BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Kavum nasi dibatasi oleh vestibulum di bagian anterior sampai ke koana di bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal valve, yang terletak antara batas belakang kartilago alaris dengan batas depan kartilago lateralis. Limen nasi adalah daerah tersempit dari saluran napas atas. Batas posterior dari kavum nasi adalah koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Ballenger, 2003). Atap kavum nasi dibentuk oleh kartilago alaris, kartilago lateralis, tulang nasalis, prosesus nasalis tulang frontalis, tulang sfenoidalis, tulang etmoidalis dan lamina kribrosa. Dasar kavum nasi dibentuk oleh prosesus palatinus tulang maksila dan prosesus horisontalis tulang palatum. Dinding lateral kavum nasi dibentuk oleh permukaan dalam maksila, tulang lakrimalis dan prosesus pterigoideus tulang sfenoidalis. Pada dinding lateral kavum nasi ini terdapat struktur yang penting secara fungsional. Struktur tersebut adalah konka superior, medius,
inferior dan meatus-meatusnya. Meatus-meatus yang terdapat pada
konka merupakan muara dari sinus paranasalis dan duktus nasolakrimalis (Ballenger, 2003). Meatus superior merupakan muara dari sel-sel etmoidalis posterior. Resesus sfenoidalis yang merupakan muara sinus sfenoidalis terletak di bagian belakang atas konka superior (Ballenger, 2003).
6
7
Meatus medius yang terletak antara konka media dan konka inferior merupakan muara dari sinus frontalis, sinus maksilaris dan sel-sel etmoidalis anterior. Sinus frontalis dihubungkan dengan meatus medius melalui resesus frontalis. Sedikit di belakang batas anterior konka media terdapat tonjolan tulang dan jaringan ikat di dinding lateral kavum nasi yang disebut prosesus unsinatus. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah yang terletak di antara prosesus unsinatus dan bula etmoidalis. Ruangan yang terletak di antara prosesus unsinatus, bula etmoidalis dan lamina papirasea disebut infundibulum etmoidalis (Ballenger, 2003). Meatus
inferior terletak di
bawah konka
inferior. Muara duktus
nasolakrimalis terletak di meatus inferior yaitu sekitar 3-5 sentimeter di belakang nares (Ballenger, 2003). Prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, resesus frontalis, bula etmoidalis, infundibulum etmoidalis dan ostium sinus maksilaris membentuk suatu unit fungsional yang disebut kompleks ostiomeatal (Gambar 2.1). Karena sempitnya kompleks ostiomeatal, maka suatu perubahan kecil di tempat tersebut yang disebabkan misalnya oleh karena variasi anatomis ataupun edem mukosa sudah dapat menimbulkan gangguan ventilasi yang pada akhirnya menyebabkan kelainan patologis pada sinus paranasalis (Ballenger, 2003). Kavum nasi terbagi menjadi dua oleh septum nasi. Septum nasi terbentuk oleh segmen kartilago dan segmen tulang. Bagian superoposterior terbentuk oleh lempeng perpendikularis tulang etmoidalis, di anterior terbentuk oleh kartilago kuadrangularis, premaksila dan kolumela. Bagian inferior terbentuk oleh tulang
8
vomer, krista maksilaris dan krista palatina. Bagian posterior terbentuk dari krista sfenoidalis (Ballenger, 2003; Mehta dan Ralph, 2006). Dinding lateral kavum nasi mendapat vaskularisasi dari arteri sfenopalatina, arteri palatina desenden, arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Septum nasi mendapat vaskularisasi dari arteri nasalis posterior yang merupakan cabang dari arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor yang merupakan cabang dari arteri palatina desenden, arteri labialis superior yang merupakan cabang dari arteri fasialis, arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri sfenopalatina dan arteri palatina desenden merupakan cabang dari arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Arteri fasialis juga merupakan cabang arteri karotis eksterna. Arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna. Drainase vena mengikuti arterinya ke pleksus oftalmika dan sebagian lagi ke arah sinus kavernosus (Ballenger, 2003; Mehta dan Ralph, 2006). Persarafan hidung terutama berasal dari cabang oftalmika dan maksilaris dari nervus trigeminus. Cabang oftalmika nervus trigeminus terbagi menjadi cabang etmoidalis anterior, etmoidalis posterior dan cabang infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior terbagi menjadi cabang medial dan lateral. Cabang medial mempersarafi daerah septum nasi sedangkan cabang lateral mempersarafi dinding lateral kavum nasi. Nervus etmoidalis posterior mempersarafi septum nasi. Cabang maksilaris nervus trigeminus memberikan dua cabang yaitu nervus nasalis posterior superior yang mencapai septum nasi sebagai nervus nasopalatina dan nervus nasalis posterior inferior yang berjalan di sebelah lateral dan mempersarafi
9
konka superior, medius dan inferior. Dalam fungsinya sebagai organ penghidu, hidung juga dipersarafi oleh nervus olfaktorius di daerah bulbus olfaktorius (Ballenger, 2003; Mehta dan Ralph, 2006). Secara umum, gambaran anatomi hidung dan sinus paranasalis disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Hidung dan sinus paranasalis (Ballenger, 2003) a. Potongan koronal hidung dan sinus paranasalis. b. Gambaran kompleks ostiomeatal.
