24
BAB II DASAR-DASAR PENGATURAN WARISAN ANTARA SEORANG MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM HUKUM ISLAM
A. Pembagian Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam Harta benda adalah segala sesuatu yang sangat disenangi setiap orang sehingga selalu diupayakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sesuatu itu bisa berbentuk barang-barang, uang dan sebagainya, yang menjadi kekayaan. 57 Harta adalah sesuatu yang disenangi naluri dan dapat disimpan untuk waktu yang diperlukan
serta
dapat
diserahkan
dan
dapat
dihalangi
seseorang
dalam
mempergunakan atau menikmatinya.58 Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu “warasa-yarisu” yang berarti berpindah harta seorang fulan kepada seseorang yang telah meninggal.59 Sedangkan Al-mirats menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syari’i.60 Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris. Ahli waris adalah orang yang pada saat seorang pewaris meninggal dunia, mempunyai 57
WJS. Poerdawinio, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1983, hal.
257 58
Salam Madkur, Al-Fiqh Al-Islami, Juz II, Mesir : Abdullah Wahbah, 1995, hal. 157 Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Luqah wa Al-A’lam, Beirut, Alkasulukiyah, 1986, hal. 895 60 M. Ali As-Sabuni, Pembagian Waris menurut Islam, Penerjemah A.M. Basamalah), Jakarta, Gema Insani Press, 1995, hal. 33. 59
24
Universitas Sumatera Utara
25
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.61 Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya yaitu: wajib, sunat, haram dan mubah. Di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti, sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti. Hal yang demikian itu tidak berarti Allah SWT dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sangat tinggi atau tepat dan merupakan rahmat bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetapkan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkembangan kemajuannya. 62 Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadapi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam AlQur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam61
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004, hal. 57 62 Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah Al-Arabiyah, 1960, hal. 211-212. Dan untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hal. 380-404
Universitas Sumatera Utara
26
macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagian masing-masing. Waris adalah harta peninggalan setelah hak-hak yang wajib 63 Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka. Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan. Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni : 1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan 2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda. Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum
63
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 1997, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, hal.55.
Universitas Sumatera Utara
27
Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far alMansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan AlQur’an, Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah AlMansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya. Salah satu aspek yang mendapat sorotan utama dalam Islam adalah masalah kewarisan (farâidh). Hukum kewarisan bersifat wajib bagi setiap muslim, sehingga tidak dapat diubah oleh siapa pun dan berlaku dengan sendirinya, tanpa ada usaha dari orang yang akan meninggal (pewaris) atau kehendak dari orang yang akan menerima (ahli waris) yang dikenal dengan asas ijbari.64 Pada dasarnya hukum waris Islam mengandung asas-asas sebagai berikut: 1. Asas Ijbari, ialah peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur keharusan dalam hukum kewarisan Islam terlihat dari segi bahwa ahli waris harus tidak boleh tidak menerima berpindahnya harta pewaris sesuai dengan jumlah yang 64
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Kencana, 2004, hal.. 17
Universitas Sumatera Utara
28
ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah la meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. Asas ijbari hukum kewarisan Islam ini dapat pula dilihat dari beberapa segi lain, yaitu: (a) dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. (b) dari jumlah harta yang sudah ditentukan oleh masing-masing ahli waris. (c) dan mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan itu yang sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris. 2. Asas Bilateral, berarti seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak kerabat dari keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dari Surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 16. Di dalam ayat 7 surat tersebut di tegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya, Demikian juga halnya dengan perempuan ia juga berhak mendapatkan warisan dalam kewarisan bilateral. Secara rinci asas ini juga disebutkan dalam ayat-ayat lain di atas. 3. Asas Individual. Asas ini menyatakan harta warisan dapat dibagi bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dikatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli warisnya menurut kadar bagian masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
29
4. Asas keadilan dan berimbang. Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh hak seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Lakilaki dan perempuan misalnya mendapat hak yang
sebanding dengan
kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Dalam Sistem kewarisan Islam harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakekatnya adalah kewajiban tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. 5. Asas yang menyatakan bahwa pewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa pewarisan semata-mata akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum kewarisan Islam peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan terjadi apabila setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Jika pewaris masih hidup tidak bisa dialihkan warisannya, bila terjadi demikian maka hal tersebut beralih namanya bukan lagi warisan akan tetapi sudah menjadi ketentuan lain yang bernama wasiat wajibah begitulah dalam tata cara pemberian wasiat didalam hukum Islam. Dalam sejarah kewarisan Islam ada 3 dasar untuk mewaris atas berbagai hubungan antara si pewaris dengan si ahli waris menurut perbedaan masa dan jalan pikiran serta tempat waris asal katanya miras65. Ada tiga macam penyebab yang berkaitan dengan hubungan waris saling 65
Dian Khairul Umam, 2000, Fiqh Mawaris, CV. Pustaka Setia, Bandung, hal.11.
Universitas Sumatera Utara
30
waris mewarisi di jazirah Arab sebelum datangnya Islam. 1. Di zaman Arab sebelum Islam Sebab-sebab mewaris pada saat itu disebabkan oleh: a. Hubungan darah. Mewaris berlaku hanya bagi laki-laki yang sang mengendarai kuda, memerangi musuh dan merebut rampasan perang dan musuh dan tidak berlaku bagi wanita, serta anak kecil sekalipun laki-laki karena mereka tidak sanggup berperang. b. Hubungan sebagai anak angkat Seorang anak orang lain yang diangkat seseorang menjadi anak angkat, mendapat hak sebagai anak dalam hal mewaris dan hal lainnya. c. Hubungan berdasarkan sumpah dan janji. Apabila dua orang bersumpah dan berjanji satu sama lain untuk mewaris. Jadilah mereka saling mewaris. Apabila diantara mereka meninggal dunia, maka yang tinggal hidup menjadi ahli waris atas peninggalan harta yang telah meninggal. 2.
