BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam termasuk hutan yang memiliki keanekaragaman hayati tidak terlepas dari konflik. Menurut Widiyanto (2013), konflik kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia bahkan melampaui konflik pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan kebun1. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wulan et all (2004) bahwa konflik kehutanan tersebut terjadi karena adanya pertentangan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam suatu kawasan hutan termasuk di kawasan konservasi sehingga kepentingan masyarakat dalam pengelolaan hutan tidak terakomodir. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan penguasaan lahan dan pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses pada sumberdaya alam yang bergerak dalam bidang konservasi (Rachman, 2013) yang mengakibatkan merosotnya legitimasi masyarakat terhadap pemerintah. Pada akhirnya, masyarakat berupaya merevitalisasi dan mereposisi perannya dalam interaksi dengan kawasan hutan meskipun tidak memiliki legalitas secara hukum dan tidak mengikuti kaedah pelestarian yang ditandai dengan maraknya aktivitas perambahan. Salah satu kawasan taman nasional yang telah dirambah bahkan telah diokupasi oleh masyarakat adalah Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Perambahan tersebut dilakukan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Lore Lindu sesudah penetapan taman
1
Pada Tahun 2012 saja telah terjadi 72 kasus yang berlangsung di 17 propinsi dengan luas area konflik mencapai 1,2 juta hektar lebih. Konflik tersebut berada di Jawa Tengah 19 kasus, Banten 13 kasus, Jawa Barat 7 kasus, Kalimantan Tengah 7 kasus, Kalimantan Barat 6 kasus, Sumatera Barat 4 kasus, Sumatera Utara 2 kasus, Riau 2 kasus, Sumatera Selatan 2 kasus, Jawa Timur 2 kasus, Sulawesi Tengah 2 kasus, Aceh 1 kasus, Jambi 1 kasus, Lampung 1 kasus, Kalimantan Timur 1 kasus, Sulawesi Selatan 1 kasus dan Sulawesi Tenggara 1 kasus.
1
nasional yang merupakan areal pembukaan baru (kebun baru). Menurut Yayasan Bantuan Hukum Rakyat (2001), Li dan Sangadji (2003) dalam Adiwibowo (2005) dan Djiloy (2006), menyatakan bahwa mendesaknya kebutuhan hidup terutama lahan perkebunan dan lahan pertanian untuk bercocok tanam bagi masyarakat yang berada di Dataran Palolo yaitu Desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia dan Rahmat 2 disebabkan oleh laju pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan ketersediaan lahan yang ada, sehingga masyarakat di keempat desa tersebut berusaha untuk mencari lahan pengganti. Prokontra terhadap adanya perambahan kawasan hutan tersebut menimbulkan polemik yang berkepanjangan sejak Juli 2001 hingga saat ini (Laban, 2002). Berdasarkan amanah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, maka penggunaan kawasan hutan secara tidak sah seperti perambahan di Dongi-dongi merupakan tindak pidana di bidang kehutanan karena menimbulkan perubahan tutupan lahan, rusaknya habitat satwa, perubahan iklim mikro dan penurunan suplai air. Namun bagi masyarakat yang merambah, hal tersebut merupakan hak hidup bahkan terus menuntut adanya suatu pengakuan keberadaan mereka di Dongi-dongi agar masuk ke dalam wilayah administrasi desa definitif. Kenyataan ini bersesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Peluso dan Ribot (2003) dalam Antoro (2013) bahwa jika hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang 2
Merupakan transmigran lokal hasil resettlement project Tahun 1979.
