BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Peranan Sektor Transportasi Dalam Pembangunan Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia sedang giat-giatnya
melakukan pembangunan disegala bidang baik pembangunan phisik, ekonomi, budaya dan lainnya. Dalam pembangunan yang dimaksud tersebut prasarana transportasi mempunyai posisi sentral mengingat peranannya sebagai sistem penghubung suatu daerah dengan daerah-daerah lainnya sangat menonjol. Walau bukan merupakan satu-satunya prasarana yang penting, prasarana transportasi merupakan suatu syarat yang perlu (necessary condition), bagi ekonomi suatu daerah untuk berkembang (LPM-ITB,1997). Khusus untuk jaringan jalan,
peranan ini sangat efektif mengingat sifatnya yang bisa
melayani kebutuhan transportasi door to door yang praktis tidak bisa disamai oleh sistem jaringan transportasi lainnya. Secara umum peranan sistem transportasi dapat dibedakan menjadi dua hal (LPM-ITB,1997), yaitu ; 1.
Membangkitkan/memacu kebutuhan (generate the demand) Peranan transportasi dalam membangkitkan kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat jelas. Namun peranan ini bisa bervariasi tingkat kontribusinya dari suatu daerah ke daerah lainnya.
5
6
2.
Mengikuti pertumbuhan kebutuhan (follow the demand) Pada daerah-daerah yang sangat berkembang ekonominya, kekuatan pasar akan menentukan prasarana transportasi atau perkembangan sistem transportasi akan mengikuti tuntutan aktivitas ekonomi.
2.2
Studi Kelayakan Proyek Studi kelayakan merupakan suatu tahap awal yang cukup penting dari
serangkaian kegiatan fisik, dimana hasil dari suatu studi kelayakan adalah rekomendasi mengenai perlu tidaknya proyek yang dikaji untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya. Dewasa ini, studi kelayakan dirasakan sangat penting dilakukan karena sumberdaya baik waktu, manusia maupun dana semakin sulit diperoleh. Aspek yang dikaji dalam studi kelayakan ini tidak hanya terbatas pada aspek finansial saja melainkan juga mengkaji aspek teknis, lingkungan, manajerial dan administrasi, aspek organisasi, ekonomi, dan aspek sosial.
2.2.1 Pengertian Studi Kelayakan Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), yang dimaksud dengan studi kelayakan suatu proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan proyek investasi) dilaksanakan dengan berhasil. Mengkaji kelayakan suatu proyek bertujuan untuk mempelajari usulan suatu proyek dari segala segi secara profesional agar nantinya setelah diterima dan dilaksanakan betul-betul dapat mencapai hasil sesuai rencana. Menurut LPM-ITB (1997), yang dimaksud dengan studi kelayakan suatu proyek adalah suatu kegiatan penelitian atau studi yang dilakukan secara
7
komprehensif dari berbagai aspek dalam usaha mengkaji tingkat kelayakan suatu proyek.
2.2.2 Maksud dan Tujuan Studi Kelayakan Maksud dan tujuan studi kelayakan proyek adalah mengkaji sejauh mana kelayakan suatu proyek yang akan dilaksanakan, sehingga sumberdaya yang terbatas dapat dialokasikan secara efisien, efektif dan tepat. Tujuannya adalah hanya proyek yang benar-benar layak saja yang dapat dipilih karena terbatasnya sumber-sumber yang tersedia sehingga proyek tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara ekonomis dan finansial (LPM-ITB, 1997).
2.3
Jalan Sesuai dengan Undang Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan,
yang dimaksud dengan Jalan adalah Prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-lintas, yang berada pada permukaan tanah dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
2.3.1 Peran, Pengelompokan , dan Bagian bagian Jalan Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Jalan yang merupakan satu
8
kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 38 Tahun 2004, jalan umum dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status dan kelas. Menurut sistemnya terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat pusat kegiatan. Sedangkan sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa di dalam kawasan perkotaan. Jalan umum berdasarkan fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan. Sedangkan jalan umum berdasarkan statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa. Bagian bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan. Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamanannya. Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada dibawah pengawasan penyelenggara jalan.
9
2.4
Prediksi Arus Lalu Lintas
2.4.1 Arus dan Komposisi Lalu Lintas Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik pengamatan tiap satuan waktu. Lalu lintas harian rata-rata (LHR) adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu titik pengamatan pada suatu ruas jalan dalam satu hari (Dep. PU, 1997). Berdasarkan cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu lintas harian rata-rata, yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian rata-rata (LHR). LHRT adalah arus lalu lintas rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahun. LHR adalah arus lalu lintas yang diperoleh selama pengamatan dibagi dengan lamanya pengamatan. LHR dan LHRT dinyatakan dalam kendaraan/hari. Pada umumnya kendaraan pada suatu ruas jalan terdiri dari berbagai komposisi kendaraan sehingga volume lalu lintas lebih praktis dinyatakan ke dalam jenis kendaraan standar, yaitu mobil penumpang sehingga dikenal istilah satuan mobil penumpang (smp). Untuk mendapatkan volume dalam smp diperlukan faktor konversi dari berbagai jenis kendaraan menjadi kendaraan penumpang. Menurut MKJI (1997) angka ekivalen kendaraan penumpang (emp) adalah faktor dari berbagai tipe kendaraan dibandingkan terhadap kendaraan ringan sehubungan dengan pengaruh kepada kecepatan kendaraan ringan dalam arus campuran (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan (LV) yang sama sasisnya ; emp = 1,0). Besarnya emp untuk masing-masing tipe kendaraan pada jalan dua lajur dua arah tak terbagi (2/2UD) seperti pada Tabel 2.1.
10
Tabel 2.1 Ekivalen Kendaraan Penumpang (emp) untuk Jalan 2/2 UD
Keterangan : LV
: Light Vehicle (Kendaraan ringan) yaitu kendaraan beroda empat, dengan dua gandar berjarak 2,0 – 3,0 m (termasuk kendaraan penumpang, oplet, mikro bis, pick up dan truk kecil)
MHV
: Medium Heavy Vehicle (Kendaraan berat menengah) yaitu kendaraan bermotor dengan dua gandar, dengan jarak 3,5 – 5,0 m (termasuk bis kecil, truk dua as dengan enam roda)
LT
: Large Truk (Truk Besar) yaitu truk tiga gandar dan truk kombinasi dengan jarak gandar (gandar pertama ke dua) < 3,5 m.
