BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tingkat perkembangan penduduk di Indonesia khususnya di Pulau Jawa terus meningkat dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 9941 jiwa/km2 (BPS, 2010) selalu dihadapkan pada berbagai permasalahan diantaranya tingkat pendapatan yang rendah serta masalah dalam pemanfaatan lahan. Menurut Awang (2000) Sekitar 2,9 juta ha luas daratan pulau jawa berupa hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa hutan yang dihuni 3 juta jiwa. Kondisi tersebut menyebabkan kepemilikan lahan petani desa hutan sempit bahkan terdapat petani desa hutan yang tidak memiliki lahan. Kebutuhan pokok masyarakat desa hutan berupa pangan diharapkan dari bercocok tanam. Desakan Kebutuhan hidup ini menimbulkan efek negatif terhadap keamanan hutan dalam bentuk pencurian dan penyerobotan lahan. Perhutani melalui SK Ketua Dewan pengawas PT.Perhutani (persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 mencanangkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat atau PHBM sebagai bentuk Perhutanan Sosial (Social Forestry) yang kemudian diperbarui S.K. Direksi No.268/Kpts/Dir/2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM PLUS), kemudian diperbarui S.K. No.682/Kpts/Dir/2009 tentang Pedoman PHBM dan yang terakhir diperbarui dengan S.K. No.436/Kpts/Dir/2011
1
Tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. Salah satu tujuan adanya program PHBM ini adalah mengintegrasikan kelestarian fungsi hutan dengan kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk implementasi PHBM adalah diperbolehkannya masyarakat untuk menanami tanaman pertanian dibawah tegakan hutan. Salah satu program PHBM yang telah dilaksanakan di RPH Leksono, KPH kedu Utara adalah Pemanfaatan Lahan di Bawah Tegakan (PLDT) dengan jenis tanaman salak. Program PLDT salak di RPH Leksono ini dimulai sejak tahun 2003. Program PLDT salak merupakan salah satu program PHBM yang telah menjadi kesepakatan masyarakat dan Perhutani. Salak yang di tanam oleh masyarakat di bawah tegakan dapat tumbuh dengan baik dan mampu berbuah di bawah tegakan pinus dan hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para petani pada beberapa LMDH di RPH Leksono. Pola lahan campur atau agroforestry diperoleh dari adanya program PLDT di RPH Leksono yaitu percampuran antara Pinus merkusii dan Salacca edulis. Dengan jiwa dan prinsip dalam PHBM yaitu kesediaan perusahaan, masyarakat desa hutan/petani dan pihak yang berkepentingan untuk berbagi dalam PHBM. Maka pola lahan campur yang berada di RPH Lekosono akan menerapkan jiwa dan prinsip PHBM yaitu bagi hasil. Bagi hasil yang dijalankan berupa bagi hasil peran dan bagi hasil perolehan keuntungan dari adanya agroforestry.. Menurut S.K. Direksi Perum Perhutani Nomor : 436 / Kpts / Dir /2011 Tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu pasal 5 Proporsi Hak Lembaga
2
Masyarakat Desa Hutan terhadap hasil hutan kayu yang perjanjian kerjasamanya dilakukan pada kondisi hutan berupa tanah kosong maupun tegakan adalah 100% (seratus persen) dari hasil tebangan penjarangan pertama yang berupa kayu bakar sebesar-besar 25% (dua puluh lima persen) dari setiap hasil tebangan penjarangan lanjutan dan dari hasil tebang habis. Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa penentuan bagi hasil secara general diperlakukan di semua KPH tanpa melihat jenis pengelolaan lahan yang diberlakukan. Program PLDT salak di RPH Leksono juga mensyaratkan bagi hasil dengan besar bagi hasil kepada Perhutani sebesar Rp 1300/tanaman salak. B. Rumusan Masalah Pola tanam campur / agroforestry yang dilaksanakan di RPH Leksono yaitu antara tanaman pinus dan tanaman salak. Pola agroforestry ini dijalankan dengan dengan jiwa dan prinsip PHBM yaitu berbagi peran pengelolaan maupun berbagi perolehan keuntungan. Maka baik pengelolaan hutan pinus maupun usaha tani salak yang dijalankan di RPH Leksono akan terkena bagi hasil keuntungan. Besar bagi hasil pengelolaan hutan pinus ditetapkan sebesar 25 % untuk masyarakat, 75% untuk Perhutani dan juga besar bagi hasil dari usaha tani salak masyarakat yaitu Rp 1.300/tanaman salak kepada Perhutani. Bagi hasil tersebut ditetapkan Perhutani tanpa dasar perhitungan yang jelas. Maka seharusnya besar bagi hasil dihitung berdasarkan kontribusi Perhutani dan masyarakat pada masing-masing
3
komoditi agar tercipta keadilan di antara kedua pihak. Dari rumusan masalah tersebut dapat ditarik pernyataan : 1. Bagaimana besar bagi hasil yang harusnya diperoleh masing-masing pihak baik Perhutani yang menjalankan pengelolaan hutan pinus maupun petani yang menjalankan usaha tani salak berdasarkan kontribusi yang diberikan pada pola lahan campur tersebut. 2. Bagaimana Kelayakan finansial pengelolaan hutan pinus dan usaha tani salak yang dijalankan melalui bagi hasil berdasarkan nilai kontribusi pihak dengan parameter NPV, BCR dan IRR.
C. Tujuan 1. Menghitung besar input share Perhutani dan petani pada pengelolaan hutan pinus Perhutani dan usaha tani salak petani 2. Membandingkan besar profit sharing yang diperoleh Perhutani maupun pesangggem berdasarkan input share dan berdasar ketentuan Perhutani pada pengelolaan hutan pinus maupun usaha tani salak 3. Mengevaluasi kelayakan finansial pengelolaan hutan pinus dan usaha tani salak yang dijalankan melalui bagi hasil berdasarkan nilai kontribusi masing-masing pihak dengan parameter NPV, BCR, dan IRR
4
D. Manfaat Penelitian
Sebagai landasan pengambilan keputusan Perhutani dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat yaitu tentang aturan bagi hasil.
Sebagai gambaran tentang program PHBM yang berjalan pada daerah penelitian dan tingkat hasil usaha tani salak dibawah tegakan pinus yang berlangsung.
5