1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan kesehatan di zaman modern semakin hari semakin beragam. Berbagai jenis faktor seperti lingkungan, situasi dan kondisi saat ini sangat berpengaruh bagi mudahnya berbagai penyakit berbahaya mengintai. Suatu penyakit dapat menyerang siapa saja, baik laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak sekalipun. Setiap orangtua mendambakan memiliki anak-anak yang sehat baik secara fisik dan psikis, mampu melewati tahapan perkembangan yang normal, bermain, dan menikmati setiap alur kehidupan yang lazimnya dijalani oleh anak-anak lainnya tetapi tidak semua orangtua dikaruniakan anak yang sehat, beberapa diantaranya merupakan penyakitpenyakit yang serius, seperti penyakit kelainan darah Thalassemia (Kusumawardani, 2010). National Academy of Sciences, terdapat lebih dari 100.000 bayi diseluruh dunia yang lahir dengan keadaan dan kondisi yang berat dari Thalassemia seperti, kulit pucat kekuningan, muka Thalassemia dan sebagainya (Cooley’s Anemia Foundation, 2011). Di Indonesia, diperkirakan jumlah pembawa sifat Talasemia sekitar 5-6 persen dari jumlah populasi (Tamam, 2013). Sebagian besar orangtua yang mempunyai anak penderita Thalassemia merasakan beban yang berat baik beban moral maupun material. Hal ini disebabkan selain harus terus memonitor tumbuh kembang si anak, biaya
1
2
yang dibutuhkan untuk transfusi darah juga tergolong mahal. Selain biaya yang menjadi masalah, yang menjadi persoalan lainnya adalah penyakit ini adalah penyakit yang diidap seumur hidup, artinya penyakit ini merupakan penyakit yang tidak dapat sembuh. Tindakan medis yang dilakukan selama ini bukan menyembuhkan akan tetapi sebagai supportif dan bersifat sementara untuk mempertahankan hidup (Lanni, 2010). Menurut Boyse (2011), anak dengan Thalassemia akan hidup dengan ketergantungan pada keluarga, teman dan lingkungan akibat dari keterbatasan dan ketidakmampuan sebagai respon dari rasa sakit dan trauma. Penyakit Thalassemia akan menimbulkan stress pada anak dan keluarga. Banyak hal yang mempengaruhi kondisi kesehatan dan psikologis anak-anak yang menderita penyakit kronis. Terkadang anak akan merasa bersalah kepada keluarga, namun di satu sisi anak akan menuntut perhatian lebih karena merasa tidak berdaya. Perasaan bersaing dengan saudara sekandung dapat memperburuk kesehatan anak karena merasa tidak berguna dan tidak diperlukan dibandingkan dengan saudara yang sehat. Oleh karena itu, peran serta seluruh anggota keluarga sangat diperlukan dalam perawatan anak yang menderita penyakit kronis. Keluarga telah lama diketahui sebagai sumber utama pola perilaku sehat. Banyak studi yang telah menguji peran keluarga dalam berbagai perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, seperti aktivitas fisik, pola-pola nutrisi, dan penggunaan substansi, dimana masing-masing perilaku tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan dan pemeliharaan penyakit kronis
3
sangat membutuhkan perhatian yang serius, komitmen dan perjuangan yang berat bagi anggota keluarga untuk merawatnya. Tidak semua anggota keluarga dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan cepat. Keluarga mungkin akan merasa bersalah, marah, lelah dan stress menghadapi kondisi tersebut. Oleh karena itu, penyakit kronis yang diderita anak juga memberi dampak pada kehidupan keluarga dalam hal psikologis, ekonomi, emosi dan sosial sehingga membutuhkan penyesuaian (Musatto, 2012). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Bangsal Melati RSUD Kebumen bulan Februati 2014, tercatat jumlah pasien Thalassemia yang melakukan transfusi darah rutin tiap bulan sejumlah 25 pasien. Hasil wawancara kepada keluarga pasien tentang respon keluarga terhadap pasien Thalassemia terlihat kepasrahan terhadap kondisi yang dialami anak seperti hasil komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap salah satu keluarga pasien Thalassemia. : “Ya... mungkin ini memang kehendak Tuhan saya memiliki anak yang menderita kelainan darah. Yang penting sekarang adalah bagaimana anak ini bisa tetap sehat. Saya sebenarnya juga ga kuat liat dia di jarum seperti itu, saya aja ga sanggup untuk disuntik, sekarang anak sekecil itu harus ngerasain jarum setiap bulan... saya sih berusaha kuat” (Komunikasi Personal, Februari 2014). Pemaparan tersebut menunjukkan bagaimana kepasrahan yang ditunjukkan keluarga ketika mendampingi anaknya menjalani rutinitas perjalanan medis, perawatan Thalassemia. Berdasarkan fenomena tersebut,
4
peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Respon keluarga terhadap pasien Thalassemia di Bangsal Melati RSUD Kebumen”
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana respon keluarga terhadap pasien Thalassemia di Bangsal Melati RSUD Kebumen?”
