1
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Sejak lahir ke dunia, manusia sebagai makhluk individu tidak dapat hidup
sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Meskipun dikatakan sebagai makhluk individu dan mandiri, namun pada dasarnya sebutan sebagai makhluk sosial lebih tepat diberikan kepada tiap manusia. Hal ini dikarenakan selama hidupnya, manusia selalu berada di dalam lingkungan masyarakat yang secara tidak langsung menimbulkan interaksi satu sama lain. Interaksi tersebut didasarkan atas adanya suatu kepentingan, persamaan keinginan, maupun karena adanya perasaan yang muncul pada diri masing-masing individu tersebut. Tiap manusia diciptakan untuk hidup berpasangan dan untuk memulai suatu hubungan dengan pasangannya tersebut harus dilakukan dengan perkawinan. Melalui ikatan perkawinan terbentuklah sebuah keluarga yang akan melahirkan keturunan. Perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diamanatkan oleh agama, nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang diakui tidak hanya secara hukum melainkan pula diakui oleh agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing pihak. Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
2
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila dicermati bunyi Pasal 1 tersebut, perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang terjalin antara seorang laki-laki dengan perempuan. Suci dalam arti ikatan yang terjalin didasarkan atas perasaan suka sama suka dan tidak ada paksaan serta didasari atas keyakinan dan kepercayaan yang dianut. Masyarakat beranggapan melalui ikatan lahir batin yang terjalin antara pasangan suami istri akan tercipta keluarga yang kekal dan bahagia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan payung hukum atau dasar hukum bagi masyarakat dalam hal pelaksanaan perkawinan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Hazairin sebagaimana ditulis dalam bukunya yang berjudul Tinjauan Mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang dikutip dari buku K. Wantjik Saleh, menamakan undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai suatu unifikasi hukum di bidang perkawinan dibentuk sesuai dengan dasar filosofis bangsa Indonesia yang majemuk dengan adanya 5 (lima) agama dan beraneka ragam adat istiadat maupun kebiasaan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, sehingga untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu perkawinan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berpedoman pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak. Melihat pengertian perkawinan tersebut sudah jelas bahwa perkawinan menurut hukum Indonesia tidak hanya berkaitan dengan suatu proses administrasi 1
K. Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 4.
3
atau hubungan keperdataan antara suami dan istri, melainkan lebih menekankan pada adanya ikatan lahir batin yang didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan harus didasari oleh adanya ikatan diantara satu sama lain, bukan hanya karena dorongan alamiah untuk membuat keturunan sebagai penerus keluarga. Pengakuan adanya ikatan lahir batin antara suami istri juga menjadi tolak ukur agar perkawinan harus dilakukan dengan kerelaan masing-masing pihak dan bukan karena adanya paksaan dari pihak lain. Kata “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menyiratkan bahwa dalam undang-undang ini juga menjadikan agama sebagai dasar dari adanya suatu perkawinan. Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. 2 Pada dasarnya, perkawinan merupakan suatu perjanjian namun berbeda dari perjanjian lain pada umumnya. Perjanjian pada umumnya bebas dibuat oleh para pihak sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan perundangundangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Sedangkan perkawinan dikatakan sebagai salah satu bentuk perjanjian karena perkawinan terjadi sebelumnya didahului oleh adanya persetujuan kedua belah pihak, baik calon mempelai maupun keluarga dari calon mempelai. Perkawinan menimbulkan hak dan
2
Soedharyo Soimin, 2004, Hukum Orang Dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 6.
4
kewajiban dari suami-istri yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Suami-istri harus mentaati dan menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing secara seimbang. Perkawinan tidak hanya bertujuan untuk membentuk keluarga melainkan pula mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau keyakinan, sehingga suatu perjanjian dalam bentuk perkawinan ini tidak hanya mempunyai unsur jasmani namun juga mempunya unsur rohani. Suatu perkawinan dapat melahirkan persoalan tentang harta kekayaan yaitu mengenai harta benda bersama suami istri maupun harta pribadi dan atau harta bawaan. 3 Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan pada umumnya sangat jarang atau bahkan tidak pernah mempermasalahkan mengenai harta masing-masing pihak atau percampuran harta yang akan terjadi setelah perkawinan. Landasan yang diterapkan adalah asas saling percaya dan memahami satu sama lain. Namun semakin berkembangnya situasi dan kondisi dalam masyarakat, terutama dengan semakin banyaknya pengaruh budaya asing masuk ke Indonesia, sedikit demi sedikit merubah pola hidup dan pandangan masyarakat. Harta masing-masing pihak maupun percampuran harta dalam perkawinan menjadi suatu permasalahan yang disoroti oleh pasangan suami-istri yang hendak melangsungkan perkawinan. Hal ini dikarenakan saat ini baik pihak laik-laki maupun perempuan mampu menghasilkan harta kekayaan masing-masing sehingga dipandang perlu untuk mengatur mengenai pemisahan harta bersama
3
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2012, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUH Perdata dan Perkembangannya, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 22.
