Bab II Kajian Pustaka A. Kajian Teori 1.
Hakikat dan Pembelajaran Fisika a. Hakikat Fisika Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam atau IPA.Oleh karena itu untuk mengetahui hakikat Fisika, terlebih dahulu harus mengetahui definisi tentang IPA. Margono dkk (1998:21), IPA meliputi tiga hal yaitu produk, proses dan sikap ilmiah yang ketiganya saling berhubungan. 1) Produk IPA adalah semua pengetahuan tentang gejala alam yang telah dikumpulkan melalui obeservasi berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori. 2) Proses IPA atau metode ilmiah yaitu cara kerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil-hasil IPA atau produk IPA. Untuk dapat memahami dan memiliki keterampilan dalam proses IPA, diperlukan pengalaman belajar dan berlatih melakukan observasi, berfikir logis dan kritis, melakukan eksperimen, berkomunikasi verbal ataupun nonverbal, dan memecahkan masalah. 3) Nilai dan sikap ilmiah sangat diperlukan dalam belajar IPA, yaitu sikapsikap seperti hasrat ingin tahu, jujur, tekun, teliti, objektif, keterbukaan, mawas diri, komunikatif, dan sebagainya agar dapat mencapai hasil IPA yang sebenarnya. 4) Berdasarkan definisi tersebut, IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis tentang gejala alam.IPA meliputi produk, proses dan nilai (sikap ilmiah).IPA sebagai suatu produk berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori. IPA sebagai proses yaitu berupa cara kerja untuk memperoleh produk IPA. IPA sebagai nilai (sikap ilmiah) yaitu berupa sikap-sikap ilmiah agar dapat mencapai hasil IPA yang sesungguhnya. 6
7
Fisika merupakan salah satu dari cabang dari IPA, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala alam berdasarakan atas pengamatan dan pengukuran. Menurut Beiser (1962: v): Physics, like any other science, involves the active of pursuit of knowledge, and it contains many elements besides its basics concepts. Seperti pada mata pelajaran lain di IPA, Fisika juga mengembangkan ilmu pengetahuan berdasarakan observasi, sehingga Fisika terdiri dari banyak unsur termasuk konsep-konsepnya yang mendasar. Dari beberapa pengertian Fisika tersebut dapat disimpulkan bahwa Fisika merupakan suatu
ilmu pengetahuan
yang menguraikan dan
menganalisis peristiwa alam yang kemudian menjelaskan dengan cara sesederhana mungkin sehingga menghasilkan aturan-aturan atau hukum. b. Hakikat Pembelajaran Dalam proses belajar siswa di kelas, guru bertanggung jawab atas kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Dimyati dan Mudijono (1999: 297) dalam Sagala (2009: 62) mendefinisikan “pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar”. Sagala (2009: 64) menambahkan bahwa “pembelajaran adalah setiap kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu siswa dalam mempelajari suatu kemampuan atau nilai yang baru dalam suatu prosedur yang sistematis melalui tahapan rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi”. Hal terpenting dalam sebuah proses pembelajaran adalah siswa mampu memaknai dengan benar, tidak hanya secara pengetahuan, melainkan juga sikap dan ketrampilan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu usaha sadar dari pengajar untuk membuat siswa belajar yaitu dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri peserta didik dalam waktu yang relatif lama. Hal yang penting dalam mengajar adalah bagaimana siswa
8
dapat mempelajari materi sesuai tujuan. Usaha yang dilakukan guru hanya merupakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. c. Pembelajaran Fisika Pembelajaran fisika adalah pembelajaran yang tidak mengabaikan hakikat Fisika sebagai sains.Hakikat sains yang dimaksud meliputi produk, proses, dan sikap ilmiah.Pembelajaran fisika seharusnya dapat memberikan pengalaman langsung pada siswa sehingga menambah kemampuan dalam mengkonstruksi, memahami, dan menerapkan konsep yang telah dipelajari. Dengan demikian, siswa akan terlatih menemukan sendiri berbagai konsep secara holistik, bermakna, otentik serta aplikatif untuk kepentingan pemecahan masalah. 2.
Model Pembelajaran Keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor diantarnya peran guru. Guru memiliki kemampuan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan pemilihan model pembelajaran. Penerapan model pembelajaran dapat mempengaruhi
keefektivitasan
proses
belajar
siswa.
Isjoni
(2007)
mengungkapkan model pembelajaran merupakan strategi yang digunakan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar, sikap belajar siswa sehingga siswa mampu berpikir kritis, memiliki keterampilan sosial dan mencapai hasil pembelajaran yang lebih optimal. Model pembelajaran ialah pola yang digunakan dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Menurut Arends, model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang digunakan, tujuan-tujuan pembelajaran, tahaptahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran serta pengelolaan kelas (Agus, 2009 : 46). Model pembelajaran diturunkan dari implementasi kurikulum pada tingkat operasional di kelas. Berdasarkan beberapa teori dari ahli, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu pola atau suatu kerangka yang menggambarkan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan kegiatan-kegiatan belajar untuk
9
mencapai tujuan belajar. Penerapan model pembelajaran di kelas dapat membantu siswa menemukan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide tersebut. Selain itu, model pembelajaran dapat dijadikan sebagai pedoman guru dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar selanjutnya. 3.
Model Pembelajaran Learning Cycle a. Hakikat Learning Cycle Model learning cycle (siklus belajar) adalah rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif (Ngalimun, 2012: 145). Karplus & Thier (1967) dalam Widhy (2012: 3) mendefinisikan learning cycle adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Learning cycle merupakan salah satu model pembelajaranyang memperhatikan kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa (Purniati dkk, 2009:3). Model learning cycle merupakan
model
pembelajaran
yang
berdasarkan
pandangan
konstruktivisme, dimana pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa sendiri (Mecit, 2006: 3). Lebih jelas Slavin (1994: 225) menjelaskan bahwa menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita. Sedangkan Ngalimun (2012: 149) menjelaskan implementasi learning cycle dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan konstruktivis yaitu: 1) Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
10
2) Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu. 3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. Marek (2008: 63) dalam Journal of Elementary Science Education menyatakan bahwa learning cycle merupakan cara inkuiri pada pembelajaran sains yang terdiri dari beberapa tahap berurutan, secara lengkap Marek menjelaskan The learning cycle is a way to structure inquiry in school science and occurs in several sequential phases. A learning cycle moves children through a scientific investigation by having them first explore materials, then construct a concept, and finally apply or extend the concept to other situations. Why the learning cycle? Because it is a theory-based design for inquiry that works when implemented well. Husamah (2014: 79) menambahkan bahwa dalam siklus belajar (learning cycle) menempatkan inkuiri (investigasi dan penemuan) sebagai hal utamanya. Rusmiati (2013)dalam makalahnya menjelaskan bahwa: Proses pembelajaran learning cycle bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi merupakan proses perolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri siswa menjadi pengetahuan fungsional yang setiapsaat dapat diorganisasi oleh siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi (hlm.48). Model learning cycle menekankan ke hakikat sains sebagai produk, proses, dan alat untuk mengembangkan sikap ilmiah dimana siswa dapat terlibat langsung
dalam
proses
pembelajaran
sehingga
diharapkan
dapat
meningkatkan hasil belajar. Dari penjelasan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa model learning cycle merupakan model pembelajaran yang berbasis konstruktivisme yang terdiri dari beberapa tahapan belajar yang terorganisasi dan berpusat pada siswa sehingga siswa secara aktif menemukan konsep sendiri.
11
Selain berbasis konstruktivisme, learning cycle juga sesuai dengan teori belajar Piaget atau yang dikenal dengan teori perkembangan kognitif Piaget. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Abraham (1997) bahwa, “the learning cycle model derived from constructivist ideas of the nature of science, and the development theory of Jean Piaget” (1). Mecit (2006:13) juga menambahkan bahwa ”the learning cycle incorporates the Piaget’s Theory of Cognitif Development into a succinct methodology of learning: experiencing the phenomena or concept (Exploration Phase) applying terminology to the concept (Concept Introduction), and the application of the concepts into aditional conceptual frameworks (Application)”. Secara umum menurut teori belajar Piaget terdiri dari unsur yang berupa fase-fase yaitu asimilasi, akomodasi, dan organisasi.Fase-fase pada teori belajar Piaget mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam pembelajaran learning cycle (Abraham et al dalam Dasna, 2006:77). Tabel 2.1 menunjukkan korespondensi perkembangan mental menurut Piaget dengan fase dalam learning cycle. Menurut Slavin (1994: 32), asimilasi merupakan pengintegrasian pengalamanpengalaman baru dalam hubungannya dengan skema-skema yang telah ada, sedangkan akomodasi adalah pemodifikasian skema-skema yang ada untuk mencocokkannya dengan situasi-situasi baru.
