BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Suatu wilayah baru dapat dikatakan sebagai negara apabila wilayah tersebut memiliki pemerintah dan pemerintahan yang berjalan, hukum, pengakuan dari negara lain, dan yang paling utama adalah adanya penduduk. Jumlah penduduk suatu negara akan terus mengalami pertambahan selama masih terjadi perkawinan dan kelahiran. Namun ada kalanya jumlah penduduk justru menjadi masalah bagi suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, masalah kependudukan menjadi hal yang sangat sulit diatasi. Permasalahannya adalah terjadinya ledakan penduduk. Berbagai cara dan upaya telah dirancang dan dilakukan oleh pemerintah, namun ledakan penduduk tetap saja belum dapat teratasi. Meskipun untuk menyambung hidup saja terasa sangat sulit, namun penduduk Indonesia yang masih kurang berpendidikan tetap menganut paham bahwa banyak anak akan mendatangkan banyak rezeki. Sikap penduduk yang tidak mau tahu seperti inilah yang memicu sulit terselesaikannya masalah kependudukan ini. Bertolak belakang dengan kondisi tersebut, negara maju juga bermasalah dengan penduduknya, namun masalah yang dihadapi adalah semakin berkurangnya jumlah penduduk tiap tahun, sehingga membuat piramida penduduk berbentuk piramida terbalik. Angka kelahiran bayi setiap tahun semakin menurun. Hal inilah yang sedang dialami oleh Jepang.
1
2
Pemerintah dan berbagai elemen di Jepang saat ini sedang memikirkan bagaimana upaya untuk meningkatkan angka kelahiran bayi. Apabila angka kelahiran bayi terus menurun, maka bukan tidak mungkin negara ini akan bisa punah dikarenakan tidak adanya regenerasi. Fenomena menurunnya angka kelahiran di Jepang ini dikenal dengan istilah shoushika. Fenomena menurunnya angka kelahiran ini mulai terdeteksi pasca Perang Dunia II. Di masa penutupan negara selama 214 tahun yang dikenal dengan peristiwa sakoku, yakni sejak tahun 1639 hingga tahun 1853, pemerintah Jepang tidak mengizinkan kapal-kapal luar negeri bersandar di pelabuhan negaranya, kecuali kapal dagang dari Belanda. Dari kapal dagang Belanda inilah masuk buku-buku pengetahuan dari bangsa Barat. Buku-buku yang didapatkan dari kapal dagang Belanda sedikit demi sedikit telah mengubah cara berpikir manusianya. Sakoku sendiri bertujuan untuk menolak masuknya pengaruh ekonomi kapitalis dari negara-negara Barat (Eropa dan Amerika) yang telah lebih dulu menjadi negara modern, yang mengakibatkan dibatasinya perdagangan internasional meski ekonomi domestik tumbuh dengan pesatnya. 1 Namun, sakoku tersebut menyebabkan Jepang tertinggal dari negara lain. Sebelum terjadinya Restorasi Meiji, Jepang berada di bawah kuasa keshogunan Tokugawa yang menerapkan sistem feodal. Pembukaan negara secara paksa oleh Komodor Perry pada tahun 1853 mendorong terjadinya Restorasi Meiji. Seusai Restorasi Meiji, mulai didirikan sekolah-sekolah baru 1
I Ketut Surajaya, Makna Modernisasi Meiji Bagi Pembangunan Indonesia (Jakarta: Kesaint Blanc, 1990), h. 19-20.
3
yang mengikuti gaya Barat.2 Di samping itu, diadakan pula perubahan dalam kebijakan pendidikan, sehingga tidak ada lagi pendidikan yang dibedakan berdasar kelas sosial di masyarakat, karena kelas sosial turut dihapus seiring dihapusnya sistem feodal. Berbagai paham yang dibawa oleh Barat di antaranya adalah demokrasi, liberalisme, kapitalisme, emansipasi, penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, pendidikan setara pria dan wanita, serta gagasan peran ibu sebagai guru bagi anaknya, atau dalam bahasa Jepang dikenal istilah kyouiku mama. Berbagai paham ini kemudian lambat laun dapat diterima oleh masyarakat Jepang. Sebelumnya, hanya kaum pria saja yang berhak mengenyam
pendidikan.