Kavum
nasi
dan
septum
dilapisi
oleh
mukoperiosteum
dan
mukoperikondrium. Mukoperiosteum dan mukoperikondrium ini tersusun atas membran mukosa, submukosa atau lamina propria dan kemudian perikondrium atau periosteum (Huizing dan Groot, 2003). Membran mukosa yang melapisi kavum nasi disebut juga sebagai mukosa Schneiderian (Balogh dan Pantanowitz, 2007). Membran mukosa tersusun atas empat jenis sel yaitu sel kolumner bersilia, sel kolumner tak bersilia, sel goblet dan sel basal. Mukosa dan submukosa dipisahkan oleh membran basalis (Huizing dan Groot, 2003). Submukosa terdiri dari tiga lapis. Lapisan luar adalah lapisan superfisial yang terdiri dari kapiler, lapisan tengah merupakan lapisan yang terdiri dari kelenjar
10
tubuloalveolar dan lapisan bawah yang terdiri dari pleksus venosus (Huizing dan Groot, 2003). Periosteum dan perikondrium terdiri dari jaringan ikat yang berjalan paralel terhadap kartilago dan tulang. Perikondrium dan periosteum terbagi menjadi dua lapis. Lapisan luar terdiri dari serat jaringan ikat, arteriol, venula dan serabut saraf. Lapisan dalam merupakan jaringan ikat padat yang melekat pada kartilago atau tulang yang mendasarinya (Huizing dan Groot, 2003). Hidung memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi respirasi, fungsi penghidu dan fungsi proteksi. Fungsi hidung ini ditunjang oleh anatomi permukaan dalam hidung yang berlekuk sehingga permukaannya menjadi luas. Luasnya permukaan kavum nasi akan meningkatkan kontak antara udara inspirasi dengan mukosa hidung sehingga memaksimalkan fungsi hidung dalam mengatur suhu dan kelembaban udara inspirasi serta menyaring udara inspirasi (Leung dkk., 2014). Fungsi respirasi hidung adalah mempersiapkan udara luar agar suhu dan kelembaban udara sesuai dengan saluran napas dibawahnya. Sistem vaskular dan sekretori yang terdapat dalam kavum nasi akan mengatur suhu udara inspirasi sehingga mendekati 37°C dengan kelembaban sekitar 85% (Leung dkk., 2014; Ballenger, 2003). Fungsi penghidu dilakukan oleh neuroepitel olfaktorius yang tersebar di atap kavum nasi yang terletak di antara septum dengan permukaan medial konka superior. Neuroepitel olfaktorius juga dapat meluas sampai ke konka media dan lamina kribrosa (Leung dkk., 2014).
11
Fungsi proteksi hidung terjadi oleh adanya aliran udara turbulen dalam kavum nasi, adanya vibrise di vestibulum nasi dan adanya sistem mukosilia (Leung dkk., 2014; Ballenger, 2003). Vibrise akan menyaring partikel berukuran besar yang masuk ke kavum nasi. Turbulensi udara yang terjadi dalam kavum nasi menyebabkan udara inspirasi bersentuhan dengan permukaan mukosa kavum nasi sehingga sekitar 80-85% partikel dengan ukuran kira-kira 5 µm atau lebih besar akan melekat pada mukus yang terdapat pada mukosa dan kemudian akan dibersihkan oleh sistem mukosilia (Leung dkk., 2014; Ballenger, 2003). Partikel yang lebih kecil dari 0,5 µm dapat melewati fungsi penyaring hidung tersebut (Leung dkk., 2014). Pada umumnya droplet yang mengandung patogen berukuran lebih besar dari 5-6 µm (Ballenger, 2003). Mukosa kavum nasi menghadapi lingkungan luar dan secara konstan berinteraksi dengan sejumlah bakteri, virus dan jamur. Pada individu normal, sistem imun mukosa akan merespon rangsangan ini dan berfungsi sebagai pertahanan lini pertama terhadap patogen (Leung dkk., 2014). Terdapat dua respon yang berbeda namun tetap terintegrasi terhadap rangsangan ini. Respon tersebut adalah imunitas bawaan dan didapat. Imunitas bawaan terdiri atas epitel saluran napas yang membentuk penghalang fisik dan enzim-enzim mukosa yang memiliki efek anti mikroba. Fagosit seperti netrofil dan makrofag akan membentuk lini pertahanan berikutnya (Leung dkk., 2014). Sistem imun didapat pada daerah sinonasal diperantarai oleh sel dendritik yang merupakan antigen-presenting cells atau APC. Antigen diproses dan dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T-helper atau sel Th. Interaksi antara sel
12
