PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM RINGKASAN DISERTASI
Disusun Guna Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum
Oleh: ACHMAD IRWAN HAMZANI NIM 1101011500001
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015
TIM PEMBIMBING DISERTASI
Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum Promotor
Dr. Rohidin, M.Ag Co Promotor
ii
SUSUNAN MAJELIS PENGUJI PADA SIDANG UJIAN PROMOSI DOKTOR
Ketua
: Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH, MH, CN.
Sekretaris : Prof. Dr. Rahayu, SH, M.Hum
Anggota
:
1. Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum (Promotor) 2. Dr. Rohidin, M.Ag (Co Promotor) 3. Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA (Penguji Eksternal) 4. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH (Penguji) 5. Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH (Penguji) 6. Dr. R.B. Sularto, SH, M.Hum (Penguji) 7. Dr. Pujiyono, SH, M.Hum (Penguji)
iii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur ke hadiran Allah Swt. penulis panjatkan, shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Atas pertolongan Yang Maha Menolong-lah penulisan disertasi ini dapat selesai dengan berbagai kesulitan dan rintangan tentunya. Pemilihan tema disertasi ini terdorong untuk ikut memberikan sumbangan konsep profil hukum pidana nasional ke depan dengan mengkontribusikan hukum pidana Islam. Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana Islam seperti qişâşdiyat secara filosofis lebih menjanjikan dapat memberikan manfaat dan kepastian keadilan sebagaimana tujuan utama dalam hukum pidana. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah penguasa, korban tidak dilibatkan. Akibat korban tidak dillibatkan, dalam pelaksanaan pidana banyak menimbulkan masalah bagi korban, misalnya korban merasa tidak mendapat perlindungan dari Negara dan tidak puas karena kerugian yang diderita korban tidak tergantikan. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain/penganiayaan, proses hukum tanpa melibatkan korban atau keluarganya tentu tidak akan memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya.
iv
Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan keadilan menurut korban. Model pemidanaan demikian perlu untuk dikaji kembali. Sebab untuk tindak pidana terhadap nyawa, keadilan tidak dapat terwujud tanpa memperhatikan korban atau keluarganya, dan harmoni dalam masyarakat tidak dapat dikembalikan. Penyelesaian perkara pidana yang lebih adil adalah dengan cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana tersebut. Model seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh) dan mirip dengan pendekatan restorative justice yang saat ini menjadi wacana global untuk diterapkan dalam menyelesaikan perkara pidana. Penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena ini, dengan kerendahan dan ketulusan hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Direktur
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
memberikan Beasiswa BPPS kepada penulis.
v
yang
telah
2.
Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI yang telah memberikan hibah/ beasiswa disertasi kepada penulis.
3.
Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah memberikan
rekomendasi
kepada
penulis
untuk
mendapatkan Beasiswa BPPS. 4.
Rektor
Universitas
Diponegoro,
Direktur
Program
Pascasarjana Universitas Dipoengoro, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. 5.
Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Fx. Adji Samekto, SH, M.Hum, dan segenap
pengelola
yang
yang
telah
memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi dan memberikan layanan akademik dan administrasi dengan baik. 6.
Tim pembimbing disertasi; Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum, selaku Promotor,
dan Dr. Rohidin, M.Ag, selaku Co
Promotor yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, masukan dan koreksi dalam penulisan disertasi ini.
vi
7.
Tim Penguji Disertasi; Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH, MH, CN., Prof. Dr. Rahayu, SH, M.Hum, Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH, Dr. R.B. Sularto, SH, M.Hum, Dr. Pujiyono, SH, M.Hum, yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk penyempurnaan disertasi ini.
8.
Semua dosen di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
yang
telah
memberikan
ilmunya
dan
pencerahan kepada penulis. 9.
Rektor Universitas Pancasakti, Prof. Dr. Wahyono, SH, M.Hum, dan mantan Rektor, Prof. Dr. Tri Jaka Kartana, M.Si, yang telah memberikan tugas belajar kepada penulis.
10. Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti, Nuridin, SH, MH, dan mantan Dekan, Dr. Hamidah Abdurrachman, SH, M.Hum, dan Mukhidin, SH, MH, yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis. 11. Para imforman yang tidak dapat disebutkan satu persatu 12. Semua pihak yang ikut membantu khususnya Dr. Ahwan Fanani, M.Ag, selaku praktisi mediasi, yang berkenan meluangkan waktunya untuk berdiskusi terkait dengan tema restorative justice dan pemaafan dalam hukum pidana Islam juga meminjamkan kitab-kitab “langka” untuk dicopi
vii
sebagai bahan penulisan disertasi, M. Abdul Kholiq, SH, MH, yang telah berkenan meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan masukan pada penulis, dan juga rekan-rekan yang telah membantu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam disertasi ini. 13. Keluarga; isteri penulis, Nur Khasanah, dan putra-putri; Haidar M. Nijad, Nabila A. Manahil, yang selalu menjadi penyemangat, dan juga kedua orang tua dan mertua yang selalu memberikan dorongan doa pada penulis. Semoga bantuan yang diberikan dapat menjadi amal shaleh danmendapatkan balasan yang berlipat dari Allah Swt., dengan
iringan
doa
jazakumullah
ahsanal
jaza
wa
jazakumullah khairan katsira. Penulis menyadari, disertasi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan dan saran untuk perbaikan disertasi ini menjadi karya yang lebih baik lagi. Namun demikian, penulis juga berharap agar disertasi ini dapat memberi manfaat.
Semarang, Juli 2015 Penulis,
Achmad Irwan Hamzani
viii
DAFTAR ISI Hal Halaman Judul
.............................................................
i
Halaman Tim Pembimbing ................................................
ii
Halaman Majelis Penguji ...................................................
iii
Halaman Kata Pengantar dan Ucapan Terima Kasih .........
iv
Halaman Daftar Isi .............................................................
ix
A. Latar Belakang .............................................................
1
B. Permasalahan
.............................................................
3
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian .................................
4
D. Proses Penelitian ..........................................................
5
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan .................................
7
1. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional ...............................................................
7
2. Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam terhadap Pembangunan Hukum Pidana Nasional .................................................... 16 3. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional Berbasis Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam ..................................................................... 32
ix
F. Penutup ........................................................................ 49 1. Simpulan ............................................................... 49 2. Saran ..................................................................... 51 3. Implikasi Studi ...................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS
x
A. Latar Belakang Sejak merdeka, bangsa Indonesia mempunyai keinginan untuk memiliki produk hukum pidana sendiri mengganti hukum peninggalan Belanda. Berbagai kegiatan ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna merumuskan dilakukan
pembentukan
baik
oleh
hukum
pemerintah
nasional maupun
sering lembaga
pendidikan tinggi. Para pakar hukum pun banyak yang telah mengusulkan tentang profil hukum pidana nasional ke depan. Pemerintah Indonesia juga telah berupaya membuat hukum pidana nasional produk sendiri dengan menyusun Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang hingga sekarang belum final dan terus dilakukan perbaikan. Pembangunan sistem hukum tidak bisa lepas dari politik hukum. Arah politik hukum
di
Indonesia
dalam
pembangunan
hukum
cakupannya menyederhanakan pada daftar rencana materi hukum yang akan dibuat. Rencana pembangunan materi hukum termuat di dalam Program Legislasi Nasional yang disusun
oleh
Dewan
Perwakilan
Pemerintah.
1
Rakyat
bersama
Hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum Islam penting untuk diperhitungkan sebagai sumber pembangunan hukum pidana nasional. Secara faktual hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat Indonesia sejak masuknya Islam ke Nusantara. Hukum pidana Islam dapat diserap sebagai sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana nasional meskipun tidak semuanya. Untuk ketentuan tindak pidana pembunuhan dan pelukaan atau penganiayaan dapat diserap delik maupun sanksinya. Sanksi ganti kerugian (diyat) yang di dalamnya ada proses perdamaian lebih sesuai kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia dikenal pemaaf, mengedepankan kekeluargaan dan musyarawarah dalam menyelesaikan sengketa. Banyak kasus hukum khususnya yang dalam KUHP disebut sebagai kelalaian sehingga menyebabkan nyawa orang lain hilang, dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan mengganti kerugian. Penyelesaian tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain dengan cara perdamaian mirip dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum pidana Islam sedikit banyak telah membentuk kesadaran hukum masyarakat.
2
Sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia saat ini hanya berorientasi pada pelaku, sehingga jika diterapkan untuk tindak pidana terhadap nyawa orang lain, tidak
memberikan
keadilan
kepada
korban
atau
keluarganya. Seiring berkembangnya wacana global tentang perlunya pendekatan restorative justice, maka pendekatan tersebut perlu diatur dalam RUU KUHP. Pendekatan restorative justice memberikan perhatian dan perlindungan terhadap korban atau keluarganya. Pelaku tindak pidana dapat bertanggung jawab atas perbuatannya dan
mengganti
kerugian,
korban
atau
keluarganya
memaafkan serta menerima ganti kerugian, dan hubungan ke dapan dapat dipulihkan. Hal ini juga ada kemiripan dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Pidana qişâş (setimpal) dan diyat (ganti rugi) menjadi hak korban atau ahli warisnya, sehingga dapat memberikan amnesti (pemaafan) kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah pidana qişâş, diganti dengan diyat (ganti rugi), bahkan tanpa diyat sama sekali. Ketentuan qişâş-diyat berorientasi pada perhatian dan perlindungan pada korban, dan penyelesaiannya melalui perdamaian (şulh).
