia siber, membuat beberapa lembaga membuat kategorisasi yang dapat menampung semua aktivitas ilegal dalam dunia siber, seperti kategori dari Council of Europe ketika melakukan konvensi di Budaphest, pada tanggal 23 November 2011, yaitu : 1. Kejahatan siber yang berhubungan dengan kerahasiaan, integritas, ketersediaan data dan sistem komputer termasuk didalamnya illegal access, illegal interception, data interference, system interference dan misuse of data. 2. Kejahatan yang berhubungan dengan komputer (computer related offences) seperti forgery dan fraud. 3. Kejahatan terkait dengan isi atau konten (content-related offences) seperti pornografi. 4. Kejahatan yang berhubungan dengan pelanggaran hak cipta (offences related to infringeents of copyright)116.
Ford dan Gordon mencoba memberi dua kategori kejahatan siber terkait serangan/perbuatan pidana yang dilakukan, yakni117 : 115
Shinder, Debra Little John, Science of the Cybercrime, Syngress Publishing, USA, 2002 hlm
17. 116 117
Ibid
commit to user
Gordon, S., & Ford, R, On the definition and classification of CyberCrime. 2006.
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.
Kejahatan siber yang berupa satu kali serangan terhadap seseorang. Tipe ini biasanya terkait erat dengan malware. Contoh terkait dengan tipe ini ialah phishing, theft (pencurian), or manipulation of data (manipulasi data), identity theft
(pencurian
identitas),
ataupun
e-commerce
fraud
(penipuan
e-commerce). 2.
Kejahatan siber yang terjadi setelah adanya pengulangan/interaksi beberapa kali antara pelaku dan korban. Contoh dalam kategori ini antara lain : cyberstalking, harassment, extortion stock market manipulation. Beberapa kategorisasi mengenai kejahatan siber muncul karena ada
pandangan yang berbeda di antara para pakar. Sebagian pakar menganggap bahwa kejahatan siber (cybercrime) hanya modifikasi dari bentuk kejahatan konvensional yang menggunakan media internet, oleh karenanya dalam penanganannya hanya perlu reinterpretasi terhadap norma-norma peraturan perundang-undangan konvensional terhadap beberapa perilaku yang dianggap melawan hukum dan punya karakteristik yang identik dengan bentuk kejahatan konvensional. Sebagai contoh kejahatan yang terkait dengan penipuan, perjudian, pornografi di internet hanya kejahatan konvensional yang memanfaatkan media internet. Beberapa kategorisasi mengenai kejahatan siber di atas dibuat tanpa melihat sisi teoretis mengenai definisi yang sesuai dengan karakter tindak pidana yang dilakukan dan hanya melihat pada beberapa aspek pragmatik mengenai perbuatan yang dianggap tercela. Konsep perumusan ini misalnya terdapat dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
cenderung
mengedepankan
kebutuhan
pragmatik
mengenai
perbuatan-perbuatan yang dianggap patut dicela dan dilarang oleh undang-undang. Perbedaan
dalam
memaknai
dan
menyelami
kejahatan
commit to user http://www.springer-verlag.com. diakses 13 April 2011, 14.12 pm
siber
akhirnya
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memunculkan dua pandangan dalam memaknai norma undang - undang terhadap suatu perbuatan yang dianggap tercela dalam kejahatan siber. Pandangan yang pertama lebih pada mencoba memperbaharui interpretasi dengan mengedepankan konsep fungsional perbuatan pidana dan mengesampingkan konsep perbuatan jasmaniah.
Konsep ini muncul seiring dengan kehadiran teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) yang menimbulkan kesukaran dalam menguraikan suatu bentuk kejahatan hanya berdasarkan pada perbuatan jasmaniah atau material dari si pelaku. Munculnya teknologi siber membuat konsep perbuatan jasmaniah menemui hambatan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu, kemudian orang lebih melirik kepada mazhab fungsional
yang lebih
mengedepankan kepada terselenggaranya fungsi yang dimaksud atau diinginkan oleh lembaga pembuat undang-undang atau lembaga legislatif melalui aktivitas-aktivitas dalam/menggunakan instrumen teknologi siber. Pandangan ini diinspirasi dan dilegitimasi putusan Hoge Raad dalam arrest listrik, yang dalam era siber ditafsirkan sesuai keadaan kontekstual. Pandangan yang populer dikembangkan dalam konsep ini adalah baru dalam hukum berbeda dengan baru dalam teknologi. Baru dalam teknologi merupakan penemuan terkini yang menyebabkan peralatan atau spart part yang lama tidak dapat digunakan atau tidak sesuai dengan teknologi yang terkini, sedangkan baru dalam konsep hukum hanya reinterpretasi norma yang disesuaikan dengan kontekstualisasi zaman. Sebagai contoh konsep pencurian dalam internet tidak hanya sekadar berpindahnya penguasaan atas barang tapi juga dapat dimaknai bahwa ada penguasaan tanpa perlu berpindahnya/ hilangnya kepemilikan suatu data. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
Pandangan berbeda yang menyatakan bahwa kejahatan diranah siber merupakan jenis kejahatan baru yang tidak ada padanannya dalam kejahatan konvensional, oleh karena itu perlu suatu regulasi baru yang mengatur kejahatan baru tersebut. Argumentasi yang dibangun biasanya terkait dengan ketakutan akan adanya prinsip hukum pidana yang dilanggar khususnya asas legalitas yang tercermin dalam nullum crimen sine lege certa (tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang jelas), nullum crimen sine lege scripta (tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang tertulis) serta nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang ketat)
118
yang
dimungkinkan mengurangi nilai kepastian hukum yang adil dalam hukum pidana. Hal ini bisa dilihat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai definisi cybercrime antara lain: Pendapat Mr. Donn B. Parker mengatakan119, kejahatan komputer adalah perlakuan yang mempunyai niat dan dikaitkan dengan komputer melalui berbagai cara yang menyebabkan korban menderita atau mengalami kerugian secara terus menerus. Selain itu menurut Departemen Kehakiman USA, kejahatan komputer didefinisikan sebagai segala aktivitas yang tidak sah dimana pengetahuan mengenai teknologi komputer digunakan untuk merealisasikannya. Dua pendapat ini memperlihatkan betapa sangat luasnya perbuatan tercela yang dikategorikan ataupun dimasukkan dalam kejahatan komputer. Kajian Ford dan Gordon juga menemukan ada pendefinisian yang sangat luas dan berbeda tentang kejahatan siber, misalnya perjanjian internasional (treaty) yang dihasilkan Europe of Council memasukkan kejahatan terhadap data berupa pelanggaran terhadap hak cipta. Sedangkan Zeviar Geese memasukkan fraud, child pornography dan cyberstalking sedangkan PBB melalui manual on the prevention and the control of computer related crime memasukkan unauthorized 118
Loc. cit. Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, hlm.50
119
Loc cit, Barda Nawawi Arief , Tindakcommit Pidana to Mayantara: user Perkembangan Kajian Cyber Crime
di Indonesia, hlm. 18
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
access and Forgery. Menurutnya definisi yang ada menimbulkan kesulitan karena lebih bersifat deskriptif mengenai aktivitasnya dan bukan disandarkan pada konsep fungsional perbuatan pidana maupun konsep perbuatan jasmaniah. Padahal definisi yang akurat diperlukan untuk mengetahui ruang lingkup kejahatan siber secara umum dan kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce secara lebih khusus dan bagaimana upaya penanggulangannya.