2
berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas sumberdaya (legitimasi secara sosial). Oleh sebab itu, meskipun pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu bertujuan untuk mewujudkan visi pengelolaan yaitu optimalisasi pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu dalam upaya mewujudkan hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan3, namun dalam implementasinya menurut Hiariej dan Djalong (2013) kehadiran masyarakat belum sepenuhnya diposisikan sebagai mitra utama yang memiliki sense of ownership karena hanya sebagai faktor eksternalitas terhadap kelestarian kawasan hutan (unlegitimate). Konflik pengelolaan ini menjadi menarik, karena sampai saat ini belum ada solusi yang tepat dan memuaskan semua pihak, walaupun telah diupayakan beberapa alternatif pemecahan permasalahan di sana. Persoalan utama yang mendasari hal ini adalah perbedaan cara pandang antara masyarakat di Dongi-dongi, Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dan Pemerintah Daerah (Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso). Oleh karena itu, maka diperlukan suatu resolusi konflik yang adaptif yang dapat digunakan dalam penanganan perambahan kawasan hutan tersebut karena membiarkan masyarakat untuk terus melakukan perambahan tersebut akan secara langsung berakibat buruk bagi kelestarian kawasan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut, penulis memfokuskan penelitian pada resolusi konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi Propinsi Sulawesi Tengah. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut sebelumnya, maka yang menjadi perumusan masalah ini adalah: 3
Statistik Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu 2012.
3
1. Apa tawaran resolusi konflik yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi? 2. Apa manfaat dan tantangan resolusi konflik tersebut terhadap pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Menganalisis suatu resolusi konflik yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. 2. Untuk mengetahui manfaat dan tantangan suatu resolusi konflik yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Sedangkan signifikansinya yaitu bahwa perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi telah berlangsung lama sejak Tahun 2001 sehingga menimbulkan suatu konflik yang rumit untuk diselesaikan karena belum adanya sinergitas antara kebutuhan masyarakat yang berinteraksi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dengan pengelolaan hutan konservasi tersebut. Selain itu, konflik tersebut bukan hanya bersifat struktural-vertikal yaitu konflik antara masyarakat di Dongi-dongi dengan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu selaku Unit Pelaksana Teknis Pusat Kementerian Kehutanan, namun juga bersifat horizontal yaitu konflik antara masyarakat di Dongi-dongi dengan pemerintah daerah baik di Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi maupun Kabupaten Poso yang menuntut untuk menempatkan dirinya sebagai model dalam pemerintahan desa. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 4
1. Secara teoritis Sebagai sumber informasi ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam pengelolaan konflik. 2. Secara praktis Sebagai bahan pertimbangan bagi Kementerian Kehutanan terutama Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dalam menyusun rancangan dan kebijakan penyelesaian konflik perambahan di Dongi-dongi. E. Tinjauan Pustaka Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik yang dirasakan secara langsung (tangible), maupun tidak langsung (intangible). Manfaat langsung seperti produk hasil hutan, bahan makanan, bahan baku obat-obatan dan rekreasi. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat pengendalian erosi dan banjir, penyediaan sumber air, siklus nutrisi, pendukung kehidupan global berupa penyerapan karbon (polutan) dan stok karbon guna pengendalian perubahan iklim. Keberadaan hutan yang merupakan daya dukung terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan (Reksohadiprojo, 2000). Hutan sebagaimana yang termaktub baik dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor
5
18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya, yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Dari definisi tersebut terdapat unsur-unsur yang meliputi: 1) Suatu kesatuan ekosistem, 2) Berupa hamparan lahan, 3) Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, 4) Mampu memberi manfaat secara lestari. Keempat unsur pokok yang dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan). Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur yang meliputi: 1) Suatu wilayah tertentu, 2) Terdapat hutan atau tidak terdapat hutan, 3) Ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan, 4) Didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat. Unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan
6
adalah 30% dari luas daratan dengan sebaran yang proporsional4. Adapun kerusakan hutan pada umumnya disebabkan oleh semakin renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan itu sendiri baik dari segi paradigma berfikir maupun dari segi kebutuhan manusia akan hidup yang tergantung dari hasil hutan kayu dan bukan kayu yang bernilai ekonomis. Dengan kata lain, kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan ketika masih terdapat harmonisasi antara manusia itu sendiri dan hutan dengan segala problematikanya. Dikarenakan perambahan hutan kini sudah menjadi masalah yang kompleks bahkan bagi dunia internasional, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi 61/193 telah mencanangkan Tahun 2011 sebagai Tahun Kehutanan Internasional sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran para pihak dalam pengelolaan hutan yang lestari untuk kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang5. Pemerintah pun mempertegas hal tersebut dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Perusakan hutan seperti perambahan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan perorangan atau individu maupun kelompok dalam jumlah kecil maupun besar yang menduduki suatu kawasan hutan untuk dijadikan sebagai areal lain seperti perkebunan maupun pertanian baik yang bersifat sementara ataupun dalam waktu yang cukup lama pada
4
Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air. Berdasarkan pertimbangan tersebut, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya. 5 http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/06/26/ada-apa-dengan-perambahan-hutan-374369.html, diakses Tanggal 3 Pebruari 2014.