3
B. Permasalahan Permasalahan dalam disertasi ini adalah: 1.
Bagaimanakah posisi hukum pidana Islam dalam pembangunan hukum pidana nasional?
2.
Bagaimanakah
kontribusi
ketentuan
qişâş-diyat
terhadap pembangunan hukum pidana nasional? 3.
Bagaimanakan
konstruksi
pendekatan
restorative
justice dalam pembangunan hukum pidana nasional berbasis ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam? Tiga
permasalahan
tersebut
memiliki
lingkup
pembahasan dan analisis yang saling terkait secara hirarkhis.
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mendeskripkan posisi hukum pidana Islam dalam pembangunan hukum pidana nasional.
2.
Untuk mendeskripsikan kontribusi ketentuan qişâşdiyat
dalam
hukum
pidana
Islam
pembangunan hukum pidana nasional.
4
terhadap
3.
Untuk
mendeskripsikan
konstruksi
pendekatan
restorative justice dalam pembangunan hukum pidana nasional berbasis ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Penelitian ini signifikan dan dapat memberikan kontribusi secara praktis dan teoritis. 1. Kontribusi praktis a. Memberikan
dorongan
kepada
pemerintah,
legislatif, pakar hukum, pakar hukum Islam, akademisi fakultas hukum dan fakultas syari‟ah tentang
pentingnya
mempercepat
realisasi
pembentukan hukum pidana nasional. b. Memberikan masukan kepada pemerintah khususnya tim perumus RUU KUHP tentang perlunya pendekatan restorative justice berbasis ketentuan qişâş-diyat dirumuskan dalam hukum pidana nasional ke depan. 2. Kontribusi teoritis a. Dapat
memberikan
sumbangan
teori
bagi
tersusunnya hukum pidana nasional yang memuat nilai-nilai yang dianut masyarakat khususnya nilainilai agama yang telah menjadi living law.
5
b. Dapat menambah khasanah keilmuan di bidang ilmu hukum dan hukum Islam.
D. Proses Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia1.
Paradigma
yang
digunakan
adalah
konstruktivisme yang operasionalnya menggunakan cara pandang relativisme dan realitas dilihat sebagai konstruksi sosial2. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis sehingga penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian hukum sosiologis3. Spesifikasinya termasuk deskriptifanalitis yaitu untuk membuat pencandraan tentang siatuasi atau kejadian4 yang disajikan secara naratif. Data dalam penelitian dikelompokkan sebagai data primer (yang diperoleh dari pengamatan dan wawancara) dan sekunder 1
Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 4. 2
Norman K. Denzim dan Yvonna S. Lincoln, Hanbook of Qualitative Research, Terjemaha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 134-135. 3
Zamroni, Pengembangan Pengantar Teori Sosial, Yogyakarta: Tiara Yoga, 1992, hlm. 80-81. 4
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid II, Yogyakarta: Andi Offset, 1995, hlm. 10.
6
(yang diperoleh melalui penelaahan bahan-bahan pustaka). Metode
analisis5
yang
digunakan
interpretasi-konseptualisasi penyusunan,
yaitu
pengkategorian
adalah
dengan
dalam
induksi-
melakukan
tema,
validasi,
rekonstruksi dan analisis secara induktif kualitatif.
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional Pembangunan
secara
sederhana
mengandung
pengertian upaya melakukan perbaikan dari kondisi yang kurang baik menuju ke arah yang lebih baik. Menurut pengertian
ini
pembangunan
semakna
dengan
6
pembaharuan (reform) . Sedangkan hukum pidana nasional merupakan bagian sistem hukum nasional yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan
5
Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992, hlm. 22. 6
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 28-29.
7
hukuman berupa siksa badan7. Hukum pidana nasional adalah hukum yang didasarkan pada landasan ideologi dan konstitusi negara, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945)8 yang berlaku secara nasional. Pembangunan hukum pidana merupakan suatu proses memperbarui hukum positif yang saat ini berlaku. Prosesnya hingga saat ini masih berlangsung yang dikemas melalui legislasi. Memiliki hukum pidana produk sendiri bagi bangsa Indonesia merupakan upaya menampakkan jati diri bangsa sesuai
dengan
harapan
dan
cita-cita
kemerdekaan.
Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila. Hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan tujuan politik hukum di Indonesia9. Teori prasarat fungsional (imperatif-fungsional) Talcott Parsons dan pengembangannya oleh pemikir lain dapat menjelaskan tentang urgensi pembangunan hukum 7
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1999, hlm. 2. 8
M. Sularno, “Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia”, dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVI, 2006, hlm. 215. 9
Qodri Abdillah Azizy, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta: Renaisan, 2004, hlm. 20-21.
8
serta
tujuannya
Indonesia.
yaitu
Parsons
melindungi
merumuskan
segenap
bahwa
bangsa
masyarakat
mencakup sebuah sistem yang luas dan elemen-elemennya mengisi empat fungsi dasarnya yaitu adaptasi (Adaptation), melanjutkan tujuan (Goal), integrasi (Integration) dan memelihara norma-norma (Laten Pattern Maintenance) atau pendekatan AGIL. AGIL yang dikembangkan Parsons merupakan nomoteknis dalam mempertimbangkan fungsifungsi sistem sosial. Masing-masing fungsi ini terkait dengan sebuah sub sistem. Sub sistem ekonomi bertujuan untuk melakukan adaptasi; sub sistem politik bertanggung jawab memberi definisi tujuan akhir; sub sistem kultural (agama dan sekolah) bertugas untuk mendefinisikan dan memelihara norma-norma dan nilai; sub sistem sosial (termasuk hukum) bertugas sebagai integrasi sosial10. Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu subsistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the game). Harry C. Bredemeier mengembangkan teori yang dirumuskan Parsons tersebut. Hukum menurut Bredemeier 10
Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, Homewood Illinois: The Dorsey Press, 1975, hlm. 38-39.
9
dapat digunakan sebagai pengintegrasi sosial di dalam masyarakat. Keserasian antara warga masyarakat dengan norma yang mengaturnya menciptakan suatu keserasian dalam hubungan di dalam masyarakat yang bersangkutan11. Menjadi hal yang tidak logis apabila hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang tidak sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai yang yang dianut bangsa Indonesia. KUHP yang merupakan peninggalan Belanda banyak yang tidak sesuai dengan nilai dan budaya yang dianut bangsa Indonesia. Apabila hal ini terus dipaksakan berarti terjadi ketidakserasian dalam hubungan bermasyarakat. Diperlukan hukum baru yang sesuai dengan nilai yang dianut bangsa Indonesia yang dapat disebut
hukum
Pancasila
yang
di
dalamnya
mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari agama. Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa Indonesia perlu diimplementasikan khususnya postulat moral kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam setiap usaha pembangunan perundang-undangan nasional. Demikian halnya dalam pembangunan hukum pidana nasional yang mendasarkan
pada
filsafat
11
Pancasila,
dalam
Bernard T. Tanya, dkk., Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 152-153.
10
pengejawantahannya harus dijiwai nilai-nilai Pancasila termasuk keseimbangan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dapat digali dari hukum-hukum agama. Perlu dilakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum agama yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hukum-hukum dari agama dapat dijadikan sumber dalam pembangunan hukum pidana nasional. Hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam, dan sebagai salah satu dari tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, di samping hukum adat dan hukum Barat, mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam pembangunan hukum pidana nasional. Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, hukum Islam selalu memperteguh eksistensinya sebagai hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional mempunyai dua fungsi; 1) Sebagai hukum positif yang berlaku hanya bagi pemeluk Islam saja. 2) Sebagai ekspresi nilai-nilai yang akan berlaku bagi semua warga negara12.
12
Muhammad Julijanto, “Implementasi Hukum Islam di Indonesia; Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme”, dalam Makalah “Conference Procedings Annual International Conference on Islamic Studies”, Mataram, September 2013, hlm. 78.
11
Dari sisi pelaksanaannya, hukum Islam dapat digolongkan tiga macam; 1) Dapat dilaksanakan oleh individu secara langsung tanpa bantuan Negara, seperti hukum-hukum
di
bidang
peribadatan
ritual.