Berkaitan dengan pengaturan tindak pidana dalam ruang lingkup kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce yang didasarkan kepada perundang-undangan nasional Indonesia yaitu KUHP tidak ada ketentuan khusus atau secara resmi menetapkan suatu perbuatan terlarang sebagai tindak pidana yang dikhususkan terhadap kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce. Namun, ketentuan dalam KUHP dapat saja diterapkan terhadap perbuatan penyimpangan yang termasuk sebagai tindak pidana dibidang ekonomi, yang tercakup dalam berbagai sektornya termasuk yang secara khusus akan diperdalam dalam bahasan disertasi ini terhadap kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce. Pengaturan dalam KUHP bersifat umum menunjuk pada perbuatan-perbuatan yang dilarang, dan tidak secara tersurat mengenai tindak pidana dibidang ekonomi khususnya tindak pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce, tetapi dapat dipautkan dengan berbagai macam prilaku yang menyimpang dalam kegiatan perekonomian. Penyimpangan terkait dengan pemanfaatan teknologi komputer, antara lain : 1) joy computing yaitu menggunakan komputer secara tidak sah dan melampaui wewenang, diterapkan Pasal 362 (pencurian); 2) hacking (penyambungan sistem jaringan komputer tanpa izin) dikenai Pasal 167, 551; 3) the trojan horse (manipulasi data/program) dapat dinyatakan sebagai tindak pidana penggelapan (Pasal 372 dan 374); 4) Data leakage data) dapat dikaitkan sebagai commit(kebocoran to user
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
tindak pidana pembocoran rahasia yang menyangkut negara (Pasal 112-114); 5) internet fraud (penipuan dengan menggunakan alat/media internet) dapat dikaitkan sebagai tindak pidana Penipuan (Pasal 378); 6) rahasia perusahaan atau profesi (Pasal 322, 323)120.
Sedangkan untuk perlindungan konsumen, dalam ketentuan KUHP diatur tindak pidana yang bertentangan dengan kepentingan konsumen, untuk menjaga keselamatan , keamanan, dan kesehatannya. Ketentuan KUHP tersebut terdapat dalam pasal-pasal yaitu Pasal 202, 204, 205, 206, 258, 382 bis, dan 386.121 Soedjono Dirdjosisworo mengemukakan bahwa mengingat Indonesia sedang berkembang ke arah industri modern melalui bekerjanya teknologi canggih dalam bidang informasi antar bangsa termasuk niaga internasional telah menyebabkan kriminalitas kontemporer melanda dan mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi, seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran
122
. Akibat
Perkembangan industri modern melalui bekerjanya teknologi canggih dalam bidang informasi antar bangsa termasuk niaga internasional membuat banyak perubahan perilaku baru antar masyarakat di berbagai belahan dunia. Bahkan pada sisi yang negatif perubahan perilaku ini menyangkut perilaku menyimpang dari manusia yang awalnya hanya dapat dilakukan dalam dunia nyata (real space) kemudian merambah dalam dunia maya. Perubahan perilaku interaksi bagi sebagian orang yang menguasai teknologi ini kemudian menjalar ke
120
Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan Haki dalam Sistem Hukum Indonesia, Rafika Aditama (Cet
ke 2), Bandung, 2006, hlm. 98. 121
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Daya Widya, Jakarta,
122
Soedjono Dirdjosisworo, Kejahatan commit Bisnis: Orientasi to user dan Konsepsi, Mandar Maju, Bandung,
1994,
hlm. 23
1999, hlm. 142
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
bagian-bagian lain dalam kehidupan manusia menjadi sebuah nilai-nilai baru yang diakui dan hidup dalam masyarakat (living law). Nilai-nilai ini akan membentuk instrumen-instrumen hukum baru terkait dengan perbuatan hukum yang dilakukan seseorang. Perbuatan tersebut mulai dari berkorespondensi melalui email atau chatting, perniagaan bahkan aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan. Secara teoretik, kejahatan e-commerce fraud yang terjadi dalam transaksi e – commerce merupakan bagian dari kejahatan yang terjadi di dunia maya (cyber crime) yang memberikan dampak kerugian kepada konsumen sebagai korban kejahatan didunia maya dengan tawaran berbagai produk berupa barang dan atau jasa tetapi didalam proses pelaksanaannya terdapat perbuatan penyimpangan hukum berupa penipuan (fraud) atas barang dan atau jasa yang ditawarkan atau atas isi perikatan jual beli yang disepakati oleh pelaku (produsen/pelaku usaha) dan korban (konsumen) yang bekerjanya melalui teknologi canggih dalam bidang informasi antar bangsa termasuk niaga internasional, hal tersebut terjadi dikarenakan cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Volodymyr Golubev menyebutnya sebagai “the new form of anti social behavior123. Cyber crime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang memiliki dampak negatif yang sangat luas di seluruh bidang kehidupan modern saat ini. Kekhawatiran demikian terungkap pula dalam makalah cyber crime yang disampaikan oleh Information Technology Association Of Canada (ITAC) pada “Internatinal Information Industry congress (III C) 2000 Millenium Congress” di Quebec pada tanggal 19 September 2000, yang menyatakan bahwa “Cyber crime is a real growing threath economic and social economic and social
123
http//www.Cyber_Crime_and_Legal_Problems_of_Internet_Usage.htm. commit to user
Volodymir Golubev, hal 1, diakses 3 Januari 2014
2013.Artikel
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
development around the world. Information technology touches every aspect of human life and so can eletronically enabled crime124. Di berbagai literatur, cyber crime dideteksi dari dua sudut pandang125: 1.
Kejahatan yang Menggunakan Teknologi Informasi sebagai Fasilitas: Pembajakan, Pornografi, Pemalsuan/ Pencurian Kartu Kredit, Penipuan lewat email (fraud), email, spam, perjudian online, pencurian account internet, terorisme, isu SARA, situs yang menyesatkan dan sebagainya.
2.
Kejahatan yang menjadikan Sistem Teknologi Informasi sebagai sasaran: pencurian data pribadi, pembuatan/ penyebaran virus komputer, pembobolan/ pembajakan situs, cyber war, denial of service (DOS), kejahatan berhubungan dengan nama domain.
Sedangkan secara garis besar ada beberapa tipe cyber crime, yaitu126: 1. Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa ijin. Hal ini termasuk pencurian waktu operasi komputer. 2. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa ijin dengan alat suatu terminal. 3. The trojan horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data atau intruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 4. Data leakage, yaitu menyangkut bocornya data keluar terutama mengenai data yang harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu dapat berupa rahasia negara, perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
124
Anonymous ITAC, “IIIC Common Views Paper On: Cyber Crime”, IIIC 2000 Millenium
Congress, 125
diakses September 19th 2000, 11.11,
hlm. 2.