7
kawasan hutan negara yang tidak dibebani hak atas tanah secara legal dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi dan umumnya mereka mengetahui bahwa kawasan hutan negara tidak serta merta mereka dapat miliki6. Untuk itu, maka Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan pada Pasal 50 Ayat (3) huruf b bahwa setiap orang dilarang merambah kawasan hutan. Hal ini bukan hanya sekedar menegaskan bahwa perambahan merupakan suatu kegiatan membuka kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang tetapi juga mengingatkan bahwa perambahan tersebut tidak hanya terbatas pada usaha perkebunan atau pertanian saja tetapi dapat juga dalam bentuk penjarahan hutan untuk mengambil hasil hutan berupa kayu ataupun bentuk usaha lain yang menjadikan kawasan hutan tersebut sebagai tempat berusaha secara illegal. Jadi perambahan hutan merupakan suatu kegiatan pembukaan kawasan hutan secara illegal dengan tujuan untuk mengolah, memanfaatkan dan menguasainya tanpa melihat dan memperhatikan fungsi pokok yang merupakan daya dukung suatu kawasan hutan. Sebenarnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan harus dilaksanakan secara bijaksana dalam arti tidak hanya berupaya untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari hasil hutan namun juga harus memperhatikan aspek pemeliharaan dan pengawetan potensi hutan itu sendiri. Berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung dan produksi karena setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan hutan berdasarkan ketiga fungsi pokok tersebut
6
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/06/26/ada-apa-dengan-perambahan-hutan-374369.html, Tanggal 3 Pebruari 2014.
diakses
8
yang merupakan fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan konservasi itu sendiri merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Salah satu hutan konservasi tersebut adalah taman nasional yang merupakan bagian dari kawasan pelestarian alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Menurut undangundang ini, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Hal tersebut yang telah dijelaskan dapat dilihat seperti yang disajikan pada Tabel 1.1. berikut: Jenis Hutan
Kategori Kawasan Hutan Suaka Alam, yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Hutan Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yang terdiri dari Taman Konservasi Nasional, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam Taman Buru Tabel 1.1. Klasifikasi Hutan Konservasi menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dari definisi tersebut, maka tampak jelaslah bahwa untuk menetapkan suatu kawasan menjadi taman nasional harus ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh suatu kawasan atau daerah yang akan direkomendasikan menjadi taman nasional, seperti: 1) Kawasan tersebut memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami, 2) Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik berupa tumbuhan ataupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh/alami, 3) Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, 4) Memiliki keadaan alam yang asli dan alami yang dapat 9
dikembangkan sebagai pariwisata alam, 5) Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam beberapa zona, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona yang lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan masyarakat sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Menurut Diantoro (2011), kebijakan nasional terkait penetapan taman nasional di Indonesia, tidak bisa lepas dari proses berkembangnya gagasan konservasi di negara-negara maju. Puncak perjalanan gagasan konservasi dalam komunitas internasional yang dipelopori oleh negara-negara barat adalah ketika secara kelembagaan Tahun 1948 di Swiss dibentuk International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). IUCN adalah lembaga konservasi internasional yang memegang peran penting dalam