Sesudah datang Islam Pada permulaan perkembangan Islam tetap berlaku ketentuan-ketentuan menurut hukum adat Arab yang telah berlaku sebelumnya. Kemudian sesudah hijrah ke Madinah berangsur-angsur ditetapkan ketentuan-ketentuan baru dan ditetapkan sebagai dasar hukum waris adalah sebagai berikut: a. Dalam hubungan darah ini tidak terbatas pada laki-laki yang sanggup
Universitas Sumatera Utara
31
berperang saja, tetapi berlaku pada semua yang mempunyai hubungan darah. Sebagaimana disebutkan pada Al-Quran yang mempunyai hubungan darah. Sebagaimana disebutkan pada Al-Qur’an surat An-Nisa (4) ayat 7, 11, 12, 33 dan 176. b. Tidak diberlakukannya lagi hubungan sebagai anak angkat untuk menjadi sebab mewaris. Hal menjadikan anak angkat kamu untuk itu ditegaskan dengan Qs. 33: 4 yang berbunyi “Tuhan tidak menjadikan anak angkat kamu untuk menjadi anak kamu.” Yang dimaksud disini adalah secara umum Allah memberikan pernyataan bahwa anak angkat oleh seseorang sebagai anak angkat menurut hukum arab yang berlaku ketika itu, tidak berlaku lagi. Pernyataan Allah tersebut dihubungkan dengan hukum kewarisan ialah suatu pernyataan bahwa kewarisan karena anak angkat tidak berlaku dalam Islam. Kalau dilihat dari segi hukum perkawinan Qs. 33 :4 itu diartikan, bahwa adanya hubungan anak angkat termaksud tidak menimbulkan mukhrim. Hubungan mukhrim hanya timbal terhadap anak kandung dan juga terhadap anak tiri dalam keadaan tertentu. c. Hubungan janji untuk mewaris. janji untuk mewaris tetap dipertahankan dalam permulaan Islam. hal ini didasarkan pada Qs.4:33 yang berbunyi: “...bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mewakili atas harta peninggalan orang yang mengadakan perjanjian kepada kamu, maka berikanlah warisannya itu kepada mereka.” Dari garis hukum ini ditarik ketentuan bahwa perjanjian menimbulkan hubungan saling mewaris. Kemudian mewaris berdasarkan atas
Universitas Sumatera Utara
32
perjanjian ini, sebagian sarjana Islam tidak diperlakukan lagi. Kata-kata “perjanjian” disini diartikan mereka sebagai hukum perkawinan. Hubungan berdasarkan janji ini diberi istilah oleh Hazairin dengan “perjanjian pertolongan”. Pembagian harta warisan yang berdasarkan janji diberi penyelesaian berdasar atas “wasiat”. Penyelesaian yang sedemikian itu dapat memberikan dasar hukumnya. dengan demikian yang sebenarnya teriadi bukanlah pembagian warisan atau harta peninggalan, tetapi pengeluaran wasiat sebelum dibagi berdasarkan hukum kewarisan. Cara penyelesaian ini dengan ketentuan yang terdapat pada Qs.4:11 dan hadist Rasul yang mengenai Saad Ibn Abi Waqos mengenai batas 1/3 untuk wasiat, serta hadist Rasul yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib mengenai mendahulukan pembayaran hutang dari pengeluaran untuk wasiat. d. Orang yang sesama hijrah dalam permulaan pengembangan Islam itu saling mewaris sekalipun tidak mempunyai hubungan darah. Sedangkan dengan kaum kerabatnya yang tidak sesama hijrah bersama dia tidak saling mewaris. Hubungan mewaris karena hijrah ini kemudian dihapus dengan Qs.33:6 dan Qs.8:75 yang berbunyi: “Orang yang sepertalian darah itu setengahnya lebih dekat kepada setengahnya.” e. Hubungan persaudaraan. Rasul mempersaudarakan orang-orang tertentu sesamanya karena keperluan yang ada pada suatu waktu. Dan tindakan Rasul itu, mulanya menjadi sebab mereka yang dipersaudarakan itu saling mewaris. Kedudukan mewaris karena dipersaudarakan Rasul itu
Universitas Sumatera Utara
33
juga kemudian dihapus dan digantikankan dengan Qs.33:6 dan Qs.8:75 dan sebagainya. 3.
Akhirnya sesudah lengkap turunnya ayat-ayat kewarisan serta petunjuk-petunjuk dari hadist Rasul yang berlaku menjadi penyebab kewarisan dalam Islam adalah dengan sebab-sebab: a. Hubungan darah b. Hubungan semenda atau pernikahan c. Hubungan memerdekakan budak d. Hubungan wasiat untuk tolak seperjanjian termasuk anak angkat.
4.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, sebagai hukum yang berlaku di Indonesia masalah kewarisan dalam buku dua mengenai hukum kewarisan dalam buku tersebut sebab-sebab pewarisan adalah : a. Hubungan darah b. Hubungan perkawinan c. Wasiat. Sebelum harta warisan itu dibagikan kepada ahli warisnya ada beberapa hal
yang harus diselesaikan berkenaan dengan pewaris, yakni meliputi : 1.
Biaya perawatan jenazah
2.