5
dalam suatu perkawinan. Upaya yang ditempuh untuk pemisahan harta tersebut dilakukan dengan membuat suatu Perjanjian Perkawinan. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang (calon suami istri) sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur aibat-akibat
perkawinan
yang
menyangkut
harta
kekayaan. 4
Perjanjian
Perkawinan adalah suatu kesepakatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang
akan
melangsungkan
perkawinan
untuk
memisahkan
kepemilikan harta dan utang piutang, dan kesepakatan tentang sejumlah hal penting lain pada saat mengarungi bahtera rumah tangga. Perjanjian Perkawinan sebenarnya bukanlah perjanjian yang dibuat dalam rangka perceraian. Meskipun banyak yang beranggapan apabila ada pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan kemudian memutuskan untuk membuat suatu Perjanjian Perkawinan, maka mereka mempersiapkan untuk perceraiannya. Terlepas dari anggapan negatif masyarakat tentang Perjanjian Perkawinan, ada nilai-nilai positif dibalik maksud dibuatnya Perjanjian Perkawinan tersebut. Perjanjian Perkawinan memberikan perlindungan bagi suami istri yang akan terikat dalam suatu perkawinan. Perjanjian Perkawinan yang dibuat dapat mengatasi penilaian negatif bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan apabila salah satu pihak berasal dari keluarga sederhana, sementara pihak lainnya berasal dari keluarga terpandang. Anggapan perkawinan tersebut hanya dilakukan untuk mencari kekayaan pihak lainnya pun dapat ditepis dengan dibuatnya Perjanjian 4
R. Soetojo Prawirohamidjojo, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya, hal. 73.
6
Perkawinan. Contoh lainnya, Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh pasangan yang berasal dari dunia bisnis, di mana salah satu pihak memiliki bidang usaha yang beresiko tinggi yang ada kalanya dapat mengalami kemunduran karena sangat tergantung pada situasi perekonomian. Apabila salah satu pihak ingin mengajukan kredit pada bank dengan jaminan harta yang dimilikinya, maka hutang yang akan timbul setelahnya hanya akan mengikat pihak yang terkait saja, sedangkan pasangannya akan terbebas dari kewajiban dan dari resiko pembayaran hutang. Kemudian, apabila debitur dinyatakan bangkrut maka hanya harta kekayaannya saja yang akan disita oleh kreditur, sementara harta pasangannya tidak. Dengan demikian keluarganya masih bisa menjalankan kehidupan seharihari terutama menjamin kesejahteraan kedua belah pihak dan anak-anak dengan menggunakan harta yang dimiliki pasangannya sehingga tidak ada pihak lain yang dirugikan dalam hal ini. Pemahaman yang sesungguhnya mengenai Perjanjian Perkawinan akan merubah pandangan masyarakat mengenai pasangan yang membuat
Perjanjian
Perkawinan
sebelum
melangsungkan
perkawinan.
Perlindungan yang diberikan melalui Perjanjian Perkawinan memberi kepastian bagi tiap pasangan dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Isi Perjanjian Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat mengenai segala hal, asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur dengan jelas mengenai isi dari Perjanjian Perkawinan itu sendiri selain pengaturan yang telah disebutkan di atas. Namun pada umumnya, isi Perjanjian Perkawinan itu dapat meliputi:
7
a. Penyatuan harta kekayaan suami istri; b. Penguasaan, pengawasan dan perawatan harta kekayaan istri oleh suami; c. Istri atau suami melanjutkan kuliah dengan biaya bersama; d. Dalam perkawinan mereka sepakat untuk melakukan keluarga berencana. 5 Perjanjian Perkawinan sendiri telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Menurut sistem KUHPerdata, maka harta kekayaan harta bersama yang menyeluruh (algehele gemeenschap van goederen) adalah akibat yang normal dari suatu perkawinan, sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta yang menyeluruh hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian kawin. 6 Perjanjian Perkawinan diatur mulai dari Pasal 139 sampai dengan Pasal 154 KUHPerdata. Dalam Pasal 139 KUHPerdata disebutkan: Dengan mengadakan Perjanjian Perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini. Kata “segala ketentuan di bawah ini” yang termaktub dalam pasal tersebut di atas mengacu pada segala ketentuan yang diatur mulai dari Pasal 140 sampai dengan Pasal 154 KUHPerdata. Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk akta Notaris sebelum perkawinan berlangsung dan akan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
5
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 88. 6 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, (Selanjutnya disebut dengan Titik Triwulan Tutik I), hal. 129.