mendiseminasikan gagasan konservasi di berbagai negara di belahan dunia dengan mengkreasikan role model, hingga bahkan dalam beberapa hal mengkondisikan penyeragaman melalui kriteria, norma dan standar. Tonggak konservasi dalam bentuk pengukuhan taman nasional di Indonesia, dipengaruhi oleh Kongres CNPPA (Commission on National Parks and Protected Areas) yang diselenggarakan di Bali pada Oktober 1982. Bersamaan dengan kongres tersebut, pemerintah mendeklarasikan berdirinya 10 taman nasional. Era inilah yang menjadi tonggak awal dikenalkannya taman nasional di Indonesia. Hal senada diungkapkan pula oleh Hartono (2008) bahwa pembentukan taman nasional di Indonesia memang mengadaptasi konsep proses pembentukan taman nasional di Amerika sejak terbentuknya Yellowstone National Park Tahun 1872 yang diawali dengan adanya pengalokasian kawasan tertentu sebagai reserve land atau kawasan yang sengaja disisihkan sebagai kawasan tutupan. Namun reserve land tersebut bukan dari kawasan yang
10
telah dihuni manusia dengan tujuan untuk mempertahankan atau mengembalikan keaslian ekosistem dan keunikan alam sebagaimana kondisi aslinya di Negara-negara Eropa tetapi melalui perubahan status pengelolaan terhadap kawasan-kawasan yang sebelumnya telah ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda sebagai suaka alam, suaka margasatwa, monumen alam dan cagar alam. Disamping itu, Wiratno (2001) mengemukakan bahwa kebanyakan sistem kawasan konservasi juga berada di lokasi yang sarat konflik dan tumpang tindih antara kepentingan lokal (warisan dunia, efek rumah kaca, perdagangan karbon dan bioprospeksi) dan global (areal berburu, sumber makanan, obat, perkakas rumah, kepentingan adat dan jasa lingkungan). Pemerintah pusat seharusnya tidak mengorbankan hak lokal atas sumberdaya hanya demi kepentingan global yang sering mengatasnamakan pelestarian keanekaragaman hayati, perlindungan spesies satwa liar tertentu dan sebagainya. Peran strategis pengelola tingkat nasional yang belum optimal dalam mensinergikan konteks pengelolaan keanekaragaman hayati dengan konteks pemenuhan kebutuhan hidup dikarenakan alasan-alasan ekonomi yang mendesak seperti menyangkut perluasan penggarapan lahan untuk pertanian menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal, sehingga semakin tingginya aktivitas masyarakat di dalam taman nasional telah mengakibatkan terganggunya proses-proses ekologis yang menjadi ciri keaslian kawasan yang mengarah pada deforestasi dan degradasi. Berkaitan dengan kasus yang akan diteliti penulis, terdapat beberapa tulisan yang pernah membahas konflik di Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Penelitian yang dilakukan oleh Adiwibowo (2005) menunjukkan tiga penyebab konflik di Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi seperti penyebab pertama adalah bagaimana akses pengelolaan
11
sumberdaya alam yang dikaitkan dengan aturan hukum guna melestarikan keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan hutan konservasi secara berkelanjutan baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat merupakan suatu sistem nilai yang berbeda. Penyebab kedua adalah dimana negara belum mengubah transisi demokrasi secara memadai seperti sistem hukum dan penegakkan hukum yang lemah, kurangnya komitmen, sistem administrasi dan birokrasi yang pelik pada sebagian besar instansi pemerintah. Penyebab ketiga adalah adanya tumpang tindih kepentingan ekonomi yang kuat antara masyarakat di Dongi-dongi, aparat keamanan dan pejabat pemerintah dalam bisnis pembalakan liar (illegal logging). Selain itu, ada pula penelitian yang dilakukan oleh Djiloy (2006) yang membahas tentang peran pemerintah daerah dalam mencari jalan keluar untuk menyelesaikan konflik antara pihak pengelola Taman Nasional Lore Lindu dengan masyarakat di Dongi-dongi yang lebih difokuskan pada upaya konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Baik Adiwibowo maupun Djiloy