BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Pembelajaran Fisika a. Hakikat Fisika Secara sederhana, Fisika adalah ilmu yang mempelajari gejalagejala alam dan benda-benda mati. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu yang mempelajari alam dengan segala isinya. IPA mempunyai beberapa cabang, salah satu diantaranya adalah Fisika. Untuk Fisika berasal dari bahasa Yunani physikos yang berarti alamiah dan physics yang berarti alam. Fisika merupakan salah satu cabang dari ilmu pengetahuan alam seperti halnya kimia dan biologi. Fisika mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam lingkup ruang waktu. Fisika adalah bagian dari IPA, sehingga karakteristik yang dimiliki IPA berlaku juga untuk Fisika yang pada akhirnya akan mempengaruhi pelaksanaan pengajaran Fisika. Menurut Gerthsen (1985) yang dikutip oleh Druxes (1986 : 3): “Fisika adalah suatu teori yang menerangkan gejala-gejala alam sesederhana mungkin dan berusaha menemukan hubungan antara kenyataan-kenyataan persyaratan utama untuk pemecahan soal adalah dengan mengamati gejala-gejala tersebut”. Sedangkan menurut pendapat Brockhaus (1972) yang dikutip oleh Druxes (1986 : 3): “Fisika adalah pelajaran tentang kejadian alam yang memungkinkan penelitian dengan percobaan dan pengujian secara sistematis dan berdasarkan peraturan umum”. Dari beberapa pendapat tentang Fisika di atas dapat disimpulkan bahwa Fisika adalah salah satu cabang dari IPA yang menerangkan gejalagejala alam yang bersifat fisik yang dapat dipelajari melalui pengamatan, eksperimen, serta teori. Secara pengamatan dan eksperimen, Fisika dapat dipelajari di alam secara langsung di laboratorium, sedangkan secara teori Fisika dapat dipelajari dengan kegiatan berdasarkan analisis rasional dengan berpijak pada teori yang telah ditemukan sebelumnya. Hasil-hasil Fisika
8
9
diungkapkan dalam bentuk fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori. Fisika meliputi proses, sikap, dan produk. Proses Fisika berupa aktivitas-aktivitas yang bertujuan mempelajari, menggali, mencari, dan menyelidiki kejadian alam. Sikap Fisika berupa sikap mental yang diperlukan selama melakukan proses kegiatan Fisika (jujur, terbuka, kritis, menghargai pendapat orang lain). Produk Fisika adalah hasil kegiatan Fisika berupa konsep, hukum, dan teori yang tersusun berdasarkan fakta-fakta alam. Mata pelajaran Fisika mempunyai tujuan yang akan dicapai. Tujuan pengajaran Fisika secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut : a) Agar anak didik memahami ilmu yang membicarakan dan di mana mereka hidup. b) Membangkitkan dan menumbuhkan perhatian terhadap Fisika, ini dapat dicapai melalui : 1. Menggunakan metode mengajar yang sesuai 2. Mengajarkan konsep-konsep Fisika yang modern 3. Menunjukkan hubungan antara Fisika dengan lingkungannya c) Membangkitkan sikap ingin tahu. Hal ini dapat dicapai melalui : 1. Mengajukan banyak persoalan pada siswa 2. Merangsang anak didik mengadakan pengamatan atau percobaan d) Mengajarkan anak didik berpikir ilmiah e) Menumbuhkan keterampilan dasar tertentu yang diperlukan pada penyelidikan sederhana. f) Menekankan adanya hubungan antara Fisika dengan bidang ilmu yang lain. (Druxes, 1986 : 4) b. Pembelajaran Fisika Menurut
Piageat
yang dikutip dari Suparno (2007: 9):
“pengetahuan datang dari tindakan”. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung pada seberapa aktif anak memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Perkembangan kognitif bukan akumulasi dari kepingan informasi terpisah, namun lebih kepada pengkonstruksian oleh siswa untuk memahami lingkungan mereka. Berdasarkan hal tersebut, dalam pembelajaran fisika, guru seharusnya hadir sebagai fasilitator bagi siswa dalam mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuannya. Menurut Hassard (2005) yang dikutip oleh Supriyono (2012: 23), pembelajaran Fisika menyajikan tidak hanya fakta-fakta dan informasi
10
Fisika, tetapi juga proses Fisika kepada siswa. Dengan demikian, pembelajaran Fisika berkewajiban menciptakan lingkungan kelas yang menumbuhkan nilai-nilai ilmiah yang sama dengan fisikawan terdahulu yaitu seberapa jauh siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan ideideya, apakah aktivitas di dalam kelas dirancang untuk memunculkan jawaban-jawaban dan penyelesaian-penyelesaian alternatif, apakah siswa didorong
untuk
mengidentifikasi
dan
kemudian
mencoba
untuk
memecahkan masalah yang relevan, dan apakah masalah-masalah yang mereka pecahkan memiliki konsekuensi-konsekuensi dalam kehidupan mareka. Harlen dalam Purwati (2012: 3) menambahkan, karakteristik pembelajaran Fisika antara lain: (1) merupakan ilmu yang berhakekat pada proses dan produk, artinya dalam belajar Fisika tidak cukup hanya mempelajari produknya melainkan juga menguasai cara memperoleh produk tersebut; (2) produk Fisika cenderung bersifat abstrak dan dalam bentuk
pengetahuan
fisik
dan
logika matematik. Oleh karena itu,
pembelajaran Fisika yang penyajiannya melibatkan siswa secara aktif baik dari segi mental maupun fisik dan bersifat nyata (konstekstual) akan menjadi semakin menarik. Dengan demikian pembelajaran Fisika memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencari, mempertanyakan dan mengeksplorasi pengetahuan. Widhy (2013: 2) menambahkan bahwa selain Fisika merupakan ilmu yang berhakekat pada proses (a way of investigating) dan produk (a body of knowledge), Fisika sebagai bagian dari IPA juga merupakan ilmu yang berhakekat pada sikap (a way of thinking). Fisika sebagai proses mengandung arti bahwa ciri seorang saintis harus memecahkan persoalan berdasar pada metode ilmiah yang dapat diterima secara logis. Produk Fisika merupakan hasil yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dapat berbentuk konsep, teori, hukum dan postulat, produk ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam melakukan pengamatan selanjutnya. Komponen sikap menekankan pada kegiatan dan pola pikir yang dilakukan dan
11
diharapkan dapat menjadi sikap yang tetap dilakukan dalam setiap aktivitas kehidupan. Dengan pemahaman atas hakekat Fisika sebagai bagian dari IPA diharapkan menjadi latar belakang dan modal bagi pendidik untuk memahami pembelajaran Fisika yang berkualitas baik. Pada pokoknya, guru atau pendidik melaksanakan tugas pembelajaran Fisika di dalam kelas, namun jika berhasil bukan tidak mungkin hal itu menyebabkan siswa aktif belajar Fisika di dalam kelas maupun di luar kelas. 2. Hakikat Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw a. Model Pembelajaran Kooperatif 1) Pengertian Pembelajaran Kooperatif Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik melalui berbagai interaksi serta pengalaman belajar yang terfokus pada: learning how to learn, learning how to do, learning to live together, dan learning to be ( a good citizen) (Tampubolon, 2014:89). Dalam proses pembelajaran maka diperlukan suatu model pembelajaran sebagai kerangka koseptual yang melukiskan langkahlangkah sistematis pembelajaran. Suprijono (2009:46) menyatakan bahwa model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dan merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Kemudaian Tampubolon (2014:88) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancangan pembelajaran peserta didik dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Seorang pakar pendidikan menjelaskan salah satu tujuan dari penggunaan metode pembelajaran adalah: untuk meningkatkan kemampuan siswa selama belajar. Dengan pemilihan metode, strategi, pendekatan serta teknik pembelajaran diharapkan adanya perubahan dai mengingat (memorizing) atau
12
menghafal (rote learning) ke arah berpikir (thinking) dan pemahaman (understanding), dari model ceramah ke pendekatan discovery learning atau inquiry learning, dari belajar individual ke kooperatif, serta dari subject centered ke clearer centered atau terkonsentrasinya pengetahuan siswa. (Daryanto dan Muljo,2012:241) Bruce & Weil dalam Tampubolon (2014:88) mengidentifikasi karakteristik model pembelajaran ke dalam aspek-aspek sebagai berikut:
Sintaks, suatu model pembelajaran memiliki sintaks atau urutan dan/atau tahapan (fase) kegiatan pembelajaran, misalnya bagaimana memulai pembelajaran. Sistem sosial, menggambarkan bentuk kerja sama antar gurupeserta didik dalam pembelajaran. Setiap model memberikan peran yang berbeda pada pendidik dan peserta didik. Prinsip reaksi, bagaimana cara menghargai atau menilai peserta didik dan bagaimana menanggapi apa yang dilakukan oleh peserta didik. Sistem pendukung, menggambarkan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mendukung keterlaksanaan model pembelajaran. Salah satu model pembelajran yang dapat menuntut siswa untuk
aktif adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keberagaman, dan pengembangan keterampilan
sosial
(Suprijono,2009:61).