dendritik, sel T dan sel B terjadi di dalam kelenjar limfe mukosa. Rangsangan yang kuat dari patogen akan memicu cell-mediated response dari sel Th1. Respons sel Th1 dan sitokin akan mempermudah aktivitas fagositik dari makrofag dan cell-mediated cytotoxicity. Rangsangan yang lemah dari patogen akan menimbulkan respons dari sel Th2 untuk mengeluarkan sitokin yang merangsang sel B antigen-specific untuk memproduksi IgE dan S-IgA. S-IgA adalah imunoglobulin utama pada sekret hidung yang akan menetralisir virus dan bakteri (Leung dkk., 2014). 2.2 Sistem Mukosilia Sistem bersihan mukosilia hidung terdiri atas dua sistem berbeda yang bekerja sama dengan serasi. Ke dua sistem tersebut adalah silia yang aktif bergerak dan mukus yang membawa partikel ke posterior ke arah esofagus. Silia respiratorius pada manusia terdapat pada seluruh saluran napas kecuali di vestibulum nasi. Silia tersebut terdapat pada permukaan sel dengan panjang 6 µm dan diameter 0,3 µm. Terdapat 100-200 buah silia pada tiap sel. Tiap silia dibungkus oleh membran plasma dari sel yang bersangkutan dan melekat pada suatu basal body basal yang terletak sedikit di bawah permukaan sel. Pada ujung silia terdapat semacam tutup di mana terdapat 3-7 “cakar” sepanjang 25-35 nm menyembul di atasnya (Ballenger, 2003; Houtmeyers dkk., 1999). Dalam setiap silia terdapat aksonema yaitu satu berkas mikrotubulus atau fibril yang tersusun secara longitudinal. Aksonema ini tersusun dari sembilan pasang mikrotubulus yang tersusun membentuk suatu pola lingkaran yang menyerupai roda kereta. Sembilan pasang mikrotubulus yang membentuk pola
13
lingkaran mengelilingi satu pasang mikrotubulus. Pola ini disebut pola “9 plus 2”. Satu pasang mikrotubulus disebut doublet. Doublet-doublet yang membentuk pola lingkaran disebut doublet perifer sedangkan sepasang mikrotubulus yang dikelilingi oleh doublet perifer tersebut disebut central pair atau mikrotubulus sentral (Ballenger, 2003). Mikrotubulus dalam doublet perifer tersebut terletak berdampingan dan disebut subfiber A bagi mikrotubulus yang terletak lebih sentral dan subfiber B bagi mikrotubulus yang terletak lebih perifer. Terdapat dua buah lengan yang menempel pada subfiber A yang mengarah ke subfiber B pada doublet di sebelahnya. Lengan tersebut terbentuk dari ATPase dan disebut sebagai dynein arms (Ballenger, 2003; Houtmeyers dkk., 1999). ATPase adalah suatu protein yang memakai energi dari ATP untuk pergerakan (Sleigh, 1988). Subfiber A dari satu doublet dihubungkan dengan subfiber B doublet di sebelahnya oleh suatu material elastik yang disebut neksin. Dari subfiber A setiap doublet perifer keluarlah suatu radial spokes ke arah central pair (Ballenger, 2003; Houtmeyers dkk., 1999). Basal body yang berbentuk silinder terdapat di bawah membran sel dan aksonema. Ke dua mikrotubulus dalam doublet perifer mendapat tambahan satu mikrotubulus lagi yang disebut subfiber C sehingga terdapat tiga mikrotubulus yang disebut triplet di bawah basal body tersebut. Mikrotubulus sentral berakhir pada basal body. Triplet memanjang ke dalam sitoplasma apikal yang disebut rootlet. Rootlet kemudian mengerucut ke arah bawah membentuk basal foot dan gambarannya bergaris-garis yang menyerupai serat kolagen. Basal foot
14
membengkok searah dengan arah lecutan efektif silia (Ballenger, 2003). Struktur silia, aksonema, mikrotubulus, doublet dan struktur silia lain disajikan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur silia (Ballenger, 2003)
Palut lendir merupakan salah satu komponen dari sistem mukosilia. Palut lendir memiliki ketebalan antara 12-15 µm dan terdiri atas dua lapis atau bilayered. Lapisan atas yang disebut gel layer lebih kental dan terletak pada ujung silia sedangkan lapisan bawah yang disebut lapisan perisilia atau sol layer konsistensinya lebih encer. Gel layer dihasilkan oleh sel goblet dan sol layer dihasilkan oleh sel serosa. Lapisan atas tersebut berbentuk serpihan-serpihan sehingga seolah-olah gel layer yang lebih kental tersebut mengambang di atas sol layer. Palut lendir memiliki sifat sedikit asam dan komposisinya terdiri dari 2,53% glikoprotein, 1-2% garam dan 95% air. Sekitar 70% dari protein yang terdapat dalam palut lendir adalah imunoglobulin. Fungsi palut lendir adalah sebagai pelumas dan untuk menjebak partikel-partikel yang melewati kavum nasi. Gerakan silia di bawah palut lendir akan menggerakkan palut lendir beserta partikel yang terjebak di dalamnya ke arah faring. Partikel yang terletak pada palut lendir akan digerakkan oleh silia dengan kecepatan antara 3-25 mm per
