1
BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu sektor yang menyumbang devisa cukup banyak kepada sebuah Negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (diakses dari kbbi.web.id pada 14 Juli 2015), devisa adalah alat pembayaran luar negeri yang dapat ditukarkan dengan uang luar negeri. Sementara itu, salah satu kegunaan dari devisa adalah untuk membayar hutang negara. Dengan demikian, devisa dapat membantu suatu negara terhadap perkonomian nasional. Sebagai contoh, pada tahun 2009, Indonesia mendapatkan devisa dari wisatawan mancanegara sebesar 6,297.99 juta USD, pada tahun 2010 naik menjadi 7,603.45 juta USD, pada tahun 2011 naik menjadi 8,554.39 juta USD, pada tahun 2012 juga mengalami peningkatan menjadi 9,120.85 juta USD, dan pada
tahun
2013
menjadi
10,054.15
juta
USD
(diakses
dari
www.parekraf.go.id pada 14 Juli 2015). Bercermin pada data tersebut, maka pariwisata di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. Pariwisata Indonesia harus terus dikembangkan agar tidak kehilangan konsumen dari mancanegara (wisatawan mancanegara). Devisa yang didapat melalui sektor pariwisata tersebut berasal dari berbagai macam jenis wisata di Indonesia. Menurut Salma dan Susilowati (2004:155-156), mengutip dari Spillane, 1989 dan Badrudin, 2000, jenis-jenis wisata dibedakan atas:
1. Pariwisata untuk menikmati perjalanan (pleasure tourism), yakni pariwisata yang dilakukan dengan tujuan berlibur, refreshing, untuk mengendorkan ketegangan syaraf, untuk menikmati keindahan alam, untuk menikmati hikayat rakyat suatu daerah, dan sebagainya. 2. Pariwisata untuk rekreasi (recreation sites), yakni pariwisata yang dilakukan demi memanfaatkan hari libur untuk istirahat, untuk memulihkan kesegaran jasmani dan rohani, dan sebagainya. 3. Pariwisata untuk kebudayaan (cultural tourism), yakni pariwisata yang dilakukan dengan motivasi seperti keinginan untuk belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset, untuk mempelajari adat-istiadat dan cara hidup masyarakat negara lain, dan sebagainya. 4. Pariwisata untuk olahraga (sports tourism), yakni pariwisata yang dilakukan dengan tujuan untuk olahraga, baik hanya untuk menarik penonton olahraga dan olaharaganya sendiri serta ditujukan bagi mereka yang ingin mempraktikkannya sendiri. 5. Pariwisata untuk urusan dagang besar (business tourism), yakni pariwisata yang dilakukan karena ada kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan. 6. Pariwisata untuk konvensi (convention tourism), yakni pariwisata yang ditujukan untuk melakukan konvensi atau konferensi Selanjutnya, terdapat konsep wisata yang tergolong baru di Indonesia, yakni konsep wisata syariah yang merupakan gabungan dari wisata dan syariah. Syariah yang dimaksud disini adalah syariat Islam. Menurut Undangundang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan 2
(diakses dari www.parekraf.go.id pada 14 Juli 2015), “Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara”. Sementara itu, pengertian mengenai syariah terdapat dalam Tarikh Tasyri’ Al-Islami, Manna’ Qathan yang dikutip dari Sucipto & Andayani (2014:38), menyatakan bahwa “Syariah adalah semua aturan yang diturunkan Allah untuk para hamba-Nya, baik terkait masalah akidah, ibadah, muamalah, adab, maupun akhlak. Baik terkait makhluk dengan Allah, maupun hubungan antar sesama makhluk”. Jadi, wisata syariah adalah perjalanan dengan mengunjungi tempat teretentu dan tetap memperhatikan akidah, ibadah, muamalah, adab, maupun akhlak. Karena harus tetap memperhatikan akidah, ibadah, muamalalah, adab, dan juga akhlak, maka tentunya jenis wisata ini memberikan batasan-batasan kepada wisatawan syariah agar nyaman dalam bersyariah. Padahal, jika melirik pada pengertian dari wisata yang ditujukan untuk rekreasi yang identik dengan kegiatan untuk bersenang-senang, wisata syariah dapat saja dikatakan tidak relevan. Sebagai seorang wisatawan, tentunya mereka akan cenderung untuk melakukan perjalanan tanpa ada batasan-batasan yang mengikat pada dirinya. Namun, ternyata ada sekelompok orang yang selalu berusaha untuk memperhatikan syariat, termasuk dalam melakukan perjalanan. Oleh karena itu, wisata syariah dihadirkan untuk memfasilitasi mereka yang tetap ingin memperhatikan syariat dalam berwisata,
3
termasuk di dalamnya mengkonsumsi yang halal dan juga tetap tidak menyalahi syariat Islam, serta tidak meninggalkan ibadah ketika berwisata. Wisata halal ternyata sudah mulai diterapkan di Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, Korea, Jepang, Taiwan, China, dan Turki. Meskipun sebagian besar negara tersebut bukan mayoritas Muslim, namun mereka berinisiatif untuk memfasilitasi muslim yang ingin mengkonsumsi yang halal dalam berwisata. Pada situs kompasiana (diakses dari www.kompasiana.com pada 14 Juli 2015), Dirjen Pemasaran Parekraf menyebutkan bahwa sektor turis pariwisata syariah muslim global pada tahun 2012 mencapai 137 miliar USD dan pada 2018 diprediksi akan berkembang menjadi 181 miliar USD. Oleh karena itu, Indonesia diharapkan dapat merebut pasar-pasar pariwisata syariah tersebut. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, jadi dengan adanya wisata syariah juga dapat menjaga eksistensi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim. Dengan dilahirkannya ide wisata syariah, diharapkan Indonesia dapat memfasilitasi wisatawan dari dalam negeri dan juga mancanegara, khususnya Timur Tengah. Dari segi dalam negeri (Indonesia), adanya wisata syariah merupakan bentuk islamisasi publik, dimana wacana mengenai Islam dan syariah semakin lama semakin menjalar di Indonesia. Mulai dari perbankan syariah yang tidak mendapatkan resistensi dari masyarakat Indonesia hingga merebaknya wacana syariah di media massa. Sekarang ini banyak muslim di Indonesia yang mulai memperhatikan syariat Islam. Banyak muslim yang sudah mulai berkerudung, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, ide wisata 4
syariah diharapkan juga mendapat respon dari masyarakat Indonesia. Dari segi luar negeri (internasional), wisata syariah digunakan untuk memfasilitasi wisatawan, khususnya dari Timur Tengah yang menginginkan berwisata dengan halal dan aman. Wisatawan dari Timur Tengah adalah wisatawan yang memiliki karakteristik cukup royal, dimana lama ia tinggal ketika berwisata cukup lama sekitar 9 hari, pengeluaran untuk berbelanjanya juga tinggi, serta mereka cenderung mengajak anggota keluarganya dalam berwisata (tidak sendirian ketika berwisata). Inilah yang kemudian menjadi salah satu motivasi dikembangkannya wisata syariah di Indonesia. Salah satu upaya dalam mengembangkan wisata syariah di Indonesia dilakukan oleh pemerintah yakni dengan adanya buku berjudul Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya yang ditulis oleh Hery Sucipto dan Fitria Andayani. Hery Sucipto merupakan seorang pendiri dan pemilik Wisata Syariah Consulting Group dan koordinator dari Gerakan Indonesia Halal1, sedangkan Fitria Andayani merupakan seorang jurnalis. Dalam pendistribusiannya, buku Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya dapat dikatakan tidak masiv karena buku ini hanya tersedia di toko-toko buku tertentu, tidak disebarkan secara masiv di tempat umum, perpustakaan atau di tempat lain. Oleh karena itu, untuk mendapatkan buku ini juga diperlukan biaya. Dengan melihat pendistribusian buku seperti ini, maka
1
Gerakan Indonesia Halal merupakan gerakan sosial yang melibatkan berbagai kalangan lintas profesi dan agama untuk mempromosikan pemakaian produk halal dan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya produk yang sehat, baik, dan halalan toyyibaa.