LB
: Large Bus (Bis Besar) yaitu bis dengan dua atau tiga gandar dengan jarak as 5,0 – 6,0 m
MC
: Motorcycle (Sepeda Motor) yaitu sepeda motor dengan dua atau tida roda (meliputi sepeda motor dan kendaraan roda tiga)
11
2.4.2 Metode Prediksi Arus Lalu Lintas Prediksi arus lalu lintas didasarkan atas arus lalu lintas saat ini pada jalan eksisting sebagai data awal dan menganalisis kebutuhan perjalanannya untuk menghasilkan proyeksi lalu lintas yang akan melalui jalan rencana. Secara kualitatif prediksi arus lalu lintas dapat memberikan gambaran umum tentang pola arus lalu lintas, sehingga sangat penting bagi instansi terkait maupun perencana dalam menetapkan kebijakan pembinaan jaringan jalan, mengambil keputusan terhadap alternatif perbaikan jalan/infrastruktur lainnya dan strategi untuk mengendalikan tata guna lahan disekitar jalur utama. Salah satu metode untuk memprediksi arus lalu lintas dan pergerakan adalah dengan menghitung faktor pertumbuhan lalu lintas dan selanjutnya jumlah arus lalu lintas yang akan datang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Qn = Q0 ( 1 + i )
n
……………………………......………
(2.1)
Keterangan : Qn = Arus lalu lintas n tahun yang akan datang (smp/jam) Q0 = Arus lalu lintas saat ini (smp/jam) i
= Faktor pertumbuhan lalu lintas (%/thn)
n
= Jumlah tahun rencana (tahun)
Besarnya faktor pertumbuhan lalu lintas ( i % ) diperoleh melalui analisis berdasarkan rata-rata pertumbuhan kepemilikan kendaraan lima tahun terakhir,
12
pertumbuhan ekonomi lima tahun terakhir, pertumbuhan LHR, pertumbuhan lalu lintas jam puncak.
2.4.3 Kecepatan Arus Bebas Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada saat tingkatan arus nol, sesuai dengan kecepatan yang akan dipilih pengemudi seandainya
mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan
kendaraan
bermotor lain di jalan yaitu saat arus = 0 (MKJI 1997). Kecepatan arus bebas kendaraan ringan telah dipilih sebagai kriteria dasar untuk kinerja segmen jalan pada arus = 0. Persamaan untuk menentukan kecepatan arus bebas mempunyai bentuk umum sebagai berikut: FV
=
(FVo + FVW) x FFVSF x FFVRC .................................
(2.2)
FFV =
FVo – FV ....................................................................
(2.3)
FVL =
FVL,o – FFV x FVL,o / FVo
(2.4)
....................................
Keterangan : FV
= kecepatan arus bebas kendaraan ringan (km/jam)
FVo
= kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam), sesuai Tabel 2.2
FVW
= penyesuaian untuk lebar efektif jalur lalu lintas (km/jam), sesuai Tabel 2.3
FFVSF = penyesuaian untuk kondisi hambatan samping, sesuai Tabel 2.4 FFVRC = faktor penyesuaian untuk kelas fungsi jalan, sesuai Tabel 2.5 FFV
= penyesuaian kecepatan arus bebas kendaraan ringan (km/jam)
FVL
= kecepatan arus bebas kendaraan selain kendaraan ringan
13
FVL0
= kecepatan arus bebas dasar selain kendaraan ringan (km/jam), sesuai Tabel 2.2 Tabel 2.2 Kecepatan Arus Bebas Dasar Untuk Jalan Luar Kota (FV0), Tipe Alinyemen Biasa
Tabel 2.3 Penyesuaian akibat Lebar Jalur Lalu-Lintas (FVW) pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan pada Berbagai Tipe Alinyemen
Tipe Jalan
Lebar efektif jalur lalu lintas (Wc) (m)
Datar : KJP = A, B
Bukit Datar KJP = C
Gunung
Total : 5 6 7 8 9 10 11
-11 -3 0 1 2 3 3
-9 -2 0 1 2 3 3
-7 -1 0 0 1 2 2
Dua jalur tak terbagi
Sumber : MKJI 1997
FVW (km/jam)
14
Tabel 2.4 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Hambatan Samping dan Lebar Bahu (FFVSF) pada Kecepatan arus bebas kendaraan ringan
Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Akibat Kelas Fungsional Jalan dan Guna Lahan (FFVRC) pada Kecepatan arus bebas kendaraan ringan
2.4.4 Kapasitas Jalan Kapasitas Jalan Luar Kota didefinisikan sebagai arus maksimum yang dapat dipertahankan persatuan jam yang melewati suatu titik di jalan dalam kondisi yang ada (MKJI 1997). Untuk jalan dua-lajur dua-arah, kapasitas didefinisikan untuk arus dua-arah (kedua arah kombinasi), tetapi untuk jalan
15
dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah perjalanan dan kapasitas didefinisikan per lajur. Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Persamaan dasar untuk penentuan kapasitas adalah sebagai berikut : C = C0 x FCW x FCSP x FCSF
........................................................ (2.5)
keterangan : C
= kapasitas sesungguhnya (smp/jam)
C0
= kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = faktor penyusaian lebar jalan FCSP = faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak terbagi) FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan
Tabel 2.6 Kapasitas Dasar (C0) Pada Jalan 2/2 UD
Tipe Jalan/Tipe Alinyemen Dua lajur tak terbagi - Datar - Bukit - Gunung Sumber : MKJI 1997
Kapasitas Dasar Total Kedua Arah (smp/jam) 3100 3000 2900
16
Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas (FCW)
Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisahan Arah (FCSP)
17
Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCSF)
2.4.5 Derajat Kejenuhan Derajat Kejenuhan didefinisikan sebagai rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas jalan, digunakan sebagai faktor kunci dalam penentuan tingkat kinerja suatu segmen jalan (MKJI 1997). Nilai Derajat Kejenuhan menunjukkan apakah segmen jalan akan mempunyai masalah kapasitas atau tidak. DS
=
Q/C
.....................................................................
