BAB I PENDAHULUAN 1.6
Latar Belakang Penelitian Hubungan antara pragmatik dan terjemahan dapat dijelaskan melalui
pemahaman bahwa teks terjemahan lisan ataupun tulisan merupakan salah satu bentuk tindak komunikasi, terutama komunikasi antarbahasa dan antarbudaya. Pernyataan tersebut didasari oleh nosi tentang terjemahan sebagai sebuah tindak komunikasi yang dinyatakan oleh beberapa pakar penerjemahan, seperti Nida dan Taber (1974:12), Larson (1984:3), House dan Blum Kulka (1986:7), Newmark (1988:5), dan Hatim (1997:1). Sebagai tindak komunikasi, teks terjemahan memiliki fitur-fitur tindak tutur yang dapat dikaji melalui tilikan-tilikan pragmatik antarbudaya. Ketika berkomunikasi, seorang penutur atau penerjemah mungkin berhadapan dengan petutur atau sidang pembaca, yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, temasuk bahasa. Istilah ‘kegagalan pragmatik antarbudaya’ (cross-cultural pragmatic failures) didefinisikan oleh Thomas (1983:91) sebagai kegagalan peserta komunikasi untuk memahami ‘apa yang dimaksud dengan yang dikatakan’ (‘what is meant by what is said’). Kegagalan pragmatik dalam terjemahan diartikan sebagai kegagalan penerjemah dalam mengartikan apa yang dimaksud penulis teks sumber (TSu) sehingga hasil terjemahannya (the effects) tidak sesuai dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahi ujaran tersebut sehingga terjemahannya dinilai kurang memadai dan tidak memenuhi kriteria terjemahan yang baik, yaitu ketepatan, kejelasan dan kewajaran (Larson, 1984:485).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu teks yang banyak diterjemahkan di Indonesia adalah ujaran lisan pada film. Penerjemahan ujaran lisan pada film memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan penerjemahan lain. Keunikannya terletak pada penyesuaian fungsi setiap film yang lebih memperhatikan aspek budaya bahasa sasaran. Selain itu, satuan terjemahan dalam penerjemahan ujaran lisan pada film juga tidak lagi menggunakan tataran kata tetapi lebih pada tataran teks dan konteks. Dalam penerjemahan ujaran lisan pada film, penerjemah sering mengabaikan esensi makna ujaran lisan tersebut. Akibatnya, hasil terjemahan membawa pemirsa ke pemahaman yang jauh dari esensi makna ujaran lisan pada film tersebut. Proses yang harus ditempuh ketika menerjemahkan teks tertulis seperti buku,
novel dan
poem
memang
agak berbeda
dibandingkan dengan
menerjemahkan ujaran lisan pada film. Dalam kegiatan menerjemahkan, bukan hanya bahasa yang harus ditransfer ke bahasa sasaran, melainkan seluruh konteks yang menyertai bahasa sumber. Perbedaan yang paling mencolok adalah dalam buku atau novel, pemahaman konteks diperoleh dari teks tersebut; sedangkan dalam film, konteks diperoleh dari gambar dan suara yang meliputi dialog, mimik muka, backsound, setting waktu dan tempat. Dalam bahasa penerjemahan, kegiatan ini disebut sebagai pemahaman makna yang meliputi makna semantik, sintaktik dan pragmatik. Pendekatan semantik dan sintaktik digunakan untuk pemahaman makna dasar atau makna proporsional, sedangkan pendekatan pragmatik digunakan untuk pemahaman makna ilokusioner (Leech, 2003:219). Film merupakan teks yang sering hadir dalam kehidupan masyarakat. Film merupakan karya estetika yang memiliki bahasa universal, dimana audience tersebar melintasi lorong-lorong ideologis, agama, suku dan ras. Peluang film
Universitas Sumatera Utara