Hutang pewaris
3.
Wasiat pewaris
4.
Hibah pewaris Biaya perawatan jenazah, membayar hutang dan wasiat harus dipenuhi
Universitas Sumatera Utara
34
terlabih dahulu. Kemudian harta pusaka dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Ahli waris yang memungkinkan untuk mendapatkan harta pusaka ada 25 orang, lima belas orang dari pihak laki-laki dan sepuluh orang dari pihak perempuan. a.
Pihak laki-laki 1) Anak laki-laki 2) Cucu laki-laki pancar laki-laki 3) Ayah 4) Kakek 5) Saudara kandung 6) Saudara seayah 7) Saudara seibu 8) Anak laki-laki dari saudara kandung 9) Anak laki-laki dari saudara seayah 10) Saudara ayah (paman) kandung 11) Paman seayah 12) Anak laki-laki paman kandung 13) Anak laki-laki paman seayah 14) Suami 15) laki-laki yang memerdekakan mayat
b. Pihak perempuan 1) Anak perempuan
Universitas Sumatera Utara
35
2) Cucu perempuan pancar laki-laki 3) Ibu 4) Ibu dari Ibu 5) Ibu dari Ayah 6) Saudari sekandung 7) Saudari seayah 8) Saudari seibu 9) Isteri 10) Perempuan yang memerdekakan mayat 5.
Setiap ahli waris akan menerima bagian masing-masing sesuai dengan ketentuan. Beberapa ahli waris menerima bagian pokok, yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan (furudlul
muqaddarah) dan beberapa menerima sisa
pembagian setelah ahli waris yang menerima bagian
pokok memperoleh
bagiannya. Bagian bagian yang telah ditentukam tersebut adalah
2/ 1/ 3 , 3 , 1 /6,
1 /2 , 1 /4 ,dan 1/8. Pembagian harta pusaka untuk masing-masing ahli waris dan hijab serta mahjubnya adalah sebagai berikut : 1.
Suami a) Memperoleh ½ bagian dari tirkah, jika isteri tidak meninggalkan anak /cucu. b) Mendapat ¼ bagian dari tirkah, jika suami meninggalkan anak / cucu.
Universitas Sumatera Utara
36
c) Isteri tidak menghijab ataupun terhijab semua ahli waris. 2.
Isteri a) Mendapat ¼ bagian dari tirkah, jika suami tidak meninggalkan anak/cucu. b) Mendapat 1/8 bagian dari tirkah, jika suami meninggalkan anak / cucu. c) Isteri tidak menghijab atau terhijab ahli waris manapun
3.
Anak perempuan. a) Jika tidak ada anak laki-laki, b) mendapat ½ bagian dari tirkah, jika sendiri, 2 c) mendapat /3 bagian dari tirkah, jika lebih dari dua d) Jika ada anak laki-laki, maka seorang anak perempuan memperoleh setengah bagian dari bagian seorang anak laki-laki. e) Anak perempuan tidak terhijab oleh ahli waris manapun f) Anak perempuan menghijab nuqsan ibu, suami dan isteri dan menghijab hirman saudara dan saudari seibu dan cucu perempuan pancar laki-laki (kecuali jika ada mua’ashibnya (cucu laki-laki pancar laki-laki) sebagai ahli waris yang menjadikannya ashabah bil ghair)
4.
Anak laki-laki a) Jika sendiri dan tidak ada ahli waris lain maka mewarisi senua harta pusaka. b) Jika ada ahli waris lain, maka memperoleh sisa (menjadi ashabah).
Universitas Sumatera Utara
37
c) Jika ada perempuan dan ahli waris lain, maka anak laki-laki dan anak perempuan memperoleh sisa dengan ketentuan bagian seorang anak lakilaki dua kali bagian seorang anak perempuan. d) Anak laki-laki tidak terhijab oleh siapapun. e) Anak
laki-laki
menghijab
hirman
semua
ahli
waris
selain
anak
perempuan, ibu,ayah, suami dan isteri yang terhijab nuqsan 5.
Cucu perempuan pancar laki-laki a) Jika tidak ada cucu laki-laki, b) jika tidak ada anak perempuan, 1)
memperoleh ½ bagian dari tirkah, jika sendiri,
2)
memperoleh 2/3 bagian dari tirkah, jika lebih dari dua.
c) jika ada seorang anak perempuan, maka memperoleh 1/6 bagian dari tirkah. d) Jika bersama dengan cucu laki-laki, maka menjadi ashabah
dengan ketentuan bagian seorang cucu
perempuan setengah dari bagian seorang cucu laki-laki . Cucu perempuan terhijab oleh : 1. dua orang cucu perempuan selama tidak bersama mu’ashibnya, 2. dua orang cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya, 3. far’u waris laki-laki yang lebih tinggi derajatnya.
Universitas Sumatera Utara
38
Cucu perempuan dapat menghijab saudara dan saudari seibu si mati 6.
Cucu laki-laki pancar laki-laki a) Jika tidak ada anak dan ahli waris lain, maka mewarisi seluruh harta dan jika ada ashabul furudl, maka menerima sisa pembagian. b) Jika mewarisi bersama cucu perempuan, maka harta warisan ataupun sisa pembagian dibagi dengan cucu perempuan dengan ketentuan bagian seorang cucu laki-laki dua kali bagian seorang cucu perempuan c) Cucu laki-laki terhijab oleh setiap far’u waris laki-laki yang lebih tinggi derajatnya. d) Cucu laki-laki menghijab hirman semua ahli waris selain anak laki-laki dan anak perempuan serta ibu, ayah , suami yang terhijab nuqsan.