5
bisa dilihat bahwa buku ini ditujukan kepada mereka, masyarakat Indonesia yang memiliki akses untuk mendapatkan buku ini. Buku Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya, diterbitkan oleh Grafindo Books Media. Grafindo Books Media merupakan anak perusahaan dari Grafindo Khazanah Ilmu yang resmi berdiri pada tahun 2004. Penerbit Grafindo bersifat independen dan tidak terikat maupun ada kaitan dengan salah satu golongan maupun kelompok masyarakat dan mencoba mencari terobosan-terobosan baru dalam kaitan peningkatan kesadaran budaya membaca. Produk-produk Grafindo pun terus diupayakan bersinergi dengan kebutuhan dalam masyarakat. Visi Grafindo adalah menjadikan penerbitan yang terpadu (integrate publishing house), dengan memberikan produk-produk unggulan dan mencerahkan. Menjadikan penerbitan berkelas di masa mendatang dengan inovasi-inovasi modern. Sementara itu, misi Grafindo adalah ikut andil mencerdaskan masyarakat dan membudayakan cinta buku dengan penyadaran secara kontinyu kepada publik akan pentiingnya peran buku bagi kemajuan dunia. Sejauh penelusuran peneliti, terdapat empat buku yang membahas tentang wisata syariah, yakni buku yang berjudul Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya; Prospek Bisnis Pariwisata Syariah; Panduan Praktis Wisata Syariah: Wisata Nyaman, Ibadah Lancar; serta Kriteria & Panduan Umum Pariwisata Syariah. Dari keempat buku tersebut, peneliti memilih buku yang berjudul Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya untuk diteliti karena buku ini merupakan buku pedoman wisata 6
syariah dengan cakupan bahasan yang begitu luas. Selain mengupas panduan umum wisata syariah, seperti perjalanan, akomodasi, fashion, spa, wisata medis, dan destinasi wisata syariah, buku ini juga membahas bagaimana strategi menjadi pelaku bisnis wisata syariah, serta berbagai pembahasan di sekitar keuangan syariah, seperti asuransi dan perbankan syariah yang menjadi salah satu komponen pendukung wisata syariah. Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa yang menggarap wisata syariah di Indonesia adalah Kemenparekraf dan MUI (Sucipto & Andayani, 2014:11). Berangkat dari pernyataan tersebut dan juga pernyataan dari situs Wonderful Indonesia2, maka menimbulkan asumsi bahwa Kemenparekraf menggandeng MUI dalam mengembangkan wisata syariah dipandang Cultual Studies (CS) sebagai arena kekuasaan yang dimanfaatkan oleh negara dalam upayanya melakukan perubahan3 (Bennett dalam Barker, 2011:8). Pada konteks ini MUI merupakan alat untuk mendapatkan legitimasi bagi negara karena organisasi Islam tersebut memiliki otoritas atas penetapan syariah di Indonesia dan juga dijadikan komoditas oleh negara untuk dijadikan sebagai Fatwa Halal yang akan dimanfaatkan untuk menjual wisata syariah. Hal ini kemudian berimplikasi pada peluang negara untuk mendapatkan legitimasi agama dalam upaya menjalankan misinya untuk mendapatkan devisa negara dengan cara 2
Dinyatakan bahwa wisata syariah di Indonesia diprakarsai oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dengan menggandeng Dewan Syariah Nasional (DSN), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU). 3 Bennett (1998 dalam Chris Barker) menyatakan bahwa bentuk-bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh Cultural Studies beragam, termasuk gender, ras, kelas, kolonialisme, dll. Cultural Studies berusaha mengeksplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan berusaha mengembangkan cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dimanfaatkan oleh sejumlah agen dalam upayanya melakukan perubahan.
7
mengembangkan wisata syariah. Dengan demikian, melihat keadaan ini, maka menimbulkan pertanyaan peneliti bahwa apakah MUI begitu saja mau digandeng Kemenparekraf dalam konstruksi wisata syariah tanpa memberikan umpan balik kepada Kemenparekraf dan sejauh mana MUI bernegosiasi atas itu.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti mengidentifikasi permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini, yakni: 1. Bagaimana bentuk-bentuk komodifikasi agama dalam konstruksi wisata syariah pada buku Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya? 2. Bagaimana peran otoritas MUI dan Kemenparekraf dalam konstruksi wisata syariah? 3. Siapa yang paling diuntungkan dalam praktik wisata syariah? Apakah agama, negara, para pelaku usaha, atau wisatawan?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk komodifikasi agama dalam konstruksi wisata syariah pada buku Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya.