2)
Pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara dalam kerangka administratif atau pelayanan, seperti hukum keluarga. 3) Tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak ada campur tangan negara, seperti hukum pidana13. Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam
yang
membahas
tentang
perbuatan-perbuatan
manusia yang tidak boleh dilakukan (terlarang) dan yang harus
dilakukan,
ancaman
pertanggungjawabannya.
pidananya,
dan
Perbuatan-perbuatan
yang
termasuk tindak pidana menurut hukum pidana Islam dapat berbeda penggolongan dan cara peninjauannya. Dilihat dari segi berat-ringannya ancaman pidana, tindak pidana dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang diancam pidana had (jarimah hudud), tindak pidana yang diancam pidana qişâş-diyat (jarimah qişâş-diyat) dan tindak pidana yang diancam pidana ta‟zir (jarimah ta‟zir). 13
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM. Books, 2007, hlm. 14.
12
Ditinjau berdasarkan karakter khusus tindak pidana, dapat dibagi menjadi tindak pidana masyarakat (jaraim aljama‟ah), tindak pidana perseorangan (jaraim al-afrad), tindak pidana biasa (jaraim „adiyah) dan tindak pidana politik (jaraim siyasah)14. Hukum pidana Islam pernah diterapkan secara formal di Nusantara pada zaman kerajaan-kerajaan Islam, hingga akhirnya dianulir oleh penjajah Belanda. Sepanjang abad ke-19 di kalangan ahli hukum Hindia Belanda berkembang pendapat bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam seperti dikemukakan oleh Salomon Keyzer (18231868) dan dikuatkan oleh Lodewijk Williem Christian van den Berg (1845-1927). Menurut Berg, hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika telah memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya15. Orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhan bidangnya sebagai satu kesatuan atau receptio in complexu. 14
Abd al-Qâdir Audah, al-Tasyrî‟i al-Jinâ‟î al-Islâmî; Muqâranân bi alQânun al-Wadh‟î, Jilid I, Beirut: Muasasah al-Risâlah Litibâah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟î, 1992, hlm. 79-99. 15
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-11, 2004, hlm. 242.
13
Hukum
pidana
Islam
sangat
diperhitungkan
dalam
pembangunan
penting hukum
untuk pidana
nasional sebagai sumber. Karena hukum pidana di Indonesia menganut unifikasi, yakni hanya satu hukum, maka hukum pidana Islam posisinya sebagai sumber materiil atau bahan yang disandingkan dengan sumber atau bahan lain. Berbeda dengan hukum perdata khususnya hukum keluarga yang menganut pluralisme hukum, hukum Islam di bidang perdata dapat menjadi sumber formil. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang belum memiliki bentuk tertentu atau masih berupa bahan sehingga belum bisa diterapkan. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang telah memiliki bentuk tertentu sehingga bisa langsung diterapkan16. Sebagai sumber materiil, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum pidana Islam dapat diserap meskipun tidak semuanya, dapat deliknya, pidananya, atau untuk bagian
tertentu
keduanya.
Untuk
tindak
pidana
menghilangkan nyawa, dapat diserap deliknya maupun pidananya. Pidana ganti rugi (diyat) untuk tindak pidana terhadap
nyawa
dan
penganiayaan,
16
lebih
diterima
Moh. Mahfud MD., “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari‟ah”, dalam Jurnal Hukum, No. 1 Vol. 14, Januari 2007, hlm. 15.
14
masyarakat Indonesia dibanding pidana penjara. Secara metodologis hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, merupakan corak hukum Islam yang menekankan pada aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ada sebuah kaidah dalam uşl fiqh; ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya)17. Apabila hukum pidana Islam tidak dapat menjadi sumber formil, maka menjadi sumber materiil merupakan posisi yang dapat diterima. Namun demikian, posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, akan menemui problem internal maupun eksternal. Problem internalnya adalah apabila posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil bersamaan dengan sumber-sumber lain, hukum pidana tersebut bukan lagi sebagai hukum pidana Islam. Posisi ini tentu akan
sulit
diterima oleh umat
Islam
yang
menghendaki hukum pidana Islam sebagai sumber formiil dan diterapkan secara total. Tidak ada keterikatan teologis bagi orang untuk tunduk terhadap hukum tersebut. Sedangkan problem eksternalnya adalah memungkinkan
17
Muhammad Khayr Haykal, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah alSyar‟iyyah, Juz I, Beirut: Dâr al-Bayariq, Cet. II, 1996, hlm. 735.
15
adanya anggapan akan menjadikan hukum pidana Islam sebagai hukum positif, dan masalah pergumulan antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat dalam wacana akademik di kalangan pakar hukum, maupun dalam pergumulan sejarah eksistensinya. Tidak sedikit pandangan pakar hukum yang tidak mengetahui eksistensi hukum pidana Islam, dan ada pula yang memandangnya sebagai subsistem dari hukum adat sehingga harus disesuaikan dengan hukum adat. 2. Kontribusi Ketentuan
Qişâş-Diyat dalam Hukum
Pidana Islam terhadap Pembangunan Hukum Pidana Nasional Tindak pidana (jarimah) qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam merupakan tindak pidana yang diancam pidana qişâş (setimpal) dan diyat (ganti rugi), untuk tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan (pelukaan). Penentuan pidananya menjadi hak korban atau ahli warisnya. Korban atau ahli warisnya dapat membatalkan pidana tersebut dengan memberikan amnesti (pemaafan) kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah pidana qişâş, diganti dengan diyat (ganti rugi), bahkan tanpa diyat sama sekali. Apabila pemaafan tersebut tanpa diyat, pemerintah
16
masih berhak menjatuhkan pidana ta‟zir kepada pelaku. Tindak pidana qişâş-diyat bersifat perseorangan dan lebih banyak menyentuh kehidupan serta fisik korban daripada menyentuh kehidupan masyarakat, sehingga penentuan pidananya menjadi hak korban18. Untuk mempermudah penjelasan tentang pidana qişâş-diyat dan jenis pidananya dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1 Tindak Pidana Qişâş-Diyat dan Sanksi Pidananya
Tindak Pidana Pembunuhan Sengaja
No 1
2
3
4
5
18
Pokok Qişâş
Pembunuhan Menyerupai Sengaja Pembunuhan karena Kesalahan Pelukaan Sengaja
Diyat Kifarat
Pelukaan karena Kesalahan
Diyat
Diyat Kifarat Qişâş
Sanksi Pidana Pengganti Tambahan Diyat Pencabutan hak Ta‟zir waris dan wasiat (Tanpa Diyat) Ta‟zir Pencabutan hak (Tanpa waris dan wasiat Diyat) Pencabutan hak waris dan wasiat Diyat Ta‟zir (Tanpa Diyat) -
Audah, Jilid I, op.cit., hlm. 613.
17
Hak Pidana Ahli Waris Korban
Ahli Waris Korban Ahli Waris Korban
-
Korban
-
Korban
Proses penentuan pidana qişâş-diyat melibatkan pelaku, pihak ketiga dan korban atau ahli warisnya melalui proses şulh (perdamaian). Dari perdamaian akan diketahui sikap korban atau keluarganya atas sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku, apakah qişâş ataukah dimaafkan. Penegak
hukum
hanyalah
sebagai
legitimator
dan
pelaksana saja dari sanksi yang telah ditentukan melalui proses perdamaian. Pidana qişâş-diyat mengandung unsur perlindungan hukum terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Pelaku tindak pidana akan dikenai pidana mati, tetapi disepakati terlebih dahulu oleh keluarga korban. Apabila pelaku dimaafkan oleh keluarga korban, pelaku bebas dari qişâş, sebagai gantinya harus membayar diyat (ganti rugi), yang diberikan pada keluarga korban. Diyat yang harus dibayarkan pelaku sejumlah 100 ekor unta. Apabila sekarang harga unta tiap ekornya Rp 15.000.000,00 denda yang harus dibayarkan Rp 1.500.000.000,00. Seandainya yang dibunuh meninggalkan seorang istri dan empat anak, maka dengan uang Rp 1.500.000.000,00 akan dapat membiayai kehidupan keluarga korban termasuk biaya pendidikan anak-anaknya. Dapat dibandingkan jika dalam kasus tersebut digunakan KUHP, pelaku dipidana 15 atau
18
20 tahun penjara. Tentu saja keluarga korban akan kecewa karena tidak pernah diajak bicara. Bahkan yang lebih sengsara lagi, dia kehilangan hak nafkahnya. Secara psikologis, dendam keluarga korban juga tidak akan hilang dengan penjara 15 tahun. Penjatuhan pidana qişâş-diyat lebih manusiawi dan lebih adil. Esensi dari pidana qişâş ialah memberi hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada yang merugikannya dengan kadar yang seimbang (setara). Esensi diyat adalah sebagai social security (perlindungan social) bagi keluarga korban. Sedangkan esensi melalui perdamaian (şulh) adalah untuk menghilangkan dendam dan potensi korban selanjutnya. Ketentuan qişâş-diyat sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat yang lebih mengedepankan
musyawarah
mufakat
dalam
menyelesaikan perkara. Setiap tindak pidana dapat menyentuh eksistensi masyarakat, namun terkadang tidak sampai mengancam sistem dasarnya secara langsung. Tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan/pelukaan tidak mempengaruhi keamanan dan ketentraman masyarakat meskipun sangat berbahaya bagi keselamatan perseorangan. Setiap orang tidak takut terhadap pembunuhan atau pelukaan orang lain
19
karena mengetahui bahwa pembunuhan atau pelukaan hanya didorong oleh motif perseorangan seperti dendam pribadi. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yang terbaru konsep 2014/2015 terdiri atas 2 ( dua) Buku, yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum, terbagi dalam VI Bab terdiri atas 219 Pasal, dan Buku II tentang Tindak Pidana, terbagi dalam XXXIX Bab terdiri atas 786 Pasal. Beberapa pasal dalam RUU
KUHP
pemidanaan,
hak
tersebut korban
mencantumkan dan
keluarganya,
pedoman tentang
pembayaran ganti kerugian, dan pengampunan oleh hakim. Hal ini merupakan terobosan baru dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ke depan, karena sebelumnya tidak ada ketentuan tersebut. Ada beberapa hal baru dalam RUU KUHP sebagai hasil pembaharuan yang akomodatif terkait dengan tujuan pemidanaan yang disebutkan dalam Buku I Bab III Bagian Pertama Pemidanaan, Tujuan Pemidanaan, Pasal 55 ayat (1) dan (2), yaitu: (1) Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
20
b.
Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Konsep tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP mengesankan prinsip tentang syarat dapat dipidananya seseorang yang bertolak dari pilar paling fundamental dalam hukum pidana, yaitu “asas legalitas” sebagai asas kemasyarakatan dan “asas culpabilitas/kesalahan” yang merupakan
asas
substantif
juga
kemanusiaan
perorangan19.
mencerminkan
diikutinya
Secara teori
utilitarianisme yang menetapkan target-target pemidanaan. Orientasi pemidanaan menurut teori utilitarianisme adalah kemanfaatan
bagi
korban
kejahatan
yang
bersifat
individual (korban langsung), korban yang bersifat sosial/masyarakat (korban tidak langsung) maupun bagi pelaku pidana. 19
Barda Nawai Arief, Bunga Rampai ... op.cit., hlm. 98-99.
21
RUU KUHP juga memuat adanya ketentuan tentang pedoman pemidanaan yang akan sangat membantu dan memudahkan
hakim
dalam
menetapkan
ukuran
pemidanaan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, di antaranya pemaafan dari korban/keluarganya. Disebutkan dalam Buku I, Paragraf 2, Pedoman Pemidanaan,
Pasal 56 ayat (1) huruf
… j.
Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya. Pasal (2) Perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat
dijadikan
dasar
pertimbangan
untuk
tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Terkait dengan sanksi pidana, dalam RUU KUHP memperlihatkan perubahan yang signifikan dibanding dengan KUHP lama. Disebutkan dalam Buku I Bab III Bagian Kedua, Pidana, Paragraf 1, Jenis Pidana sebagai berikut: Pasal 66 (1) Pidana pokok terdiri atas: 1. Pidana penjara; 2. Pidana tutupan; 3. Pidana pengawasan; 4. Pidana denda; dan 5. Pidana kerja sosial.
22
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana. Pasal 67 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pasal 68 (1) Pidana tambahan terdiri atas: a. Pencabutan hak tertentu; b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. Pengumuman putusan hakim; d. Pembayaran ganti kerugian; dan e. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. (2) … Bab III Bagian Kedua Paragraf 2 Pidana Penjara, Pasal 72: Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 55 dan Pasal 56 pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : … d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban; Bab III Paragraf 12 Pidana Tambahan Pasal 101: (1) Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.
23
(2) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti pidana denda. Bab
III
Bagian
kelima,
faktor-faktor
yang
memperingan dan memperberat Pidana, Pasal 139: Faktorfaktor
yang memperingan
pidana
meliputi:
…
e.
Pembertian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan. … h. Faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Bab IV Gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana, bagian kesatu, gugurnya kewenangan penuntutan, Pasal 153 huruf d, kewenangan penuntutan gugur, jika: “… penyelesaian di luar proses ...”. Buku II tentang Tindak Pidana Bab XXIII Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan, Pasal 584: (1) Setiap orang yang merampas nyawa seorang lain, dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (2) … Pasal 585 Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
24
pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Bab XXIV Tindak Pidana Penganiayaan, Bagian Kesatu, Penganiayaan terhadap Badan, Pasal 594: (1) Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun paling banyak Kategori II. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling paling lama 7 (tujuh) tahun. (4) … Bab XXV Tindak Pidana yang Mengakibatkan Mati atau Luka karena Kealpaan, Pasal 604: Pasal 604 (1) Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan jabatan, profesi, atau mata pencaharian selama waktu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III. (2) ...
25
Delik pembunuhan dan pelukanaan secara prinsip ada kesamaan antara hukum pidana Islam dengan RUU KUHP karena merupakan kejahatan yang universal. Sedangkan sanksinya berbeda, KUHP yang ada dan RUU KUHP menentukan pidana penjara, sedangkan dalam hukum pidana Islam menentukan pidana qişâş-diyat. Ketentuan qişâş-diyat yang esensinya memberikan perhatian dan perlindungan hukum kepada keluarga korban, mewujudkan keadilan, kebaikan dan kemaslahatan. Secara umum korban atau keluarga korban pembunuhan, penganiayaan atau pelukaan, menghendaki agar pelaku dihukum yang setimpal dengan perbuatannya, meskipun sebagai
ungkapan
spontan.
Sanksi
dengan
pidana
“setimpal‟, dalam hukum pidana Islam disebut qişâş. Sanksi diyat, (ganti rugi) juga dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia dikenal
sebagai
masyarakat
pemaaf
dan
selalu
mengedepankan kebersamaan dan musyarawarah dalam menyelesaikan persoalan. Banyak kasus hukum yang dalam KUHP sebagai kelalaian sehingga menyebabkan orang lain mati (Pasal 359)
dapat diselesaikan secara
kekeluargaan, saling memaafkan dan mengganti kerugian.
26
Tiga kasus yang dijadikan obyek penelitian ini dapat menjadi fakta, yaitu kasus; 1) Tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di Demak. 2) Kasus tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di Semarang. 3) Kasus mobil Suzuki Cary menabrak sepeda motor yang mengakibatkan pengendara sepeda motor meninggal dunia, di Pekalongan. Ketiga kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan dengan berdamai dan pemberian ganti kerugian. Penyelesaian perkara tindak pidana
menghilangkan
nyawa
orang
lain
melalui
musyawarah mirip dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana Islam sedikit banyak telah menjadi hukum yang hidup (the living law). Rumusan
yang terdapat
dalam
RUU
KUHP
khususnya terkait dengan pedoman pemidanaan, pidana mati,
hak
korban,
pembayaran
ganti
rugi
dan
pengampunan, tentunya masih dapat berubah untuk disempurnakan. Hal ini memberikan peluang terhadap hukum pidana Islam agar khususnya ketentuan qişâş-diyat untuk dapat dikontribusikan. Harapannya konsep hukum
27
yang dihasilkan juga memberikan manfaat dan maslahat seperti halnya tujuan utama dari hukum Islam. Apabila disandingkan dengan hukum pidana Islam, sanksi pidana dalam RUU KUHP ada kemiripan. Misalnya tentang
orientasi
tujuan
pemidanaan,
pedoman
pemidanaan, kewenangan hakim dalam penerapan sanksi pidana, dan ganti rugi. Apabila tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP mencakup pandangan-pandangan
yang
menggabungkan kepentingan semuanya, dalam konsep Islam juga sama20. Hanya saja, dalam hubungannya dengan aspek utilitas (kemanfaatan) pemidanaan khususnya yang dapat dirasakan oleh korban kejahatan secara individu (individual
victim),
hukum
pidana
Islam
memiliki
komitmen yang lebih kuat dibandingkan RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan qişâş-diyat yang merupakan hak korban atau ahli warisnya. Konsep ini sangat viktimologis seperti yang dikembangkan sebagai ilmu bantu hukum pidana dewasa ini, dan ternyata telah ada dan menjadi perhatian dalam hukum pidana Islam. Begitu juga 20
Menurut Muladi rumusan dalam RUU KUHP tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, kewenangan hakim dalam penerapan sanksi pidana, pemaafan, dan ganti rugi juga mengadopsi dari ketentuan dalam hukum pidana Islam. Hasil wawancara tanggal 25 Nopember 2013, jawaban via email.
28
aspek kemanfaatan, hukum pidana Islam jauh lebih terdepan dalam menekankan bahkan hukum harus memberi manfaat. Hukum kemaslahatan
“Islam”
diadakan
manusia
selaku
untuk
menciptakan
individu
maupun
masyarakat. Maşlahat berarti menarik manfaat dan menolak madharat. Maşlahat merupakan unsur utama bangunan hukum “Islam” yang mengikat unsur-unsur lain. Bahkan maşlahat merupakan inti dan substansi dari hukum Islam21.
