BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete (2009:2),“ dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan, bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi, sebagaimana dinyatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo dan Simonsen (2000:40) bahwa ekolinguistik merupakan sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi “ecolinguistics is an umbrella term for ... all approaches in which the study of language (and language) is in any way combined with ecology.” Sejumlah teori linguistik yang digunakan dalam penelitian ini mencakup teori sosiolinguistik, semantik, dan leksikon. Pada bab ini juga akan diuraikan konsep, kerangka teori, dan penelitian terdahulu
yang
berkaitan
dengan
penelitian
“LeksikonKuliner
MelayuTanjungbalai: Kajian Ekolingusitik”. 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Leksikon Leksikon adalah koleksi leksem dalam suatu bahasa. Dalam leksikon terdapat kajian yang meliputi tentang apa yang dimaksud dengan kata, struktur kosakata, pembelajaran kata, penggunaan dan penyimpanan kata, sejarah dan evolusi kata (etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada suatu bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari leksikon dianggap sebagai sinonim
kamus atau kosakata. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti (2012:11) dalam temuannya tentang konsep ekologi kesungaian. Leksikon didefenisikan sebagai “kosakata, komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa”. KBBI (2008:805).Chaer (2007:5) mengatakan bahwa istilah leksikon berasal dari kata Yunani Kuno yang berarti ‘kata’, ‘ucapan’, atau ‘cara berbicara’. Kata leksikon seperti ini sekerabat dengan leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan sebagainya. Sebaliknya, istilah kosakata adalah istilah terbaru yang muncul ketika kita sedang giat-giatnya mencari kata atau istilah tidak berbau barat. Selanjutnya Sibarani (1997:4) membedakan leksikon dari perbendaharaan kata, yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa”.
2.1.2 Bahasa dan Lingkungan Terdapat hubungan yang nyata prihal pelbagai perubahan ragawi lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya. Dalam tulisannya Language Ecology and Environment, Muhlhausler (2001:3) menyebutkan, ada empat hal yang memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya menjadi subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang lain. Keempat hubungan tersebut adalah (1) bahasa berdiri dan terbentuk (Chomsky, Linguistik Kognitif); (2) bahasa dikonstruksi oleh alam (Marr);
(3)alam dikonstruksi bahasa; dan (4) bahasa saling berhubungan dengan alamkeduanya saling mengontruksi, tetapi jarang yang berdiri sendiri (ekolinguistik). Lingkungan bahasa atau ekologi bahasa adalah ruang hidup, tempat hidup bahasa-bahasa. Bahasa yang hidup ada pada guyub tutur dan secara nyata hadir dalam komunikasi dan interaksi kegiatan baik lisan maupun tulisan. Ekologi adalah ilmu tentang lingkungan hidup sedangkan linguistik adalah ilmu tentang bahasa. Kerangka pandang ekologi, bandingkan misalnya ekolinguistik, menjadi parameter yang membedakannya dengan cabang makrolinguistik lainnya (seperti sosiolingistik, psikolinguistik, neurolinguistik, atau antropolinguistik), adalah (1) interelasi (interrelationship), (2) lingkungan (environment), dan (3) keberagaman (diversity) (Haugen dalam Fill and Muhlhausler, 2001:1). Berdasarkan kerangka pandang itu, bahasa-bahasa dapat dikaji, di dalami dan dimaknai secara khusus. Lingkungan hidup bahasa meniscayakan adanya keberagaman dan kesalinghubungan dengan pemahaman bahwa di suatu lingkungan atau kawasan memang hidup bahasa, namun bahasa hidup dalam guyub tutur. Adalah kenyataan bahwa di suatu lingkungan hidup, secara khusus lingkungan hidup manusia dalam suatu jejaring dan kebersaam sosial, hidup beragam bahasa pula. Hal ini sejalan dengan pendapat Safir dalam Fill dan Muhlhausler (eds) (2001:14), menyebutkan tiga bentuk lingkungan: 1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan). 2. Lingkungan ekonomis ‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.
3. Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni.