8
2. Untuk
mengetahui
bagaimana
peran
otoritas
MUI
dan
Kemenparekraf dalam konstruksi wisata syariah. 3. Untuk mengetahui siapa yang paling diuntungkan dalam praktik wisata syariah. Apakah agama, negara, para pelaku usaha, atau wisatawan.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengeksplanasi bagaimana peran otoritas MUI (agama) dan Kemenparekraf (negara) dalam konstruksi wisata syariah. Tujuan agama adalah untuk memperluas pengembangan konsep syariah yang muncul sebagai implikasi dari konsep perbankan syariah. Di sisi lain, tujuan negara adalah untuk memperluas pengembangan di bidang pariwisata, dimana negara-negara tetangga (Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand) terlebih dahulu mengembangkan konsep pariwisata yang berbasis syariah. Dengan melihat fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia, maka pemerintah Indonesia merasa terdorong untuk menyaingi negara-negara tersebut. Oleh karena itu, devisa negara
dan
pasar
internasional
merupakan
tujuan
negara
dalam
mengembangkan pariwisata yang berbasis syariah. Dari kedua hal ini (agama dan negara), maka terjadilah titik pertemuan, dimana syariah merupakan acuan dalam tujuan kepentingan masing-masing. Di sisi lain, penggagas wisata syariah ini adalah negara (pemerintah Indonesia). Pada konteks ini, negara berusaha menggandeng organisasi Islam untuk melancarkan misinya 9
mendapatkan devisa. Maka, komodifikasi agama pun terjadi di ranah ini. Dengan demikian, secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan cara pandang baru terhadap praktik-praktik agama dan negara dalam konstruksi wisata syariah. Melalui penelitian ini, peneliti ingin memperlihatkan bagaimana kolaborasi (agama dan negara) dalam konstruksi wisata syariah. Sejauh mana agama memiliki otoritas atas terbentuknya konstruksi wisata syariah. Secara praktik, eksplanasi mengenai peran otoritas agama dan negara dalam konstruksi wisata syariah sebagai bahan pertimbangan bagi pemangku kepentingan maupun bagi stakeholder lainnya terkait dengan pemilihan langkah-langkah terbaik dalam pengembangan pariwisata Indonesia ke depan.
1.5 Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka yang peneliti gunakan, peneliti mengacu pada penelitian mengenai wisata syariah. Hal ini dikarenakan arah penelitian ini akan menuju pada ide besar wisata syariah. Sejauh penelusuran peneliti, setidaknya telah ada tiga kajian terkait dengan wisata syariah. Ketiga kajian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Mohamed dengan judul Promoting Islamic Tourism in Brunei: Through Customers Understanding Towards the Syariah Compliant Hotel Concepts; penelitian yang dilakukan oleh Ezzat, et.al dengan judul Sharia-Compliant Hotels in Egypt; dan penelitian yang dilakukan oleh Purtaheri et.al. dengan judul Impacts of Religious and Pilgrimage Tourism in Rural Areas: The Case of Iran. 10
Pertama, penelitian Mohamed (2013) yang berjudul Promoting Islamic Tourism in Brunei: Through Customers Understanding Towards the Syariah Compliant Hotel Concepts. Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang diperlukan setiap Negara muslim agar sukses di perhotelan yang sangat kompetitif. Dalam hal ini, Mohamed menguji kerangka kerja dengan pengunjung massa (domestik dan internasional) melalui pemahaman mereka tentang pentingnya menerapkan konsep Syariah Compliant Hotel (SCH). Sehingga memungkinkan Mohamed untuk menganalisis dan mengevaluasi kemungkinan membangun lokasi SCH di Brunei. Metode yang digunakan adalah kuantitaf dan kualitatif. Temuan dari penelitian tersebut adalah bahwa pemahaman pelanggan secara keseluruhan terhadap konsep SCH berada pada tingkat yang rendah. Selain itu, juga ditemukan bahwa di antara tiga variable independen (sikap, penerimaan, dan kepercayaan), faktor sikap memiliki beta tertinggi yang memberikan kontribusi signifikan menjadi faktor yang paling dominan dan berpengaruh dala mempengaruhi pemahaman konsumen terhadap konsep SCH. Kedua, penelitian Ezzat, et.al yang berjudul Sharia-Compliant Hotels in Egypt. Penelitian tersebut berusaha memberikan kejelasan tentang arti dari SCH dan membahas tentang tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan (SCH) di Mesir. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan Pendekatan Delphi. Temuan dari penelitian tersebut adalah (i) Pada kategori operasi, terdapat ciri-ciri yang penting, yakni: tidak melayani makanan yang mengandung babi dan minuman beralkohol, staf perempuan untuk tamu 11
perempuan dan juga sebaliknya, serta produk makanan harus halal; (ii) Pada kategori desain, terdapat ciri-ciri: fasilitas yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, terdapat penunjuk arah kiblat di setiap ruangan, dan hiburan yang sesuai (tidak ada klub malam); (iii) Pada kategori aspek keuangan, terdapat ciri-ciri: keuangan hotel melalui peraturan Islam dan hotel harus ikut serta pada prinsip zakat; (iv) Pada kategori tantangan yang berhubungan dengan perusahaan hotel adalah dikeluarkan dari klasifikasi hotel internasional maupun lokal; kompetisi dengan hotel non-Islam lainnya; kapasitas manajemen dituntut untuk memenuhi persyaratan pemisahan gender; tidak adanya pendapatan dari penjualan alkohol mempengaruhi keuntungan dari segi makanan dan minuman; dan adanya dewan pengawas syariah yang akrab dengan suasana dan lingkungan kerja hotel; (v) Pada kategori tantangan yang berhubungan dengan sumber daya manusia adalah persyaratan pendaftaran Sumber Daya Manusia untuk hotel Islam harus mencakup kemampuan bahasa, tingkat penguasaan terhadap spesialisasi kerja, dan mempertahankan nilainilai dan etika Islam; kesadaran, kompetensi, dan pengalaman karyawan hotel syariah tidak boleh lebih kalah dari hotel lainnya; kontrol Islam dalam kinerja tidak boleh merampas privasi tamu hotel; (vi) Pada kategori tantangan yang berhubungan dengan tamu adalah para tamu secara otomatis dan secara tidak sadar akan membandingkan citra hotel Islam dengan hotel non-Islam; menjadi hotel Islam bukan berarti harus lebih murah dibandingkan dengan hotel lainnya; dan para tamu harus menyadari bahwa hotel tidak hanya disediakan
12
