BAB II LANDASAN TEORI
II.A. Loneliness Pada Individu yang Melajang II.A.1. Pengertian Loneliness Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa dini, dewasa madya, maupun pada orang yang sudah lanjut usia (Weiten & Lloyd, 2006). Loneliness itu sendiri merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada interpretasi individu, dan setiap orang memiliki pengalaman loneliness yang berbeda-beda (Perlman & Peplau dalam Dane, Deaux, & Wrightsman, 1993). Menurut Peplau dan Perlman, loneliness adalah : As a feeling of deprivation and dissatisfaction produced by discrepancy between the kind of social relations we want and the kind of social relations we have. (Perlman & Peplau dalam Brehm, 2002 : p.394)
Loneliness akan muncul ketika individu merasakan kekurangan dalam hubungan sosial yang dimilikinya ataupun individu merasakan ketidakpuasan terhadap hubungan sosial yang sedang dijalaninya. Lebih lanjut lagi, Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau, & Sears 2000) menambahkan bahwa loneliness mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan sebagai suatu tanda peringatan bagi individu yang memiliki kekurangan dalam hubungan sosial baik secara kualitas ataupun kuantitas. Kekurangan secara kualitas terjadi jika individu merasa bahwa hubungan sosial yang dimilikinya hanya bersifat superficial atau dirasa kurang memuaskan. Kekurangan secara kuantitas terjadi jika individu memiliki sedikit atau tidak memiliki teman yang diinginkannya.
11
Universitas Sumatera Utara
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa loneliness adalah perasaan tidak menyenangkan dan tidak nyaman yang muncul sebagai akibat dari kekurangan ataupun ketidakpuasan individu terhadap hubungan sosialnya baik secara kuantitas maupun kualitas.
II.A.2. Tipe-Tipe Loneliness Menurut Weiss (Weiten & Llyod, 2006) dalam konteks interaksi sosial ada dua tipe loneliness, yaitu: a. Social loneliness, terjadi ketika individu tidak puas dan merasa lonely karena kurangnya jaringan sosial dengan teman dan kenalan lainnya untuk melakukan kegiatan serta aktivitas yang menarik. Pada tipe ini dapat dikatakan bahwa individu merasakan loneliness secara kuantitas yang terjadi karena individu merasa memiliki sedikit teman. b. Emotional loneliness, terjadi ketika individu tidak puas dan merasa lonely karena kurang atau terbatasnya kedekatan, kelekatan, dan ikatan hubungan yang intim dari orang tertentu (single intense relationship). Disini individu merasakan loneliness secara kualitas sebagai akibat dari hubungan intim yang tidak memuaskan atau tidak memiliki pasangan. Joyner et al (1999) menyatakan bahwa emotional loneliness ini dirasa lebih menyakitkan dan cenderung dianggap sebagai reaksi emosi yang negatif. Kedua keadaan kesepian diatas dapat dirasakan dan dialami oleh setiap individu di dalam kehidupannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya loneliness akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut.
12
Universitas Sumatera Utara
II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loneliness Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya loneliness pada seseorang antara lain: a. Usia Banyak orang beranggapan bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin merasa lonely, namun banyak penelitian yang membuktikan bahwa stereotip tersebut keliru. Hasil penelitian Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000) menemukan bahwa loneliness lebih tinggi terjadi diantara remaja dan dewasa muda, serta menjadi lebih rendah pada orangorang yang sudah tua. Brehm et al (2002) juga menyatakan bahwa orang dewasa muda menghadapi banyak sekali transisi sosial yang besar untuk mendapatkan identitas diri mereka (seperti meninggalkan rumah, merantau, memasuki dunia perkuliahan, dan memasuki dunia kerja yang full time) dimana semua peristiwa tersebut dapat menyebabkan terjadinya loneliness pada seseorang. Erickson (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan bahwa dengan terjadinya perubahan dan transisi sosial tersebut maka pada masa dewasa dini inilah masa terjadinya “krisis keterpencilan”, dan dalam masa ini seseorang sering sekali merasa lonely. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) menyatakan bahwa usia dewasa dini ini berkisar dari 19-39 tahun. b. Status perkawinan Secara umum, orang yang tidak menikah cenderung lebih merasa lonely dibandingkan orang yang menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack
13
Universitas Sumatera Utara
dalam Brehm et al, 2002). Pernyataan tersebut dipertegas lagi oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik yang terdapat di kalangan individu yang hidup melajang adalah mereka cenderung mengalami tingkat loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sudah menikah. Brehm et al (2002) mengelompokkan individu yang melajang ke dalam beberapa sub grup yaitu belum pernah menikah (never married), berpisah atau bercerai (separated or divorced), dan janda (widowed). Ia menyatakan bahwa loneliness yang terjadi pada individu yang berpisah, bercerai, dan janda merupakan reaksi terhadap hilangnya hubungan perkawinan (marital relationship) bukan akibat dari ketidakhadiran dari pasangan seperti pada individu yang belum pernah menikah (never married). Penelitian ini akan lebih difokuskan kepada individu yang belum pernah menikah (never married) dimana seperti yang dikemukakan Myers (1999) bahwa ketidakhadiran pasangan pada individu dapat membuat terjadinya loneliness yang menyakitkan. Heffner (dalam Weiten & Llyod, 2006) juga mengemukakan bahwa retaknya hubungan yang romantis atau tidak memiliki seseorang yang khusus dalam hidup individu, dapat memperkuat perasaan lonely. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) menambahkan bahwa bahwa keadaan belum menikah dan belum memiliki pasangan pada individu dewasa dapat menimbulkan loneliness pada dirinya.