Lebih
lanjut,
menurut
Zuckerman dalam Warsono dan Harianto (2012:4) meyakini bahwa belajar akan diperoleh melalui pengalaman (learning from experience), melalui pembelajaran aktif (active learning), dan dengan melakukan interaksi dengan bahan ajar maupun orang lain (interacting with learning materials and with people). Lie (2002:28) memandang model pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Hal tersebut karena dalam pemebelajaran kooperatif terdapat berbagai unsur ataupun karakteristik yang tidak dimiliki seperti belajar kelompok pada umumnya. Sedangkan Menurut Isjoni ( 2009:14) “Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota
13
kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda”. Kemudian Suprijono (2009:54) menyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang dipimpin oleh guru atau yang diarahkan oleh guru”. “Model pembelajaran kooperatif dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif, sebab peserta didik akan lebih banyak belajar melalui proses pembentukan (constructing) dan penciptaan, kerja dalam kelompok dan berbagai pengetahuan serta tanggung jawab individu tetap merupakan
kunci
keberhasilan
pembelajaran”
(Daryanto
dan
Muljo,2012:241). Sedangkan Roger dan Johnson dalam Lie (2002:30) mengatakan bahwa ‘tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperatve learning, untuk mencapai hasil yang masimal, lima unsur model pembelajarn gotong royong harus diterapkan, (a) saling ketergantungan positif, (b) tanggung jawab perseorangan, (c) tatap muka, (d) Komunikasi antar anggota, (e) evaluasi proses kelompok. 2) Landasan Teoritis Model Pembelajara Kooperatif Pembelajaran kooperatif didasarkan teori konstruktivistik, Menurut Sushkin dalam Isjoni (2009:33), ”Dalam teori konstruktivistik, penekanan diberikan kepada siswa lebih dari pada guru, ini disebabkan siswalah yang berinteraksi dengan bahan, peristiwa, dan memperoleh kefahaman tentang bahan dan peristiwa tersebut. Dengan ini, siswa membina sendiri konsep dan membuat penyelesaian kepada masalah”. Sedangkan menurut Sardiman (2011 : 38) “Dalam teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif di mana si subyek belajar membangun sendiri pengetahuannya. Subyek belajar juga mencari sendiri makna dari suatu yang mereka pelajari”. Pendapat lain tentang konstruktivisme yang terdapat dalam Suparno (2007 : 8): Menurut Piaget (1971): Filsafat konstrukstivisme adalah filsafat yang mempelajari hakikat pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu terjadi. Pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri yang sedang menekuninya. Bila yang sedang menekuni adalah siswa, maka pengetahuan itu adalah bentukan siswa sendiri. Maka pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah jadi, yang ada di luar kita,
14
tetapi sesuatu yang harus kita bentuk sendiri dalam pikiran kita. Jadi, pengetahuan itu selalu merupakan akibat dari suatu konstruks kognitif melalui kegiatan berpikir seseorang (Bettencourt,1989). Pengetahuan bukanlah suatu yang lepas dari subyek, tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman ataupun duania sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. ( Suparno, 2007: 8) Secara keseluruhan maksud pembelajaran konstruktivisme adalah pengajaran dan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Guru berperan sebagai
fasilitas
yang
membantu
pelajar
membangun
pengetahuan dan menyelesaikan masalah. Guru berperan sebagai pereka bentuk bahan pengajaran yang menyediakan peluang kepada siswa untuk membuat pengetahuan baru. Guru akan mengenal pasti pengetahuan siswa dan merancang kaidah pembelajarannya dengan sifat asas pengetahuan tersebut. Dalam membentuk kefahaman siswa, pembelajaran secara kooperatif juga dapat digunakan untuk belajar faham tentang suatu konsep dan ide yang lebih jelas apabila mereka terlibat secara langsung dalam pembinaan pengetahuan baru. Pembelajaran secara konstruktivisme menelusuri cooperatif learning juga dapat menimbulkan keyakinan kepada diri sendiri dan berani menghadapi serta menyelesaikan masalah dalam situasi pembelajaran yang baru, karena belajar secara konstruktivisme diberi peluang membina sendiri kefahaman mereka. Selain itu pembelajaran secara konstruktivisme menusuri cooperatif learning yang membina sendiri pengetahuan, konsep, dan ide secara aktif akan menjadikan siswa lebih faham, lebih yakin, dan bersemangat untuk terus belajar walaupun menghadapi berbagai tantangan. (Isjoni, 2009 : 32-33) 3) Karakteristik Pembelajaran Kooperatif Salvin dalam Hamdani (2011:32) mengemukakan tiga konsep sentral karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu : a) Penghargaan Kelompok Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan ini diperoleh jika kelompok mmeperoleh skor diatas kriteria yang ditentukan.
15
Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai angota kelompok dalam menciptakan hubungan antarpersonal yang saling mendukung, membantu dan peduli. b) Pertanggungjawaban Individu Keberhasilan kelompok bergantung pada pembelajaran individu dan semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan aktivitas angota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertangungjawaban secara individu juga menjadikan setiap angota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainya secara mandiri tanpa bantuan sekelompoknya. c) Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skorsing yang mencangkup nilai perkambangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skorsing ini siswa yang berprestasi rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya. 4) Tujuan Pembelajaran Kooperatif Pada dasarnya model pembelajaran koperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting seperti yang dirangkum Ibrahim dalam Isjoni (2009:39-41), yaitu: a) Hasil belajar akademik Dalam pembelajaran kooperatif meskipun mencangkup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas lainnya. b) Penerimaan terhadap perbedaan individu Tujuan lain dari model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuan. c) Pengembangan keterampilan sosial Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. 5) Unsur-unsur Prmbrlajaran Kooperatif Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model kooperatif harus diterapkan (Suprijono,2009:58), lima unsur tesebut adalah: a) Possitive interdependent (saling ketergantungan positif)
16
b)
c)
d)
e)
Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertangungjawaban kelomok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua angota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut. Personal reponsibility (tanggung jawab perseorangan) Tanggug jawab peseorangan adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. Artinya, setelah mengikuti kelompok belajar bersama, anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas yang sama. Face to face promotive interaction (interaksi promotif) Unsur ini sangat penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Interpersonal skill (komunikasi antar anggota) Dalam hal ini peserta didik harus: saling mengenal dan mempercayai, mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius, saling menerima dan saling mendukung, mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. Group proccesing (pemrosesan kelompok) Pemrosesan mengandung arti menilai, melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok.
b. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw 1) Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tipe dan salah satu diantaranya adalah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Majid (2013:182) menjelaskan bahwa: Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dkk di Universitas Texas, kemudian diadaptasi oleh Salvin dkk di universitas Jhon Hopkins. Ditinjau dari sisi etimologi, Jigsaw berasal dari bahasa ingris yang berarti “gergaji ukir”. Ada juga yang menyebutnya fuzzle, yaitu sebuah teka teki yang menyusun potongan gambar. Model pembelajarn kooperatif tipe Jigsaw ini juga mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (Jigsaw) yaitu siswa melakukan kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal ( Isjoni, 2009:77). Sedangkan Majid (2013:182) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah sebuah
17
sebuah model belajar kooperatif yang menitikberatkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil. Seorang pakar pendidikan menyatakan bahwa: “Jigsaw didesain untuk meningkatkan tanggung jawab siswa terhdap pembelajarannya dan pembelajaran orang lain. Selain itu untuk meningkatkan rasa tangung jawab, siswa secara mandiri dituntut memiliki saling ketergantungan positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Siswa tidak hanya memberi materi yang diberikan, tepi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada angota kelompok lain” (Hamdani,2011:37). Senada dengan itu, Lie dalam Majid (2013:184) bahwa ‘pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini merupakan model pembelajaran kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas empat sampai dengan enam orang secara heterogen, dan siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggungjawab secara mandiri’. 2) Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Ciri khas dari prmbelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah adanya kelompk asal dan kelompok ahli, seperti yang diungkapkan Hamdani (2011:37) bahwa, “pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Adapun kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri atas anggota kelompok asal yang berbeda, yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya, kemudian menjelaskan kepada anggota kelompok asal”. 3) Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini dilakukan dengan membentuk tim ahli dari beberapa kelompok asal dan menjadikannya sebagai fasilitator bagi kelompok asalnya. Kemudian Tampubolon (2014:95) memaparkan langkahlangkah kegiatan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini sebagai berikut :
18
a) Membagi kelompok peserta didik ( satu kelompok (4 – 5 orang). b) Memilih ketua kelompok (biasanya yang paling dewasa). c) Tiap orang dalam tim diberi bagian amteri yang berbeda. d) Mengatur peserta didik untuk mempelajari masing-masing satu segmen dalam kelompok. e) Anggota kelompok yang berbeda yang telah mempelajari segmen/sub bagian yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan segmen mereka. f) Setelah selesai diskusi, sebagian tim ahli tiap angota kembali kekelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang segmen yang mereka kuasai, dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh. g) Tiap kolompok ahli mempresentasikan hasil diskusi. h) Pendidik memberikan penilaian dan pembelajaran ditutup. 4) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Menurut Ibrahim,dkk. dalam Majid (2013:184) bahwa dalam pelaksanaannya, pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memiliki kelebihan, yaitu: a) Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan siswa lain. b) Siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan. c) Setiap anggota berhak menjadi ahli dalam kelompoknya. d) Dalam proses belajar mengajar siswa saling ketergantungan positif. e) Siswa dapat saling mengisi satu sama lain. Menurut Ibrahim,dkk. dalam Majid (2013:184) bahwa dalam pelaksanaannya, pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memiliki kekurangan, yaitu: a) Membutuhkan waktu yang lama. b) Siswa yang pandai cenderung tidak mau disatukan dengan temannya yang kurang pandai, dan yang kurang pandai pun merasa minder apabila digabungkan denagn temannya yang pandai, walaupun lama-kelamaan perasaan itu akan hilang dengan sendirinya.
19
3. Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Secara garis besar jenis belajar terbagi menjadi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Dari ketiga itu aspek yang menggambarkan pengetahuan siswa adalah aspek kognitif. Menurut Myers dalam Desmita (2009:97) menjelaskan bahwa ‘ thinking or cognition is the mental activiy associated with processing, undetstanding, and communicating information ... these mental activities, including the logical and sometimes illogical ways in which we create concept, solve problem, make decisions, and from judgments’. mengartikan
Kemudian Atkinson,dkk dalam Desmita
berpikir
sebagai’
kemampuan
(2009:97)
membayangkan
dan
menggambarkan benda atau peristiwa dalam ingatan dan bertindak berdasarkan penggambaran ini, pemecahan masalah melalui manipulasi yang nyata’. Sedangkan Chalpin dalam Desmita (2009:97) mengemukakan bahwa “kognisi adalah konsep umum yang mencangkup semua bentuk pengenalan, termasuk di dalamnya
mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka,
membayangkan, memperkirakan, menduga dan menilai. Kognisi itu sendiri dapat juga diartikan sebagai daya seseorang untuk berpikir. Kemampuan kognitif seseorang akan menaglami perkembangan seiring dengan bertambahnya usianya, sebagaimana Lerner & Hustlsch dalam Desmita (2009:107) mengungkapkan, “kemampuan-kemampuan kognitif akan semakin berkembang hingga anak memasuki tahap pemikiran operasional formal (formal operational thought), yakni suatu tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada usia kira-kira 11 atau 12 tahun dan terus berlanjut sampai remaja mencapai masa tenang atau dewasa”. Kemudian “Piaget membagi tahap perkembangan kognitif perkembangan manusia menjadi 4 tahap, yaitu: tahap sensori-motorik ( sejak lahir sampai usia 2 tahun), tahap pra-operasional (usia 2 sampai 7 tahun), tahap konkret-operasional ( usia 7 sampai 11 tahun), dan tahap operasional formal usia 11 tahun keatas” (Desmita, 2009:101). Tahapan tertinggi perkembangan kogntif menurut Piaget adalah tahapan operasional formal, kemudian Desmita (2009:107) menjelaskan, “pada tahap ini anak yang menginjak usia remaja sudah dapat berpikir secara abstrak
20
dan hipotesis, sehingga ia mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang bersifat abstrak”. Utari (2011: 10) menyampaikan setiap kategori dalam Revisi Taksonomi Bloom terdiri dari subkategori yang memiliki kata kunci berupa kata yang berasosiasi dengan kategori tersebut yaitu: a. Mengingat (C1): Mengidentifikasi, menyusun daftar, menjelaskan, mengingat, mengenali, menemukan kembali, menyatakan, mengulang, mengurutkan, menamai, menempatkan, menyebutkan, dsb. b. Memahami (C2): Menerangkan, menjelaskan, menterjemahkan, menguraikan, mengartikan, menyatakan kembali, menafsirkan, menginterpretasikan, mendiskusikan, menyeleksi, mendeteksi, melaporkan, menduga, mengelompokkan, memberi contoh, dsb. c. Menerapkan (C3): Mengkaji ulang, membedakan, membandingkan, mengkontraskan, memisahkan, menghubungkan, menunjukan hubungan antara variabel, menduga, mempertimbangkan mempertentangkan, menata ulang, mencirikan, mengubah struktur, mengintegrasikan, mengorganisir, dsb. d. Menganalisis (C4): Mengkaji ulang, membedakan, membandingkan, mengkontraskan, memisahkan, menghubungkan, menunjukan hubungan antara variabel, memecah menjadi beberapa bagian, menyisihkan, menduga, mempertimbangkan, mempertentangkan, menata ulang, mencirikan, mengintegrasikan, mengorganisir, dsb. e. Mengevaluasi (C5): Mengkaji ulang, mempertahankan, menyeleksi, mempertahankan, mengevaluasi, mendukung, menilai, menjustifikasi, mengecek, mengkritik, memprediksi, membenarkan, dsb. f. Mencipta (C6): Merakit, merancang, menemukan, menciptakan, memperoleh, mengembangkan, memformulasikan, membangun, membentuk, melengkapi, membuat, menyempurnakan, melakukan inovasi, dsb. Saat melakukan proses pembelajaran dalam Fisika, siswa melakukan aktivitas-aktivitas keterampilan proses IPA misalnya mengamati, mengukur, mengkomunikasikan, mengklasifikasi, memprediksi, dan menginferensi. Hasil dari proses tersebut adalah produk yang berupa pengetahuan baru yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan/atau teori. Berdasarkan pendapat beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa tingkatan ranah kognitif terdiri dari enam level yang sering di kenal dengan istilah C1 sampai dengan C6: C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (menerapkan), C4 (menganalisis, mengurai), C5 (menilai) dan C6 (mencipta).
