25
BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DIBAWAH BATAS MINIMUM MELALUI JUAL BELI DI KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA
A. Deskripsi Kabupaten Padang Lawas Utara Kabupaten Padang Lawas Utara merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007. Dimana sebelumnya Kabupaten Padang Lawas Utara merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Secara geografis Kabupaten Padang Lawas Utara Berada pada posisi 1’13,5 – 2’2,32 Lintang Utara dan 99’20,44 – 100’19,1 Bujur Timur, dengan luas daerah 3.918,05 km2 dan ketinggian daerah 0 – 1915 meter diatas permukaan laut. Adapun batas-batas daerah ini adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau. 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Padang Lawas Utara Terdiri dari 9 Kecamatan dengan 388 Desa / Kelurahan. Kecamatan-kecamatan tersebut antara lain: 1. Kecamatan Batang Onang, terdiri dari 32 Desa / Kelurahan. 2. Kecamatan Dolok, terdiri dari 86 Desa / Kelurahan. 3. Kecamatan Dolok Sigompulon, terdiri dari 44 Desa / Kelurahan. 4. Kecamatan Halongonan, terdiri dari 44 Desa / Kelurahan. 5. Kecamatan Hulu Sihapas, terdiri dari 10 Desa / Kelurahan.
Universitas Sumatera Utara
26
6. Kecamatan Padang Bolak, terdiri dari 77 Desa / Kelurahan. 7. Kecamatan Padang Bolak Julu, terdiri dari 23 Desa / Kelurahan. 8. Kecamatan Portibi, terdiri dari 38 Desa / Kelurahan. 9. Kecamatan Simangambat, terdiri dari 34 Desa / Kelurahan.
Tabel 1 Jumlah Kecamatan dan Desa / Kelurahan di Kabupaten Padang Lawas Utara NO
KECAMATAN
JUMLAH DESA ( KELURAHAN)
1
Dolok Sigompulon
44
2
Dolok
86
3
Holongonan
44
4
Padang Bolak
77
5
Padang Bolak Julu
23
6
Portibi
38
7
Batang Onang
32
8
Simangambat
34
9
Hulu Sihapas
10
Jumlah
9
388
Sumber: BPS Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2011 Dilihat dari segi relief, Kabupaten Padang Lawas Utara dapat dikatakan banyak ragamnya, yaitu dataran rendah dan pegunungan, baik yang berbukit maupun yang curam, dapat dikalkulasikan sebagai berikut: 1. Datar
: 16,35%
2. Curam
: 44,50%
3. Bukit-bukit : 4,03%
Universitas Sumatera Utara
27
4. Bergunung : 45,12% Penduduk Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara setelah dilakukan Validasi oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat hingga Oktober 2011 adalah mencapai 279.414 jiwa. Dibandingkan dengan tahun 2007 yang berjumlah 201.327 jiwa telah mengalami peningkatan penduduk yang cukup pesat yaitu meningkat sebanyak 78.087 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut 142.225 jiwa laki-laki dan 137.189 jiwa perempuan, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 64.761 kepala keluarga. Penduduk yang paling banyak berada di Kecamatan Padang Bolak (75.818 jiwa), disusul Kecamatan Simangambat (60.883 jiwa), Kecamatan Halongonan (37.363 jiwa), Kecamatan Portibi (29.115 jiwa), Kecamatan Dolok (27.060 jiwa), Kecamatan Dolok Sigompulon (16.826 jiwa), Kecamatan Batang Onang (14.188 jiwa), Kecamatan Padang Bolak Julu (12.558 jiwa) dan Kecamatan Hulu Sihapas (5.603 jiwa).
Tabel 2 Jumlah Penduduk Kabupaten Padang Lawas Utara NO
KECAMATAN
JUMLAH (JIWA)
1
Dolok Sigompulon
16.826
2
Dolok
27.060
3
Holongonan
37.363
4
Padang Bolak
75.818
5
Padang Bolak Julu
12.558
6
Portibi
29.115
7
Batang Onang
14.188
8
Simangambat
60.883
Universitas Sumatera Utara
28
9
Hulu Sihapas
5.603
JUMLAH
279.414
Sumber: BPS Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2011 Oleh karena luas wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara adalah 3.918,05 km2 dengan jumlah penduduk 279.414 jiwa, maka kepadatan penduduk tiap kilometer persegi adalah 71 jiwa. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 1 ayat (1), maka Kabupaten Padang Lawas Utara dapat dikatakan sebagai daerah yang kurang padat penduduknya, sehingga luas maksimum pemilikan tanahnya adalah 20 hektar untuk tanah sawah dan 12 hektar untuk tanah kering.33 Penduduk asli Kabupaten Padang Lawas Utara adalah suku Batak Mandailing yang Mayoritas menganut agama Islam, sedangkan yang lainnya lagi menganut agama Kristen, Katholik, hindu dan Budha. Dimana Kabupaten Padang Lawas Utara juga masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka, terbukti dengan istilah dalihannatolu masih sangat kental pada lapisan masyarakatnya, selain itu juga budaya margondang atau yang lebih dikenal dengan sebutan tari tortor masih kerap kali dapat dilihat di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara. Jika dilihat dari segi sosial ekonomi, sebagian besar penduduk Kabupaten Padang Lawas Utara bermata pencaharian sebagai petani / pekebun, selainnya bermata pencaharian sebagai buruh, pegawai negeri sipil, pedagang dan lain
33
Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara, 2011.