14
Universitas Sumatera Utara
Hurlock (1999) juga mengemukakan bahwa saat individu memasuki usia dewasa dini, dia akan dihadapkan kepada tugas perkembangannya yaitu menemukan pasangan hidup dan membentuk suatu keluarga. Namun, ketika hal tersebut tidak terlaksana maka terjadilah loneliness pada individu. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Erickson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004) bahwa fokus utama dari indvidu dewasa dini adalah membangun sebuah hubungan intim dengan seseorang dan membentuk komitmen dengan pasangannya, apabila tidak terpenuhi maka individu akan mengalami loneliness yang mendalam. Brehm et al (2002) juga menambahkan bahwa kurangnya ataupun tiadanya hubungan intim dengan orang lain, atau pasangan, dapat menyebabkan seseorang mengalami emotional loneliness.
Hal ini dipertegas lagi oleh
Morris dan Maisto (2005) yang menyatakan bahwa ketiadaan hubungan intim dengan seseorang yang khusus menimbulkan perasaan lonely yang menyakitkan. c. Gender Menurut Borys dan Perlman (dalam Dane, Deaux, & Wrightman, 1993), perempuan dan laki-laki menunjukkan frekuensi yang sama dalam mengalami loneliness. Meskipun demikian, perempuan lebih mudah menunjukkan ekspresi lonely daripada laki-laki dan sebagian besar laki-laki yang mengalami loneliness menyangkal bahwa dirinya sedang merasa lonely. Lebih lanjut, Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) menyebutkan bahwa laki-laki juga lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas dibandingkan dengan
15
Universitas Sumatera Utara
perempuan. Hal ini disebabkan adanya stereotip gender yang berlaku dalam masyarakat bahwa laki-laki yang mengalami loneliness lebih sulit untuk diterima secara sosial dan cenderung ditolak dibandingkan perempuan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa laki-laki lebih mudah mengalami loneliness dibandingkan perempuan. Spelman dan Rider (2003) menyebutkan bahwa loneliness pada perempuan lajang dapat semakin meningkat saat ia merasa sudah seharusnya memiliki pasangan tetapi pada kenyataannya belum memiliki ataupun menemukan pasangan yang ideal bagi mereka. Hal senada juga dikemukakan oleh Hurlock (1999) bahwa perempuan yang sudah mencapai usia tertentu untuk menikah, tetapi belum mempunyai pasangan hidup akan membuat mereka mengalami loneliness dan akan semakin meningkat ketika perempuan mendapat tekanan dari keluarga serta masyarakat untuk segera membentuk sebuah keluarga. d. Karakteristik latar belakang keluarga Hubungan antara orang tua dan anak dalam struktur keluarga berhubungan dengan munculnya loneliness. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih mengalami loneliness bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai semakin tinggi tingkat loneliness yang akan dialaminya saat dewasa. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada individu yang orang tuanya berpisah karena salah satunya meninggal.