7. Ibu a) Memperoleh 1/6 bagian dari tirkah,jika ada far’u waris dan saudarasaudara b) Memperoleh 1/3 bagian dari tirkah, jika tidak ada far’u waris maupun saudara-saudara c) Memperoleh 1/3 dari sisa, jika ahli waris terdiri dari suami/isteri, ayah dan ibu d) Ibu tidak terhijab hirman, tetapi dapat terhijab nuqsan oleh far’u waris dan saudara-saudara. e) Ibu menghijab nenek. 8.
Nenek shahihah a) Memperoleh 1/6 bagian dari tirkah, jika tidak ada ibu.
Universitas Sumatera Utara
39
b) Nenek terhijab hirman oleh : 1) ibu, baik nenek dari jurusan ibu ataupun dari jurusan ayah 2)
ayah, menghijab hirman nenek dari jurusan ayah,
3)
kakek shahih yang lebih dekat dapat menghijab hirman nenek dari ayah,
4) nenek yang lebih dekat. c) Nenek tidak menghijab siapapun. 9.
Ayah a) Memperoleh 1/6 bagian dari tirkah, jika ada far’u waris laki-laki. b) Memperoleh 1/6
bagian dari tirkah dan sisa pembagian, jika ada far’u
waris perempuan c) menjadi ushubah, jika tidak ada far’u waris. d) ayah tidak terhijab oleh siapapun. e) ayah menghijab semua ahli waris kecuali anak, cucu, ibu, suami, isteri dan nenek dari jurusan ibu. 10. Kakek shahih a) Jika tidak ada ayah dan tidak ada saudara-saudara, maka menggantikan tempat ayah b) Jika ada saudara-saudara 1)
jika tidak ada dzawil furudl, maka kakek memilih diantara dua bagian yang lebih besar, yaitu muqassamah atau memperoleh sepertiga dari
Universitas Sumatera Utara
40
tirkah 2)
jika ada dzawil furudl, maka kakek memilih diantara tiga bagian, yaitu muqassamah, memperoleh 1/6 dari sisa pembagian atau memperoleh 1/ dari tirkah. 6
c) kakek terhijab oleh ayah dan kakek yang lebih dekat. d) Kakek menghijab saudara dan saudari seibu dan semua ashabah selain anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah dan saudara-saudara baik kandung maupun seayah. 11. Saudari sekandung a) Jika tidak ada saudara kandung b) Jika tidak ada anak perempuan atau cucu perempuan 1) memperoleh ½ bagian dari tirkah, jika tunggal, 2) memperoleh2/3 bagian, jika lebih dari dua, c) Jika ada anak perempuan atau cucu perempuan, maka menjadi ashabah ma’al ghair. d) Jika ada saudara kandung, maka menjadi ashabah bil ghair. e) Saudari perempuan terhijab oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dan ayah f) Saudari kandung dapat menghijab, 1) jika lebih dari dua dapat menghijab saudari seayah selama tidak ada saudara seayah yang menjadi mua’shibnya 2) anak laki-laki saudara kandung
Universitas Sumatera Utara
41
3) anak laki-laki saudara seayah 4) paman kandung 5) paman seayah 6) anak paman kandung 7) anak paman seayah 12. Saudari seayah a) jika tidak ada saudara seayah b) jika tidak ada saudari sekandung 1) memperoleh ½ dari bagian tirkah, jika sendiri 2) memperoleh 2/3 bagian dari tirkah, jika lebih dari dua c) jika ada seorang saudari kandung, maka memperoleh 1/6
bagian dari
tirkah d) jika ada anak perempuan atau cucu perempuan, maka menjadi ashabah ma’al ghair. e) Jika ada saudara seayah, maka bersama saudara seayah menjadi ashsbah. f) Saudari seayah terhijab oleh : 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki 3) ayah 4) saudara kandung 5) saudari kandung, yang menjadi ashabah ma’al ghair
Universitas Sumatera Utara
42
6) dua saudari kandung, selama tidak bersama saudari seayah yang menjadi mua’shibnya g) Saudari seayah dapat menghijab, 1) anak laki-laki saudara kandung 2) anak laki-laki saudara seayah 3) paman kandung 4) paman seayah 5) anak paman kandung 6) anak paman seayah 13. Saudara dan saudari seibu a) Memperoleh 1/6
bagian dari tirkah jika tunggal, baik laki-laki maupun
perempuan dan 1/3 jika lebih dari dua (jika tidak terkalalah / tidak ada anak maupun leluhur). b) Jika ada saudara kandung dan bagian telah habis, maka bagian saudara dan saudari seibu dibagi dengan saudara kandung. c) Saudara dan saudari seibu terhijab oleh anak, cucu, ayah dan kakek. d) Saudara dan saudari seibu tidak menghijab ahli waris manapun 14. Saudara kandung a) Jika ada kakek, maka bagian seperti yang ada pada bagian kakek b) jika tidak ada ahli waris lain, maka menjadi ashabah. c) jika ada saudari kandung, maka bersama saudari kandung
Universitas Sumatera Utara
43
menjadi ashabah, d) Jika ada saudara dan saudari seibu dan tidak ada sisa, maka menggabungkan
diri
dengan
saudara/saudari
seibu
untuk
memperoleh 1/3 bagian. e) Saudara kandung terhijab oleh, anak laki-laki, cucu laki-laki dan ayah. f) Saudara Kandung menghijab, 1) saudara dan saudari seayah 2) anak laki-laki saudara kandung 3) anak laki-laki saudara seayah 4) paman kandung 5) paman seayah 6) anak paman kandung 7) anak paman seayah 15. Saudara seayah a) Cara pusaka saudara seayah ialah dengan ushubah, sebagaimana cara pusaka saudara kandung. Tetapi jika tidak ada sisa pembagian harta pusaka, saudara seayah tidak dapat menggabungkan diri kepada saudara seibu dalam mendapatkan 1/3 bagian, karena tidak mempunyai garis yang sama dalam mempertemukan nashabnya kepada ibu. b) Saudara seayah terhijab oleh, anak laki-laki, cucu laki-laki dan ayah serta
Universitas Sumatera Utara
44