15
menit atau rata-rata sekitar 6 mm per menit. Namun demikian ditemukan variasi dari rata-rata kecepatan gerakan ini (Ballenger, 2003; Leung dkk., 2014; Voigt dan Edelstein, 2006). Gerakan bolak-balik silia yang disebut sebagai siklus silia atau ciliary beat terjadi secara bifasik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Fase efektif adalah lecutan silia di mana silia tersebut meregang maksimal ke arah atas berupa lecutan yang kuat dan cepat. Cakar pada ujung silia akan menembus lapisan atas palut lendir sehingga menggerakkan palut lendir tersebut ke arah sesuai lecutan efektif silia tersebut. Lecutan silia pada fase pemulihan terjadi secara lebih lemah dan lambat sehingga silia tersebut melengkung kembali ke arah lapisan perisilia. Gerakan semacam ini menyebabkan dorongan ke satu arah. Siklus silia ini bersifat metakronik yaitu gerakan silia yang terkoordinasi sehingga mencegah benturan antar silia di saat fase gerakan yang berbeda (Ballenger, 2003; Voigt dan Edelstein, 2006; Houtmeyers dkk., 1999). Pada lingkungan normal siklus silia adalah sekitar 10-15 kali per detik (Voigt dan Edelstein, 2006) atau sekitar 1000 kali per menit (Ballenger, 2003; Voigt dan Edelstein, 2006).
Gambar 2.3 Siklus silia atau ciliary beat (Ballenger, 2003)
Gerakan silia disebabkan oleh saling meluncurnya mikrotubulus yang berdekatan sehingga menimbulkan perpotongan gaya dan mengakibatkan silia
16
membengkok. Energi yang digunakan berasal dari ATP yang terdapat dalam dynein arms. Sumbu gerakan silia adalah pada garis yang tegak lurus terhadap bidang yang menghubungkan ke dua mikrotubulus dalam central pair (Ballenger, 2003; Houtmeyers dkk., 1999). Kadar NO mempengaruhi gerakan silia. Konsentrasi NO yang tinggi akan merangsang frekuensi irama silia sedangkan konsentrasi NO yang rendah akan menurunkan frekuensi irama silia (Leung dkk., 2014). Imada dkk. (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung akan memendek setelah pemberian donor NO dan memanjang setelah pemberian NO synthase inhibitor. 2.3 Waktu Bersihan Mukosilia Hidung Sistem mukosilia yang terdapat dalam saluran napas mampu menggerakkan partikel yang terdapat di permukaannya dengan kecepatan antara 3-25 mm per detik atau rata-rata sekitar 6 mm per menit (Voigt dan Edelstein, 2006; Ballenger, 2003). Waktu bersihan mukosilia hidung atau waktu transpor mukosilia hidung dapat diukur dengan beberapa metode, diantaranya adalah dengan uji sakarin, pemeriksaan dengan zat pewarna ataupun dengan partikel yang telah dilabel dengan isotop radioaktif Teknesium 99m (Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004; Deborah dan Prathibha, 2014). Prinsip uji sakarin dan pemeriksaan dengan zat pewarna adalah menghitung waktu yang diperlukan untuk sakarin atau zat pewarna yang diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior untuk mencapai rongga faring. Pada uji sakarin interval waktu dihitung sampai subjek telah merasakan rasa manis, sedangkan pada pemeriksaan dengan zat pewarna
17
interval waktu dihitung sampai terlihat zat pewarna di rongga faring. Zat pewarna yang biasanya digunakan untuk pemeriksaan ini adalah Evans blue (Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004). 2.3.1 Uji Sakarin Uji sakarin dilakukan dengan cara meletakkan tablet sakarin berdiameter kurang lebih 1 mm, kira-kira 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior dengan menggunakan forsep aligator kecil seperti yang disajikan pada Gambar 2.4. Subjek diminta tetap bernapas biasa melalui hidung. Selama pemeriksaan ini subjek dilarang untuk bersin, mengendus, makan maupun minum. Subjek diminta untuk menelan satu kali setiap menit dan melaporkan jika merasakan suatu rasa di tenggoroknya. Rasa alamiah tersebut tidak diberitahukan kepada subjek sehingga kepada subjek dapat ditanyakan mengenai kualitas sensasi tersebut (Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004; Valía dkk., 2008).