2.1.3 Warisan Kuliner Melayu Kamus Besar Bahasa Indonesia memakai ‘warisan’ sebagai : sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka, sedangkan kuliner adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pangan dan makanan mulai dari bahanbahan mentah sampai pada proses pengolahan dan penyajian. Menurut Steven Labensky dalam Webster’s New World Dictionary Culinary of Arts adalah “segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas memasak dalam hal penyiapan bahan-bahan pangan, pengolahan dan penyajian”. Menurut Yuyun dan Rudy (2006) bahwa kuliner adalah cermin jujur, setiap bangsa tidak sekedar lahir dan di alami secara politik akan tetapi dihayati dengan perasaan yang begitu khas dan unik. Dalam sisi yang lain, kuliner adalah wujud pencapaian estetika tentang bagaimana bangsa dalam rentang waktu sejarah tertentu terbangun dengan semangat dan cita rasa, karena itu terdapat suatu ungkapan yang mengatakan bahwa sekali-sekali jangan pernah mengatakan telah mengenal sebuah bangsa, jika belum mengenal kulinernya. Ungkapan ini berlaku bagi negara termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki beraneka ragam suku, budaya dan adat istiadat. Menurut Basyarsyah (2002), Melayu adalah adat istiadat dan Islam, sedangkan
menurut
Kamus
Purwadarminta
Melayu
adalah
sekelompok
masyarakat seresam (resam=aturan-aturan adat yang menyertai kehidupan) dan Melayu adalah nama suku dalam resam Melayu yang tidak diketahui lagi asalusul sukunya sebelum menyatu dengan Melayu. Pada dasarnya dalam pengolahan masakan Melayu, bahan yang paling utama digunakan terdiri atassantan kelapa, cabe, dan beras. Hidangan masyarakat suku Melayu sangat terkenal mampu membangkitkan selera, bukan saja dari rasa enak tetapi dari segi pedas dan juga penggunaan rempah-rempahnya. Makanan Melayu sering digambarkan sebagai masakan pedas dan beraroma karena memanfaatkan melting pot rempah-rempah dan tanaman hidup (Surya, 2010). Pengolahan masakan Melayu menggabungkan bahan segar, seperti serai, daun jeruk, daun kemangi, pala, kunyit, dan jahe. Tidak ketinggalan rempahrempah kering tradisional seperti jintan dan ketumbar digunakan bersama-sama dengan rempah-rempah seperti lada, kapulaga, dan jintan serta bumbu rempahrempah alami. Bumbu memiliki peran penting dalam mengolah masakan Melayu karena berfungsi meningkatkan rasa makanan. Kombinasi bumbu rempah-rempah segar dan kering biasanya ditumbuk bersama-sama di dalam lesung untuk membuat bubuk halus dan dimasak dalam minyak dengan ditambahkan santan segar sebagai bahan utama dalam segala jenis gulai atau masakan lemak.
2.1.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan 2.1.4.1 Nilai Budaya Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32
mengamanatkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dalam konteks ini, pemerintah
menjamin
kebebasan
masyarakat
dalam
memelihara
dan
mengembangkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Pada era globalisasi, pemerintah berkewajiban melindungi dan melayani masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya agar tidak tergerus oleh nilai-nilai budaya global yang tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa. Kebudayaan menurut
Mahsun (2005: 2) terdiri atas nilai-nilai,
kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan tercermin dalam perilaku manusia. Sejalan dengan itu Haviland (1999: 333) mengemukakan pendapatnya bahwa kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, dan apabila dilaksanakan oleh para anggotanya, maka akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut. Menurut Koentjaraningrat (2004: 85) nilai budaya terdiri atas konsepsikonsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia.Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang memengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia. Sementara itu, Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang
pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktivitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri, artinya nilai-nilai itu sangat banyak memengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara invidual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Suatu nilai apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong royong, dan lain-lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Ekolinguistik Ekolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mengkaitkan ekologi dan linguistik diawali pada tahun 1970-an ketika Einar Haugen (1972) menciptakan paradigma ‘ekologi bahasa’. Dalam pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian
tentang interaksi bahasa dan lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan bahasa secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa. Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya, dan oleh karenanya bahasa hanya berfungsi
apabila
digunakan
untuk
menghubungkan
antarpenutur,
dan
menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang yang mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang lain (Haugen, 2001:57).