sama-sama melihat adanya implementasi kebijakan pemerintah yang tidak bersinergi dengan masyarakat khususnya dalam pemanfaatan lahan dalam konteks pengelolaan keanekaragaman hayati dengan konteks pemenuhan kebutuhan hidup. Hal tersebut membuktikan bahwa para pihak yang berkonflik sama-sama mempertahankan posisi mereka masing-masing dalam hal memahami akar permasalahan tentang property rights Taman Nasional Lore Lindu sehingga meskipun berbagai inisiatif yang diajukan baik oleh pemerintah pusat maupun Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah semua berakhir dengan kegagalan. Penulis sendiri lebih fokus pada upaya alternatif resolusi konflik yang adaptif yaitu revisi zonasi dalam sistem pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu yang selama ini diterapkan di Dongi-dongi. Alternatif tersebut diharapkan dapat memberikan akses kepada
12
masyarakat di Dongi-dongi untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian yang bersinergi dengan kebutuhan konservasi sekaligus mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya mereka dengan fungsi ekologi. Disamping itu, alternatif tersebut juga merupakan strategi yang bukan hanya melibatkan peran aktif dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat di Dongi-dongi itu sendiri, karena mereka dapat diposisikan sebagai: 1) bagian dari subyek pengelolaan; 2) mitra utama yang memiliki sense of ownership karena memiliki relevansi langsung dengan pengelolaan; 3) bagian dari resolusi konflik di Dongi-dongi. F. Landasan Teori Konflik merupakan suatu persepsi mengenai ketidakselarasan kepentingan, atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt and Rubin, 1986). Hal senada sebagaimana yang ditegaskan Fisher et all (2001), bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan yang dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Konflik juga berkaitan erat dengan kehidupan manusia dan selalu bergerak dari konflik yang satu ke konflik yang lain dimana menurut Galtung (1996) konflik tersebut dapat muncul dan semakin meningkat disebabkan adanya beberapa hal seperti: 1) kelangkaan sumberdaya seperti kemiskinan, pengangguran, kelangkaan sandang, pangan dan papan; 2) komunikasi antar berbagai pihak belum maksimal; 3) pihak-pihak yang memiliki persepsi berbeda satu sama lain; 4) kelangkaan rasa percaya; 5) kekecewaan akibat persoalan masa
13
lalu yang belum terselesaikan; 6) pihak-pihak tidak memandang penting hubungan baik diantara keduanya; 7) kekuasaan tidak disebar secara merata. Pendapat Wilmot dan Hocker (2001) sendiri lebih fokus menyatakan bahwa konflik salah satunya disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya alam yang bertalian erat dengan kebutuhan manusia terhadap uang, sumberdaya seperti tanah dan minyak, ataupun pekerjaan. Sedangkan menurut Maslow (2006) dalam Mas’oed (2013) dengan teori kebutuhan dasarnya, secara umum menyatakan konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Kebutuhan dasar tersebut berjenjang yang menggambarkan faktor-faktor dalam kaitannya dengan penentuan kepentingan sebagaimana disebut sebagai hirarki kebutuhan yang dapat memotivasi orang untuk melakukan kegiatan atau perbuatan tertentu, yaitu: a) Kebutuhan psikologis merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan sangat penting untuk bertahan hidup, diantaranya adalah kebutuhan udara, air, makanan, tidur, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks dan kebutuhan jasmani lain. b) Kebutuhan akan keamanan diantaranya aman dari kejahatan dan agresi, keselamatan kerja, keamanan sumberdaya, keamanan psikologis, keamanan keluarga dan keamanan kekayaan pribadi dari kejahatan. c) Kebutuhan rasa dimiliki dan diterima merupakan kebutuhan sosial yang mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik dan persahabatan. d) Kebutuhan akan penghargaan merupakan kebutuhan manusia untuk menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain. Orang perlu melibatkan diri untuk mendapatkan pengakuan dan perhatian serta mempunyai kegiatan atau kontribusi kepada orang lain. e) Aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah manusia untuk memanfaatkan kemampuan
