BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Industri konstruksi di Indonesia memiliki peluang pertumbuhan yang baik. Hal tersebut terbukti dari pesatnya pembangunan berbagai pusat perbelanjaan, pendidikan, perumahan, dan perkantoran di kota-kota besar. Selain itu, dewasa ini sektor konstruksi secara aktual merupakan sektor yang paling dinamis jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Alasannya, banyak kegiatan usaha yang terlibat di dalam industri jasa konstruksi, baik dalam industrinya sendiri maupun industri lainnya, seperti industri bahan bangunan, peralatan bangunan, peralatan konstruksi, lembaga-lembaga keuangan, maupun asuransi. Oleh karena itu, sektor konstruksi menjadi penggerak perekonomian yang sangat berguna dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Ironisnya, pesatnya perkembangan industri jasa konstruksi juga memiliki risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berdasarkan data kementerian tenaga kerja dan transmigrasi, kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Indonesia pada tahun 2012 ialah sebanyak 14.280 kasus, dengan korban meninggal dunia sebanyak 226 orang, 393 orang mengalami cacat, dan 8.460 orang tidak mampu bekerja untuk sementara waktu. Angka kasus kecelakaan kerja meningkat pada tahun 2013 menjadi 16.619 kasus, dengan 236 orang meninggal dunia, 273 orang mengalami cacat, dan 7.420 orang tidak mampu bekerja untuk sementara waktu. Lalu untuk tahun 2014 terjadi 14.519 kasus kecelakaan kerja, 306 orang meninggal dunia, 343 orang mengalami cacat, dan 7.355 orang tidak mampu
bekerja
untuk
sementara
waktu
(http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id).
1
2 Berdasarkan tinjauan data tingginya resiko untuk terjadi kecelakaan dalam industri konstruksi, maka perlu adanya pencegahan atau pengurangan kecelakaan kerja terhadap tenaga kerja dalam pekerjaan konstruksi bangunan secara komprehensif dan konsisten. Pencegahan atau pengurangan kecelakaan tersebut dapat dilakukan dengan menyusun unit kesehatan dan keselamatan kerja saat pekerjaan tersebut belum dimulai, lalu disosialisasikan kepada setiap tenaga kerja (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.01/MEN/1980, dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 2010). Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan sebuah rangkaian prosedur yang diperuntukkan melindungi para pekerja dari bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan pekerjaan dan perkembangan teknologi. Selain itu, kesehatan dan keselamatan kerja juga merupakan pemikiran dan upaya untuk dapat menjamin keutuhan dan kesempurnaan tenaga kerja baik secara jasmani dan rohani menuju budaya untuk masyarakat yang makmur. Menurut Suma’mur (1982:2), kesehatan dan keselamatan kerja merupakan rangkaian kegiatan yang diperuntukkan menciptakan suasana lingkungan kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut (dalam Sucipto, 2014). Kecelakaan bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan suatu peritiwa yang terjadi karena disebabkan oleh kelemahan baik dari pihak pekerja, majikan atau pihak organisasi, dan ataupun keduanya. Dampak dari kecelakaanpun dapat dirasakan oleh keduanya: bagi pekerja yang mengalami kecelakaan dapat memunculkan trauma yang berpengaruh pada pribagi, keluarga, dan kualitas hidupnya, sedangkan dampak yang berpengaruh pada majikan atau pihak organisasi ialan berupa kerugian produksi, waktu yang terbuang untuk melakukan penyelidikan, dan yang terburuknya ialah biaya yang dikeluarkan untuk proses hukum (John, 2006).