Dua dekade setelah diciptakannya paradigma ‘ekologi bahasa’, barulah muncul istilah ekolinguistik ketika Halliday (1990)pada konferensi AILA memaparkan elemen-elemen dalam sistem bahasa yang dianggap ekologis (’holistic’ system) dan tidak ekologis (’fragmented’ system). Berbeda dengan Haugen, Halliday menggunakan konsep ekologi dalam pengertian non-metaforis, yakni ekologi sebagai lingkungan biologis. Halliday mengkritisi bagaimana sistem bahasa berpengaruh pada perilaku penggunanya dalam mengelola lingkungan. Dalam tulisannya yang berjudul “New Ways of Meaning”, Halliday (2001) menjelaskan bahwa bahasa dan lingkungan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Perubahan bahasa, baik di bidang leksikon maupun gramatikal, tidak dapat dilepaskan dari perubahan lingkungan alam dan sosial (kultural) masyarakatnya. Di satu sisi, perubahan lingkungan berdampak pada perubahan bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa yang mereka gunakan. Kajian terhadap hubungan dialektika antara bahasa dan lingkungannya telah melahirkan topik-topik penelitian dibawah payung ekolinguistik, dan sejak saat itu pula cakupan aplikasi konsep ekologi
dalam linguistik berkembang dengan pesat, baik di bidang pragmatik, analisis wacana, linguistik antropologi, linguistik teoretis, pengajaran bahasa, dan berbagai cabang linguistik lainnya (Fill dan Muhlhausler, 2001:1). Walaupun kajian tentang interelasi bahasa dan lingkungannya telah muncul sejak tahun 1970-an, pendekatan teoretis dan model analisis dalam kajian ekolinguistik baru diformulasikan pada tahun 1990-an, ketika Jorgen Chr Bang dan Jorgen Door (1993) mengenalkan teori dialektikal ekolinguistik. Melalui Kelompok Penelitian Ekologi, Bahasa, dan Ideologi (ELI/the Ecology, Language, and Ideology Research Group) yang berpusat di Universitas Odense, Denmark, Bang dan Door mengenalkan kerangka teoretis ekolinguistik dialektikal. Kerangka teoretis ini menarik untuk dicermati mengingat ekolinguistik yang sebelumnya merupakan istilah payung (umbrella term) dari berbagai pendekatan teori linguistik (Bundsgaard dan Steffensen, 2000:9), ternyata dapat memiliki kerangka teoretis tersendiri, yakni teori linguistik dialektikal atau ekolinguistik dialektikal. Kebaruan dari kerangka teoretis ini terletak di antaranya pada penggunaan konsep praksis sosial sebagai lingkungan bahasa, yang mengacu pada tiga dimensi, yakni dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis. Menurut pandangan ekolinguistik dialektikal atau linguistik dialektikal (dialectical linguistics) (Steffensen, 2007), bahasa merupakan bagian yang membentuk dan sekaligus dibentuki oleh praksis sosial.Bahasa merupakan produk sosial dari aktivitas manusia dan pada saat yang sama bahasa juga mengubah dan memengaruhi aktivitas manusia atau praksis sosial. Dengan demikian, terdapat hubungan dialektikal antara bahasa dan praksis sosial. Konsep praksis sosial dalam konteks ini mengacu pada semua tindakan, aktifitas dan perilaku
masyarakat, baik terhadap sesama masyarakat maupun terhadap lingkungan alam di sekitarnya. Dalam teori dialektikal, praksis sosial mencakup tiga dimensi praksis sosial, yakni 1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat, 2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktik sosial yang bermakna, dan 3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu secara kegiatan terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami. (Lindo dan Bundsgaard, 2000:10-11) Ekolinguistik merupakan studi hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua parameter yang hendak kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan. Bergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa
maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi
bahasa
mempelajari
dukungan
pelbagai
sistem
bahasa
yang
diperkenalkan bagi kelangsungan makhluk hidup, seperti halnya dengan faktorfaktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini. Haugen (1970), lihat Mbete (2009:11-12), mengatakan bahwa ruang lingkup linguistik dalam payung ekologi bahasa diutarakan oleh Haugen berikut ini: (1) linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi; (3) sosiolingustik; (4) dialinguistik; (5) dialektologi; (6) filologi; (7) linguistik preskriptif; (8) glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistik antropologi atau linguistik kultural (cultural linguistics); dan (10) tipologi. Dari uraian tersebut kajian ini adalah kajian preskriptif (leksikon) dan linguistik antropologi. Berdasarkan pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji sosiolinguistik dan linguistik perspektif. Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan menggambarkan, mewakili, melukiskan (mempresentasikan secara simbolikkegiatanl) realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya). Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa “... perubahan bahasa ... mempresentasikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari. Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon. Alasannya, kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian besar
karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2) menarik kesimpulan bahwa dalam lingkup ekolinguistik, hubungan bahasa dan lingkungannya ada pada tataran leksikon saja, bukan, misalnya, pada tataran fonologi atau morfologi. Sehubungan dengan dasar konsep teori di atas maka sejumlah segi yang dapat dibedah dan dikaji di dalamnya mencakupi. 1. Leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi referensial, yakni khazanah leksikon yang referensi nyatanya dapat dilacak, dijejaki, dibuktikan secara empirik atau kasat mata, karena dapat ditemukan dilapangan, atau juga kendati masih diingat (dalam kognisi warga masyarakat di sekitarnya) oleh penuturnya, baik tua maupun muda, namun sesungguhnya biota atau makhluk hidup yang diwadahi dalam bahasa lokal itu, sudah terancam keberadaannya, populasinya kian mengecil, bahkan ada yang sudah punah. 2. Secara kategorikelinguistikan, perangkat leksikon yang berkaitan dengan lingkungan itu, khususnya lingkungan alam sifat dan karakternya jelas harus dipilah-pilah
atau
dikategorikan.