Romi Satria Wahono, Seminar Hacking and Security ITS Surabaya, diakses September 15th
2014 dari romisatriawahono.net. 13.05 pm commit to
126
Ibid
user
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Data diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, mengubah input data atau output data. 6. To frustate data comunication atau penyia-nyiaan data komputer. 7. software piracy, yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HKI. Dari ketujuh tipe cyber crime tersebut, tampak bahwa inti cyber crime adalah penyerangan terhadap content, computer system dan communication system milik orang lain atau umumnya di dalam cyber space
127
. Sedangkan dari
kejahatan-kejahatan yang disebutkan di atas akan memberi implikasi terhadap tatanan sosial masyarakat yang cukup signifikan khususnya di bidang ekonomi. Hal ini, sejalan dengan bergulirnya juga era e-commerce atau yang biasa disebut dengan electronic commerce (Perdagangan Elektronik), sebagai bagian dari electronic business (bisnis yang dilakukan dengan menggunakan electronic transmission), oleh para ahli dan pelaku bisnis dicoba dirumuskan definisinya. Secara umum e-commerce dapat didefinisikan sebagai segala bentuk transaksi perdagangan/perniagaan barang atau jasa (trade of goods and service) dengan menggunakan media elektronik. Jelas, selain dari yang telah disebutkan di atas, bahwa kegiatan perniagaan tersebut merupakan bagian dari kegiatan bisnis. Jadi e-commerce is a part of e-business. Hanya sebagian dari cyber crime sudah diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya Bab VII tentang perbuatan yang dilarang, mulai Pasal 27 – Pasal 37 yang mana pasal-pasal tersebut mengatur tentang tindak pidana kesusilaan, perjudian, penghinaan / pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman, berita bohong dan menyesatkan, menyebarkan kebencian dan permusuhan, illegal access, illegal interception, data interference, system interference, computer related forgery, dan 127
commit to user Philip Renata. BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, hlm. 52.
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
misuse of devices. Sanksi pidana atas perbuatan yang dilarang tersebut diatur dalam Pasal 45 – Pasal 52. Sedangkan untuk jenis kejahatan dalam transaksi ecommerce yang masuk dalam lingkup cyber crime adalah tentang penipuan yang menyebabkan kerugian terhadap konsumen sangat minim pengaturannya yaitu hanya diatur dalam satu Pasal beserta sanksinya yaitu Pasal 28 ayat (1)
jo
Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang berbunyi : perbuatan yang dilarang bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Maka bagi setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,(satu miliar rupiah). Hal ini menunjukkan masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap perlindungan konsumen yang mengalami e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce. Meski berdasarkan prinsip-prinsip yurisdiksi yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), cyber crime dapat diatasi, namun dalam beberapa hal masih terdapat kekurangan salah satu contohnya adalah mengenai pembuktian tindak pidana dunia maya (cyber crime). Apabila masyarakat Indonesia mempunyai pemahaman yang benar akan tindak pidana cyber crime maka baik secara langsung maupun tidak langsung masyarakat akan membentuk pola penataan. Pola penataan ini dapat berdasarkan karena ketakutan akan ancaman pidana yang dikenakan apabila melakukan perbuatan cyber crime atau pola penataan ini tumbuh atas kesadaran mereka sendiri sebagai masyarakat hukum. Cyber Crime ini telah masuk dalam daftar jenis kejahatan yang sifatnya internasional berdasarkan United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime (Palermo Convention) November 2000 dan berdasarkan commit to user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember 1997 di Manila128. Cyber crime menjadi isu yang menarik dan terkadang menyulitkan karena beberapa alasan yaitu sebagai berikut: (1) Kegiatan dunia cyber tidak dibatasi oleh teritorial Negara; (2) Kegiatan dunia cyber relatif tidak berwujud; (3) Sulitnya pembuktian karena data elektronik relatif mudah untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan detik; (4) Pelanggaran hak cipta dimungkinkan secara teknologi; (5) Sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional. Analogi masalahnya adalah mirip dengan kekagetan hukum konvensional dan aparat ketika awal mula terjadi pencurian listrik. Barang bukti yang dicuri pun tidak memungkinkan dibawa ke ruang sidang. Hal tersebut, sejalan dengan pandangan Ahmad M. Ramli yang mengemukakan129; Dalam ruang siber pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan di Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat internasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Ahmad M Ramli mengemukakan130: Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis yurisdiksi, yakni yurisdiksi untuk menetapkan undang-undang
(the
jurisdiction to prescribe); yuridiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce); dan yuridiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate). Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku, Darrel Menthe, sebagaimana terpetik dalam Ahmad M. Ramli mengemukakan lima asas yang biasa digunakan yaitu131: 128
Loc.cit. Romi Satria Wahono, Seminar Hacking and Security ITS Surabaya, diakses September th
15 2014 dari romisatriawahono.net. 13.05 pm 129
Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan Haki dalam Sistem Hukum Indonesia. Rafika Aditama
(Cetakan Kedua), Bandung, 2006, hlm. 19-20. 130
Ahmad M. Ramli . Ibid.
131
Darrel Menth, Jurisdiction in Cyberspace, terpetik dalam, Ahmad M. Ramli, Ibid.
commit to user
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“ Pertama, Asas Subjective Territoriality; yang menekankan bahwa keberlakuan hukum berdasarkan tempat perbuatan dan penyelesaian tindak pidana dilakukan di Negara lain; Kedua, Asas Objective Territoriality; yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum di mana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak kerugian bagi Negara yang bersangkutan; Ketiga, Asas Nationality; yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku; Kempat, Asas Passive Nationality; yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban; Kelima, Asas Protective Principle; yang menyatakan berlakunya hukum berdasarkan atas keinginan Negara untuk melindungi kepentingan Negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah; Keenam, Asas Universality; Asas universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus siber. Asas ini disebut juga sebagai ”Universa interest jurisdicstionism”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara, dan lain-lain. Selain mempertimbangkan asas-asas hukum di atas, pembuatan hukum cyber law juga membutuhkan keselarasan dengan hukum positif (ius contitutum) yang sudah ada sebelumnya antara lain : undang-undang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang berupa hak paten, merek, hak cipta, desain industri; undang-undang Perbankan; undang-undang Penyiaran; KUHPerdata & KUHAPerdata (Materiil & Formiil), KUHP & KUHAP (materiil & formiil), Undang-Undang Perlindungan undang-undang undang-undang
Konsumen; Kekuasaan
undang-undang Kehakiman;
Telekomunikasi;
Hak
Asasi
Manusia
undang-undang
undang-undang
undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang;
Pasar
Persaingan
(HAM); Modal; Usaha;
undang-undang Alternatif
Penyelesaian Sengketa (ADR), dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Sedangkan untuk kejahatan e-commerce fraud yang terjadi dalam transaksi e – commerce, pembuatan hukumnyacommit membutuhkan to user pula keselarasan dengan hukum
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
positif (ius constitutum) yang sudah ada sebelumnya, antara lain: KUHP & KUHAP (materil & formil), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Informasi dan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan juga dengan hukum positif yang akan datang akan diberlakukan (ius constituendum) untuk mengisi kekosongan hukum tentang tindak pidana siber termasuk didalamnya kejahatan e-commerce fraud yang terjadi dalam transaksi
bisnis
e-commerce yang tidak diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan peraturan pelaksanaannya. Ruang lingkup yang cukup luas ini membuat cyber law bersifat kompleks, khususnya dengan berkembangnya teknologi. Dengan kemajuan teknologi masyarakat dapat memberi kemudahan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan dalam cyber crime. Selanjutnya, dilihat dari sudut pandang criminal policy, upaya penanggulangan kejahatan (termasuk penanggulangan cyber crime) tidak dapat dilakukan semata-mata secara parsial dengan hukum pidana (sarana “penal”), tetapi harus ditempuh pula dengan pendekatan integral (sistemik) sebagai salah satu bentuk high-tech crime yang dapat melampaui batas-batas negara, adalah wajar upaya penanggulangan cyber crime juga harus ditempuh dengan pendekatan teknologi (techno prevention). Disamping itu diperlukan pula pendekatan budaya atau kultural, pendekatan moral atau edukatif, dan bahkan pendekatan global (kerja sama internasional)132.