16
Universitas Sumatera Utara
Individu yang kehilangan orang tuanya karena meninggal ketika ia masih kanak-kanak mengalami loneliness yang berbeda saat dewasa dibandingkan dengan individu yang orang tuanya berpisah sejak masa kanak-kanak atau masa remaja. Brehm et al (2002) menyatakan bahwa proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orang tua yang bercerai untuk mengalami loneliness saat anak-anak tersebut menjadi dewasa. e. Faktor sosial ekonomi Weiss (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa tingkat status ekonomi seseorang akan mempengaruhi tingkat loneliness yang terjadi pada dirinya. Status ekonomi ini berhubungan dengan seberapa besar pendapatan yang diperoleh individu. Individu dengan pendapatan yang rendah cenderung mengalami loneliness lebih tinggi dibandingkan individu dengan pendapatan yang tinggi. f. Pendidikan Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang juga berkaitan dengan loneliness yang dialaminya, hal ini ditunjukkan oleh sebuah survey yang dilakukan oleh Page dan Cole’s (Brehm et al, 2002) yang menyatakan bahwa pendidikan mempunyai korelasi terbalik dengan loneliness yang dialami oleh seseorang.
II.A.4. Perasaan Loneliness Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan ada 4 bentuk perasaan yang dialami oleh individu yang mengalami loneliness, yaitu:
17
Universitas Sumatera Utara
a. Desperation Desperation
merupakan
keputusasaan
dan
suatu
keadaan
ketidakberdayaan
dimana
dalam
individu
dirinya,
merasakan
sehingga
dapat
menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan yang nekat. Desperation ini ditandai dengan perasaan putus asa, tidak berdaya, takut atau khawatir, tidak memiliki harapan, ditinggalkan atau dibuang, dan diejek. b. Impatient boredom Impatient boredom adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kebosanan yang tidak tertahankan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari kejenuhan terhadap dirinya sendiri. Impatient boredom ini ditandai dengan munculnya perasaan tidak sabaran, menjemukan atau bosan, ingin berada ditempat lain, gelisah atau tidak tenang, marah, dan tidak mampu berkonsentrasi. c. Self-deprecation Self-deprecation adalah suatu kondisi dimana individu menyalahkan, mencela, ataupun mengutuk dirinya sendiri terhadap peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Self-deprecation ini ditandai dengan munculnya perasaan bahwa dirinya tidak menarik, rendah diri, bodoh, malu, dan tidak nyaman. d. Depression Depression adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang mendalam dan terus menerus ataupun dalam kondisi tertekan sehingga bila tidak diatasi dapat mengarahkannya pada tindakan bunuh diri. Depression ini ditandai dengan munculnya perasaan sedih, tertekan atau hilang semangat,
18
Universitas Sumatera Utara
kosong atau hampa, terkucil, menyesali diri, murung, diasingkan, dan ingin bersama seseorang yang khusus. Keempat perasaan tersebut dapat dirasakan secara bersamaan pada individu yang mengalami loneliness dengan kualitas berbeda-beda. Adapun munculnya penyebab perasaan lonely pada diri individu akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut.
II.A.5. Penyebab Loneliness Pada Individu yang Melajang Ada empat hal yang dapat menyebabkan individu yang melajang mengalami loneliness yaitu: a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki individu Ada banyak alasan mengapa seseorang mungkin merasa tidak puas berkaitan dengan kualitas dan kuantitas hubungan yang dimilikinya. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang mengalami loneliness yaitu: 1. Being unattached: suatu keadaan dimana individu merasa lonely ketika dia tidak mempunyai pasangan, tidak memiliki pasangan seksual, ataupun berpisah dengan pasangannya. 2. Alienation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat dia merasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan oleh orang lain, dan tidak mempunyai teman dekat.
19
Universitas Sumatera Utara
3. Being alone: suatu keadaan dimana individu merasa lonely ketika individu merasa dirinya selalu sendirian pulang ke rumah dan tidak ada seseorang yang menyambutnya. 4. Forced isolation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat dikurung dirumah, dirawat inap di rumah sakit, dan tidak bisa kemanamana. 5. Dislocation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat individu merasa jauh dari rumah, memulai pekerjaan atau sekolah baru, terlalu sering melakukan perpindahan, dan sering melakukan perjalanan. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa loneliness pada individu yang melajang disebabkan oleh ketidakhadiran pasangan, berpisah dengan pasangannya, dirinya merasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan oleh orang lain, dan tidak mempunyai seseorang untuk berbagi. Loneliness tersebut dapat membawa dampak negatif bagi hubungan individu tersebut dengan individu lain. Contohnya, individu yang mengalami loneliness akan menerima orang lain dalam cara yang negatif (Jones, Wittenberg, & Weis dalam Myers, 1999). Pandangan negatif ini akan mempengaruhi keyakinan individu yang mengalami loneliness tersebut dan menyebabkan hilangnya kepercayaan sosial serta menjadi pesimis terhadap orang lain (Myers, 1999). Hal tersebut dapat menghambat individu itu dalam mengurangi tingkat loneliness mereka. Weiten dan Lloyd (2006) juga
menyatakan bahwa individu yang
mengalami loneliness mempunyai pikiran yang
20
tidak rasional tentang
Universitas Sumatera Utara