Dengan
demikian,
klasifikasi
atau
kategorisasi menjadi nomina (tatanama), verba, dan ajektiva menjadi fokus dalam kajian pula. Pasti ada nomina yang secara semantis tergolong bendabenda mati tak bergerak, makhluk hidup (non-insani), seperti nama-nama fauna, hewan/ binatang dan tumbuhan (flora) apa saja yang digunakan dalam kuliner MTB dalam bahasa lokal (MTB). Dikaji pula atau ditemukan pula, jika ada, nama-nama (nomina) hewan dan tumbuhan yang habitatnya atau lingkungan hidupnya hanya ada di daerah kota Tanjungbalai. Demikian juga pasti cukup banyak tanaman lokal yang ditemukan dalam bahasa lokal,
meskipun sebagiannya “tinggal ingatan” orang tua-tua, namun sudah tidak ada lagi di daerah tersebut. 3. Pertanyaan lebih kritis lagi dapat diajukan pula sebagai fokus kajian lebih dalam yakni, mengapa sejumlah flora dan fauna yang menurut cerita atau tuturan generasi tua, sudah tidak ada lagi dalam realita di lingkungan daerah tersebut?
Selain
penghilangan
karena
perburuan
atau
penangkapan,
pencemaran karena menggunakan racun misalnya, semuanya itu dapat disingkap dalam kajian ini. Sebaliknya juga, apa saja yang tetap terpelihara, sehingga populasi flora dan fauna di daerah tersebut tetap ada dan terjaga.
2.2.2 Ekolinguistik dan Ekologi Ekologi bahasa menurut Haugen, adalah Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment (Haugen, 1997, dalam Peter, 1996:57). Ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antarbahasa yang ada dengan lingkungannya (terjemahan penulis) Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000) mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut. Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[...] all approaches in which the study of language (and language) is in any way combined with ecology’. Ekolinguistik merupakan payung istilah terhadap ‘[...] semua pendekatan studi bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikombinasikan dengan ekologi (terjemahan penulis)
Sementara itu, Crystal (2008:161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition, menjelaskan:
Ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis-reflecting the nation of ecology in biological studies-in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green lingusitics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance if individual and community linguistic rights, anf the role of languange attitudes. Language awareness language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace. Ekolingustik (nomina) dalam linguistik, suatu penekanan yang mencerminkan gagasan ekologi dalam studi biologis-dimana interaksi antara bahasa dan lingkungan budaya dipandang sebagai inti; juga disebut dengan ekologi bahasa. Linguistik ekologi dan kadang-kadang linguistik hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia, pentingnya hak linguistik dari individu dan masyarakat, peranan dari sikap bahasa, kesadaran bahasa, ragam bahasa, dan perubahan bahasa dalam membina budaya perdamaian yang komunikatif). Sementara itu, istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, yang berarti house, man’s immediate surroundings. Ricklefs (1976:1) dalam bukunya The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology mendefinisikan ekologi sebagai berikut Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together in populations and biological communities, in relation to their environments – the physical, chemical, and biological characteristics of their surroundings. Ekologi merupakan studi yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewanan sebagai individu dan secara bersamaan dalam populasi dan komunitas biologis dalam kaitannya dengan lingkungannya – fisik, kimia, dan karakteristik biologis lingkungannya (terjemahan penulis) Disamping itu, Haeckel (1870) dalam Ricklefs (1976:2) menerangkan
“By ecology, ”he wrote, “we mean the body of knowledge concerning the economy of nature – the investigation of the total relations of the animal both to its organic and to its inorganic environment; including above all, its friendly and inimcal relation with those animals and plants with ehich it come directly or indirectly in contact – in a word,
ecology is the study of all the complex interrelations referred to by Darwin as the conditions of the struggle for existence.” terkait ekologi, ‘beliau menulis “kita artikan pokok ilmu pengetahuan mengenai ekonomi alam – penelitian hubungan mutlak dari hewan baik lingkungan organik maupun non-organik; termasuk secara keseluruhan, keramahtamahannya dan hubungan inimcal dengan hewan-hewan tersebut dan tanaman-tanaman dengan ehich yang datang dalam kontak secara langsung atau tidak langsung – dalam kata lain, ekologi adalah studi keseluruhan hubungan intra yang kompleks yang dirujuk Darwin sebagai kondisi perebutan eksistensi” (terjemahan penulis)
Dengan demikian, kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/ multi bahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya.