Setelah
masuknya
paham-paham
tersebut,
pemerintah Jepang akhirnya mengeluarkan kebijakan yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bersekolah. Di sisi lain, masuknya paham demokrasi juga mau tak mau turut mengubah cara pandang orang-orang terhadap pernikahan. Sejak jaman Tokugawa, Jepang menganut sistem kekeluargaan ie, yang mewajibkan istri tunduk kepada suaminya. Pada masa itu, ketika pernikahan adalah sebuah keharusan, sementara para wanita belum berhak mengenyam pendidikan, wanita berusaha untuk mencari pria yang mampu bertanggung jawab terhadap perekonomian keluarga.
2
Taro Sakamoto, Jepang Dulu dan Sekarang, diterjemahkan oleh Sylvia Tiwon (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), h. 49.
4
Menurut Ruth Tiffany Barnhouse, jarang sekali wanita diperbolehkan memilih suami menurut keinginannya sendiri. 3 Biasanya, perkawinan pun diatur oleh keluarga, atau paling tidak, harus mendapatkan persetujuan dari keluarga. Seorang wanita yang menolak pasangan yang dipilihkan oleh orang tuanya terkadang harus menanggung resiko, di antaranya dianggap memalukan dan merupakan beban ekonomi di beberapa daerah. Sebaliknya, orang tua yang bijak akan menghindarkan anak wanitanya dari pria yang tidak pantas dijadikan suami. Setelah menikah, seorang wanita harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan suaminya, baik serta buruknya, dan tidak berbuat hal-hal yang dapat mengganggu dan membuat suaminya justru merasa kerepotan. Setelah masuknya paham dari Barat dan terjadinya Resrorasi Meiji seperti tertulis di atas, wanita mulai mendapatkan pendidikan, dan pendidikan tersebut perlahan-lahan mengubah cara pandang terhadap pernikahan. Pernikahan bukan lagi sebuah keharusan, tetapi pernikahan harus dilandasi oleh rasa cinta yang tulus dari setiap pasangan. Pada perkembangannya, pernikahan di Jepang dapat dikategorikan menjadi miai kekkon (perjodohan) dan ren’ai kekkon (atas dasar cinta), namun miai kekkon semakin tidak diminati dan sudah banyak ditinggalkan. Sejak pendidikan disetarakan antara pria dan wanita, semakin banyak orang tua yang menyekolahkan anak perempuannya. Kini, wanita Jepang yang telah menyelesaikan studinya di universitas tentu saja memilih untuk berkarier, 3
Ruth Tiffany Barnhouse, Identitas Wanita: Bagaimana Mengenal dan Membentuk Citra Diri, diterjemahkan oleh A. G. Lunandi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), h. 31.