8
Perjanjian Perkawinan yang dibuat para pihak erat kaitannya dengan pihak ketiga. Perjanjian Perkawinan baru akan mengikat pihak ketiga apabila perjanjian tersebut telah dicatatkan di Pengadilan Negeri tempat dilangsungkannya perkawinan. Perihal pencatatan Perjanjian Perkawinan tersebut secara lebih terperinci diatur dalam Pasal 152 KUH Perdata sebagai berikut: Ketentuan tercantum dalam Perjanjian Perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari persatuan menurut undang-undang seluruhnya atau sebagian, tak akan berlaku terhadap pihak ke tiga, sebelum hari ketentuanketentuan itu dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan, atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri, dikepaniteraan di mana akta perkawinan dibukukannya. Pendaftaran Perjanjian Perkawinan penting dilakukan dalam hubungannya dengan pihak ketiga. Pendaftaran Perjanjian Perkawinan dilakukan agar pihak ketiga mengetahui bahwa perkawinan yang terjadi tidak didasarkan atas pembulatan harta kekayaan dan telah terjadi pemisahan harta kekayaan antara suami istri tersebut. Apabila Perjanjian Perkawinan tersebut tidak didaftarkan maka pihak ketiga dapat menganggap bahwa pasangan tersebut melangsungkan perkawinan dengan kesatuan harta kekayaan. Hal ini memiliki resiko seandainya salah satu pihak mempunyai kewajiban pada pihak ketiga namun tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka pasangannya akan ikut menanggung kewajibannya yang telah dilakukan pasangannya tersebut. Perjanjian kawin dilakukan secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak. Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum yang berarti para pihak telah mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan tidak boleh melanggar perjanjian
9
tersebut. 7 Layaknya perjanjian pada umumnya, para pihak yang membuat perjanjian harus mentaati aturan hukum yang melandasi terbentuknya perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi atau tidak dapat melaksanakan kewajiban yang telah dicantumkan dalam perjanjian, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan cerai atau ganti rugi atas kerugian yang telah dideritanya. Unifikasi hukum perkawinan di Indonesia telah mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengaturan tersebut tercantum pada Pasal 29 ayat (1) sampai dengan ayat (4), sebagai berikut: (1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ke tiga sepanjang pihak ke tiga tersangkut. (2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ke tiga. Apabila melihat pengaturan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perjanjian bersama yang diadakan oleh para pihak sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, maka akan muncul pertanyaan mengenai keabsahan Perjanjian Perkawinan itu sendiri apabila tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. 7
Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian (Pentingnya Perjanjian Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini), Visimedia, Jakarta Selatan, hal. 296.
10
Perjanjian Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dalam pembuatannya harus mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila Perjanjian Perkawinan telah dibuat sesuai dengan syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan seperti tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perjanjian tersebut sudah dapat dikatakan sah. Namun sahnya suatu Perjanjian Perkawinan seperti yang tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah setelah disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Apabila membaca kata “disahkan” dalam Pasal 29 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tersebut, akan timbul berbagai penafsiran tersendiri mengenai kejelasan maksud yang tersirat dari bunyi Pasal 29 ayat (1) secara keseluruhan, terlebih lagi dalam bagian Penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan penjelasan mengenai maksud kata “disahkan” dalam Pasal 29 ayat (1) tersebut. Masyarakat akan dapat menginterpretasikan bahwa Perjanjian Perkawinan yang mereka buat dalam bentuk akta notarial merupakan perjanjian yang masih belum sah, sehingga untuk menjadi sah Perjanjian Perkawinan tersebut harus disahkan terlebih dahulu oleh Pegawai pencatat perkawinan. Keabsahan mengandung arti sifat yang sah sehingga agar suatu Perjanjian Perkawinan dapat dikatakan sah maka Perjanjian Perkawinan tersebut harus dibuat berdasarkan hukum. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan dari Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Meskipun Perjanjian
11
Perkawinan tersebut telah dibuat berdasarkan hukum apakah karena tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil Perjanjian Perkawinan tersebut menjadi tidak sah. Keabsahan suatu perjanjian sangatlah penting karena akan berdampak pada keberlakuan dari isi perjanjian itu sendiri bagi para pihak maupun bagi pihak ketiga yang terkait dalam perjanjian tersebut. Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak tentunya akan berkaitan dengan segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak selama perkawinan itu berlangsung. Perbuatan hukum tersebut dapat berupa transaksi jual beli, utang piutang, sampai pada terjadinya fenomena Perkawinan Campuran. Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraannya. 8 Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena
perbedaan
kewarganegaraan
dan
salah
satu
pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Sama halnya dengan perkawinan pada umumnya, Perkawinan Campuran juga akan mengakibatkan percampuran harta pasangan suami-istri. Percampuran harta ini dapat dicegah dengan membuat Perjanjian Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Sejak perkawinan dimulai, secara otomatis terjadi percampuran harta kekayaan antara suami-istri, kecuali apabila sebelumnya pasangan suami-istri
8
Amir Martosedono, 1997, Apa dan Bagaimana Undang-Undang Perkawinan No. 1, 1974, Cetakan Kelima, Dahara Prize, Semarang, hal. 40.