Tabel 2.1. KorespondensiUnsur-unsur Teori Piaget dengan Fase-fase dalam Learning Cycle Mental Functioning
Learning Cycle Phases
Assimilation Disequilibration
Exploration
Accomodation (Reequilibration)
Concept Development (Explanation)
Organization
Expansion (Extension)
Sumber: Marek, 2008: 66
12
Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu (1) sensorimotor, (2) pra operasional, (3) operasi konkrit, dan (4) operasi formal (Iskandar, 2012: 118). Pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa dikaitkan dengan pengetahuan baru yang diperoleh oleh siswa. Penggunaan pembelajaran learning cycle di kelas terutama akan sangat membantu siswa yang belum mencapai tahap berfikir formal dalam memahami konsep dan proses abstrak yang semula hanya dapat dibayangkan saja (Nazriati dan Fajaroh, 2007:2).Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model learning cycle sesuai dengan pandangan konstruktivismedimana siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan sesuai dengan teori perkembangan kognitif Piaget. b. Learning Cycle 3 Tahap Menurut Herron (1988) dalam Ratna Wilis Dahar (1989:159), salah satu strategi mengajar untuk menerapkan konstruktivisme adalah siklus belajar (Learning Cycle), Menurut Anthony W. Lorsbach dalam jurnalnya yang berjudul “The Learning Cycle as a Tool for Planning Science Instruction”, Learning Cycle adalah rencana metode yang disusun dalam pendidikan IPA. Pendapat lain juga dikatakan oleh Michael R. Abraham (1989) dalam jurnalnya yang berjudul “The Learning Cycle Approach the Science Instruction”, bahwa model inquiry yang dapat berguna bagi guru dalam mendesain marteri kurikulum dan strategi pembelajaran pada pelajaran IPA. Learning Cycle diderivasi dari ide konstruktivisme ilmu science yang dikembangkan dari teori Jean Piaget (1970). Jadi dapat disimpulkan bahwa Learning Cycle adalah model berbasis konstruktivisme, yang mana terdiri dari beberapa tahapan belajar dan sangat tepat digunakan dalam pembelajaran IPA. Model pembelajaran Learning Cycle sekarang sudah dikembangkan oleh beberapa pakar pendidikan menjadi beberapa model pembelajaran
13
Learning Cycle. Meskipun tahapan (siklus) dari tiap-tiap pakar berbeda namun masih dalam satu kerangka berfikir yang sama, yaitu konstruktivisme. Salah satu model pembelajaran Learning Cycle yang telah diaplikasikan dalam pembelajaran IPA dan sesuai untuk semua materi IPA adalah Learning Cycle model Lawson dan Abraham (The Lawson-Abraham model). Anton Lawson (1988) dan Michael Abraham (1989) menyusunnya dalam tiga tahap, yaitu :Exploration (E), Invention (I) dan Application (A). Siswa atau guru dapat membedakan model pembelajaran Learning Cycle dari model konvensional dari beberapa aspek : Model pembelajaran Learning Cycle menekankan pada penjelasan dan penyelidikan dari fenomena, bukti yang mendukung kesimpulan dari eksperimen. Model konvensional menekankan pada membangun kemampuan (skill) dan tehnik, menerima informasi dan pengetahuan dari hasil akhir dari eksperimen yang dilakukan sebelumnya. (Trianto, 2007: 21) 1) Tahap-tahap Pembelajaran dengan Model Learning Cycle Pembelajaran model siklus belajar (learning cycle) terdapat 3 tahap penting yaitu eksplorasi, pengenalan konsep, dan penerapan konsep. Dimulai dengan fase exploration, maka siswa diberi kesempatan mengkonstruksi konsep dan dapat bekerjasama dengan kelompoknya. Pengalaman fisik membantu siswa membangun mental dari ide baru yang muncul pada konsep fase invention. Interaksi pada fase invention cukup membantu siswa mengasimilasi atau mengakomodasi ide yang spesifik. Fase application mendorong interaksi fisik dan social dengan memberi kesempatan untuk menggunakan ide baru tersebut pada situasi berbeda. (Donaldson, Mindi.2006: 26) a) Exploration (Eksplorasi) Exploration adalah fase awal dalam Learning Cycle. Selama fase exploration guru menjadi seorang pengamat, memberikan
14
pertanyaan dan memberi saran pada siswa dan pada kelompoknya sedangkan siswa mengeksplorasi sebuah konsep dari materi yang disediakan. Pengalaman exploration biasanya diwujudkan dengan eksperimen di laboratorium. Pada tahap ekplorasi siswa diberi kesempatan untuk mengeksplorasi materi secara bebas. Siswa melakukan berbagai kegiatan
ilmiah
seperti
mengamati,
membandingkan,
mengelompokkan, menginterpretasikan, dan lainnya, sehingga menemukan konsep-konsep penting sesuai dengan topik yang sedang dibahas. Ada kalanya konsep yang ditemukan sudah sesuai dengan konsepsi awal mereka sehingga langsung diasimilasikan ke dalam struktur kognititfnya, tetapi ada juga konsep yang tidak sesuai sehingga meinmbulkan konflik kognitif. Melalui diskusi dan bertana pada teman maupun guru, siswa mengakomodasi konsep tersebut untuk dapat diasimilasikan. Siswa mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Pada tahap ini aktivitas kebanyakan dilakukan oleh siswa sedangkan guru hanya memberikan orientasi tentang hal yang harus dilakukan siswa, mengajukan pertanyaan untuk mengarahkan kegiatan siswa, memberikan motivasi, serta mengidentifikasi dan membimbing siswa yang mengalami konflik kognitif. Melalui
pengajuan
pertanyaan-pertanyaan,
guru
membimbing siswa mengumpulkan data untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari. Pada kegiatan ini guru mempunyai banyak peluang untuk melatih keterampilan proses dan sikap ilmiah para siswa sesuai dengan
apa
yang ditargetkan dalam
rencana
pembelajaran. b) Invention (Pengenalan Konsep) Pada fase invention guru mengumpulkan informasi dari siswa dengan menghargai hasil pengalaman pada fase exploration,
15
siswa menjelaskan atau mendefinisikan dan guru mengenalkan hubungan (term) dan nama (label). Pada fase invention dapat dibantu dengan semacam textbook, media audio visual, dan buku penunjang lain untuk mengenalkan istilah dan mencocokkan informasi. Pada tahap ini guru berperan lebih tradisional. Guru mengumpuljan informasi dari murid-murid yang berkaitan dengan pengalaman mereka
dalam ekplorasi.
Bagian pelaksana ini
merupakan waktu untuk menyusun pembendaharaan kata. Media pembelajaran seperti buku dan lainnya diperlukan untuk menyusun konsep. c) Application (Aplikasi Konsep) Pada fase application guru memberi sebuah situasi baru atau masalah yang dapat diselesaikan dengan pengetahuan yang telah didapat pada pengalaman pada fase exploration dan konsep yang sudah dikenalkan pada fase invention. Seperti pada fase exploration, siswa menggunakan beberapa macam aktivitas dan guru adalah sebagai pengamat yang member pertanyaan dan membantu murid. pada tahap ini siswa diminta untuk menerapkan konsep yang baru mereka pahami untuk memecahkan masalah-masalah dalam situasi yang berbeda. Pada hal ini guru bertugas untuk menyiapkan berbagai kegiatan atau permasalahan yang relevan dengan konsep yang sedang dibahas. Peserta didik diajak meerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan aeperti problem solving atau melakukan percobaan lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena perserta didik mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan siklus atau daur belajar dapat menciptakan kesempatan untuk memberikan pengalaman
16
fisik, interaksi sosisalm dan regulasi sendiri. Dengan kata lain, menggunakan pendekatan ini dapat diciptakan pengalaman-pengalaman belajar yang menginkorporasikan tiga variabel yang berperan dalam pembentukan konsep. Tahap eksplorasi memberikan pengalaman fisik dan interaksi sosial kepada siswa. Pengalaman ini mendorong asimilasi atau mungkin menyebabkan murid untuk bertanya tentang pemikiran mereka
mengenai
konsep
tertentu,
menciptakan
disekuilibrasi.
Pengalaman fisik juga membantu siswa dalam menumbuhkan gambaran mental dari gagasan baru atau istilah-istilah baru yang disampaikan dalam tahap pengenalan konsep. Dalam penyampaian gagasan-gagasan atau istilah baru pada tahap pengenalan konsep, siswa mempunyai
kesempatan untuk
berinteraksi dengan gagasan baru dengan guru serta dengan siswa lainnya. Interaksi ini cukup untuk membantu siswa mengasimilasi atau mengakomodasi gagasan tertentu. Tahap penerapan konsep mendorong interaksi fisik dan sosial tambahan dengan memberikan kesempatan mereka untuk menggunakan gagasan-gagasan dan istilah baru ini dalam situasi yang berbeda. Pengalaman-pengalaman ini membantu menemukan jawaban terhadap pertanyaan yang muncul selama tahap eksplorasi dan pengenalan konsep, dan memberikan kesempatan tambahan untuk terjadinya regulasi sendiri. Selain itu, pada tahap penerapan konsep ini penting bagi beberapa siswa untuk memperluas penerapan konsep baru tersebut. Tanpa adanya berbagai macam variasi penerapan konsep, maka konsep itu akan tinggal terbatas contoh yang dibicarakan saja. Sebagai tambahan, kegiatan penerapan konsep membantu siswa yang pembentukan konsepnya berjalan lambat dari siswa lainnya. Pada akhirnya, peneraoan konsep memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan penerapan konsep sendiri dalam konteks baru. Perhatian tetap diarahkan pada siswa,
17
varriabel
pembentukan
konsep
(kematangan
fisik)
dapat
juga
diakomodasikan dengan siklus belajar. Menurut para pakar teori kognitif, siswa hanya dapat menginternalisasi bilamana mereka telah siap mental. Oleh karena itu dengan pemilihan konsep atau topik yang tepat dari masing-masing pelajaran, siswa dapat diberi pengalaman-pengalaman belajar yang cocok dengan kemampuan penalarannya. 2) Penerapan Siklus Belajar dalam Pembelajaran Berdasarkan karakteristik seperti yang telah diuraikan diatas, maka pembelajaran dapat dilakukan seperti berikut ini : Invitasi Problem Solving
Keterampila n Proses
Invitasi
Invitasi
Invitasi Lingkungan
Gambar 2.1 Tahapan Model Learning Cycle Dalam pengaplikasian model ini, untuk mengaitkan informasi baru dan pengetahuan yang ada, guru perlu menciptakan suatu kondisi, yang disebut tahap invitasi. Tahap invitasi merupakan tahapan untuk memfokuskan pelajaran dan menjajagi kesiapan siswa untuk menerima konsep baru. Pada tahap ini, guru dapat mengajukan pertanyaan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap konsep prasyarat yang harus dimiliki sebelumnya, mencatat fenomena yang tak diharapkan dan mengidentifikasi keadaan yang membuat presepsi siswa berbeda. 3) Kelebihan dan Kekurangan Siklus Belajar (Learning Cycle) Ditinjau dari dimensi peseta didik, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut :
18
a)
Meningkatkan motivasi belajar karena peserta didik dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
b) Membantu mengembangkan sikap ilmiah peserta didik c)
Pembelajaran menjadi lebih bermakna Kelebihan dari model Learning Cycle adalah dapat membantu
guru untuk menghidupkan suasana pembelajaran dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang lebih baik. Kelebihan lain dari model pembelajaran Learning Cycle antara lain mampu menciptakan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan materi, membangun pengetahuannya dan bekerja dalam kelompok/kerjasama dalam tim sehingga dapat menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, lebih baik dalam menyimpan konsep yang sudah didapat, dapat mengembangkan sikap ilmiah dan belajar ilmiah, meningkatkan kemampuan mengungkapkan alasan, dan siswa mempunyai kemampuan proses yang lebih baik dari model konvensional. Learning Cycle dapat digunakan pada siswa pada semua level, untuk menyelesaikan tujuan pembelajaran (Trianto. 2007: 22). Adapun kekurangan penerapan strategi ini adalah : a)
Efektivitas pembelajran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran
b) Model ini bergantung pada kesungguhan dan kreativitas guru dalam meranvang dan melaksanakan proses pembelajaran c)
Memerlukan
pengelolaan
kelas
yang
lebih
terencana
dan
terorganisasi d) Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran. (Rahmawati, 2013: 34-41) 4.