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Mengetahui respon keluarga terhadap pasien Thalassemia di Bangsal Melati RSUD Kebumen.
2.
Tujuan Khusus a.
Menjelaskan perasaan keluarga saat anak dinyatakan oleh petugas kesehatan mengalami thalasemia di Bangsal Melati RSUD Kebumen.
b.
Menjelaskan Proses Pengobatan Yang Sudah Dilakukan Terhadap Anak Thalasemia di Bangsal Melati RSUD Kebumen.
c.
Menjelaskan dukungan yang diberikan keluarga kepada anak thalasemia di Bangsal Melati RSUD Kebumen.
d.
Menjelaskan dampak penyakit thalasemia terhadap keluarga di Bangsal Melati RSUD Kebumen.
5
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain. 1. Pendidikan Keperawatan Penelitin ini diharapkan menjadi sumber informasi dalam ilmu keperawatan khususnya bidang keperawatan keluarga tentang respon keluarga terhadap pasien Thalassemia 2. Praktik Pelayanan Keperawatan Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan menjadi sumber pengetahuan dan strategi bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang lebih komprehensif pada keluarga yang memilki anak dengan Thalassemia. 3. Penelitian Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang berharga bagi peneliti selanjutnya, dan sebagai data tambahan untuk memperkaya pengetahuan khususnya mengenai asuhan keperawatan keluarga dengan anak yang menderita penyakit Thalassemia.
E. Keaslian Penelitian 1.
Penelitian oleh Wahyuni (2011) dengan judul “Perbandingan Kualitas Hidup Anak Penderita Talasemia dengan Saudara Penderita Talasemia yang Normal di RSUP Haji Adam Malik Medan”. Tujuan penelitian ini guna menilai perbedaan kualitas hidup anak penderita Talasemia dibanding saudara penderita Talasemia yang normal. Metode penelitian
6
menggunakan studi cross sectional Besar sampel pada kelompok anak penderita Talasemia dan saudaranya yang normal masing-masing 59 anak, dibagi menjadi dua kelompok yakni: kelompok kasus dan kontrol. Kedua kelompok tersebut dan orangtua akan diminta mengisi kuisioner PedsQL versi 4.0. Lembaran kuisioner yang telah diisi akan dinilai dan dilakukan penilaian kualitas hidup. Hasil penilaian kualitas hidup yang diperoleh menunjukkan perbedaan yang bermakna antara anak penderita Talasemia dengan saudaranya yang normal dimana kualitas hidup anak penderita Talasemia terbukti lebih rendah dibanding saudaranya yang normal. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada sasaran penelitian yaitu penderita thalasemia sedangkan perbedaannya pada tempat, waktu penelitian dan metode penelitian yang menggunakan kualitatif. 2.
Penelitian oleh Zaki (2012) dengan judul “Karakteristik Pasien Thalassemia Rawat Inap di RSUP H Adam Malik Medan dari Tahun 2009 sampai 2010”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita Thalassemia berupa sosiodemografi, gejala yang timbul serta terapi yang diberikan kepada penderita Thalassemia. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan data dilakukan dari rekam medis penderita Thalassemia yang dirawat inap dari tahun 2009 hingga 2010 di RSUP H Adam Malik, Medan. Jumlah sampel yang diambil sebesar 60 orang dari 160 penderita. Hasil: Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh sosiodemografi penderita Thalassemia tertinggi pada kelompok umur 6-10
7
tahun (38.3%), jenis kelamin laki-laki (61.7%) dan berasal dari daerah luar Medan (65.0%). Keluhan utama adalah pucat (86.7%), kadar Hb pada kunjungan awal adalah 5-10 g/dL (63.3%), sebagian besar menderita Thalassemia β (82.0%), terapi utama adalah transfusi darah (48.3%) dan penerima darah hanya sebesar 46.3% mendapat iron chelation. Kesimpulan:
Karakteristik
penderita
Thalassemia
terbanyak
pada
kelompok umur 6-10 tahun, laki-laki, dari luar Medan, pucat, kadar Hb 510 g/dL, Thalassemia β, mendapat transfusi darah dan tidak disertai iron chelation. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada sasaran penelitian yaitu penderita thalasemia sedangkan perbedaannya pada tempat, waktu penelitian dan metode penelitian yang menggunakan kualitatif.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Keluarga a. Pengertian Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam peranannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan (Salvicion, G.B. dan Aracelis, M., 2009). b. Karakteristik Keluarga Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi dimana anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami isteri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara, dan saudari. Selain itu, keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri (Friedman, 2011).