Gambar 2.4 Pemeriksaan waktu bersihan mukosilia hidung dengan uji sakarin (Scadding dan Lund, 2004) a. Forsep aligator kecil dan tablet sakarin. b. Sakarin diletakkan kira-kira 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior.
Uji sakarin merupakan teknik baku dalam pengukuran waktu bersihan mukosilia hidung (Deborah dan Prathibha, 2014). Uji sakarin merupakan uji yang
18
sederhana, non invasif, mudah dikerjakan dan relatif tidak mahal (Valía dkk., 2008). Puchelle dkk. (1981) menyatakan bahwa pengukuran waktu bersihan mukosilia hidung dengan uji sakarin cukup valid dan berkorelasi baik dengan metode radioisotop (p < 0,001). Rutland seperti dikutip oleh Deborah dan Prathibha (2014) maupun Isern seperti dikutip oleh Valía dkk. (2008) menyatakan bahwa hasil uji sakarin juga cukup reliabel. Reliabilitas suatu pengukuran ditunjukkan oleh reprodusibilitasnya (Murti, 2011). Penelitian Corbo dkk. (1989) menunjukkan bahwa reprodusibilitas uji sakarin cukup baik yang ditunjukkan dengan konsistensinya yang baik antara pengulangan pengukuran dengan nilai interclass correlation coefficient atau Ri=0,80 dan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan antara dua pengukuran tersebut. Havas (1999) dalam penelitiannya membuktikan bahwa uji sakarin cukup reliabel yang dibuktikan dengan tidak terdapatnya perbedaan hasil yang signifikan secara statistik pada pengulangan uji sakarin. Valía menyatakan
bahwa uji sakarin
merupakan
suatu
dkk.
pengukuran
(2008) yang
reprodusibel karena pengulangan uji sakarin pada subjek yang sama pada suatu interval waktu tertentu tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada Wilcoxon T test dengan nilai p = 0,28. Munir (2010) menyatakan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek normal adalah 9,49 ± 0,75 menit. Leung dkk. (2014) menyatakan bahwa lamanya waktu bersihan mukosilia hidung pada sebagian besar subjek normal adalah 10 menit.
19
2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Waktu Bersihan Mukosilia Hidung 2.3.2.1 Kelembaban Udara Salah dkk. (1988) dalam penelitiannya yang membandingkan antara bersihan mukosilia hidung antara subjek yang bernapas dalam kelembaban kamar dengan suhu 22-24°C dan kelembaban relatif 40-43% dengan subjek yang bernapas dalam udara kering dengan suhu 25-29°C dan kelembaban relatif di bawah 0,1%, menyebutkan bahwa terdapat pemanjangan waktu pada subjek yang bernapas dalam udara kering. Hal ini disebabkan karena kehilangan air yang berlebihan setelah bernapas cukup lama dalam udara kering akan mengubah sifat reologis mukus (Salah dkk., 1988). 2.3.2.2 Deviasi Septum Nasi Jang dkk. (2002) maupun Ulusoy dkk. (2007) dalam penelitian yang terpisah menyebutkan bahwa terdapat pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan deviasi septum nasi. Pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan deviasi septum nasi diduga terjadi karena hilangnya silia, adanya inflamasi dan berkurangnya jumlah kelenjar (Jang dkk., 2002). 2.3.2.3 Usia Penelitian Ho dkk. (2001) terhadap efek usia terhadap bersihan mukosilia hidung, frekuensi irama silia dan ultrastruktur silia pada relawan sehat dengan rentang umur antara 11-90 tahun menunjukkan terdapat hubungan antara waktu bersihan mukosilia hidung dengan pertambahan usia. Subjek yang berumur di atas 40 tahun mengalami penurunan frekuensi irama silia dan pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung dibandingkan dengan mereka yang lebih muda. Waktu
20
bersihan mukosilia hidung pada subjek yang berusia lebih dari 40 tahun adalah 15,4 ± 5 menit sedangkan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek yang berusia kurang dari 40 tahun adalah 9,3 ± 5,2 menit (Ho dkk., 2001). 2.3.2.4 Paparan Asap Rokok Penelitian Stanley dkk. (1986) terhadap paparan akut dan kronik asap rokok terhadap waktu bersihan mukosilia hidung menyatakan bahwa paparan akut asap rokok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap bersihan mukosilia hidung namun paparan kronik
yang mana subjek telah merokok sedikitnya
selama lima tahun sebanyak 10 rokok per hari menunjukkan pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung yang bermakna dimana waktu bersihan mukosilia hidung pada perokok adalah 20,8 ± 9,3 menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada bukan perokok adalah 11,1 ± 3,8 menit (Stanley dkk., 1986). Özler dkk. (2014) dalam penelitiannya terhadap efek perokok pasif dan aktif yang sedikitnya terkena paparan asap rokok selama tiga tahun terhadap waktu bersihan mukosilia hidung menyatakan bahwa terdapat pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung secara signifikan pada perokok pasif dan aktif bila dibandingkan dengan kontrol. Waktu bersihan mukosilia hidung pada perokok aktif adalah 15,3 ± 2,34 menit, waktu bersihan mukosilia hidung pada perokok pasif adalah 15,08 ± 3,41 menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada bukan perokok adalah 11,68 ± 2,80 menit (Özler dkk., 2014). 2.3.2.5 Infeksi Infeksi hidung dan sinus paranasalis akan memperpanjang waktu bersihan mukosilia hidung. Atsuta dan Majima (1998) yang meneliti tentang waktu
21