3 Terjadinya kecelakaan kerja yang dialami pekerja pada suatu perusahaan juga akan menjadi masalah yang besar bagi keberlangsungan perusahaan tersebut. Permasalahan tersebut yakni kerugian langsung dari kecelakaan kerja tersebut seperti biaya pengobatan dan kompensasi kecelakaan, sedangkan biaya tak langsungnya yang tidak tampak sepeti kerusakan pada alat-alat produksi, penghentian waktu produksi, hilangnya waktu kerja, dan kerugian materi yang cukup besar, namun lebih utama dari itu semua ialah timbulnya korban jiwa (Patria, 2007). Teori domino Heinrich (dalam John, 2006) menyatakan bahwa suatu kecelakaan yang terjadi itu bukan merupakan suatu peristiwa tungal, melainkan hasil dari serangkaian penyebab yang saling berkaitan, seperti situasi kerja, kesalahan orang, tindakan tidak aman, kecelakaan, dan cedera kerusakan. Salah satu tindakan tidak aman dalam rangkaian penyebab kecelakaan pada tempat kerja ialah perilaku pekerja yang menyingkirkan atau tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja atau Alat Pelindung Diri (APD). Tindakan tidak aman (unsafe act) merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar oleh pekerja/karyawan dengan kekurangannya dalam mengikuti peraturan keselamatan kerja, prosedur, pelatihan dan perilaku yang semestinya diharapkan, serta tekanan-tekanan yang berasal dari system manajemen perusahaan (Mol, 2003). Hal demikian juga dipaparkan oleh Miner (2005), yakni perilaku tidak aman merupakan suatu perilaku berbahaya yang mengarah kepada sebuah efek terjadinya kecelakaan seperti bekerja dengan mengabaikan keselamatan, menyepelekan regulasi kesehatan dan keselamatan kerja, melakukan pekerjaan tanpa izin, mengabaikan peralatan keselamatan, terburu-buru dalam bekerja, menggunakan peralatan keselamatan yang tidak memenuhi standar, bertindak gegabah, kurangnya pengetahuan, cacat tubuh serta keadaan emosi yang terganggu.
4 Tindakan/perilaku tidak aman (unsafe act) secara faktual dipertegas melalui penjelasan Departmen Pekerjaan Umum (2007) yang menyatakan bahwa pada dasarnya faktor penyebab terjadinya kecelakaan yang paling utama ialah akibat dari kondisi yang tidak aman, kondisi kerja, serta pola pikir tenaga kerja yang cenderung menggampangkan sebuah tindakan untuk meminimalisir kecelakaan. Kondisi yang tidak aman tersebut antara lain disebabkan karena alatalat dan lingkungan kerja, sedangkan perbuatan yang tidak aman lebih mengarah pada faktor manusia sebagai penyebabnya, dengan masih rendahnya kesadaran dan pemahaman dalam menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja. Namun, berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan belum sepenuhnya diikuti oleh pekerja konstruksi untuk mematuhi peraturan keselamatan kerja. Masih banyak para pekerja konstruksi khususnya di proyek wisata yang bekerja tanpa helm dan sabuk pengaman. Hal tersebut semakin menunjukkan bahwa masih kurangnya kepatuhan yang dimiliki tenaga kerja pada proyek konstruksi. Mengacu pada teori Haddon, ada tiga faktor utama yang menyebabkan sebuah kecelakaan dapat terjadi, yakni manusia (host), alat (vector), dan lingkungan (environment)(dalam Holder dkk, 2001). Namun berdasarkan hasil statistik yang diperoleh, 70% kecelakaan yang terjadi pada lingkungan kerja tersebut disebabkan oleh kesalahan manusia (human error). Besarnya angka persentasi tersebut menggambarkan bahwa human error merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja. Faktor- faktor pendukung lainnya dalam human eror adalah lemahnya pengawasan konstruksi di lapangan kerja, belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan atau peraturan yang menyangkut K3 yang telah ada, ketersediaan peralatan pelindung diri (APD) yang kurang memadai, dan kurangnya disiplin tenaga kerja dalam mematuhi regulasi pemakaian alat pelindung diri kecelakaan kerja.