keterangan : DS = Derajat kejenuhan Q
= Volume arus lalu lintas (smp/jam)
C
= Kapasitas Jalan (smp/jam)
(2.6)
18
Berdasarkan Nilai Derajat Kejenuhan (DS) dapat dicari tingkat pelayanan jalan, dengan menggunakan Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Tingkat Pelayanan Jalan Berdasarkan Q/C Tingkat Pelayanan A
B
C
D E F
Kondisi Lapangan
Rasio (Q/C)
Arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang diinginkan tanpa 0.00 - 0.20 tundaan Arus stabil, kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas, pengemudi memiliki kebebasan yang 0.20 - 0.44 cukup untuk memilih kecepatan Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan dibatasi oleh kondisi lalu lintas, pengemudi 0.45 - 0.74 dibatasi dalam memilih kecepatan Arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan oleh kondisi arus lalu lintas, rasio 0.75 - 0.84 Q/C masih bisa ditoleransi Volume lalu lintas mendekati kapasitas, arus tidak 0.85 - 1.00 stabil, kecepatan terkadang terhenti Arus lalu lintas macet, kecepatan rendah, antrean > 1.00 panjang serta hambatan atau tundaan besar
Sumber : US-HCM (1985)
2.4.6 Kecepatan dan Waktu Tempuh Waktu tempuh adalah waktu rata-rata yang digunakan kendaraan menempuh segmen jalan dengan panjang tertentu, termasuk semua tundaan dan waktu berhenti dinyatakan dalam satu satuan waktu. Kecepatan perjalanan adalah kecepatan rata-rata antara dua titik tertentu yang ditentukan berdasarkan jarak perjalanan dibagi waktu tempuh rata-rata
19
kendaraan yang melalui segmen jalan, termasuk tundaan yang dialami selama perjalanan dalam km/jam (MKJI 1997). Kecepatan perjalanan yang rendah menyebabkan biaya operasi kendaraan meningkat. Beberapa faktor yang menyebabkan kecepatan perjalanan rata-rata rendah adalah ; 1.
Lalu lintas harian dan volume jam puncak tinggi
2.
Kondisi fisik, geometri dan lingkungan jalan
3.
Komposisi kendaraan berat cukup besar
4.
Aktifitas tata guna lahan sepanjang koridor jalan yang banyak memanfaatkan badan jalan dan adanya jalan-jalan akses ke jalan utama, sehingga dapat menghambat perjalanan.
Sumber : MKJI 1997 Gambar 2.1 Kecepatan sebagai Fungsi Derajat Kejenuhan Pada Jalan 2/2 UD
20
Selanjutnya dengan menggunakan grafik pada gambar 2.1 di atas dapat diketahui kecepatan sesungguhnya sehingga waktu tempuh juga bisa dihitung dengan rumus : T=L/V
…………………….................……………………
(2.7)
keterangan : T
=
waktu tempuh (jam)
L
=
jarak (km)
V
=
kecepatan (km/jam)
2.5
Biaya Operasi Kendaraan (BOK) Secara teoritis biaya operasi kendaraan dipengaruhi oleh sejumlah
faktor yaitu kondisi dan jenis kendaraan, lingkungan, kebiasaan pengemudi, kondisi jalan serta arus lalu lintas. Dalam prakteknya biaya tersebut diestimasi untuk jenis-jenis kendaraan yang mewakili golongannya dan dinyatakan dalam satuan moneter per satuan jarak (Rp/km).
2.5.1 Model dan Metode Perhitungan BOK Pada saat ini terdapat banyak model dan metode dalam menghitung biaya operasi kendaraan (BOK). Model tersebut antara lain : Pacific Consultans International (PCI), Highway Design and Maintenance (HDM) World Bank, TRRL, Abelson, Nimpac (NAASRA), Indonesian Highway Capacity Manual (IHCM) dan Central Road Research Institute (CRRI). Di Indonesia juga terdapat beberapa model perhitungan BOK, khususnya yang dikembangkan untuk keperluan sistem pengelolaan pemeliharaan jalan ataupun
21
untuk studi kelayakan jalan, salah satunya Pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum pada Tahun 2005. Pada Tabel 2.11 dapat dilihat rangkuman model-model BOK yang dititik beratkan pada tingkat ketelitian model yang ditinjau.
Tabel 2.11 Tingkat Ketelitian Model BOK Komponen Bahan Bakar Olie Ban Suku Cadang Tenaga Kerja Depresiasi Bunga Modal Asuransi Overhead, dll
HDM-III *** *** *** *** *** * * t.t **
PCI * * * * * * * * *
Model Biaya Operasi Kendaraan TRRL Abelson CRRI IHCM * *** *** * ** ** * * *** ** * * *** * ** * * ** * t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t
NIMPAC *** *** *** *** * t.t t.t t.t t.t
Sumber : LPM-ITB (1997)
Keterangan : *
= sederhana (mudah diterapkan)
**
= menengah
*** = sangat detail dan memiliki tingkat kebutuhan data yang tinggi t.t
= tidak tersedia
Semua komponen BOK model PCI, dalam spesifikasinya tidak ekstensif, misalnya geometrik jalan, kekasaran dan lain-lain. Model ini hanya memasukkan kecepatan sebagai variabelnya. Ini merupakan model yang cukup sederhana, dimana faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komponen BOK tidak dimodel secara eksplisit. Kemudian berdasarkan hasil studi LPM-ITB
22
(1997), dikembangkan model yang menyempurnakan model yang telah digunakan sebelumnya dengan mereview seluruh model yang ada dan melakukan survey pada beberapa jalan tol maupun non tol dengan kondisi geometrik yang berbeda-beda. Model BOK yang dibuat hanya menggunakan variabel yang sederhana dan mudah diukur seperti jarak, kecepatan dan rasio volume dengan kapasitas. Komponen-komponen yang diperhitungkan adalah yang berkontribusi besar terhadap BOK dan meskipun masih banyak komponen lain yang perlu diperhitungkan, komponen tersebut tidak terlalu dominan. Model-model komponen BOK yang ada disusun berdasarkan data empiris di negara-negara berkembang di luar Indonesia. Berdasarkan hal tersebut Departemen Pekerjaan Umum pada Tahun 2005 mengeluarkan Pedoman Teknik Nomor : Pd.T-15-2005-B tentang Pedoman Perhitungan Biaya Operasi Kendaraan untuk biaya tidak tetap (running cost). Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puslitbang Prasarana Transportasi dan adaptasi beberapa persamaan dan parameter yang ada di HDM IV tahun 2000.