Metakognitif a. Teori yang Melandasi Kemampuan Metakognitif Kemampuan metakognisi mengacu pada kesadaran dan pengetahuan pembelajar tentang sistem memori mereka sendiri. Sejumlah ahli psikologi
19
kognitif mengembangkannya dalam sebuah pandangan pemrosesan informasi (information proccessing). (Nur, 2005) Teori pemrosesan informasi adalah kognitif tentang belajar yang menejelaskan
pemrosesan,
penyimpanan,
dan
pemanggilan
kembali
pengetahuan dari otak (Slavin, 2000). Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat diingat dalam waktu yang cukup lama. Teori pemrosesan informasi membahas langkah-langkah dasar yang diambil individu untuk memperoleh, menyediakan, dan mengingat informasi. Teori ini berbeda dengan teori proses belajar lain. Perbedaannya adalah pemrosesan informasi bukan konseptualisasi dari seorang teoritis saja. Karenanya ada banyak deksripsi tentang cara memori jangka panjang menyimpan
informasi.
Komponen
esensial
dari
belajar
adalah
pengorganisasian informasi yang akan dipelajari, pengetahuan sebelumnya yang sudah dikuasai, dan proses yang melibatkan pemahaman, pengertian, serta menyimpan dan mengambil kembali informasi (Gredler. 2013). Robert S. Siegler (dalam Siegler, 2002) membagi pendekatan pemrosesan informasi menjadi 3 karakteristik, yaitu : 1) Proses berpikir (Thinking) Menurut pendapat Siegler (2002), berfikir adalah pemrosesan informasi. Siegler percaya bahwa pikiran adalah sesuatu yang sangat fleksibel, yang menyebabkan individu bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam lingkunga, tugas, dan tujuan. Kemampuan berpikir manusia terbatas. Individu hanya dapat memperhatikan informasi yang terbatas pada waktu dan kecepatan untuk memroses informasi yang juga terbatas. 2) Mekanisme Pengubahan (Change Mechanism) Pemrosesan informasi fokus utamanya adalah pada peran mekanisme pengubah dan perkembangan. Terdapat 4 mekanisme yang bekerjasama menciptakan perubahan dalam keterampilan kognitif anak
20
yaitu encoding (penyandian), otomatisasi, konstruksi strategi, dan generalisasi. Encoding adalah proses memasukkan informasi ke dalam memori. Otomatisasi adalah kemampuan untuk memroses informasi dengan sedikit atau tanpa usaha. Kontruksi strategi adalah penemuan prosedur
baru
untuk
memroses
informasi.
Generalisasi
adalah
kemampuan anak dalam mengaplikasikan kontruksi strategi pada permasalahan lain. 3) Modifikasi Diri Modifikasi diri dalam pemrosesan informasi secara mendalam tertuang dalam metakognitif. Metakognitif dapat diartikan sebagai kognitif atau mengetahui tentang mengetahui yang di dalamnya terdapat 2 hal, yaitu pengetahuan kognitif dan aktivitas kognitif. Pengetahuan kognitif melibatkan usaha monitoring dan refleksi pada pemikiran seseorang saar sekarang. Sedangkan aktivitas kognitif terjadi saat siswa secara sadar menyesuaikan dan mengelola strategi pemikiran mereka pada saat memecahkan masalah dan memikirkan suatu tujuan. Kuhnn (2000) menyatakan bahwa metakognitif harus lebih difokuskan pada usaha untuk membantu anak menjadi pemikir yang lebih kritis terutama di sekolah menengah. b. Dimensi Pengetahuan Pemahaman pembelajaran memfokuskan pada proses aktif, kognitif dan konstruktif yang tergabung dalam pembelajaran yang memiliki kesan tersendiri. Siswa dalam hal ini dapat memilih sebagai individu yang aktif dalam setiap pembelajaran. Siswa dapat memilih informasi yang dibangun oleh pengertian mereka sendiri dari informasi yang dipilih. Siswa bukan penerima yang pasif, merekam informasu yang didapat dari orang tuanya, guru, buku teks ataupun media lainnya. Pemahaman pembelajaran merupakan perubahan dari pandangan pasif dalam belajar kognitif dan perspektif konstruktif
yang
menekankan
pada
bagaimana
siswa
mengetahui
21
(pengetahuan) dan bagaimana mereka berpikir (proses kognitif) mengenai apa yang mereka ketahui selama siswa melakukan pembelajaran yang berarti. Anderson dan Krathwohl (2010) membagi dimensi pengetahuan menjadi empat jenis, yaitu: 1) Pengetahuan Faktual Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang para ahli gunakan dalam menyampaikan disiplin ilmu akademis mereka, memahaminya dan mengaturnya secara sistematis (Suwartono, 2010). Pengetahuan faktual berisikan elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa jika mereka akan mempelajari disiplin ilmu tertentu. Pengetahuan faktual kebanyakan berada pada tingkat yang relatif rendah. (Anderson dan Krathwohl, 2010) Dalam klasifikasinya, pengetahuan faktual dibedakan menjadi pengetahuan tentang terminologi dan pengetahuan tentang detail dan unsur-unsurnya. Pengetahuan tentang terminologi mencakup pengetahuan tentang label atau simbol tertentu baik yang bersifat verbal maupun non verbal. Pengetahuan tentang bagian detail dan unsur-unsur merupakan pengetahuan tentang kejadian tertentu, orang, waktu, sumber informasi dan semacamnya. (Widodo, 2005) 2) Pengetahuan Konseptual Pengetahuan
konseptual
mencakup
pengetahuan
tentang
kategori, klasifikasi, dan hubungan antara dua atau lebih kategori atau klasifikasi. Pengetahuan konseptual meliputi skema, model mental atau teori yang implisit atau eksplisit dalam beragam model psikologi kognitif (Anderson dan Krathwohl, 2010). Pengetahuan konseptual meliputi tiga jenis yaitu pengetahuan klasifikasi dan kategori; pengetahuan prinsip dan generalisasi; dan pengetahuan model, teori dan struktur (Suwartono, 2010). Pengetahuan
22
konseptual merupakan salah satu aspek dari diciplinary knowledge , yaitu cara ilmuan memikirkan suatu fenomena dalam disiplin ilmunya. 3) Pengetahuan Prosedural Pengetahuan
prosedural
merupakan
pengetahuan
tentang
bagaimana mengerjakan sesuatu. Seringkali pengetahuan prosedural berisi tentang langkah-langkah atau tahapan yang harus diikuti dalam mengerjakan suatu hal tertentu. Pengetahuan prosedural mencakup pengetahuan tentang keterampilan, alogaritme, teknik dan metode yang semuanya disebut dengan prosedur. Jika pengetahuan faktual dan pengetahuan konseptual mewakili pertanyaam “apa”, maka pengetahuan prosedural bergulat dengan pertanyaan “bagaimana”. Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang beragam “proses”, sedangkan pengetahuan faktual dan konseptual berurusan dengan apa yang dinamakan “produk”. (Anderson dan Krathwohl, 2010) 4) Pengetahuan Metakognitif Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognitif secara umum dan kognitif diri sendiri (Anderson dan Krathwohl, 2010). Pengetahuan metakognitif menekankan kepada siswa untuk lebih sadar dan bertanggung jawab atas pengetahuan dan pemikiran mereka sendiri (Suwartono, 2010). Perkembangan siswa akan menjadi lebih sadar dengan pemikiran mereka sendiri dan ketika mereka bertindak dalam kewaspadaan maka akan cenderung belajar lebih baik (Bransford, Brown, dan Cocking, 2010). Anderson dan Krathwohl (2010) mengategorikan kemampuan metakognitif menjadi tiga, yaitu pengetahuan strategi, pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, dan pengetahuan diri. Pengetahuan strategi adalah pengetahuan perihal strategi-strategi belajar dan berpikir serta pemecahan masalah. Pengetahuan strategi meliputi pengetahuan beragam strategi yang digunakan siswa untuk mengingat materi, makna inti dari
23
teks, atau mengerti apa yang mereka dengar di ruang kelas atau bacaan dalam buku materi pelajaran lainnya. Pengetahuan strategi mencakup strategi-strategi umum untuk menyelesaikan masalah (problem solving). Siswa
yang
memiliki
pengetahuan
mengenai
beragam
strategi