keterampilan sosialnya, kemungkinan mereka dalam meraih suatu hubungan yang intim dengan seseorang, dan kemungkinan untuk ditolak. Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menambahkan bahwa individu yang mengalami loneliness menggunakan self-talk yang negatif sehingga hal tersebut mencegah mereka untuk mengejar atau meneruskan suatu keintiman dalam cara yang aktif dan positif dengan pasangannya. Individu yang mengalami loneliness dipersepsikan tidak dapat menyesuaikan diri oleh orang-orang yang mengenal mereka (Lau & Gruen; Rotenberg & Kmill dalam Baron & Byrne, 1992). Dengan demikian, loneliness yang terjadi pada individu melajang dapat menjadi semakin kuat sebagai akibat dari perilaku mereka tersebut dan akan membuat mereka terhambat untuk membangun hubungan intim dengan seseorang dan akhirnya tidak memiliki pasangan. b. Perubahan terhadap apa yang diinginkan individu dari suatu hubungan Loneliness dapat juga berkembang karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan individu dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan yang dimiliki oleh individu tersebut memuaskan, sehingga individu tersebut tidak mengalami loneliness. Akan tetapi, menurut Peplau & Perlman (dalam Brehm et al, 2002) di lain waktu hubungan tersebut dapat menjadi tidak lagi memuaskan karena terjadi perubahan pada apa yang diinginkan dari hubungan tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yang berbeda seperti perubahan mood dimana jenis hubungan yang diinginkan ketika senang mungkin berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan saat sedang sedih.
21
Universitas Sumatera Utara
Peplau, Russell, dan Heim, serta Perlman dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002) menambahkan bahwa pertambahan usia juga dapat mempengaruhi keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Jenis pertemanan akan sangat menyenangkan saat individu berusia 15 tahun yang kemudian dapat menjadi tidak memuaskan ketika memasuki usia 25 tahun. Sebagai contoh, banyak orang yang memasuki usia dewasa tidak menginginkan keterlibatan emosional yang dekat dengan seseorang ketika mereka sedang mempersiapkan karirnya. Akan tetapi, saat karir sudah terbentuk dengan mapan, individu merasakan kebutuhan yang sangat besar terhadap suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional, dan bila tidak mendapatkannya maka akan menyebabkan munculnya loneliness. c. Self esteem Loneliness berhubungan dengan self-esteem yang rendah. McWhirter, Rubenstein, dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa orang yang memiliki self-esteem yang rendah akan merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial, misalnya berbicara di depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti ini, individu tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus dan akibatnya akan mengalami loneliness. Hal ini juga didukung oleh Bruch, Hammer, dan Heimberg (dalam Baron & Byrne, 2002) yang menyebutkan bahwa individu yang tidak mampu secara sosial cenderung menjadi pemalu, memiliki self-esteem yang rendah, dan merasakan self-concious ketika berinteraksi dengan orang lain. Frankel &
22
Universitas Sumatera Utara
Prentice-Dum (dalam Santrock, 1995) juga berpendapat bahwa individu yang mengalami loneliness dan memiliki self-esteem yang rendah akan cenderung menyalahkan diri sendiri lebih daripada yang seharusnya atas kekurangan mereka. Pada individu yang melajang, self-esteem yang rendah, kecemasannya saat berhubungan dengan orang lain, dan tidak mau bertemu di dalam pertemuanpertemuan sosial dapat menghalanginya untuk menjalin dan membangun hubungan dengan seseorang yang dia sukai sehingga dapat meningkatkan loneliness yang dialaminya. d. Perilaku interpersonal Menurut Brehm et al (2002), perilaku interpersonal individu yang mengalami loneliness akan menyulitkan individu itu untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Berbeda dengan individu yang tidak mengalami loneliness, individu yang mengalami loneliness akan menilai orang lain secara negatif, mereka tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan, dan berperilaku secara negatif terhadap orang lain, serta cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan. Orangorang yang merasa loneliness juga cenderung menghabiskan waktu senggang mereka pada aktifitas yang sendiri, memiliki kencan yang sangat sedikit, dan hanya memiliki teman biasa atau kenalan (Bell; Berg & McQuinn dalam Baron & Byrne, 2002). Individu yang mengalami loneliness merasa bahwa dirinya disingkirkan oleh lingkungan sekitarnya dan percaya bahwa mereka hanya memiliki sedikit
23
Universitas Sumatera Utara
kesamaan dengan orang yang mereka temui (Myers, 1999). Selain itu, orang yang mengalami loneliness cenderung terhambat dalam keterampilan sosial (Baron & Byrne, 2002), menjadi pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum (Myers, 1999). Di dalam suatu percakapan, individu yang mengalami loneliness membuat sedikit pernyataan dan pertanyaan, lambat dalam memberikan respon, dan tidak memiliki ketertarikan untuk melanjutkan suatu topik dengan lawan bicara mereka (Hogg & Vaughan, 2002). Sebagai tambahan, individu yang mengalami loneliness cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial dan mereka juga menjadi lambat dalam membangun keintiman hubungan dengan orang lain (Check dalam Brehm et al, 2002). Dengan demikian, perilaku ini nantinya dapat membatasi kesempatan individu tersebut untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan. Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa pada individu yang melajang, loneliness yang dialaminya dapat disebabkan oleh perilaku interpersonal yang tidak sesuai dan akhirnya pengalaman tersebut menimbulkan ketidakbahagiaan dalam dirinya. Loneliness yang muncul karena perilaku interpersonal yang tidak tepat ini nantinya dapat membawa dampak yang negatif yaitu tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik dan menurunkan kesehatan mental serta fisiologis seseorang yang membawanya kepada kondisi yang serius (Hawkley et al, 2003).
