BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan bergulirnya reformasi pada tahun 1998 semangat untuk menjalankan sistem pemerintahan yang bersih, transparan, serta menghargai hak-hak asasi manusia terus dilakukan, mulai dari reformasi pada bidang birokrasi, politik, hukum, termasuk budaya hukumnya. Jatuhnya rezim Soeharto membawa cita-cita untuk merefleksikan komitmen bangsa Indonesia yang secara rasional dan sistematik bertekad untuk mengaktualisasikan nilainilai dasar demokrasi.1 Banyak akademisi yang mengatakan bahwa gerakan reformasi tahun 1998 dan jatuhnya Soeharto merupakan awal wajah baru demokrasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia, walaupun tidak bisa dipungkiri sejak Indonesia merdeka nilai-nilai demokrasi sudah mendasari sistem pemerintahan Negara ini. Menurut Mahdi2 setidaknya ada 3 wajah demokrasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia sebelum reformasi yaitu; demokrasi parlementer3,
1
Imam Mahdi, 2011, Hukum Tatanegara Indonesia, Penerbit Teras, Yogyakarta, hlm.
208. 2
Ibid.,hlm. 209. Pada umumnya system parlementer ketika itu disamakan dengan demokrasi liberal, meskipun pada dasarnya baik system parlementer dan system presidensial sama-sama didasarkan 3
1
demokrasi terpimpin4, dan demokrasi Pancasila5. Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Oleh sebab itu konsep Negara yang baik idealnya diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat seluas-luasnya.6 Komitmen untuk menjalankan sistem demokrasi yang baik harus mengedepankan syarat-syarat dalam sistem demokrasi. Menurut Lyman Tower Sargent seperti dikutip oleh R. Muhamad Mihardi, syarat demokrasi sebagai berikut; (1) adanya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, (2) adanya persamaan hak diantara warga Negara, (3) adanya kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan atau dipertahankan serta dimiliki oleh warga Negara, (4) adanya sistem perwakilan yang efektif, dan (5) adanya sistem pemerintahan yang menjamin dihormatinya prinsip ketentuan mayoritas. 7 Syarat-syarat demokrasi di atas sebagai gambaran umum yang harus dijalankan dalam sistem demokrasi, sedangkan ciri dari sistem demokrasi modern selalu menekankan prinsip adanya Hak Asasi Manusia dan juga
pada asaz demokrasi dengan trias politika. Lihat lebih lanjut dalam buku, Mahfud MD, 2012, Politik Hukum di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 35. 4 Demokrasi terpimpin merupakan penolakan terhadap system yang berlaku sebelumnya (demokrasi parlementer), ketika politik sangat ditentukan oleh politik partai-partai melalui system free fight. Proses pengambilan keputusan dalam demokrasi terpimpin didasarkan pada musyawarah dan mufakat serta semangat gotong royong dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang kemudian menampilkan Soekarno sebagai penguasa yang otoriter. Ibid., hlm. 129. 5 Pada masa ini system pemerintahan menampilkan konfigurasi politik yang otoriter birokratis yang diperlukan untuk mengamankan jalannya pembangunan. Ibid., hlm. 195. 6 Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM, Konstitusi Pers, Jakarta, hlm. 241. 7 R. Muhammad Mihardi, 2011, Kebebasan Informasi Publik Versus Rahasia Negara, Penerbit Galia, Bogor, hlm. 34.
partisipasi rakyat dalam menjalankan sistem pemerintahan. Ini dikarenakan jaminan, penghargaan, dan persamaan Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia bermula dari sebuah gagasan bahwa manusia tidak boleh diperlakukan semena-mena oleh penguasa (kekuasaan). Manusia memiliki hak alamiah yang melekat begitu saja pada manusia. Hak tersebut ada secara kodrati yang merupakan pemberian Tuhan. Manusia memiliki karena kemanusiaannya, bukan karena etnis, ras, jenis kelamin, apalagi agama, hak alamiah melekat pada diri manusia sebagai individu. Negara, komunitas atau kelompok tidak dapat membatasi hak-hak itu tanpa persetujuan bebas dari individu. Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Dalam paham negara hukum, jaminan HAM sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara. Jaminanjaminan HAM itu juga diharuskan dengan tegas tercantum dalam Undangundang Dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy).8 Sejalan dengan perkembangan HAM di Indonesia, ketentuan-ketentuan konstitusi dan perundang-undangan telah melembagakan nilai-nilai jaminan HAM, baik UUD 1945 pra maupun pasca perubahan. Dalam UUD 1945 amandemen ke empat, HAM diatur dalam BAB XA mulai dari pasal 28A 8
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konsititusi RI, Jakarta, hlm. 85.