14
mereka yang unik dan berusaha menjadi yang terbaik. Kelima kebutuhan dasar tersebut diinterpretasikan dalam bentuk piramida dimana kebutuhan yang lebih mendasar ada di bagian paling bawah sebagaimana pada Gambar 1.1. berikut:
Gambar 1.1. Hirarki Kebutuhan Manusia7 Kebanyakan konflik merupakan gabungan dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai dan mengarah pada konflik yang terbuka. Konflik seringkali menjadi sangat rumit sehingga sangat penting untuk mendefinisikan pusat situasi kritisnya, permasalahan pokoknya atau penyebab pertikaian. Hal ini dilakukan dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai (mengalami konflik). Berkenaan dengan hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan Fisher et all (2001), maka perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi akan digambarkan dengan menggunakan alat bantu analisis konflik yaitu pohon konflik agar dapat diketahui apa saja yang menjadi isu-isu konflik, masalah inti dan efek dalam suatu konflik, guna membantu dalam mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik, dan untuk menghubungkan berbagai sebab dan efek satu sama lain.
7
Kebutuhan dasar itu dipandang Maslow sebagai suatu piramida perjenjangan (hirarki). Yang paling dasar adalah kebutuhan biologis-jasmaniah, diikuti kemudian oleh kebutuhan akan rasa aman (keamanan), kemudian keterterimaan (diakui sebagai bagian dari kelompok manusia) dan kasih sayang, kemudian harga diri, dan terakhir perwujudan (aktualisasi) diri. Kebutuhan yang lebih atas tidak akan muncul pada manusia sebelum secara minimal kebutuhan yang berada di bawahnya sudah tercukupi.
15
Disamping itu, pemetaan konflik yang merupakan teknik visual dapat digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis yang menghubungkan berbagai pihak yang mengalami konflik. Pemetaan konflik merupakan alat bantu analisis konflik lainnya yang tujuannya antara lain untuk lebih memahami situasi dengan baik, melihat hubungan diantara berbagai pihak secara lebih jelas, memeriksa keseimbangan masing-masing reaksi, mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan dan untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam penanganan dan pengelolaan konflik. Untuk mengetahui dinamika konflik atas ketidaksesuaian kepentingan, tujuan dan nilai-nilai yang dihadapi, maka siklus konflik dari Kriesberg (1982) dapat digunakan. Didalam siklus konflik tersebut, perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi secara bertahap dimulai dari sumber konflik, munculnya konflik, pemicu awal konflik, eskalasi konflik, deeskalasi konflik, terminasi konflik, hasil (outcome) konflik, dan konsekuensi konflik. Dikarenakan konflik ini sarat dengan kepentingan para pihak yang berkonflik, maka alat untuk menganalisisnya dapat dipergunakan salah satu model resolusi konflik dari Furlong (2005) yaitu model batas (boundary) sehingga kita bisa memberikan resolusi konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Konflik perambahan tersebut terjadi karena batas (aturan) dan norma-norma yang telah ada ditantang, terancam atau dielakkan/diabaikan sehingga membutuhkan intervensi untuk mengatasinya (lembaga atau orang yang memiliki kewenangan sesuai yuridiksi). Dalam hal ini, resolusi konflik merupakan upaya penanganan sebab-sebab konflik tersebut dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa bertahan lama antar kelompokkelompok yang bertikai atau bermusuhan. Oleh karena itu, kepentingan para pihak yang
16