menjadi sarana membangun integrasi sosial menjadi sangat terbuka. Dalam konsepsi umum film merupakan media hiburan bagi penikmatnya, tapi pada kenyataannnya film juga memiliki fungsi sosial. Fungsi sosial tersebut dapat dilihat dari dampak positif dan negatif yang ditimbulkan film dalam kehidupan sosial masyarakat. Kita bisa melihat film tidak sekedar sebagai sebuah karya seni tetapi lebih dari itu film juga dapat dilihat sebagai sebuah bangunan sosial dari masyarakat yang ada dimana film itu diciptakan. Dapat didefenisikan bahwa film adalah sebuah proses sejarah atau proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup (Kusumastuti, 2011:19). Pernyataan ini dibuktikan oleh sebuah film yang diproduksi oleh Costellazione Entertainment berjudul Tano Parsirangan. Film ini merupakan kisah yang diangkat dari fenomena sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Film berdurasi dua jam tujuh menit sembilan detik ini menceritakan dua orang bersaudara yang berkonflik karena harta warisan almarhum orangtua mereka. Dua orang bersaudara tersebut bernama Amani Uli dan Amani Sudung. Almarhum orangtua mereka memberikan amanat bahwa tanah warisan itu tidak boleh dijual kepada orang lain, sebab diatas tanah warisan tersebut harus dibangun Jabu Parsaktian (Marbun, 1987: 65-66; Sinaga, 2013:166), yaitu rumah yang digunakan untuk berkumpul dan dimiliki bersama oleh seluruh keturunan almarhum pemilik tanah tersebut. Amani Sudung meminta kepada Amani Uli agar tanah warisan tersebut dijual karena dia sangat membutuhkan uang untuk membayar utang dan menyekolahkan kedua anaknya, Sudung dan Sinta. Namun, Amani Uli masih memegang teguh amanat almarhum orangtua mereka bahwa tanah itu tidak boleh dijual. Oleh karena itu, Amani
Universitas Sumatera Utara
Sudung berusaha dengan segala cara agar tanah tersebut bisa dijual. Akhirnya, Amani Sudung memalsukan tanda tangan Amani Uli dan menjual tanah itu. Agar perbuatannya tidak diketahui, Amani Sudung membunuh abangnya Amani Uli. Akhirnya, perbuatan Amani Sudung diketahui sehingga dia dipenjara. Istri dan anak Amani Uli tidak membenci anak-anak Amani Sudung. Mereka saling memaafkan dan hidup rukun. Film ini memberikan pelajaran dengan nilai moral yang tinggi, terkhusus bagi masyarakat Batak Toba, agar tidak bermusuhan karena harta warisan. Nilai moral ini diharapkan dapat dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan generasi muda suku Batak Toba. Di era globalisasi ini, banyak bahasa daerah termasuk Bahasa Batak Toba sulit untuk dipahami oleh para generasi muda (Sarumpaet, 1986 dalam Simanjuntak, 2011:143). Untuk dapat mengatasi kesulitan tersebut, banyak karya Batak Toba termasuk film yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, salah satunya adalah Tano Parsirangan. Hal ini bertujuan agar nilai moral yang terkandung dalam cerita film tersebut dapat dipahami oleh penonton, khususnya generasi muda. Namun, nilai moral yang terdapat pada keseluruhan alur cerita tidak begitu saja dapat dengan mudah dipahami tanpa memahami makna kalimat atau bahasa yang digunakan oleh pemain atau penutur bahasa. Tentu saja, makna hakiki dari setiap ujaran harus benar-benar dipahami. Pada bagian inilah terjemahan memiliki peran yang sangat penting. Makna ujaran Bahasa Batak Toba seharusnya disampaikan dengan tepat dalam subtitle Bahasa Indonesia agar mudah dipahami dan agar tidak membuat kesalahan dalam memahami ujaran tersebut. Namun, hasil terjemahan teks sumber (TSu) berupa ujaran lisan berbahasa Batak Toba dalam teks sasaran (TSa) berupa subtitle berbahasa
Universitas Sumatera Utara
Indonesia pada film berjudul Tano Parsirangan menunjukkan kegagalan penerjemah dalam mengartikan apa yang dimaksud penutur teks sumber (TSu) sehingga kualitas terjemahan dinilai kurang memadai. Kegagalan yang terjadi adalah kegagalan penerjemah menyampaikan daya pragmatik (pragmatic force) yang dikaitkan dengan sebuah konstruksi tuturan atau kalimat yang disampaikan oleh penutur yang terdapat pada TSu ke dalam TSa (area kegagalan pragmalinguistik) dan kegagalan menyampaikan kaidah-kaidah sosial, budaya dan interaksional pada satu bentuk tuturan yang terdapat pada TSu ke dalam TSa (area kegagalan sosiopragmatik). Berikut contoh kegagalan pragmalinguistik dan sosiopragmatik dalam subtitle Tano Parsirangan: (i) Kegagalan pragmalinguistik Penutur dan Petutur Kepala Desa Amani Sudung
TSu (ujaran lisan bahasa Batak Toba)
TSa (subtitle bahasa Indonesia)
Boha do molo ninna rohani lae?