Universitas Sumatera Utara
29
sebagainya. Konstribusinya terindikasi dengan melihat luasnya lahan pertanian dan perkebunan yang tersedia di wilayah ini. Tanaman Kelapa Sawit dan Karet merupakan pengahasilan andalan dari Kabupaten Padang Lawas Utara. Tanaman Kelapa Sawit dan Karet yang tersebar diseluruh kecamatan inilah yang memacu sektor perkebunan dan menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten Padang Lawas Utara. Hal ini terbukti dengan melihat “luas perkebunan kelapa sawit yang mencapai kira-kira 27.995,15 Ha, dan karet 41.717,89 Ha”34. “Sedangkan untuk segi pertanian dalam 5 tahun belakangan ini setiap tahun semakin menurun, dimana dapat kita lihat lahan persawahan yang dimiliki masyarakat telah banyak ditanami perkebunan kelepa sawit maupun karet, karena menurut pendapat masyarakat bahwa perkebunan kelapa sawit dan karet lebih menjanjikan hasilnya dibandingkan dengan persawahan”.35
B. Tinjauan Umum Tentang Tanah Pertanian 1. Pengertian Tanah Pertanian Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pasal 4 UndangUndang Pokok Agraria juga menyatakan bahwa: “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
34 35
Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara, 2011. Media cetak, Waspada, Kamis, tanggal 20 Oktober 2011, hal 5
Universitas Sumatera Utara
30
serta badan-badan hukum”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tanah dalam pasal diatas adalah permukaan bumi. Selanjutnya untuk tanah pertanian, dimana dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak diberikan penjelasan apakah yang dimaksud dengan tanah pertanian, sawah dan tanah kering, namun didalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari Tahun 1961 Nomor: Sekra 9/1/12 memberikan penjelasan sebagai berikut: “yang dimaksud dengan tanah pertanian adalah semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat pengembalaan ternak, tanah belukar bekas tanah negara dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak”. Pada umumnya tanah pertanian adalah “semua tanah yang menjadi hak orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa luas yang merupakan tanah pertanian”.36 2. Pengaturan Pembatasan Penguasaan Tanah Pertanian Ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tani yang jauh berbeda pendapatan antara tuan-tuan tanah dengan petani-petani kecil. Hal ini mengakibatkan para petani menuntut agar diadakan pemerataan pemilikan /penguasaan tanah pertanian. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka ditetapkanlah UndangUndang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian untuk
36
Boedi Harsono, Op Cit, hal 372.
Universitas Sumatera Utara
31
membatasi pemilikan / penguasaan tanah pertanian yang dapat dipunyai oleh seseorang
atau
sekeluarga.
Sebab
tanpa
adanya
dikhawatirkan ketimpangan-ketimpangan serta
pembatasan
tersebut
pemerasan-pemerasan yang
disebabkan oleh tanah terus berlangsung. Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3), maka perlu diadakan larangan yang membatasi pemilikan/penguasaan tanah yang melampaui batas. Atas dasar ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh 31egara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Undang-Undang Pokok Agraria didalam Pasal 7 menyebutkan “untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Pemilikan tanah yang melampaui batas jelas sangat merugikan kepentingan umum, sebab dengan bertumpuknya tanah berhektar-hektar pada seseorang berarti pemerataan dibidang pemilikan dan penguasaan tanah tidak ada. Dengan demikian berarti juga tidak ada pemerataan hasil dari tanah yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 1 ayat (1) menyebutkan: “Seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan satu keluarga bersama-sama kepunyaan orang lain, yang jumlahnya tidak melebihi batas maksimum sebagaimana ditetapkan dalam pasal ini ayat (2)”.
Universitas Sumatera Utara
32
Penetapan luas maksimum tiap-tiap daerah kabupaten berbeda-beda, yaitu dengan memperhatikan keadaan masing-masing dan faktor-faktor sebagai berikut: 1. Tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi. 2. Jenis-jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan tanah kering diperhatikan apakah ada perairan yang teratur atau tidak. 3. Besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan satu keluarga dengan mengerjakan beberapa buruh tani. 4. Tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini.37
Tabel 3 Batas Maksimum Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian Menurut Kepadatan Penduduk dan Jenis Tanah Pertanian Kepadatan
Kategori kepadatan
Penduduk/kmpersegi 0 s.d. 50
51 s.d. 250
Tidak padat Kurang padat Cukup padat Sangat padat
Luas Maksimum Tanah basah
Tanah kering
15 hektar 10 hektar 7,5 hektar 5 hektar
20 hektar 12 hektar 9 hektar 6 hektar
251 s.d. 400 400 keatas Penjelasan: Tabel ini didasarkan pada data tahun 1960 Untuk mempertinggi taraf hidup para petani kepada mereka perlu diberikan tanah garapan yang cukup luasnya. Oleh karena itu maka Pasal 17 Undang-Undang Pokok Agraria selain menetapkan luas maksimum, menghendaki juga luas minimumnya. Berhubungan dengan hal itu dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 56 Prp Tahun 1960 diperintahkan kepada pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekaluarga memiliki tanah
37
Boedi Harsono, Op Cit, hal.370.
Universitas Sumatera Utara
33
pertanian minimum 2 hektar. Menurut penjelasannya 2 hektar itu bisa berupa sawah, tanah kering atau sawah dan tanah kering.38 Ditetapkannya batas minimum tersebut tidak berarti bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari 2 hektar akan diwajibkan untuk melepaskan tanahnya, dua hektar itu merupakan tujuan yang harus diusahakan tercapainya secara berangsur-angsur (Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria.