sempai pasal 28J. Termasuk di dalamnya mengatur tentang hak sipil dan politik yang diantaranya adalah hak kebebasan memperoleh informasi. Dalam demokrasi mensyaratkan adanya kebebasan dan keterbukaan dalam memperoleh informasi publik. Keterbukaan atau transparansi dalam perkembangannya menjadi salah satu prinsip atau pilar Negara demokrasi demi terwujudnya control social. Control social tersebut bisa terlaksana jika masyarakat diberikan akses yang terbuka untuk memperoleh informasi berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan publik. Informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang, baik dalam rangka mengembangkan kualitas pribadi maupun dalam rangka menjalani kehidupan sosialnya. Oleh karena itu tidak salah jika kebebasan memperoleh informasi publik merupakan bagian dari HAM yang dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) pada Pasal 19, sebagai berikut: “Everyone has the
right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers”. Sejalan dengan itu, akses terhadap informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi konstitusi. Pada perubahan kedua UUD 1945 Pasal 28F dinyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.9 Jauh sebelum itu pada masa orde baru gagasan tentang keterbukaan informasi publik juga tertuang dalam beberapa undang-undang yang dibuat pada masa orde baru, diantaranya; 1. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 5 ayat (2)). 2. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang (Pasal 4, ayat 2, Butir a)10 Setelah reformasi tahun 1998 semangat untuk memperjuangkan hak untuk memperoleh informasi publik terus disuarakan. Banyak undang-undang yang dibuat pasca reformasi yang memasukkan hak memperoleh informasi publik bagi masyarakat ke dalam beberapa Pasalnya. Diantaranya adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam Pasal 14 dan 90, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam Pasal 4 dan 17, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 3, 4, dan 7. UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Pasal 3, 5, dan 9, UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 41, dan masih banyak lagi. Komitmen dalam memperjuangkan hak memperoleh informasi bagi masyarakat yang tertuang dalam undang-undang di atas merupakan upaya untuk melakukan reformasi dalam bidang hukum, politik, dan birokrasi. Salah 9
Henry Subagyo. Dkk, 2009, Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat RI, Jakarta, hlm, 11. 10 Dhoho A. Sastro, dkk, 2010, Mengenal Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, LBH Masyarakat dan TIFA, Jakarta, hlm. 1.
satu tujuan dari komitmen tersebut adalah sebagai upaya untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, bersih, serta bebas dari KKN. Dalam perkembangan selanjutnya pengaturan tentang kebebasan dalam memperoleh informasi publik diatur tersendiri dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disingkat dengan UU KIP) yang disahkan pada tanggal 30 April 2008. Pada awalnya Undang-undang tersebut merupakan gagasan dari sekelompok LSM yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). Pada tahun 2000 KMIP yang dimotori oleh Komisi Hukum Nasional dan sejumlah LSM terkemuka seperti, Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Komite Peduli Otonomi Daerah (KPOD), dan sebagainya, kemudian melalui proses panjang, loby dan negosiasi, pada maret 2002, DPR mengadopsi draf RUU KMIP.11 Keberadaan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
memberikan
pencerahan
dalam
pelaksanaan
penyelenggaraan Negara atau pemerintahan. Pelaksanaan keterbukaan informasi
publik
dalam
penyelenggaraan
negara
atau
pemerintahan
merupakan perwujudan tata pemerintahan yang baik (Good Governance), dan jaminan kepastian hukum terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan
11
R. Muhammad Mihardi, Op.cit., 5.
informasi yang dibutuhkan serta untuk turut serta dalam mengontrol penyelenggaraan negara atau pemerintahan. UU KIP memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk memperoleh informasi yang dikuasai oleh Badan Publik. UU KIP memberikan acuan yang sangat jelas kepada warga negara tentang tata cara memperoleh informasi dari badan publik. UU KIP juga mengatur tentang apa yang harus dilakukan oleh warga Negara (pemohon informasi publik), jika niatnya untuk memperoleh informasi dari badan publik dihambat oleh pejabat di dalam badan publik tersebut. Penyelesaian sengketa permintaan informasi tersebut akan diselesaikan oleh Komisi Informasi.12 Di dalam UU KIP memuat 64 pasal dan 14 bab. Di dalamnya dimuat pula asas dan tujuan undang-undang ini. Salah satu asas yang paling esensial, setiap informasi publik bersifat terbuka, dapat diakses oleh setiap pengguna informasi
publik. Dirumuskan pula adanya
informasi
publik
yang
dikecualikan untuk diakses dan itupun harus bersifat ketat serta terbatas. 13 Pada dasarnya setiap informasi bersifat terbuka dan dapat diakses kecuali yang dibatasi oleh undang-undang (Maximum Access Limited Exemption). Asas ini diwujudkan melalui beberapa rumusan, antara lain: 1. Pemberlakuan pengecualian harus didasarkan pada asas kehati-hatian dengan menggunakan metode uji konsekuensi (consequential harm test) dan uji menimbang kepentingan publik yang paling besar (balancing publik interest test); 2. Pemberlakuan status kerahasiaan terhadap informasi mempunyai batas waktu (tidak bersifat permanen); 12
Agus Sudibyo, dkk, Panduan Sederhana Penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik, Yayasan Yet, Jakarta, hlm. Vi. 13 R. Muhammad Mihardi, Op.cit., 115.
3. Ruang lingkup badan publik (penyedia akses informasi) tidak terbatas pada institusi negara (state institutions), tetapi juga institusi di luar negara yang mendapatkan serta menggunakan anggaran negara (terkait dengan aktualisasi prinsip akuntabilitas publik).14 Dengan berlakunya UU KIP masyarakat bisa ikut serta dan berpartisipasi dalam menjalankan sistem pemerintahan. Partisipasi masyarakat tersebut bisa diwujudkan dengan keikutsertaan dalam melakukan control dan evaluasi kebijakan publik yang akan ataupun telah dilaksanakan oleh lembaga publik. Keikutsertaan dalam evaluasi (participation in evaluation) merupakan keikutsertaan dalam mengawasi dan menilai pelaksanaan hasil-hasil perencanaan. Masyarakat dapat memberikan saran dan kritik terhadap pelaksanaan pemerintahan agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan mencapai hasil yang telah ditetapkan. Menurut Suwignjo seperti dikutip oleh Mulyadi15 “partisipasi dalam evaluasi bertujuan untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai rencana yang telah ditentukan sebelumnya”. Semangat UU KIP untuk menjalankan sistem pemerintahan yang bersih, transparan, dan demokratis merupakan implementasi dari cita-cita reformasi. Dengan UU KIP, masyarakat memiliki jaminan hukum untuk melakukan pengawasan atas berbagai kebijakan termasuk kebijakan anggaran pemerintah. Di sisi lain, badan-badan publik yang dikelola pemerintah pun harus
14
Dhoho A. Sastro, Op.cit., 3-4. Muhammad Mulyadi, 2009, Partisipasi Masyarakat dalam Pembagunan Masyarakat Desa, Nadi Pustaka, Jakarta, hlm. 45. 15
melakukan sosialisasi serta berkewajiban memberikan informasi kebijakan yang diajukan oleh masyarakat.16 Dari pemaparan di atas, badan publik mempunyai kewajiban untuk memberikan serta mensosialisasikan informasi publik yang berhak diketahui oleh masyarakat, hal tersebut diatur dalam UU KIP Pasal 7. Penjelasan tentang Badan Publik sendiri diatur dalam Pasal 1 ayat 3 UU KIP, yaitu : Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non-pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Dalam memberikan informasi kepada masyarakat tidak semua informasi boleh diberikan kepada masyarakat. Ada beberapa informasi yang bersifat rahasia dan dikecualikan yang tidak boleh disebarluaskan dan diberikan kepada masyarakat seperti yang diatur dalam Pasal 17 UU KIP. Permintaan informasi publik oleh masyarakat kepada badan publik ada kemungkinan tidak dilayani atau tidak diberikan oleh badan publik yang bersangkutan. Kemungkinan tersebut yang akan menimbulkan konflik17 atau sengketa informasi. Dalam UU KIP juga mengatur tentang bagaimana menyelesaikan sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan badan publik. 16