untuk orang Muslim saja, namun juga tersedia bagi mereka yang menaati syarat dan ketentuan hotel. Ketiga, penelitian Purtaheri et.al. (2012) yang berjudul Impacts of Religious and Pilgrimage Tourism in Rural Areas: The Case of Iran. Penelitian yang dilakukan oleh Purtaheri et.al menyajikan analisis empiris wisata ziarah dan wisata religi, serta dampak dari jenis wisata tersebut di daerah pedesaan di Iran. Penelitian memberikan contoh dampak dan transformasi wisata ziarah dan wisata religi di tiga pusat desa sebagai Desa Model Wisata. Metode yang digunakan adalah kualitatif dan kuesioner survey. Temuan dari penelitian tersebut adalah bahwa para peziarah dan wisatawan religi sangat berpengaruh di area pedesaan, namun aspek sosial wisata ziarah dan wisata religi memiliki pengaruh besar pada rumah tangga pedesaan. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa desa-desa yang terkait dengan wisata religi telah mendaftarkan dampak yang cukup signifikan dari desa-desa tersebut yang terkait dengan pariwisata ziarah. Dari ketiga penelitian di atas, kajian mengenai wisata syariah masih terbatas dalam kajian mengenai hotel syariah serta wisata ziarah dan wisata religi. Sementara itu, penelitian yang akan diteliti oleh peneliti memfokuskan pada kajian wisata syariah yang lebih luas cakupannya, yaitu terdiri dari hotel syariah, fashion syariah, spa syariah, dan aspek lain yang mendukung wisata syariah. Kemudian, dari ketiga penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian pertama fokus pada faktor-faktor pengunjung muslim terhadap konsep syariah-compliant hotel, penelitian kedua fokus pada kejelasan 13
tentang arti dari SCH dan tentang tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan (SCH) di Mesir, dan penelitian ketiga fokus pada dampak dari wisata ziarah dan wisata religi. Tentunya, penelitian yang akan peneliti lakukan tidak membahas kaitan antara pengunjung Muslim terhadap wisata syariah, tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan wisata syariah, mapun dampak dari wisata ziarah dan religi, namun lebih pada pergulatan dalam wisata syariah itu sendiri. Pergulatan tersebut mengenai peran otoritas agama dan negara dalam konstruksi wisata syariah yang masing-masing memiliki bentuk legitimasi yang berbeda. Dengan demikian, penelitian ini menarik untuk dikaji untuk melihat bagaimana keduanya (agama dan negara) yang masing-masing memiliki otoritas dalam perannya masing-masing dalam mengkonstruksi apa yang disebut “Wisata Syariah” dan memberikan cara pandang baru terhadap konstruksi wisata syariah.
1.6 Kerangka Teori 1.6.1
Wisata Syariah Wisata syariah adalah perjalanan dengan tetap memperhatikan akhlak,
ibadah, dan aqidah agar medapatkan kebahagiaan di dunia dann akhirat. Pada wisata syariah ini, terdapat perbedaan antara wisata syariah dengan wisata konvensional dan wisata religi. Ngatawi Al zaztro (2012 dalam Sucipto & Andayani, 2014:44) mengklasifikasikan perbedaan ketiga wisata tersebut sebagai berikut:
14
Tabel 1.1: Perbandingan Wisata Syariah dengan Wisata Konvensional dan Wisata Religi No 1.
Item Perbandingan Objek
2.
Tujuan
Menghibur
3.
Target
4.
Guide
Menyentuh kepuasan dan kesenangan yang berdimensi nafsu, semata-mata hanya untuk hiburan Memahami dan menguasai informasi sehingga bisa menarik wisatawan teradap objek wisata
Aspek spiritual yang bisa menenangkan jiwa. Sematamata mencari ketentraman batin Menguasai sejarah tokoh dan lokasi yang menjadi objek wisata
5.
Fasilitas Ibadah
Sekadar pelengkap
Sekadar pelengkap
6.
Kuliner
Umum
Umum
7.
Relasi dengan Masyarakat di Lingkungan Objek Wisata Agenda Perjalanan
Komplementer dan semata-mata mengejar keuntungan Mengabaikan waktu
Komplementer, semata-mata mengejar keuntungan Peduli waktu perjalanan
8.
Konvensional
Religi
Syariah
Alam, budaya, heritage, kuliner
Tempat ibadah, peninggalan sejarah Meningkatkan spiritulitas
Semuanya
Meningkatkan spirit religiuitas dengan cara menghibur Memenuhi keinginan dan kesenangan serta menumbuhkan kesadaran beragama Membuat turis tertarik pada objek sekaligus membangkitkan spirit religiuitas wisatawan. Mampu menjelaskan fungsi dan peran syariah dalam membentuk kebahagiaan dan kepuasan batin dalam kehidupan manusia Menjadi bagian yang menyatu dengan objek pariwisata, ritual peribadatan menjadi bagian paket hiburan Spesifik yang halal Integrated, interaksi berdasar pada prinsipprinsip syariah Memperhatikan waktu
15
Dengan melihat tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wisata syariah
merupakan
wisata
yang
lengkap
karena
mencakup
wisata
konvensional dan religi di dalamnya. Tidak hanya itu, wisata syariah merupakan wisata yang lebih kompleks dibandingkan dengan kedua wisata (konvensional dan religi) karena wisata syariah menekankan pada produk halal dan sesuai dengan syariat Islam. Wisata syariah tidak melulu menekankan pada wisata dalam arti perjalanan saja, namun lebih dari itu. Disebutkan bahwa terdapat empat komponen utama dalam wisata syariah yang disepakati oleh Kemenparekraf dan MUI (dalam Sucipto dan Andayani, 2014:12) adalah kuliner, Muslim fashion, kosmetik-spa, dan perhotelan. Keempat komponen tersebut harus bersertifikasi halal dari LPPOM-MUI. Selain itu, terdapat komponen pendukung yang terdiri dari jasa keuangan syariah (perbankan, asuransi, pegadaian, leasing, dll), biro perjalanan syariah, dan penerbangan syariah Oleh karena itu, wisata syariah dapat dikatakan luas cakupannya 1.6.2
Ekonomi Politik Dilihat dari Kacamata Cultural Studies Sardar dan Van Loon (2002 dalam Babe, 2009: 64) berpendapat bahwa
salah satu karakteristik Cultural Studies adalah bertujuan mengkaji pokok persoalan dari sudut praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuan tetapnya adalah untuk mengungkapkan hubungan kekuasaan dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan (“Cultural Studies aims to examine its subject matter in 16
terms of cultural practices and their relation to power. Its constant goal is to expose power relationships influence and shape cultural practices”). Selanjutnya Barker berpendapat bahwa praktik-praktik kebudayaan kini telah dikomodifikasi oleh industri-industri korporat raksasa dan Cultural Studies ikut ambil andil dalam gerakan perubahan (Barker, 2011:15). Implikasinya, komodifikasi yang terjadi pada ranah sosial saat ini menjadi salah satu perhatian Cultural Studies. Cultural Studies melihat bahwa komodifikasi praktik-praktik
kultural
memiliki
motivasi
ekonomi
yang
dapat