C. Aspek Hukum Jual Beli Tanah Pertanian. 1. Pengertian Jual-Beli Tanah Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria. Ada dua pengertian jual beli tanah, yaitu: a. Menurut Hukum Adat. Jual beli tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum , yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selamalamanya pada waktu pembeli membayar harganya atau (walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada pambeli, dengan kata lain bahwa sejak saat itu pembeli telah mendapat hak milik atas tanah tersebut. Jadi jual beli menurut hukun adat tidak lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli, maka bisa dikatakan bahwa jual beli menurut Hukum Adat itu bersifat tunai dan nyata. Dalam hal jual beli yang pembayarannya belum lunas, sisa harganya itu merupakan utang piutang antara pihak pembeli dengan pihak penjual. Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya,
38
Boedi Harsono, Op Cit, hal.396.
Universitas Sumatera Utara
34
maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar utang piutang.39 b. Menurut Hukum Barat. Pengertian jual beli menurut Hukum Barat diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Pasal 1457, Pasal 1458 dan 1459. Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Jual beli itu telah dianggap terjadi antara kedua belah pihak , sekatika setelah orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum lunas”. Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama penyerahannya belum menurut Pasal 612, 613 dan 616 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Pada saat para pihak telah mencapai kata sepakat maka proses jual beli tanah sudah selesai akan tetapi hak atas tanah belumlah berpindah karena hak untuk tanah baru berpindah hak kepemilikannya kalau telah dilakukan suatu penyerahan secara hukum (juridische levering), yang harus dilakukan dengan
39
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1983. Hal. 211.
Universitas Sumatera Utara
35
pembuatan akta balik nama berdasarkan Ordonansi Balik Nama Stb Nomor 27 Tahun 1834. 2. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, dikehendaki adanya penghapusan dualisme dan mengadakan unifikasi dengan berdasarkan pada hukum adat. Keberadaan Hukum Adat didalam Hukum Tanah Nasional dapat kita lihat pada Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa: Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak betentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama. Dalam Penggunaannya sebagai pelengkap hukum tertulis, norma-norma Hukum Adat menurut Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria juga akan mengalami pemurnian atau saneering dari unsur-unsurnya yang tidak asli. Dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional yang digunakan sebagai bahan utama adalah konsepsi dan asas-asasnya.40 Berdasarkan uraian diatas, maka macam-macam pengertian jual beli yang dimaksud dalam hukum adat (jual lepas, jual gadai dan jual tahunan) tetap diakui. Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa: “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
40
A.P Parlindungan, Landreform di Indonesia Suatu Study Perbandingan, Bandung, Mandar Maju, 1991. Hal.180.
Universitas Sumatera Utara
36
Menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa: Jual beli adalah setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai suatu tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang diunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut pejabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.
3. Subjek dan Objek Jual Beli Tanah. a. Subjek Jual Beli Tanah. 1) Penjual. Dalam transaksi jual beli ada pihak-pihak yang menjadi penjual dan yang menjadi pembeli. Penjual adalah harus sebagai pemilik tanah baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Dalam hal pemilik tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual secara sendiri. Tapi bila pemilik tanah dua orang atau lebih, maka yang berhak menjual tanah tersebut adalah pemilik semua secara bersama-sama. Apabila salah satu ingin menjual baginya, maka ia harus meminta surat persetujuan dari pemilik yang lain sebagai pemilik bersama tersebut. Misalnya tanah gono gini (milik bersama suami istri), maka apabila suami atau isteri akan menjual tanah tersebut harus minta surat persetujuan dari suami atau isteri tersebut, bila datangnya secara sendiri-sendiri di hadapan PPAT tanpa ada surat persetujuan dari suami isteri, maka jual beli yang dilakukan tersebut akan menimbulkan sengketa dikemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
37
Dalam hal tanah milik anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa dan dalam sertifikat tercatat atas namanya sebagai pemegang hak, namun anak tersebut tidak berwenang melakukan jual beli walaupun ia berhak atas tanah tersebut, jual beli dapat dilaksanakan bila yang bertindak adalah ayah atau ibu si anak sebagai orang yang melakukan kekuasaan orang tua ataupun diwakili walinya.41 Seseorang berhak dan berwenang untuk menjual tanah tersebut namun ia belum atau tidak boleh menjual tanah tersebut, apabila tanah tersebut: a) Sedang dijadikan jaminan hutang. b) Sedang disita (tanah sitaan). c) Sedang dalam masalah atau perselisihan atau sengketa. d) Terkena rencana tata kota (advis planning) untuk dijadikan rumah sakit, kantor pemerintahan, dan sebagainya. 2) Pembeli. Pihak pembeli harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Kondisi apabila hal ini terjadi akan terkena sanksi yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria bahwa “setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termasuk dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan
41
Effendi Perangin, Praktek Jual Beli Tanah, Jakarta, CV Rajawali. 1987. Hal. 4
Universitas Sumatera Utara
38
tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.” Atas dasar ketentuan pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria tersebut maka orang asing , badan hukum, kewarganegaraan rangkap tidak boleh membeli tanah hak milik kepunyaan warga negara Indonesia dengan cara apapun dan alasan apapun. Jika dilanggar maka akibat hukumnya haknya hapus, tanah menjadi tanah negara dan pembayaran yang telah diberikan kepada pemilik tanah dapat diminta kembali. b) Objek Jual Beli Tanah. Objek jual beli tanah adalah hak atas tanah yang akan dijual, dalam praktek disebut jual beli tanah. Secara hukum yang benar adalah jual beli hak atas tanah, hak atas tanah yang dijual bukan tanahnya. Tujuan membeli hak atas tanah adalah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah. Tetapi yang dibeli atau dijual itu bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya. Informasi yang diperlukan untuk hak atas tanahnya adalah tentang letak, batasbatas, luas tanah, status tanah, alat bukti dan keadaan tanah yang bersangkutan. 1) Letaknya. Masalah letak hubungan ada hubungannya dengan aspek hukum adalah mempengaruhi dalam siapa saja yang berwenang membuat aktanya, artinya PPAT yang berwenang membuat aktanya adalah PPAT yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang dijual belikan tersebut. 2) Batas-batas dan luas tanah.