8
9
c. Tipe Keluarga Menurut Sudiharto (2010), pembagian tipe keluarga tergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan. Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua yaitu: keluarga inti (nuckear family) dan keluarga besar (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. Sedangkan keluarga besar adalah keluarga inti ditambah keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah. Namun dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme menyebabkan definisi keluarga telah meluas. Pengelompokkan tipe keluarga berkembang menjadi 6 kelompok yaitu: keluarga bentukan kembali (dyadic family) yaitu keluarga baru yang terbentuk dari pasangan yang telah bercerai atau karena kehilangan pasangannya, orang tua tunggal (singgle parents family) dengan anaknya, ibu remaja dengan anak tanpa perkawinan (the unmarriage teenage mother), orang dewasa (laki-laki dan perempuan) yang tinggal sendiri tanpa menikah (the singgle adult living alone), keluarga dengan anak tanpa pernikahan, dan keluarga yang dibentuk oleh pasangan berjenis kelamin sama (gay or lesbian family).
10
d. Fungsi Keluarga Menurut Friedmann (2011) mengidentifikasi lima fungsi dasar keluarga, sebagai berikut : 1)
Fungsi Afektif Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psiko sosial. Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi afektif adalah : a) Saling mengasuh; cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling mendukung antar anggota keluarga, mendapatkan kasih sayang dan
dukungan dari anggota yang lain Saling
menghargai; Bila anggota saling menghargai dan mengakui keberadaan dan setiap hak anggota keluarga serta selalu mempertahankan iklim yang positif, maka fungsi afektif akan tercapai. b) Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan sepakat memulai hidup baru. 2)
Fungsi Sosialisasi. Sosialisasi adalah proses pengembangan dan perubahan yang dilalu individu, yang menghasilkan interaksi social. Sosialisasi dimulai sejak manusia lahir. Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi, misalnya anak yang
11
baru lahir dia akan menatap ayah,ibu, dan orang – orang yang disekitarnya. Kemudian beranjak balita dia mulai belajar bersosialisasi dengan lingkungan sekitar meskipun demikian keluarga tetap berperan penting dalam bersosialisasi. 3)
Fungsi Reproduksi Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber daya manusia. Maka dengan ikatan suatu perkawinan yang sah, selain untuk memenuhi kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk membentuk keluarga adalah untuk meneruskan keturunan.
4)
Fungsi Ekonomi Fungsi
ekonomi
merupakan
fungsi
keluarga
untuk
memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Banyak pasangan sekarang kita lihat dengan penghasilan yang tidak seimbang antara suami dan istri hal ini menjadikan permasalahan yang berujung pada perceraian. 5)
Fungsi Perawatan Kesehatan Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan, dan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan
12
mempengaruhi status kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan. e. Keluarga Sebagai Unit Pelayanan Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan. Penyakit pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh keluarga tersebut. Peranan dari anggota-anggota keluarga akan mengalami perubahan, bila salah satu anggota keluarga menderita sakit. Di lain pihak status kesehatan dari pasien juga sebagian akan ditentukan oleh kondisi keluarga. Di saat ada anggota keluarga yang sakit, maka peran anggota keluarga yang lain menjadi lebih utama dibandingkan sekedar pemberi perawatan. Alokasi peran keluarga bisa diterima dan tidak terlalu membebani anggota keluarga yang lain, sehingga fungsi keluarga yang diperlukan bisa dipenuhi (Friedman, 2011). Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu (Effendy, Nasrul, 2010). f. Tugas Kesehatan Keluarga Menurut
Sudiharto
(2010),
keluarga
memiliki
polanya
tersendiri dalam membina hubungan dengan anggota keluarga, antara lain: pola komunikasi, mengambil keputusan, sikap dan nilai dalam
13
keluarga serta kebudayaan, dan gaya hidup. Kemandirian anggota keluarga sangat bergantung pada pola-pola yang diaktualisasikan keluarga, tingkat maturitas dan perkembangan individu, pendidikan, kesehatan dan budaya komunikasi setempat. Pola-pola tersebut juga mempengaruhi kemampuan keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga. Setiap keluarga memiliki cara yang unik dalam melaksanakan tugas kesehatan keluarga khususnya dalam menyelesaikan masalah kesehatan anggota keluarga. Keluarga memiliki budaya yang unik yang diaktualisasikan dalam mengatasi permasalahan kesehatan walaupun memiliki garis keturunan yang sama. Masih ada budaya yang dipertahankan keluarga untuk masalah kesehatan keluarga, meskipun telah ratusan tahun berselang (Sudiharto, 2010). Ada lima tugas kesehatan keluarga yaitu: mengenal gangguan perkembangan