5
mengingat biaya hidup di Jepang tidaklah murah. Wanita-wanita ini, setelah kehidupan kariernya memuaskan, tidak langsung berfikir untuk mencari pasangan hidup. Wanita-wanita masa kini lebih mementingkan kariernya daripada harus hidup berumah tangga dan memiliki anak. Sebenarnya, pernikahan tetap menjadi kebutuhan, dalam hal ini adalah masalah kebutuhan batiniah. Namun, wanita karier di Jepang kini merasa berat jika ia bekerja, tetapi di satu sisi ia harus bertanggung jawab untuk urusan rumah tangga serta mengasuh anak, karena memiliki anak dianggap sebagai beban. Maka akhirakhir ini, fenomena yang banyak ditemui adalah wanita dan pria karier yang melajang. Ada berbagai alasan yang menyebabkan mereka memutuskan untuk melajang. Bagi wanita Jepang modern, mereka menemukan kepuasan saat bisa hidup mandiri. Dengan bekerja, mereka bisa mendapatkan uang sendiri. Dengan begitu, mereka bisa hidup sendiri dan tidak lagi tergantung pada orang tua, karena dengan uang yang mereka miliki, apapun yang mereka inginkan bisa didapatkan tanpa harus membebani orang tuanya. Mereka juga sudah tidak dikekang lagi oleh siapapun, dan berhak menggunakan uangnya sendiri untuk berbagai keperluan. Di sisi lain, pria yang bekerja tentunya mengharapkan seorang pendamping hidup yang mau mengurusi rumah tangga dan anaknya setelah menikah. Hal ini bertentangan dengan yang diinginkan wanita, yakni kerja sama dalam urusan rumah tangga serta pengasuhan anak. Wanita karier tentu saja menginginkan calon suami yang mau berbagi susah payah dalam urusan rumah tangga tersebut. Mereka yang memilih untuk menunda atau justru memilih untuk tidak menikah, terkadang juga disebabkan
6
kesulitan menemukan pria yang sesuai dengan kriteria yang diinginkannya, sehingga berdampak pada menurunnya tingkat kelahiran anak.
Grafik 1.1 Piramida penduduk Jepang pada tahun 2010 Sumber: National Institute of Population and Social Security Research (http://www.ipss.go.jp/index-e.asp)
7
Grafik 1.2 Proyeksi piramida penduduk Jepang pada tahun 2055 Sumber: National Institute of Population and Social Security Research (http://www.ipss.go.jp/index-e.asp)
Data dari Statistics Bureau, Ministry of Home Affairs and Telecommunications menyebutkan total populasi di Jepang pada tahun 2010 adalah 128.057.000 jiwa, dengan jumlah anak (0-14 tahun) 16.803.000 jiwa dan jumlah manusia lanjut usia (65 tahun ke atas) sebanyak 29.246.000 jiwa. Sementara itu, proyeksi populasi pada tahun 2055 jumlah keseluruhan tinggal 89.930.000 jiwa, dengan persentase anak (0-14 tahun) 8,4% dari keseluruhan populasi, sangat jauh bila dibandingkan dengan persentase manula (65 tahun ke atas) yang menempati angka 40,5%. Banyaknya jumlah manula memang menempatkan negara Jepang sebagai negara yang sukses mencapai usia harapan hidup tertinggi. Tetapi di sisi lain, banyaknya manula ternyata juga
8
menimbukan masalah, seperti banyaknya kecelakaan yang disebabkan pengendara yang sudah berusia lanjut.