Bagaimana menurutmu?
Ai au pe berhak do ditano i. Gabe songon naasing do hamu!
Aku sangat berhak terhadap tanah itu. Jangan macam-macamlah kau!
Analisis Konteks Ujaran Lisan Amani Sudung berencana menjual tanah kepada wali pembeli yang ingin membeli tanah tersebut untuk mendirikan pabrik pengalengan ikan. Wali pembeli tersebut menanyakan mengenai status kepemilikan tanah dan sertifikasi tanah kepada Amani Sudung. Amani Sudung menjelaskan bahwa tanah tersebut diwariskan oleh almarhum ayah mereka kepada semua keturunannya, termasuk Amani Sudung dan abangnya Amani Uli. Setelah memperoleh penjelasan, wali pembeli tersebut mengambil kesimpulan bahwa tanah tersebut adalah ‘tanah adat’,
Universitas Sumatera Utara
yang berarti tanah tersebut diwariskan oleh pemilik tanah yang telah meninggal kepada semua keturunannya, dimana semua keturunan memiliki hak yang sama atas tanah tersebut. Di dalam suku Batak Toba, ada hukum adat yang menegaskan bahwa harta warisan orangtua diwariskan kepada dan dikelola oleh anak laki-laki (Panggabean, 2007:30-31). Oleh karena itu, tanah itu secara sah dimiliki oleh dua orang, yaitu Amani Uli dan Amani Sudung sebagai dua orang anak laki-laki dari almarhum ayah mereka. Untuk menghindari konflik terjadi dikemudian hari, wali pembeli meminta Amani Sudung untuk memberitahu abangnya Amani Uli mengenai niatnya untuk menjual tanah itu serta meminta persetujuan abangnya yang dibuktikan dengan adanya surat pernyataan lengkap dengan tanda tangan yang menyatakan bahwa abangnya juga bersedia menjual tanah itu. Amani Sudung mengetahui bahwa abangnya Amani Uli tidak akan bersedia menjual tanah itu karena telah diwasiatkan oleh almarhum ayah mereka bahwa tanah itu tidak boleh dijual karena di atas tanah itu harus didirikan Jabu Parsaktian (Marbun, 1987: 65-66; Sinaga, 2013:166), yaitu rumah yang digunakan untuk berkumpul dan dimiliki bersama oleh seluruh keturunan almarhum pemilik tanah tersebut. Selain itu, wali pembeli juga meminta agar Amani Sudung meminta surat pernyataan dari kepala desa bahwa kepala desa mengetahui dan bersedia menjadi saksi atas proses penjualan tanah tersebut. Hal ini bertujuan untuk memperkuat proses pembelian dan kepemilikan tanah secara hukum sehingga setelah tanah tersebut dibeli oleh wali pembeli maka tidak ada yang boleh menggugat pembeli karena proses penjual-belian tanah tersebut adalah sah dan telah disaksikan oleh aparat negara, yaitu kepala desa. Untuk itu, Amani Sudung menemui kepala desa dan meminta kepala desa untuk mengeluarkan surat pernyataan tersebut. Namun,
Universitas Sumatera Utara
kepala desa bersedia mengeluarkan surat pernyataan tersebut apabila Amani Sudung menunjukkan surat persetujuan penjualan tanah dari abangnya Amani Uli. Hal ini merupakan aturan yang telah ditetapkan sebagai etika penjualan tanah di desa mereka. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari konflik di antara pemilik tanah pada proses jual-beli tanah. Namun, Amani Sudung tidak terima atas penolakan kepala desa dan berpikir bahwa kepala desa memiliki niat buruk untuk menghalang-halanginya
menjual tanah
tersebut.