2.5.2 Komponen-komponen BOK Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Biaya Operasi Kendaraan terdiri dari dua komponen utama yaitu biaya tidak tetap (variable cost atau running cost), dan biaya tetap (standing cost atau fixed cost), yang secara rinci terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut :
23
1.
Biaya tidak tetap, terdiri dari a. Konsumsi bahan bakar b. Konsumsi minyak pelumas c. Konsumsi suku cadang d. Upah tenaga pemeliharaan e. Konsumsi Ban
2.
Biaya tetap a. Depresiasi kendaraan b. Bunga modal c. Overhead
Faktor-faktor yang berpengaruh pada komponen BOK dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Konsumsi bahan bakar Terdapat suatu hubungan mendasar antara konsumsi bahan bakar dan kecepatan, dipengaruh geometrik dan kondisi lalu lintas.
2.
Konsumsi minyak pelumas Konsumsi minyak pelumas harus memperhatikan pengaruh dari kecepatan perjalanan.
3.
Konsumsi suku cadang Konsumsi suku cadang dipengaruhi oleh kekasaran permukaan jalan (IRI) dan harga kendaraan baru.
24
4.
Upah biaya pemeliharaan Kebutuhan jumlah jam pemeliharaan yang berkaitan dengan konsumsi suku cadang.
5.
Pemakaian ban Ada tiga faktor yang mempengaruhi kondisi atau umur ban, yaitu gesekan antara ban dengan permukaan jalan (rolling friction), gaya longitudinal dan tranversal yang terjadi akibat pengereman, akselerasi dan tikungan yang menyebabkan gesekan pada sebagian permukaan ban dan yang ketiga adalah akibat tekanan udara yang terjadi pada saat kendaraan melakukan tanjakan dan atau pengurangan kecepatan (driving force).
6.
Penyusutan Persamaan untuk biaya penyusutan (dipresiasi) besarnya berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan.
7.
Bunga modal Persamaan komponen bunga modal besarnya juga berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan
8.
Asuransi Persamaan komponen asuransi besarnya berbanding lurus dengan kecepatan kendaraan.
2.5.3 Analisis Biaya Operasi Kendaraan (BOK) untuk Mobil BOK untuk mobil dihitung berdasarkan Pedoman Penghitungan Biaya Operasi Kendaraan yang dikeluarkan oleh Departemen PekerjaanUmum tahun 2005.
25
1.
Pemakaian Bahan Bakar Pemakaian bahan bakar merupakan komponen yang memberikan sumbangan yang dominan dalam menghitung biaya operasi kendaraan. Modelnya sangatlah bervariasi dari model seketika (ins antaneous) yang sangat teliti, hingga model sederhana yang didasarkan pada kecepatan ratarata. Pengukuran bahan bakar bisa dilakukan dengan fuel meter. Akhirakhir ini terdapat alat yang secara otomatis dapat merekam pemakaian bahan bakar secara teliti yang akan sangat memudahkan dalam pengembangan model pemakaian bahan bakar. Pada survai perbandingan pemakaian bahan bakar di Tokyo secara umum diperoleh bahwa rata-rata kecepatan pada jalan tol sebesar 50 km/jam sementara pada jalan arteri antara 30-35 km/jam. Pemakaian bahan bakar untuk perhitungan BOK dihitung dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut: 2
2
KBBMi = ( + 1/VR + 2 x VR + 3 x RR + 4 x FR + 5 x FR + 6 x DTR + 7 x AR + 8 x SA + 9 x BK + 10 x BK x AR + 11 x BK x AR)/1000
................................................. (2.8)
Keterangan : KBBMi = konsumsi bahan bakar minyak untuk jenis kendaraan i (liter/km)
= konstanta (lihat tabel 2.12)
1...11 = koefisien-koefisien parameter (lihat tabel 2.12)
26
VR
= kecepatan rata-rata
RR
= tanjakan rata-rata (lihat tabel 2.13)
FR
= turunan rata-rata (lihat tabel 2.13)
DTR
= derajat tikungan rata-rata (lihat tabel 2.14)
AR
= percepatan rata-rata (persamaan 2.9)
SA
= simpangan baku percepatan (persamaan 2.10)
BK
= berat kendaraan
Percepatan rata-rata lalu lintas (AR) dalam suatu ruas jalan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : AR
= 0,0128 x ( V/C )
.............................................. (2.9)
Keterangan : AR =
percepatan lalu lintas
V
=
volume lalu lintas (smp/jam)
C
=
kapasitas jalan (smp/jam)
Simpangan baku percepatan lalu lintas (SA) dalam suatu ruas jalan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : SA
= SA max x 1,04 / (1 + e
a0 + a1 x V/C
Keterangan : SA
= simpangan baku percepatan (m/s2)
)
.............. (2.10)
27
SA max = simpangan baku percepatan maksimum (m/s2) (tipikal/ default = 0,75) a0, a1
= koefisien parameter ( tipikal / default a0 = 5,140 ; a1 = -8,264)
V
= volume lalu lintas (smp/jam)
C
= kapasitas jalan (smp/jam)
23,78
29,61
94,35
129,60
70,00
97,70
190,30
Sedan
Utiliti
Bus Kecil
Bus Besar
Truk Ringan
Truk Sedang
Truk Berat
Departemen PU, 2005
Jenis Kendaraan
3.829,70
-
524,60
1.912,20
1.058,90
1.256,80
0,0196
0,0135
0,0020
0,0092
0,0094
0,0059
0,0037
2
1
1.181,20
VR
1/VR
2
14,536
0,7365
1,732
7,231
1,607
1,765
1,265
3
RR
7,225
5,706
0,945
2,790
1,488
1,197
0,634
4
FR
-
-
-
-
-
6
DTR
-
-
0,0378 -0,0858
-
-
-
-
-
5
2
FR
-
-
124,4
266,4
166,1
132,2
-0,638
7
AR
-
-
-
13,86
49,58
42,84
36,21
8
SA
-
6,661
-
-
-
-
-
9
BK
Tabel 2.12 Nilai Konstanta dan Koefisien-Koefisien Parameter Model Konsumsi BBM
11,41
36,46
-
-
-
-
-
10
10,92
17,28
50,02
-
-
-
-
11
BKxAR BKxSAR
28
29
Tabel 2.13 Alinemen Vertikal yang Direkomendasi Pada Berbagai Medan Jalan
1
Datar
Tanjakan Rata-Rata (m/km) 2,5
2
Bukit
12,5
-12,5
3
Pegunungan
22,5
-22,5
No
Kondisi Medan
Turunan Rata-Rata (m/km) -2,5
Departemen PU 2005 Tabel 2.14 Nilai Tipikal Derajat Tikungan Pada Berbagai Medan Jalan
No
Kondisi Medan
Derajat Tikungan o
( /km)
1
Datar
15
2
Bukit
115
3
Pegunungan
200
Departemen PU, 2005
2.