Universitas Sumatera Utara
39
Hal ini dapat diketahui apakah tanah tersebut sudah bersertifikat, untuk tanah yang sudah bersertifikat, informasi tentang batas-batas dan luasnya dapat diketahui secara pasti dalam surat ukurnya. Karena tanah yang telah bersertifikat dapat dijamin kepastian hukumnya, sedangkan dalam hal tanah yang belum bersertifikat maka petunjuk tersebut dapat diperoleh dari letter C, girik, atau petunjuk pajak. 3) Jenis Tanah. Dalam hal ini tanah yang akan dijual apakah tanah pertanian ataukah tanah perumahan atau bangunan. Untuk jual beli tanah dan bangunan maka harus diperjanjikan dan dinyatakan secara tegas bahwa yang akan dijual adalah tanah dan bangunan dituangkan dalam akta jual beli tanah, maka sebelum dibuat akta jual beli tanah harus jelas apakah bangunan diatas tanah tersebut turut dijual (dibeli) atau tidak. Hal itu nanti disebut secara tegas dalam akta jual beli, jika bangunan tidak disebut dalam akta jual beli, maka maka bangunan tersebut tidak ikut dijual, karena kini berlaku asas pemisahan horizontal. Sedangkan untuk tanah pertanian harus memperhatikan ketentuanketentuan yang diatur dalam landreform, yaitu antara lain tentang ketentuan batas maksimum, kepemilikan tanah secara absentee dan larangan fragmentasi tanah kurang dari 2 hektar, bila dilanggar akan menimbulkan kesulitan bagi pembeli, antara lain kesulitan dalam hal balik nama sertifikat, karena tidak diperolehnya izin jual beli atau haknya akan menjadi hapus.
Universitas Sumatera Utara
40
4. Prosedur Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria atau Hukum Tanah Nasional. Sejak berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, pada pasal 37 menyebutkan bahwa jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bertugas membuat aktanya. Dengan demikian dilakukan jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi), akta jual beli yang ditandatangani oleh para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa telah benar dilakukan pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya, karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang hak yang baru, akan tetapi hal itu baru diketahui oleh para pihak dan para ahli warisnya, karenannya juga baru mengikat para pihak dan para ahli warisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.”42
42
Boedi Harsono, Perkembangan Hukum Tanah Adat melalui Yurisprudensi, (ceramah disampaikan pada simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan kedudukan tanah-tanah adat dewasa ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977), hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
41
D. Pemecahan Tanah Pertanian Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Di Kabupaten Padang Lawas Utara Perkembangan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan teknologi akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan terhadap tanah, misalnya untuk pertanian, perumahan, peternakan, perkantoran, tempat-tempat hiburan, dan fasilitas lainnya. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap tanah sudah barang tentu makin banyak terjadi peralihan hak atas tanah, khususnya dalam hal ini adalah tanah pertanian. Peralihan hak atas tanah khususnya tanah pertanian banyak terjadi di Kabupaten Padang Lawas Utara, peralihan hak atas tanah pertanian tersebut dilakukan dengan cara sekaligus dan juga dilakukan dengan pemecahan. Pemecahan tanah pertanian tersebut dilakukan terhadap tanah yang belum bersertifikat dan juga tanah yang sudah bersertifikat. Untuk tanah yang belum bersertifikat biasanya peralihan haknya dilakukan secara dibawah tangan, sedangkan untuk tanah yang sudah bersertifikat dilakukan melalui izin pemindahan hak atas tanah pertanian yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Padang Lawas Utara. 1. Peralihan hak atas tanah pertanian sebagian yang dilakukan secara Ilegal / Dibawah tangan. Peralihan hak atas tanah pertanian sebagian yang terjadi di berbagai desa (16 desa) yang tersebar di wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara masih sulit dikendalikan oleh aparat desa. Peralihan hak yang dilakukan oleh masyarakat sebagian besar melakukannya cukup dengan alat bukti sebuah segel atau
Universitas Sumatera Utara
42
kwitansi, selanjutnya terus dicatatkan SPPT nya ke Kantor PBB. Terkadang masyarakat membiarkannya saja tidak melaporkan peralihan tersebut terhadap pihak desa, dan pada ahirnya pihak desa akan merasa kesulitan sendiri untuk menarik iuran pajak buminya, karena dari pemilik tanah semula tidak mau membayar pajaknya. Peralihan hak (jual beli) tanah pertanian yang dilakukan secara di bawah tangan ini sering menimbulkan konflik atau permasalahan di dalam masyarakat itu sendiri dikemuadian hari, karena jual beli tersebut banyak mengandung kelemahan terutama pada syarat-syarat formal hukumnya, antara lain: Terhadap penjual apakah sudah memenuhi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 9 ayat (1). Sedangkan pembeli juga harus memenuhi ketentuan batas maksimum pemilikan tanah (Pasal 1) dan ketentuan tanah