5 Namun disisi berbeda, ada beberapa perusahaan konstruksi menjadikan kesehatan dan keselamatan kerja sebagai hal yang utama. Mereka mengutamakan keselamatan untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan, mencapai nilai zero accident di setiap proyek besar aupun kecil. Saat ini Kesehatan dan keselamatan kerja tidak hanya sebagai pelengkap, tetapi juga merupakan sebuah tanggung jawab dan pertaruhan nama baik perusahaan. Isu kesehatan dan keselamatan kerja dulunya tidaklah begitu diperbincangkan dan dipermasalahkan, namun melihat semakin tingginya angka kecelakaan kerja yang terjadi dari tahun ke tahun, Departmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan beberapa peraturan yang membuat seluruh perusahaan konstruksi harus menaatinya dan lebih memperhatikan hal tersebut. Tidak hanya itu, saat ini perusahaan konstruksi, khususnya milik BUMN, makin bersaing diantaranya untuk menunjukkan performa terbaiknya terkait kesehatan dan keselamatan kerja dengan meminimalisasi angka kecelakaan kerja. Rendahnya kepatuhan para tenaga kerja terhadap ketentuan dan regulasi mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, terutama pada pemakaian alat pelindung diri, merupakan salah satu penyebab tingginya angka kecelakaan kerja pada pekerjaan bidang konstruksi (Departmen Pekerjaan Umum, 2007). Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kesadaran para tenaga kerja dalam menggunakan alat pelindung diri (APD), meskipun pihak manajemen keselamatan perusahaan telah menyediakannya. Dari hasil wawancara peneliti, terdapat beberapa alasan mengapa seseorang tidak menggunakan alat pelindung diri (APD), seperti perasaan tidak nyaman, mengganggu proses bekerja, dan mempersulit ruang gerak. Oleh karena itu, perlu ditanamkan pada setiap kerja mengenai manfaat penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk meningkatkan kesadaran mereka. Pembinaan yang terus menerus dapat meningkatkan wawasan dan kesadaran mereka. Salah satu caranya yakni melalui pelatihan keselamatan. Peningkatan
6 wawasan dan pengetahuan akan menyadarkan mengenai pentingnya penggunaan alat pelindung diri (APD) tersebut, sehingga intensi untuk menggunakannya meningkat (Budiono, 2003 : 335). Kepatuhan (compliance) merupakan salah satu bentuk perilaku yang dapat dipegaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Contoh faktor internal seperti tipe kepribadian, pengalaman personal, sedangkan contoh faktor eksternal seperti budaya keselamatan dan iklim keselamatan. Notoadmojo (2005) mengatakan bahwa perusahaan tidak hanya membuat peraturan-peraturan kerja dan prosedur kerja, tapi juga mengupayakan pekerja untuk senantiasa patuh, seperti mengadakan promosi kesehatan di tempat kerja kertika bekerja melalui pelatihan, presentasi, dan lainnya. Maka dari itu, kepatuhan terhadap peraturan penggunaan alat pelindung diri (APD) memerlukan komitmen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) baik dari pihak perusahaan, manajemen, maupun pekerja, sebagai upaya peningkatan perilaku kepatuhan. Berdasarkan pemaparan di atas, disimpulkan bahwa fokus permasalahan industri konstruksi terarah pada tingginya angka kecelakaan di lingkungan kerja kepatuhan tenaga kerja pada peraturan keselamatan, salah satunya pemakaian alat pelindung diri (APD). Beberapa faktor yang memengaruhi kepatuhan pada peraturan keselamatan tersebut yakni faktor pola pikir tentang keselamatan, motivasi keselamatan, keterlibatan dalam pelaksanaan tugas, iklim keselamatan,
budaya
keselamatan,
tipe
kepribadian,
dan
pengalaman
personal
(Wirahadikusumah dan Ferial, 2005). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi angka iklim keselamatan karyawan, maka semakin tinggi pula kepatuhannya untuk menaati peraturan mengenai pengunaan Alat Pelindung Diri (APD). Perlu adanya peningkatan kesadaran dan kepatuhan para tenaga kerja konstruksi terkait dengan isu kesehatan keselamatan kerja, baik dalam menjalankan prosedur yang sesuai maupun kepatuhan dalam pemakaian alat pelindung diri (APD) dengan
7 cara penciptaan lingkungan kerja yang baik dan aman oleh pihak manajemen perusahaan untuk memunculkan persepsi positif pekerja mengenai kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan kerja dan perusahaannya. Hal tersebut tak lain ditujukan untuk mengurangi angka terjadinya kecelakaan saat bekerja pada sektor konstruksi disebabkan semakin maraknya berbagai bentuk pembangunan yang sedang jalan di berbagai pelosok Indonesia. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis berupaya meneliti permasalahan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja terutama kepatuhan terhadap pemakaian alat pelindung diri sebagai skripsi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat pertanyaan yakni apakah iklim keselamatan memiliki hubungan dengan kepatuhan terhadap peraturan penggunaan alat pelindung diri pada pekerja konstruksi ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara iklim keselamatan dengan kepatuhan terhadap peraturan penggunaan alat pelindung diri pada pekerja konstruksi.
D. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi teoritis maupun praktis. a. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya hasil-hasil penelitian di bidang Psikologi Industri dan Organisasi yang berkaitan dengan sikap terhadap penerapan
8 program K3, serta tentang iklim keselamatan dan kepatuhan terhadap peraturan penggunaan alat pelindung diri pada khususnya. b. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi pihak manajemen perusahaan, khususnya tentang pelaksanaan program K3 perusahaan, serta penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana hubungan antara iklim keselamatan dengan kepatuhan terhadap peraturan penggunaan alat pelindung diri, pada pekerja pada perusahaan yang mempunyai risiko kecelakaan kerja yang tinggi.