saudara kandung. c) Saudara seayah menghijab, 1) anak laki-laki saudara kandung 2) anak laki-laki saudara seayah 3) paman kandung 4) paman seayah 5) anak paman kandung 6) anak paman seayah 16. Anak laki-laki saudara kandung atau seayah, paman-paman dan anak-anak laki-laki paman. Mereka tergolong ahli waris ashabah yang utama setelah anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki betapa jauh menurunnya, ayah, kakek betapa tinggi mendakinya, saudara-saudara kandung maupun seayah. Bila mereka berkumpul dalam jihat yang sama, maka yang harus didahulukan ialah mereka yang hubungan kekerabatannya lebih dekat dengan simati. Bagian-bagian tersebut diatas merupakan ketentuan al-Quran, Hadits dan Qiyas serta Ij’ma. Terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara ulama, mengenai bagian-bagian beberapa ahli waris, diantaranya bagian ibu, kakek dan saudara-saudara. Tetapi pada bahasan ini hanya satu pendapat yang dipakai, misalnya pada perbedaan mengenai bagian ibu, jika ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan suami atau isteri, maka pendapat mengenai bagian ibu yang dipakai
Universitas Sumatera Utara
45
adalah ibu memperoleh 1/3 sisa pembagian. Warisan adalah sisa dari harta peninggan sesudah dikeluarkan; 1. hutang 2. wasiat (tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) harta 3. biaya pemakaman Jika jumlah pembagian tidak sama dengan satu, maka pembagian dilakukan sesuai dengan perbandingan hak, misalnya: 2 ahli waris masing-masing berhak 1/6 dan ½ (kurang dari satu) Maka: 1. Ahli waris 1 mendapat = 1/6 / (1/6+1/2) = ¼ bagian 2. Ahli waris 2 mendapat = 1/2 / (1/6+1/2) = ¾ bagian 3 ahli waris masing-masing berhak 1/2, 1/6 dan 2/3 (lebih dari satu) Maka: 1. Ahli waris 1 mendapat = ½ / (½ + 1/6 + 2/3) = 3/9 bagian 2. Ahli waris 2 mendapat = 1/6 / (½ + 1/6+2/3) = 2/9 bagian 3. Ahli waris 3 mendapat = 2/3 / (½ + 1/6 + 2/3) = 4/9 bagian Daftar Yang Berhak Mendapatkan Warisan: 1. Anak laki-laki – seorang atau lebih 2. Anak perempuan – seorang 3. Anak perempuan – 2 orang atau lebih 4. Cucu laki-laki (= anak dari anak laki-laki) – seorang atau lebih
Universitas Sumatera Utara
46
5. Cucu perempuan (= anak dari anak laki-laki) – seorang 6. Cucu perempuan (= anak dari anak laki-laki) – 2 orang atau lebih 7. Suami 8. Istri – seorang atau lebih 9. Kakek (= Ayah dari Ayah) 10. Ibu 11. Nenek (= ibu dari ibu) 12. Nenek (= ibu dari Ayah) 13. Saudara laki-laki kandung – seorang 14. Saudara laki-laki kandung – 2 orang atau lebih 15. Saudara perempuan kandung – seorang 16. Saudara perempuan kandung – 2 orang atau lebih 17. Saudara laki-laki se-ayah – seorang 18. Saudara laki-laki se-ayah – 2 orang atau lebih 19. Saudara perempuan se-ayah – seorang 20. Saudara perempuan se-ayah – 2 orang atau lebih 21. Saudara laki-laki atau perempuan se-ibu – seorang 22. Saudara laki-laki atau perempuan se-ibu – 2 orang atau lebih 23. Keponakan laki-laki kandung (= anak dari saudara laki-laki kandung) – seorang atau lebih 24. Keponakan se-ayah (= anak dari saudara laki-laki se-ayah) – seorang atau lebih
Universitas Sumatera Utara
47
25. Paman kandung (= saudara kandung dari ayah) – seorang atau lebih 26. Paman se-ayah (= saudara se-ayah dari ayah) – seorang atau lebih 27. Sepupu laki-laki (= anak paman kandung) – seorang atau lebih 28. Sepupu laki-laki (= anak dari paman se-ayah) – seorang atau lebih 29. Baitul-mal 30. Famili (= pertalian rahim)66 B. Kedudukan Ahli Waris Non Muslim Dalam Pandangan Hukum Islam Dalam ilmu waris, ada sebab-sebab yang menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta warisan. Diantara sebab-sebab tersebut adalah perbedaan atau berlainan agama. Maksudnya adalah berbedanya agama yang dianut antara pewaris dengan ahli waris. Seorang Muslim tidaklah mewarisi dari orang yang bukan Muslim (non-Muslim), begitu pula sebaliknya seorang yang bukan Muslim tidaklah mewarisi dari seorang Muslim. 67 Hal ini dikarenakan Allah telah memutuskan hubungan perwalian antara keduanya. Namun demikian, disebabkan hak kewarisan memiliki hubungan yang erat dengan permasalahan pernikahan, maka ulama tidak memiliki pendapat yang sama dalam menyikapi hadis di atas.Perbedaan pendapat diantara ulama tersebut muncul karena diantara mereka berbeda dalam memahami konteks ayat ke–5 dari surat AlMaidah. 66 Majmu’ah Imam Abdul Hamid bin Muhammad Ad-Damiri Al-Battawi, merujuk kepada AlQur’an, Surat An-Nisaa’ (4) 7-14, dikutip dan disalin ulang dari: Tafsir Al-Azhar Juz-4 (oleh Prof.Dr.HAMKA) 67 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), edisi ke-2, cet. Ke-1, hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
48
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang halalnya wanita dari kalangan Ahli Kitab yang menjaga kehormatannya. Yang dimaksud dengan perkawinan antar pemeluk agama adalah perkawinan antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama lain, mereka yang disebut dalam al-Qur'an mempunyai kitab suci dan Nabi Yahudi dan Nasrani, atau agama yang tidak ada ketegasannya dalam Qur'an namun dalam kenyataannya ada berkembang di dunia seperti misalnya Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan lain-lain. Jika diperhatikan, bentuk perkawinan antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama lain itu ada tiga, yakni (1) perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik, (2) perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki non mushm, dan (3) perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab. Mengenai larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik dengan jelas disebutkan dalam al-Qur'an yang berbunyi “Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyriklah sebelum mereka beriman................. (Al-Baqarah, ayat 221).