Menurut al-Syathibi, hukum Islam bertujuan
untuk mewujudkan
kemaslahatan umum (maslalah al-
„ammah) dengan cara menjadikan aturan hukum yang paling utama dan sekaligus shalih li kuli zaman wa makan (kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya) untuk sebuah kehidupan manusia yang adil, bermartabat, dan bermanfaat. Al-Syathibi memberikan rambu-rambu untuk mencapai tujuan-tujuan syari‟at yang bersifat dharuriyyah, hajjiyyah, dan tahsiniyyah, dan berisikan lima asas hukum syara‟22. Teori maşlahat yang diperkenalkan al-Syathibi
21
Abû Hamid al-Ghâzali, Al-Muştaşfa min „Ilm al-Uşul, Beirut: Dâr alIhya al-Turats al-Arabi, Jilid I, t.th., hlm. 281-282. 22
Abî Ishâq Ibrâhim bin Musâ al-Syathibî, al-Muwâfaqât fî Uşûl alAhkâm, Jilid II, Beirut: al-Maktabah al-„Aşiriyah, 2011, hlm. 5.
29
dalam konsep maqashid al-syari‟yah ini tampaknya relevan untuk menjawab persoalan hukum di masa depan. Hukum menurut Savigny bukan hanya sekadar ungkapan yang terdiri atas sekumpulan peraturan (judicial precedent). Ada suasana dialogis antara hukum dengan kondisi sosial masyarakat yang ada23. Berbicara tentang hukum, harus membicarakan tentang masyarakat, karena tidak mungkin hukum tersebut terlepas dari masyarakat. Savigny menyatakan “Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat24. Memandang hukum, berarti memandang masyarakat yang bersangkutan. Apabila hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, maka hukum pidana Islam yang berasal dari ajaran agama Islam juga bagian dari masyarakat. Apalagi di Indonesia, praktek penyelesaian perkara pidana dengan musyawarah untuk berdamai yang sejalan dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam membentuk kesadaran hukum masyarakat. 23
Roger Cotterrell, The Sociologi of Law an Introduction, London: Butterwoths, 1984, hlm. 2. 24
Darji Darmodiharjo dan B. Arief Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2008, hlm. 124
30
Ketentuan qişâş-diyat menjanjikan maşlahat
bagi
korban dan keluarganya, dan juga masyarakat bersifat riil. Dengan
diserapnya
kemaslahatan
dapat
ketentuan terpenuhi
qişâş-diyat dalam
aspek
pemidanaan,
meskipun sebagai sumber materiil simbolnya tidak lagi menyebut hukum pidana Islam. Kebijakan hukum yang memberikan hak penuh kepada korban kejahatan untuk menentukan ada tidaknya proses hukum terhadap pelaku kejahatan, merupakan perhatian dan perlindungan kepada korban. Apabila korban atau ahli warisnya mengambil sikap
memaafkan
pelaku
kejahatan,
maka
proses
penyelesaian perkara secara hukum tidak boleh diteruskan. Sebaliknya, apabila korban atau walinya menghendaki proses penyelesaian perkara secara hukum, maka institusi peradilan tidak boleh mengupayakan cara lain yang tidak menjadi kehendak korban/keluarga korban. Logika hukum demikian karena korban kejahatan merupakan pihak yang langsung mengalami penderitaan dibanding pihak lain seperti masyarakat luas ataupun negara, sehingga wajar hukum berpihak kepadanya. Apabila korban mengalami penderitaan psikologis maupun material hingga meluapkan perasaan emosional untuk balas dendam, maka diaturlah keinginan balas dendamnya
31
tersebut
agar
proporsional/tidak
berlebihan
melalui
hukuman yang setimpal. Apabila korban dapat memahami penderitaan akibat suatu kejahatan melalui nasehat-nasehat keagamaan sehingga akhirnya lebih menempuh sikap yang bijak, yakni dengan memaafkan pelaku, maka institusi peradilan tidak dibenarkan memaksakan proses hukum yang dapat berujung pada pemidanaan.
3. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam Pembangunan
Hukum
Pidana
Nasional
Berbasis
Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam Restorative justice telah menjadi wacana global dan dipandang sebagai filosofi pemidanaan baru yang sifatnya berbeda dari pidana konvensional yang menempatkan pelaku melawan negara. Kejahatan tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran undang-undang negara, melainkan pelanggaran orang terhadap orang. Pendekatan restorative justice prinsipnya untuk membangun partisipasi bersama antara
pelaku,
korban,
dan
masyarakat
dalam
menyelesaikan suatu tindak pidana untuk mencapai winwin solutions serta implikasinya ke masa depan. Setiap lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang disebut ”Congress on Crime Prevention and The
32
Treatment of Offenders”. Kongres PBB ke-12 di Brasil, 1219 April 2010, merekomendasikan untuk mengevaluasi dan mengadakan pembaharuan kebijakan peradilan pidana dengan pengembangan strategi komprehensif termasuk restorative justice25. Masyarakat Indonesia juga sudah familier dengan pendekatan
yang
mirip
restorative
justice
dalam
menyelesaikan perkara pidana menghilangkan nyawa dengan bermusyawarah. Bahkan di dalam Pancasila sebagai core philosopy bangsa Indonesia, restorative justice juga dapat diurai. Sila ke-4 Pancasila menyebutkan “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”.
Sila
ini
dapat
menjadi panduan dalam menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah dan mengutamakannya dalam mengambil
keputusan
untuk
kepentingan
bersama.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kebersamaan sehingga jika dibreakdown menjadi kata kunci dalam restorative justice26. 25
Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice untuk Peradilan dan Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakkan Hukum In Conreto)”, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, Nomor 3, September 2012, hlm. 423. 26
Ibid., hlm. 414.
33
Menurut perkembangan hukum Barat modern, termasuk di Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah negara, oleh karena itu pelaku tindak pidana berhadapan dengan negara. Akibat korban tidak dilibatkan untuk menentukan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku, banyak menimbulkan masalah bagi korban atau keluarganya karena kerugian yang diderita tidak diganti. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain atau yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, pelukaan
atau
melibatkan
penganiayaan,
korban
atau
proses
keluarganya
hukum
tanpa
tidak
akan
memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya. Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan
keadilan
menurut
korban.
Fokus
perhatian
pemidanaan hanya pada upaya bagaimana agar pelaku menjadi orang baik, pelaku menjadi orang yang berguna kembali di masyarakat setelah menjalani hukuman, dan sedapat mungkin dipidana seringan-ringannya. Sedangkan pihak korban atau keluarganya yang dirugikan dan terganggu keharmonisannya tidak mendapatkan perhatian. Model pemidanaan demikian perlu dikaji kembali. Harus dilihat apa yang menjadi penyebab terjadinya tindak
34
pidana.
Proses
penyelesainnya
harus
dengan
cara
melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana. Proses ini akan jauh lebih efektif dan lebih diterima oleh masyarakat karena pihak yang berhubungan dengan tindak pidana
secara
bersama-sama
mencari
alternatif
pemecahannya. Model seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh). Evaluasi
untuk
mendesain
kembali
model
pemidanaan agar lebih efektif dan memberikan keadilan untuk semua pihak perlu dilakukan. Hukum pidana yang ada sekarang, hanya berorientasi pada rehabilitasi pelaku tindak pidana saja, sedangkan perlindungan terhadap korban
atau
keluarganya
tidak
menjadi
perhatian.
Diperlukan rumusan agar pendekatan restotarive justice ke depan dapat dirumuskan dalam RUU KUHP sebagai model penyelesaian
perkara
pidana
dengan
mengakomodir
ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Qişâşdiyat berorientasi pada perlindungan korban (victim oriented) dan masyarakat. Pemaafan/pengampunan sangat dianjurkan daripada pelaksanaan qişâş, dan pemaafan baru akan terjadi setelah adanya şulh dengan kebersihan hati
35
kedua
belah
pihak.
Şulh
mengandung
dimensi
pemberdayaan diri oleh para pihak melalui upaya dialog, negosiasi, dan rekonsiliasi sehingga dimensi hubungan dapat mengalami proses pemulihan. Perkara pidana pada umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi). Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Secara teori, ada tiga hal yang hendak dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yaitu; keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum27. Meskipun demikian,
dalam praktek sangat sulit ketiganya dapat
terpenuhi sekaligus. Hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaiannya dikenal dengan istilah win lose solution, yaitu akan ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Penegakan hukum pidana yang tersedia di Indonesia dilaksanakan
oleh
instrumen-instrumen
yang
diberi
wewenang oleh Undang-undang. Pelaksanaan kewenangan dan kekuasaannya dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis. Upaya yang sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya 27
Sudikno Mertokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1997, hlm. 98.
36
sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi), serta saling mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana yaitu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana”28. Sistem peradilan pidana di Indonesia identik dengan penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan yang diatur dalam Undangundang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dilaksanakan oleh 4 (empat) sub sistem yaitu: a.
Kekuasaan penyidikan oleh lembaga kepolisian.
b.
Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum atau kejaksaan.
c.