absentee PP 224 tahun 1961 pasal 3ayat (1) serta syarat-ayarat lainnya. Pada prakteknya syarat-syarat dalam peralihan hak (jual beli) terhadap tanah pertanian tersebut banyak yang tidak dipenuhi oleh penjual maupun pembeli. Hal ini akan menimbulkan banyak permasalahan setelah tanah yang menjadi objek jual beli tersebut akan didaftarkan untuk dimohonkan sertifikatnya. Jual beli tersebut berdasarkan hukum adat sudah dapat diterima karena sudah memenuhi syarat yang ditentukan yaitu bersifat kontan dan terang. Walaupun kedudukan Hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional
Universitas Sumatera Utara
43
namun dalam rangka pemindahan hak (balik nama) harus memenuhi hukum positif yang berlaku (hukum pertanahan). Terjadinya pemindahan hak karena jual beli yang tidak memenuhi syarat hukum agraria dan tidak ditindak lanjuti dengan pembuatan akta PPAT, dapat diketegorikan sebagai suatu pemindahan hak secara illegal / dibawah tangan, sehingga dengan sendirinya pemindahan hak tersebut tidak mendapat dan perlindungan hukum. Boedi Harsono menyebutkan “sebagai Okupasi Ilegal bila menguasai dan menggunakan tanah tanpa alas haknya baik tanah Negara maupun pihak lain”.43 Sedangkan Effendy Perangin menyebutkan bahwa “kalau orang-orang menguasai tanah tanpa hak (titel) disebut melakukan penguasaan secara liar, orang secara fisik menduduki tanah dengan tidak sah (illegal)”.44 Peralihan hak atas tanah yang berpotensi konflik adalah “semua jenis perjanjian peralihan hak atas tanah yang sejak semula memang sudah berpotensi konflik, dalam hal ini termasuk juga jual beli atas tanah yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960”.45 Peralihan hak atas tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) tersebut diatas yang terjadi di masyarakat kebanyakan untuk tanah yang masih belum bersertifikat. Untuk itu ‘jika membeli tanah yang belum bersertifikat,
43
Boedi Harsono,Beberapa Analisa Hukum Agraria,Bag 2, Jakarta, Essa Study Club, 1986, hal. 6. 44 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Praktisi Hukum, Jakarta, Rajawali, 1986, hal. 2007. 45 J. Kartini Soejendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang berfotensi Konflik, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hal. 26
Universitas Sumatera Utara
44
jangan dilakukan jual beli, tetapi dengan membuat janji akan jual beli / pengikatan jual beli, kemudian jual beli akan dilakukan pada saat sertifikat telah selesai dan janji akan jual beli dibuat dengan akta notaris”.46 Pemindahan hak (jual beli) atas tanah biasanya terjadi karena penjual membutuhkan
uang
untuk
keperluannya,
sedangkan
pembeli
ingin
mendapatkan tanah untuk keperluan hidupnya pula. Dalam hukum adat, pemindahan hak atas tanah harus bersifat kontan dan terang. “Kontan” (tanpa syarat) berarti penjual menyerahkan barang miliknya dan langsung menerima uang dengan jumlah yang disepakati (lunas), sedangkan pembeli langsung menerima barangnya (tanah). “Terang” berarti perpindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dan disaksikan oleh beberapa orang saksi. Jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata: “Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Selanjutnya dalam Pasal 1458 KUH Perdata: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Perikatan jual beli di bidang pertanahan dalam praktek sudah merupakan jual beli pula. Hal ini disebabkan bahwa secara materil harga tanahnya sudah dibayar dan tanahnyapun sudah diserahkan kepada pembeli. Namun dengan
46
Effendy Perangin, Mencegah Sengketa Tanah, Jakarta, Rajawali Press, 1986, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
45
dipergunakannya kata “perikatan” maka dapat diklasifikasikan ke dalam jenis perikatan / persetujuan. Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Pasal 19 yang mengatur mengenai peralihan hak atas tanah: “Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah itu, meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungannya, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam PP ini disebut pejabat). Ketentuan tersebut mengatakan bahwa hanya pejabatlah yang dapat membuat akta pemindahan hak atas tanah. Oleh karena itu, maka dalam Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ditentukan: “Kepala desa dilarang menguatkan perjanjian yang dimaksud dalam pasal 22 dan 25 yang dibuat tanpa akta oleh Pejabat (PPAT). Pelanggaran terhadap larangan tersebut dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan / atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-“. Sekalipun demikian, apabila PPAT meragukan wewenang seseorang untuk mengalihkan hak milik atas tanah, ia selalu dapat meminta kesaksian Kepala Desa atau seorang anggota pemerintah desa tempat di mana tanah terletak, sedangkan apabila tanah yang akan dialihkan itu belum dibukukan sehingga belum bersertifikat, maka kehadiran Kepala Desa atau seorang anggota pemerintah desa menjadi keharusan. “Keharusan Kepala Desa dan anggota pemerintah desa tersebut mempunyai maksud bahwa di samping sebagai saksi