Agus Sunaryanto, dkk, Buku Panduan Memberantas Korupsi dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, Yayasan Yet dan USAID, Jakarta, hlm. 5. 17 Konflik merupakan bagian dari proses sengketa mengingat proses konflik mencangkup tahapan potensi konflik namun penggunaan istilah sengketa sering dipersamakan dengan konflik yaitu suatu kondisi yang ditimbulkan oleh dua orang atau lebih yang dicirikan oleh beberapa tanda pertentangan secara terang-terangan, baik disebabkan oleh rasa tidak puas, perbedaan pendapat, dan atau diperlakukan secara tidak adil. Lihat Selengkapnya dalam, Ade Saptomo, 2010, Hukum Dan Kearifan Lokal; Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 29.
Dalam UU KIP Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa: “Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi antara badan publik dan pengguna informasi publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi berdasarkan perundang-undangan”.18 Sengketa tersebut bisa terjadi karena; 1. Permintaan informasi ditolak berdasarkan alasan pengecualian; 2. Tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana diatur dalam UU KIP; 3. Tidak ditanggapinya permintaan informasi; 4. Permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta; 5. Tidak dipenuhinya permintaan informasi; 6. Pengenaan biaya yang tidak wajar; 7. Dan/atau penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam UU KIP.19 Berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang terjadi dalam bidang informasi publik, UU KIP memberikan kewenangan pada Komisi Informasi sebagai badan atau lembaga Negara yang mempunyai kewenangan dalam penyelesaian sengketa dalam bidang informasi publik. Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.20 Fungsi tersebut mencerminkan bahwa Komisi Informasi merupakan organ pengatur sekaligus penghukum yang menegakkan UU KIP melalui penyelesaian sengketa secara mediasi maupun adjudikasi diluar pengadilan. Komisi Informasi juga berwenang menetapkan peraturan pelaksana dari UU KIP berupa petunjuk teknis. 18
UU KIP, Pasal 1 ayat 5. Agus Sudibyo, dkk, Op.cit, 15-16. 20 UU KIP Pasal 1 ayat 4. 19
Sebagai contoh dalam penyelesaian sengketa informasi publik, selain diatur dalam UU KIP Komisi Informasi Pusat juga menetapkan beberapa petunjuk teknis sebagai pedoman dalam melaksanakan penyelesaian sengketa di bidang informasi publik. Diantara peraturan-peraturan tersebut adalah Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013 Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. Dalam peraturan tersebut di atas juga diatur tentang prosedur alternatif penyelesaian sengketa melalui
jalur mediasi
dan ajudikasi. Model
penyelesaian sengketa alternatif tersebut digunakan salah satunya sebagai upaya untuk mempermudah dan mempercepat dalam penyelesaian sengketa ketimbang melalui jalur litigasi. Mediasi merupakan salah satu instrument efektif penyelesaian sengketa non-litigasi yang memiliki banyak manfaat dan keuntungan. Manfaat dan keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua orang yang bersengketa dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. J. Folberg dan A. Taylor seperti yang dikutip oleh Syahrizal Abas, lebih menekankan konsep mediasi pada upaya yang dilakukan mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi. Kedua
ahli
ini
menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dilakukan secara bersama-sama oleh pihak yang bersengketa dan dibantu oleh pihak yang netral. Mediator