metakognitif yang bermanfaat dalam merencanakan, memonitor, dan mengatur kesadaran mereka (Suwartono, 2010). Pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif mencakup pengetahuan tentang jenis operasi kognitif mana yang sesuai dalam situasi dan kondisi tertentu (Widodo, 2005). Siswa yang mengetahui strategi dalam belajar lebih mampu mencapai target-target belajar yang dituntut oleh guru. Pengetahuan perihal berbagai situasi dan norma kultural yang menyangkut penggunaan strategi yang tepat dalam situasi dan budaya merupakan aspek yang penting dari pengetahuan metakognitif. Pengetahuan diri mencakup pengetahuan tentang kelemahan dan kemampuan diri sendiri dalam belajar. Salah satu syarat agar siswa dapat menjadi pembelajar yang mandiri adalah kemampuannya untuk mengetahui dimana kelebihan dan kekurangan serta bagaimana mengatasi kekurangan tersebut (Widodo, 2005). Pengetahuan diri merupakan aspek penting dalam pengetahuan metakognitif, tetapi yang terpenting dalam aktivitas belajar adalah akurasi pengetahuan diri (Anderson dan Krathwohl, 2010). c. Pengertian Metakognitif Metakognitif merupakan salah satu faktor internal pada diri siswa yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa. Metakognitif menyangkut pada kesadaran berpikir seseorang. Kesadaran berpikir meliputi kesadaran tentang segala sesuatu yang diketahui dan dilakukan. Metakognitif diartikan sebagai pengetahuan mengenai kognitif secara umum seperti kesadaran dan pengetahuan seseorang mengenai kognitifnya. Metakognitif merupakan bagian dari kemampuan monitor diri terhadap pengetahuan pribadi (self-knowledge monitoring). Solso dan Maclin (2008) menyatakan bahwa
24
metakognitif memiliki dampak pada pengawasan dan pengendalian prosesproses infersi yang berlangsung dalam pemroses informasi. Metakognitif menurut Ormrod (2008) mencakup pemahaman dan keyakinan pembelajaran mengenai proses kognitifnya sendiri dan bahan pelajaran yang dipejari, serta usaha-usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses berperilaku dan berpikir yang meningkatkan proses belajar dan memorinya. Schraw dan Dennison (1994) membagi metakognitif menjadi 2 komponen yaitu pengetahuan metakognitif (metakognitve knowledge) dan pengalaman atau regulasi metakognitif (metakognitive experiences or regulating). Pengetahuan metakognitif mengacu pada pengetahuan tentang kognitif seperti pengetahuan tentang keterampilan (skill) dan strategi kerja untuk mencapai tujuan pembelajaran. Keterampilan metakognitif mengacu pada kegiatan-kegiatan yang mengontrol keterampilan seperti merencanakan, memonitor pemahaman, meninjau proses kognitif apabila salah, dan mengevaluasi proses (Efklides, 2006). Keterampilan metakognitif merujuk pada
keterampilan
memprediksi,
merencanakan,
memonitor,
dan
mengevaluasi kognitifnya sendiri (Coutinho, 2007; Veeman, 2006). Perkembangan keterampilan metakognitid dapat membantu siswa menjadi self regulated learners (Corebima, 2009). Metakognitif mengacu pada kesadaran siswa terhadap kemampuan yang
dimilikinya
serta
kemampuan
memahami,
mengontrol
dan
meamanipulasi proses-proses kognitif yang dimiliki. Metakognitif mencakup empat keterampilan yaitu : 1) Keterampilan pemecahan masalah (Problem Solving) Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memecahkan masalah. Pemecahan masalah melalui pengumpulan fakta-fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan dan memilih pemecahan masalah yang efektif. 2) Keterampilan pengambilan keputusan (Decision Making)
25
Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memilih keputusan yang terbail dari beberapa pilihan yang ada melalui pengumpulan informasi, perbandingan kebaikan dan kekurangan dari setiap alternatif, analisis informasi, dan pengambilan keputusan yang terbaik berdasarkan alasan yang rasional. 3) Keterampilan berpikir kritis (Critical Thinking) Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menganalisis argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan presepsi yang benar dan rasional. Analisis asumsi dan bias dari argumen dan interpretasi logis. 4) Keterampilan berpikir kreatif (Creative Thinking) Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menghasilkan gagasan yang baru, konstruktif berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang rasional maupun presepsi dan intuisi individu. (Sastrawati, et al, 2011) Pengetahuan metakognitif terdiri dari 3 kategori, yaitu : Declarative knowledge, pengetahuan seseorang tentang proses belajar pada dirinya dan mengenai strategi untuk pembelajaran; Procedural knowledge, mengetahui keterampilan dan strategi yang digunakan dan cara untuk menggunakannya; Conditional knowledge, yaitu pengetahuan mengenai bagaimana dan kapan sebuah strategi digunakan. (Schraw, Crippen & Hartley, 2006) Keterampilan metakognitif atau regulasi metakognitif mengarah pada aktivitas yang mengotrol proses pembelajaran. Keterampilan metakognitif merujuk pada keterampilan merencanakan, manajemen informasi, memonitor, merevisi dan mengevaluasi kognitifnya sendiri (Coutinho, 2007; Schraw & Dennison, 1994; Veenman, 2006). Woolfolk (2009) menyatakan bahwa untuk mencapai pengetahuan metakognitif diperlukan suatu keterampilan yaitu metakognitif. Keterampilan esensial tersebut adalah planning (merencanakan), monitoring (memantau), dan evaluate (mengevaluasi). Sejalan dengan hal
26
tersebut NCREL (dalam Woolfolk, 2009) mengelompokkan metakognitif ke dalam 3 elemen dasar yaitu tahap pengembangan rencana (developing a plan of action), tahap pemantauan (monitoring the plan of action) dan tahap pemeriksaan (evaluate the plan of action). Indikator aktivitas metakognitif siswa pada langkah penyelesaian masalah dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Indikator Aktivitas Metakognitif Siswa pada Langkah Penyelesaian Masalah Aktivitas Metakognitif Indikator No 1 Mengembangkan a. Memikirkan pengetahuan atau strategi yang Perencanaan dapat membantu memahami masalah ataupun merencanakan pemecahan masalah b. Memikirkan bagaimana memulainya c. Memikirkan sumber daya (informasi) d. Menentukan tujuan e. Menentukan hubungan dengan masalah yang sudah pernah diselesaikan 2 Memonitor a. Mengaitkan dan menggunakan informasi Pelaksaaan penting saat melaksanakan pemecahan masalah b. Mengecek kebenaran langkah c. Melihat dengan cara yang berbeda d. Analisis kesesuaian rencana yang dibuat dengan pelaksanaan e. Mempertimbangkan lama waktu yang digunakan untuk memecahkan masalah 3 Mengevaluasi a. Mengecek kelebihan, kekurangan, maupun Tindakan kebenaran langkah yang sudah dilakukan. b. Memperhatikan pekerjaanya dan mengetahui semua hal yang perlu dievaluasi c. Mengevaluasi pencapaian tujuan d. Merasa bahwa tindakan yang dilakukan telahsesuai yang diharapkan (Woolfolk, 2009)
27
d. Pentingnya Kemampuan Metakognitif Kemampuan metakognitif diperlukan dalam proses pembelajaran untuk membantu siswa mengelola cara berpikir dalam menghadapi permasalahan materi belajar. Siswa yang memiliki kemampuan metakognititf yang baik mampu memotivasi dirinya sendiri untuk belajar secara mandiri. Belajar mandiri bukan berarti belajar sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Sagala (2010) mengartikan belajar mandiri sebagai usaha belajar yang dilakukan secara bebas dalam menentukan dana mengelola sumber belajar, bahan ajar, waktu dan tempat yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran..
Kemampuan
metakognitif
diperlukan
dalam
kegiatan
pembelajaran untuk membantu siswa mengelola cara berfikir dalam menghadapi permasalahan materi pembelajaran. Hasil penelitian yang mendukung dilakukan oleh Beers (2009) menyatakan bahwa pada abad 21, siswa diharapkan mampu meamahami dan mengatur proses berpikirnya melalui aktivitas metakognitif, sehingga dapat merefleksikan struktur berpikir dan strategi berpikir efektif yang digunakan dalam pembelajaran. Kemampuan metakognitif memotivasi siswa untuk mampu belajar secara mandiri. Belajar mandiri menurut Sagala (2007) diartikan sebagai usaha belajar yang dilakukan secara bebas dalam menentukan dan mengelola sendiri bahan ajar, waktu, tempat dan sumber belajar yang diperlukan. e. Hubungan Kemampuan Metakognitif dan Hasil Belajar Hasil belajar berhubungan dengan kemampuan metakognitif karena dengan kemampan metakognitif siswa dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan dalam belajar. Siswa mampu menentukan strategi yang sesuai dengan kemampuan kognitif yang dimiliki. Penelitian yang dilakukan oleh Rahman dan Philips (2006) menemukan adanya hubungan positif antara kemampuan metakognitif dengan motivasi yang berimplikasi pada hasil belajar. Kemampuan metakognitif yang tinggi pada siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar.