bersihan mukosilia hidung pada pasien sinusitis menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien sinusitis lebih panjang bila dibandingkan dengan kontrol. Munir (2010) dalam penelitiannya terhadap pasien rinosinusitis juga menyatakan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien rinosinusitis lebih panjang dibandingkan dengan kontrol. Waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien rinosinusitis adalah 20,86 ± 2,14 menit sedangkan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek normal adalah 9,49 ± 0,75 menit. Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan
mukosa, serta
terlepasnya sel-sel radang. Endotoksin bakteri serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia dan frekuensi siklus silia (Munir, 2010). 2.3.2.6 Rinitis Alergi Yadav dkk. (2003) yang meneliti tentang hubungan antara rinitis alergi dengan waktu bersihan mukosilia hidung menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan rinitis alergi lebih pendek dibandingkan dengan kontrol. Ranga dkk. (2010) menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien anak-anak dengan rinitis alergi lebih panjang dibandingkan dengan anak-anak tanpa rinitis alergi. Waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan rinitis alergi adalah 12,46 ± 3,74 menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek tanpa rinitis alergi adalah 5,11 ± 1,51 menit (Ranga dkk., 2010).
22
2.3.2.7 Paparan Debu dan Polutan Waktu bersihan mukosilia hidung juga lebih panjang pada pekerja yang terpapar dengan debu kayu. Soemadi dkk. (2009) menyebutkan bahwa pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung pada karyawan mebel dipengaruhi oleh lama masa kerja. Waktu bersihan mukosilia hidung pada karyawan mebel ini mengalami perubahan yang bermakna setelah bekerja selama minimal 3 tahun. Waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek yang terpapar debu kayu adalah 18,21 ± 4,814 menit sedangkan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek yang tidak terpapar debu kayu adalah 10,91 ± 2,482 menit (Soemadi dkk., 2009). Paparan uap bensin juga memperpanjang waktu bersihan mukosilia hidung. Suryana (2013) yang meneliti pengaruh paparan uap bensin terhadap waktu bersihan mukosilia hidung menyimpulkan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung kelompok terpapar uap bensin pada pekerja Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum lebih panjang dibandingkan kelompok tidak terpapar uap bensin. 2.3.2.8 Diabetes Melitus Yue (1989) dalam penelitiannya di Cina menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien diabetes melitus lebih panjang pada kelompok pasien diabetes melitus dibandingkan dengan kelompok non diabetes melitus. Waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien diabetes melitus adalah 5,95 ± 1,12 mm/menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek non diabetes adalah 7,89 ± 1,33 mm/menit (Yue, 1989). Demikian pula Sachdeva dkk. (1998) dalam penelitiannya menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien diabetes melitus adalah 18,02 ± 5,08 menit sedangkan waktu bersihan mukosilia
23
hidung pada kelompok non diabetes melitus adalah 7,49 ± 1,06 menit. Memanjangnya waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien diabetes melitus diduga disebabkan oleh karena adanya penurunan aktivitas ATPase dan gangguan sintesis ATPase yang diperlukan untuk gerakan silia serta gangguan sintesis nitrogen monoksida atau NO yang diperlukan untuk merangsang gerakan silia (Selimoglu dkk., 1999; Leung dkk., 2014). Penelitian Sachdeva dkk. (1998) menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan durasi menderita diabetes melitus > 10 tahun lebih panjang dibandingkan dengan yang menderita diabetes melitus dengan durasi ≤ 10 tahun. Waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan durasi menderita diabetes melitus > 10 tahun adalah 22,36 ± 4,36 menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan durasi menderita diabetes melitus ≤ 10 tahun adalah 15,97 ± 4,03 menit. Diduga bahwa hal ini disebabkan karena sudah adanya perubahan mukosa yang biasanya terjadi setelah 10-15 tahun menderita diabetes melitus (Sachdeva dkk., 1998). Oliveira-Maul dkk. (2013) dalam penelitiannya di Brazil terhadap pasien diabetes melitus yang berumur lebih dari 14 tahun menyatakan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada kelompok pasien diabetes melitus lebih panjang dibandingkan dengan kelompok non diabetes melitus. Selimoglu dkk. (1999) melakukan penelitian di Turki terhadap pasien diabetes melitus yang berusia antara 7-65 tahun dan menyatakan bahwa waktu bersihan mukosilia pada kelompok diabetes melitus lebih panjang bila dibandingkan dengan kontrol. Pada
24
penelitian itu Selimoglu dkk. (1999) tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung. 2.4 Diabetes Melitus 2.4.1 Epidemiologi Diabetes Melitus Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health Organization atau WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes melitus yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation pada tahun 2009 memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, ke dua laporan tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes melitus sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Rudianto dkk., 2011). 2.4.2 Klasifikasi Diabetes Melitus Terdapat beberapa tipe diabetes melitus yang