21
4. Aktivitas Belajar a. Pengertian Aktivitas Belajar Pembelajaran harus menumbuhkan suasana sedemikian rupa sehingga
peserta
didik
aktif
bertanya,
mempertanyakan,
dan
mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Pembelajaran aktif adalah proses belajar yang menumbuhkan dinamika belajar bagi peserta didik. Dinamika untuk mengartikulasikan dunia idenya dan mengkonfirmasi itu dengan dunia realitas yang dihadapinya. (Suprijono, 2009:x ). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 31), “aktivitas berarti keaktifan, kegiatan, kesibukan dalam bekerja atau berusaha” Sardiman (2011 : 93) mengungkapkan bahwa “dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas”. Lebih lanjut, menurut Zuckerman dalam Warsono dan Harianto (2012:4) meyakini bahwa belajar akan diperoleh melalui pengalaman (learning from experience), melalui pembelajaran aktif (active learning), dan dengan melakukan interaksi dengan bahan ajar maupun orang lain (interacting with learning materials and with people). Menurut Rusyan, Kusdinar dan Arifin (1989:128) dalam proses belajar mengajar, keaktifan peserta didik merupakan hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan oleh guru sehingga proses belajar-mengajar yang ditempuh benar-benar memperoleh masil yang optimal. Menurut teori belajar kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekedar menimpannya saja tanpa mengadakan transformasi. (Aunurrahman,2013:199). Menurut Derwey dalam Hamdani (2011:97): ‘Anak memepergunakan aktivitas berbeda pada saat belajar. Tahap Pertama, yaitu anak prasekolah, anak-anak terlibat aktif dengan latihan organorgan sensorik dan perkembangan kondisi fisik. Tahap kedua, anak terlibat dengan materi dan alat-alat yang ditemukan dilingkungannya, lingkungan yang diperkaya dengan materi-materi belajar akan mampu
22
mengalihkan minat anak-anak dan mendorong mereka untuk bereksperimen dan berkreasi. Tahap ketiga, anak-anak menemukan ide menguji dan menggunakan ide-ide itu pembelajaran beralih dari golongan sederhana kepada observasi yang hati-hati, merencanakan dan memikirkan akibat suatu tindakan’. b. Prinsip-prinsip Aktivitas Belajar Prinsip aktivitas dalam belajar dapat dilihat dari perkembangan konsep jiwa menurut ilmu jiwa. Berdasarkan unsur kejiwaan subjek belajar akan diketahui prinsip belajar yang terjadi. Untuk melihat prinsip aktivitas belajar dari sudut pandangan ilmu jiwa ini secara garis besar dibagi menjadi dua pandangan yaitu : 1) Menurut Pandangan ilmu jiwa lama John Locke dalam Sardiman (2011: 98) mengibaratkan jiwa seseorang bagaikan kertas putih yang tidak bertulis. Kertas putih ini kemudian akan mendapatkan coretan atau tulisan dari luar. Terserah kepada unsur dari luar yang akan menulis, mau ditulis merah atau hijau, kertas ini akan bersifat reseptif. Konsep semacam ini kemudian ditrasfer ke dalam dunia pendidikan. Dalam proses belajar-mengajar semacam ini tidak mendorong siswa untuk berfikir dan beraktivitas. Tetapi yang banyak beraktivitas adalah guru yang dapat menentukan segala sesuatu yang dikehendaki. Hal ini sudah tidak sesuai dengan hakikat pribadi anak didik sebagai subjek belajar. 2) Menurut pandangan ilmu jiwa modern Menurut pandangan ilmu jiwa modern meterjemahkan jiwa manusia sebagai suatu yang dinamis, memiliki potensi dan energi sendiri. Oleh karena itu, secara alami anak didik akan menjadi aktif, karena adanya motivasi dan didorong oleh bermacam-macam kebutuhan. Anak didik dipandang sebagai organisme yang mempunyai potensi untuk berkembang. Oleh sebab itu, tugas pendidik adalah membimbing dan menyediakan kondisi agar anak didik dapat mengembangkan bakat dan potensinya. Dalam hal ini, anaklah yang beraktivitas, berbuat dan harus aktif sendiri. (Sardiman, 2011: 99).