berkonflik harus dapat diakomodir sebagaimana yang dinyatakan oleh Krott (2005) dimana pembuatan kebijakan merupakan proses tawar-menawar sosial untuk mengatur konflik kepentingan dalam pemanfaatan dan perlindungan hutan sesuai dengan program dari sektor kehutanan. Berdasarkan hal tersebut, maka hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana governance dalam pengelolaan taman nasional yang merupakan suatu mekanisme praktek dan tata cara pemerintah dan masyarakat mengatur sumberdaya dan memecahkan masalahmasalah publik karena governing as conflict management (Zartman, 1997). Bahkan Sumarto (2003) dalam Siswoko (2009) menambahkan bahwa dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu faktor dan tidak selalu menjadi aktor yang paling menentukan. Governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefinisi pula pada peran warga. Didalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi perbedaan kepentingan sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik sehingga hak, kewajiban, peran dan tanggung jawab berbagai pihak harus didefinisikan secara jelas dari awal dalam mekanisme good forest governance. Menurut Aliadi et all (2006) dan Morison (2007) dalam Siswoko (2009), good forest governance merupakan proses membangun kesepahaman dan kepercayaan antar stakeholder berkenaan dengan berbagai keputusan dan tindakan yang mampu menghilangkan kendala atau hambatan, dan proses penetapan kebijakan serta sistem kelembagaan yang mendorong keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat lokal. Kesemua hal tersebut menunjukkan pentingnya suatu pengelolaan adaptif yang merupakan proses mengadaptasi perubahan yang terjadi dalam lingkungan mereka dengan terus menerus menilai efektivitas perencanaan kebijakan sumberdaya dan implementasinya
17
secara bersama-sama (Kusumanto et all, 2006). G. Kerangka Pikir Adanya konflik yang kompleks diantara masyarakat, Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dan Pemerintah Daerah (Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso), maka penelitian ini menawarkan suatu alternatif resolusi konflik yang adaptif yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik bagi para pihak tersebut dalam kerangka pikir berikut: KAWASAN HUTAN DONGI-DONGI DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU
PERSPEKTIF
MASYARAKAT
BALAI BESAR TAMAN NASIONAL LORE LINDU
PEMERINTAH DAERAH
REGULASI
KEBUTUHAN
KONFLIK
RESOLUSI KONFLIK
Gambar 1.2. Kerangka Pikir. H. Hipotesis Penelitian ini bermula dari suatu Bases of Explanation yaitu dikarenakan adanya perspektif yang berbeda dalam pengelolaan Kawasan Hutan Dongi-dongi di Taman Nasional Lore Lindu, maka Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu yang memiliki kewenangan
18
sesuai yurisdiksinya dapat mengupayakan suatu alternatif resolusi konflik dengan melakukan revisi zonasi sebagai penegakkan batas (boundary). Proses revisi zonasi tersebut dapat dikolaborasikan dalam mekanisme good forest governance sehingga menghasilkan aturan yang adaptif, jelas dan dapat mensinergikan kebutuhan masyarakat akan lahan dengan kebutuhan konservasi. Dengan adanya revisi zonasi tersebut, maka masyarakat di Dongi-dongi dapat ditempatkan sebagai bagian dari pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu melalui penetapan zona lainnya yaitu zona khusus, meskipun harus didahului dengan kajian-kajian komprehensif dengan pendekatan riset akademik (scientific) termasuk aspek legal formal sebagai konsekuensi dari adanya perubahan zonasi tersebut. I. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah descriptif analysis yang memanfaatkan berbagai sumber data primer dan sekunder untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan perkembangan. Data yang terkumpul diklasifikasikan dalam desain sistematika, kemudian dianalisa secara mendalam untuk menarik suatu kesimpulan yang abstrak dan merupakan sebuah pandangan yang sistematik. 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kebijakan (policy research). Menurut Mas’oed (2013), penelitian kebijakan ini bertujuan untuk: a. Memberi nasehat dan mempengaruhi pembuatan kebijakan, isi kebijakan dan keseluruhan prosesnya; b. Mengusulkan kebijakan baru tentang suatu isu publik; c. Menjembatani jurang perbedaan research dengan policy; 19