12
tersebut telah membuat Perjanjian Perkawinan mengenai pemisahan harta kekayaan masing-masing pihak. Percampuran harta yang terjadi antara pasangan suami-istri hasil perkawinan sesama Warga Negara Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah dan tidak akan mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak dalam hal pemilikan hak milik atas tanah di Indonesia. Namun tidak demikian dengan percampuran harta yang terjadi antara pasangan dalam Perkawinan Campuran. Pasangan dalam Perkawinan Campuran yang salah satunya merupakan Warga Negara Indonesia akan kehilangan seluruh haknya untuk memiliki hak milik atas tanah maupun properti lainnya di Indonesia apabila sebelum perkawinan berlangsung tidak pernah membuat Perjanjian Perkawinan. Pada saat penggunaan harta bersama, suami maupun istri hanya akan dapat bertindak apabila sudah mendapatkan persetujuan dari keduabelah pihak, yakni suami dan istri, sehingga terbentuknya harta bersama dalam Perkawinan Campuran oleh Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing akan menimbulkan hak kepemilikan yang sama. Laki-laki maupun perempuan yang merupakan Warga Negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada diri mereka masing-masing. Baik laki-laki maupun perempuan Warga Negara Indonesia yang terlibat dalam Perkawinan Campuran dapat tetap menjadi Warga Negara Indonesia apabila mereka mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya untuk tetap memiliki kewarganegaraannya, seperti diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Apabila lakilaki atau perempuan yang tetap menjadi Warga Negara Indonesia setelah melakukan Perkawinan Campuran, dengan demikian hak-hak yang dimilikinya
13
sebagai seorang Warga Negara Indonesia masih melekat padanya. Pasal 36 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa salah satu hak yang dimiliki tiap-tiap pribadi adalah hak untuk mempunyai milik atau hak milik atas suatu benda. Sementara itu dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diatur dengan tegas bahwa pemilikan hak milik atas tanah hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Perkawinan Campuran yang tanpa Perjanjian Perkawinan mengakibatkan ketidakjelasan mengenai hak Warga Negara Indonesia yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria untuk dapat memiliki hak milik atas tanah di Indonesia. Keabsahan dari Perjanjian Perkawinan akan sangat berpengaruh pada hak Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran apabila dikaitkan dengan pemilikan hak atas tanah di Indonesia, karena setiap perjanjian baik secara langsung maupun tidak langsung pasti menimbulkan dampak terhadap pihak ketiga. Ketidakjelasan keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan membuat adanya permasalahan bagi salah satu pihak dalam perkawinan apabila hendak melakukan peralihan hak milik atas tanah kepada pihak ketiga. Apabila Perjanjian Perkawinan tidak disahkan, maka belum ada kejelasan mengenai kekuatan hukum yang timbul pada perjanjian tersebut, apakah perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang sifatnya mengikat atau tidak. Pengesahan Perjanjian Perkawinan pada dasarnya merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh setiap pasangan yang membuat Perjanjian Perkawinan. Namun
14
pada kenyataannya yang terjadi beberapa kasus di mana Perjanjian Perkawinan tersebut setelah dibuat dalam bentuk akta notarial di hadapan Notaris tidak disahkan sama sekali pada Pegawai pencatat perkawinan. Hal ini tentu berimbas pada keabsahan dan keberlakuan dari Perjanjian Perkawinan tersebut, baik terhadap para pihak maupun terhadap pihak ketiga. Perjanjian Perkawinan merupakan salah satu permasalahan hukum yang menarik untuk diteliti terlebih lagi dengan adanya kekaburan norma yang terdapat di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berdampak pada keabsahan Perjanjian Perkawinan dan akibat hukumnya bagi Warga Negara Indonesia terhadap kepemilikan hak milik atas tanah dalam Perkawinan Campuran, sehingga penulis mengangkat dan melakukan penelitian untuk mendapat jawaban dari permasalahan tersebut. Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil dalam Perkawinan Campuran yang diteliti dalam penelitian ini adalah Perjanjian Perkawinan yang dibuat sesuai dengan hukum dari pihak yang berkewarganegaraan Indonesia sehingga Perjanjian Perkawinan tersebut tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagai pembanding dari penelitian yang penulis lakukan, dapat diajukan 3 (tiga) tesis yang berkaitan dengan Perjanjian Perkawinan yang diperoleh dengan cara pencarian melalui media internet. Adapun judul-judul tesis yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Tesis pertama berjudul “Efektivitas Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak Ketiga (Analisis Kasus Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 000 Yang Dibuat Dihadapan Notaris XXX)”.