mendatangkan keuntungan oleh sekelompok orang tertentu. Oleh karena itu, Cultural Studies berkehendak membongkar praktik-praktik di balik konstruksi makna atas dasar kepentingan sekelompok orang tertentu. Ekonomi Politik dipandang Cultural Studies sebagai upaya/cara mendominasi kelompok-kelompok sosial tertentu dengan tujuan/motif ekonomi. Sebagai contoh, wisata syariah yang digagas oleh Kementerian Pariwisata (negara) dipandang Cultural Studies sebagai upaya mendominasi umat Islam dengan “menjual” wisata yang dibungkus dengan syariat Islam. Wisata syariah seolah-olah sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh umat Islam ketika berwisata. Cultural Studies melihat apa yang ada di balik wisata syariah tersebut merupakan kepentingan dengan tujuan ekonomi yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu terhadap umat Islam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ekonomi Politik dilihat dari kacamata Cultural Studies, bermakna bahwa Ekonomi Politik dilihat dengan menggunakan perspektif kritis yang peka terhadap praktik dominasi, dimana 17
dalam tindakan ekonomi terdapat tujuan/ideologi tertentu. Disini, media memiliki peran sentral dalam praktik dominasi dalam masyarakat karena media merupakan alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sambil memarjinalkan kelompok yang tidak dominan (Sudibyo, 2000:117). 1.6.2.1 Kolaborasi Agama dan Negara dalam Konstruksi Wisata Syariah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kolaborasi adalah (perbuatan) kerja sama (dengan musuh dsb). Dalam situs Ensiklopedi Ekologi Indonesia (ecopedia.wordpress.com), disebutkan bahwa: Kolaborasi adalah bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik individu, lembaga, dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang, serta berbasis masyarakat
Dari kedua pengertian kolaborasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kolaborasi adalah bentuk kerja sama yang mendatangkan akibat dan atau manfaat. Dalam konstruksi wisata syariah, pihak yang terlibat adalah Kementerian Pariwisata (negara) dan MUI (agama). Wisata syariah dikonstruksi agar mendatangkan manfaat dan tercapainya tujuan dari masingmasing pihak. Menurut pandangan mengenai Negara Kesejahteraan (Welfare State=Social Service State) yang dikutip dari Ragawino (2007:7), tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Negara sebagai alat untuk mewujudkan tujuan bersama, yakni kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi seluruh rakyat. Tujuan Negara Republik Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban 18
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Sementara itu, tujuan agama Islam adalah mencapai kwalitas yang disebutkan dalam Al Quran dan Hadits. Dalam hal ini, manusia dituntut untuk melaksanakan syariat Islam yang terkandung dalam Al Quran dan Hadits. Dari kedua pihak (negara dan agama) maka adanya konstruksi wisata syariah merupakan “benang merah” untuk mencapai tujuan masing-masing. 1.6.3
Ekonomi Politik Wisata Syariah Konstruksi wisata syariah tentunya tidak terlepas dari faktor ekonomi
politik. Menurut Deliarnov (2006:16), ekonomi politik membahas tentang tindakan-tindakan ekonomi yang dilakukan oleh aktor-aktor tertentu pada saat melakukan aktivitas politik. Aktivitas politik yang dilakukannya tersebut mengandung unsur atau motivasi ekonomi di belakangnya. Sementara itu, Mosco (2009:2) melihat ekonomi politik sebagai sebuah pendekatan yang memusatkan kajiannya pada bagaimana hubungan dominasi dan penguasa ekonomi bisa mempengaruhi institusi lain, termasuk media massa. Sehingga, hubungan kekuasaan dapat mempengaruhi sistem produksi, distribusi, dan konsumsi. Lebih jauh lagi, Mosco (2009:3) mendefinisikan ekonomi politik sebagai berikut: The study of control and survival in social life. Control refers specifically to how a society organizes itself, manages its affairs and adapts, or fails to adapt, to the inevitable changes that all societies face. Survival means how people produce what they need to reproduce themselves and to keep their society going.
Mosco melihat bahwa control merupakan proses politik karena membentuk hubungan dalam sebuah komunitas, dan survival merupakan 19
masalah ekonomi karena melibatkan proses produksi dan reproduksi. Oleh karena itu, terbentuknya wisata syariah yang diprakarsai oleh negara (Kemenparekraf) merupakan upaya atas control dan survival itu sendiri, dimana negara mengatur dirinya untuk bersaing di dunia internasional dan sekaligus memproduksi apa yang dibutuhkannya demi menjaga kelangsungan hidupnya. Wisata syariah menjadi upaya pemerintah untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi, dengan mendapatkan devisa yang lebih banyak lagi dari sektor pariwisata. Selanjutnya, ekonomi politik sebagai sebuah pendekatan memiliki banyak sumbangsih dalam menganalisa kekuasaan yang berhubungan dengan produksi budaya. Ekonomi politik juga lebih menekankan pada pertanyaan etis dan normatif (Hemondhalgh, 2007:33). Dalam konteks ini, pendekatan ekonomi politik digunakan untuk menganalisa kekuasaan yang berhubungan dengan konstruksi wisata syariah sebagai produksi budaya. Golding dan Murdock (dalam Hemondhalgh, 2007:34) menyatakan bahwa pendekatan ekonomi politik melihat fakta bahwa budaya diproduksi dan dikonsumsi di bawah kapitalisme sebagai isu fundamental dalam menjelaskan
ketidaksetaraan
kekuasaan,
prestise,
dan
keuntungan.
Pendekatan ekonomi politik juga berkontribusi terhadap industri budaya yang meletakkan debat agenda intelektual mengenai sejauh mana industri budaya melayani kepentingan orang kaya dan orang yang berkuasa. Implikasinya, tema sentral pendekatan ekonomi politik adalah kepemilikan dan kontrol dari industri budaya. 20
Critical economy approaches see the fact that culture is produced and consumed under capitalism as a fundamental issue in explaining inequalities of power, prestige and profit. This emphasis in political economy work on capitalism and its negative effects should make it clear that, although you don’t have to be a Marxist to work here, it helps. A major area of contribution from political economy approaches to the study of cultural industries has been to put on to the intellectual agenda debates about the extent to which the cultural industries serve the interest of the wealthy and powerful. As a result, a central theme in political economy approaches has been the ownership and control of the cultural industries.