23
c. Jenis-jenis Aktivitas Belajar Paul D. Dierich dalam Hamalik (2013:172-173) membagi kegiatan belajar dalam 8 kelompok, yaitu : 1) Kegiatan- kegiatan Visual Membaca, melihat gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain. 2) Kegiatan-kegiatan Lisan (oral) Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi, dan interupsi. 3) Kegiatan-kegiatan Mendengarkan Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, mendengarkan radio. 4) Kegiatan-kegiatan Menulis Menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat rangkuman, mengerjakan tes,dan mengisi anket. 5) Kegiatan-kegiatan menggambar Menggambar, membuat grafik, Chart, diagram peta dan pola. 6) Kegiatan-kegiatan Metrik Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari, dan berkebun. 7) Kegiatan-kegiatan Mental Merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, melihat, hubungan-hubungan, dan membuat keputusan. 8) Kegiatan-kegiatan Emosional Minat, membedakan, berani, tenang, dan lain-lain. Kegiatankegiatan dalam kelompok ini terdapat dalam semua jenis kegiatan dan overlap satu sama lain. 5. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) a. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, sebagai pendidik perlu melakukan refleksi dan evaluasi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Dengan refleksi diri seorang pendidik diharapkan dapat mengetahui kekurangan-kekurangan yang ada dalam proses pembelajaran terkait dengan bagaimana aktivitas siswa, keterlibatan siswa, dan minat siswa dalam proses pembelajaran. Untuk dapat melakukan refleksi dan evaluasi tersebut seorang pendidik harus melakukan serangkaian kegiatan penelitian
24
tindakan kelas. Menurut Tampobolon (2014:19) Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan penelitian yang dilakukan oleh pendidik di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai seorang pendidik. Sedangkan menurut David Hopkins (1993), Kemmis (1982) dan Mc Taggart (1991)
seperti yang dikutip pada
Tampubolon (2014:19) menjelaskan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan bentuk strategi dalam mendeteksi dan memecahkan masalah yang dihadapi pendidik dengan tindakan nyata, yakni melalui prosedur penelitian yang berbentuk siklus. Tampubolon (2014:21) ciri-ciri khusus Penelitian Tindakan Kelas diantaranya adalah: 1) Adanya Tindakan (Action) yang nyata dari guru dan onserver, karena keduanya melakukan dua peran yaitu sebagai guru dan sebagai peneliti. 2) Tindakan tersebut dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran yang dilakukan pendidik/peneliti. 3) PTK dilakukan untuk memecahkan permasalahan praktis. Kemudian, David Hopkins (1993) seperti yang dikutip pada Tambolon (2014:21), mengemukakan prinsip-prinsip umum penelitian tindakan kelas sebagai berikut: 1) Perbaikan Proses dari dalam ( an inquiry on practice from within); 2) Upaya Kolaborasi antara guru dan guru (a collaboration effort between school teacher and teacher educator); 3) Bersifat fleksibel (a reflective practice made public). 4) Tindakan perbaikan yang dilakukan merupakan suatu rancangan penelitian yang diyakini lebih baik dari kegiatan yang biasa dilakukan. 5) Memperbaiki kerja peneliti sebagai pendidik profesional. Penelitian Tindakan kelas berbeda dengan penelitian pada umumnya (penelitian non-PTK), adapun perbedaan karakteristik PTK dan penelitian non-PTK dapat disajikan seperti Tabel 2.1
25
Tabel 2.1 Matriks Perbedaan Karakteristik PTK dan Penelitian Non-PTK no Aspek 1 Peneliti Rencana 2 Penelitian 3 Motivasi Sumber 4 masalah
PTK Guru dan Dosen Oleh pendidik sebagai peneliti Melakukan tindakan Dirasakan oleh pendidik
5
Tujuan
Memperbaiki praktik pembelajaran
6
Sampel
7
Motodologi penelitian
8
Tempat penelitian
Oleh peneliti
Kasus khusus (tidak mengenal sampel) Longgar (impartiality), dan ada tindakan perbaikan yang berulang (siklus)
Menemukan kebenaran Dirasakan oleh orang luar/induktif-deduktif Verifikasi, menemukan pengetahuan yang dapat digenerasikan Sampel representatif yang mewakili populasi Belum tentu ada tindakan perbaikan, tetapi baku, objektivitas (build-in objectivity & impartiality)
Didalam kelas
Didalam/ diluar kelas
Memahami praktik pembelajaran melalui 9 refleksi yang membangun kinerja pendidik menjadi lebih baik yang berakibat terhadap peningkatan hasil 10 Hasil akhir belajar langsung dimanfaatkan oleh guru (peneliti) dan dirasakan oleh (Sumber:Tampubolon, 2014: 57) Penafsiran hasil penelitian
Non-PTK Orang luar
Mendeskripsikan, mengabstraksi, menyimpulkan, membangun teori
pengetahuan, prusedur, dan hipotesis yang teruji menjadi milik peneliti, belum tebtu dimanfaatkan oleh peneliti
b. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tindakan Kelas Melalui penelitian tindakan kelas guru senantiasa memperbaiki praktik pembelajaran di kelas berdasarkan pengalaman-pengalaman langsung yang nyata dipandu dengan perluasan wawasan ilmu pengetahuan dan penguasaan teoritik praksis pembelajaran. (Sarwiji, 2009) Sekurang-kurangnya ada empat manfaat penting dalam pelaksanaan PTK seperti yang dinyatakan oleh Sarwiji (2009 : 16) berikut ini:
26
1) Guru inovasi. 2) Guru dapat meningkatkan kemampuan refleksinya dan mampu memecahkan permasalahan pembelajaran yang muncul. 3) Melalui PTK guru akan terlatih untuk mengembangkan secara kreatif kurikulum di kelas atau sekolah. 4) kemampuan reflektif guru serta keterlibatan guru yang dalam terhadap upaya inovasi dan pengembangan kurikulum pada akhirnya akan bermuara pada tercapainya peningkatan kemampuan profesinalisme guru. c. Model-model Penelitian Tindakan Kelas Dalam bukunya, Sanjaya (2013:154) dan Tampubolon (2014:26-27) menyampaikan beberapa model Penelitian Tindakan Kelas, diantaranya yaitu: model Kurt Lewin, model Elliot, model Ebbut, dan model Siklus. Masing-masing model dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Model Kurt Lewin Menurut Kurt Lewin, penelitian tindakan terdiri dari empat komponen, yaitu: perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). 2) Model Kemmis dan Mc Taggart Model Kemmis dan Mc Taggart merupakan pengembangan dari desain PTK model Kurt Lewin yang terdiri dari 4 tahapan. Namun terdapat perbedaan dimana tahapan acting dan observating disatukan, artinya pelaksanaan tindakan dilaksanakan secara simultan dengan observasi. Prinsip pelaksanaan PTK model Kurt Lewin dan Kemmis dan Mc Taggart adalah sama. 3) Model Elliot Model penelitian yang dikembangkan oleh Elliot adalah model yang menekankan kepada proses untuk mencobakan hal-hal baru dalam proses pembelajaran. Langkahnya terdiri dari menentukan dan mengembangkan gagasan umum, monitoring, dan eksplorasi. 4) Model Ebbut Ebbut beranggapan bahwa suatu penelitian tindakan harus dimulai dari adanya gagasan awal, kemudian dari gagasan awal tersebut peneliti berupaya menemukan berbagai tindakan yang harus dilakukan untuk menyelesaikannya. Selanjutnya menyusun rancangan umum dan implementasi yang disertai monotoring. Dari hasil monitoring disusun penjelasan berbagai kegagalan yang dijadikan masukan untuk putaran selanjutnya. 5) Model Siklus Dinamakan model siklus karena model ini lebih menonjolkan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh setiap peneliti dalam setiap kali putaran. Prosedur penelitian dalam bentuk siklus adalah sebagi berikut: a) refleksi awal (proses kegiatan menganalisis pembelajaran
27
yang berlangsung); b) studi pendahuluan (mengkaji literatur dan melakukan konsultasi dengan ahli); c) rencana awal (termasuk menyusun instrumen); d) melakukan tindakan pada putaran pertama sesuai dengan perencanaan awal; e) rencana tahap dua (hasil refleksi pada putaran pertama); dan f) melakukan tidakan putaran kedua sesuai dengan rencana tahap dua. 6. Materi Usaha dan Energi Materi Usaha dan Energi berikut ini disusun dengan mengacu kepada Doauglas (1996: 178), Haryadi (2009:70-74), Nurachmandani (2009:100-109) dan Kanginan (2007:118-133) USAHA DAN ENERGI a. Konsep Usaha Usaha dan energi merupakan salah satu konsep yang paling penting dalam fisika dan berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam fisika, usaha diberi definisi yang tepat yang berbeda dari pemakaian istilah seharihari. Kerja dilakukan pada suatu benda oleh sebuah gaya hanya bila titik tangkap gaya itu bergerak melewati suatu jarak dan ada komponen gaya sepanjang lintasan geraknya. Jadi apabila diberikan gaya dorong pada sebuah meja melalui lantai, maka akan dikatakan melakukan kerja jika meja yang didorong mengalami perubahan kedudukan dari kedudukan awalnya. Namun jika meja yang di dorong tersebut tidak mengalami perubahan kedudukan atau tidak mengalami perpindahan maka dikatakan usaha yang dilakukan adalah nol. Usaha (W) didefinisikan sebagai hasil kali komponen gaya searah perpindahan(F) dengan besar perpindahannya(𝑠). Secara matematis definisi ini ditulis dengan rumus 𝑊 = 𝐹𝑠
(2.1)
28
Gambar 2.1 Usaha Ditentukan Sudut antara Gaya dan Perpindahan Benda Untuk gaya F searah dengan perpindahan s , usaha W dapat dinyatakan sebagai 𝑊 =𝐹𝑠
(2.2)
Untuk gaya F membentuk sudut 𝛼 terhadap perpindahan 𝑠 , 𝐹𝑥 = 𝐹 cos 𝛼 (Gambar 2.1), maka 𝑊 = (𝐹 cos 𝛼) 𝑠 , atau dapat ditulis 𝑊 = 𝐹𝑠 cos 𝛼
(2.3)
Sedangkan usaha yang ditimbulkan oleh gaya yang searah sumbu𝐹𝑦 , bernilai nol, hal ini karena 𝐹𝑦 tegak lurus dengan arah perpindahan. Gambar 2.2 menunjukkan sebuah benda yang dipengaruhi oleh gaya F1 dan F2 yang memiliki titik tangkap sama, sehinga bergeser sejauh s pada arah horizontal.