Universitas Sumatera Utara
46
adanya peristiwa hukum pemindahan hak atas tanah, mereka menjamin bahwa tanah yang akan dialihkan benar-benar sebagai tanah kepunyaan penjual”.47 Dalam pemindahan hak (jual beli) atas tanah pertanian, terhadap pembeli telah dipersyaratkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 Pasal 3 ayat (1), Yaitu: “Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah”. Sedangkan terhadap penjual dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yaitu: “Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali karena pembagian warisan dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Larangan tersebut tidak berlaku kalau penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar dan tanahnya itu dijual sekaligus”. Penggunaan perikatan jual beli tanpa ditindak lanjuti dengan pembuatan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT pada hakekatnya merupakan suatu penyeludupan hukum, sebab perikatan jual beli tersebut digunakan sebagai dasar untuk memperoleh suatu hak atas tanah . Pembuatan surat jual beli tanah di bawah tangan tersebut isinya tetap sah, artinya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tersebut tetap diakui sah, yaitu dengan adanya (Kptsn MA 123 K/sip/1970, tanggal 14 september1970) akan tetapi surat jual beli ini tidak dapat dipakai untuk urusan balik nama pada Badan Pertanahan Nasional.48
47 48
J. Kartini Soejendro, Op Cit, hal.70. Analisa dan Evaluasi tentang masalah Calo dalam Jual Beli Tanah , BPHN, hal. 19
Universitas Sumatera Utara
47
Di Kabupaten Padang Lawas Utara peralihan hak atas tanah pertanian secara ilegal atau dibawah tangan banyak terjadi terhadap tanah pertanian yang belum bersertifikat. Padahal setiap peralihan hak atas tanah pertanian baik yang sudah maupun belum bersertifikat menurut Peraturan Menteri Negara Agraria / Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 89 harus mendapat izin peralihan hak dari Kantor Pertanahan setempat terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk: a. Mencegah terjadinya tanah absentee / guntai. b. Mencegah terjadinya fragmentasi pemilikan tanah pertanian yang mengakibatkan timbulnya tanah pertanian kurang dari 2 hektar. c. Mencegah terjadinya akumulasi pemilikan atau penguasaan tanah pada orang-orang tertentu. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Menteri Negara Agraria / Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 60 bahwa: “Peralihan hak atas tanah di bawah tangan atau ilegal yang menggunakan tanda bukti kwitansi, segel maupun bentuk peralihan hak lainnya dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat. Peralihan hak atas tanah pertanian seharusnya dilakukan dengan tetap memohon izin peralihan hak terlebih dahulu dari Kantor Pertanahan setempat. Namun kenyataannya oleh Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah mengatakan “peristiwa peralihan hak atas tanah tersebut masih sering kali diproses dan diterbitkan sertifikat tanahnya tanpa harus menggunakan izin peralihan hak terlebih dahulu. Menurut keterangan dari Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan mengatakan “bahwa hal tersebut terjadi adalah karena masih sangat sulit untuk mengendalikan hal tersebut dan bahkan masyarakat
juga
sangat
sulit
untuk
mendaftarkan
tanahnya
untuk
Universitas Sumatera Utara
48
disertifikatkan dan juga masyarakat lebih cendrung untuk melakukan yang ilegal, karena masyarakat beranggapan selain karena biayanya lebih murah juga urusannya lebih gampang”49. Hasil penelitian lapangan yang peneliti laksanakan, cukup banyak terdapat peralihan hak atas tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) khususnya terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat. Menurut keterangan PPAT di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara, peralihan hak atas tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) rasanya masih sangat sulit untuk dikendalikan, karena para pemilik tanah menganggap bahwa tanah miliknya itu benar untuk dijual belikan asalkan tidak merugikan orang lain. Terjadinya penjualan tanah pertanian sebagian yang terjadi dimasyarakat disebabkan
karena
kepentingan-kepentingan
yang
mendesak
untuk
kelangsungan hidup mereka sendiri dan sisanya masih tetap bisa diolah untuk anak cucunya kelak. Disemua desa yang diteliti (8 desa) yang tersebar di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara telah terjadi jual beli tanah pertanian sebagian yang memang sulit untuk dikendalikan oleh aparat desa. Bahkan banyak diantara mereka yang melakukan jual beli hanya cukup dengan alat bukti sebuah segel atau kwitansi, selanjutnya dilaporkan ke pihak desa, dengan demikian secara tidak langsung Kepala Desa telah ikut menyaksikan jual beli tersebut. Dari hasil wawancara dengan beberapa Kepala Desa di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara dikatakan bahwa jual beli tanah pertanian tersebut sudah 49
Wawancara dengan Bapak Aladin Harahap, (Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan), Tanggal 12 Desember 2011.