15
Penelitian ini dilakukan oleh Mashella Laksana untuk meraih gelar Magister Kenotariatan di Universitas Indonesia, Depok, Jakarta. b. Tesis kedua berjudul “Analisis Kekuatan Hukum Akta Notaris tentang Perjanjian
Perkawinan
terhadap
Penetapan
Perkara
Perdata
No.
264/Pdt.P/2010 di Pengadilan Negeri Malang”. Karya ilmiah ini ditulis oleh Zainiah Anis. c. Tesis ketiga berjudul “Pembuatan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya terhadap Pihak Ketiga (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 207/Pdt.P/2005/PN Jkt. Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri No. 459/Pdt.P/2007/PN Jkt. Tmr”. Hasil penelitian ini dibuat oleh Ramadhan Wira Kusuma, mahasiswa Program Studi
Magister
Kenotariatan
Program
Pascasarjana
Universitas
Diponegoro Semarang. Untuk lebih jelas dapat secara ringkas diuraikan permasalahan dari tesis yang dikemukakan di atas, sebagai berikut: a. Tesis pertama yang berjudul “Efektivitas Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak Ketiga (Analisis Kasus Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 000 Yang Dibuat Dihadapan Notaris XXX)”, menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan meneliti sebuah Akta Perjanjian Perkawinan yang detail akta tersebut tidak disebutkan dalam penelitian ini. Permasalahan yang diajukan berkaitan dengan: pertama, bagaimana keberlakuan Perjanjian Perkawinan yang hanya berdasarkan pada Surat Keterangan Dinas Kependudukan, Catatan Sipil
16
dan Tenaga Kerja? Kedua, bagaimana keabsahan akta kesepakatan jual beli tanpa persetujuan pihak istri yang didasarkan dari Perjanjian Perkawinan yang belum didaftarkan di Kantor Catatan Sipil terhadap pihak ketiga? b. Tesis kedua yang berjudul “Analisis Kekuatan Hukum Akta Notaris tentang Perjanjian Perkawinan terhadap Penetapan Perkara Perdata No. 264/Pdt.P/2010 di Pengadilan Negeri Malang” dalam penelitiannya menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa mengenai kekuatan hukum dari akta notaries tentang Perjanjian Perkawinan yang tidak didaftarkan dan disahkan oleh Kantor Catatan Sipil sebelum mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri. Adapun rumusan masalah yang diangkat antara lain: pertama, bagaimana kekuatan hukum akta Notaris tentang Perjanjian Perkawinan dalam hal pengesahan di Pegawai Pencatat Nikah? Kedua, bagaimana peraturan pendaftaran dan pengesahan Perjanjian Perkawinan setelah adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974? Ketiga, bagaimana analisis perkara perdata No. 264/Pdt.P/PN Malang tentang Perjanjian Perkawinan? c. Tesis ketiga yang berjudul “Pembuatan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya terhadap Pihak Ketiga (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 207/Pdt.P/2005/PN Jkt. Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri No. 459/Pdt.P/2007/PN Jkt. Tmr” menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yakni studi kepustakaan dan menganalisa 2 (dua) Penetapan
17
Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Adapun rumusan masalah yang diangkat antara lain: pertama, apakah yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur megabulkan permohonan penetapan terhadap pembuatan perjanjian kawin yang dilakukan setelah perkawinan? Kedua, bagaimana akibat hukumnya pembuatan perjanjian kawin setelah perkawinan yang didasarkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur? Penelitian tersebut bertujuan untuk meneliti fenomena hukum yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan pembuatan Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan berlangsung dengan meminta Penetapan Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketiga tesis yang diajukan tersebut di atas, ternyata terdapat perbedaan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yakni pada penelitian yang dilakukan sekarang terfokus pada keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil dan akibat hukumnya bagi Warga Negara Indonesia yang terlibat dalam Perkawinan Campuran terhadap kepemilikan Hak Milik atas tanah di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan sekarang terdapat kebaharuan yang dapat melengkapai penelitian yang telah dilakukan terdahulu, sehingga penulis akan melakukan penelitian yang berjudul “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Di Kantor Catatan Sipil Bagi Warga Negara Indonesia Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran”.