28
Amri dan Ahmadi (2010) mendefinisikan 3 strategi metakognitif yang dapat dikembangkan untuk meraih kesuksesan belajar siswa dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa, antara lain : 1) Tahap Proses Sadar Belajar Pada tahap proses sadar belajar di antaranya meliputi proses menetapkan tujuan belajar, mempertimbangkan sumber belajar yang akan dan dapat diakses
(contoh:
menggunakan
buku
teks,
mencari
sumber
di
perpustakaan, mengakses internet atau belajar di tempat yang sunyi), menentukan
bagaimana
kinerja
terbaik
siswa
akan
dievaluasi,
mempertimbangkan tingkar motivasi belajar, menentukan tingkat kesulitan belajar siswa. 2) Tahap Merencanakan Belajar Pada tahap merencanakan belajar meliputi proses memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas belajar, merencanakan waktu belajar, mengorganisasikan materi pembelajaran, mengambil langkahlangkah yang sesuai untuk belajar dengan menggunakan strategi belajar (outlining, mind mapping, speed reading, dan strategi belajar lainnya). 3) Tahap Monitoring dan Refleksi Belajar Pada tahap monitoring dan refleksi belajar meliputi proses merefleksikan proses belajar, memantau proses belajar melalui pertanyaan dan tes diri (self-testing, seperti mengajukan pertanyaan, apakah materi ini bermakna dan bermanfaat bagi saya?, Bagaimana pengetahuan pada materi ini dapat saya kuasai?, mengapa saya mudah/sukar menguasai materi ini?) menjadi konsentrasi dan motivasi tinggi dalam belajar. f. Tingkatan Kemampuan Metakognitif Kemampuan metakognitif terdiri dari beberapa tingkatan. Amnah (2014) membagi tingkat kemampuan metakognitif dalam beberapa tingkatan, anatara lain: tingkatan paling rendah adalah kategori masih belum berkembang (MBB), belum begitu berkembang (BBB), mulai berkembang
29
(MB), sudah berkembang baik (SBB), dan berkembang sangat baik (BSB). Siswa yang masuk dalam kategori “Masih Belum Berkembang”, belum menggunakan metakognitifnya dalam belajar dan belum meiliki kesadaran bahwa berpikir adalah sebuah proses (very risk). Siswa yang masuk dalam kategori “Belum Begitu Berkembang”, belum mampu memisahkan apa yang dia pikirkan dan bagaimana dia dalam berpikir (not developing). Siswa yang masuk dalam kategori “Mulai Berkembang” telah dapat dibantu untuk sadar akan cara berpikirnya sendiri dengan menggugah dan mendukung cara mereka berpikir (starting to develope). Siswa yang masuk dalam kategori “Sudah Berkembang Baik”sadar dengan cara berpikirnya dan dapat membedakan tahap elaborasi input dan output dari proses berpikirnya (well developing). Siswa yang masuk dalam kategori “Berkembang Sangat Baik” menggunakan kesadaran metakognitif secara teratur untuk mengatur proses berpikir dan belajarnya secara mandiri (very well developping). Metakognisi mencakup pengetahuan dan proses regulasi pengetahuan. Metakognisi berarti kita mempunyai pengetahuan tentang kemampuan kognitif kita sendiri dan bagaimana kemampuan itu dapat diterapkan pada proses kognitif. Lebih jauh lagi, metakognisi sering dihubungkan dengan pribadi, tugas dan strategi. Kemampuan metakognitif diyakini sebagai kemampuan kognitif tingkat tinggi yang diperlukan untuk manajemen pegetahuan. Pembelajaran metode baru mengutamakan pentingnya belajar bagaimana belajar. Pebelajar dituntut untuk mengatur tujuan belajarnya sendiri dan menentukan strategi belajar yang sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Tanggung jawab pebelajar juga mencakup monitor proses belajar dan mengubah strategi belajar bila diperlukan. Pemberdayaan pebelajar untuk bertanggung jawab pada pembelajaran mereka sendiri merupakan hal yang diutamakan pada model pembelajaran learnercenered, self-directed learning, dan adult learning. Penentu kesuksesan pada model pembelajaran learning cycle adalah membangun kemampuan dan ketrampilan belajar. (Amin dan Eng, 2003)
30
Metakognisi juga didefinisikan sebagai keterampilan penting belajar bagaimana belajar. Metakognisi mencakup apa yang kita ketahui atau tidak ketahui, dan pengaturan bagaimana seseorang akan mempelajari sesuatu. Metakognisi mencakup kemampuan tentang : a.
Apa yang saya ketahui tentang hal yang akan saya pelajari?
b.
Apakah saya mengetahui apa yang ingin saya ketahui?
c.
Apakah saya mengetahui dimana bias memperoleh informasi atau pengetahuan tentang hal tersebut?
d.
Berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk mempelajarinya?
e.
Apa strategi dan taktik yang akan saya gunakan untuk mempelajarinya?
f.
Apakah saya memahami apa yang sudah saya dengar, baca atau lihat?
g.
Bagaimana saya mengetahui bila saya belajar dalam porsi yang sesuai?
h.
Bagaimana saya dapat merevisi rencana pembelajaran saya jika hasilnya tidak sesuai dengan harapan? (Huitt, 1997) Metakognisi menunjukan pada kemampuan pebelajar untuk menyadari
dan memonitor proses pembelajaran mereka (Peters cit Imel, 2002). Meskipun berhubungan, metakognisi berbeda dengan kognisi. Kemampuan kognitif dibutuhkan untuk bekerja pada suatu tugas, sedangkan metakognisi penting untuk memahami bagaimana tugas itu akan dikerjakan. Kemampuan metakognisi dapat dibagi menjadi dua : penilaian terhadap diri sendiri/self-assesment yaitu kemampuan untuk menilai kognisi diri sendiri dan manajemen diri/selfmanagement yaitu kemampuan untuk mengatur pengembangan kognitif diri sendiri. Kemampuan metakognisi berhubungan erat dengan teori pembelajaran konstruktivis.Teori konstruktivis menempatkan kognisi dan pemahaman dalam diri individu. (Imel, 2002) Metakognisi adalah kesadaran pebelajar secara otomatis tentang pengetahuan mereka sendiri dan kemampuan untuk memahami, mengontrol dan memanipulasi proses kognitif mereka sendiri. Kemampuan metakognisi penting selama hidup, tidak hanya dalam masa pendidikan. Contohnya Mumford (1986)
31
menyatakan sangat penting bagi manajer yang efektif untuk menjadi orang yang belajar bagaimana belajar. Mumford juga menjelaskan orang yang mengetahui langkah-langkah pembelajaran dan memahami pendekatan belajarnya sendiri adalah orang yang dapat mengidentifikasi pembelajar dan dapat mengaplikasikan pembelajar dari teori ke pekerjaannya. Metakognisi terdiri dari : metamemori, metakomprehensi dan regulasi diri sendiri. Metamemori adalah kesadaran pebelajar dan pengetahuan tentang sistem memorinya sendiri dan strategi efektif dalam menggunakan memori tersebut. Metamemori mencakup kesadaran tentang strategi memori yang berbeda-beda, pengetahuan memilih strategi memori yang berbeda-beda, pengetahuan memilih strategi yang akan digunakan, pengetahuan bagaimana menggunakan strategi tersebut secara efektif.metakomprehensi adalah kemampuan pebelajar untuk memonitor tingkat pemahaman informasi, untuk mengenali kegagalan pemahaman dan memperbaiki strategi ketika menemui kegagalan. Regulasi diri sendiri adalah kemampuan pebelajar untuk membuat penyesuaian pada proses pembelajar mereka sendiri dalam merespon persepsi umpan balik status pembelajar. Untuk belajar efektif, pebelajar harus memahami strategi yang tersedia, tujuan strategi, mampu memilih, memonitor dan mengevaluasi penggunaan strategi. (Ali, 2014) Untuk pebelajar individual, metakognisi terdiri dari tiga bagian sederhana, yaitu : identifikasi kebutuhan, membangun dan mengimplementasikan rencana pembelajaran, monitor dan evaluasi perkembangan. Langkah pertama yaitu identifikasi kebutuhan, adalah penentuan situasi terakhir dari pebelajar. Caranya adalah dengan mengidentifikasi jarak pengetahuan atau jarak pembelajaran dan memutuskan prioritas kebutuhan. Sejumlah pertanyaan sederhana dapat membantu pebelajar sebagai berikut. Apa yang sudah saya ketahui tentang topik ini? Apa topik paling penting yang saya butuhkan? Langkah selanjutnya adalah membangun dan menimplementasikan rencana pembelajaran. Strategi belajar sangat bervariasi tergantung masing-masing individu pebelajar. Strategi pembelajaran yang berhasil untuk satu pebelajar
32
belum tentu sesuai untuk pebelajar yang lain. Pertanyaan yang harus dijawab pada tahap pengetahuan metakognisi sebagai berikut: Apa strategi pembelajaran yang akan membantu saya mencapai target? Alternatif apa yang saya punyai? Apakah itu merupakan strategi terbaik? Sumber pembelajaran apa yang saya butuhkan? Apakah saya pernah berhasil dengan strategi ini? Jenis monitoring dan evaluasi apa yang sesuai dengan strategi ini? Monitor dan evaluasi perkembangan adalah proses perkembangan yang berkesinambungan, pertanyaan pada tahap ini sebagai berikut. Sejauh mana perkembangan yang dicapai?Apakah jangka waktunya realistis?Apakah saya perlu mengubah strategi belajar?Apa penentu kesuksesan atau kegagalan saya yang paling penting? Apa yang saya telah pelajari dari proses akan membantu saya di kemudian hari? (Amin dan Eng, 2003) Metakognisi dapat dikembangkan oleh pengajar bagi pebelajar. Ada beberapa strategi yang disarankan untuk membangun keterampilan metakognitif pada pebelajar, yaitu: peserta didik diminta memonitor pembelajar dan pemikiran mereka sendiri, mempelajari strategi belajar sendiri, membuat prediksi tentang informasi, menghubungkan ide-ide, membuat pertanyaan, kemudian menanyakan pada diri sendiri, mengetahui kapan membutuhkan bantuan dalam pembelajaran, menunjukakkan pada peserta didik bagaimana cara menerapkan pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan pada situasi lain atau pada tugas-tugas. (Huiit, 1997) 5.
Kemampuan Kognitif Pada proses belajar dihasilkan bertambahnya kompetensi siswa yang meliputi kecakapan sosial, bertambah pengetahuan kognitif, serta keterampilan. Kemampuan berpikir individu berlandaskan pada fungsi otak disebut dengan domain kognitif (Iskandar, 2012). Salah satu pedoman dalam menentukan tingkat kompetensi siswa digunakan taksonomi tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh Benjamin S. Bloom. Taksonomi Bloom mencakup sistem klasifikasi tujuan pendidikan dalam tiga kawasan (domain) perilaku yaitu domain afektif, domain kognitif, dan domain psikomotorik. Domain afektif menyangkut hal-hal yang
33
berkenaan dengan minat dan sikap, domain kognitif mengenai aspek intelektual atau fungsi fikir, dan domain psikomotorik mengenai aspek keterampilan motorik. Kompetensi kognitif dijadikan ukuran berhasil atau tidaknya proses belajar siswa di sekolah dengan instrumen tes tertentu. Menurut Syaifuddin (2007) Bloom menyusun konsep taraf kompetensi kognitif ke dalam enam jenjang yang kompleksitasnya bertingkat, antara lain : a.
Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan merupakan tingkat terendah dari ranah kognitif berupa pengenalan atau pengingatan kembali terhadap pengetahuan tentang fakta, istilah, dan prinsip-prinsip dalam bentuk yang dipelajari.
b.
Pemahaman (Comprehension) Pengertian/pemahaman merupakan tingkat berikutnya dari tujuan belajar ranah kognitif berupa kemampuan memahami tentang isi pelajaran yang dipelajari tanpa menghubungkan isi pelajaran lainnya.
c.
Penerapan (Application) Penerapan merupakan kemampuan siswa dalam mengoperasikan, mendemostrasikan dan menggunakan generalisasi atau abstraksi lainnya sesuai dengan situasi yang konkret.
d.
Analisis (Analysis) Analisis merupakan kemampuan menjabarkan isi pelajaran ke bagian-bagian yang menjadi unsur pokok.
e.
Sintesis (Synthesis) Sintesis merupakan kemampuan siswa dalam menggabungkan, merancang, merevisi, membuat komposisi dari unsur-unsur pokok menjadi struktur baru.
f.
Evaluasi (Evaluation) Evaluasi merupakan kemampuan siswa dalam membandingkan, memberi alasan dan menyimpulkan dari isi pelajaran tertentu.
34
Tingkat pemikiran dari Bloom yang dibagi menjadi 6 level dikategorikan menjadi tingkat rendah dan tingkat tinggi. Pemikiran kognitif tingkat rendah dimulai dari level pengetahuan dan pemahaman. Pemikiran tingkat tinggi menurut Bloom bermula dari tingkat aplikasi hingga evaluasi. Menurut Beyer dalam Iskandar (2012), dikenal model berpikir “Functional Thinking”. Domain kognitif yang termasuk dalam model berpikir tersebut yaitu membuat keputusan (decision-making), menyelesaikan masalah (problem solving), dan membangun konsep (conceptualizing) sebagai tingkat tertinggi. Alur domain kognitif Beyer diikuti oleh pemikiran kritis, kreatif, pemaknaan, dan merekam fakta atau mengingat. 6.
Penelitian Tindakan Kelas a. Pengertian penelitian tindakan kelas Nonoh (2012: 47-48) menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas dalam bahasa Inggris adalah Classroom Action Research (CAR). Penelitian tindakan kelas terdiri dari tiga kata yaitu penelitian, tindakan, dan kelas. Penelitian adalah suatu kegiatan yang mencermati suatu objek dengan menggunakan cara atau aturan metodelogi tertentu. Tindakan adalah suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Kelas adalah sekelompok peserta didik yang sedang belajar, sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah sesuatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas. Jika ditinjau dari segi semantik, Kemmis dan Mc. Taggart (1990) dalam Nonoh (2012:48) mendefinisikan pengertian penelitian tindakan kelas sebagai berikut: “Action Research is a form of self-reflective enquiry undertaken by participants (teachers, students or principals, for example) in social (including educational) situations in order to improve the rationality and justice of (a) their own social or educational
35
practices, (2) their understanding of these practices, and the situation (and institutions) in which the practices are carried out.” Berdasarkan pernyataan tersebut maka karakter PTK adalah sebagai berikut: 1) Suatu pendekatan untuk memperbaiki praktik pendidikan dengan jalan mengubahnya dan memepelajari dampak dari perubahan tersebut. 2) Penelitian melalui refeksi diri, yaitu guru memperoleh data dari praktiknya sendiri. 3) Penelitian tindakan kelas dilakukan di ruang kelas sehingga fokus penelitian adalah proses pembelajaran berupa perilaku guru dan siswa saat berinteraksi dalam proses pembelajaran. 4) Penelitian tindakan kelas bertujuan untuk memperbaiki pembelajran. 5) Penelitian tindakan kelas dilakukan secara kolaboratif. Suhardjono
(2011:21),
tujuan
utama
PTK
adalah
untuk
memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam kelas sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan melalui tindakan yang akan dilakukan. Berkaitan dengan PTK, Elfanany (2013) menyatakan bahwa PTK dilakukan oleh guru/peneliti, kerepresentatifan sampel tidak diperhatikan, instrumen yang valid dan reliabel tidak diperhatikan, tidak diperlukan analisis statistik yang rumit, memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung. b. Langkah-Langkah Penelitian Tindakan Kelas Menurut Rochiati (2007) dalam Nonoh (2012: 54-62), secara garis besar terdapat empat tahapan yang dapat dilakukan dalam melakukan penelitian tindakan kelas. Tahapan tersebut diantaranya adalah: 1) Perencanaan tindakan (Planning) Sebuah rencana PTK diawali dengan adanya masalah yang dirasakan atau disadari oleh guru. Oleh karena itusebelum membuat
36
perencanaan, hendaknya guru menentukan fokus masalah yang akan diselesaikan. Terdapat 4 langkah yang perlu dilakukan agar mudah dalam memfokuskan masalah, yaitu: a) Identifikasi permasalahan yang dihadapi atau dirasakan b) Analisis penyebab permasalahan c) Analisis kemungkinan pemecahan d) Perumusan masalah Dalam kegiatan penyusunan rencana tindakan terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan, yaitu: a) Memformulasikan alternatif tindakan b) Analisis kelayakan analisis tindakan c) Menyusun persiapan tindakan Pada tahap perencanaan akan dijelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa, dan bagaiman tindakan tersebut dilakukan. Langkah-langkah persiapan yang perlu ditempuh dalam persiapan tindakan adalah: a) Merancang tindakan dalam bentuk skenario pembelajaran yang menunjukkan langkah-langkah yang dilakukan siswa maupun guru, b) Mempersiapkan fasilitas dan sarana yang diperlukan di kelas, c) Mempersiapkan cara merekam dan menganalisis data mengenai proses dan hasil tindakan pembelajaran, d) Melakukan simulasi pembelajaran jika diperlukan. 2) Pelaksanaan tindakan(Acting) Pelaksanaan
tindakan
merupakan
impementasi
dari
perencanaan. Dalam tahap ini guru harus menaati apa yang sudah dirumuskan dalam perencanaan, tetapi harus pula berlaku wajar atau tidak dibuat-buat. Pelaksaan tindakan hendaknya mengikuti enam prinsip yang dikemukakan oleh Hopkins (1993) sebagai berikut:
37
a) Pekerjaan utama guru adalah mengajar, sehingga metodelogi yang digunakan tidak boleh mengganggu komitmen guru dalam mengajar, b) Cara mengumpukan data tidak boleh menyita waktu guru, c) Metodologi yang diterapkan harus reliabel atau handal, sehingga guru masih dapat mengmbangkan strategi pembelajaran sesuai dnegan kondisi kelas, d) Masalah yang ditangan guru harus sesuai dengan kemampuan dan komitmen guru, e) Sebagai peneliti, guru harus memperhatikan berbagai aturan atau etika sesuai dengan tugasnya f)
PTK harus mendapat dukungan dari semua personil di sekolah
3) Pengamatan (Observing) Pada tahap ini pengamat melakukan pengamatan terhadap implementasi tindakan. Terdapat empat metode observasi, yaitu: a) Observasi Terbuka Pada observasi ini pengamat tidak menggunakan lembar observasi, melainkan hanya menggunakan lembar kosong untuk merekam pelajaran yang diamati. b) Observasi Terfokus Pada observasi terfokus, secara khusus ditujukan umtuk mengamati aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. c) Observasi Terstruktur Observasi terstruktur dalam pelaksanaannya menggunakan lembar observasi yang sudah siap pakai, sehingga pengamat hanya perlu memberikan tanda sesuai apa yang diinstruksikan di dalam lembar observasi. d) Observasi Sistematik
38
Observasi ini lebih rinci dibandingkan dengan observasi terstruktur dalam kategori yang diamati. Dalam penelitian tindakan kelas, observasi dilakukan untuk memantau proses dan dampak perbaikan yang dilakukan. Tahap dari observasi secara garis besar adalah pertemuan pendahuluan, pelaksanan observasi, dan diskusi balikan. 4) Analisis data dan Refleksi (Reflection) Analisis
data
merupakan
kegiatan
menyeleksi,
menyederhanakan, memfokuskan, mengorganisasikan data secara sistematis dan rasional untuk memberikan bahan jawaban terhadap permasalahan penelitian, sedangkan refleksi data adalah pengkajian terhadap keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan sementara, untuk memnentukan tindaka selanjutnya. 7.
Termodinamika a.
Hukum I Termodinamika Hukum I Termodinamika menyatakan bahwa untuk setiap proses, apabila kalor Q diberikan kepada sistem dan sistem melakukan usaha W, akan terjadi perubahan energi dalam ∆U. Pernyataan ini dapat dituliskan secara matematis sebagai berikut:
ΔU Q W atau Q ΔU W
(2.1)
Untuk mempermudah memahami persamaan (2.1), maka ditentukan perjanjian tanda untuk Q dan W sebagai berikut: 1) W bertanda positif jika sistem melakukan usaha terhadap lingkungan 2) W bertanda negatif jika sistem menerima usaha dari lingkungan 3) Q bertanda positif jika sistem menerima kalor dari lingkungan 4) Q bertanda negatif jika sistem melepas kalor pada lingkungan
39
Gambar 2.2 Interaksi Sistem dan Lingkungan
1) Perubahan Energi Dalam Berdasarkan teori kinetik gas, energi dalam merupakan ukuran langsung dari suhu mutlaknya sehingga perubahan energi dalam hanya tergantung pada keadaan awal dan keadaan akhir, dan tidak tergantung pada proses bagaimana keadaan sistem berubah. Untuk gas monoatomik dengan derajat kebebasan f = 3, perubahan energi dalam dapat ditentukan sebagai berikut:
ΔU U 2 U1 ΔU U 2 U1
3 3 N k T2 T1 N k ΔT 2 2
3 3 n R T2 T1 n R ΔT 2 2
ΔU U 2 U1
(2.2)
3 P2 V2 P1V1 3 ΔPV 2 2
Untuk gas diatomik dan poliatomik, maka faktor 3 pada persamaan (2.2) diganti dengan derajat kebebasan yang dimiliki gas tersebut.