Amani
Sudung
merasa
sesungguhnya dia juga memiliki hak kepemilikan atas tanah itu dan berhak untuk menjual tanah itu, sehingga dia mengatakan ‘Ai au pe berhak do ditano i. Gabe songon naasing do hamu!’. Analisis Makna Ujaran Lisan dan Subtitle Ujaran ‘Gabe songon naasing do hamu!’ merupakan tindak tutur representatif, yang merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Dengan ujaran ini, Amani Sudung menunjukkan bahwa dia sedang berspekulasi bahwa kepala desa memiliki niat menghalang-halanginya. Pada subtitle, ujaran ‘Gabe songon naasing do hamu!’ diterjemahkan menjadi ‘Jangan macam-macamlah kau!’. Penerjemah mengubah makna yang mengekspresikan bahwa Amani Sudung mengancam kepala desa. Ekspresi makna ini tidak terkandung dalam TSu, sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi kegagalan pengalihan tindak tutur representatif pada TSu ke dalam TSa.
Universitas Sumatera Utara
Revisi Subtitle Revisi subtitle yang disarankan terhadap kegagalan pengalihan tindak tutur representatif tersebut adalah dengan mengubah ‘Jangan macam-macamlah kau!’ menjadi ‘Kenapa sepertinya Anda mempersulit saya?’, sebagai berikut: Penutur dan Petutur Kepala Desa Amani Sudung
TSu (ujaran lisan bahasa Batak Toba)
TSa (subtitle bahasa Indonesia)
Boha do molo ninna rohani lae?
Bagaimana menurutmu?
Ai au pe berhak do ditano i. Gabe songon naasing do hamu!
Aku sangat berhak terhadap tanah itu. Kenapa sepertinya Anda mempersulit saya?
(ii) Kegagalan sosiopragmatik Penutur dan Petutur
Sudung
Meri
TSu (ujaran lisan bahasa Batak Toba)
TSa (subtitle bahasa Indonesia)
Lam lungun do rohangku mambege hatami adek. Alai boha ma bahenon ku mangalehonho mangan, molo karejokku pe ndang adong na tontu. Umurhu nga 24 taon da bang. Ndang adong be na hu paima... ... ba pikkiri abang ma bagas sude na i.
Semakin sedih aku mendengar ucapanmu itu, dik. Tetapi bagaimanalah aku memberi kau makan, pekerjaanku saja tidak menentu. Umurku sudah 24 tahun, bang. Tidak ada lagi yang perlu kutunggu... ...yah, abang pikirkanlah semua itu.
Analisis Konteks Ujaran Lisan Amani Uli memiliki seorang istri dan seorang putri bernama Uli. Amani Uli adalah seorang pekerja keras dan sangat hemat. Amani Uli hidup dengan pola yang sederhana namun berkecukupan. Selain itu, sikap Amani Uli sangat baik dan lembut. Dia adalah seorang yang sangat penyayang. Dia sangat mengasihi semua orang termasuk adiknya Amani Sudung dan kedua anak Amani Sudung, Sudung dan Sinta. Amani Uli adalah seorang yang sangat patuh terhadap orang tua,
Universitas Sumatera Utara
bahkan meskipun orangtuanya telah lama meninggal. Hal tersebut terbukti dari sikap teguh Amani Uli yang selalu mengingat dan menjaga wasiat almarhum ayahnya agar tidak menjual tanah warisan yang terletak di gotting-gotting (Sinaga, 2013:127), yaitu daerah datar yang dikelillingi oleh pegunungan dan perairan. Biasanya tanah yang terdapat di daerah ini sangat luas dan hanya bisa dimiliki oleh seorang yang kaya raya dan memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat suku Batak Toba. Uli merupakan seorang putri tunggal Amani Uli. Uli adalah seorang putri yang baik hati dan sangat menyayangi ayah dan ibunya. Uli sedang kuliah di salah satu universitas di Medan pada jurusan Hukum. Istri Amani Uli juga memiliki perangai yang baik hati, lembut dan penyabar. Keluarga Amani Uli hidup dengan rukun dan damai. Berbeda dengan Amani Uli, Amani Sudung adalah ayah dari dua orang anak. Dia memiliki seorang putra bernama Sudung dan seorang putri bernama Sinta. Istri Amani Sudung telah lama meninggal dunia. Amani Sudung adalah seorang pemabuk, pemain judi dan sangat suka berfoyafoya. Selain itu, Amani Sudung sangat pemarah dan selalu