Kekuasaan mengadili oleh badan peradilan atau hakim.
28
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2001, hlm. 28.
37
d.
Kekuasaan
pelaksanaan
pelaksana
eksekusi
hukuman (jaksa
oleh
dan
aparat lembaga
29
pemasyarakatan) . Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan proses peradilan pidana adalah dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis perkara (one for all mechanism). Selain itu, dalam sistem peradilan pidana posisi korban dan keluarga korban tidak mendapat perhatian. Hal ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tidak adanya perlindungan hukum bagi korban, dan putusan hakim tidak akan memenuhi rasa keadilan
bagi
korban30.
Kenyataan
ini
pula
yang
mendorong sejumlah pakar hukum untuk mencari alternatif penyelesaian perkara hukum di luar mekanisme peradilan. Salah satu instrumen restorative justice adalah mediasi yang untuk perkara pidana diistilahkan dengan 29
Keempat subsistem itu sebagai satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. M. Hatta, “Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi); Kapita Selecta”, Yogyakarta: Galang Press, 2008, hlm: 47. 30
Angkasa, dkk., “Kedudukan Korban Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana (Kajian Tentang Model Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan dengan Mempertimbangkan Peranan Korban)” dalam Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum, Vol. 12 Nomor 2, Agustus 2007, hlm. 119
38
mediasi penal, yang dikenal dengan istilah victim offender mediation (mediasi antara korban dan pelaku). Mark Umbreit, salah seorang pakar mediasi penal memakai istilah humanistic mediation (pendekatan mediasi yang manusiasi)31. Dikenal pula istilah victim offender meeting dan victim offender conferencing. Istilah penal mediation (mediasi penal) juga dipakai karena mediasi digunakan untuk mendamaikan perekara pidana, bukan perkara perdata yang biasanya menjadi fungsi mediasi. Mediasi penal di Belanda diistilahkan strafbemiddeling dan di Prancis diistilahkan dengan de mediation penale32. Penelitian yang dilakukan oleh Umbreit menemukan bahwa mediasi penal memberikan tingkat kepuasan yang 31
Mark Umbreit, “Humanistic Mediation; A Transformative Journey of Peacemaking”, dalam Mark Umbreit, (Ed.), In the Handbook of Victim Offender Mediation; An Essential Guide to Practice and Research, San Fransisco, 2001, hlm. 9. 32
Mediasi penal pertama kali dikenalkan di Kitchener-Ontario, Kanada pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat, Inggris dan negara Eropa lainnya. Amerika Serikat pertama kali mempraktekkan mediasi penal di Elkhart-Indiana pada tahun 1979, dan di Inggris dipraktekkan oleh The Exeter Youth Support Team, juga pada tahun 1979. Setelah itu, program mediasi penal tersebar ke banyak negara di dunia, dan yang paling berkembang adalah negara-negara di Eropa seperti Austria, Jerman, Belgia, Perancis, Polandia, Slovenia, Norwegia, Denmark, dan Finlandia. DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak, Depok: Indie Publishing, 2011, hlm. 66.
39
tinggi dan adil bagi para pihak dan menghasilkan lebih dari 90% kesepakatan yang sukses diraih untuk mengompensasi korban. Penelitian lain yang dilakukan oleh Umbreit dan Armour mencatat tingkat keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu 40%-60% di mana para pihak mengikuti proses mediasi penal33. Mediasi penal memberikan manfaat yang besar bagi kedua belah pihak, yaitu korban dan pelaku yang dapat digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 2 Manfaat Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Pidana34 No.
Bagi Korban
Bagi Pelaku
1
Mengenali dan mempelajari pelaku Mencurahkan perasaan dan kebutuhan akibat kejahatan
Mengenali korban atau keluarga korban Mengetahui akibat perbuatannya dan kerugian yang diderita korban atau keluarganya Meminta maaf, menawarkan ganti rugi
2
3
4 5
Menerima atau menolak permintaan maaf, dan ganti rugi Menyelesaikan konflik Melupakan kejahatan di masa yang akan datang
Introspeksi Tidak akan perbuatan
33
mengulangi
Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practive, New York: Springer Publishing, 2010, hlm. 129. 34
Ibid., telah dimodifikasi oleh penulis.
40
Sebagai sebuah menakisme penyelesaian tindak pidana,
mediasi
penal
juga
memiliki
kelemehan-
kelemahan. Seperti disebutkan oleh Umbreit dan Coates dari hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor kelemahan mediasi penal yang membuat pihak korban mengalami kekecewaan, yaitu: a.
Kurangnya tindak lanjut pelaku terhadap kesepakatan yang telah dibuat.
b.
Penundaan antara perbuatan kriminal yang telah dilakukan dan solusinya karena proses mediasi penal.
c.
Banyaknya
waktu
yang
dibutuhkan
untuk
berpartisipasi dalam proses mediasi penal, apabila menggunakan shuttle mediation (mediator bertemu kedua belah pihak di tempat yang terpisah) atau indirect mediation (mediasi tidak langsung). d.
Sering kali pelaku yang melakukan tindak kriminal karena miskin tidak mampu membayar ganti rugi yang diajukan oleh korban yang mengakibatkan gagal tercapainya kesepakatan.
e.
Banyak pelaku yang hanya memanfaatkan mediasi penal sebagai cara untuk menghindar dari peradilan
41
pidana, setelah tercapainya kesepakatan perdamaian, mereka tidak mau melaksanakannya35. Potensi
pendekatan
restorative
justice
melalui
pelembagaan mediasi penal ke depan sudah termuat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) seperti disebutkan dalam Buku I Bab IV Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana, Bagian Kesatu, Gugurnya Kewenangan Penuntutan Pasal 153 hurup d. bahwa kewenangan penuntutan gugur jika … penyelesaian di luar proses ….36. Namun ketentuan tersebut perlu dipertegas atau diperjelas untuk jenis tindak pidana apa dan di luar proses yang seperti apa, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak dan aparat penegak hukum. Sesuai dengan perkembangan internasional, dengan syarat-syarat tertentu asas restorative justice (peacefully solution) dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dari retributive justice.
Hal ini (diversi)
sudah diwajibkan
dalam Undang-undang RI Nomor 11 tahun 2012 tentang 35
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, op.cit., hlm. 83-89.
36
Menurut Barda Nawawi Arief, rumsuan tersebut belum menyebutkan penyelesaian di luar proses secara spesifik dan dapat dikembangkan dalam RUU KUHAP atau Undang-undang tersendiri. Hasil wawancara Tanggal 11 Pebruari 2015.
42
Sistem Peradilan Pidana Anak, dan dapat dikembangkan dalam
RUU
KUHAP
yang
sudah
termuat
yaitu
keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat. Dengan memperjelas “penyelesaian di luar proses”, maka mediasi penal dalam sistem peradilan pidana ke depan menjadi terlembagakan dan memiliki payung hukum. Maksud “penyelesaian di luar proses” dapat diperjelas dengan menyerap ketentuan perdamaian yang ada dalam hukum pidana Islam. Hukum pidana Islam menekankan penyelasaian perkara dengan cara perdamaian (şuhl). Bukan hanya perdata, tetapi juga pidana. Bahkan tindak pidana yang sangat berat yaitu pembunuhan dan pelukaan yang diancam pidana qişâş-diyat. Segala sengketa pada prinsipnya dapat didamaikan apabila ada kesepakatan, meskipun ada pengecualian. Perdamaian (şulh) mengasumsikan bahwa kejahatan yang berkaitan dengan hubungan pribadi antara orang dengan orang tertentu bukanlah sebuah masalah yang berkaitan dengan publik (private). Peran negara harus sebagai penjamin terlaksananya hasil perdamaian. Bukan sebaliknya, mengambil alih atas nama korban yang justru yang keputusannya bertentangan dengan yang dibutuhkan
43
dan dikehendaki korban37. Proses penyelesaian perkara pidana melalui şulh dimaksudkan agar dapat lebih fleksibel. Hasil dari proses şuhl dapat berbeda tergantung dari tingkat kejahatannya, kerusakan yang disebabkan, yaitu dapat berupa pemaafan dengan ganti kerugian dan pemaafan tanpa ganti kerugian. Bagi korban atau keluarganya dapat menghasilkan kebesaran hati untuk memaafkan dan menerima ganti kerugian38. Seandainya korban atau keluarganya tetap tidak mau memaafkan, dapat membuat pelaku merasakan apa yang dirasakannya. Hal yang seperti ini dinamakan dengan qişâş atau yang biasa disebut dengan pembalasan sistematis. Namun qişâş sedapat mungkin dihindari seperti disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 178: “… maka barang siapa yang
mendapat
suatu
pemaafan
dari
saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang 37
Seperti disebutkan oleh ND yang lebih memilih menyelesaikan perkara pidana terhadap nyawa melalui musyawarah di Pekalongan, dengan salah satu pertimbangan lebih baik biaya yang akan dikeluarkan oleh TMD (pelaku yang menabrak isterinya ND hingga meninggal) jika menempuh jalur hukum, disumbangkan untuk perawatan jenazah, mitoni dan uang duka. Hasil wawancara tanggal 30 Nopember 2013. 38
Mumtaz M. Qafisheh, “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A Contribution to the Global System”, dalam International Journal of Criminal Justice Sciences, Volume 7, Issue 1, January – June 2012, hlm. 488.