dapat mengembangkan dan menawarkan pilihan penyelesaian sengketa dan para pihak dapat pula mempertimbangkan tawaran mediator sebagai suatu alternatif menuju kesepakatan dan penyelesaian sengketa. Mediasi dapat membawa para pihak mencapai kesepakatan tanpa merasa ada pihak yang menang atau pihak yang kalah (win-win solution).21 Selama ini implementasi dari UU KIP adakalanya berjalan secara maksimal dan adakalanya tidak berjalan maksimal, hal ini tergantung pada daerah dan provinsi masing-masing. Kondisi tersebut tergantung pada pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang UU KIP dan fungsinya. Persoalan sosialisasi UU KIP kepada masyarakat menjadi penting, semakin banyak masyarakat yang tahu dan paham tentang fungsi UU KIP, maka kemungkinan besar implementasi dari UU KIP juga akan efektif. Persoalan dibeberapa provinsi tertentu tentang kurang efektifnya implementasi UU KIP, salah satu penyebab utamanya adalah kurang tahunya masyarakat tentang UU ini. Hanya segelintir orang ataupun golongan saja yang tahu tentang UU ini dan fungsinya. Padahal UU KIP bisa menjadi ‘senjata’ bagi masyarakat untuk melakukan control terhadap pemerintah. Berbeda dengan Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur, implementasi UU KIP terbilang efektif. Hal ini ditunjukkan berdasarkan laporan Komisi Informasi, bahwa permohonan penyelesaian sengketa informasi yang masuk ke Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 sebanyak 161 kasus. Rincian penanganan kasus dengan Putusan Mediasi 71 kasus (25%), 21
Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum adat, dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 5.
selesai dengan Putusan Ajudikasi 35 kasus (12%), dalam Proses 55 kasus (19%), Dilimpahkan 0 kasus (0%), Dibatalkan 2 kasus (1%), Dikembalikan 122 kasus (43%).22 Secara keseluruhan sejak tahun 2010 sampai 2014 jumlah sengketa yang ditangani oleh Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur ada 800 kasus. Berikut tabel penanganan sengketa yang sudah direkap oleh Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur;23 Tabel: 1
Ada fakta menarik dari laporan kasus di atas, bahwa mayoritas dari penyelesaian kasus tersebut diselesaikan secara mediasi. Asumsinya bahwa mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat berjalan secara efektif untuk menyelesaikan sengketa di Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur. Fakta tersebut sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan yang terjadi di Peradilan Umum maupun Peradilan Agama. Penyelesaian sengketa melalui mediasi pada dua peradilan tersebut justru bukan menjadi pilihan utama oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ada, sangat minim kasus-kasus perdata yang dapat diselesaikan melalui
22
http://kip.jatimprov.go.id/news/read/2014/12/23/24/fia-2014-pertanggungjawabanpublik-ki-jatim-dalam-melaksanakan-uu-kip.html, diakses pada hari Rabu, 15 April 2015, pukul 15.32. 23 Ibid.,
mediasi, kebanyakan kasus diselesaikan secara persidangan dan berakhir dengan putusan hakim. Berdasarkan dari data di atas, penelitian tentang mediasi di Komisi Informasi menjadi menarik untuk dilakukan, khususnya mengenai efektivitas pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Komisi Informasi Jawa Timur. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti tentang Efektivitas Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Bidang Informasi Publik di Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur.
B. Rumusan Masalah
Dari kegelisahan akademik dan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana efektivitas mediasi dalam penyelesaian sengketa bidang informasi publik di Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur? 2. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh mediator dan komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur untuk meningkatkan efektivitas mediasi dalam penyelesaian perkara sengketa informasi publik?
C. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran yang penulis lakukan melalui Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, menurut penulis
penelitian tentang efektivitas mediasi dalam penyelesaian sengketa bidang informasi publik di Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur merupakan suatu penelitian yang baru dan belum ada satupun peneliti yang melakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut. Sebagai telaah pustaka, penelitian yang berkaitan dengan keterbukaan informasi publik berdasarkan penulusaran yang penulis temukan sebagai berikut; Pengaturan Perlindungan Hak Atas Informasi Publik Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), penelitian tesis ini dilakukan oleh Fauzin yang membahas fokus masalah tentang, pertama; perlindungan hak atas informasi publik setelah Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua; keselarasan antara isi (substansi) Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan prinsipprinsip perlindungan hak atas informasi.24 Optimalisasi Fungsi Ombudsman Republik Indonesia Pasca UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Penelitian ini adalah skripsi yang ditulis oleh Mina Apratima Nour yang memfokuskan masalah tentang; pertama, bagaimana kedudukan dan fungsi Ombudsman RI pasca adanya Komisi Informasi dalam UU No. 14 Tahun 2014 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
24
Fauzin, “Pengaturan Perlindungan Hak Atas Informasi Publik Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)” (Tesis, Fak. Hukum Universitas Gadjahmada, 2012).
Publik. Kedua, perubahan apa saja yang dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi Ombudsman RI yang telah ada.25 Implikasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Terhadap Hak Untuk Mendapat Informasi. Penelitian ini adalah skripsi yang ditulis oleh M. Fadllullah yang membahas tentang focus masalah; pertama, bagaimana pengaruh dari UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terhadap Pasal 28F UUD 1945. Kedua, bagaimana hubungan UU No. 40 Tahun 1999 dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam mengawal kebebasan setiap orang untuk mendapatkan informasi. Ketiga, bagaimanakan bentuk perlindungan hak konstitusional mengenai hak untuk mendapatkan informasi.26 Dari hasil penelusuran penulis yang dipaparkan di atas, ditemukan beberapa penelitian yang membahas tentang Keterbukaan Informasi Publik dari berbagai aspek, namun belum ada satupun penelitian tentang Keterbukaan Informasi publik yang memfokuskan terhadap penyelesaian sengketa di bidang informasi publik melalui jalur mediasi. Berbagai telaah studi terhadap permasalahan yang diangkat menjadi sebuah tesis ini, memang belum ada
25
Mina Apratima Nour, Optimalisasi Fungsi Ombudsman Republik Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. (Skripsi, Fak. Hukum Universitas Gadjahmada, 2010) 26 M. Fadllullah, Implikasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Terhadap Hak Untuk Mendapat Informasi, (Skripsi, Fak. Hukum Universitas Gadjahmada, 2011).
yang melakukannya. Dengan demikian, penulisan penelitian ini adalah asli adanya.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis sisi pragmatis dari penelitian adalah sebagai informasi awal bagi peneliti lain yang ingin membahas lebih jauh mengenai efektivitas pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa di bidang informasi publik khususnya di Jawa Timur. Selain itu hasil studi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi dinamisasi keilmuan yang berkaitan dengan implementasi keterbukaan informasi publik sehingga dapat menambah khazanah keilmuan khususnya dalam bidang tersebut. Adapun secara praktis penelitian ini berguna untuk Komisi Informasi khusunya Komisi Informasi Jawa Timur sebagai masukan dan bahan pertimbangan guna mengembangkan metode mediasi yang lebih baik demi meningkatkan kualitas dan profesionalitas Komisi Informasi sebagai wadah bagi masyarakat dalam mencari keadilan di bidang informasi. Lebih jauh lagi penelitian ini secara praktis juga bermanfaat bagi masyarakat luas sebagai bahan kajian untuk mengetahui lebih lanjut dan lebih mendalam seputar keterbukaan informasi publik.
E. Tujuan Penelitian
Dari fokus penelitian yang ada dalam rumusan masalah, dapat ditentukan tujuan pokok dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui efektivitas mediasi dalam penyelesaian sengketa bidang informasi publik di Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur. 2. Untuk megetahui upaya yang dilakukan oleh mediator dan komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur untuk meningkatkan efektivitas mediasi dalam penyelesaian perkara sengketa informasi publik.