d. Memberi pembuktian dan pembenaran terhadap asumsi kebijakan; e. Menunjukkan atau memperingatkan akan adanya tantangan baru. 2. Jenis Data Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Data Primer Informasi yang didapat langsung dari sumber data di lapangan. Data primer adalah data yang selain diperoleh langsung dari responden melalui teknik wawancara juga termasuk data-data berupa dokumen yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang belum dianalisis/diinterpretasikan oleh peneliti lain. Data tersebut digunakan untuk menganalisa variabel yang menyebabkan terjadinya konflik serta upaya resolusi konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dikeluarkan oleh pemerintah (instansi terkait) yang sudah diolah dan dianalisis oleh peneliti lain meliputi arsip, catatan dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode: a. Observasi, yaitu kegiatan pengumpulan data secara langsung pada saat penelitian dilakukan, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan obyek penelitian secara nyata; b. Studi kepustakaan dan sumber informasi, dimana pengumpulan data berdasarkan sumber-sumber informasi tertulis (berupa buku, peraturan atau bahan tertulis lainnya) yang terkait dengan masalah penelitian;
20
c. Teknik wawancara yaitu memperoleh suatu informasi dengan cara mengadakan wawancara atau dialog kepada orang-orang yang berhubungan dengan masalah penelitian ini. Dalam hal ini, wawancara yang penulis lakukan menyangkut beberapa pertanyaan yaitu: 1) Latar belakang munculnya konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi; 2) Tuntutan- tuntutan apa yang diinginkan oleh masyarakat yang berada di Dongidongi; 3) Upaya- upaya apa saja yang pernah dilakukan oleh Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dengan masyarakat yang berada di Dongi-dongi. J. Sistematika Penulisan Guna menjawab problematika penelitian yang diusulkan ini, maka berbagai data yang berhasil dikumpulkan akan disusun dalam suatu sistem penulisan, seperti pada Bab I akan dikaji tentang konflik yang terjadi di Taman Nasional Lore Lindu yang merupakan hal penting dan menjadi fokus dalam penelitian yang dituangkan dalam latar belakang dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, kerangka pikir, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada Bab II akan dijabarkan tentang sosio-geografi Taman Nasional Lore Lindu terutama Dongi-dongi yang merupakan cakupan wilayahnya, meliputi sejarah kawasan, letak dan karakter biofisik serta potensi kawasan 8 . Sedangkan perambahannya sendiri meliputi sejarah perambahan, tipe masyarakatnya, dominasi budaya, motif dan kegiatan ekonominya serta sarana prasarana yang ada. 8
Sebagian besar data dan peta diperoleh dari Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu Kementerian Kehutanan Tahun 2014 terutama di dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu 2004-2029 Tahun 2004.
21
Kemudian pada Bab III, konflik yang terjadi di Dongi-dongi akan dianalisis dengan menggunakan alat bantu analisis konflik berupa pohon konflik dan pemetaan konflik, yang diurai dalam dinamika konflik dan kemudian diupayakan resolusi konfliknya dengan menggunakan model batas (boundary) dari Furlong (2005). Setelah itu, pada Bab IV akan dijabarkan apa saja manfaat dan tantangan dari suatu resolusi konflik yang ditawarkan dan bagaimana proses untuk mewujudkannya serta upaya apa yang diambil oleh Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dalam menyikapi hal tersebut. Pada akhirnya dengan berdasarkan seluruh kajian penelitian dan teori yang telah digunakan, maka Bab V merupakan penutup yang akan menghasilkan beberapa kesimpulan dan saran yang diharapkan dapat dijadikan model sekaligus mendorong penyelengaraan pengelolaan kawasan konservasi yang adaptif khususnya Taman Nasional Lore Lindu.
22