Gambar 2.2 Usaha yang Dilakukan Oleh Dua Gaya 𝐹1 dan 𝐹2 𝐹1 merupakan gaya yang membentuk sudut sebesar 𝛼1 terhadap arah perpindahan benda, sedangkan 𝐹2 merupakan gaya yang membentuk sudut sebesar 𝛼2 terhadap arah perpindahan benda.
29
Komponen gaya F1 yang searah dengan perpindahan adalah: 𝐹1𝑥 = 𝐹1 cos 𝛼1 , sehingga 𝑊1 = (𝐹1 cos 𝛼1 ) 𝑠 , atau dapat ditulis 𝑊1 = 𝐹1 𝑠 cos 𝛼1
(2.4)
Komponen gaya F2 yang searah dengan perpindahan adalah: 𝐹2𝑥 = 𝐹2𝑥 cos 𝛼2 , sehingga 𝑊2 = (𝐹2𝑥 cos 𝛼2 ) 𝑠 , atau dapat ditulis 𝑊2 = 𝐹2𝑥 𝑠 cos 𝛼2
(2.5)
Usaha merupakan besaran skalar, maka usaha yang dilakukan oleh beberapa gaya yang memiliki titik tangkap sama merupakan jumlah aljabar dari usaha yang dilakukan masing-masing gaya. 𝑊 = 𝑊1 + 𝑊2 + ⋯ + 𝑊𝑛
(2.6)
Dalam SI, satuan usaha adalah joule (J) satuan gaya adalah newton, dan satuan perpindahan adalah meter, sehingga sesuai persamaan (2.3), dipeoleh 1 joule = 1 newton meter Menghitung usaha dari grafik F terhadap s Misalkan pada suatu benda bekerja gaya jonstan F sehingga menyebabkan benda berpindah searah gaya F dari posisi awal s= s1 ke posisi akhir s = s2. Usaha yang dilakukan gaya konstan ini dapat kita hitung dengan persamaan (2.3). Jika digambarkan grafik gaya F terhadap posisi benda s, diperoleh grafik seperti pada Gambar 2.3
Gambar 2.3. Gaya F terhadap Posisi Benda (s) Luas Bangun Datar
= luas persegi panjang
30
= panjang x lebar =𝐹𝑠 Untuk grafik F – s ( gaya terhadap posisi ) diketahui atau dapat digambarkan usaha yang dilakukan oleh gaya F untuk berpindah dari posisi awal s = s1 ke posisi akhir s = s2, sama dengan luas raster di bawah grafik F terhadap s dengan batas s = s1 sampai dengan s = s2. Secara singkat, Usaha = Luas bangun datar di bawah grafik F terhadap s
(2.7)
b. Konsep Energi Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan usaha. Energi di alam ini tersedia dalam berbagai bentuk, misalnya energi kimia, energi listrik, energi kalor, dan energi cahaya. Energi akan bermanfaat apabila terjadi perubahan bentuk dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Sebagai contoh kipas angin akan bermanfaat jika terjadi perubahan energi listrik menjadi energi gerak. c. Hubungan antar Usaha dan Energi Potensial Gravitasi Sebuah batu bata ditahan tinggi di udara memiliki energi potensial karena posisi relatifnya terhadap Bumi. Batu bata memiliki kemampuan untuk melakukan kerja, karena jika dilepas akan jatuh ke tanah karena gaya gravitasi dan dapat melakukan kerja pada misalnya sebuah pancang yang akan terbenam ke dalam tanah. Untuk mengangkat sebuah benda bermassa m secara vertikal, sedikitnya dibutuhnkan suatu gaya ke atas yang sama dengan beratnya mg. Untuk mengangkat tanpa percepatan pada suatu ketinggian h di atas tanah,Gambar 2.4 ( arah ke atas dipilih posisif), diperlukan usaha yang sama dengan perkalian gaya mg dengan jarak vertikal h yaitu W = mgh. Jika usaha yang dilakukan hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi, maka usaha yang dilakukan oleh gaya gravitasi adalah: 𝑊𝑔𝑟𝑎𝑣 = 𝐹𝑑 = 𝑚𝑔ℎ
(2.8)
Jika batu bata jatuh dari ketinggian h dan membenamkan pancang ke dalam tanah, berarti benda dapat melakukan sebuah kerja sebesar mgh pada pancang. Jadi, untuk menaikkan sebuah benda bermassa m setinggi h,
31
diperlukan usaha yang sama dengan mgh. Setelah berapa pada ketinggian h, benda akan memiliki kemampuan untuk melakukan kerja yang sama dengan mgh. Oleh karena itu, dapat didefinisikan energi potensial gravitsi dari sebuah benda sebagai perkalian beratnya dan ketinggianya y di atas permukaan acuan ( misalnya tanah ): 𝐸𝑃 𝑔𝑟𝑎𝑣 = 𝑚𝑔𝑦
(2.9)
Semakin tinggi benda berada diatas tanah, semakin besar Energi Potensial gravitasi yang dimilikinya. Jika
ℎ = 𝑦1 − 𝑦2 ( lihat Gambar 2.4) ke
Persamaan 2.8 akan diperoleh: 𝑊𝑔𝑟𝑎𝑣 = 𝑚𝑔ℎ = 𝑚𝑔(𝑦1 − 𝑦2 ) 𝑊𝑔𝑟𝑎𝑣 = 𝑚𝑔𝑦1 − 𝑚𝑔𝑦2
(2.10)
𝑊𝑔𝑟𝑎𝑣 = 𝐸𝑃 1 − 𝐸𝑃 2 )
(2.11)
atau
Dengan demikian, kerja yang dilakukan oleh gravitasi dalam menggerakkan massa m dari titik 1 ke titik 2 sama dengan selisih 𝐸𝑃 antara titik 1 dan titik 2 ( posisi awal dikurang posisi akhir ).
Gambar 2.4 Benda Bermassa m di Ketinggian h di Atas Tanah d) Hubungan antara Usaha dan Energi Potensial Pegas Untuk merenggangkan pegas sepanjang x diperlukan gaya sebesar F untuk menarik pegas tersebut. Energi potensial pegas adalah besarnya gaya pegas untuk merenggangkan sepanjang x.