kesehatan
setiap
anggota
keluarga,
mengambil
keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat, memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit (yang tidak dapat membantu diri karena cacat atau usianya terlalu muda), memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga, dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga. Kelima hal diatas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan anggotanya, bahwa peran dari keluarga dalam menyelesaikan masalah kesehatan sangat penting bagi
14
setiap aspek perawatan kesehatan anggota keluarga secara individu, mulai dari strategi-strategi hingga rehabilitasi (Friedman, 2011). 2. Thalassemia a. Pengertian Thalassemia Thalassemia berasal dari bahasa Yunani yaitu Talasa yang artinya Laut dan Emia yang artinya terkait dengan darah dan dalam sejarahnya banyak ditemukan di daerah Mediterania (Yaish, 2010). Menurut hukum Mendel (dalam Latief dkk, 2011) Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya. Menurut Rizkiani (2009) menyebutkan Thalassemia merupakan penyakit dimana sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari), sehingga penderita akan mengalami anemia. b. Penyebab Thalassemia Eleftheriou (2011) menjelaskan Thalassemia adalah sekelompok heterogen gangguan genetik di mana produksi hemoglobin normal adalah sebagian atau seluruhnya ditekan karena cacat sintesis dari satu atau lebih rantai globin. Eleftheriou juga menjelaskan tidak ada diagnosis Thalassemia pada anak yang lahir dengan Thalassemia menunjukkan tanda-tanda adanya penyakit ini. Thalassemia berkembang akibat adanya ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta yang diperlukan dalam pembentukan
15
hemoglobin dalam darah, yang disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Selain itu, Thalassemia disebabkan oleh sel-sel darah didalam tubuh yang yang tidak mengandung cukup Hemoglobin, kelainan hemoglobin ini disebabkan karena adanya perubahan pada salah satu bagian gen hemoglobin (Kusumawardani, 2010). c. Jenis- Jenis Thalassemia Menurut Kusumawardani (2010), thalassemia terbagi menjadi dua jenis besar yaitu thalassemia-alpha (α) dan thalassemia-beta (β). 1) Thalassemia-alpha (α) Thalassemia α terdapat empat genes (pembawa sifat) yang mengontrol
produksi
dari
globin-alpha.
Ada
5
hal
yang
menunjukkan tahapan Thalassemia-alpha menuju tingkat yang parah, yaitu: a) Silent Carrier b) Alpha-Thalassemia minor c) Penyakit Hemoglobin H d) Munculnya Hemoglobin H-Constant e) Alpha Thalassemia major. 2) Thalassemia-beta (β) Thalassemia β adalah jenis Thalassemia yang paling sering ditemukan di Indonesia. Ada 3 tahapan yang membentuk Thalassemia-beta menjadi Thalassemia-beta mayor, yaitu: a) Thalassemia Minor
16
b) Thalassemia Intermedia c) Thalassemia Major. Bentuk dari Thalassemia ini lebih heterogen dibandingkan dengan Thalassemia alpha. Thalassemia ini memberikan bentuk klinis yang khas seperti anemia berat, gangguan pertumbuhan, anoreksia, muka Thalassemia, serta hepar dan limpa yang membesar. Pada keadaan yang lebih lanjut, dapat ditemukannya bentuk lain seperti kelainan tulang, fraktura dan warna kulit yang kelabu yang disebabkan karena penimbunan zat besi dalam tubuh. Anak dengan kelainan ini biasanya meninggal pada usia muda sebelum dewasa disebabkan oleh gagal jantung dan infeksi. d. Dampak Thalassemia Mayor bagi Perkembangan Anak Eleftheriou
(2011) menjelaskan bahwa
beberapa
penderita
Thalassemia mengalami beberapa masalah baik secara psikis maupun fisik. Dampak psikis yang dialami bisa berupa depresi, kegelisahan, kecemasan, ketakutan baik ketakutan akan kematian, ketakutan akan rasa sakit, merasa terisolasi, mistrust, helplessness, grief, dan sebagainya. Sedangkan dampak fisik yang dapat dirasakan bisa berupa lemas, lesu, mudah lelah, memiliki pantangan makananmakanan yang berlemak, sesak, dan sebagainya. Dampak Psikososial yang diderita anak adalah kemungkinan untuk putus sekolah lebih besar, karena kesulitan untuk berada di lingkungan yang aktifitas
17
fisiknya lebih besar, tidak memiliki teman akrab, merasa terisolasi, dan sebagainya. 3. Respon Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis (Thalassemia) Setiap orang dengan penyakit kronis tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan keluarga dan budaya yang unik/spesifik, juga dengan berbagai variasi kebutuhan, ketakutan, perhatian, dan harapan yang berbeda-beda. Setiap kasus mempunyai permasalahan yang berbeda, akibat dari adanya perbedaan latar belakang budaya, agama, ataupun etnik, juga system penanggulangan kesehatan yang tidak sama dalam setiap keluarga (Widyawati, 2012) Setiap keluarga dengan atau tanpa anak yang menderita penyakit kronis selalu memiliki masalah yang biasanya muncul dalam keluarga. Masalah itu antara lain: financial, persaingan antara saudara sekandung, perhatian terhadap anak-anak, proses menjadi orangtua dan tekanan dalam pernikahan, kemampuan untuk mengatasi periode penting dalam perkembangan