24
Universitas Sumatera Utara
e. Causal attribution Proses dimana individu mengatribusikan faktor-faktor penyebab yang bertanggung jawab terhadap loneliness yang dialaminya (apakah dari pribadinya sendiri atau karena suatu keadaan) disebut dengan causal attribution (Pervin, 2005). Di dalam causal attribution, faktor yang berhubungan dengan munculnya loneliness adalah karakteristik pribadi individu dan keadaan lingkungan disekitarnya (Perlman & Peplau, dalam Brehm et al, 2002) yang mana karakteristik pribadi individu memegang peranan yang besar terhadap kemungkinan terjadinya loneliness dibandingkan dengan keadaan lingkungan sekitarnya (Brehm et al, 2002). Hal ini diperkuat oleh penelitian Jylha dan Jokela (dalam Rokach, 1998) yang menyatakan bahwa faktor kepribadian individu membuat individu lebih merasa lonely daripada faktor situasional. Weiner (dalam Pervin, 2005) menyatakan bahwa salah satu faktor kepribadian dalam causal attribution yang diidentifikasi untuk menjelaskan karakteristik pribadi individu adalah locus of control. Rotter (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan bahwa locus of control adalah bagaimana suatu penyebab itu dipersepsikan individu berasal dari dirinya (internal) atau berasal dari luar (eksternal) diri individu. Weiner (dalam Pervin, 2005) menyebutkan bahwa locus of control dinamakan juga dengan locus of causality namun keduanya memiliki arti yang sama, dan selanjutnya pada penelitian ini akan menggunakan istilah locus of control yang dipakai oleh Rotter. Causal attribution berhubungan erat dengan perilaku interpersonal yang dilakukan
25
Universitas Sumatera Utara
individu. Hal ini ditegaskan oleh Hogg & Vaughan (2002) yang menyatakan bahwa atribusi memiliki peranan yang sangat besar dalam hubungan interpersonal yang dilakukan oleh individu yaitu bagaimana individu menjalin suatu hubungan dengan individu lain. Jones (dalam Baron & Byrne, 1992) juga menyatakan bahwa individu yang mengalami loneliness disebabkan oleh kurang atau tidak adanya kontrol dari dalam dirinya untuk mengatasi keadaan tersebut. Pada individu yang melajang, status dirinya yang belum menikah dan belum memiliki pasangan merupakan penyebab terjadinya loneliness. Ada individu yang menganggap dan mempersepsikan bahwa status melajangnya merupakan akibat dari perilakunya sendiri (internal). Ada pula yang menganggap faktor lainlah yang menyebabkan loneliness tersebut (eksternal). Pada penelitian ini akan membahas lebih dalam mengenai locus of control yang dikemukakan oleh Rotter.