32
Usaha yang dilakukan oleh gaya pegas, Fp, ketika benda berpindah dari posisi (1) dengan simpangan x1 ke posisi (2) dengan simpangan x2 (Gambar 2.5) dan karena gaya Fp berlawanan dengan perpindahan ∆𝑥, maka: 𝑊𝑝𝑒𝑔𝑎𝑠 = −𝐸𝑃 = −(𝐸𝑃2 − 𝐸𝑃1 ) 1
= − 2 (𝑘𝑥2 2 − 𝑘𝑥1 2 ) 1 = − 𝑘(𝑥2 2 − 𝑥1 2 ) 2 Dengan menggunakan integral, maka: 𝑥2
𝑊1,2
𝑥2
𝑥
𝑥2 2 = ∫ −𝑘𝑥 𝑑𝑥 = −𝑘 ∫ 𝑥 𝑑𝑥 = −𝑘 [ ] 2 𝑥 𝑥1
𝑥1
1
1
= − 2 𝑘(𝑥2 2 − 𝑥1 2 ) Usaha oleh gaya pegas : 1
𝑊1,2 = − 2 𝑘(𝑥2 2 − 𝑥1 2 )
(2.12)
Persamaan (2.12) dengan jelas menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan oleh gaya pegas di antara dua tempat (posisi) tertentu tidak bergantung pada jalan (lintasan) yang ditempuh, tetapi hanya bergantung pada posisi awal (simpangan x1 dari posisi keseimbangan) dan posisi akhir(simpangan x2 dari posisi keseimbangan)
Gambar 2.5 Usaha yang Dilakukan Oleh Gaya Pegas untuk Benda Berpindah dari Posisi (1) ke Posisi (2) Berdasarkan Hukum Hooke, dapat diketahui grafik hubungan antara gaya F dengan pertambahan panjang x seperti Gambar 2.5 besarnya usaha merupakan luasan daerah yang diarsir.
33
1 𝐸𝑝 = 𝑊 = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑂𝐴𝐵 = 𝐹𝑥 2 Karena 𝐹 = 𝑘𝑥 , maka: 𝐸𝑝 =
1 (𝑘𝑥)𝑥 2
1
𝐸𝑝 = 2 𝑘𝑥 2
(2.13)
di mana: 𝐸𝑝 = energi potensian pegas (J) 𝑘 = konstanta gaya pegas (N/m) 𝑥 = pertambahan panjang pegas (m)
Gambar 2.6 Hubungan antara Gaya dengan Pertambahan Panjang e) Hubungan antara Usaha dan Energi Kinetik Energi kinetik adalah energi yang dimiliki benda karena geraknya. Dengan demikian, semakin cepat benda bergerak, semakin besar energi kinetik yang dimilikinya. Benda m bergerak dengan kecepatan v yang dikenai gaya F menyebabkan benda berpindah sejauh s. Maka usaha yang telah dilakukan adalah: 𝑊 = 𝐹. 𝑠
Gambar 2.7 Benda Bermassa m Bergerak dengan Kecepatan v yang Dikenai Gaya F Menyebabkan Benda Berpindah Sejauh s
34
Berdasarkan Hukum II Newton, 𝐹 = 𝑚𝑎 dan pada gerak lurus berubah beraturan untuk kecepatan awal sama dengan nol (v0 = 0), maka 𝑣 2 = 2𝑎𝑠, sehinga besarnya usaha: 𝑣2
𝑊 = 𝑚𝑎 (2𝑎) 1
𝑊 = 2 𝑚𝑣 2
(2.14)
W merupakan usaha yang diperlukan oleh gaya F untuk mengubah kecepatan benda. Besarnya ini sama dengan energi kinetik yang dimiliki benda pada saat kecepatannya v. Dengan demikian, energi kinetik dapat dinyatakan: 1
𝐸𝑘 = 2 𝑚𝑣 2
(2.15)
di mana: 𝐸𝑘 = energi kinetik (J) 𝑚 = massa benda (kg) 𝑣 = kecepatan benda (m/s) Teorema Usaha – Energi menyatakan : Usaha yang dilakukan oleh gaya resultan yang bekerja pada suatu benda sama dengan perubahan energi kinetik yang dialami benda itu, yaitu energi kinetik akhir dikurangi energi kinetik awal. 1
𝑊 = 𝐸𝑘2 − 𝐸𝑘1 = 2 𝑚𝑣2 2 −
1 2
𝑚𝑣1 2
1
𝑊 = 2 𝑚 (𝑣2 2 − 𝑣1 2 )
(2.16)
f) Energi Mekanik Energi mekanik adalah energi yang dihasilkan oleh benda karena sifat geraknya. Energi mekanik merupakan jumlah energi potensial dan energi kinetik yang dimiliki oleh benda. Secara matematis dituliskan: 𝐸𝑚 = 𝐸𝑝 + 𝐸𝑘
(2.17)
Misalnya, sebuah benda jatuh bebas dari ketinggian h1 di bawah pengaruh gravitasi ( Gambar 2.8.)
35
Gambar 2.8 Hukum Kekekalan Energi Mekanik pada Gerak Jatuh Bebas Pada ketinggian h1, benda memiliki energi potensial 𝐸𝑝 = 𝑚𝑔ℎ1 dan 𝐸𝑘 =0, hal ini dikarenakan di ketinggian h1 benda memiliki kecepatan 𝑣1 = 0. Energi mekanik di titik A adalah: 𝐸𝑚𝐴 = 𝐸𝑝𝐴 + 𝐸𝑘𝐴
(2.18)
𝐸𝑚𝐴 = 𝑚𝑔ℎ1 + 0 = 𝑚𝑔ℎ1
(2.19)
Pada saat benda bergerak jatuh, tingginya berkurang dan kecepatannya bertambah. Dengan demikian, energi potensial berkurang, tetapi energi kinetiknya bertambah. Tapi tepat sebelum menyentuh tanah (di titik B), semua energi potensial akan diubah menjadi energi kinetik. Dapat dikatakan energi potensial di titik B, 𝐸𝑝𝐵 = 0 dan energi kinetiknya 𝐸𝑘𝐵 = 1 2
𝑚𝑣𝐵 2 , sehingga energi mekanik pada titik B adalah: 𝐸𝑚𝐵 = 𝐸𝑝𝐵 + 𝐸𝑘𝐵 1
(2.20) 1
𝐸𝑚𝐵 = 0 + 2 𝑚𝑣𝐵 2 = 2 𝑚𝑣𝐵 2
(2.21)
Berdasarkan persamaan pada gerak jatuh bebas, besarnya kecepatan di titik B adalah 𝑣𝐵 = √2𝑔ℎ𝐴 , sehingga: 1
𝐸𝑚𝐵 = 2 𝑚𝑣𝐵 2 1
1
= 2 𝑚(√2𝑔ℎ𝐴 )2 = 2 𝑚(2𝑔ℎ𝐴 ) 𝐸𝑚𝐵 = 𝑚𝑔ℎ𝐴
(2.22)
36
Berdasarkan persamaan (2.19) dan (2.22) ternyata energi mekanik di A dan B besarnya sama, 𝐸𝑚𝐴 = 𝐸𝑚𝐵 . Dengan demikian, dapat dikatakan jika hanya gaya gravitasi yang bekerja pada benda, maka energi mekanik besarnya selalu tetap. Pernyataan ini dikenal dengan Hukum Kekekalan Energi Mekanik, yang dirumuskan: 𝐸𝑚𝐴 = 𝐸𝑚𝐵
(2.23)
𝐸𝑝𝐴 + 𝐸𝑘𝐴 = 𝐸𝑝𝐵 + 𝐸𝑘𝐵 1
1
𝑚𝑔ℎ𝐴 + 2 𝑚𝑣𝐴 2 = 𝑚𝑔ℎ𝐵 + 2 𝑚𝑣𝐵 2
(2.24) (2.25)
Persamaan (2.25) berlaku jika benda dalam medan gaya gravitasi dan tidak ada gaya lain yang bekerja. Misalnya. Pegas yang mengalami getaran harmonis dalam ruang hampa (tidak ada gesekan dengan udara) akan terus bergetar tanpa henti karena energi mekaniknya tidak akan hilang. B. Penelitian yang Relevan Brikut ini merupakan hasil penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan acuan dan referensi yang relevan: 1. Khoirul Mustofa dengan judul Cooperative Learning Tipe Jigsaw untuk Mengoptimalkan Aktivitas dan Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelas X-6 SMA MTA Surakarta. Hasil penelitian aktivitas belajar siswa tersebut terdapat peningkatan ketercapaian yaitu dari 12 % pada kondisi awal menjadi 50 %, karena kriteria keberhasilan minimal adalah 75 % maka dilakukan siklus berikutnya dengan memberi tindakan penekanan pada pelatihan diskusi diluar kelas, dan hasilnya memberi peningkatan yang diharapkan yaitu mencapai 84,37 %. Kemudian untuk aspek kemampuan kognitif, pada siklus pertama memberikan adanya kenaikan walau relatif kecil yaitu dari 18,75 % menjadi 25 %, karena kriteri minimal keberhasilan adalah 70 % maka diadakan siklus yang kedua dengan berbagai perbaikan dan akhirnya membuahkan hasil keberhasilan 72 %. 2. Jumarni dengan judul pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada materi Usaha dan Energi pada siswa kelas VIII B SMP Negeri 3 Tulung Klaten Tahun Pelajaran 2011/2012. menyatakan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas dan kemampuan