merasa paling benar. Sebenarnya, Amani Uli dan Amani Sudung adalah dua orang putra dari seorang yang sangat kaya raya. Sebelum meninggal dunia, ayah mereka telah membagikan harta warisan kepada Amani Uli dan Amani Sudung. Namun, karena kebiasaan Amani Sudung yang suka menghambur-hamburkan uang untuk mabuk dan bermain judi sehingga semua harta warisan tersebut telah habis terjual bahkan hasil penjualan harta warisan tersebut sedikitpun tidak ada lagi yang tersisa sehingga kehidupan Amani Sudung sangat menderita. Karena kondisi ekonomi yang sangat sulit, kedua anak Amani Sudung berhenti kuliah dan sekolah. Setiap hari, mereka memakan makanan yang sangat jauh dari kriteria empat sehat lima
Universitas Sumatera Utara
sempurna bahkan mereka sering makan tanpa lauk pauk. Untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Sinta sering berhutang ke warung. Semakin hari, hutang tersebut pun semakin banyak. Meskipun keadaan kehidupan mereka sudah sangat susah, Amani Sudung tidak juga bertobat dan berubah. Dia tetap saja sering mabuk dan bermain judi, sehingga hutang semakin hari semakin bertambah. Karena hutang yang tak kunjung dibayar, pemilik warung dan para pemberi pinjaman memaksa Amani Sudung untuk segera melunasi hutang-hutangnya. Kebiasaan buruk Amani Sudung menjadikan dia menjadi seorang yang haus akan uang. Dia selalu berusaha memperoleh uang untuk memuaskan hasratnya untuk mabuk dan bermain judi, bahkan dia memaksa abangnya untuk menjual tanah warisan almarhum ayah mereka dan membagi hasil penjualan tersebut, padahal dia mengetahui dengan jelas bahwa almarhum ayah mereka melarang mereka menjual tanah itu. Mendengar penjelasan ayah mereka, Sudung dan Sinta meminta agar Amani Sudung tidak lagi mabuk, bermain judi dan mau berubah. Mereka juga meminta agar ayah mereka kembali rukun dan berkomunikasi dengan amangtua mereka, Amani Uli. Amani Sudung selalu menyalahkan abangnya. Amani Sudung sangat membenci abangnya Amani Uli. Dia memarahi kedua anaknya karena Amani Sudung merasa anak-anaknya selalu membela abangnya. Kemudian, Sinta menjelaskan bahwa memang benar amangtua mereka memang sungguh mengasihi mereka dan semua kondisi yang terjadi pada keluarga mereka adalah karena kebiasaan ayahnya yang sering mabuk dan berjudi. Sinta mengatakan mereka bingung mengapa ayah mereka tidak kunjung bertobat dan berubah padahal kondisi mereka sudah sangat susah sampai abangnya Sudung harus berhenti kuliah. Merasa disudutkan dan dipersalahkan, Amani Sudung tidak
Universitas Sumatera Utara
terima dan marah kepada kedua anaknya. Sudung sebagai seorang anak sulung di keluarga merasa bertanggungjawab terhadap adiknya Sinta dan berencana untuk memperbaiki keadaan keluarga mereka. Sudung menemui kekasihnya Meri. Dia memberitahukan Meri mengenai rencananya ingin merantau. Namun, Meri meminta Sudung untuk mempertimbangkan rencananya itu kembali dengan mengatakan ‘Umurhu nga 24 taon da bang. Ndang adong be na hu paima... ... ba pikkiri abang ma bagas sude na i.’ Analisis Makna Ujaran Lisan dan Subtitle Pada saat Meri mengungkapkan ujaran ‘.. ba pikkiri abang ma bagas sude na i.’ Dari makna ujaran tersebut, hubungan Meri dan Sudung dapat dirumuskan sebagai {+D, –P, +R}. Hubungan antara mereka dinilai memiliki skala {+D} karena umur penutur jauh lebih muda dari petutur, ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘abang’, yang memiliki arti ‘abang’. Hubungan antara mereka dinilai memiliki skala {–P} karena penutur mengungkapkan makna ujaran dengan tujuan mengutamakan kebebasan penutur untuk bergerak dan tidak dihalanghalangi pada saat mengujarkan tuturan tersebut. Meri tidak ingin memaksakan kehendaknya agar Sudung tidak pergi. Tetapi Meri justru meminta Sudung untuk mempertimbangkan rencananya kembali. Hubungan antara mereka dinilai memiliki skala {+R} karena hubungan antara penutur dan mitra tutur dekat yaitu antara kekasih. Dari rumusan hubungan tersebut, diketahui bahwa penutur memilih strategi kesantunan negatif. Pada TSa, ‘.. ba pikkiri abang ma bagas sude na i.’ diterjemahkan menjadi ‘yah, abang pikirkanlah semua itu.’ Dari makna ujaran tersebut, penerjemah mengubah hubungan Meri dan Sudung yang dirumuskan sebagai {+D, +P, +R}. Hubungan antara mereka dinilai memiliki
Universitas Sumatera Utara
skala {+D} karena umur penutur jauh lebih tua dari petutur, ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘abang’. Hubungan antara mereka dinilai memiliki skala {+P} karena penutur mengungkapkan frasa ‘pikirkanlah semua itu’ yang mengandung ekspresi makna penutur memaksa petutur untuk memikirkan rencananya kembali. Hubungan antara mereka dinilai memiliki skala {+R} karena hubungan antara penutur dan mitra tutur dekat yaitu antara kekasih. Pada TSu, makna ujaran yang diungkapkan penutur menunjukkan strategi untuk mengutamakan kebebasan penutur untuk bergerak dan tidak dihalang-halangi namun makna tersebut tidak terkandung pada TSa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerjemah gagal menerjemahkan strategi kesantunan negatif yang digunakan penutur pada TSu ke dalam TSa. Revisi Subtitle Revisi subtitle yang disarankan terhadap kegagalan pengalihan kesantunan negatif tersebut adalah dengan mengubah ‘...yah, abang pikirkanlah semua itu.’ menjadi ‘...aku berharap abang mau mempertimbangkan hal itu.’, sebagai berikut: Penutur dan Petutur
Sudung
Meri
TSu (ujaran lisan bahasa Batak Toba) Lam lungun do rohangku mambege hatami adek. Alai boha ma bahenon ku mangalehonho mangan, molo karejokku pe ndang adong na tontu. Umurhu nga 24 taon da bang. Ndang adong be na hu paima... ... ba pikkiri abang ma bagas sude na i.
TSa (subtitle bahasa Indonesia) Semakin sedih aku mendengar ucapanmu itu, dik. Tetapi bagaimanalah aku memberi kau makan, pekerjaanku saja tidak menentu. Umurku sudah 24 tahun, bang. Tidak ada lagi yang perlu kutunggu... ...aku berharap abang mau mempertimbangkan hal itu.
Universitas Sumatera Utara
Dari contoh di atas, masalah memadai atau tidaknya kualitas terjemahan memang bukan hal yang mudah, terutama dalam hal perpadanan antara TSu dan TSa. Menurut Hoed (2006:51), kualitas terjemahan yang memadai dapat dilihat dari dua dimensi ‘untuk siapa’ terjemahan itu dibuat, dan dimensi ‘untuk tujuan apa’ terjemahan itu dibuat. Tentu saja memadai atau tidaknya kualitas terjemahan akan dapat dilihat lebih jelas jika dilakukan perbandingan yang lebih mendalam. Banyak kajian penerjemahan yang telah membahas masalah perpadanan, teknik prosedur, ideologi penerjemahan yang dilakukan seorang penerjemah untuk mengalihkan pesan secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan penerjemahan dan sidang pembacanya (Hatim dan Mason, 1997:2). Namun, kajian mengenai kualitas terjemahan yang tidak memadai karena kegagalan pragmatik dalam terjemahan masih jarang dilakukan, secara khusus penelitian mengenai kualitas terjemahan yang tidak memadai karena kegagalan pragmatik pada subtitle belum pernah dilakukan. Berlandaskan pemaparan di atas, peneliti melakukan penelitian mengenai Kegagalan Pragmatik dalam Subtitle Tano Parsirangan. 1.7
Rumusan Masalah Penelitian
Masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat kegagalan pragmatik dalam subtitle Tano Parsirangan? 2. Kegagalan pragmalinguistik apa saja yang terdapat dalam subtitle Tano Parsirangan? 3. Kegagalan sosiopragmatik apa saja yang terdapat dalam subtitle Tano Parsirangan?