II.B. Locus Of Control II.B.1. Pengertian Locus Of Control Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menghadapi suatu situasi ataupun peristiwa yang dialaminya. Salah satu faktor individual yang mengendalikan peristiwa kehidupan seseorang adalah locus of control yang dimiliki individu tersebut. Cara perilaku mereka menghadapi situasi atau peristiwa tersebut tergantung pada persepsi individu. Konsep locus of control ini pertama
26
Universitas Sumatera Utara
kali diidentifikasi untuk menjelaskan dimensi kepribadian oleh Rotter (dalam Feist & Feist, 2002). Menurut Rotter locus of control adalah: Our belief about the source of control of reinforcement (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994: p.416)
Dengan kata lain, locus of control ini merupakan keyakinan individu mengenai sumber dari pengendali perilakunya terhadap penguatan yang akan diterimanya. Penguatan (reinforcement) yang dimaksudkan adalah nilai dari sebuah peristiwa atau kejadian yang mengindikasikan suatu fungsi mengenai harapan seseorang yang mengarahkan akan terbentuknya penguatan pada masa yang akan datang, dapat berupa hadiah (reward) ataupun hukuman (punishment) (Rotter dalam Feist & Feist, 2002). Rotter (dalam Graffeo dan Silvestri, 2006) menambahkan reinforcement dalam locus of control adalah bahwa individu percaya perilakunya diarahkan oleh penguat dan hukuman serta penghargaan yang memiliki pengaruh ketika individu menginterpretasikan hasil dari tindakan yang dilakukannya. Locus of control itu juga merupakan suatu cara dimana individu memiliki tanggung jawab terhadap peristiwa yang terjadi di dalam kontrol ataupun diluar kontrol dirinya (Rotter, dalam Schultz & Schultz, 1994). Pernyataan ini juga didukung oleh Lefcourt (dalam Partosuwido, 1993) bahwa locus of control adalah konsep yang berhubungan dengan kepercayaan mengenai penguatan internal dan eksternal dalam mengembangkan harapan secara umum tentang kemampuannya untuk menguasai hidupnya. Individu yang percaya bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya adalah karena hasil tingkah lakunya sendiri maka ciri kepribadiannya akan dikatakan memiliki harapan terhadap penguatan internal.
27
Universitas Sumatera Utara
Sementara, individu yang percaya bahwa kejadian yang terjadi dalam hidup mereka adalah karena adanya faktor lain di luar dirinya, maka mereka dikatakan memiliki penguatan eksternal. Dari uraian yang telah dikemukakan diatas maka locus of control dapat didefenisikan sebagai keyakinan seseorang mengenai sumber pengendali perilakunya.
II.B.2. Jenis Locus Of Control Rotter (dalam Schultz & Schultz, 1994) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Internal locus of control indicates a belief that reinforcement is brought about by our own behavior. External locus of control indicates a belief that reinforcement is under the control of other people, fate or luck. (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994: p.416)
Locus of control internal mengindikasikan adanya keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya akan datang dari perilakunya sendiri. Sementara itu, locus of control eksternal mengindikasikan keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya berada dibawah pengaruh orang lain, nasib, ataupun keberuntungan. Orang yang percaya bahwa mereka dapat mengontrol sendiri perilakunya (internal) akan menunjukkan perilaku yang berbeda pada berbagai situasi (Rotter, dalam Feist & Feist, 2002). Stone dan Jackson (dalam Howard, 1996) juga menjelaskan bahwa individu yang berorientasi pada locus of control internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol lebih dalam mengendalikan
28
Universitas Sumatera Utara
kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena tindakan atau usahanya sendiri. Individu dengan locus of control internal juga dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki self-esteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Selain itu, individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab akan memberikan hasil yang positif (Rotter, dalam Baron & Byrne, 1992). Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal berkeyakinan bahwa perilaku dan kemampuan mereka tidak memberi penguatan terhadap mereka, memberi nilai yang rendah terhadap segala usaha yang dilakukan, dan mereka juga mempunyai sedikit keyakinan akan kemungkinan bahwa mereka dapat mengontrol hidupnya pada masa yang akan datang (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Individu yang mengembangkan orientasi eksternal juga meyakini bahwa suatu kejadian ditentukan oleh kesempatan, tindakan orang lain dan faktorfaktor yang tidak dapat dikontrol (Rotter dalam Baron & Byrne, 1992). Lebih lanjut Rotter (dalam Feist & Feist, 2002) menambahkan bahwa locus of control eksternal melihat suatu perubahan karena adanya faktor dari luar, kejadian dan tindakannya seolah-olah disebabkan oleh adanya kekuatan di luar dirinya seperti nasib, kesempatan, ataupun kekuatan dari orang lain. Oleh karena itu, individu dengan locus of control eksternal beranggapan bahwa peristiwa yang