132
commit to user Loc. Cit. Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan Haki dalam Sistem Hukum Indonesia , hlm 98.
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Perlindungan Konsumen Terhadap Kejahatan E-Commerce Fraud Dalam Transaksi
Perlindungan
E – commerce
konsumen
secara
umum
di
Indonesia
diatur
dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 menyebutkan Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dari definisi tersebut Penulis menyatakan pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas – asas dan kaidah – kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 menyebutkan “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, serta keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”. Di dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembagunan nasional, yaitu : 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar – besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secra keseluruhan. 2.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepeda konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
commit to user
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spirituil.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen bertujuan : a.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa;
c.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak – haknya sebagai konsumen;
d.
Menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. commit to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Munculnya perlindungan konsumen
disebabkan adanya hubungan yang
terjadi antara Konsumen dan Pelaku Usaha / Produsen
berupa suatu hubungan
yang berkelanjutan (sustainable relationship). Hubungan ini sering digunakan oleh Pelaku Usaha / Produsen dalam sistem pendistribusian dan pemasaran produk-produk barang dan atau jasa untuk mencapai tingkat produktivitas dan efektivitas dalam mencapai tujuan bisnis tertentu. Pada tahap pendistribusian, hubungan pendistribusian dipandang sebagai hubungan yang menghasilkan suatu karakter massa (a mass character), hal ini di satu sisi dapat dideskripsikan terjadinya prilaku penyimpangan dari Pelaku usaha /Produsen bahwa pelaku usaha / produsen mempunyai kecenderungan untuk merendahkan martabat daripada hak-hak konsumen
sehingga konsumen
dalam posisi yang lemah dan para pelaku usaha / produsen mengambil keuntungan dari kelemahan-kelemahan yang terjadi terkait hak-hak konsumen tanpa harus mendapatkan sanksi hukum, situasi ini semakin memburuk dalam sistem e – commerce. Karenanya untuk mengetahui perkembangan hubungan yang terjadi diantara Konsumen dengan Pelaku Usaha / Produsen. Perlindungan konsumen e-commerce dalam bertransaksi didasarkan pada konsep-konsep caveat emptor, the duty of care, the privity of contract, dan no contractual to get protection133, penjelasan – penjelasannya adalah berikut ini : 1.
Caveat Emptor (let the buyer beware motion) Konsep ini menyatakan meletakkan konsumen pada posisi yang seimbang, dengan maksud kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha/ produsen berada pada posisi yang seimbang/sejajar, maka tidaklah perlu konsumen mendapatkan perlindungan yang berlebihan. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa konsep caveat emptor yang dikemukakan oleh Kraenburg
133
Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan commit to user
Bandung, Bandung, 1999, hlm. 37
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan Vegting menekankan untuk membebaskan pembeli berhati – hati dalam bertindak sehingga tidak perlu konsumen mendapatkan perlindungan yang berlebihan
atau pembeli harus menjadi berhati-hati / waspada dengan
sendirinya. Konsep caveat emptor
bertujuan agar pembeli menjadi berhati-hati
/ waspada dengan sendirinya sehingga dianggap tidak perlu adanya perlindungan konsumen. prinsip ini diterima dan dipahami karena hampir semua konsumen sebagai pembeli produk barang dan atau jasa memiliki kemauan yang sama untuk mengambil keputusan terpenting dalam pembelian oleh diri mereka sendiri. Ada kemungkinan yang timbul bahwa pembeli yang teliti sekalipun dapat melakukan kekeliruan dalam memilih produk barang dan atau jasa, sebagaimana diungkapkan oleh Charles Hemphill yang menyatakan
There was little likehood hat reasonably prudent buyer could
go wrong 134 . Tetapi dalam perkembangannya, konsumen tidak dapat mengakses informasi yang sama terhadap produk barang dan atau jasa yang dikonsumsi. Hal tersebut timbul, disebabkan karena ilmu pengetahuan yang terbatas yang dimiliki
konsumen dalam transaksi jual beli, sehingga posisi
konsumen dikendalikan oleh produsen / pelaku usaha, sehingga akibatnya menimbulkan kerugian pada konsumen. Posisi produsen pun tidak mau disalahkan, mereka berpendapat bahwa kerugian yang timbul yang dialami oleh konsumen karena kesalahan konsumen sendiri yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian / kewaspadaan dalam memilih dan atau membeli produk barang dan atau jasa. Konsep ini berprinsip let the buyer beware motion (membebaskan pembeli berhati-hati dalam bertindak) ditentang oleh gerakan perlindungan
134
Hemphill, Charles F, The Consumer commit Protection toHand userBook a Legal Guide, A Spectrum Book,
New Jersey, 1981, hlm. 3
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konsumen. Menurut prinsip ini dalam hubungan perdagangan yang harus berhati-hati adalah pelaku usaha / produsen. Kesalahan produsen adalah jika konsumen membeli dan mengkonsumsi barang dan atau jasa yang tidak layak (disfeasible goods). Namun, seiring dengan perkembangan sistem ekonomi, mekanisme, percepatan perdagangan industri dimana banyak pelaku usaha yang saat ini memproduksi barang-barang dalam skala besar / massal dalam jumlahnya, maka konsep caveat emptor (let the buyer beware)
menggiring
para
pelaku usaha/produsen yang sepatutnya menjadi berhati-hati / waspada dalam melindungi hak-hak konsumen sebagai pembeli. Hambatan dari pelaksanaan konsep caveat emptor (let the buyer beware), antara lain : konsumen tidak mendapatkan akses informasi terhadap produk barang dan atau jasa yang akan dikonsumsi / dibelinya dan pengetahuan yang terbatas pada konsumen.
2.
The Duty of Care Konsep ini menyatakan dalam posisi konsumen dan pelaku usaha melakukan transaksi yang harus berhati-hati adalah pelaku usaha/produsen. Dalam menawarkan produknya berupa barang dan atau jasa, siapapun tidak dapat dipermasalahkan apabila konsumen dirugikan. Konsumen harus membuktikan kecerobohan pelaku usaha / produsen (Pasal 1865 BW). Konsep the duty of care dapat dideskripsikan bahwa pelaku usaha / produsen
mempunyai
kewajiban
untuk
menjadi
berhati-hati
dalam
memasarkan produk-produk mereka baik berupa barang dan atau jasa. Jadi jika dalam konsep ini telah diterapkan dan kemudian timbul kerugian yang dinyatakan oleh konsumen, maka konsumen dalam posisinya harus commit to user
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membuktikan bahwa produsen telah melanggar prinsip kehati-hatian (principle of prudence). Kelemahan dari konsep the duty of care bahwa dalam hal beban pembuktian korban (konsumen) harus menyebarkan bukti-bukti atas kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan Pelaku sebagai Pelaku Usaha/produsen. Sedangkan pelaku usaha/ produsen menunggu secara pasif atas bukti-bukti yang diajukan oleh korban (konsumen) atas kesalahan dan atau kelalaian yang disangkakan kepada mereka sebelum Pelaku Usaha / Produsen
melakukan pembelaan. Tetapi dalam
kenyataannya cukup sulit
bagi konsumen untuk membuktikan tuduhan mereka kepada pelaku usaha / produsen. Sebaliknya, dengan pelaku usaha / produsen yang beragam (dengan posisi mereka yang diuntungkan) lebih mudah bagi pelaku usaha / produsen untuk membela diri mereka sendiri dan dapat menghindar dari tuntutan hukum yang diajukan oleh konsumen.