18
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan, maka dapat
dirumuskan 2 (dua) permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana keabsahan dari suatu Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil? 2. Apa akibat hukum dari tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Kantor Catatan Sipil terhadap pemilikan hak atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum. Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk lebih memahami dan mendalami mengenai bidang keilmuan kenotariatan dan perjanjian khususnya terkait masalah pentingnya Perjanjian Perkawinan dan akibat hukumnya bagi para pihak. 1.3.2. Tujuan Khusus. Selain tujuan umum yang telah disebutkan di atas, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk: 1. Mengkaji
dan
menganalisa
mengenai
keabsahan
dari
Perjanjian
Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. 2. Mengetahui dan menganalisa akibat hukum dari tidak disahkannya suatu Perjanjian Perkawinan di Kantor Catatan Sipil bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan Perkawinan Campuran dalam kaitannya dengan pemilikan hak milik atas tanah.
19
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum di bidang kenotariatan yang berkaitan dengan pendaftaran Perjanjian Perkawinan. 1.4.2. Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keabsahan dari suatu Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan dan informasi mengenai akibat hukum dari tidak disahkannya suatu Perjanjian Perkawinan, dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para perancang peraturan perundangundangan, legal drafter (perancang kontrak/perjanjian), agar mampu menciptakan produk hukum yang baik dan dapat berlaku secara efektif di masyarakat. 1.5.
Landasan Teoritis Penelitian ini menggunakan teori-teori dan asas-asas untuk membahas atau
menganalisa 2 (dua) permasalahan yang ada secara berturut-turut seperti disebutkan di bawah ini: 1. Teori dan asas yang digunakan untuk membahas rumusan masalah pertama, yaitu: 1) Teori Momentum Terjadinya Kontrak Kontrak sering kali disamakan dengan perjanjian karena kontrak merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis. Perbedaan diantara kontrak dan perjanjian tertulis lainnya adalah istilah kontrak lazim digunakan dalam dunia bisnis sedangkan perjanjian tertulis lainnya digunakan sesuai dengan
20
jenis perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak. Meskipun terdapat perbedaan istilah, namun terjadinya kontrak maupun perjanjian harus melalui tahapan yang sama. Beberapa ahli hukum seperti Vollmar, Sri Soedewi Masjhoen Sofwan dan Sudikno Mertokusumo menyebutkan terdapat beberapa teori terkait dengan momentum terjadinya kontrak, yaitu: 9 a. Teori Pernyataan Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima maupun memberikan penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut. Penawaran ini merupakan hasil dari negosiasi dari para pihak yang membuat perjanjian. b. Teori Kehendak Menurut teori ini, perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Kehendak seseorang akan sangat sulit diketahui oleh orang lain karena sangat bersifat batiniah, maka tidak jarang apa yang dikehendaki berbeda dengan pernyataan yang dinyatakan oleh orang tersebut. Apabila terjadi perbedaan dalam kehendak dan pernyataan tersebut, maka perjanjian akan terjadi sesuai dengan pernyataan pihak yang memberikan pernyataan tersebut.
9
Salim, H.S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 166-168.
21
c. Teori Kepercayaan Menurut teori ini, tidak semua pernyataan dapat melahirkan perjanjian, tetapi hanya pernyataan yang didasarkan atas kepercayaan yang dapat melahirkan perjanjian. Oleh karena itu, kepercayaan antara para pihak yang membuat perjanjian sangatlah penting dalam terjadinya suatu perjanjian. Meskipun perjanjian dikatakan lahir setelah adanya persesuaian kehendak dengan pernyataan dan kepercayaan, namun mengenai hal pokok yang berkaitan dengan isi dari perjanjian tersebut harus memperhatikan hal-hal yang menjadi dasar dari sah atau tidaknya suatu perjanjian. Dasar dari keabsahan suatu perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata adalah instrumen penting atau pokok untuk menguji keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang mencakup: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Dua syarat a dan b disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat c dan d disebut syarat obyektif.