anak,
dan
sekaligus
keluarga
dituntut
untuk
mempertahankan kehidupan sosialnya. Ketika anak menderita penyakit kronis, tugas dan tanggungjawab yang secara normal dihadapi keluarga akan bertambah dan kemungkinan akan menyulitkan anggota keluarga untuk menghadapinya dengan normal. Oleh karena adanya perubahan kondisi, maka keluarga sebagai manusia, harus mampu menyesuaikan diri
18
dengan kehidupan yang berubah ubah dalam keluarganya sebagaimana interaksi antara jasmani, rohani dan lingkungannya (Sunaryo, 2010). Penyakit kronis tidak hanya merupakan masalah medis atau biologis semata, namun juga mempunyai dampak psikososial yang dalam bagi anak dengan penyakit kronis maupun keluarganya. Masalah psikososial ini harus ditangani dengan hati-hati. Sebaiknya keluarga tidak hanya memperhatikan pengaruh anak dengan kondisi kesehatan kronis dari masalah fisiologisnya saja ataupun pencegahan timbulnya disabilitas fisik, tetapi juga diharapkan mempunyai perhatian pada berbagai gangguan alam perasaannya, rasa tidak amannya, rasa terisolasi dan masalah keluarga terdekatnya. Mengontrol masalah kesehatan fisik dan keadaan yang mengancam jiwa anak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan seorang anak, namun anak juga berhak menjalani kehidupan yang manis dan menyenangkan layaknya anak-anak lain seusianya. Kini kita mengetahui semakin banyak data yang menunjukkan bahwa faktor-faktor psikologis tidak hanya mempunyai efek pada kualitas hidup seseorang tetapi juga dapat mempengaruhi berbagai fungsi biologisnya (Widyawati, 2012). Apabila seseorang mengalami hambatan atau kesulitan dalam beradaptasi, baik berupa tekanan, perubahan, maupun ketegangan emosi dapat menimbulkan stress (Sunaryo, 2010). Demikian juga halnya dengan keluarga dari anak yang menderita sakit kronis. Mereka sangat beresiko pada keadaan yang memberatkan emosi dan ketidakmampuan dalam
19
penyesuaian diri yang sangat penting dalam merawat anak dengan kondisi penyakit kronis (Farmer, 2012). Timbulnya suatu penyakit yang kronis dalam suatu keluarga memberikan tekanan pada sistem keluarga tersebut dan menuntut adanya penyesuaian antara si penderita sakit dan anggota keluarga yang lain. Penderita sakit ini sering kali harus mengalami hilangnya otonomi diri, peningkatan kerentanan terhadap sakit, beban karena harus berobat dalam jangka waktu lama. Sedangkan anggota keluarga yang lain juga mengalami ”hilangnya” orang yang mereka kenal sebelum menderita sakit (berbeda dengan kondisi sekarang setelah orang tersebut sakit), dan kini (biasanya) mereka mempunyai tanggungjawab pengasuhan (Widyawati, 2012). Banyak stressor yang mempengaruhi peningkatan resiko stress dan depresi pada keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis. Adanya perasaan bingung karena ketidakpastian kondisi sakit dan hasil pengobatan, konflik sehari-hari dengan peraturan medis, isolasi sosial, aturan-aturan yang membatasi, dan tekanan financial adalah stressor yang selalu dijumpai (King, 2011). Hal ini akan menambah beban psikologis pada anak dan keluarga, menurunkan kemampuan keluarga untuk meningkatkan kesehatan anak-anak, dan berdampak dalam mencari dan pemanfaatan pelayanan medis secara berlebihan (Farmer, 2012). Aldridge (2011) mengatakan bahwa penyakit yang kronis ini juga dapat berpengaruh pada stabilitas ekonomi keluaga, yang akan berdampak
20
pada kelanjutan pengobatan (misalnya putus obat, tidak teratur mendapatkan terapi), dan dapat menimbulkan masalah kejiwaan seperti rasa putus asa, cemas, depresi dan lain-lain. 4. Respon Psikologis Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis (Thalassemia) Menurut Maya (2011), ada beberapa respon emosional yang muncul pada pasien dan keluarga atas penyakit kronis yang diderita a. Penolakan (Denial) Merupakan reaksi yang umum terjadi pada penderita penyakit kronis seperti jantung, stroke dan kanker. Atas penyakit yang dideritanya ini, pasien akan memperlihatkan sikap seolah-olah penyakit yang diderita tidak terlalu berat (menolak untuk mengakui bahwa penyakit yang diderita sebenarnya berat) dan menyakini bahwa penyakit kronis ini akan segera sembuh dan hanya akan memberi efek jangka pendek (menolak untuk mengakui bahwa penyakit kronis ini belum tentu dapat disembuhkan secara total dan menolak untuk mengakui bahwa ada efek jangka panjang atas penyakit ini, misalnya perubahan body image). b. Cemas Setelah muncul diagnosa penyakit kronis, reaksi kecemasan merupakan sesuatu yang umum terjadi. Beberapa pasien merasa terkejut atas reaksi dan perubahan yang terjadi pada dirinya bahkan membayangkan kematian yang akan terjadi padanya.