3.
The Privity of Contract Konsep ini menyatakan bahwa konsumen yang akan mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha/produsen adalah posisi konsumen yang memberikan kontraktual dengan pelaku usaha. Contohnya : konsumen yang mendapatkan barang dan atau jasa dengan cara adanya perjanjian, sedangkan orang yang memiliki barang dan atau jasa dengan tanpa adanya perjanjian maka posisi konsumen tidak dapat menuntut ganti rugi. Dalam hal ini posisi pelaku usaha/produsen setara/ seimbang dengan posisi
konsumen sehingga
kemauan pelaku usaha / produsen harus diikuti oleh konsumen, misalnya : perjanjian standard yang diterapkan oleh pelaku usaha / produsen maka konsumen tidak dapat melakukan tawar menawar karena yang dijanjikan hanya yang besar saja sedangkan masalah kecil dikesampingkan. commit to user
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam konsep ini dapat dideskripsikan bahwa
produsen mempunyai
kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi ini hanya dapat diterapkan jika salah satu dari mereka telah menjalin / membangun hubungan kontrak (a contractual relationship). Pelaku usaha/produsen tidak dapat disalahkan untuk hal-hal diluar perjanjian. Hal ini berarti bahwa konsumen dapat menggugat/menuntut berdasarkan kewajiban/ pertanggungjawaban kontrak. Jika hubungan diantara kedua belah pihak sudah ada hubungan hukumnya maka permasalahan yang ada tidak sesederhana untuk dilakukan, ini berarti bahwa meskipun sering dinyatakan
secara yuridis antara pelaku usaha /
produsen dan konsumen memiliki posisi yang sejajar dan sama, tetapi fakta yang terjadi adalah konsumen biasanya selalu didekte/dipaksa oleh keinginan dari pelaku usaha/produsen. Fenomena dari adanya kontrak standard yang banyak muncul di masyarakat adalah suatu bukti jelas bahwa konsumen tidak berdaya dalam menghadapi dominasi pelaku usaha/produsen. Dalam berbagai kontrak berskala besar yang terjadi antara pelaku usaha / produsen dan konsumen seperti kontrak standard, hanya prinsip kesalahan yang disepakati masuk dalam kontrak standard, hasilnya ketika konsumen menuntut pelaku usaha/produsen untuk kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukannya, pelaku usaha/ produsen dapat menghindar karena tipe dari kesalahan ini tidak dijelaskan secara spesifik dan atau tidak dimasukkan dalam kontrak.
4. Kontrak Bukanlah Syarat Mendapatkan Perlindungan Konsumen (no contractual to get protection) Konsep ini menyatakan posisi konsumen tetap dilindungi dalam hubungan perjanjian tersebut walau tanpa ada syarat atau kontrak terlebih dahulu. Dalam konsep ini mendeskripsikan dalam keadaan apapun dengan sendirinya posisi konsumen tetap dilindungi sebagai bagian dari hak – hak konsumen commit to user
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena adanya konsensualisme antara kedua belah pihak baik yang dinyatakan ataupun tidak dinyatakan dalam hubungan kontraktual. Munculnya kontrak ini karena adanya transaksi yang bermacam-macam dalam dunia perekonomian. Sehingga hubungan berlanjut (sustainable relationship) yang terjadi antara Konsumen dan Pelaku Usaha / Produsen didasarkan pada asas konsesualisme ( diantara pihak – pihak yang terkait dalam perjanjian tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah dikehendaki pula oleh pihak yang lain. Konsensualisme dalam perjanjian dan perikatan timbul sejak tercapainya kesepakatan atau dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal – hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas, jadi perjanjian tersebut
lahir pada saat tercapainya kata sepakat
antara para pihak mengenai hal-hal pokok dan tidak memerlukan formalitas), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 BW
tentang sahnya suatu
perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu : 1) kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri,
dalam Pasal 1321 BW dinyatakan bahwa tiada kata
sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan / penipuan; 2) cakap untuk membuat suatu perjanjian,
para pihak harus cakap menurut hukum yaitu telah dewasa / 21
tahun dan tidak dibawah pengampuan; 3) mengenai suatu hal tertentu,
apa
yang diperjanjikan harus jelas dan terinci dalam jenis, jumlah dan harga atau keterangan terhadap obyek, dan diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak; 4) suatu sebab yang halal, isi dari perjanjian harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh Undang –Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
commit to user
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sedangkan dalam konteks jenjang waktu mendapatkan perlindungan konsumen, menurut Johanes Gunawan 135 , perlindungan hukum terhadap konsumen
dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no
conflict/pre purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase). Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dapat dilakukan dengan cara antara lain: 1) Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya peraturan perundang tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha. 2) Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya. Disatu sisi, untuk perlindungan hukum terhadap konsumen secara umum pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau diluar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa136.
135
Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan
Bandung, Bandung, 1999, hlm. 3 136
Ibid.
commit to user
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sedangkan disisi lain, perlindungan konsumen terhadap kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce tidak dijabarkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dalam ini apakah menggunakan aturan hukum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
ataukah Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dengan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik ataukah menggunakan KUHP. Disinilah masih terjadi kekosongan hukum terhadap perlindungan konsumen terhadap
kejahatan e-commerce fraud dalam
transaksi e – commerce. Perlindungan hukum terhadap konsumen tidak hanya bagi konsumen secara umum dalam transaksi secara konvensional/off line (face to face) tetapi juga bagi
konsumen yang terpedaya kejahatan e-commerce fraud dalam
transaksi e-commerce dalam transaksi modern via electronic equipment (online) sangat diperlukan karena konsumen dalam posisi yang lemah. Perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dan konsumen dalam transaksi e – commerce menyebabkan gangguan fisik, jiwa atau harta konsumen dan tidak diperolehnya keuntungan optimal dari penggunaan barang dan/atau jasa tersebut dan miskinnya hukum yang melindungi kepentingan konsumen yang terpedaya kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce. Dengan adanya perlindungan hukum bagi konsumen tidak hanya bagi konsumen secara umum dalam transaksi secara konvensional/off line (face to face) tetapi juga bagi
konsumen yang
terpedaya kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce via electronic equipment (online), diharapkan dapat memberikan kedudukan hukum yang seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha. Hal tersebut cukup beralasan karena selama ini kedudukan konsumen yang lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha.