disebabkan interaksi yang
kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan pilihan gaya hidup. Faktor yang berperan dalam terjadinya hiperglikemia pada pasien diabetes melitus tergantung dari etiologi diabetes melitus itu sendiri misalnya penurunan sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa atau peningkatan produksi glukosa. Gangguan
25
regulasi metabolisme yang berhubungan dengan diabetes melitus menyebabkan perubahan patofisiologi pada banyak sistem organ. Dengan adanya peningkatan prevalensi, maka diabetes melitus dapat menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas (Powers, 2005). American Diabetes Association mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi empat yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus tipe spesifik lain dan diabetes melitus gestasional. Diabetes melitus tipe 1 adalah diabetes melitus yang disebabkan oleh destruksi sel β sehingga mengakibatkan defisiensi insulin absolut. Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes melitus yang disebabkan karena berbagai derajat resistensi terhadap insulin, gangguan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa. Diabetes melitus tipe spesifik lain dibagi menjadi diabetes melitus karena kelainan genetik fungsi
sel
beta,
kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, drug-induced, infeksi dan sindrom genetik lain yang berhubungan dengan diabetes melitus. Diabetes melitus gestasional adalah resistensi insulin yang berhubungan dengan perubahan metabolisme pada kehamilan sehingga terjadi peningkatan kebutuhan insulin (Powers, 2005). 2.4.3 Diagnosis Diabetes Melitus Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes melitus. Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya serta keluhan lain yang dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta
26
pruritus vulvae pada wanita (Rudianto dkk., 2011; Powers, 2005). Diagnosis diabetes melitus dapat dibuat bila 1) terdapat keluhan klasik dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L), atau 2) terdapat keluhan klasik dan pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L), atau 3) pemeriksaan glukosa darah setelah 2 jam ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) pada tes toleransi glukosa oral (Rudianto dkk., 2011; Powers, 2005). Pemeriksaan penapis dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan penapis dilakukan pada mereka yang tidak menunjukkan adanya gejala diabetes melitus (Powers, 2005; Rudianto dkk., 2011). Pemeriksaan penapis pada diabetes melitus dapat juga digunakan sebagai alat diagnostik (World Health Organization, 2003). Pemeriksaan penapis kadar glukosa puasa dari darah vena memiliki sensitivitas 40-65% dan spesifitas lebih dari 90%, sedangkan pemeriksaan glukosa darah acak dari darah kapiler memiliki sensitivitas 56-75% dan spesifitas 88-96% (World Health Organization, 2003). Freckmann dkk. (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keakuratan Accu-Chek® Active memenuhi standar DIN EN ISO 15197:2003 yang merupakan standar keakuratan internasional untuk mendeteksi kadar glukosa darah. Pemeriksaan terhadap hemoglobin terglikosilasi yang disebut juga sebagai glikohemoglobin atau hemoglobin glikosilasi atau HbA1c merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Uji ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam
27
setahun. Target HbA1c yang diinginkan untuk kontrol glikemik yang baik adalah < 7% (Rudianto dkk., 2011; Powers, 2005). American Diabetes Association maupun WHO sudah memasukkan pemeriksaan HbA1c yang nilainya ≥ 6,5% menjadi salah satu kriteria diagnosis diabetes melitus jika dilakukan pada sarana laboratorium
yang
telah terstandarisasi dengan baik (Rudianto dkk., 2011;
World Health Organization, 2011). 2.4.4 Komplikasi Kronik Diabetes Melitus Komplikasi kronik diabetes melitus mempengaruhi banyak sistem organ dan bertanggung jawab atas sebagian besar morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan diabetes melitus. Komplikasi kronik diabetes melitus dapat dibagi menjadi komplikasi vaskular dan non vaskular. Komplikasi vaskular dapat dibagi menjadi dua yaitu mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular terdiri atas retinopati, nefropati dan neuropati sedangkan komplikasi makrovaskular terdiri atas penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer dan penyakit serebrovaskular. Komplikasi non vaskular dari diabetes melitus contohnya adalah gastroparesis, infeksi dan kelainan dermatologis (Powers, 2005). Risiko timbulnya komplikasi kronik meningkat sesuai durasi hiperglikemia. Diabetes melitus tipe 2 seringkali memiliki periode hiperglikemia asimptomatik yang cukup lama sehingga banyak dari individu dengan diabetes melitus tipe 2 telah mengalami komplikasi pada saat terdiagnosis (Powers, 2005). Hiperglikemia kronik telah diketahui sebagai faktor penyebab timbulnya komplikasi diabetes melitus namun mekanismenya yang mendasari disfungsi
28
organ dan sel masih belum diketahui. Terdapat empat teori utama yang telah diusulkan untuk menjelaskan bagaimana hiperglikemia dapat menyebabkan komplikasi kronik diabetes melitus seperti digambarkan pada Gambar 2.5 (Powers, 2005; Brownlee dkk., 2008).