2.2.3 Semantik Leksikal Dari segi semantis, “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan budaya bahasa bersangkutan” (Sibarani, 1997:7). Pembahasan makna dalam kata merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam kalimat (Pateda, 2001:74). Jadi, menurut semantik leksikal, makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet
dalam Palmer (1976:37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas, dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, kegiatan, adjektiva, dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya, pronomina, numeralia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan terikat pada konteks kalimat. Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang (symbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda (sign) (Pateda 2001:25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda. Tanda-tanda itu mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam (Pateda, 2001:31). Misalnya, kelapa yang digongseng (disangrai) sudah berwarna kecoklatan menandakan bahwa kelapa tersebut sudah masak dan dapat diangkat dari tempat pemasakan.
2.2.4Semantik Kognitif
Kognitivisme mengacu pada teori linguistik yang berdasar pada pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan pikiran (Lyons 1995: 97). Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik fungsional yang menawarkan prinsip yang sangat berbeda dari linguistik formal dalam memandang bahasa. Secara eksternal, linguis fungsional berpendapat bahwa prinsip penggunaan bahasa terwujudkan dalam prinsip kognitif yang sangat umum; dan secara internal mereka berpendapat bahwa penjelasan linguistik
harus melampaui batas antara berbagai macam tingkatan analisis (Saeed 1997: 300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal tidak dapat hanya dianalisis melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi juga melalui sisi makna yang dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu penggunaan bahasa (Saeed 1997: 300).
Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa manusia tidak memiliki akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana tercermin dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan pengalaman mereka berkembang dan bertingkah laku (Saeed 1997: 300). Dengan kata lain, makna merupakan struktur konseptual yang dikonvensionalisasi (Saeed 1997: 300) dan bahasa merupakan cara eksternalisasi dari seluruh mekanisme yang terdapat dalam otak (Jaszczolt 2002: 345). Proses konseptualisasi ini, menurut penganut semantik kognitif, sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai cara manusia memahami dan membicarakan dunia. Selain itu, dalam semantik kognitif juga ditelaah proses konseptual pembicara, meliputi viewpoint shifting, figure-ground shifting, dan profiling (Saeed 1997: 302).
2.3 Penelitian Relevan 2.3.1 Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik (Sukhrani, 2010) Metode penelitian yang digunakan oleh Sukhrani adalah metode penelitian kualitatif. Data leksikon nomina bahasa Gayo terkait dengan lingkungan ragawi Lut Tawar diperoleh melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam.Hasil penelitian ini adalah (1) saat ini sebagian besar
penutur bahasa Gayo pria dan wanita dari masing kelompok usia masih mengenal dan sering mendengar maupun menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan kedanauan Lut Tawar, (2) leksikon kedanauan Lut Tawar yang diteliti tingkat pemahamannya lebih didominasi nomina karena begitu beragam dan kayanya Lut Tawar akan nama biota dalam dan sekitar danau dan nama alat tangkap ikan, dan (3) Leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian besar masih dikenal dan digunakan dalam berkomunikasi. Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah karena biodiversitas lingkungan sekitar danau, penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam, dan oenutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian. Penelitian Sukhrani memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam hal teori-teori ekolinguistik oleh Haugen. Perbedaan penelitian Sukhrani dengan penelitian ini adalah penelitian Sukhrani membahas mengenai nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawarsedangkan penelitian ini tidak terbatas pada nomina melainkan nomina, kegiatan, dan ajektivamengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.2Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik (Rasna, 2010) Penelitian yang dilakukan oleh Rasna dalam meneliti “Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka
Pelestarian
Lingkungan:
Sebuah
Kajian
Ekolinguistik”
bersifat