Pemakaian Minyak Pelumas Pemakaian minyak pelumas/olie untuk masing-masing jenis kendaraan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : KOi =
OHKi + OHOi x KBBMi
................................... (2.11)
Keterangan : OHKi = oli hilang akibat kontaminasi (liter/km), sesuai persamaan 2.12 OHOi = oli hilang akibat operasi (liter/km), sesuai Tabel 2.15 KBBMi = konsumsi bahan bakar (liter/km)
30
Kehilangan oli akibat kontaminasi dihitung sebagai berikut : OHK
= KPOi / JPOi
....................................................... (2.12)
Keterangan : KPOi = kapasitas oli (liter), sesuai Tabel 2.15 JPOi
= jarak penggantian oli (km)
Tabel 2.15 Nilai Tipikal JPOi, KPOi dan OHOi JPOi (km)
Jenis Kendaraan
KPOi (liter)
OHOi (liter/km)
Sedan
2.000
3,50
0,0000028
Utiliti
2.000
3,50
0,0000028
Bus Kecil
2.000
6,00
0,0000021
Bus Besar
2.000
12,00
0,0000021
Truk Ringan
2.000
6,00
0,0000021
Truk Sedang
2.000
12,00
0,0000021
Truk Berat
2.000
24,00
0,0000021
Departemen PU, 2005
3.
Biaya Konsumsi Suku Cadang Biaya suku cadang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : BPi =
Pi x HKBi / 1.000.000
....................................... (2.13)
Keterangan : BPi
= biaya suku cadang kendaraan untuk jenis kendaraan i (Rp./km)
HKBi = harga kendaraan baru rata-rata untuk jenis kendaraan i (Rp.)
31
Pi
= nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru jenis i (sesuai persamaan 2.14)
i
= jenis kendaraan
Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru atau konsumsi suku cadang untuk suatu jenis kendaraan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Pi
=
( + 1 x IRI) x (KJTi/100.000)2
214
Keterangan : Pi
=
konsumsi suku cadang kendaraan jenis i per juta kilometer
=
konstanta (lihat Tabel 2.16)
1 , 2 =
koefisien-koefisien parameter (lihat Tabel 2.16)
IRI
=
kekasaran jalan, dalam m/km
KJTi
=
komulatif jarak tempuh kendaraan jenis i, dalam km Tabel 2.16 Nilai Tipikal , 1 dan 2 Koefisien Parameter
Jenis Kendaraan
1
2
Sedan
-0,69
0,42
0,10
Utiliti
-0,69
0,42
0,10
Bus Kecil
-0,73
0,43
0,10
Bus Besar
-0,15
0,13
0,10
Truk Ringan
-0,64
0,27
0,20
Truk Sedang
-1,26
0,46
0,10
Truk Berat -0,86 Departemen PU, 2005
0,32
0,40
32
4.
Biaya Upah Tenaga Pemeliharaan (BU) Biaya Upah Perbaikan Kendaraan untuk masing-masing jenis kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut : BUi = JPi x UTP/1000
....................................................... (2.15)
Keterangan : BUi = biaya upah perbaikan kendaraan (Rp/km) JPi
= jumlah jam pemeliharaan (jam/1000km), sesuai persamaan 2.16
UTP = Upah Tenaga Pemeliharaan (Rp/jam)
Kebutuhan jumlah jam pemeliharaan untuk masing-masing jenis kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut : JPi
a = a0 x Pi 1
............................................................... (2.16)
Keterangan : JPi
= jumlah jam pemeliharaan (jam/1000km)
Pi
= konsumsi suku cadang kendaraan jenis i
a0, a1 = konstanta (sesuai Tabel 2.17)
33
Tabel 2.17 Nilai Tipikal a0 dan a1 Jenis Kendaraan
a0
a1
Sedan
77,14
0,547
Utiliti
77,14
0,547
Bus Kecil
242,03
0,519
Bus Besar
293,44
0,517
Truk Ringan
242,03
0,519
Truk Sedang
242,03
0,517
Truk Berat
301,46
0,519
Departemen PU, 2005
5.
Biaya Pemakaian Ban Biaya konsumsi ban untuk masing-masing jenis kendaraan dapat dihitung dengan rumus persamaan berikut, yaitu: BBi = KBi x HBj /1000
..................................................... (2.17)
Keterangan : BBi
= Biaya konsumsi ban untuk jenis kendaraan i, dalam rupiah/km
KBi
= Konsumsi ban untuk jenis kendaraan i, dalam EBB/1000km, sesuai persamaan 2.18
HBj
= Harga ban baru jenis j, dalam rupiah/ban baru
Konsumsi ban untuk masing-masing kendaraan dapat dihitung dengan rumus persamaan berikut, yaitu: KBi =
+ 1 x IRI + 2 x TTR + 3 x DTR
.................. (2.18)
34
Keterangan :
= konstanta (lihat Tabel 2.18)
1...3 = koefisien-koefisien parameter (lihat Tabel 2.18) TTR
= Tanjakan+turunan rata-rata (lihat Tabel 2.19)
DTR
= Derajat tikungan rata-rata (lihat Tabel 2.14) Tabel 2.18 Nilai Tipikal , 1, 2 dan 3
Jenis Kendaraan
IRI
Sedan Utiliti
-0,014710 0,019050
1 0,01489 0,01489
Bus Kecil
0,024000
0,02500
Bus Besar
0,101530
Truk Ringan
0,024000
Truk Sedang
0,095835
Truk Berat
0,158350
TTR
DTR
2 -
3 -
0,003500
0,000670
0,000963
0,000244
0,003500
0,000670
-
0,001783
0,000184
-
0,002560
0,000280
0,02500
Departemen PU, 2005
Tabel 2.19 Nilai Tipikal Tanjakan dan Turunan Pada Berbagai Medan Jalan
1
Datar
TT (m/km) 5
2
Bukit
25
3
Pegunungan
45
No
Kondisi Medan
Departemen PU, 2005
35
6.