Universitas Sumatera Utara
49
Ayat ini diturunkan untuk mengharamkan adanya perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik. Dalam kitab Tafsir al-Manar disebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah peristiwa Murtsid bin Murtsid al-Ghanawi sewaktu akan menikahi wanita musyrik bernama 'Anaq. Sedangkan Murtsid adalah pemeluk agama Islam. Lalu Murtsid meminta izin kepada Rasulullah untuk menikahi “Anaq (Inaq), wanita itu diriwayatkan sangat cantik, tetapi musyrik. Kemudian turunlah ayat 221 surat Al-Baqarah ini. Namun menurut al-Suyuthi, peristiwa Murtsid tersebut bukanlah menjadi sebab turunnya ayat di atas, tetapi merupakan sebab turunnya ayat dalam surat An-Nur yang berbunyi “Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina atau perempuan musyrikah ... (an-Nur, ayat 3). Menurut riwayat Ibn'Abbas, sebab turunnya surat Al-Baqarah ayat 221 adalah peristiwa Abdullah bin Rawahah. Diriwayatkan dari Ibn'Abbas r.a. bahwa surat al-Baqarah, ayat 221 ini diturunkan berkenaan dengan apa yang dialami oleh Abdullah bin Rawahah, dimana ia pernah mempunyai hamba perempuan hitam, dan ketika ia marah kepadanya, maka hamba itu di tamparnya. Kemudian ia merasa tidak enak lalu datang kepada Rasulullah saw dan menyampaikan kepadanya apa yang ia alami dengan wanita tadi. Kemudian Nabi saw bertanya kepada Abdullah, ia menjawab : wanita itu berpuasa, shalat, memperbagus wudlunya dan ia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersabda : Hai Abdullah dia adalah hukum mukminah68. Oleh sebab itu tentang non-Muslim tidak akan dapat menjadi ahli waris dari seorang Muslim, para ulama sepakat bahwa hal itu dapat diterima dan sejalan dengan ketentuan QS. al-Maidah ayat 5 dan hadits Rasulullah di atas. Akan tetapi dalam permasalahan seorang Muslim yang menjadi ahli waris dari seorang non-Muslim, maka dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:
68
Ibid, hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
50
1. Seorang Muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi pewaris yang berstatus non-Muslim atau murtad, begitu pula sebaliknya. Ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama, diantaranya para shahabat Rasulullah saw., dari kalangan Khulafa’ al-Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, ‘Utsman bin alAffan, ‘Ali bin Abu Thalib, dan para shahabat yang lain. Adapun dari kalangan tabi’in diantaranya adalah ‘Amru bin ‘Utsman, ‘Urwah, al-Zuhri, ‘Atha’, Thaawus, al-Hasan, ‘Umar bin ‘Abdul al-‘Aziz. Begitu juga dengan al-Tsauri, Abu Hanifah dan para shahabatnya, Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, dan mayoritas para fuqaha’ yang lain.69 Landasan mereka adalah hadits Rasulullah saw., yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid ra, yang artinya :”Seorang Muslim tidak menerima warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima warisan dari orang Muslim.70” 2. Seorang Muslim bisa menjadi ahli waris bagi non-Muslim. Sebaliknya, seorang non-Muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi seorang Muslim. Ini merupakan pendapat sebagian ulama diantaranya Mu’awiyah, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda’, Sa’id bin Musayyib, ‘Ali bin Husein, Ibnu Hanifah (Muhammad bin al-Hanafiyah), Musruq, al-Nakha’i, al-Sya’bi, Yahya bin Ya’mar, dan Ishaq71. Akan tetapi pendapat ini tidak bisa disandarkan kepada mereka sepenuhnya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, bahwa Imam Ahmad mengatakan, “Tidak ada perbedaan (pendapat) diantara manusia (ulama) bahwa seorang Muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi orang kafir72. Adapun yang menjadi dalil mereka adalah: a.