22
Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, akan mempunyai akibatakibat sebagai berikut: 10 a. Non eksistensi, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul suatu perjanjian; b. Dapat dibatalkan, apabila perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak atau karena ketidakcakapan; c. Batal demi hukum, apabila terdapat perjanjian yang tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan. Momentum terjadinya Perjanjian Perkawinan harus didasarkan atas adanya kesesuaian kehendak dengan pernyataan dan rasa saling percaya antara calon suami-istri yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan. Apabila tidak didasari atas persamaan kehendak dan kepercayaan, maka Perjanjian Perkawinan tersebut tidak akan terwujud. Selain itu, para pihak juga harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dalam proses pembuatan Perjanjian Perkawinan, karena sah atau tidaknya Perjanjian Perkawinan tersebut tergantung dari pemenuhan syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut. Teori ini dipilih untuk menjawab permasalahan mengenai keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan. Melalui teori ini diharapkan penulis dapat menemukan jawaban atas rumusan masalah pertama yang berkaitan dengan
10
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 16.
23
keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. 2) Asas Publisitas Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya yang berjudul “Mencari Sistem Hukum Benda Nasional” menjelaskan bahwa terdapat 10 (sepuluh) asas umum yang relative konkret berkenaan dengan suatu bidang tertentu 11, dan salah satu asas tersebut adalah asas publisitas. Asas publisitas erat kaitannya dengan status kepemilikan. Asas ini terimplementasikan melalui pengumuman yang dilakukan kepada masyarakat umum mengenai status kepemilikan seseorang atas suatu
benda.
Asas
publisitas
juga
diterapkan
dalam
ranah
Hukum
Kewarganegaraan, di mana dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia asas publisitas merupakan salah satu asas yang digunakan dalam penyusunan undang-undang tersebut. Pada penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan disebutkan bahwa asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya. Melihat penerapan asas publisitas dalam ranah hukum tersebut, dapat dilihat bahwa hakikat dari asas publisitas itu sendiri adalah adanya pemberitahuan atau pengumuman kepada pihak lain atau pihak ketiga berkenaan dengan peristiwa hukum yang terjadi. Apabila dikaitkan dengan permasalahan pertama
11
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal. 36-39.
24
pada penelitian ini, pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai pencatat perkawinan bukanlah bersifat mengesahkan Perjanjian Perkawinan tersebut melainkan lebih bersifat publikasi kepada pihak ketiga berkaitan dengan keberadaan Perjanjian Perkawinan tersebut. Oleh karena itu, dengan menggunakan asas publisitas sebagai penunjang teori sahnya perjanjian penulis berharap dapat menemukan jawaban mengenai sah atau tidaknya Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. 2. Teori dan asas yang digunakan untuk membahas rumusan masalah kedua antara lain: 1) Teori Keadilan Keadilan merupakan salah satu hal yang menjadi tujuan hukum. Para ahli hukum mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai tujuan hukum tersebut. Salah satu ahli hukum yang berpendapat bahwa hukum itu bertujuan untuk menciptakan keadilan adalah Aristoteles. Aristoteles sebagai pencetus Teori Etis berpendapat bahwa hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Selanjutnya Aristoteles dalam karyanya yang berjudul “Eticha Nicomachea dan Rhetorika” menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya. Hal ini dijabarkan oleh Utrecht dalam bukunya yang berjudul “Pengantar dalam Hukum Indonesia”. 12 2) Teori Hak Teori hak yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang menganggap hak sebagai kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan atau 12
H. Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 20.
25
disebut dengan Wilsmacht Theorie oleh Bernhard Winscheid. 13 Berdasarkan teori ini hak merupakan suatu kehendak yang diperlengkapi oleh kekuatan yang diberikan oleh tata hukum kepada yang bersangkutan. Pihak yang bersangkutan disini adalah subyek hukum, sehingga subyek hukum dikatakan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Oleh karena itu, hak yang dimiliki oleh setiap subyek hukum tidak dapat dirampas kecuali tata hukum sebagai pemberi hak itu sendiri yang menghendaki hilangnya hak yang dimiliki oleh subyek hukum tersebut. Melihat uraian mengenai keadilan dan hak di atas, keadilan baru akan terpenuhi pada saat seseorang menerima sesuatu yang memang merupakan haknya. Keadilan akan terjadi apabila keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut telah tercapai. Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang di bagian awal penelitian ini, tiap-tiap pribadi baik itu laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada diri mereka masing-masing. Lakilaki atau perempuan yang merupakan Warga Negara Indonesia masih dapat memiliki
atau
mempertahankan
kewarganegaannya
meskipun
telah
melangsungkan Perkawinan Campuran dan dengan demikian sebagai seorang Warga Negara Indonesia, hak-hak sebagai Warga Negara Indonesia masih tetap melekat pada dirinya, salah satunya adalah memiliki hak milik atas suatu benda. Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat sebelum Perkawinan Campuran berlangsung namun tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil dapat berakibat pada