Pendekatan ekonomi politik melihat bahwa konstruksi wisata syariah diproduksi dan dikonsumsi di bawah kapitalisme, serta wisata syariah disini dikonstruksi untuk melayani kepentingan-kepentingan orang kaya dan yang berkuasa. Orang yang berkuasa pada konteks ini adalah Kementerian Pariwisata (negara). Bertolak dari pendekatan ekonomi politik Golding dan Murdock, pendekatan ekonomi politik Mosco memiliki konsep yang penting, yakni komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi adalah proses transformasi nilai guna ke dalam produk yang bisa dipasarkan yang nilainya dapat ditukarkan (commodification is the process of transforming things valued for their use into marketable products that are valued for what they can bring in exchange). Spasialisasi adalah proses dimana media massa dan teknologi
komunikasi
mengatasi
ketidakleluasaan
ruang
geografis
(spatialization is the process by which mass media and communication technology overcome the constraints of geographical space). Strukturasi adalah proses menciptakan
hubungan sosial, khususnya mengatur kelas
sosial, gender, dan ras (structuration is the process of creating social relations, mainly those organized around social class, gender, and race). 21
Komodifikasi akan menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. Menurut Mosco (2009:132-133), komodifikasi dan komoditas merupakan dua hal yang memiliki hubungan proses dan objek. Berbagai bentuk komodifikasi telah muncul dalam kehidupan sosial masyarakat, dimana masyarakat telah mengkomodifikasi aspek maupun unsur sehingga menjadi komoditas. Hal ini juga telah terjadi pada agama yang dikomodifikasi oleh negara untuk mendapatkan keuntungan finansial. Dengan menggandeng MUI untuk mendapatkan legitimasi, maka agama (Islam) menjadi komoditas bagi negara untuk mencapai akumulasi kapital. Dengan demikian, dalam konstruksi wisata syariah terdapat agama sebagai komoditas bagi negara. Pada konteks tersebut, agama (Islam) merupakan komoditas yang dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai ekonomi tersendiri. Ini artinya bahwa realitas yang muncul adalah realitas yang sudah tersusun secara matang-matang dengan segala aspek-aspek komunikasinya seperti komunikator, pesan, media, khalayak, efek, dan juga feedback yang dirancang dalam mengkonstruksi wisata syariah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Mosco bahwa komodifikasi dapat dilihat melalui tiga kategori, yakni komodifikasi isi media (content), komodifikasi khalayak (audiens), dan komodifikasi pekerja (labor) (Mosco, 2009:133-141). Komodifikasi isi media merupakan suatu proses mengubah pesan dari kumpulan data menjadi sistem makna yang dapat menghasilkan produk yang bisa dipasarkan (the process of commodification in communication involves transforming messages, ranging from bits of data to systems of meaningful 22
thought, into marketable products). Isi media dibuat sedemikian rupa sehingga publik menyukainya meskipun hal itu bukan kebutuhan mereka. Negara menciptakan realitas dengan menggunakan atribut syariah dan sekaligus menjadi isi yang mereka transformasikan melalui media massa. Komodifikasi khalayak merupakan proses mengelola persepsi serta opini khalayak (audiens) tentang konten atau isi media. Audiens dijadikan komoditas media untuk mendapatkan pemasukan. “According to Smythe (1977), the mass media are constituted out of a process which sees media companies producing audiences and delivering them to advertisers. Media programming is used to attract audiences; for Smythe, it was little more than the “free lunch” that bars once used to entice customers to drink. From this vantage point, audience labor or its labor power is the chief product of the mass media.” (Mosco, 2009:136-137)
Khalayak yang dimaksud disini adalah pembaca Buku Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya, khususnya pembaca Muslim. Mereka dijadikan komoditas untuk mengguide sponsor dari produk atau layanan yang telah bersertifikasi halal untuk menjadi sponsor buku. Dengan demikian, produk dan layanan yang bersertifikasi halal tersebut memiliki space yang cukup banyak dalam memperkenalkan produk dan layanannya tersebut kepada khalayak. Komodifikasi pekerja merupakan transformasi proses kerja, dimana pekerja dijadikan komoditas yang menjadikan penggerak kegiatan produksi dan distribusi. “According to Braverman (1974), labor is constituted out of the unity of conception, or the power to envision, imagine, and design work, and execution, or the power to carry it out. In the process of commodification, capital acts to separate conception from execution, skill from the raw ability to carry out a task. It also concentrates conceptual power in a managerial class that is either a part of capital or represents its interests. Finally, capital reconstitutes the labor process to correspond to this new distribution of skills and power at the point of production.” (Mosco, 2009:138-139)
23
Dalam hal ini, pekerja dimanfaatkan tenaga dan fikirannya tentang bagaimana menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media. Konstruksi wisata syariah dilakukan oleh negara untuk memperkenalkan diri, mensosialisasikan program, serta mempengaruhi persepsi dan opini publik. Oleh karena itu, pekerja yang bekerja di balik wisata syariah akan merasa telah melakukan hal yang terpuji karena berusaha mengaplikasikan syariat Islam. 1.6.3.1 Komodifikasi Agama Menurut Durkheim (1961, dalam Turner: 2003:22), agama adalah seperangkat keyakinan dan praktik-praktik yang berkaitan dengan hal yang sakral dan menciptakan ikatan sosial antar individu. Islam sebagai agama memiliki kitab suci (Al-Quran) dan hukum (syariat Islam) yang membentuk pusat ortodoksi praktik dan keyakinan (Turner, 2003:191). Agama dalam era postmodern telah mengalami komodifikasi. Berangkat dari pemikiran Turner (2008:33) bahwa posmodernisme merujuk pada meluasnya proses komodifikasi keseharian, maka agama pun juga demikian. Agama sebagai keyakinan yang kapanpun dan dimanapun seseorang berada, maka agama juga sudah melekat pada diri seseorang. Aktivitas apapun yang dilakukan seseorang hendaknya harus sesuai dengan ajaran agamanya sehingga tidak merugikan dirinya sendiri baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan bekal Al-Quran dan Al-Hadits (dalam Islam) maka umat Islam dianjurkan untuk berperilaku di dunia sesuai dengan Al Quran dan Al-Hadits tersebut. Oleh karenanya, seseorang tidak akan tersesat 24
hidup di dunia ini. Bertolak dari pemikiran ini, kini dalam kasus konstruksi wisata syariah tidaklah demikian. Umat Islam diberikan fasilitas untuk berwisata syariah oleh pemerintah Indonesia. Padahal tanpa diberikan fasilitas oleh pemerintah pun, umat Islam seharusnya tahu dan paham mengenai wisata itu sendiri dan kaidah-kaidah mengenai wisata. Namun, disini terjadi pergeseran dimana mestinya syariah itu sudah melekat pada kehidupan seharihari, malah kini syariah itu “dijual” oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia kini berupaya mempromosikan wisata syariah di Indonesia kepada umat Islam Indonesia itu sendiri dan juga umat Islam dari Timur Tengah (Internasional). Keadaan ini sebenarnya merupakan ancaman bagi Islam. Turner (2008:34) menyatakan bahwa: Ancaman utama bagi kepercayaan keagamaan sebenarnya adalah komodifikasi kehidupan keseharian. Orang-orang menerima atau menolak suatu sistem kepercayaan bukan karena alasan rasional bahwa sistem tersebut koheren atau tidak, melainkan lebih karena kepercayaan-kepercayaan tersebut relevan atau tidak bagi kebutuhan-kebutuhan dan urusan-urusan keseharian.