Universitas Sumatera Utara
49
dilakukan terlebih dahulu oleh para pihak, tatapi selang beberapa hari, bulan bahkan tahun baru dilaporkan pada pihak desa, sehingga pihak desa sering kali menemui permasalahan dalam penarikan PBB, karena subyek haknya masih atas nama penjual, sedangkan tanah / obyeknya sudah beralih ke pembeli. Dalam kondisi yang demikian Kepala Desa tidak bisa berbuat banyak, dan pada akhirnya agar masalah tersebut tidak menimbulkan masalah sosial (terutama kepada ahli waris penjual) dan masalah PBB, maka Kepala Desa terpaksa mencatat jual beli tersebut ke buku desa. Dengan semakin banyaknya permohonan sertifikat massal swadaya, maka tanah-tanah hasil jual beli tersebut diatas juga didaftarkan untuk memperoleh sertifikat-sertifikat hak atas tanahnya. Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24/97 jo Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor3/97 tentang Pendaftaran Tanah khususnya untuk pendaftaran tanah pertama kali, buktibukti yang diperluhkan adalah terdapat pada Pasal 24 ayat (1). Syaratsyaratnya antara lain: Pada angka ke-6: “Akta Pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan disertai kesaksian Kepala Adat / Kepala Desa / Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP ini (8 Juli 1997)”. 2. Peralihan hak atas tanah pertanian sebagian Secara Legal dengan menggunakan Izin Pemindahan Hak Atas Tanah Pertanian Oleh BPN Kabupaten Padang Lawas Utara. Banyaknya kasus peralihan hak atas tanah pertanian sebagian melalui jual beli di masyarakat Kabupaten Padang Lawas Utara mengakibatkan terjdinya
Universitas Sumatera Utara
50
pelanggaran Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Terjadinya pelanggaran tersebut karena ada beberapa alasan yang menurut pemilik (penjual) merupakan suatu keterpaksaan untuk melakukannya. Adapun alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut: a. Untuk biaya berobat. Kesehatan adalah segala-galanya, apapun akan dilakukan demi kesehatan termasuk menjual sebagian tanah yang dimiliki. Sering terjadi dimasyarakat ketika suatu keluarga dimana salah satu anggota dari keluarga mengalami musibah kecelakaan dan dirawat dirumah sakit. Mereka membutuhkan biaya atau uang tunai sedangkan mereka kebetulan hanya mempunyai sebidang tanah yang luasnya masih kurang dari 2 hektar, sehingga mereka terpaksa menjual tanah tersebut sebagian (sesuai dengan kebutuhan saja) demi kesembuhan penyakit anggota keluarga. b. Untuk membiayai pendidikan. Sudah sering kita jumpai di masyarakat bahwa didalam kehidupan modern seperti sekarang ini, banyak sekali orang tua berusaha semaksimal mungkin untuk menyekolahkan anak-anaknya, agar nantinya mendapatkan masa depan yang lebih baik. Orang tua rela untuk melakukan segala usaha (termasuk menjual tanah pertaniannya) demi pendidikan anak-anaknya. c. Untuk membayar hutang. Seseorang melakukan penjualan tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) tersebut kebanyakan karena kebutuhan yang mendesak termasuk juga untuk membayar hutang. Bahkan sering dapat dijumpai bahwa tanah
Universitas Sumatera Utara
51
tersebut sudah dikuasai terlebih dahulu oleh orang yang memberi hutang, sehingga sulit untuk menghindari penjualan tanahnya. d. Untuk Modal Usaha Tidak selamanya usaha dalam bidang pertanian selalu memperoleh keuntungan, ada kalanya para petani mengalami kerugian, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup perlu melakukan suatu usaha yang dapat memberikan hasil yang lebih baik dari pada bertani (seperti usaha dagang), akhirnya mereka menjual tanah pertanian sebagian untuk mendapatkan modal usaha tersebut, dan sisanya untuk diberikan kepada anak cucu mereka kelak. e. Untuk biaya naik haji. Bagi orang-orang yang fanatik, kebutuhan rohani adalah merupakan yang terpenting untuk dilaksanakan, walaupun naik haji adalah kewajiban bagi ummat islam yang mampu, demi kabutuhan batin mereka rela menjual tanahnya sebagian demi untuk mencukupi biayanya naik haji. f. Untuk dibelikan tanah kembali. Terkadang tanah pertanian yang mereka miliki kurang mencukupi kesuburannya, dimana mereka berkeinginan untuk mendapatkan tanah yang lebih baik untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Terkadang juga untuk mendapatkan tanah yang lebih dekat dari tempat dimana mereka tinggal. Keterangan diatas disusun berdasarkan hasil wawancara dengan para penjual
tanah
pertanian
sebagian.
Berdasarkan
alasan-alasan
yang
Universitas Sumatera Utara
52
dikemukakan
tersebutlah, serta beberapa pertimbangan kemanusiaan dan
pertimbangan sosial lainnya Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Padang Lawas Utara mengambil langkah-langkah kebijakan agar peralihan hak (jual beli) tanah pertanian tidak terjadi permasalahan di kemudian hari, yaitu dengan cara memberikan dispensasi (izin khusus) pada peralihan hak tersebut. Setelah mendapatkan dispensasi tersebut, mereka meneruskan peralihan hak (jual beli) tersebut ke PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk dibuatkan aktanya dan selanjutnya didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk dibuatkan sertifikat hak atas tanahnya. Izin pemindahan hak atas tanah pertanian tersebut dibuat berdasarkan Surat Pernyataan Diri dari penerima hak (pembeli) yang pada intinya yaitu dengan pemindahan hak tersebut, maka penerima hak (pembeli) tidak akan melanggar ketentuan batas luas maksimum dan tidak menjadikan pemilikan tanah absentee. Pernyataan tersebut sebenarnya sama sekali tidak mengontrol apakah pemindahan hak (jual beli) tersebut melanggar Pasal 9 ayat (1) atau tidak. Seharusnya pengendalian tersebut jangan hanya dipertimbangkan dari sisi pembelinya saja, namun juga dari sisi penjualnya, karena justru yang melakukan pelanggaran Pasal 9 ayat (1) adalah pihak penjual. Selain dari itu pengendalian terhadap pemindahan
hak atas tanah
pertanian (jual beli) yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) tersebut sampai sejauh ini belum juga terwujud. Karena lemahnya atau kurang efisiennya sistem pengendalian tersebut, maka pemindahan hak (jual beli) atas tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) pada akhirnya tidak terkendalikan
Universitas Sumatera Utara
53
oleh hukum, walaupun dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 39 telah dipersyaratkan kepada PPAT untuk menolak pemindahan hak tersebut apabila telah melanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang bersangkutan misalnya larangan pemecahan tanah pertanian yang dimaksudkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 56/Prp/1960.50 Pada dasarnya problema Pasal 9 ayat (1) bagi masyarakat dianggap tidak signifikan, kerena mereka dapat melakukan bentuk pemindahan hak (jual beli) tanah pertanian dengan mudah, yaitu dengan membuat pernyataan diri bahwa sudah tidak mempunyai lagi tanah pertanian selain tanah yang akan dijualnya itu. Dengan keadaan seperti itu Kantor Pertanahan tidak bisa berbuat apa-apa dan akan percaya akan hal itu, kecuali Kantor Pertanahan memiliki data mengenai pemilikan tanah masing-masing orang pada daerah tersebut sebagai cara untuk mengendalikan jual beli tersebut. Seseorang yag mempunyai tanah pertanian beberapa bidang terletak dibeberapa desa (tidak terkena ketentuan absentee), dimana mereka menjual sebagian tanahnya yang terletak di Desa A, Kantor Pertanahan tidak akan dapat melacak kepemilikan tanah lainnya, padahal menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) hal tersebut dilarang dan untuk memperoleh data tersebut sangat tergantung dari pemohon dengan kejujurannya. Menurut keterangan Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan bahwa peralihan hak atas tanah pertanian yang mengakibatkan timbulnya pemilikan tanah pertanian kurang dari 2 50 Boedi Harsono, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah: Isi dan Penjelasannya, disampaikan pada Seminar Nasional bekerja sama antara FH Universitas Trisakti dengan BPN, Jakarta, 1997.