40
2) Aplikasi Hukum I Termodinamika Konsep tentang perubahan energi dalam ∆U dan usaha W pada berbagai proses akan digunakan langsung pada aplikasi hukum I termodinamika. a) Proses Isotermal Pada proses isotermal, perubahan suhu ∆T = 0 sehingga perubahan energi dalam ΔU
3 n R ΔT 0 . Usaha yang dilakukan 2
oleh sistem sesuai dengan persamaan (2.3), yaitu W n R T ln
V2 . V1
Penerapan hukum I termodinamika menghasilkan:
Q ΔU W 0 W W Q W n R T ln
V2 V1
(2.3)
b) Proses Isobarik Pada proses isobarik tidak terjadi perubahan tekanan (∆P = 0) sehingga perubahan energi dalam menurut persamaan (2.2) menjadi ΔU persamaan
3 P ΔV . Usaha yang dilakukan sistem memenuhi 2
(2.4),
yaitu
W P ΔV .
Penerapan
hukum
I
termodinamika menghasilkan:
Q ΔU W Q
3 P ΔV P ΔV 2
5 5 P ΔV PV2 V1 2 2
(2.4)
c) Proses Isokhorik Pada proses isokhorik tidak terjadi perubahan volume (∆V = 0) sehingga usaha luar W P ΔV 0 . Perubahan energy dalam
41
sesuai dengan persamaan (2.2) yaitu U
3 nR T . Penerapan 2
hukum I termodinamika menghasilkan:
Q ΔU W ΔU 0 ΔU Q ΔU
3 3 n R ΔT n R T2 T1 2 2
(2.5)
Persamaan (2.5) menyatakan bahwa kalor yang dibrikan kepada suatu system pada volume tetap.
d) Proses Adiabatik Pada proses adiabatik tidak terjadi aliran kalor antara sistem dan lingkungan (Q = 0). Perubahan energy dalam sama dengan U
3 nR T2 T1 . Penerapan hukum I termodinamika 2
menghasilkan:
Q ΔU W 0 ΔU W
3 W ΔU n R T2 T1 2 W
3 n R T1 T2 2
(2.6)
3) Kapasitas Kalor Kapasitas kalor C suatu zat menyatakan banyaknya kalor Q yang diperlukan untuk menaikkan suhu zat sebesar 1 K. Pernyataan ini dapat dituliskan secara matematis sebagai
C
Q atau Q C ΔT ΔT
(2.7)
Ada dua macam kapasitas kalor untuk gas, yaitu kapasitas kalor untuk proses isochorik atau volume tetap (CV) dan untuk tekanan tetap
42
(CP). Kapasitas kalor untuk volum tetap (CV) dapat diperoleh dari persamaan 2.5.
Q
3 nR T 2
Q 3 nR T 2 CV
3 nR 2
(2.8)
Kapasitas kalor untuk proses isobarik atau tekanan tetap (CP) dapat diperoleh dari persamaan 2.4.
Q ΔU PΔV 3 Q nR ΔT nR ΔT 2 5 Q nR ΔT 2 Q 5 nR ΔT 2
CP
5 nR 2
(2.9)
Berdasarkan persamaan (2.8) dan (2.9) dapat diperoleh bahwa
CP CV
5 3 nR nR 2 2
CP CV n R
(2.10)
Kapasitas kalor yang diperoleh pada persamaan (2.8) dan (2.9) adalah untuk gas monoatomik. Sedangkan untuk gas diatomik dan poliatomik tergantung pada derajat kebebasan gas. Sebagai panduan dapat digunakan pembagian suhu sebagai berikut: 1) Pada suhu rendah (± 250 K): C V
3 5 n R dan C P n R 2 2
2) Pada suhu sedang (± 500 K): C V
5 7 n R dan C P n R 2 2
43
3) Pada suhu tinggi (± 1000 K): C V
7 9 n R dan C P n R 2 2
Oleh karena itu, konstanta Laplace γ dapat dihitung secara teoritis sesuai persamaan (2.7) sebagai berikut: 1) Gas monoatomik: 5 nR CP 5 γ 2 1,67 CV 3 3 nR 2
2) Gas diatomik pada suhu kamar: 7 nR CP 7 2 γ 1,4 CV 5 5 nR 2
b. Hukum II Termodinamika Berdasarkan hukum I termodinamika diketahui bahwa energi adalah kekal, tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Apabila hanya berpedoman pada hukum I termodinamika, setiap energi dapat diubah menjadi bentuk energi lain dalam bentuk apapun asalkan memenuhi hukum kekekalan energi. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi tidak demikian. Sebagai contoh, sebuah bola besi dijatuhkan dari suatu ketinggian. Pada saat bola besi jatuh, energi potensialnya berubah menjadi energi kinetik. Ketika bola besi menumbuk tanah, sebagian besar energi kinetiknya berubah menjadi energi panas dan sebagian kecil berubah menjadi energi bunyi. Kemudian jika prosesnya dibalik, yaitu bola besi dipanaskan sehingga memiliki energi panas sebesar energi kinetik ketika bola besi menumbuk tanah. Tidak mungkin energi panasnya berubah menjadi energi kinetik kemudian menjadi energi potensial sehingga bola besi naik walaupun bola besi dipanaskan sampai meleleh sekalipun.
44
Hukum II termodinamika membatasi perubahan energi mana yang dapat terjadi dan yang tidak dapat terjadi. Pembatasan ini dapat dinyatakan sebagai berikut: 1) Hukum II termodinamika dalam pernyataan aliran kalor oleh rumusan Clausius Kalor mengalir secara spontan dari benda bersuhu tinggi ke benda bersuhu rendah dan tidak mengalir secara spontan dalam arah kebalikannya. 2) Hukum II termodinamika dalam pernyataan tentang mesin kalor oleh rumusan Kevin-Planck Tidak mungkin membuat suatu mesin kalor yang bekerja dalam suatu siklus yang semata-mata menyerap kalor dari sebuah reservoir dan mengubah seluruhnya menjadi usaha luar. 3) Hukum II termodinamika dalam pernyataan entropi Total entropi semesta tidak berubah ketika proses reversibel terjadi dan bertambah ketika proses irreversibel terjadi. (Bob Foster, 2007: 175-199) c.
Siklus Termodinamika Pada aplikasi hukum I termodinamika khususnya untuk proses isotermal, seluruh kalor yang diberikan pada sistem dapat diubah menjadi usaha yang besarnya W n R T ln
V2 . Pernyataan ini menunjukkan bahwa V1
untuk melakukan usaha secara terus-menerus tidak mungkin hanya dilakukan dalam satu proses isotermal karena suatu saat proses akan berhenti ketika volum V2 mencapai nilai maksimum. Agar dapat mengubah kalor menjadi usaha lagi, maka sistem harus dikembalikan ke keadaan semula. Rangkaian proses yang membuat keadaan akhir sistem kembali ke keadaan awalnya disebut siklus.
45
Pada gambar 2.3 terdapat sebuah siklus termodinamika. Dimulai dari keadaan A gas mengalami proses isothermal sampai keadaan B. Kemudian, proses isobarik mengubah sistem sampai keadaan C. Akhirnya, proses isochorik membuat sistem kembali ke keadaan awalnya di A. Proses dari keadaan A ke keadaan B lalu kembali ke A disebut siklus. P A
B C V 0 Gambar 2.3 Siklus Termodinamika
Usaha W yang dilakukan oleh sistem untuk satu siklus sama dengan luas daerah yang diarsir pada diagram P-V. Usaha bernilai positif jika arah proses dalam siklus searah putaran jarum jam dan bernilai negatif jika berlawanan arah putaran jarum jam. Perubahan energi dalam ∆U untuk satu siklus sama dengan nol (∆U = 0) karena keadaan awal sama dengan keadaan akhir. 1) Arah Proses Termodinamika Proses Termodinamika berlangsung seacara ireversibel. Proses ireversibel adalah proses yang berlangsung secara spontan ke satu arah, tetapi tidak ke arah sebaliknya. Misalnya aliran klor dari benda panas ke benda dingin. Selain proses ireversibel, terdapat juga proses yang berlangsung secara bolak-balik yaitu proses reversible. Perubahan keadaan yang terjadi dapat dibalik (dibuat berlangsung pada arah sebaliknya) hanya dengan membuat perubahan sangat kecil pada sistem. Misanya, kalor yang mengalir diantara dua benda dengan perbedaan
46
suhu yang sangat kecil. Proses ini dapat dibalik hanya dengan membuat perubahan sangat kecil pada salah satu suhu atau yang lainnya. 2) Siklus Carnot Pada tahun 1824, seorang insinyur berkebangsaan Prancis bernama Sadi Carnot (1796 – 1832) memperkenalkan metode baru untuk meningkatkan efisiensi suatu mesin berdasarkan siklus usaha yang selanjutnya dikenal sebagai siklus Carnot. Siklus Carnot ini terdiri dari empat proses, yaitu dua proses isotermal dan dua proses adiabatik seperti tampak pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Siklus Carnot
a.
Proses AB adalah pemuaian isotermal pada suhu T1. Dalam proses ini sistem menyerap kalor Q1 dari reservoir bersuhu tinggi T1 dan melakukan usaha WAB.
47
b.
Proses BC adalah pemuaian adiabatik. Selama proses ini suhu sistem turun dari T1 menjadi T2 sambil melakukan usaha WBC.
c.
Proses CD adalah pemampatan isotermal pada suhu T2. Dalam proses ini sistem menerima usaha WCD dan melepas kalor Q2 ke reservoir bersuhu rendah T2.
d.