Gambar 2.5 Mekanisme molekular yang mungkin terjadi pada komplikasi diabetes melitus (Powers, 2005) Teori pertama menjelaskan bahwa peningkatan glukosa intraseluler akan menyebabkan pembentukan advanced glycosylation end products atau AGEs melalui glikosilasi non enzimatik dari protein intra dan ekstraseluler. Glikosilasi non enzimatik disebabkan karena interaksi antara glukosa dengan gugus amino dari suatu protein. Advanced glycosylation end products telah diketahui dapat mengikat protein sehingga mempercepat aterosklerosis, menyebabkan disfungsi glomerulus, menurunkan sintesis NO, menyebabkan disfungsi endotel dan mengubah komposisi dan struktur matriks ekstraseluler (Powers, 2005; Brownlee dkk., 2008).
29
Teori ke dua didasarkan atas observasi bahwa hiperglikemia akan meningkatkan metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol. Glukosa intraseluler terutama dimetabolisme dengan fosforilasi dan kemudian glikolisis. Namun bila kadar glukosa meningkat maka sejumlah glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase. Peningkatan konsentrasi sorbitol akan mengubah potensial redoks, meningkatkan osmolalitas sel, menurunkan aktivitas ATPase, menghasilkan reactive oxygen species atau ROS dan selanjutnya akan menyebabkan disfungsi sel (Powers, 2005; Brownlee dkk., 2008). Teori ke tiga menyebutkan bahwa hiperglikemia akan meningkatkan pembentukan diasilgliserol yang akan menyebabkan aktivasi protein kinase C atau PKC. Protein kinase C akan mengubah transkripsi gen yang bertanggung jawab dalam sintesis fibronektin, kolagen tipe IV, protein kontraktil, matriks protein ekstraseluler endotel dan neuron (Powers, 2005). Aktivasi PKC sebagai akibat hiperglikemia
akan
meningkatkan
aktivitas
fosfolipase
A
yang
akan
meningkatkan produksi penghambat ATPase yaitu arakidonat dan prostaglandin E2 (Brownlee dkk., 2008). Teori ke empat menyebutkan bahwa hiperglikemia akan meningkatkan aliran melalui jalur heksosamin yang akan menghasilkan fruktosa-6-fosfat, yaitu suatu substrat yang berguna dalam produksi O-linked glycosylation dan proteoglikan. Jalur heksosamin dapat mempengaruhi fungsi sel dengan cara glikosilasi protein seperti NO synthase yang terdapat dalam endotel atau dengan cara mengubah ekspresi gen transforming growth factor atau TGF atau mengubah ekspresi gen plasminogen activator inhibitor-1 atau PAI-1 (Powers, 2005; Brownlee dkk.,
30
2008). Terdapat suatu kemungkinan lain bahwa hiperglikemia akan menyebabkan peningkatan ROS atau superoksida dalam mitokondria sehingga terjadi aktivasi ke empat proses tersebut. (Powers, 2005). 2.4.5 Diabetes Melitus dan Infeksi Saluran Napas Pasien dengan diabetes melitus memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya infeksi, termasuk rinosinusitis (Gleeson dan Decker, 2006) dan infeksi saluran napas lain (Oliveira-Maul dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Bettegowda dkk. (2014) menunjukkan bahwa 44,87% dari infeksi yang sering terjadi pada pasien diabetes tipe 2 adalah infeksi saluran napas. Sebanyak 29,13% adalah infeksi saluran napas atas dan 15,74% adalah infeksi saluran napas bawah (Bettegowda dkk., 2014). National Health Interview Survey pada tahun 1989 di Amerika Serikat menyebutkan bahwa terdapat 25,1% responden diabetes melitus tipe 2 yang menderita rinosinusitis dibandingkan dengan hanya 18,4% responden non diabetes yang menderita rinosinusitis (Boyko dan Lipsky, 1995).