BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia terletak pada industri perbankan. Pengakuan secara yuridis formal mengenai eksistensi perbankan sudah berlangsung kurang lebih 45 tahun sejak dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan. Dalam mengikuti dinamika perkembangan perekonomian nasional dan internasional hingga kini terbitlah peraturan terbaru tentang perbankan yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsiderans huruf (b) dan huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan: “Bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi,termasuk perbankan; Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundangundangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan; Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan ini dinyatakan bahwa perbankan mempunyai fungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Selanjutnya fungsi perbankan tersebut dijabarkan lebih lanjut 1
2
dalam pengertian bank yaitu sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan fungsi dan pengertian bank yang demikian maka kehadiran bank di dalam masyarakat sebagai badan usaha memiliki arti yuridis dan peran yang sangat strategis dalam proses pembangunan nasional. Dalam arti yuridis, fungsi perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat merupakan esensi perjanjian yang meliputi dua hal yaitu menghimpun dana dari masyarakat, disebut sebagai perjanjian simpanan, dan menyalurkan dana ke masyarakat, disebut sebagai perjanjian kredit bank. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Pasal 8 ayat (2) huruf (a) diatur mengenai bentuk perjanjian kredit yang menyatakan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Secara yuridis formal ada dua jenis perjanjian kredit yang digunakan bank dalam memberikan kreditnya, yaitu : 1. Perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian kredit yang dibuat hanya diantara bank dengan nasabahnya (calon debitur) tanpa Notaris. 2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan atau dihadapan Notaris (notariil) atau akta otentik, artinya perjanjian kredit yang disiapkan dan dibuat oleh Notaris, namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian
3
kredit disiapkan oleh bank, kemudian Notaris merumuskan ke dalam akta notariil. Membicarakan perjanjian tidak terlepas dari KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selanjutnya dalam Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perjanjian menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal- pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu. 1 Dalam perjanjian kredit, para pihak yaitu pihak bank dan debitur meskipun diberikan kebebasan untuk menentukan isi perjanjian tetap harus memperhatikan ketentuan dalam KUH Perdata, Undang-Undang Perbankan serta peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan good corporate governance, bank dalam melakukan kegiatan usahanya diwajibkan untuk menerapkan manajemen risiko. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D. Hadad ada tiga
1
Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 14
4
risiko yang dihindari oleh bank. Pertama, risiko kredit macet. Kedua, risiko pasar, operasional dan likuiditas. Ketiga, risiko hukum. Untuk menghindari risiko hukum, perikatan antara bank dengan nasabah harus sesuai dengan aturan. Sementara itu mantan ketua umum Ikatan Notaris Indonesia (INI) Harun Kamil berpendapat bahwa dalam membuat perjanjian kredit, bank semestinya mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu PBI No. 8/13/PBI/2006 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum dan SK Dir BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 mengenai pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank umum. Tetapi dalam peraturan itu bank hanya diwajibkan untuk membuat perjanjian kredit secara tertulis. Dengan kata lain perjanjian boleh dilakukan di bawah tangan dan tidak harus otentik. 2 Menyadari bahwa aspek hukum merupakan hal yang sangat penting dalam melindungi bisnis bank, Bank Indonesia telah memasukkan risiko hukum sebagai bagian dari penilaian manajemen risiko bank. Menurut penjelasan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, yang dimaksud dengan risiko hukum adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.
2
http://www.hukumonline.com/printedoc/hol21085
5
Peranan akta otentik dalam pemberian kredit di bank sangat penting, karena mempunyai daya pembuktian kepada pihak ketiga, yang tidak dipunyai oleh akta di bawah tangan. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda tangannya tertera dalam akta di bawah tangan dapat mengingkari keaslian tanda tangan itu. PT. Bank Windu Kentjana International, Tbk ("Bank Windu") merupakan Bank Umum Swasta Nasional yang merupakan bank hasil penggabungan (merger) antara PT. Bank Multicor, Tbk dan PT. Bank Windu Kentjana pada tahun 2008. Sebagai lembaga yang bergerak pada sektor jasa keuangan, Bank Windu berkomitmen untuk melayani para nasabah, baik dalam rangka menghimpun dana maupun penyaluran dana, serta melayani berbagai jasa perbankan. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Windu selalu menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan senantiasa berupaya menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Dalam rangka menerapkan tata kelola perusahaan yang baik tersebut Bank Windu diwajibkan untuk menerapkan manajemen risiko, salah satu risiko yaitu risiko hukum perlu mendapatkan perhatian sehingga risiko hukum dapat diminimalisir, mengingat dalam praktek masih terdapat beberapa penyimpangan berkaitan dengan pelaksanaan pembacaan dan penandatanganan akta perjanjian kredit notariil. Beberapa penyimpangan yang dapat menimbulkan potensi risiko hukum tersebut antara lain: pelaksanaan pembacaan dan penandatanganan akta perjanjian kredit notariil yang dilakukan di kantor bank yang seharusnya
6
menurut ketentuan Pasal 3 ayat (14) Kode Etik Notaris hal tersebut dilakukan di kantor Notaris, pada umumnya Notaris yang datang ke kantor bank untuk melakukan pembacaan dan penandatanganan akta perjanjian kredit hanya membawa satu orang saksi dimana hal tersebut menyimpang dari ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf (m) dan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Revisi UUJN) yang mengatur mengenai kehadiran paling sedikit oleh dua orang saksi dalam setiap pembacaan akta, kadang kala pembacaan dan penandatangan akta perjanjian kredit notariil tidak dihadiri oleh salah satu pihak yaitu Pimpinan Cabang yang bertindak mewakili bank. Berdasarkan uraian dan permasalahan diatas dan ketentuan-ketentuan yang ada, maka penulis tertarik untuk menyusun tesis dengan judul : “AKTA NOTARIIL DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN (PELAKSANAAN PERJANJIAN
PEMBACAAN
KREDIT
DI
PT.