Dengan adanya konstruksi wisata syariah, maka umat Islam menganggap bahwa wisata syariah merupakan kebutuhannya. Wisata yang notabene cenderung dengan kesenangan duniawi saja, setelah dibungkus dengan “syariah kini menjadi lebih religius. Jadi, umat Islam akan merasa tidak hanya mengejar kesenangan duniawi saja dalam berwisata, namun juga tidak melupakan kehidupan di akhirat kelak. Fenomena ini membuat komitmen agama dalam masyarakat posmodern global menjadi hal yang problematis. Hal ini dikarenakan kehidupan keseharian kini menjadi bagian dari sistem pertukaran komoditas global (Turner, 2008:34). 25
Sementara itu, Fakhruroji (2012: 205) berpendapat bahwa dalam komodifikasi agama, agama direproduksi dalam konteks kebudayaan tertentu yang kemudian mempersyaratkan kerangka kultural untuk mempertegas signifikansi
simbolik
dan
sosio-ekonominya.
Komodifikasi
memang
diciptakan dan dihadirkan dalam ekonomi pasar dan ledakan agama postmodern. Komodifikasi disini, menempatkan agama sebagai barang, dimana masyarakat dapat mengkonsumsinya melalui fungsi spiritualitas agama.
Dengan
demikian,
komodifikasi
agama
merupakan
proses
transformasi nilai guna agama (sebagai pedoman hidup yang berlandaskan atas keyakinan kepada Tuhan) menjadi nilai yang dapat dipertukarkan dengan menggunakan fungsi-fungsi yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia atas agama. 1.6.4 Masyarakat Konsumsi Hadirnya wisata syariah di permukaan menimbulkan adanya konsumsi tanda. Dalam masyarakat modern, seseorang yang mengkonsumsi objek, otomatis ia juga mengkonsumsi tanda dan dalam proses tersebut, seseorang mendefinisikan dirinya sebagai apa (Ritzer, 2010:137). Baudrilliard, 1972/1981:38 (dalam Ritzer, 2010:137-138) mengatakan bahwa: “Melalui objek, setiap individu dan setiap kelompok menemukan tempat masing-masing pada sebuah tatanan, semuanya berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan garis pribadi. Melalui objek masyarakat terstratifikasi…agar setiap orang terus pada tempat tertentu.” Hal ini menunjukkan bahwa objek yang dikonsumsi menentukan klas seseorang. Objek tersebut berguna untuk membedakan diri dengan masyarakat yang lain. Dengan 26
demikian, mengkonsumsi objek secara tidak langsung menandakan bahwa kita sama dengan orang lain yang mengkonsumsi objek tersebut, dan berbeda dengan orang lain yang mengkonsumsi objek lain. Inilah yang disebut “kode” oleh Genosko (Ritzer, 2010:138).
Dalam wisata syariah, seseorang yang
mengkonsumsi jasa dan produk dari wisata syariah akan mendefinisikan dirinya pada kelas sosial tertentu. Tentunya, wisata syariah yang mereka konsumsi menandakan bahwa seseorang tersebut sama dengan orang lain yang mengkonsumsi wisata syariah, dan berbeda dengan orang lain yang tidak mengkonsumsi wisata syariah. “Kebutuhan” diciptakan untuk menghubungkan subjek dan objek palsu. Subjek membutuhkan objek dan objek adalah apa yang dibutuhkan subjek. Baudrilliard mendekonstruksi hubungan subjek dan objek palsu tersebut dan melihat bahwa seseorang tidak membeli apa yang dibutuhkannya, melainkan membeli apa yang disampaikan oleh kode tentang apa yang seharusnya dibeli. Dengan demikian, kebutuhan ditentukan oleh kode (Ritzer, 2010: 138-139). Kemudian, Baudrilliard mengatakan bahwa “yang ada hanya kebutuhan karena sistem memerlukannya” (Baudrilliard, 1972/1981: 82 dalam Ritzer, 2010:139). Wisata syariah dimaknai sebagai kebutuhan umat Muslim dalam berwisata. Kode menyampaikan kepada umat Muslim agar mengkonsumsi wisata syariah untuk membedakan diri dengan orang yang tidak mengkonsumsi wisata syariah, yang tidak memperhatikan aspek agama dalam berwisata. Objek adalah tanda dan bahasa digunakan untuk mengkonsumsi tandatanda objek. Kellner sebagaimana diungkapkan dalam Ritzer, 2010:139, 27
berpendapat bahwa “komoditas dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan, dan sebagainya”. Disini, kita tahu bahwa wisata syariah lebih baik daripada wisata konvensional (menurut pandangan Muslim) karena wisata syariah memiliki status religi yang lebih tinggi daripada wisata konvensional. Untuk menjadi “berbeda” merupakan salah satu ciri dari kapitalisme, dimana seseorang bukan membutuhkan objek, namun lebih pada persoalan bagaimana ia bisa berbeda dengan orang lain dalam kehidupan sosial. Perbedaan itu kemudian akan membawa dirinya kepada kelas sosial dan makna sosial. Dalam mengkonsumsi objek, yang ia cari bukanlah kenikmatan, namun lebih pada perbedaan. Hal ini berimplikasi pada kebutuhan yang tidak dapat dipuaskan. Seseorang tersebut akan terus-menerus membedakan diri dengan orang lain yang menempati posisi lain dalam masyarakat (Ritzer, 2010:140). Sementara itu, ketika seseorang mengkonsumsi sesuatu, maka ia mengkomunikasikan banyak hal kepada orang lain, termasuk ke dalam kelompok mana dan sekaligus berbeda dengan orang lain. Sama halnya dengan buruh yang dieksploitasi di tempat kerja, Baudrilliard memandang bahwa tindakan berkonsumsi juga sebagai “buruh sosial” yang juga dapat dieksploitasi. Dalam hal ini, masyarakat berpartisipasi dalam kapitalisme, sehingga menciptakan konsumsi massa (Ritzer, 2010:141). Disini, umat Muslim berpartisipasi dalam wisata syariah dan menjadi “buruh sosial” yang dapat dieksploitasi karena mengkonsumsi wisata syariah.