21
c. Depresi Depresi juga merupakan reaksi yang umum terjadi pada penderita penyakit kronis. Untuk dapat memahami respon yang terjadi atas perubahan yang ada pada penderita penyakit kronis, perlu pemahaman yang mendalam tentang diri individu (self) itu sendiri. Self merupakan salah satu konsep utama dalam ilmu psikologi. Para psikolog mengacu pada self concept sebagai keyakinan atas kualitas dan penilaian yang dimiliki seseorang. Penyakit kronis dapat menghasilkan perubahan yang drastis pada self concept dan self esteem. Beberapa perubahan yang ada bisa bersifat sementara, walaupun ada juga yang bersifat permanen. Self concept itu sendiri merupakan bagian dari self evaluation termasuk didalamnya beberapa aspek seperti body image, prestasi, fungsi sosial dan the private self. 1)
The Physical Self (Penampilan Fisik) Body image merupakan penilaian dan evaluasi atas fungsi dan penampilan fisik seseorang. Body image yang rendah berhubungan dengan harga diri yang rendah diikuti dengan terjadinya peningkatan depresi serta kecemasan.
2)
The Achieving Self (Konsep Diri) Jika keadaan penyakit kronis menjauhkan individu dari aktivitas ini,
konsep diri individu yang bersangkutan bisa
terkoyak dan rusak. Namun jika pekerjaan dan hobi sama
22
sekali tidak terpengaruh oleh keadaan sakit dan sebagainya, individu
dapat
memperoleh
kepuasan
tersendiri
dan
meningkatkan harga dirinya. 3)
The Social Self (Kehidupan Sosial) Sebagaimana yang telah diketahui bersama, menciptakan kembali kehidupan sosial pasien penderita penyakit kronis merupakan aspek yang penting. Bentuk sumber daya sosial yang dapat membantu individu yang menderita penyakit kronis misalnya dengan pemberian informasi, bantuan dan dukungan rehabilitasi
emosional. merupakan
Partisipasi sesuatu
keluarga yang
dalam
sangat
proses
dianjurkan.
Memberikan informasi pada anggota keluarga lain yang akurat dan cukup mengenai keadaan individu yang sakit (misalnya gangguan/penyakit yang dialaminya,
proses/treatment
yang
akan dijalaninya bahka perubahan emosional yang terlihat). Hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk dilaksanakan agar terhindar dari kebingungan dan kesalahpahaman dalam berkomunikasi keluarga.
antara
individu
yang sakit dengan pihak
23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang di gunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen. Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna (Sugiyono, 2009). Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambar holistik dan rumit (Moleong, 2007). Penelitian kualitatif akan berusaha mendapatkan informasi yang selengkap mungkin tentang respon keluarga terhadap pasien Thalassemia di Bangsal Melati RSUD Kebumen. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi karena terkait langsung dengan gejala-gejala yang muncul di sekitar lingkungan masyarakat. Pendekatan fenomenologi menurut Moleong (2007), yaitu
23
24
pendekatan yang berdasarkan pengalaman yang nyata, yaitu dari keluarga anak Thalassemia tentang respon psikologis.
B. Populasi dan Sampel 1. Situasi Sosial Situasi sosial merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menyebut populasi. Situasi sosial dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin diketahui apa yang terjadi di dalamnya. Menurut Sugiyono (2009), pada situasi sosial peneliti dapat mengamati secara mendalam tentang tempat (place), orang-orang (actors), dan aktivitas (activity). Dalam penelitian ini peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada keluarga anak Thalassemia untuk mengetahui respon psikologis mendampingi anak thalasemia. 2. Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian kualitatif, Sampel dalam bukan disebut sampel statistik tetapi sampel teoritis karena tujuan penelitian penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian (Sugiyono, 2009). Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Dalam penelitian ini digunakan teknik sampling purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu
25
(Sugiyono, 2009). Menurut Dukes (1984 dalam Creswell, 1998), merekomendasikan jumlah partisipan dalam penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi adalah tiga sampai sepuluh partisipan. Prinsip pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif adalah tercapainya saturasi data yaitu tidak ada tema baru lagi yang didapatkan. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang karena sudah terdapat saturasi data. Dalam Penelitian ini, peneliti memilih informan/partisipan untuk menjadi sumber data dan mengetahui masalah secara mendalam. Kriteria sampel meliputi: Kriteria inklusi : a.