commit to user
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah
No. 82 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dinyatakan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan
komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Walaupun dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tidak dijelaskan tentang definisi dari transaksi e – commerce, tetapi dari definisi transaksi elektronik dalam pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012, dapat dinyatakan bahwa secara implisit transaksi e-commerce termasuk dalam definisi transaksi elektronik
sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2). Sedangkan dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa (1) transaksi elektronik dapat dilakukan berdasarkan kontrak elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak; (2) kontrak elektronik dianggap sah apabila, (a) terdapat kesepakatan para pihak; (b) dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau
yang
berwenang
mewakili
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan; (c) terdapat hal tertentu; dan (d) objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sehingga dapat dinyatakan bahwa transaksi jual beli barang dan atau jasa oleh konsumen e-commerce, meskipun dilakukan secara online berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun
2012 tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan, hal ini didasarkan persetujuan konsumen untuk membeli barang dan atau jasa secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat dikatakan sebagai salah satu bentukto kontrak commit user elektronik, kontrak elektronik
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
dikatakan sah apabila memenuhi unsur dalam Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012. Kontrak elektronik persetujuan atas transaksi yang dilakukan konsumen semestinya dapat menjadi bukti yuridis yang kuat untuk melindungi hak-hak konsumen apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan hukum yang dilakukan pelaku (Pelaku Usaha/ Produsen). Lalu dalam Pasal 48 ayat (3) menyatakan bahwa Kontrak Elektronik paling sedikit memuat: (a) data identitas para pihak; (b) objek dan spesifikasi; (c) persyaratan transaksi elektronik; (d). harga dan biaya; (e) prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak; (f) ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan (g) pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik. Kemudian dalam Pasal 49 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) menyatakan bahwa (1) Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan; (2) Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan; (3) Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi; (4) Pelaku Usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim; dan (5) Pelaku Usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak. Lalu dinyatakan dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3) bahwa (1) Transaksi Elektronik terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak; (2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh Pengirim telah diterima dan disetujui oleh Penerima; (3) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan cara: a) tindakan commit to user penerimaan yang menyatakan
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
persetujuan; atau b) tindakan penerimaan dan/atau pemakaian objek oleh pengguna sistem elektronik dan terakhir dalam Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan bahwa (1) Dalam penyelenggaraan Transaksi Elektronik para pihak wajib menjamin: a) pemberian data dan informasi yang benar; dan
b)
ketersediaan sarana dan layanan serta penyelesaian pengaduan; dan (2) Dalam penyelenggaraan Transaksi Elektronik para pihak wajib menentukan pilihan hukum secara setimbang terhadap pelaksanaan Transaksi Elektronik. Meskipun dalam Peraturan Pemerintah
No. 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dinyatakan syarat-syarat perikatan dalam hubungan kontraktual perjanjian yang harus dipenuhi dalam melakukan transaksi elektronik antara Pelaku Usaha/Produsen dan konsumen tetapi tidak memberikan sanksi yang tegas apabila syarat-syarat perikatan dalam hubungan kontraktual perjanjian yang terjadi antara Pelaku Usaha/Produsen dan konsumen di langgar atau tidak dipenuhi oleh Pelaku Usaha /Produsen, sehingga aturan hukum yang ada didalamnya hanya seperti sekedar aturan saja tanpa mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan kepastian hukum yang jelas apabila di kemudian hari timbul yang namanya kejahatan/pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pelaku Usaha/Produsen dalam melakukan transaksi e-commerce sehingga dapat dikatakan
bahwa
secara empiris perlindungan
hukum bagi konsumen e – commerce masih sangat lemah dalam transaksi e – commerce. Secara empiris posisi konsumen yang lemah dalam melakukan transaksi e-commerce nampak ketika terjadi jual beli melalui internet , sering sekali terjadi kecurangan dalam bentuk penipuan (e-commerce fraud) dalam hal keberadaan usaha, kwalitas barang atau jasa yang dibeli, harga barang, pengiriman barang dan pembayaran oleh konsumen. Munculnya penyimpangan tersebut cenderung merugikan konsumen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
Walaupun sering terjadi penyimpangan dalam transaksi e-commerce
yang
dilakukan oleh Produsen / Pelaku Usaha, tetapi hubungan yang terjadi karena kedua belah pihak saling menginginkan satu sama lain tanpa adanya tekanan ataupun paksaan, dan hubungan yang terjalin memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi satu sama lain. Purba mendefinisikan konsep hubungan produsen dan konsumen sebagai berikut: kunci utama suatu perlindungan bagi konsumen adalah antara konsumen dan produsen saling membutuhkan satu sama lain. Produksi barang dan /atau jasa tidak berarti apapun jika tidak ada satu konsumenpun yang mengambil dan mengkonsumsi produk tersebut secara nyaman dan memuaskan, dan ada saatnya diperlukan promosi produk secara cuma-cuma dari produsen kepada konsumen untuk memperkenalkan suatu produk.137 W.J Brown dikutip oleh Abdul Halim Barkatullah138 mendeskripsikan,suatu alasan mengapa produsen harus memberikan perlindungan kepada konsumen, adalah: . . . . . that due the technical development of consumer goods, the ordinary consumer cannot be expected to know it the goods are fit for the purpose for which they were bought, or if they are of good or bad quality. Dari definisi yang diberikan oleh W.J Brown dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya biasanya konsumen tidak mengetahui kualitas barang yang mereka beli apakah baik atau buruk yang sesuai dengan keinginan mereka. Secara umum, hubungan antara konsumen dan produsen (produsen sebagai penjual) dalam e-commerce, mempunyai kedudukan yang sama seperti dalam perdagangan conventional. Tetapi, dalam e – commerce, konsumen mempunyai posisi yang lemah daripada produsen , hal tersebut disebabkan karena: 137
A. Zen Purba, Perlindungan Konsumen: Sendi-Sendi Pokok Pengaturan”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Agustus 1992. 1992 Tahun XXII 138
Abdul Halim Barkatullah, Perlindungan commit toHukum user Bagi Konsumen Dalam Transaksi
E-commerce Lintas Negara di Indonesia, , FH UII Press, Yogyakarta. 2009, hlm. 67
perpustakaan.uns.ac.id
1.
126 digilib.uns.ac.id
Ada lebih banyak produk, persaingan merek dagang (brands competing) dalam e – commerce
2.
Banyaknya iklan yang menyesatkan yang memberikan informasi yang tidak benar kepada konsumen daripada memberikan informasi yang sesungguhnya (obyektif)
3.
Daya beli konsumen yang meningkat
4.
Pada dasarnya konsumen memiliki posisi yang lemah karena mereka tidak memperoleh informasi yang memadai
5.