Universitas Sumatera Utara
1.8
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengidentifikasi kegagalan pragmatik dalam subtitle Tano Parsirangan. 2. mendeskripsikan kegagalan pragmalinguistik yang terdapat dalam subtitle Tano Parsirangan. 3. mendeskripsikan kegagalan sosiopragmatik yang terdapat dalam subtitle Tano Parsirangan. 1.9
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan hubungan antara
terjemahan dan pragmatik. Selama ini, belum banyak penelitian mengenai terjemahan dengan menggunakan ancangan pragmatik, terutama penelitian yang berfokus kepada kegagalan pragmatik dalam terjemahan. Hasil penelitian juga dapat menjadi referensi yang dapat memperkaya kajian terjemahan, khususnya subtitle. Selain itu, penelitian ini merupakan pembuktian kepada para dosen kajian terjemahan dan para praktisi terjemahan bahwa pemahaman mengenai tilikantilikan pragmatik perlu mendapatkan perhatian khusus dalam pengajaran teori terjemahan dan praktik terjemahan. 1.10
Klarifikasi Istilah
Bahasa Sasaran (BSa) bahasa yang menjadi tujuan penerjemahan. Bahasa sasaran dalam penelitian mengacu pada bahasa Indonesia. Bahasa Sumber (BSu) bahasa yang diterjemahkan. Bahasa sumber dalam penelitian mengacu pada bahasa Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
Kegagalan pragmalinguistik dalam terjemahan kegagalan penerjemah menyampaikan daya pragmatik (pragmatic force) yang dikaitkan dengan sebuah konstruksi kalimat teks sumber (TSu) ke dalam teks sasaran (TSa). Kegagalan pragmatik dalam terjemahan kegagalan penerjemah dalam mengartikan apa yang dimaksud penulis teks sumber (TSu) sehingga hasil terjemahannya (the effects) tidak sesuai dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahi ujaran tersebut. Kegagalan sosiopragmatik dalam terjemahan kegagalan menyampaikan kaidah-kaidah sosial, budaya dan interaksional teks sumber (TSu) ke dalam teks sasaran (TSa). Pragmalinguistik salah satu dari dua kutub ranah pragmatik yang lebih dekat dengan tata bahasa. Pragmatik sebuah
kajian
mengenai
kemampuan
pengguna
bahasa
untuk
menyesuaikan ujaran yang digunakan sesuai dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahi ujaran tersebut. Sosiopragmatik salah satu dari dua kutub ranah pragmatik yang lebih dekat dengan sosiologi atau sosial budaya.
Universitas Sumatera Utara
Subtitle suatu bentuk terjemahan teks dari dialog atau komentar
yang
menggunakan bahasa asing dalam film, program televisi, dan game, biasanya diletakan di bagian bawah layar. Teks Sasaran (TSa) Teks yang menjadi tujuan penerjemahan. Teks sasaran dalam penelitian mengacu pada subtitle berbahasa Indonesia yang terdapat dalam film berjudul Tano Parsirangan. Teks Sumber (TSu) teks yang diterjemahkan. Teks sumber dalam penelitian mengacu pada transkripsi ujaran lisan berbahasa Batak Toba yang terdapat dalam film berjudul Tano Parsirangan. Terjemahan suatu bentuk tindak komunikasi yang mengalihkan makna dan satuan makna teks sumber (TSu) ke dalam teks sasaran (TSa) dengan menggunakan padanan yang sesuai dengan sistem bahasa (linguistik) dan sistem sosial dari dua bahasa dan dua budaya yang berbeda agar hasil terjemahannya (the effects) dapat diterima pembaca (recipients).
Universitas Sumatera Utara