44
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula) …”39. Disebutkan pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sunnah:
“Setiap
Ahmad bin Hambal dan Ashab alperkara
yang
dilaporkan
kepada
Rasulullah yang berkaitan dengan hukuman qişâş, Rasulullah Saw. selalu memerintahkan pemaafan”40. Sedangkan
pelaku
mendapatkan
kesempatan
untuk
meminta maaf secara langsung pada korban atau ahli warisnya, mengungkapkan penyesalan, dan bertanggung jawab dengan mengganti kerugian. Konstruksi restorative justice berbasis qişâş-diyat adalah sebagai pengganti proses peradilan pidana di mana perkara
dialihkan
(diverted)
ke
proses
mediasi.
Kesepakatan yang berhasil diraih akan disahkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan
pengadilan
sebagai
legitimator
saja
atas
kesapakatan damai setelah ganti rugi dibayar oleh pelaku, atau atas jaminan ganti rugi akan segera dibayar. Hal ini 39
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an, dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma‟ al-Malik Fadh li Thiba‟at al-Mushaf alSyarif, 1418 H., hlm. 43. 40
Audah, Jilid II, op.cit., hlm. 287.
45
sesuai dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam, dan juga pengembangan yang sudah termuat dalam RUU KUHP tentang penyelesaian di luar proses. Konstruksi ini juga merujuk pada praktek masyarakat dalam menyelesaikan tindak pidana, dan juga dalam rangka menguruangi beban sistem peradilan pidana. Peran mediator menjadi sangat penting, sehingga perlu dibentuk komisi atau lembaga pemaafan (al-işlah wa al-afwun) atau dengan istilah lain yang bertindak sebagai mediator sangat diperlukan yang ada di setiap kabupaten-kota. Agar
mengikat
dan
menjadi
sistem
dalam
penyelesaian perkarana pidana ke depan, maka harus termuat di dalam KUHP dengan mengubah rumusan Pasal 153 bahwa kewenangan penuntutan gugur jika … d. penyelesaian di luar proses melalui lembaga perdamaian atau pemaafan. Rumusan pasal-pasal dalam Buku II tentang Tindak Pidana khususnya Bab XXIII Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan, Pasal 585 juga diubah seperti contoh berikut: (1) Setiap orang yang dengan sengaja, atau dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa seorang lain, diancam karena pembunuhan
46
berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup. (2) Pidana mati atau pidana seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat gugur jika ahli waris korban memaafkan. (3) Jika ahli waris korban memaafkan, pidana mati atau pidana seumur hidup diganti dengan pidana ganti rugi yang diberikan kepada ahli waris korban yang besarannya disepakati antara ahli waris korban dengan pelaku dengan prinsip kebaikan, perhatian dan perlindungan. (4) Proses pemaafan dan penentuan jumlah ganti rugi dilakukan melalui lembaga pemaafan yang hasilnya akan dilegitimasi oleh pengadilan sebagai jaminan bahwa kesapakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan dilaksanakan. Mekanisme kerja lembaga pemaafan adalah di luar proses peradilan, namun masih terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu/kamar tersendiri. Untuk melihat alur penyelsaian perkara pidana melalui lembaga pemaafan sebagai konstruksi pendekatan restorative justice berbasis qişâş-diyat dapat dilihat dalam ragaan berikut:
47
Ragaan Konstruksi Pendekatan Restorative Justice Berbasis Qişâş-Diyat LAPORAN/TANPA LAPORAN KORBAN
PELAKU
PENYIDIK POLISI
LEMBAGA PEMAAFAN
JAKSA PENUNTUT UMUM
PROSES PERDAMAIAN
LEGITIMASI PENGADILAN
KESEPAKATAN PERDAMAIAN
Lembaga pemaafan berfungsi agar perdamaian bisa tercapai dan nilai ganti kerugian disepakati dengan prinsip bi al-ma‟ruf (kebaikan) dan menghindari tuntutan ganti rugi yang melampaui batas atau komersialisasi ganti rugi. Sedangkan legitimasi pengadilan diperlukan sebagai jaminan bahwa pelaku telah memberikan ganti kerugian
48
kepada korban atau ahli warisnya atau ada jaminan bahwa ganti kerugian akan terbayar. Legitimasi pengadilan juga sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan perhatian dan perlindungan terhadap pihak-pihak.
F. Penutup 1.
Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut: 1) Hukum pidana Islam adalah sebagai sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana nasional. Posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil merupakan corak hukum Islam yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, akan menemui problem internal dan eksternal. Problem internalnya akan sulit diterima oleh kalangan umat Islam yang menghendaki hukum pidana Islam diterapkan secara formal. Problem eksternalnya
dimungkinkan
adanya
anggapan
akan
menjadikan hukum pidana Islam sebagai hukum positif, dan tidak sedikit pandangan pakar hukum yang tidak mengetahui
eksistensi
hukum
pidana
Islam
dan
memandangnya sebagai subsistem dari hukum adat sehingga harus sesuai dengan hukum adat. 2) Ketentuan
49
qişâş-diyat dapat dikontribusikan untuk menyermpurnakan RUU KUHP. Rumusannya tidak harus persis, namun esensinya sama, yaitu memberi hak kepada keluarga korban untuk ikut menentukan hukuman, memberikan perhatian
dan
perlindungan
kepada
korban
atau
keluargannya. 3) Pendekatan restorative justice perlu diterapkan
agar
orientasi
pemidanaan
tidak
hanya
memperhatikan pelaku tindak pidana saja, melainkan juga korban atau ahli warisnya. Rumusannya berbasis ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam, karena memiliki komitmen
kuat
dalam
memberikan
perhatian
dan
perlindungan kepada korban atau ahli warisnya dan tetap melibatkan peran negara. Diperlukan payung hukum agar pendekatan restotarive justice dapat diterapkan, yaitu diatur dalam KUHP baru. Konstruksinya melalui lembaga pemaafan yang mekanisme di luar proses peradilan pidana tetapi masih terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu atau kamar tersendiri.
50
2.
Saran Setelah dilakukan pembahasan menyeluruh, peneliti
memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Hukum pidana Islam dijadikan sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana nasional, karena telah menjadi hukum yang hidup dan membentuk kesadaran hukum masyarakat. Hukum pidana Islam juga pernah diterapkan di Nusantara pada zaman kerajaan-kerajaan Islam. 2. Ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam dikontribusikan dalam pembangunan hukum pidana nasional dengan menyempurnakan ketentuan yang sudah diatur dalam RUU KUHP. 3. Pendekatan restorative justice yang berbasis qişâş-diyat agar diatur dalam RUU KUHP, dan penyelesaian perkara pidana pembunuhan dan penganiayaan atau perkara pidana lainnya yang merugikan korban, diseselaikan di luar proses peradilan melalui lembaga pemaafan. Pengadilan nantinya hanya melegitimasi saja hasil perdamaian yang telah dicapai.
51
3.
Implikasi Studi Hasil studi ini dapat memberikan implikasi teoritis
dan praktis. Secara teoritis hasil studi ini sebagai sumbangan teori bagi tersusunnya hukum pidana nasional yang memuat
nilai-nilai
agama
yang dianut
oleh
masyarakat. Hukum pidana Islam telah menjadi hukum yang hidup di masyarakat, karena dalam sejarahnya pernah diterapkan secara formal di kesultanan yang ada di Nusantara. Dengan studi ini, dapat memberikan warna dalam studi ilmu hukum khususnya hukum pidana, dan ke depan hukum pidana Islam mendapat tempat yang proporsional dalam kajian teoritis ilmu hukum di hadapan hukum Barat dan hukum adat. Sedangkan secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan penting dalam pembangunan hukum pidana nasional khususnya penyempurnaan RUU KUHP. Hukum pidana Islam kaya dengan asas-asas maupun teori-teori pemidanaan yang menjadi diskursus hukum Barat modern. Ketentuan yang sudah termuat dalam RUU KUHP dapat disempurnakan dengan ketentuan qişâş-diyat, sehingga menjadi pendekatan
restorative justice berbasis qişâş-
diyat.
52
DAFTAR PUSTAKA Al-Ghâzali, Abû Hamid, Al-Muştaşfa min „Ilm al-Uşul, Beirut: Dâr al-Ihya al-Turats al-Arabi, Jilid I, t.th.. Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-11, 2004. Al-Syathibî, Abî Ishâq Ibrâhim bin Musâ, al-Muwâfaqât fî Uşûl al-Ahkâm, Jilid II, Beirut: al-Maktabah al-„Aşiriyah, 2011. Angkasa, dkk., “Kedudukan Korban Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana (Kajian Tentang Model Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan dengan Mempertimbangkan Peranan Korban)” dalam Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum, Vol. 12 Nomor 2, Agustus 2007. Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM. Books, 2007. Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2010. Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2001. Audah, Abd al-Qâdir, al-Tasyrî‟i al-Jinâ‟î al-Islâmî; Muqâranân bi al-Qânun al-Wadh‟î, Jilid I, Beirut: Muasasah al-Risâlah Litibâah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟î, 1992. Azizy, Qodri Abdillah, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta: Renaisan, 2004.