Kurangnya instrumen hukum yang melindungi konsumen dari penipuan produsen. Posisi yang lemah yang dimiliki konsumen dalam transaksi e- commerce
dinyatakan oleh Narveth Reich139 . dia menyatakan : ... had to formulate the problems often faced by consumers, the business includes the attitude of fraudulent acts when done buying and selling contracts, such as the contract standard uncertainty, defective products, unsatisfactory services, false advertising, as well as after sales service issues. Dari definisi yang diberikan oleh Narveth Reich dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya untuk mengatasi posisi yang lemah pada konsumen e – commerce, konsumen harus pandai mengatasi sendiri masalah yang mereka hadapi, seperti mendeteksi lebih dini
tindakan curang
yang dilakukan pelaku usaha ketika konsumen melakukan pembelian dan menyetujui kontrak seperti adanya ketidakpastian kontrak standart, produk yang rusak/cacat, layanan yang tidak memuaskan, iklan yang menipu maupun tentang masalah layanan purna jual. Secara umum, ada 4 (empat) hak-hak dasar konsumen, yaitu : a) hak atas rasa aman (the right to safety); b) hak untuk diberitahu (the right to be informed); c) 139
Reich, Norbeth, Protection of Consumer Economic Interests by the EC, Law Review, Sidney, commit to user
1992, hlm. 24
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hak untu memilih (the right to be choose); and d) hak untuk didengar (the right to be heard). Pedoman Perlindungan konsumen dalam resolusi PBB No. 38 Tahun 1985, yang dikeluarkan oleh PBB menyatakan140 : Consumers everywhere, from every nation, has the basic rights of social. Mean the basic rights of those is, the right to be able to get clear information, true, honest, right to redress, right to basic human needs (home and food), the right to obtain a good environment and clean, UN appeals the entire members to enforce these countries respectively. Dari pernyataan tersebut dapat dijabarkan bahwa konsumen dimanapun berada , dari segala bangsa memiliki hak-hak dasar sosial, hak-hak dasar tersebut meliputi hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, jujur, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia berupa rumah dan makanan, hak untuk memperoleh lingkungan yang baik dan bersih, PBB menuntut semua
anggota-anggotanya
untuk
melaksanakan
hak-hak
tersebut
pada
negara-negara anggotanya masing-masing. Dalam undang-undang perlindungan konsumen (Undang-Undang No. 8 Tahun 1999) Pasal 4 dinyatakan konsumen mempunyai hak –hak untuk mendapat perlindungan, yaitu : a) hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; b) hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa; d) hak untuk mendapatkan
advokasi,
perlindungan
dan
upaya
penyelesaian
sengketa
perlindungan konsumen secara patut; e) hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; f) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; dan g) hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai 140
commit to user Reich, Norbeth. Op Cit, hlm 26
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan perjanjian / tidak sebagaimana mestinya. Dari hak- hak konsumen yang dilindungi oleh Undang – Undang No.8 Thn 1999 (Undang-Undang Perlindungan Konsumen) dalam Pasal 4 tersebut, secara garis besar konsumen harus mendapatkan perlindungan dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya, promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen, tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen, pendidikan konsumen, tersedianya ganti rugi yang efektif dan kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Menurut Hans W. Micklitz, ada 2 jenis kebijakan utama dalam memberikan perlindungan konsumen , antara lain :141 1.
Kebijakan Pelengkap, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang memadai/ akurat dan mempublikasikan informasi tersebut kepada konsumen (right to be informed);
2.
Kebijakan kompensasi, yaitu kebijakan yang meliputi perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (right of health, right of safety). Dari penjelasan diatas, dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pengaturan
tentang perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e – commerce dilakukan dengan : 1.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, menjamin kepastian hukum, dan sanksi yang tegas yang mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk segera dijalankan apabila terbukti
adanya
kejahatan/pelanggaran
yang
dilakukan
pelaku
usaha/produsen;
141
Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik Bayang-bayang, Pustaka Putra, Bandung, commitDalam to user
2008, hlm. 56
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Melindungi kepentingan konsumen khususnya dan kepentingan para pelaku usaha umumnya;
3.
Meningkatkan kualitas barang dan jasa;
4.
Memberikan perlindungan hukum kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan.
commit to user
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Kerangka Berpikir Gambar 1 Kerangka Berpikir Era Globalisasi
Perubahan Prilaku dalam interaksi masyarakat
PENYIMPANGAN TINDAK PIDANA Kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce Itikad tidak baik / tidak jujur Pelaku (Pelaku usaha) merugikan korban (konsumen) Belum diakomodir dalam UU ITE & UUPK
SPP (Sistem Peradilan Pidana) Keadilan Retributif (ius constitutum)
Penyelesai an Perkara
Perlindungan Konsumen
Masyarakat Informasi (information society)
Bisnis transaksi e-commerce
Pemanfaatan teknologi internet dalam aktivitas keseharian
Mediasi Penal dalam Perkara Pidana Keadilan restoratif (ius constituendum)
Rumusan masalah
Kesepakatan antara Pelaku (Pelaku usaha) dan Korban (konsumen)
Output (Produk hasil) 1. Elemen-elemen yang direkonstruksi dalam penanganan perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce dengan MP, meliputi: peraturan-peraturan yang mengaturnya, kelembagaan yang menangani konflik dan budaya hukum yang mempengaruhi kinerja penegak hukum, masyarakat, pelaku usaha dan para ahli TI 2. Model rekonstruksi MP penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce pada SPP 3. Formulasi regulasi hukum materiil dan hukum formiil sebagai kesatuan yang melekat dalam pelaksanaan rekonstruksi MP
commit to user
penyelesaian perkara pidan kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce guna melindungi konsumen Globalisasi melahirkan ekonomi pasar bebas yang menum
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
Globalisasi melahirkan ekonomi pasar bebas yang menumbuhkan perkembangan kehidupan perekonomian berdasarkan sistem kapitalis dengan liberalisasi ekonomi. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa perubahan paradigma dari paradigma ekonomi berbasis manufaktur menjadi paradigma ekonomi berbasis data, yang membuat terjadinya perubahan prilaku dalam interaksi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (internet) dalam aktivitas keseharian oleh masyarakat informasi (information society). Teknologi informasi melalui internet dalam e- commerce telah mengubah begitu banyak sistem dan mekanisme menjadi serba cepat, murah, dan tanpa batas, ini semua terjadi karena peran masyarakat informasi dalam pemanfaatan teknologi internet dalam aktivitas keseharian sangat besar terutama dalam perdagangan online bisnis e – commerce. Dalam bisnis e – commerce terjadi perdagangan secara elektronik yang semakin hari makin marak. Transaksi dalam perdagangan elektronik (e - commerce) selain memberi peluang dan berbagai kemudahan di satu sisi, ternyata memberikan dampak negatif di sisi lain. Dampak negatif yang terjadi antara lain berupa kemungkinan-kemungkinan kerugian yang dialami oleh konsumen yang melakukan transaksi sebagai korban kejahatan dalam transaksi e – commerce oleh pelaku usaha sebagai pelaku kejahatan dalam transaksi e – commerce. Kerugian yang diakibatkan oleh prilaku penjual karena tindakan melawan hukum seperti penyimpangan kontrak baku dan ketentuan jual beli online yang memang secara tidak bertanggung jawab merugikan konsumen secara garis besar masuk dalam ranah hukum perdata. Tetapi disatu sisi terdapat penyimpangan yang masuk dalam ranah tindak pidana seperti kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e - commerce yang dilakukan oleh pelaku usaha/ penjual sebagai pelaku kejahatan yang membawa kerugian bagi konsumen sebagai korban commit kejahatan, to user hal ini sangat mungkin terjadi