28
1.7 Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Paradigma Kritis menaruh perhatian terhadap pembongkaran aspek-aspek yang tersembunyi di balik kenyataan yang tampak (virtual reality) untuk melakukan kritik dan perubahan (critique and transformation) terhadap struktur sosial (Hidayat, et.al., 1994:105-116; Hamad, 2004:42). Pada penelitian ini berhubungan dengan apa yang telah dilakukan oleh agama dan negara dalam mengkonstruksikan wisata syariah. Penelitian ini juga menggabungkan pendekatan ekonomi politik kritis yang menganggap bahwa ruang sosial bukanlah sesuatu yang terberi begitu saja, melainkan sebuah realitas yang diisi dan dikonstruksi oleh benturan kepentingan pelbagai pihak. Itu pula yang terjadi pada state (yang dimaknai sebagai ruang perbenturan antara kepentingan kelompok dominan dan kelompok subordinan) (Budyatna, 2005:23). 2. Metode Penelitian Untuk memperoleh hasil penelitian yang valid dan terarah, diperlukan metode penelitian yang sesuai dengan masalah penelitian yang hendak dipecahkan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana data yang dianalisis merupakan data yang tidak berbentuk angka. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stokes (2003:15), yakni “penelitian kualitatif didasarkan pada penafsiran terhadap dunia berdasar pada konsep-konsep yang umumnya 29
tidak memberikan angka-angka numerik, seperti etnometodologi atau jenisjenis wawancara tertentu. 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu: a.
Analisis Dokumen. Analisis dokumen digunakan untuk menelaah data yang diperoleh dari Buku Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya.
b.
Wawancara Mendalam Wawancara mendalam dilakukan dengan key person yang dijadikan narasumber yang relevan dengan permasalahan penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pawito (2007:133) bahwa wawancara mendalam dimaksudkan untuk memfokuskan pada persoalan yang menjadi pokok dari minat penelitian. Selanjutnya, Pawito juga menyebutkan bahwa wawancara sering digunakan untuk melacak penilaian atau pandangan dari orang-orang yang terlibat (para aktor) mengenai perilaku mereka sendiri. Hal ini berarti peneliti ingin mengetahui justifikasi dari para aktor tentang perilaku mereka sendiri (Pawito, 2007:136). Wawancara dilakukan dengan beberapa orang informan yang ditentukan secara purposif dengan mempertimbangkan kompetensi mereka dalam kaitannya dengan pengumpulan data. Informan-informan tersebut terdiri dari empat informan kunci, yakni Taufiq (Kasubdit Korporasi Direktorat MICE dan Minat Khusus Kementerian Pariwisata RI), Ahmad Muhsin (Sekretaris Umum MUI 30
Yogyakarta), Septi (staf salon-spa syariah Rumah Cantik Sehat Muslimah), dan Fanidia (konsumen salon-spa syariah Rumah Cantik dan Sehat Muslimah Yogyakarta). c.
Observasi Observasi yang akan dilakukan oleh peneliti yakni mengamati kinerja dari praktik usaha yang bergerak dalam salah satu bidang wisata syariah, dalam hal ini adalah spa syariah. Observasi dilakukan dengan cara surfing dari internet maupun dari sumber-sumber lain, seperti dari buku ataupun terjun langsung ke tempat usaha wisata syariah.
4. Teknik Analisis Data Data yang didapat dari Buku Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya dan hasil wawancara dianalisis dengan perspektif ekonomi politik kritis. Perspektik ekonomi politik kritis dicirikan oleh tiga karakteristik sentral, yakni holistik, historis, dan praksis (Budyatna, 2005:23). Holistik berarti interelasi dinamika sosial, politik, dan budaya dalam masyarakat diteliti secara menyeluruh serta menghindari pengabstraksian realitas-realitas sosial dalam teori ekonomi dan politik. Historis berarti menjelaskan tentang bagaimana perubahan dan dialektika yang terjadi berkaitan dengan posisi dan peranan media komunikasi dalam sistem kapitalisme global. Praksis berarti menitikberatkan pada segi aktivitas manusia yang bersifat bebas dan kreatif untuk mengubah keadaan, terutama di tengah arus kapitalisme (Sudibyo, 2004:7; Budyatna, 2005:24). Selain itu, terdapat dua karakter tambahan lainnya sebagimana dikutip dari Budyatna 31
(2005:24) yakni “orientasi terhadap filosofi moral dan menaruh perhatian pada dampak kapitalisme serta sejauh mana dampak ekonomi pasar terhadap pola distribusi produk budaya dan keberagaman bentuk serta struktur pemaknaan sosial”.
1.8 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari:
Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Syariah dan Wisata Syariah di Indonesia, berisi tentang syariah sebagai wacana publik, wisata syariah di Indonesia, profil Buku Wisata Syariah:
Karakter,
Potensi,
Prospek,
dan
tantangannya,
profil
Kementerian Pariwisata, profuil MUI, dan komponen wisata syariah.
Bab III Mengembangkan Wisata Syariah, berisi tentang konteks terbitnya Buku Wisata Syariah: Karakter, Potensi, Prospek, dan tantangannya, konstruksi pada buku tersebut, yang kemudian dikaitkan dengan teori komodifikasi untuk menjawab rumusan masalah nomor 1.
Bab IV Wisata Syariah: Konsep dan Praktik, berisi tentang peran otoritas agama (MUI) dan negara (Kemenparekraf) dalam konstruksi wisata syariah. Kemudian, dalam praktiknya, peneliti akan melihat praktik usaha wisata syariah di lapangan dan menganalisis bagaimana konsumen memaknai wisata syariah, serta sekaligus menganalisis siapa yang paling 32
diuntungkan dalam praktik wisata syariah (negara, agama, pelaku usaha, atau wisatawan) untuk menjawab rumusan masalah nomor 2 dan 3.
Bab V Penutup, berisi tentang jawaban dari penelitian.
33