29
Universitas Sumatera Utara
dialaminya merupakan akibat dari adanya faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan oleh dirinya. Perbedaan locus of control pada seseorang ternyata dapat menimbulkan perbedaan pada aspek-aspek kepribadian yang lain. Rotter (Baron & Byrne, 1992) menyebutkan bahwa individu dengan locus of control internal ternyata lebih banyak menimbulkan pengaruh-pengaruh positif pada kepribadian. Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal lebih bersikap menerima (conform) terhadap pengaruh-pengaruh tesebut. Lebih lanjut, Rotter (dalam Szhultz & Szhultz) menjelaskan bahwa bila individu dengan locus of control internal gagal, maka mereka akan merasa bertanggung jawab terhadap kegagalannya. Rasa tanggung jawab ini disertai dengan sikap tidak mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Individu dengan locus of control eksternal merasa tidak harus bertanggung jawab terhadap kegagalan yang dihadapinya, karena kegagalan tersebut bukanlah akibat dari perbuatannya. Bersamaan itu pula mereka juga tidak merasa perbuatan dengan bekerja keras akan membawa pengaruh pada keberhasilan atau hasil yang diharapkan. Hal inilah yang membawa individu pada sikap pasrah menerima (conform) terhadap pengaruh-pengaruh yang menimpa dirinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ada dua jenis locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal menganggap perubahan yang terjadi karena tindakan atau usahanya sendiri, dan kemampuan diri (ability). Individu dengan locus of control eksternal melihat perubahan karena faktor dari luar. Kejadian dan
30
Universitas Sumatera Utara
tindakannya disebabkan karena kekuatan di luar dirinya seperti keberuntungan, kesempatan dan pengaruh orang lain.
II.B.3. Aspek-aspek Locus of Control Di dalam locus of control, baik internal maupun eksternal, masing-masing jenis tersebut memiliki aspek-aspek yang turut mempengaruhinya. Adapun aspekaspek tersebut antara lain: a. Aspek locus of control internal: 1. Usaha Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialami dalam hidupnya ditentukan oleh usaha-usaha yang dilakukan oleh individu tersebut (Rotter Phares, 2005). Pada individu yang melajang bisa saja loneliness yang dialaminya disebabkan oleh kurangnya usaha individu dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. 2. Kemampuan Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kemampuan dari dirinya sendiri (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Sebagai contoh, individu lajang mengalami loneliness ketika ia merasa kurang atau tidak mampu untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
31
Universitas Sumatera Utara
b. Aspek locus of control eksternal: 1. Nasib Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam hidupnya sudah ditakdirkan dan tidak dapat dirubah kembali (Rotter dalam Vaughan & Hogg, 2002). Pada individu yang melajang, keadaan loneliness yang dialaminya bisa terjadi karena ia merasa bahwa nasib sedang tidak berpihak padanya saat ingin membangun suatu hubungan dengan seseorang. 2. Kesempatan Keyakinan individu bahwa faktor keberuntungan ataupun peluang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Rotter dalam Phares, 1992). Disini, individu yang melajang bisa saja merasa lonely disebabkan ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk dapat berkenalan dengan lawan jenisnya. 3. Pengaruh orang lain Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialaminya disebabkan oleh adanya pengaruh orang lain yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka (Rotter dalam Phares, 1992). Contohnya, saat individu tidak mempunyai dukungan yang lebih dalam membangun hubungan dengan seseorang dari orang-orang terdekatnya maka dapat menimbulkan perasaan lonely pada dirinya.