Biaya Penyusutan (Depresiasi) Biaya depresiasi yang berlaku untuk perhitungan BOK model PCI pada jalan tol maupun jalan arteri, besarnya berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan. Biaya tersebut dihitung berdasarkan persamaan : Untuk jalan arteri, a.
Kend. Ringan : Y
= 1 / (2,5 S + 100) …………….....… (2.19)
b.
Bus
: Y
= 1 / ( 9 S + 315) ………………..… (2.20)
c.
Truk
: Y
= 1 / ( 6 S + 210) ………………...... (2.21)
Keterangan :
7.
Y
= biaya penyusutan per 1000 km
S
= Running Speed/kecepatan berjalan (km/jam)
Biaya Bunga Modal Biaya suku bunga modal untuk perhitungan BOK model PCI baik pada jalan tol maupun jalan arteri sesuai dengan persamaan berikut ini : …………………….. (2.22)
a.
Kend. Ringan : Y
= 150 / (500 S)
b.
Bus
: Y
= 150 / (2571,42857 S)
c.
Truk
: Y
= 150 / (1714,28571 S) ……………… (2.24)
…………… (2.23)
Keterangan :
9.
Y
= biaya suku bunga kendaraan per 1000 km
S
= Running Speed/kecepatan berjalan (km/jam)
Biaya Asuransi. Komponen biaya asuransi pada perhitungan BOK model PCI berlaku pada jalan tol maupun jalan arteri. Asuransi diasumsikan sebesar 3,8% per
36
tahun. Biaya asuransi dalam hubungannya dengan kecepatan dihitung dengan cara yang sama seperti pada perhitungan biaya bunga modal, dengan jarak tempuh tahunan. Untuk sepeda motor besarnya biaya asuransi tidak diperhitungkan. Persamaan yang dipakai untuk menghitung besarnya biaya asuransi adalah sebagai berikut: ……………………… (2.25)
a.
Kend. Ringan : Y
= 38 / (500 S)
b.
Bus
: Y
= 60 / (2571,42857 S)
…………….. (2.26)
c.
Truk
: Y
= 61 / (1714,28571 S)
……..……… (2.27)
Keterangan : Y
= biaya asuransi per 1000 km
S
= Running Speed/kecepatan berjalan (km/jam)
2.5.4 Analisa BOK untuk Sepeda Motor Sepeda motor adalah jenis kendaraan yang sangat banyak digunakan di Bali dan berpengaruh signifikan terhadap karakteristik transportasi Bali. Untuk menghitung BOK sepeda motor digunakan model hasil studi yang pernah dilakukan di Bali yaitu PTS-BUIP/Public Transport Study Bali Urban Infrastructur Project, 1999 (Pramana, 2003). Model yang digunakan khusus untuk sepeda motor adalah; VOC = a + b/V + c V2
......................................................... (2.28)
Keterangan : VOC = biaya operasi kendaraan (Rp./km)
37
a
= konstanta (Rp./km) yang dipengaruhi oleh bahan bakar, oli, ban, pemeliharaan dan depresiasi, untuk sepeda motor = 24
V
= kecepatan rata-rata (km/jam)
b, c
= koefisien, untuk sepeda motor dengan nilai b = 596 dan c = 0.0037
2.6
Nilai Waktu
2.6.1 Pengertian dan Kegunaannya Nilai waktu atau nilai penghematan waktu didefinisikan sebagai jumlah uang yang rela dikeluarkan oleh seseorang untuk menghemat satu satuan waktu perjalanan (Hensher, et.al,1990). Besarnya nilai waktu bagi pengguna jalan merupakan gambaran dari layanan konsumen yang diberikan oleh jalan kepada pengguna jalan tersebut (LPKM-ITB, 1997). Dalam studi kelayakan proyek jalan nilai waktu tersebut digunakan untuk menghitung besarnya manfaat yang didapat oleh pengguna jalan akibat adanya penghematan waktu jika melalui jalan baru. Nilai penghematan persatuan waktu ini biasanya diambil perjam, yang nantinya menjadi masukan dalam perhitungan total nilai penghematan harian.
2.6.2 Estimasi Nilai Waktu Tidak ada nilai yang langsung dapat diterapkan untuk mencerminkan kenyamanan pengguna jalan, namun dapat dikatakan bahwa banyak pengguna jalan yang ingin mempersingkat waktu perjalanannya. Salah satu cara untuk mengkuantifikasi nilai ini adalah dengan menggambarkan nilai waktu sebagai
38
opportunity cost yang dihasilkan akibat hilangnya kesempatan produktif karena adanya kebutuhan perjalanan (bisnis atau non bisnis). Dalam
menentukan
nilai
waktu
seseorang,
penting
untuk
mengidentifikasi perjalanan seseorang. Tujuan perjalanan umumnya dibagi menjadi dua yakni tujuan bisnis dan non bisnis.
Perjalanan bisnis tidak
termasuk perjalanan pergi ke kantor atau pulang ke rumah yang dilakukan tidak pada jam kerja yang mana
tidak mengakibatkan kerugian produksi
ekonomi. Perjalanan non bisnis termasuk semua bentuk perjalanan seperti ke kantor, ke rumah, ke sekolah, berlibur dsb. Nilai perjalanan bisnis dikuantifikasikan sebagai nilai waktu perjam yang diasumsikan sama dengan nilai pendapatan perkapita. Sementara nilai perjalanan non bisnis ditetapkan 25 % dari nilai perjalanan bisnis. Pendekatan untuk perhitungan nilai waktu dalam studi ini adalah pendapatan perkapita dari PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) Propinsi Bali. Berikut ini adalah data pendapatan perkapita Provinsi Bali mulai tahun 2004 hingga 2008 sesuai Tabel 2.20 Tabel 2.20 PDRB Per Kapita Provinsi Bali
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
PDRB Per Kapita (Rupiah) 5.876.262 6.227.869 6.464.849 6.762.442 7.082.094
Sumber : BPS Prov. Bali, 2009
Pertumbuhan (%) 5,98 3,81 4,45 4,88
39
Oleh karena perjalanan seseorang umumnya menggunakan kendaraan maka diperlukan nilai rata-rata jumlah penumpang per jenis kendaraan (average Vehicle Occupancy). Pada Tabel 2.21 dapat dilihat jumlah penumpang per jenis kendaraan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parmini (2006).