perpustakaan.uns.ac.id
132 digilib.uns.ac.id
jika konsumen tidak secara cermat meneliti terlebih dahulu web site yang digunakan sebagai tempat belanjanya apakah web site yang menawarkan barang-barang / jasa tersebut benar-benar bonafid/ terpercaya dan apakah ada jaminan bahwa jika transaksi dilakukan konsumen sebagai pembeli benar-benar aman dalam penerimaan barang-barang atau jasa yang ditawarkan penjual dalam transaksi e – commerce tersebut. Kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce masuk dalam kategori Pasal 28 Jo 45 ayat (2) yaitu tindak pidana sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah. Dari bunyi pasal tersebut, Ini merupakan tindak pidana khusus dibidang ekonomi dengan pengaturan yang khusus yang dinaungi 2 (dua) payung hukum yaitu undang-undang informasi dan transaksi elektronik (Undang-Undang No. 11 Tahun 2008) dan undang-undang perlindungan konsumen (Undang-Undang No. 8 Tahun 1999), sehingga mungkin saja terjadi ketentuan yang tidak umum, yang menurut hukum subtantifnya berarti menyimpang dari asas umum hukum pidana dalam KUHP. Perihal sanksi alternatif terhadap tindak pidana ITE dan perlindungan konsumen telah ada selain seperti yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP, dikenal adanya sanksi pidana tambahan yang aneka macam, dan disertai pula berbagai sanksi administratif, sebagaimana diatur dalam kedua payung hukum tersebut. Secara umum, cara penyelesaian tindak pidana melalui tahapan sistem peradilan pidana mulai dari tingkatan penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan,
persidangan di Pengadilan tingkat I dan pelaksanaan eksekusi
hukuman di lembaga pemasyarakatan, tetapi untuk tindak pidana khusus dibidang ekonomi seperti kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce dibutuhkan model penyelesaian perkara di user luar peradilan sebagai alternatif atas commit to
perpustakaan.uns.ac.id
133 digilib.uns.ac.id
dasar pertimbangan kompleksitas masalah dan pada saat yang sama untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia usaha perdagangan online sebagaimana dalam ranah perdata untuk transaksi e- commerce berkenaan dengan hubungan kontraktual dalam kontrak baku dan ketentuan jual beli
atau masalah
persengketaan keperdataan telah ada dan diatur lebih dahulu mengenai alternatif dispute resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam kedua payung hukum tersebut. Penulis berupaya menyajikan rekonstruksi mediasi penal terhadap perkara pidana kejahatan e- commerce fraud dalam transaksi e-commerce sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam ranah pidana dengan alasan – alasan sebagaimana Barda Nawawi Arief nyatakan bahwa: (1) memperluas ketentuan pasal 82 KUHP (mengenai afkoop atau pembayaran denda damai sebagai alasan penghapusan penuntutan (clearing of prosecution) untuk delik pelanggaran pada semua tindak pidana; (2) tidak meneruskan ke pengadilan dengan mengadakan ketentuan penundaan penuntutan (suspension of prosecution), atau penghentian/ penundaan bersyarat (condition dismissal / discontinuence of the proceedings) meski sudah terdapat cukup bukti; (3) tren global sebagaimana dikehendaki kongress PBB IX tahun 1995 agar Alternatif Penyelesaian sengketa (APS) diterapkan pada Sistem Peradilan Pidana (SPP) yakni ditujukan pada perkara-perkara yang mengandung unsur penipuan / kecurangan dan melibatkan WCC (White Collar Crime) atau juga yang pelakunya korporasi / badan hukum142. Demikian juga, Andi Hamzah mengemukakan ketika membahas undang – undang Tindak Pidana Ekonomi adanya penyelesaian diluar acara pengadilan sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), dengan membayar denda damai (yakni pembayaran sejumlah uang kepada negara) yang disepakati antara kejaksaan dan
142
Barda Nawawi Arief. Kapita Selektacommit Hukum Pidana. to userBandung: Citra Aditya Bakti. 2013, hlm.
61-62
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersangka, sebagai landasan hukumnya asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung143. Rekonstruksi mediasi penal terhadap penyelesaian kejahatan e-commerce fraud terhadap transaksi e- commerce dapat diwujudkan dengan membangun sinergi perdamaian melalui kesepakatan antar pelaku (Pedagang/pelaku usaha) dan korban (konsumen) guna melindungi kepentingan konsumen, membangun sinkronisasi penerapan asas legalitas dalam hukum pidana indonesia dengan mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana untuk diterapkan pada sistem peradilan pidana (SPP) menurut undang-undang informasi dan transaksi elektronik (Undang – Undang No. 11 Tahun 2008) dan undang-undang perlindungan konsumen (Undang – Undang No. 8 Tahun 1999), membentuk kembali model alternatif e-commerce fraud
penyelesaian perkara pidana terhadap kejahatan
dalam transaksi e – commerce sebagaimana telah dikenal
lebih dahulu dalam sengketa keperdataan dalam transaksi e- commerce. Rekonstruksi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud
dalam transaksi e – commerce mendeskripsikan
sebagai bentuk informal mediation process
dengan memasukkan ide restoratif
justice yang diintegrasikan mampu diselaraskan dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana yang terstuktur sebagai penyelesaian perkara yang dapat dilakukan pada tiap tahapan Sisstem Peradilan Pidana, tahapannya akan terhenti apabila sudah mencapai kesepakatan dari para pihak yang dapat dilakukan baik didalam maupun diluar proses pengadilan sesuai pilihan para pihak yang difasilitasi pelaksanaannya oleh personil peradilan pidana (criminal justice personel) pada sistem peradilan pidana (SPP) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan Jaksa Penuntut umum dengan mengundang para pihak antara korban (konsumen) dan pelaku (pelaku usaha / penjual). Untuk melakukan penyelesaian 143
commit to user Andi Hamzah. Hukum Pidana Ekonomi. Jakarta: Airlangga. 1977, hlm. 59
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
informal mediation process dengan tujuan, tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak dengan konsekwensi pelaku harus memberikan kompensasi atau perbaikan yang harus dibayarkan kepada korban sesuai permintaan korban oleh pelaku kejahatan e-commerce fraud
dalam
transaksi e-commerce; penyelesaian informal yang tersturktur ini dapat pula dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer) yaitu pejabat di tingkat penyidikan putusan hakim dan
sampai dengan pejabat di tingkat pelaksannaan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai
lembaga jaminan dan mediator pemerintah dan lembaga sosial independent atau pekerja sosial independent yang terpercaya dimasyarakat sebagai organisasi jaminan dan mediator swasta untuk mewujudkan tercapainya kesepakatan. Pelaksanaan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce dapat dilakukan apabila setelah adanya laporan / pengaduan dari korban kemudian diproses dengan ditemukan cukup bukti sesuai syarat formal yang harus terpenuhi mencakup pula adanya tersangka yang beritikad baik mengakui perbuatannya maka dapat ditempuh jalan kesepakatan dading, ganti rugi sepenuhnya bergantung kepada pelapor sebagai korban kejahatan. Polisi dapat mendamaikan setelah ada kesepakatan para pihak mengenai ganti rugi / kompensasi yang harus dibayarkan, sehingga didasarkan pada kesepakatan tersebut tidak dilakukanlah penuntutan sampai kejaksaan karena adanya deponering (kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk tidak melakukan penuntutan didasarkan pada kepentingan hukum para pihak) dengan bukti acuan laporan kemajuan perkara dari kepolisian tentang adanya perdamaian dari para pihak dan surat penghentian penyidikan dari Ketua Pengadilan Negeri, sehingga penekanan penyelesaian masalahnya adalah kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu commit to user untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan / persoalan berikutnya.