32
Universitas Sumatera Utara
III.C. Dinamika Loneliness Pada Individu yang Melajang Ditinjau dari Locus of Control Perkawinan merupakan peristiwa normal dalam kehidupan manusia dimana setiap individu yang sudah mencapai usia dewasa, mereka akan dihadapkan dengan hal tersebut. Perkawinan akan terjadi saat individu sudah memiliki hubungan intim dengan seseorang dan komitmen dengan pasangannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Stenberg (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan bahwa komitmen akan terjadi saat individu merasakan adanya kedekatan
emosional
yang
membuat
individu
berkeinginan
untuk
mempertahankan hubungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, keintiman dan komitmen menjadi suatu hal yang penting bagi individu dewasa. Akan tetapi, sekarang ini banyak individu baik, laki-laki maupun perempuan yang menunda perkawinannya dan hidup melajang. Salah satu alasan individu menunda perkawinan mereka adalah mempersiapkan karir yang mapan dimana ketika mereka sedang fokus pada membangun karir, keterlibatan emosional dengan seseorang menjadi hal yang tidak begitu diinginkan (Perlman, Russel, & Heim, serta Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002). Namun, pada akhirnya individu tetap merasakan kebutuhan yang sangat besar untuk memiliki seseorang yang dicintainya, bila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi ada kemungkinan individu akan mengalami loneliness (Rubenstein & Shaver dalam Brehm, 2002). Selain itu, ketidakhadiran pasangan bagi individu lajang menimbulkan emotional loneliness yang dirasa menyakitkan dan membawa reaksi negatif (Joyner et al, 1999) dan bila tidak juga terpenuhi dapat membawa
33
Universitas Sumatera Utara
loneliness tersebut menjadi semakin kuat pada diri individu (Heffner dalam Weiten & Llyod, 2006). Dengan demikian merupakan suatu hal penting bagi setiap individu memiliki seseorang yang khusus di dalam hidupnya agar terhindar dari loneliness. Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa loneliness menjadi masalah bagi individu melajang dimana setiap orang dapat memiliki interpretasi yang berbeda dalam memaknainya. Loneliness muncul saat individu merasakan kekurangan dan ketidakpuasan terhadap hubungan sosial yang dimilikinya baik secara kualitas maupun kuantitas (Perlman & Peplau dalam Taylor, Peplau, & Sears, 1999). Pada individu yang melajang, loneliness terjadi ketika individu merasakan adanya kekurangan ataupun ketidakpuasan yang disebabkan oleh tidak adanya hubungan kedekatan emosional dengan seseorang (Myers, 1999). Orang yang mengalami loneliness akan merasakan desperation, depression, impatient boredom, dan self-deprecation (Rubenstein & Shaver dalam Brehm et al, 2002). Keadaan tersebut perlu diatasi dengan segera karena dapat membawa dampak negatif bagi individu dimana mereka menunjukkan perilaku interpersonal yang buruk sehingga individu menjadi tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitar dan juga dapat menurunkan kesehatan mental serta fisiknya (Jones & Carver dalam Brehm et al, 2002) Perilaku interpersonal berhubungan dengan causal attribution yang dilakukan oleh individu. Causal attribution ini merupakan penjelasan mengenai faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap peristiwa atau kejadian yang dialami oleh seseorang yaitu dari perilakunya atau hal lain di luar dirinya (Weiner
34
Universitas Sumatera Utara
dalam Pervin, 2005). Di dalam causal attribution yang menjadi faktor penyebab munculnya loneliness yaitu karakteristik kepribadian dan faktor situasional (Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002), dimana karakteristik memegang peranan yang besar terhadap terjadinya loneliness pada seseorang (Brehm et al, 2002). Adapun karakteristik kepribadian dalam causal attribution adalah locus of control yaitu keyakinan individu dalam menjelaskan sumber penyebab keadaan yang dialaminya itu apakah disebabkan oleh perilakunya sendiri (internal) atau adanya faktor lain (eksternal) di luar dirinya (Rotter dalam Pervin, 2005). Karakteristik individu yang lebih berorientasi internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol lebih dalam mengendalikan kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena tindakan atau usahanya sendiri, dibandingkan dengan individu yang lebih berorientasi eksternal yang meyakini bahwa mereka memiliki sedikit kontrol terhadap hidupnya (Rotter Baron & Byrne, 1992). Individu dengan locus of control internal juga dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki selfesteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik daripada individu dengan locus of control eksternal (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab terhadap kejadian atau peristiwa yang dialaminya. Sebaliknya, individu yang mengembangkan orientasi eksternal meyakini bahwa kesempatan, tindakan orang lain dan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrollah yang
35
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab terhadap kejadian atau peristiwa didalam hidupnya (Rotter Feist & Feist, 2002). Keberhasilan yang dirasakan karena usahanya sendiri jauh lebih membanggakan dibandingkan merasa berhasil karena kebetulan, akan tetapi kegagalan yang dialami oleh individu karena kurangnya usaha akan dianggap jauh lebih memalukan dibandingkan dengan kegagalan yang merasa orang lain tidak membantu (Rotter dalam Baron & Byrne, 1992). Pada individu yang mengalami loneliness, keadaan tersebut terjadi karena kurang atau tidak adanya kontrol dari dalam diri untuk mengatasinya (Jones dalam Bron & Byrne, 1992). Berdasarkan uraian diatas, peneliti akan melihat apakah ada perbedaan loneliness yang dialami oleh individu dewasa dini yang melajang ditinjau dari locus of control. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah individu lajang yang lebih berorientasi internal dan individu lajang yang lebih berorientasi eksternal memiliki tingkat loneliness yang berbeda.
III.D. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah : ” ada perbedaan tingkat loneliness antara individu lajang dengan locus of control internal dan individu lajang dengan locus of control eksternal ”.
36
Universitas Sumatera Utara