Universitas Sumatera Utara
54
hektar yang terjadi pada masyarakat “masih sangat sulit untuk dikendalikan, hal ini disebakan karena masyarakat cenderung melakukan jual beli dibawah tangan dan itu tidak mungkin untuk dibatalkan, hal ini disebabkan uang yang diterima penjual sudah dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat mendesak”.51 Kebanyakan masyarakat melakukan jual beli tersebut karena ada keperluan yang mendesak (berobat, biaya sekolah dan lain-lain) dengan tanpa memperdulikan apakah jual beli tersebut dilarang atau tidak. Mereka beranggapan bahwa “tanah itu memang bener-benar tanah mereka sendiri, sehingga mereka bebas untuk melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah mereka tersebut, jika mereka terhimpit kebutuhan yang mendesak pemerintah tidak akan mungkin mencukupi kebutuhan mereka”.52 Menurut Kasi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan bahwa “pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum tersebut tidak perlu dikhawatirkan asal tidak menyebabkan perubahan penggunaan tanah, yang perlu dikhawatirkan justru jika pemecahan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan tanah pertanian (sawah) menjadi tanah non pertanian”.53 Kekhawatiran ini dapat dipahami karena hal tersebut akan menyebabkan luas tanah pertanian menjadi sempit sehingga tujuan landreform untuk memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna
51
Wawancara dengan Bapak Aladin Harahap, (Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan), Tanggal 12 Desember 2011. 52 Wawancara dengan beberapa warga masyarakat Kabupaten Padang Lawas Utara, Tanggal 23 Desember 2011. 53 Wawancara dengan Bapak Aladin Harahap, (Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan), Tanggal 12 Desember 2011.
Universitas Sumatera Utara
55
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat akan semakin jauh dari kenyataan. Camat Portibi Kabupaten Padang Lawas Utara juga mengatakan bahwa “jual beli tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) di Kecamatan Portibi banyak terjadi, yang biasanya dilakukan secara dibawah tangan dan bahkan tidak diketahui / dilaporkan pada Kepala Desa setempat”.54 Mereka tidak sadar bahwa jual beli tersebut akan mengandung masalah atau konflik di kemudian hari, dan mereka umumnya melakukan jual beli tanah pertanian tersebut untuk keperluan berobat, biaya sekolah, membayar hutang dan lain-lain. Demikian juga Camat Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara mengatakan bahwa “pelanggaran terhadap ketentuan tersebut sudah biasa terjadi, dimana sebagian masyarakat tidak mengetahui atas ketentuan Undang-undang tersebut dan bahkan masyarakat umumnya sudah tidak peduli lagi terhadap ketentuan tersebut”.55 Selanjutnya Notaris/ PPAT Kabupaten Padang Lawas Utara juga mengatakan bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1), “rasanya sangat sulit , terutama untuk daerah pedesaan, karena kebanyakan mereka belum mengerti terhadap ketentuan tersebut, walaupun mengerti jika mereka terdesak oleh kebutuhan ekonomi mereka tidak peduli dengan ketentuan tersebut”.56
54
Wawancara dengan Bapak Haholongan Siregar, (Camat Portibi Kabupaten Padang Lawas Utara), Tanggal 04 Januari 2012. 55 Wawancara dengan Bapak Tunggul.P, (Camat Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara), Tanggal 03 Januari 2012. 56 Wawancara dengan Notaris Fauziah Hamni, ( Notaris Padang Lawas Utara), Tanggal 08 Januari 2012.
Universitas Sumatera Utara
56
Untuk menegakkan ketentuan Pasal 9 ayat(1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 sangatlah sulit, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum mempunyai data kepemilikan tanah perorangan baik yang sudah bersertifikat maupun belum bersertifikat di masing-masing daerah, dan itu rasanya perlu waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar. Berikut ini adalah daftar nama-nama yang melakukan pemecahan tanah pertanian
dibawah batas minimum melalui jual beli diberbagai daerah di
Kabupaten Padang Lawas Utara:
Universitas Sumatera Utara
57
Universitas Sumatera Utara
58
Universitas Sumatera Utara
59
Universitas Sumatera Utara
60
Universitas Sumatera Utara
61
Universitas Sumatera Utara
62
Universitas Sumatera Utara
63
Universitas Sumatera Utara
64
Universitas Sumatera Utara