Proses DA adalah pemampatan adiabatik. Selama proses ini suhu sistem naik dari T2 menjadi T1 akibat menerima usaha WDA. Siklus Carnot merupakan dasar dari mesin ideal, yaitu mesin
yang memiliki efisiensi tertinggi yang selanjutnya disebut mesin Carnot. Usaha total yang dilakukan oleh sistem untuk satu siklus sama dengan luas daerah di dalam siklus pada diagram P-V. Selama proses siklus Carnot sistem menerima kalor Q1 dari reservoir bersuhu tinggi T1 dan melepas kalor Q2 ke reservoir bersuhu rendah T2, sehingga usaha yang dilakukan oleh sistem menurut hukum I termodinamika adalah
Q ΔU W
Q1 Q 2 0 W W Q1 Q 2
(2.11)
dengan Q1 = Kalor yang diserap dari reservoir bersuhu tinggi (J) Q2 = Kalor yang dilepas ke reservoir bersuhu rendah (J) 3) Efisiensi Mesin Dalam menilai kinerja suatu mesin, maka efisiensi merupakan suatu faktor yang penting. Untuk mesin kalor, efisiensi mesin η ditentukan dari perbandingan usaha yang dilakukan terhadap kalor masukan yang diberikan, yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: η
Q W Q1 Q 2 1 2 Q1 Q1 Q1
(2.12)
48
Untuk siklus Carnot berlaku hubungan
Q 2 T2 sehingga efisiensi Q1 T1
mesin Carnot dapat dinyatakan sebagai: η 1
T2 T1
(2.13)
dengan T1 = suhu reservoir bersuhu tinggi (K) T2 = suhu reservoir bersuhu rendah (K) 4) Mesin Pendingin Mesin
pendingin
merupakan
peralatan
yang
bekerja
berdasarkan aliran kalor dari benda dingin ke benda panas dengan melakukan usaha pada sistem. Contoh mesin pendingin adalah lemari es (kulkas) dan pendingin ruangan (AC).
Gambar 2.5 Konsep Aliran Kalor pada Mesin Pendingin
Keterangan Gambar 2.4 adalah: a.
T1>T2
b.
Q2 = Kalor yang diserap dari temperatur rendah
c.
Q1 = Kalor yang diberikan pada temperatur tinggi
d.
W= Q2 – Q1 yaitu usaha yang diperlukan
49
Ukuran penampilan sebuah mesin pendingin dinyatakan dengan koefisien daya guna (koefisian performansi) yang diberi simbol KP. KP
Q2 Q2 T2 W Q1 Q 2 T1 T2
(2.14)
dengan KP = koefisien performansi Q1 = kalor yang diberikan pada reservoir suhu tinggi (J) Q2 = kalor yang diserap pada reservoir suhu rendah (J) W = usaha yang diperlukan (J) T1 = suhu reservoir suhu tinggi (K) T2 = suhu reservoir suhu rendah (K) Kulkas dan pendingin ruangan memiliki koefisien perfomansi dalam jangkauan 2 sampai 6. Semakin tinggi nilai Kp, semakin baik mesin pendingin tersebut. 5) Entropi Entropi adalah besaran termodinamika yang menyertai perubahan setiap keadaan dari keadaan awal sampai keadaan akhir sistem. Entropi menyatakan ukuran ketidakteraturan suatu sistem. Suatu sistem yang memiliki entropi tinggi berarti sistem tersebut makin tidak teratur. Sebagai contoh, jika gas dipanaskan maka molekul-molekul gas akan bergerak secara acak (entropinya tinggi) tetapi jika suhunya diturunkan gerak molekulnya menjadi lebih teratur (entropinya rendah). Perubahan entropi suatu sistem hanya tergantung pada keadaan awal dan keadaan akhir. Proses reversibel tidak mengubah total entropi dari semesta, tetapi setiap proses irreversibel selalu menaikkan entropi semesta. Jika suatu sistem pada suhu mutlak T mengalami suatu proses reversibel dengan menyerap sejumlah kalor Q, perubahan entropi ∆S dirumuskan sebagai:
50
ΔS
Q T
(2.15) (Supriyanto, 2004: 223-236)
8.
Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan antara lain: a.
Penelitian oleh Devi Purna Eva pada tahun 2012 dengan judul PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING DENGAN PETA KONSEP TERHADAP KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA SMA N 3 SUKOHARJO. Hasil penelitian disimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan peta konsep berpengaruh signifikan terhadap kemampuan metakognitif dan hasil belajar biologi ranah psikomotor, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar biologi pada ranah kognitif dan afektif siswa SMA N 3 Sukoharjo tahun pelajaran 2011/2012. Dari penelitian tersebut upaya peningkatan menggunakan
kemampuan variasi
metakognitif
model
dapat
pembelajaran
yaitu
dilakukan inkuiri
dengan walaupun
peningkatan hasil belajar masih belum bisa dillakukan dengan model tersebut, sehingga dari penelitian ini diharapkan dengan penggunaan model pembelaran Learning Cycle 3 tahap, kemampuan metakogntif serta hasil belajar kognitif mampu ditingkatkan. b.
Penelitian dari Dewi Wulandari pada tahun 2014 dengan judul PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW DAN METODE CERAMAH TERHADAP HASIL BELAJAR TENTANG INFLAMASI DAN
PENYEMBUHAN
LUKA
(MATA
KULIAH
PATOLOGI)
DITINJAU DARI KEMAMPUAN METAKOGNITIF. Penelitian tersebut dilaksanakan dengan mahasiswa sebagai subyek penelitian dengan hasil bahwa kemampuan metakognitif mahasiswa sangat berpengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa tersebut. Kemampuan metakognitif tinggi yang
51
dimiliki oleh mahasiswa memiliki kencenderungan yang lebih unggul dalam sikap belajar dan kemudian hasil belajar yang mereka peroleh dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki kemampuan metakognitif yang rendah, walaupun dengan metode jigsaw dan ceramah menurut hasil penelitian tersebut memiliki imbas yang sama pada pembelajaran inflamasi dan penyembuhan luka ditinjau dari hasil belajar. Dari penelitian tersebut dapat saya simpulkan bahwa mahasiswa dengan kemampuan metakognitif yang tinggi akan memiliki hasil belajar yang baik pula, sehingga tinggi kemungkinannya untuk penelitian yang akan dilaksanakan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan metakognitif siswa akan sesuai dengan tujuan. B. Kerangka Berfikir Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMA Negeri 2 Boyolali saat Program Pengalaman Lapangan (PPL) ditemukan masalah dimana hasil belajar siswa dalam mata pelajaran fisika kurang memuaskan. Sedangkan hasil wawancara dengan guru Fisika, mengatakan bahwa pada umumnya guru masih menggunakan paradigma lama dalam mengajar siswa namun lambat laun guru sudah mencoba menggunakan metode saintifik. Walaupun guru menggunakan variasi model namun hasil belajar siswa masih kurang memuaskan. Pembelajaran konvensional sudah tidak begitu efektif lagi digunkan dalam pembelajaran sekarang, terlihat dari sebagian siswa tidak memahami materi sehingga target yang diinginkan guru tidak tercapai. Akibat dari metode konvensional atau ceramah tersebut,
siswa menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah,
partisipasi rendah, kerjasama dalam kelompok tidak optimal, kegiatan belajar mengajar tidak efisien dan pada akhirnya hasil belajar menjadi rendah. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka perlu adanya metode serta pendekatan pembelajaran yang mampu membangkitkan hasil belajar. Agar hasil belajar dan keterampilan proses sains tercapai secara optimal, perlu dikembangkan suatu
52
pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan perubahan paradigma dari mengajarkan siswa menjadi membelajarkan siswa, serta menekankan pada proses belajar siswa. Pemilihan metode yang tepat serta efektif harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, materi yang disampaikan, kondisi siswa, dan sarana yang tersedia, sehingga dapat dilihat apakah model yang diterapkan efektif. Materi fisika merupakan salah satu mata pelajaran bagi siswa kelas XI SMA Negeri 2 Boyolali. Materi ini memerlukan daya pemahaman yang tinggi sehingga akan lebih menyenangkan dan dipahami jika dibuat eksperimen disertai dengan diskusi dengan adanya percobaan tersebut siswa akan berusaha menemukan konsep dari percobaan yang mereka lakukan, sedangkan dari diskusi, mereka bisa saling bertukar informasi kemudian guru memberikan umpan balik dan memperkuat konsep ilmiah yang disampaikan siswa pada diskusi, mengadakan perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau penyusun berbagai alternatif pemecahan atas suatu masalah. Pembelajaran dengan model Learnig Cycle disini dilakukan agar peserta didik secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), mengajukan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan serta pengayaan pengaplikasian konsep. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dan guru bermaksud menerapkan sebuah model pembelajaran yang inovatif yaitu pendekatan pembelajaran konstruktivisme melalui model Learning Cycle untuk dapat meningkatkan kemampuan metakognitif dan hasil kognitif siswa. Skema kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar.
53
Kondisi Awal
Kemampuan metakognitif dan kognitif siswa cenderung rendah
Perencanaa n Tindakan (dengan menerapkan model Learning Cycle 3 tahap)
Siklus I
Pelaksanaa n Pengamata n Refleksi
Perencanaa n
Siklus II
Pelaksanaa n Pengamata n Refleksi
Kondisi Akhir
Diharapkan melalui penerapan model Learning Cycle dapat meningkatkan kemampuan Metakognitif dan hasil belajar kognitif
Gambar 2.6 Bagan Kerangka Berpikir
54
C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir di atas, dapat dikemukakan hipotesis tindakan sebagai berikut: 1. Penerapan
model
Learning
Cycle
dapat
meningkatkan
kemampuan
metakognitif siswa, yang berguna dalam mereka mengetahui kemampuan kognitif mereka sendiri yang digunakan untuk memcahkan masalah baik dalam bentuk soal ataupun kegiatan sehari-hari siswa. 2. Penerapan model Learning Cycle
dapat membuat siswa mengetahui
bagaimana mereka seharusnya belajar menurut kemampuan pribadi mereka masing-masing. 3. Dari peningkatan metakognitif siswa diharapkan hasil kognitif siswa juga meningkat.