eksploratif. Informasi diperoleh dengan teknik wawancara untuk memperoleh data pengetahuan tanaman obat tradisional dengan bantuan kuesioner terstruktur. Hasil penelitian menyimpulkan secara ekolinguistik adanya penyusutan bentuk leksikal tumbuhan/ tanaman obat para remaja sehingga para remaja tidak lagi mengenal bentuk leksikal sekapa(gadung), kusambi, nagasari, kundal, antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini terjadi akibat: (a) adanya perubahan sosiokultural, (b) perubahan sosioekologis secara fisik, dan (c) faktor sosioekonomis. Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan contoh bagaimana menganalisis kajian ekolinguistik pada tumbuhan (flora). Perbedaan penelitian Rasna dengan penelitian ini adalah penelitian Rasna membahas mengenai tanaman obat yang dikaji dalam kajian ekolinguistik sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.3 Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (Yusradi Usman, 2010) Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik yang dilakukan oleh Yusradi Usman pada tahun 2010 menggunakan metode penelitian kualitatif. Topik dan karakteristik masalah yang dirumuskan dengan penelitian kaji tindak (action research). Hasil penelitian ini adalah (1) konsep tutur dalam masyarakat Gayo; munculnya tutur dalam masyarakat Gayo tidak berdiri sendiri melainkan ada faktor sosial budaya yang merangkainya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai budaya Gayo yang terdiri atas pelbagai nilai. Nilai-nilainya yang dimaksud adalah imen (iman), mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang
gemasih(kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitif). Hubungan darah perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian, membantu seseorang, dan mengadopsi anak merupakan perangkai sosial yang membentuk tutur dalam masyarakat Gayo. (2) klasifikasi, bentuk, dan fungsi tutur; tutur dalam masyarakat Gayo diklasifikasikan menjadi 1) patut atau muperdu (bentuk tutur yang sudah baku); 2) museltu (terbentuk akibat faktor tertentu); 3) mantut (peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnya/ seharusnya); 4) uru-uru (tindak betutur didorong akibat ikut-ikutan); 5) gasut (pemakaian tutur yang kerap berubah-ubah. (3) penyusutan tutur; perubahan sosio-ekologis yang terjadi didataran tinggi tanoh Gayo sangat mempengaruhi penyusutan tutur. Terlebih di Takengon yang dikenal dengan pluralitas etnik yang lebih dari delapan etnik. Keragaman situasi itu membuat terjadinya kontak antar etnik, bahasa, dan budaya. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi masyarakat Gayo baik secara psikologis maupun secara sosial khususnya dalam bertutur. (4) bentuk tutur baru (variasi tutur); empat hal yang terjadi perihal tutur, yaitu a) tetap, b) jarang, dan c) tidak dipakainya lagi tutur, serta d) terciptanya bentuk tutur baru. Penelitian Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik yang dilakukan oleh Yusrdi Usman, memberikan kontribusi dalam hal teori-teori ekolinguistik. Perbedaan penelitian Usman dengan penelitian ini adalah penelitian Usman mengenai penyusutan tutur sedangkan penelitian ini pengetahuan guyub tutur terhadap leksikon kuliner MTB.
2.3.4 Ketahanan Khazanah Lingual Pertanian Guyub Tutur Bahasa Bima dalam Perspekstif Ekolinguistik Kritis (Umiyati, 2011) Penelitian ketahanan khazanah lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima dilakukan dengan menghimpun leksikon-leksikon, teks-teks tentang lingkungan hidup, wacana-wacana, dokumen-dokumen, publikasi seta publikasi serta hasil interview. Penelitian ini dilakukan di dua desa dan dua kelurahan yang tersebar di dua kebupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Hasil penelitian ini menyimpulkan ketahanan khazanah lingual pada ranah pertanian masih sangat terjaga, ditandai dengan kemunculan sejumlah leksikon khas ranah pertanian dalam sejumlah metafora dan ungkapan-ungkapan yang lahir dari kearifan lokal setempat. Dalam pandangan ekolinguistik pandangan green grammar dijadikan sebagai bentuk struktur yang ideal untuk menyelaraskan kalimat/ klausa yang ada pada guyub tutur ini dengan alam. Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan kemudahan dalam hal teori ekolinguistik yang terbilang baru di Indonesia dalam usaha pelestarian lingkungan. Perbedaan penelitian Umiyati dengan penelitian ini adalah penelitian Umiyati membahas mengenai bentuk metafora dari sejumlah leksikon pertanian dan pandangan kajian green grammar dalam ungkapan-ungkapan pelestarian alam lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima, sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.5Pergeseran Leksikon Kuliner Melayu Serdang Terhadap Remaja Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai (Sinar, T, S, 2011)