DAN BANK
PENANDATANGANAN WINDU
KENTJANA
INTERNATIONAL, Tbk KANTOR CABANG YOGYAKARTA)” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut : 1. Apakah akta perjanjian kredit notariil yang dibuat antara PT. Bank Windu Kentjana International, Tbk Kantor Cabang Yogyakarta dengan debitur sah secara yuridis dalam hal terjadi penyimpangan pada saat pembacaan dan penandatanganan akta notariil?
7
2. Bagaimana implikasi yuridis terhadap akta perjanjian kredit notariil yang dibuat antara PT. Bank Windu Kentjana International, Tbk Kantor Cabang Yogyakarta dengan debitur dalam hal terjadi penyimpangan pada saat pembacaan dan penandatangan akta notariil? C. Keaslian Penelitian Penulisan tesis tentang akta notariil dalam perjanjian kredit perbankan, bagaimana keabsahan dari akta perjanjian kredit notariil yang dibuat antara PT. Bank Windu Kentjana International, Tbk Kantor Cabang Yogyakarta dengan debitur dalam hal terjadi penyimpangan pada saat pembacaan dan penandatanganan akta notariil serta bagaimana implikasi yuridis dari akta perjanjian kredit notariil tersebut akan menjadi prioritas masalah yang akan diteliti dan diuraikan dalam penelitian ini. Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan pada perpustakaan bahwa penulisan tentang akta notariil dalam perjanjian kredit perbankan khususnya tentang pelaksanaan pembacaan dan penandatanganan akta perjanjian kredit di PT. Bank Windu Kentjana, Tbk Kantor Cabang Yogyakarta belum pernah ditulis oleh penulis lain. Namun demikian ada beberapa penulisan tesis yang hampir sama tetapi dengan permasalahan yang berlainan serta tempat penelitian yang berbeda antara lain tesis yang disusun oleh: 1. Usman, dengan judul: Analisis Hukum Penyimpangan Pembacaan Dan Penandatanganan Akta Notaris
8
2. Hendra Ardiansyah, dengan judul: Peranan Notaris Dalam Mewujudkan Prinsip Kehati-Hatian Pada Perjanjian Kredit Perbankan Di Kota Makasar Keaslian
penelitian
yang
dilakukan
oleh
peneliti
dapat
dipertanggungjawabkan, namun demikian seandainya pernah dilakukan penelitian yang menitik beratkan pada pelaksanaan pembacaan dan penandatanganan akta perjanjian kredit di PT. Bank Windu Kentjana, Tbk, maka penulis mengharapkan penelitian ini adalah melengkapi. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami keabsahan akta perjanjian kredit notariil yang dibuat antara PT. Bank Windu Kentjana International, Tbk Kantor Cabang Yogyakarta dan debitur dalam hal terjadi penyimpangan pada saat pembacaan dan penandatanganan akta notariil. 2. Untuk mengetahui dan memahami implikasi yuridis dari akta perjanjian kredit notariil yang dibuat antara PT. Bank Windu Kentjana International, Tbk Kantor Cabang Yogyakarta dan debitur dalam hal terjadi penyimpangan pada saat pembacaan dan penandatanganan akta notariil. E. Kegunaan Penelitian Penulisan tesis ini diharapkan akan memiliki kegunaan sebagai berikut : 1.
Secara praktis, hasil penulisan tesis ini dapat menjadi masukan bagi semua pihak yang terkait khususnya bagi pihak Notaris dan pihak bank dalam
9
memahami implikasi yuridis dari penyimpangan pembacaan dan penandatanganan akta perjanjian kredit notariil. 2.
Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan mampu memberikan informasi serta memberikan kontribusi pemikiran yang berguna dan bermanfaat perbankan.
bagi
perkembangan
ilmu
hukum,
khususnya
hukum