Tabel 2.21 Rata-rata jumlah penumpang untuk Tiap Jenis Kendaraan Jenis Kendaraan
No. 1 2 3 4
Sepeda Motor Kendaraan Ringan Bus Truck
Rata-Rata Jumlah Penumpang (orang) 1,35 2,70 17,40 1,98
Sumber : Parmini, 2006
2.7
Pengertian Kecelakaan Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak
diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Di dalam terjadinya suatu kejadian kecelakaan selalu mengandung unsur tidak sengaja atau tidak disangka-sangka serta menimbulkan rasa kaget, heran dan tercengang serta trauma bagi orang yang mengalaminya (Ngurah A T. 2008). Berdasarkan UU No 22 Tahun 2009 pasal 229 ayat 1, kecelakaan lalu lintas digolongkan atas:
40
a.
Kecelakaan
Lalu
Lintas
ringan,
merupakan
kecelakaan
yang
kecelakaan
yang
mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang b.
Kecelakaan
Lalu
Lintas
sedang,
merupakan
mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang c.
Kecelakaan Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Kecelakaan Lalu Lintas dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan. 2.7.1 Daerah Rawan Kecelakaan Untuk menentukan dimana lokasi rawan kecelakaan (Black Spot) pada ruas jalan sangatlah sulit, tergantung dari penyelidikan dalam mengambil asumsi, karena banyak ahli negara maju yang telah mengembangkan teori-teori dalam menentukan Black Spot. Ada 3 (tiga) cara dalam menentukan lokasi rawan kecelakaan adalah : 1.
Berdasarkan jumlah korban mati.
2.
Korban mati rata-rata per populasi.
3.
Korban mati rata-rata per jarak. Sedangkan Pignataro (1973) menentukan kriteria yang dapat digunakan
untuk menentukan daerah rawan kecelakaan adalah : 1.
Pada daerah jalan tertentu (Black Spot), ketentuan yang dipakai adalah : a.
Jumlah kecelakaan pada periode tertentu melebihi satu nilai tertentu.
b.
Tingkat kecelakaan (accident rate) per kendaraan untuk suatu periode melebihi suatu nilai tertentu.
41
c. 2.
Jumlah kecelakaan dan tingkat kecelakaan melebihi nilai tertentu.
Pada suatu ruas jalan tertentu (Black Site), berlaku ketentuan : a.
Jumlah kecelakaan melebihi nilai tertentu
b.
Jumlah kecelakaan per-km melebihi nilai tertentu
c.
Tingkat kecelakaan atau jumlah kecelakaan per-kendaraan melebihi nilai tertentu.
2.7.2 Biaya Kecelakaan Lalu Lintas Merupakan biaya yang ditimbulan akibat terjadinya suatu kecelakaan lalu lintas, biaya tersebut meliputi : biaya perawatan korban, biaya kerugian harta benda, biaya penanganan kecelakaan dan biaya kerugian produktivitas korban (Puslitbang Prasana Transportasi, Pedoman Perhitungan Besaran Biaya Kecelakaan Lalu lintas)
2.7.2.1 Biaya Satuan Korban Kecelakaan Lalu Lintas (BSKO) Adalah biaya yang diperlukan untuk perawatan korban kecelakaan lalu lintas untuk setiap tingkat kategori korban (Puslitbang Prasana Transportasi, Pedoman Perhitungan Besaran Biaya Kecelakaan Lalu lintas). Biaya satuan korban kecelakaan lalu lintas (BSKO) terdiri dari : 1. Biaya ambulans 2. Biaya perawatan rumah sakit 3. Biaya rehabilitasi 4. Biaya asuransi 5. Biaya kerugian akibat kehilangan pekerjaan/penghasilan 6. Biaya kerugian akibat kematian
42
7. Biaya duka 8. Kerugian akibat rasa sakit dan penderitaan 9. Kerugian pada keluarga dan kerabat Adapun besaran biaya satuan korban kecelakaan lalu lintas pada tahun 2003, BSKOj(T0), dapat diambil dari Tabel 2.22
Tabel 2.22 Biaya satuan korban kecelakaan lalu lintas BSKOj (T0) Tahun 2003
No.
Katagori Korban
Biaya Satuan Korban (Rp./korban)
1
Korban Mati
119.016.000
2
Korban Luka Berat
5.826.000
3
Korban Luka Ringan
1.045.000
Sumber : Puslitbang Prasana Transportasi, 2005
.
2.7.2.1 Biaya Satuan Kecelakaan Lalu Lintas (BSKE) Adalah biaya kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh suatu kejadian kecelakaan lalu lintas untuk setiap kelas kecelakaan lalu lintas (Puslitbang Prasana Transportasi, Pedoman Perhitungan Besaran Biaya Kecelakaan Lalu lintas). Biaya satuan kecelakaan lalu lintas (BSKE), terdiri dari : 1.
Biaya akibat kerusakan kendaraan
2.
Biaya kerusakan dan atau kehilangan barang pribadi
3.
Biaya akibat kerusakan barang yang diangkut
4.
Biaya mobil derek
43
5.
Biaya akibat kerusakan jalan dan perlengkapan jalan
6.
Biaya akibat kemacetan lalu lintas
7.
Biaya adminsitrasi
8.
Biaya penanganan dan penyelidikan lapangan
9.
Biaya persidangan pengadilan
Adapun besaran biaya satuan kecelakaan lalu lintas pada tahun dasar 2003 BSKEi (T0) dapat diambil dari Tabel 2.23.
Tabel 2.23 Biaya satuan kecelakaan lalu lintas BSKEj (T0) Tahun 2003
No.
Klasifikasi Kecelakaan
Biaya Satuan Korban (Rp./korban)
1
Fatal
224.541.000
2
Berat
22.221.000
3
Ringan
8.589.000
Sumber : Puslitbang Prasana Transportasi, 2005
.