Hadits Rasulullah SAW bersabda : “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya).73”
b.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu al-Aswad ad-Du’ali, beliau berkata, “Suatu ketika Mu’adz berada di Yaman, maka orang-orang mengadukan suatu perkara kepadanya tentang seorang Yahudi yang meninggal dunia dan meninggalkan (harta bendanya) untuk saudaranya yang Muslim,
69
Ibnu Qudamah al-Maqhni, (Kairo: Daar al-Hadits, 1425 H/2004 M), juz VIII, hal. 495. Ibnu Qudamah, loc cit 71 Al-Nawawi, al-Majmu’, juz XVII, hal. 190. Lihat pula Ibnu Qudamah, Loc cit; al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz XI, hal 53-54; Muhammmad’Abdurrahman bin ‘Abdurrahim, Tuhfatu alAhwadzii, juz V, hal. 617; dan al-“Adzim Abadii, “Aunu al- Ma’buud, juz V, hal.316. 72 Ibnu Qudamah, loc cit 73 HR. al-Daar Quthni, dalam kitab; Nikah, bab:Mahar, (hadits no. 3578). 70
Universitas Sumatera Utara
51
maka Mua’dz menjawab, ‘Sesungguhnya aku mendengar bahwa Rasulullah saw., pernah bersabda : ‘Islam bertambah dan tidak berkurang74.’ Sehingga pada akhirnya seorang Muslim tersebut mewarisi harta benda saudaranya yang beragama Yahudi75. 2. Diriwayatkan dari ‘Umar, Mu’adz dan Mu’awiyah ra., bahwasanya seorang Muslim dapat mewarisi (harta benda) orang kafir, akan tetapi orang kafir tidak dapat mewarisi seorang Muslim76. 3. Qiyas (analogi) mereka kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam QS. AlMaidah ayat ke-5, yaitu diperbolehkan bagi laki-laki Muslim mengawini wanita Ahli Kitab, akan tetapi tidak diperbolehkan bagi laki-laki dari kalangan Ahli Kitab menikahi Muslimah. Maka dengan dalil ayat ini, mereka berpendapat kalau seorang laki-laki Muslim diperbolehkan mengawini wanita Ahli Kitab, maka seorang Muslim juga dapat menjadi ahli waris dari seorang pewaris non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab77. Imam an-Nawawi ra., mengatakan bahwa pendapat yang rajih dari kedua pendapat di atas adalah pendapat jumhur ulama.78 Hal ini ada beberapa sebab, yaitu: 1. Dalil yang digunakan oleh kalangan yang mengatakan bahwa seorang Muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi Ahli Kitab adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim79. 2. Adapun hadits yang tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk memperbolehkan seorang Muslim menjadi ahli waris bagi Ahli Kitab karena maksud hadits ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi rt., adalah keutamaan Islam atas dien yang lain, dan hal ini tidak ada kaitannya dengan masalah warisan80. Sedangkan Imam Ibnu Qudamah ra., menjelaskan hadits tersebut maksudnya bahwa Islam ini akan bertambah dengan adanya 74
Hadis lengkapnya, diriwayatkan oleh Abu Daud HR. Al-Thabrani, dalam al-Mu’jam al-Kabiir, (20/1620, hadits no.338; Abu Dawud, dalam kitab: Luqathah (temuan), bab: Menyebut Muslim Bagi siapa saja yang Orang Tuanya Masuk Islam, (hadits no, 12153). Syaikh al-Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat: al- Albani, Silsilah al-Dha’iah, (Riyadh; Maktabah alMa’ari), juz III, hal,252,(hadits no.1123). 76 Ibnu qudamah, Loc cit 77 Ibid. Lihat pula; al-Nawawi, al-Majmu’,juz XVII, hal.190. 78 Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz XI, hal. 54, dan Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri, op.cit., juz V, hal. 617. 79 Ibid. 80 Ibnu qudamah, Loc cit 75
Universitas Sumatera Utara
52
orang yang masuk Islam dan dengan adanya perluasan wilayah. Dan Islam tidak akan berkurang karena orang yang murtad lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang masuk Islam81. 3. Kemungkinan hadits ini belum sampai kepada kalangan yang berpendapat bahwa seorang Muslim bisa menjadi ahli waris bagi Ahli Kitab. Demikian yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi ra82. C. Pendapat Para Ulama Islam Tentang Warisan Non Muslim Perlu diketahui bahwa mayoritas ulama tidak menggunakan penafsiran analogy/qiyas, sebab dalam hal waris mewarisi terdapat dalil dari sunnah yang kuat yang sama sekali bertentangan dengan dalil analogy/qiyas. Dan qiyas yang bertentangan dengan nash yang shahih, maka qiyas ini batil 83 . Disamping itu, pendapat yang kedua dianut oleh para khalifah semenjak Mu’awiyah ra., menjadi penguasa, dan berakhir sampai berkuasanya khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra., Maka mulai saat itu, beliau mengembalikan masalah tersebut dengan merujuk kepada ajaran sunnah yang pertama kali84. Imam Ibnu Qayyim telah menjelaskan panjang lebar tentang persoalan warisan orang muslim dari orang kafir dalam kitabnya “Ahkam Ahl Adz-Dzimmah”. Ia telah memberikan pendapat yang memuaskan didalam kitabnya. Pendapat tersebut telah dipilihnya sebagai pendapat yang paling kuat. Dari gurunya, Ibnu Taimiyah, ia telah berpendapat yang cukup menjadi solusi. Ia berkata: “Adapun persoalan warisan seorang muslim dari orang kafir, Para ulama salaf telah berbeda pendapat di dalamnya. Sebagian besar dari mereka berpendapat, bahwa orang muslim tidak memberikan hak warisan kepada orang kafir, sebagaimana seorang kafir tidak memberikan hak warisan kepada orang muslim. Inilah pendapat yang paling terkenal dikalangan tokoh keempat madzhab dan pengikut-pengikut mereka. Salah satu golongan dari mereka 81
Ibnu qudamah, Loc cit Al-Nawawi, Loc .cit. 83 Dr, Abdul Kaim Zaidan, op cit, juz. XI, hal.204 84 Al-Nawawi, al-Majmu’,juz XVII, hal.191. 82
Universitas Sumatera Utara
53
berkata; “Orang muslim dapat menerima hak warisan dari orang kafir, tanpa sebaliknya.” Ini pendapat Mu'adz bin Jabal, Mu'awiyah bin Abi Sofyan, Muhammad bin Hanafiyyah, Muhammad bin Ali bin Al-Husain (Abu Ja'far Al-Baqir), Said bin Musayyab, Masruq bin Al-Ajda', Abdullah bin Mughaffal, Yahya bin Ya'mar dan Ishaq bin R,hawaih. Pendapat inilah yang diambil oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah85.Mereka berkata: “Kita menerima warisan dari mereka sedangkan mereka tidak menerima warisan dari kita, sebagaimana kita menikahi perempuan-perempuan mereka dan mereka tidak menikahi perempuan-perempuan kita.86” Adapun mereka yang tidak memperbolehkan warisan adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaih): “Orang muslim tidak memberikan warisan kepada orang kafir kepada orang kafir, dan orang kafir tidak memberikan warisan kepada orang muslim...” Itulah dalil yang dijadikan sandaran oleh mereka yang melarang warisan orang munafik, zindik dan warisan orang murtad87. Kemudian ulama (Ibnu Taimiyah) berkata: “Dan telah ditetapkan dengan sunnah mutawatir, bahwa Rasulullah SAW menjalankan hak warisan orang-orang zindik dan munafik seperti biasanya sesuai dengan hukum-hukum yang tampak bagi kaum muslimin; mereka memberitakan dan menerima warisan. Abdullah bin Ubay dan lain-lainnya dimana kemunafikan mereka disebutkan dalam Al-Qur'an meninggal dunia, lalu Rasulullah SAW dilarang untuk menshalatkan dan memintakan ampunan untuknya. Sekalipun begitu, orang-orang mukmin diperbolehkan untuk menerima warisan dari mereka. Sebagaimana Abdullah bin Ubay telah memberikan warisan kepada anaknya, dan Rasulullah tidak mengambil sedikit pun dari warisan orang-orang munafik. Beliau tidak menjadikan sedikitpun dari harta warisan tersebut sebagai harta rampasan. Bahkan, Beliau memberikan harta tersebut kepada ahli waris mereka, karena yang demikian itu merupakan perkara yang diketahui dengan keyakinan.88”