Keluarga anak thalasemia yang menjalani transfusi darah tiap bulan di RSUD Kebumen.
b.
Dewasa usia 17-60 tahun.
c.
Jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Kriteria eksklusi :
C.
a.
Keluarga dengan keterbatasan dalam berkomunikasi (bisu, tuli)
b.
Tidak bersedia untuk menjadi informan dalam penelitian ini.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bangsal Melati RSUD Kebumen pada bulan Mei 2014.
26
D.
Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Pada penelitian ini peneliti menggunakan variabel tunggal yaitu respon keluarga terhadap pasien thalassemia.
E.
Instrumen Penelitian Instrumen atau alat penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi”. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitataif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang di teliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya (Sugiyono, 2009). Peneliti kualitatif sebagai human instrumen, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas semuanya. Dalam mengumpulkan data-data penulis membutuhkan alat bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu sebagai berikut: 1.
Pedoman Wawancara Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun berdasarkan
27
teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, dan berdasarkan pada tujuan penelitian. 2.
Alat Perekam Alat perekam digunakan sebagai alat bantu pada saat wawancara, berlangsung
agar
peneliti
dapat
berkonsentrasi
pada
proses
pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat jawabanjawaban dari subjek. Dalam pengumpulan data, alat perekam dapat dipergunakan setelah mendapat ijin dari subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung. 3.
Catatan lapangan Catatan lapangan digunakan untuk mencatat hal-hal yang berkaitan dengan data yang diperlukan ketika sedang melakukan penelitian.
F.
Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian, maka penulis akan menggunakan metode pengumpulan data yaitu: 1.
Observasi Observasi dilakukan agar peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut. Observasi dilakukan secara terus terang atau tersamar yaitu peneliti langsung berterus terang kepada sumber data bahwa
peneliti
sedang
melakukan
penelitian
sehingga
mereka
mengetahui sejak awal sampai akhir aktivitas peneliti. Tetapi dalam
28
suatu saat peneliti juga tidak harus terus terang atau tersamar dalam observasi, hal ini dilakukan untuk menghindari data yang dicari masih dirahasiakan. Karena bila di lakukan secara terus terang, maka tidak akan di ijinkan untuk melakukan observasi. Dalam hal ini, penulis berfungsi hanya sebagai pengamat (observer) yakni tidak sepenuhnya sebagai peserta tetapi hanya melakukan pengamatan. Metode observasi ini penulis gunakan untuk mencari informasi tentang respon keluarga terhadap pasien Thalassemia. 2.
Wawancara mendalam Wawancara mendalam (indepth interview) Artinya peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa, tanpa terikat oleh suatu susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tentu saja, peneliti menyimpan cadangan masalah yang perlu ditanyakan kepada responden. Cadangan masalah tersebut adalah kapan menanyakannya, bagaimana urutannya, akan seperti apa rumusan pertanyaannya dan sebagainya yang biasanya muncul secara spontan sesuai dengan perkembangan situasi wawancara itu sendiri. Dengan teknik ini peneliti berharap wawancara berlangsung luwes; arahnya bisa lebih terbuka, percakapan tidak membuat jenuh kedua belah pihak, sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya. Metode wawancara mendalam menggunakan panduan wawancara yang berisi butir-butir pertanyaan untuk diajukan kepada informan. Ini hanya untuk memudahkan dalam melakukan wawancara, penggalian data dan
29
informasi, dan selanjutnya tergantung improvisasi di lapangan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa sederhana, mudah dimengerti, dilakukan dalam suasana bebas dan santai.
G.
Kredibilitas dan Dependability Data 1.
Kredibilitas Data Kredibilitas pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari nonkualitatif. Kredibilitas berfungsi untuk melaksanakan inkuiri sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai dan mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti (Moleong, 2007). Pada penelitian ini kredibilitas data yang digunakan yaitu model triangulasi Tehnik. Menurut Hadi (2000), triangulasi adalah uji validitas yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Triangulasi tehnik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan tehnik yang berbeda, peneliti melakukan pengecekan pada data yang diperoleh melalui wawancara terhadap
hasil
observasi
lapangan
untuk
mengetahui
derajat
kebenarannya. 2.
Dependability Data Dependability
dilakukan
dengan
melakukan
audit
terhadap
keseluruhan proses penelitian. Audit dilakukan oleh auditor yang independen atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian (Sugiyono, 2009).
30
H.