Penelitian ini bertujuan menemukan dan mendeskripsikan leksikon kuliner nomina bahasa Melayu Serdang, untuk diwariskan sebagai pengetahuan dan pemahaman generasi muda dan mengenai leksikon kuliner nomina Kesultanan Serdang dan
memberikan
informasi
yang
merujuk
kepada pentingnya
keterpeliharaan lingkungan Kesultanan Serdang sehingga masyarakat masa kini yang bermukin disekitarnya bertanggung jawab dalam pemeliharaan lingkungan. Saat ini generasi muda Melayu Serdang sudah mulai tidak mengenal lagi pangan kuliner Melayu Serdang, dan lebih mengenal kuliner yang modern saat ini yang cepat saji dan praktis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan dan metode kuantitatif dan kualitatif dengan instrumen untuk pengumpulan data dilakukan di Kecamatan Perbaungan yang berada dalam lingkungan Kesultanan Serdang masa lalu di Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menemukan beberapa pangan kuliner yang sudah mulai tidak dikenal lagi seperti: anyang kepah, botok kampong, bubur lambuk, bubur sup, gulai darat atau terung sembah, gulai pisang emas, gulai kacang hijau dengan daun buas-buas, gulai lambuk kemuna, gulai telur terubuk, pekasam kepah, pekasam maman, rendang santan telur terubuk, emping padi, senat, sambal lengkong, sambal tempoyak durian, sambal terasi asam sundai, sambal belacan asam binjei, kue danagi, halwa masekat, lubuk haji pantai surga, lempeng putih, kueh makmur, kueh pakis, kueh pelita daun, tepung gomak, cucur badak, kueh cara, halwa renda, halwa cermai, halwa rukam.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan kemudahan dalam hal informasi berbagai jenis kuliner khususnya kuliner Melayu. Perbedaan penelitian Sinar dengan penelitian ini adalah penelitian Sinar membahas mengenai leksikon kuliner Melayu Serdang, sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.6 Analisis dan Kebermaknaan Bahan Bubur Pedas Sebagai Warisan Kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai (Sartika dan Siti Wahidah, 2013)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Analisis dan Kebermaknaan Bahan Bubur Pedas Sebagai Warisan Kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai baik dari segi pengetahuan, bahan, pengolahan dan penyajian. Subjek penelitian ini dilakukan terhadap 4 narasumber yang dibagi menjadi 2 orang untuk daerah Stabat dan 2 orang juga untuk daerah Tanjungbalai. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bersifat eksploratif, yang menggambarkan pengetahuan masyarakat tentang bubur pedas baik di daerah Stabat maupun Tanjungbalai. Untuk merealisasikan tujuan penelitian di atas, metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode wawancara mendalam (Indepth Interview). Narasumber dipilih dengan system non random (Non Probability Sampling) dengan teknik Purposive Sampling (Pengambilan Sampling atas pertimbangan tertentu oleh peneliti sendiri/kepentingan sendiri) sebanyak 4 orang. Alat yang digunakan untuk menjaring data adalah berupa lampiran pertanyaan daftar wawancara. Data yang terkumpul dijadikan dalam bentuk matriks menurut variabel yang diteliti, kemudian diuraikan secara kualitatif untuk mengetahui
uraian pengetahuan dan pandangan narasumber tentang analisis bahan bubur pedas sebagai warisan kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai. Hasil penelitian ini adalah (1) pengetahuan masyarakat Melayu tentang bubur pedas masih sangat kental akan tetapi walaupun sama-sama dari rumpun Melayu untuk pendapat mengenai asal-usul bubur pedas sangat berbeda dan pengetahuan masing-masing narasumber itu sendiri bukan dari tingkat pendidikan melainkan dari pengetahuan yang berasal dari turun temurun, (2) untuk setiap daerah memiliki perbedaan dari segi bahan-bahan, dan juga pengolahan, sedangkan dalam penyajiannya tidak ada yang berbeda baik dari Stabat dan Tanjungbalai. Pada daerah Stabat bahan-bahannya menggunakan banyak rempah dan rimpang-rimpangan, sedangkan untuk daerah Tanjungbalai bahan-bahan tersebut masih dalam keadaan segar dan tidak terlalu banyak menggunakan rempah-rempah dan rimpang-rimpangan, dan (3) untuk pengolahannya, daerah Stabat lebih memilih mengeringkan bahan-bahan seperti rimpang-rimpangan yang kemudian dihaluskan bersamaan dengan rempah-rempah yang memang sudah kering dan kemudian perebusan dimasukkan secara bersamaan. Alasan untuk pengeringan bahan-bahan tersebut adalah agar penyimpanan dalam waktu lama tidak akan mudah rusak, sedangkan untuk pemasakan yang dilakukan bersamaan agar semua bahan yang dimasak akan matang secara merata. Untuk daerah Tanjungbalai bahan-bahan yang digunakan masih dalam keadaan segar dan juga dalam perebusannya memiliki beberapa tahap. Alasan menggunakan bahan-bahan segar agar bubur pedas lebih memiliki aroma yang segar serta dalam pengolahannya memiliki beberapa tahap agar semua bahan-bahan tersebut matang secara bersamaan.