85 http://www.jkmhal.com/Mentarjih Pendapat Syaikh Islam Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim. Tg 02/07/2012 17:44 86 Ibid 87 Ibid 88 Ibid
Universitas Sumatera Utara
54
Maka telah diketahui secara umum, bahwa unsur-unsur penyebab dalam mendapatkan warisan, terkait dengan hal-hal lahir dan tidak ada hubungannya dengan keimanan hati atau kecenderungan batin seseorang. Oleh karena itu, orang-orang munafik yang secara lahir terlihat membela orang-orang Islam dari serangan musuhmusuhnya akan mendapatkan dan menerima warisan. Sekalipun pada kenyataannya mereka memusuhi Islam.
Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat. 1.
Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada. Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan. Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits. 2. Menurut Ahlut-Tanzil
Universitas Sumatera Utara
55
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i. Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contohcontoh seperti berikut: Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya: Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya: Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6 Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris.
Universitas Sumatera Utara
56
Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu). Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka. Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris. 3. Menurut Ahlul Qarabah Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan. Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
Universitas Sumatera Utara
57
Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi. Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah: Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris. Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut: Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Yang dinisbati oleh pewaris: Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu). Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu. Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris: Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan. Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya. Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.
Universitas Sumatera Utara
58
Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu: Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu. Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan seterusnya. Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah). Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah. Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan seterusnya. Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris. Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah: Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.
Universitas Sumatera Utara
59
Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya. Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat. 1. Menurut Ahlur-Rahmi Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada. Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan. Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid yang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits. 2. Menurut Ahlut-Tanzil
Universitas Sumatera Utara
60
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i. Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contohcontoh seperti berikut: Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya: Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya: Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6 Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris.
Universitas Sumatera Utara
61
Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu). Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka. Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris. 3. Menurut Ahlul Qarabah Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan. Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
Universitas Sumatera Utara
62
Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi. Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah: Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris. Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut: Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Yang dinisbati oleh pewaris: Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu). Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu. Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris: Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan. Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya. Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.
Universitas Sumatera Utara
63
Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu: Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu. Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan seterusnya. Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah). Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah. Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan seterusnya. Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris. Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah: Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.
Universitas Sumatera Utara
64
Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.89
89
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang ISNET Homepage | MEDIA Homepage Program Kerja | Koleksi | Angg Pembagian Waris Menurut Islam oleh Muhammad Ali ashShabunipenerjemah A.M.BasamalahGema Insani Press, 1995Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740Tel.(021) 7984391-7984392-7988593Fax.(021) 7984388 ISBN 979-561-321-9.diunduh 11/07/2013.jam;1430wib 90 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Jakarta Bulan Bintang, 1979),hal. 63
Universitas Sumatera Utara