53
Cotterrell, Roger, The Sociologi of Law an Introduction, London: Butterwoths, 1984. Darmodiharjo, Darji, dan B. Arief Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2008. Denzim, Norman K., dan Yvonna S. Lincoln, Hanbook of Qualitative Research, Terjemaha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Dewi, DS., dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak, Depok: Indie Publishing, 2011. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid II, Yogyakarta: Andi Offset, 1995. Hatta, M., “Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi); Kapita Selecta”, Yogyakarta: Galang Press, 2008. Haykal, Muhammad Khayr, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah al-Syar‟iyyah, Juz I, Beirut: Dâr al-Bayariq, Cet. II, 1996. Julijanto, Muhammad, “Implementasi Hukum Islam di Indonesia; Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme”, dalam Makalah “Conference Procedings Annual International Conference on Islamic Studies”, Mataram, September 2013. Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1999. Mahfud MD., Moh., “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari‟ah”, dalam Jurnal Hukum, No. 1 Vol. 14, Januari 2007.
54
Mertokusumo, Sudikno, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1997. Miles, Mattew B., dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992. Moeleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Prayitno, Kuat Puji, “Restorative Justice untuk Peradilan dan Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakkan Hukum In Conreto)”, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, Nomor 3, September 2012.. Qafisheh, Mumtaz M., “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A Contribution to the Global System”, dalam International Journal of Criminal Justice Sciences, Volume 7, Issue 1, January – June 2012. Sularno, M., “Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia”, dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVI, 2006. Tanya, Bernard T., dkk., Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010. Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an, dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma‟ al-Malik Fadh li Thiba‟at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H. Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory, Homewood Illinois: The Dorsey Press, 1975. Umbreit, Mark, “Humanistic Mediation; A Transformative Journey of Peacemaking”, dalam Mark Umbreit, (Ed.), In the Handbook of Victim Offender Mediation; An Essential Guide to Practice and Research, San Fransisco, 2001.
55
Umbreit, Mark, dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practive, New York: Springer Publishing, 2010. Zamroni, Pengembangan Pengantar Teori Sosial, Yogyakarta: Tiara Yoga, 1992.
56
BIODATA PENULIS Identitas Diri Nama Lengkap Jenis Kelamin Tempat dan Lahir Pekerjaan
Achmad Irwan Hamzani Laki-laki Tanggal Pemalang, 15 Juni 1976
NIDN Jabatan Fungsional Alamat Kantor Alamat Rumah Nomor HP E-Mail Nama Isteri Nama Anak
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Pancasakti 0615067604 Lektor Jln. Halmahera Km. 1 Tegal Jawa Tengah, Telp. (0283) 358745 Karangjati RT 02 RW 01 Wiradesa Pekalongan 0816647283 / 08122564208
[email protected] Nur Khasanah Haidar Mahdi Niejad Nabila Afrah Manahil
Pengalaman Pekerjaan/Aktivitas Lain Jabatan/Pekerjaan Dosen Tidak Tetap Universitas Pekalongan, STMIK Himsya Semarang, STIT Pemalang Ketua Gugus Penjamin Mutu Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Pengurus Bidang Dakwah Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Insani AlUmmah Kota Pekalongan Tim Seleksi Calon Anggota KPU Kota Pekalongan Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pekalongan 2015
57
Tahun 2005-2013 2011-2013 2012-Sekarang
2013 2015
Riwayat Pendidikan Tinggi Jenjang Fakultas/Progdi S1
S2
S3
Fakultas Syari‟ah/Siyasah Jinayah Program Magister/Hukum Islam Doktor Ilmu Hukum
Perguruan Tinggi
Tahun
IAIN Walisongo
1999-2003
IAIN Walisongo
2003-2005
Universitas Diponegoro
2011-2015
Pengalaman Organisasi No.
Organisasi
Tahun
1
BEM Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo
2
HMI Cabang Semarang
1999-2003
3
Ikatan Da‟i Indonesia Jawa Tengah
2007-2011
4
Presidium KAHMI Pekalongan
2015-2018
Buku
No.
Judul
1
Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia
2
Hukum Islam di Indonesia
58
2002
Publikasi dalam Jurnal Ilmiah 5 Tahun Terakhir No.
Judul Artikel Ilmiah
1
Towards Indonesia As A State Law Happiest People
2
Nasab Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 Kontekstualitas Hukum Jurnal Islam di Indonesia; Studi Masalahterhadap Hukum Wakaf masalah Hukum Hubungan Rule of Law Jurnal Diktum dan Hak Asasi Manusia dalam Negara Demokrasi Menggagas Jurnal Hukum Pembangunan Hukum Islam Nasional Berbasis Religius Penyelesaian Sengketa Jurnal Konsumen di Luar Sosekhum Pengadilan Pembagian Peran Suami Jurnal Isteri dalam Keluarga Sosekhum Islam Indonesia Menggagas Ilmu Hukum Jurnal Cermin Khas Indonesia
3
4
5
6
7
8
Nama Jurnal
Volume/ Nomor/Tahun International Vol. 6/April/ Journal of 2015, ISSN Bisiness, No. 2289-1552 Economics and Law Jurnal Vol. 12/No. 1/ Konstitusi 2015/, ISSN No. 2338-5413 Terakreditasi
59
Jilid 43 No. 3/ Juli 2014 Terakreditasi Vol. 1/No. 2/ 2013, ISSN No. 2338-5413 Vol. 10/No. 2012, ISSN No. 1829-7382 Vol. 7/No. 1/ 2011, ISSN No. 1858-4500 Vol. 6/No. 2/2010, ISSN No. 1858-4500 Vol. 46/No. 1/2010, ISSN No. 0852-8357
Pengalaman Penelitian 5 Tahun Terakhir No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Judul Penelitian
Sumber Dana Pengembangan Model Perlindungan Dikti Hukum terhadap Aset Publik Berbasis Kearifan Lokal (Kajian Sosio Yuridis terhadap Pengadministrasian Harta Benda Wakaf di Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan) Implikasi Putusan Mahkamah Universitas Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Pancasakti terhadap Nasab Anak Luar Kawin Ditinjau menurut Hukum Islam Hibah / Beasiswa Disertasi LPDP Kementerian Keuangan Kontekstualitas Hukum Islam di Universitas Indonesia; Studi terhadap Hukum Pancasakti Wakaf Persepsi Masyarakat terhadap Universitas Efektivitas Menyalakan Lampu Pancasakti Sepeda Motor di Siang Hari untuk Mengurangi Resiko Kecelakaan di Kota Tegal Penyelesaian Sengketa Konsumen di Universitas Luar Pengadilan menurut Undang- Pancasakti undang RI Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Tinjauan Hukum Islam Pembangian Peran Suami Isteri dalam Universitas Keluarga Islam di Indonesia; Kajian Pancasakti Normatif dan Sosiologis Kajian Gender terhadap Hak-hak Departemen Perempuan dalam Kompilasi Hukum Agama RI Islam
60
Tahun 2015
2013
20132015 2012
2012
2011
2011
2010
Pengalaman Pengabdian Masyarakat 5 Tahun Terakhir No. 1
2
3
Judul Pengabdian
Sumber Dana Pendampingan Pendaftaran Etiket Universitas Merek bagi Pengusaha Batik Pancasakti Tegalan Pelatihan Pembuatan Etiket Merek Universitas bagi Pengusaha Batik Tegalan Pancasakti Membangun Budaya Tertib Huum di Universitas Masyarakat Pancasakti
Tahun 2012
2011
2010
Pemakalah Seminar (Oral Presentation) 5 Tahun Terakhir No.
1
2
3
4
5
Nama Pertemuan Ilmiah/Seminar Sosialisasi Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia Seminar Nasional dan Call for Papers “Perkembangan Hukum Islam dan Permasalahan Penegakannya di Indonesia” Seminar Smart Women Penyuluhan Menciptakan Budaya Politik bagi Kaum Marginal
Judul Artikel Hak Asasi Manusia dalam Konstruksi Hukum di Indonesia Perlindungan Hak Asasi Manusia; Antara Wacana dan Aksi Memposisikan Hukum Islam dalam Arah Pembangunan Hukum Nasional
Menjadi Perempuan Cerdas dalam Pilihan Politik Akses Politik for All
61
Waktu dan Tempat 19-21 Nop 2013, Pemkot Tegal 26 Juni 2013, Bahari Inn Tegal 29 Nop 2012, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
29 Mei 2011, Hotel Syari‟ah Pekalongan 16 Mar 2011, Gedung Pramuka Batang
62