Teknik Analisis Data Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2007). Pada penelitian kualitatif, teknik analisa data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan model analisis menurut Milles dan Hubberman dalam Sugiyono (2009). Milles dan Hubberman (1984) yang dikutip oleh Sugiyono (2009) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada setiap tahapan penelitian sampai tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktivitas analisa data dalam model ini mencakup dalam tiga proses, yaitu : 1. Reduksi Data Data yang diperoleh dari lapangan dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya sehingga
akan
memberikan
gambaran
yang
lebih
jelas
dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data. 2. Penyajian Data Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah penyajian data. Penyajian data dalam penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubugan antar kategori, flowchart dan sejenisnya,
31
tapi yang paling sering digunakan adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami
apa
yang
terjadi,
merencanakan
kerja
selanjutnya
berdasarkan apa yang dipahami tersebut. 3. Verifikasi Langkah ke tiga dalam analisa data adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Proses analisa data dapat digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan Data Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 3.1. Komponen-komponen Analisa Data, Model Miles and Huberman (Sugiyono, 2009).
32
I.
Etika Penelitian Salah satu ciri utama penelitian kualitatif ialah orang sebagai alat atau instrumen yang mengumpulkan data sehingga diperlukan etika dalam penelitian. Etika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1.
Informed concent Informed consent diberikan kepada informan yang akan diteliti dengan menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian yang akan dilakukan. Informan diminta untuk menandatangani lembar persetujuan jika bersedia untuk diteliti, dan jika informan menolak maka peniliti tidak akan memaksakan kehendak peneliti.
2.
Anonimity Untuk menjaga kerahasiaan informan dalam pengolahan data penelitian, peneliti akan menggunakan nomor atau kode informan.
3.
Confidentiality Informasi
yang
diberikan
oleh
informan
akan
dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset dan tidak akan disampaikan kepada pihak lain yang tidak terkait dalam penelitian.
J.
Jalannya Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut : 1. Tahap persiapan yang meliputi pengurusanan surat ijin penelitian dan penyusunan alat ukur penelitian.
33
2. Tahap pelaksanaan, dimulai dengan pengumpulan data primer yang dilakukan melalui kegiatan pra lapangan. Peneliti melakukan pendekatan kepada informan yang sudah ditetapkan sesuai dengan kriteria informan. Pendekatan ini untuk menjalin hubungan saling percaya antara peneliti dengaan informan. 3. Setelah kegiatan pra lapangan dirasakan cukup, peneliti melakukan persetujuan wawancara dengan informan sehingga dapat memulai dengan proses wawancara mendalam. Selama wawancara, dilakukan perekaman dengan alat perekam. 4. Pengolahan data: yaitu dengan cara mentranskip hasil wawancara mendalam sehingga dapat diperoleh informasi tentang respon keluarga terhadap pasien Thalassemia. 5. Penyajian data : data yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi.
34
RESPON KELUARGA TERHADAP PASIEN THALASSEMIA DI BANGSAL MELATI RSUD KEBUMEN PEDOMAN WAWANCARA
Pertanyaan Pembuka Saya sangat tertarik dengan tema respon keluarga terhadap pasien thalassemia. Mohon Bapak/Ibu mau menjelaskan kepada saya apa saja yang terkait dengan respon keluarga terhadap pasien thalassemia, termasuk semua perasaan, peristiwa, pendapat dan pikiran yang Bapak/Ibu alami. Pertanyaan untuk memandu wawancara adalah sebagai berikut : 1. Mohon bapak/ibu jelaskan riwayat penyakit anak sampe dinyatakan oleh petugas kesehatan mengalami thalasemia ? 2. Mohon jelaskan perasaan bapak/ibu ketika saat anak sampe dinyatakan oleh petugas kesehatan mengalami thalasemia ? 3. Mohon bapak/ibu jelaskan pendampingan orangtua dalam proses pengobatan anak thalasemia, misal dibawa kemana saja, melakukan pengobatan apa saja, dilakukan tindakan apa saja ? 4. Mohon bapak/ibu jelaskan perasaan orangtua melihat perawatan yang dilakukan terhadap anak misal dilakukan transfusi darah tiap bulan ? 5. Mohon bapak/ibu jelaskan dukungan apa saja yang diberikan kepada anak thalasemia ? 6. Mohon bapak/ibu jelaskan dampak penyakit thalasemia terhadap keluarga ? 7. Mohon bapak/ibu jelaskan harapan keluarga terhadap masa depan anak dengan thalasemia ?
35
LEMBAR KONSUL Nama
: Erlin Retno Setyowati
NIM
: A21200495
Pembimbing I
: Eka Riyanti, M. Kep, Sp.Mat
No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tanggal
Materi kegiatan
Paraf
36
LEMBAR KONSUL Nama
: Erlin Retno Setyowati
NIM
: A21200495
Pembimbing II : Tri Sumarsih, S.Kep, Ns No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tanggal
Materi kegiatan
Paraf