1.2 Rumusan Masalah Apa saja upaya yang dilakukan Jepang dalam mengatasi shoushika?
1.3 Tujuan Penelitian Mengetahui upaya yang dilakukan Jepang dalam mengatasi shoushika.
1.4 Tinjauan Pustaka Dalam skripsi yang ditulis oleh Maitri Laras Mudita pada tahun 2008 yang berjudul Makna Bekerja bagi Perempuan Muda Jepang, dibahas mengenai adanya hubungan yang erat antara karier perempuan muda Jepang dengan fenomena semakin menurunnya angka pernikahan dan kelahiran anak. Kemandirian perempuan Jepang dinilai dari keberhasilannya dalam berkarier dan mereka baru akan menikah setelah merasa puas dengan kariernya. Setiap perempuan pasti memiliki kriteria dalam memilih pendamping hidup, dan hal inilah yang juga menjadi faktor keterlambatan usia menikah karena menemukan calon suami yang sesuai dengan kriteria tidaklah mudah. Mereka menginginkan pria yang mampu memahami karier mereka, mau berperan serta dalam urusan rumah tangga, dan mau mengasuh anak. Jika belum menemukan pria yang dirasa cocok dengan kriterianya, mereka akan terus menunggu. Namun apabila tetap tidak ada pria yang sesuai, maka mereka akan lebih total
9
dalam pekerjaannya. Padahal, semakin lambat usia menikah, maka akan berpengaruh pada tingkat kelahiran anak yang dipengaruhi oleh faktor usia produktif seorang wanita, ditambah kemungkinan adanya resiko yang dapat terjadi apabila seorang perempuan melahirkan di usia lanjut. Selain itu, kondisi perempuan yang bekerja tidak memungkinkan untuk memiliki banyak anak. Skripsi lain yang berjudul Perubahan Kriteria Pasangan Hidup yang Cocok Menurut Kalangan Wanita Muda Jepang dari Zaman Edo sampai Zaman Heisei (Sekarang) yang ditulis pada tahun 2009 oleh Primasari Nirwana Dewi juga memiliki relevansi dengan tema penelitian yang diambil oleh penulis. Primasari membahas pengaruh masuknya budaya Barat ke Jepang, di antaranya adalah paham demokrasi, liberalisme, kapitalisme, emansipasi, penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, pendidikan setara pria dan wanita, serta gagasan peran ibu sebagai guru bagi anaknya. Paham kebebasan juga mencakup kebebasan dalam pernikahan. Di bidang pendidikan, pada akhirnya kaum wanita berhak mendapat kesetaraan dengan pria, dan inilah yang mempengaruhi perubahan pola pikir wanita mengenai pernikahan. Wanita mulai pintar mengurus diri sendiri. Terlebih, pemikiran bahwa pernikahan selayaknya terjadi atas keinginan sendiri dan bukan atas paksaan orang lain juga didukung sepenuhnya oleh gerakan feminis, di mana sebelumnya pernikahan tradisional Jepang merupakan pernikahan perjodohan (miai kekkon). Kemudian muncullah istilah-istilah untuk menyebut kriteria pasangan hidup. Perubahan lingkungan masyarakat Jepang saat ini juga
10
memaksa para wanita untuk bekerja, mengingat kondisi ekonomi yang tidak stabil. Dan banyak dari para wanita itu yang menginginkan kerja sama dari pria dalam hal mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak, serta mau mengerti terhadap pekerjaan wanita. Kedua skripsi di atas menunjukkan bahwa wanita Jepang yang bekerja mengalami kesulitan dalam menemukan pasangan hidup yang cocok yang kemudian berdampak pada menurunnya angka pernikahan dan angka kelahiran anak (fenomena shoushika). Namun, di dalam kedua skripsi tersebut tidak dibahas mengenai masalah lain yang timbul dalam kaitannya dengan fenomena shoushika selain faktor penyebabnya. Maka dari itu, dalam skripsi ini penulis berusaha memaparkan apa saja upayaupaya yang dilakukan Jepang dalam menangani permasalahan-permasalahan tersebut.
1.5 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan data kualitatif, dan menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, yakni dengan menjelaskan data-data yang dikumpulkan dan kemudian menganalisisnya. Data-data penelitian
diperoleh
dengan
metode
studi
pustaka,
yakni
dengan
mengumpulkan data-data dari berbagai sumber tertulis baik berupa buku-buku, majalah, jurnal, maupun artikel, serta melakukan wawancara melalui jejaring sosial untuk kemudian diketahui bagaimana pola hubungan antarfenomena yang diteliti.
11
Dalam
menganalisis
data-data
yang
telah
terkumpul,
penulis
menggunakan metode deskriptif, yakni dengan menjabarkan fakta-fakta dengan didukung statistik untuk memperkuat validitas data.
1.6 Sistematika Penulisan Bab 1 berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, langkah penelitian, serta sistematika penulisan. Bab 2 berisi deskripsi mengenai shoushika, yang akan menjelaskan fenomena shoushika, sejarah dan faktor penyebab terjadinya fenomena shoushika. Bab 3 berisi upaya-upaya yang dilakukan oleh Jepang dalam mengatasi permasalahan shoushika. Bab 4 berupa kesimpulan berdasarkan evaluasi dan hasil analisis dari bab-bab sebelumnya.