2.8
Penghematan Biaya Pemakai Jalan Nilai manfaat pembangunan jalan baru bagi pengguna jalan adalah
berupa penghematan biaya pemakai jalan yang terdiri dari penghematan biaya operasi kendaraan dan penghematan nilai waktu perjalanan. Besarnya penghematan kedua komponen tersebut dapat dihitung berdasarkan rumus dibawah ini : PB = (BOKek x Dek – BOKalt x Dalt) + {(Dek/Vek – Dalt/Valt) x Tv} .......... (2.29)
44
keterangan : PB
= Penghematan biaya pengguna (Rp/km)
BOKek = Biaya operasi kendaraan di jalan eksisting (Rp./km) BOKalt = Biaya operasi kendaraan di jalan alternatif/tol (Rp./km) Dek
= Panjang jalan eksisting (km)
Dalt
= Panjang jalan alternatif (km)
Vek
= Kecepatan di jalan eksisting (km/jam)
Valt
= Kecepatan di jalan alternatif/baru (km/jam)
Tv
= Nilai waktu kendaraan (Rp./jam)
2.9
Biaya Proyek Berbeda dengan biaya yang dihitung saat studi awal (preliminary
design) yang biasanya masih kasar, biaya proyek yang dihitung untuk studi kelayakan ini lebih baik nilainya. Biaya proyek secara lebih detail dapat dihitung karena ada rancangan detail dari proyek (DED) Biaya suatu proyek dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni biaya modal dan biaya operasional (LPM ITB, 1997) sebagai berikut : 1.
Biaya modal adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan dana proyek, melakukan studi, penyiapan dokumen pembangunan/pelaksanaan konstruksi, pengawasan pembangunan dan manajemen proyek.
2.
Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan untuk operasional (menjalankan proyek, pemeliharaan, perbaikan serta pengelolaan selama masa pelayanan).
45
2.10 Pendekatan Kelayakan Investasi Untuk menentukan layak tidaknya suatu investasi pembangunan jalan dari segi ekonomi dua metode yang sering digunakan adalah: 1.
Cost Benefit Analysis (Analisis Biaya Manfaat)
2.
Cost Effectiveness
Metode pertama digunakan untuk menyatakan kelayakan proyek berdasarkan perbandingan manfaat yang akan diperoleh dan biaya yang akan dikeluarkan. Metode ini digunakan dalam kondisi dimana dana terbatas. Sedangkan metode kedua biasanya dilakukan pada kondisi dimana dana yang tersedia cukup banyak sehingga untuk membandingkan dua alternatif proyek hanya dilakukan dengan membandingkan biaya yang diperlukan (Adler, 1969). Kriteria dasar untuk mengukur manfaat suatu investasi di bidang transportasi adalah dengan melakukan perhitungan ”dengan” dan ”tanpa” (”with” and ”without”) pembangunan jalan baru, sehingga diketahui keuntungan yang timbul karena adanya pembangunan jalan baru tersebut. Kriteria evaluasi dalam analisis ekonomi maupun analisis finansial umumnya adalah Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR), Payback Period dan Analisis Sensitifitas.
2.10.1 Net Present Value (NPV) Metode Net Present Value adalah metode yang membandingkan semua komponen biaya dan manfaat suatu kegiatan dengan acuan yang sama agar dapat diperbandingkan satu dengan lainnya (Kodoatie, 1995). Dalam hal acuan
46
yang digunakan adalah besaran netto saat ini (Net Present Value), artinya semua besaran biaya dan manfaat diubah dalam besaran nilai sekarang. Selanjutnya NPV didefinisikan sebagai selisih antara Present Value dari komponen manfaat dan Present Value komponen biaya. Secara matematis rumusnya adalah sebagai berikut: NPV = PV B – PV C
NPV Bt t
Ct
(1i)
t
……………………………………… (2.30)
keterangan : PV B = Present Value Benefit PV C = Present Value Cost Bt
= besaran total dari komponen manfaat proyek pada tahun t
Ct
= besaran total dari komponen biaya pada tahun t
i
= tingkat suku bunga (%/tahun)
t
= jumlah tahun Berdasarkan kriteria ini dapat dikatakan bahwa proyek layak dikerjakan
jika nilai NPV > 0, sementara jika nilai NPV < 0 artinya proyek tidak layak dan jika nilai NPV = 0 artinya tingkat pengembaliannya setara dengan suku bunga patokan (bank) atau dapat dikatakan bahwa proyek mengembalikan dananya persis sebesar Opportunity Cost of Capital (OCC), mengingat ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan
47
2.10.2 Benefit Cost Ratio (BCR) Metode ini pada prinsipnya membandingkan semua pemasukan yang diterima (dihitung pada kondisi saat ini) dengan semua pengeluaran yang telah dilakukan (dihitung pada kondisi saat ini). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : BCR = PV B/PV C
……………………………………… (2.31)
B (1i) BCR C (1i) t
t
t
t
t
t
keterangan : Bt = besaran total dari komponen manfaat proyek pada tahun t Ct = besaran total dari komponen biaya pada tahun t i
= tingkat suku bunga (%/tahun)
t
= jumlah tahun
Ada beberapa kriteria nilai BCR terkait dengan perumusan diatas, yakni ; Pertama bila nilai indeks BCR lebih besar dari 1 (BCR>1) maka proyek dikatakan layak untuk dikerjakan, kedua jika nilai indeks BCR < 1 (BCR < 1) maka proyek tidak layak untuk dikerjakan mengingat biaya (cost) lebih besar dari pada manfaat (benefit) yang diterima. Namun hal ini tidak sepenuhnya dapat ditentukan bahwa proyek layak jika BCR-nya > 1, karena hal tersebut hanya menunjukkan bahwa manfaat lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan. Sementara untuk lebih teliti menyatakan layak tidaknya suatu
48
proyek harus dibandingkan dengan discount rate yang berlaku. Dengan kata lain harus diketahui nilai laju pengembalian modalnya/Internal Rate of Return (IRR) untuk dapat dibandingkan dengan discount rate yang berlaku.
2.10.3 Internal Rate of Return (IRR) Yang dimaksud dengan Internal Rate of Return adalah besaran yang menunjukkan harga discount rate pada saat NPV sama dengan nol. Internal Rate of Return sering disebut sebagai laju pengembalian modal. Dalam hal ini laju pengembalian modal dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek Jika besarnya laju pengembalian modal ini melebihi nilai discount rate maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa proyek menguntungkan dan layak untuk dikerjakan, namun jika lebih kecil dari discount rate sekalipun nilai BCR-nya > 1, kelayakan proyek masih perlu ditinjau lagi karena secara finansial lebih baik mengendapkan modal di bank. Jadi kriteria untuk menetapkan kelayakan suatu proyek adalah bila IRRnya lebih besar dari discount rate (tingkat suku bunga).