Perbedaan penelitian Sartika dan Siti Wahidah dengan penelitian ini adalah penelitian Sartika dan Siti Wahidah membahas mengenai kebermaknaan bahan bubur pedas yang merupakan salah satu kuliner MelayuTanjungbalai sedangkan penelitian ini membahasmengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.7 Keterkaitan Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas Bahasa Aceh Di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik (Nuzwaty, 2014)
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan penelitian yaitu pertama, menganalisis dan mendeskripsikan keterkaitan metafora dengan lingkungan alam pada
komunitas
bahasa
di
Desa
Trumon.
Kedua,
menganalisis
dan
mendeskripsikan klasifikasi metafora. Ketiga, menganalisis dan menemukan karakteristik metafora dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolaborasi dari teori ekolinguistik dengan tiga dimensi sosial praksis, parameter ekolinguistik (keberagaman, keterhubungan, lingkungan), dan teori metafora konseptual kognitif linguistik. Penelitian ini menemukan bahwa metafora yang digunakan oleh masyarakat bahasa di Desa Trumon terbentuk dari sifat alamiah flora dan fauna yang ada di lingkungan alam sebagai ranah sumber dipetakan kepada manusia dan sifat atau perilaku manusia tersebut sebagai ranah target, keterhubungan antara ke dua ranah tersebut diproses di dalam kognitif penggunaannya dan pengguna metafora tersebut disepakati secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa tersebut. Ditemukan pula bahwa pada umumnya metafora di Desa Trumon terbentuk dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh dan pengalaman
inderawi pengguna bahasa tersebut. Karakteristik metafora yang digunakan di Desa Trumon merupakan metafora konseptual yang terbentuk secara konseptual alamiah dari unsur-unsur bahasa dan kognitif manusia melalui tiga dimensi sosial praksis dan dapat pula digambarkan dalam hubungan ontologi dan epistemik. Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan kemudahan dalam hal informasi mengenai tiga dimensi sosial praksis. Perbedaan penelitian Nuzwaty dengan penelitian ini adalah penelitian Nuzwaty membahas mengenai keterkaitan metafora dengan lingkungan alam, sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.
2.3.8 Khazanah Ekoleksikal, Sikap, dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang: Kajian Ekolinguistik (Faridah, 2014)
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan penelitian yaitu untuk (1) menganalisis khazanah leksikal BMS, (2) menganalisis perubahan lingkungan dan pilihan bahasa, (3) membuktikan hubungan antara pengetahuan dan sikap penutur, dan (4) menganalisis sikap bahasa dan pergeseran bahasa serta faktor-faktor penyebab terjadi pergeseran. Metode yang digunakan dalam metode kualitatif dan kuantitatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji khazanah leksikal
dari
disiplin
ilmu
Ekolinguistik
adalah
interrelasi,
interaksi,
interdepedensi, keberagaman dan lingkungan. Penelitian ini menemukan lima temuan yaitu (1) leksikal umum flora dalam BMS adalah kelambir yang menurunkan 27 leksikon khusus, (2) leksikal umum fauna yang diacu adalah ayam kampung yang memiliki 9 leksikal khusus turunan, (3) lingkungan penutur BMS pada mulanya menggunakan BMS dan hal
tersebut disebabkan oleh faktor ecoregion yang mendukung pada saat itu, (4) terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pengetahuan dan sikap diantara para penutur dari kalangan usia muda, (5) kedudukan BMS mengalami pergeseran dalam penggunaannya di masyarakat da terdapat delapan faktor penyebab. Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan kemudahan dalam hal informasi mengenai teori ekolinguististik Haugen. Perbedaan penelitian Faridah dengan penelitian ini adalah penelitian Faridah membahas mengenai khazanah ekoleksikal sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.