37
kognitif Fisika Siswa di SMP. Hasil pengamatan aktivitas pada tiap siklus menunjukan terjadi peningkatan aktivitas belajar positif siswa dari 48,27 % di Siklus I menjadi 64,30 % dan 81,0 3% di Siklus II. Sedangkan kemampuan kognitif Fisika siswa pada Siklus I memeperoreh ketercapaian sebesr 75,18 % dan meningkat pada Siklus II menjadi 82,96 %. 3. Abdul Haris Alamsyah dengan judul peningkatan aktivitas dan hasil belajar Fisika melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Hasi belajar peserta didik kelas IX B SMP Negeri 16 Surakarta semester I Tahun Ajaran 2014/2015 pada konsep dasar kelistrikan melalui penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan kognitif Fisika siswa dari keadaan awal dengan rerata kelas 62,67 menjadi 66,17 pada Siklus I, dan meningkat menjadi 69,17 pada Siklus II. Peningkatan ketercapaian dari keadaan awal 20 % menjadi 6,567 % pada Siklus I dan 77,27 % pada Siklus II. Hasil pen gamatan Aktifitas juga mengalami peningkatan dari sebesar 45 % menjadi 72,27 %. C. Kerangka Berpikir Proses pembelajaran di kelas XI IPA 1 SMA Negeri 3 Boyolali Tahun Ajaran 2015/2016, berdasarkan observasi awal menunjukan masih rendahnya kompetensi belajar siswa dalam mata pelajaran Fisika, hal tersebut dapat dilihat dari hasil observasi awal menunjukkan terdapat 40,63 % dari jumlah total siswa tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75. Disisi lain dalam proses pembelajaran berlangsung didapati siswa yang kurang memperhatikan penjelasan dari guru dan tampak pasif dalam mengikuti pembelajaran yang sedang berlangsung. Terdapatnya siswa yang pasif dan kurang menaruh minat dalam pembelajaran berlangsung disebabkan penggunaan strategi pembelajaran yang digunakan guru belum berjalan bengan baik dan dalam observasi awal juga terlihat pembelajaran masih berpusat pada guru. Belajar Fisika bukan sekedar belajar menghafal definisi-definisi, konsep-konsep dan persamaan matematis dengan mentransfer pengetahuan secara informatif saja akan tetapi yang lebih terpenting adalah dengan menitikberatkan pada proses dan aktivitas siswa dalam menemukan dan
38
mengolah informasi yang didapatkan menjadi sebuah konsep yang dapat pahami. Maka dari itu untuk meningkatkan hasil belajar perlu diterapkan strategi belajar baru yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Penilitan yang dilakukan oleh Jumarni (2013:34) pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan diskusi dan presentasi dapat mengarahkan siswa untuk aktif bekerjasama dalam menecahkan masalah serta mengermbangkan sikap kritis, logis, terbuka dan tanggung jawab
dalam
kelompok belajarnya. Pada umumnya kelas yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan diskusi dan presentasi menumbulkan perbedaan yang signifikan pada hasil belajar yang diperoleh antara pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan model pembelajaran konvensional pada pembelajarn Fisika kelas VIII. Senada dengan itu, Khoirum Mustofa (2013:55) berdasarkan hasil penelitiannya di SMA MTA Surakarta menyimpulkan bahwa melalui Jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa. Dalam model pembelajaran Jigsaw, aktivitas siswa dapat ditinjau dari 8 aspek yaitu aktivitas siswa dalam memperhatikan pelajaran, aktivitas siswa dalam membaca buku Fisika maupun artikel tentang materi usaha dan energi, aktivitas siswa dalam bertanya, aktivitas siswa dalam menjawab pertanyaan diberikan oleh siswa dalam kelompoknya, aktivitas siswa dalam menanggapi pertanyaan atau pendapat, aktivitas siswa memberikan pendapat/saran untuk memecahkan masalah yaitu soal dari siswa lain dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam aktivitas siswa dalam menulis. Pada mata pelajan Fisika materi Usaha dan Energi, model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memungkinkan untuk diterapkan karena dengan menerapkan model ini dapat membantu siswa untuk meningkatkan hasil belajar dan mengembangkan keterampilan untuk bekerjasama, mendengarkan pendapat orang lain, mengajukan pendapat, berdiskusi, kritis dan menumbuhkan sikap toleransi yang jarang didapatkan pada pembelajaran konvensional dimana guru menjadi pusat dalam pembelajaran.
39
Berdasarkan kajian teoritis, kemudian disusun keragka berpikir penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw untuk meningkatkan aktivitas dan kognitif Fisika siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 3 Boyolali Tahun Ajaran 2015/2016 pada pelajaran fisika materi usaha dan energi. Kerangka berpikir penelitian ini digambarkan pada Gambar 2.9.
Kondisi Awal
1. Aktivitas belajar siswa rendah 2. Kemampuan kognitif Fisika pengetahuan) siswa rendah
(aspek
Tindakan
Menerapkan Penerapan model pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw pada materi usaha dan energi
Kondisi
Diduga melalui penerapan model pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan kognitif Fisika siswa dan aktivitas belajar siswa pada materi usaha dan energi
Akhir
Gambar 2.9 Kerangka Berpikir D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka berpikir dapat diajukan hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada pelajaran Fisika materi Usaha dan Eergi kelas XI IPA 1 SMA Negeri 3 Boyolali Tahun Ajaran 2015/2016. 2. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan kognitif Fisika siswa pada pelajaran Fisika materi Usaha dan Energi kelas XI IPA 3 SMA Negeri 1 Boyolali Tahun Ajaran 2015/2016.