13
R. Soeroso, 1992, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut dengan R. Soeroso I), hal. 275.
26
hilangnya hak Warga Negara Indonesia untuk memiliki properti di Indonesia. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan bagi para Warga Negara Indonesia yang terlibat dalam Perkawinan Campuran yang dikarenakan tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan menyebabkan mereka tidak dapat memiliki properti di Indonesia. Teori Keadilan dan Teori Hak tersebut di atas akan digunakan untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini, karena permasalahan ini berkaitan dengan akibat hukum Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan terhadap kepemilikan hak milik atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran. 3) Asas Kekuatan Mengikat Asas kekuatan mengikat ini dikenal pula dengan istilah Pacta Sunt Servanda, bahwa perjanjian akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas ini terimplementasi dalam Pasal 1338 KUHPerdata, di mana disebutkan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Masing-masing pihak yang terikat dan mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan apa yang telah mereka perjanjikan serta tidak diperkenankan untuk melakukan perbuatan yang menyimpang atau bertentangan dengan isi dari perjanjian yang telah dibuatnya. 14
14
Harlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Hukum Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung, (Selanjutnya disebut Harlien Budiono I), hal. 174.
27
Para pihak yang terikat dalam perjanjian tidak hanya terbatas pada isi dari perjanjian yang telah dibuat melainkan pula terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. 15 Perjanjian Perkawinan sama halnya dengan perjanjian lainnya, akan berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut, dalam hal ini pasangan suami-istri. Asas ini digunakan untuk menjawab permasalahan kedua karena terkait dengan akibat hukum tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Pegawai pencatat perkawinan, baik bagi para pihak itu sendiri maupun bagi pihak ketiga yang berhubungan dengan para pihak dalam perjanjian dan dengan menggunakan asas kekuatan mengikat dalam menganalisa permasalahan ini, diharapkan dapat menemukan jawaban apakah dengan tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Pegawai pencatat perkawinan akan membawa dampak pada para pihak dalam perjanjian maupun bagi pihak ketiga. 4) Asas Kepastian Hukum Hukum dibuat atau dibentuk bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan, kepastian dan ketertiban. Penganut aliran Positivisme secara dogmatis lebih menitikberatkan hukum pada aspek kepastian hukum bagi para subjek hukum, yakni para pendukung hak dan kewajiban. Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini guna memberikan perlindungan bagi para subjek hukum
15
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal. 87.
28
dalam perjanjian. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sendiri yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 16 Asas kepastian hukum terkait erat dengan asas kekuatan mengikat. Seperti uraian di atas, kepastian hukum dalam suatu perjanjian tercermin dalam kekuatan mengikat perjanjian bagi para pihak maupun bagi pihak ketiga. Asas ini digunakan pula untuk menjawab permasalahan kedua karena akibat hukum tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan oleh Pegawai pencatat perkawinan akan berakibat pada kepastian hukum atas keberlakuan Perjanjian Perkawinan tersebut bagi para pihak maupun bagi pihak ketiga, terlebih lagi bagi pemilikan hak milik atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran. 1.6.
Kerangka Berpikir Perjanjian Perkawinan sebagaimana halnya dengan perjanjian pada
umumnya, dalam pembuatannya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari syarat sahnya perjanjian maka akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum. Apabila syarat subyektif yakni adanya kata sepakat dan kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Sedangkan apabila syarat obyektif yakni adanya suatu hal tertentu dan
16
Ibid, hal. 88.
29
suatu sebab yang halal tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. 17 Perjanjian Perkawinan sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, dalam pembuatannya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari syarat sahnya perjanjian maka akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum. Apabila syarat subyektif yakni adanya kata sepakat dan kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Sedangkan apabila syarat obyektif yakni adanya suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. 18 Pengaturan mengenai Perjanjian Perkawinan dapat dilihat dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni pada Pasal 29. Selain itu dalam KUHPerdata sendiri juga mengatur tentang Perjanjian Perkawinan yakni mulai dari Pasal 139 sampai dengan Pasal 154. Kedua aturan hukum tentang Perjanjian Perkawinan tersebut mensyaratkan agar Perjanjian Perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung disahkan di Pegawai pencatat perkawinan dan di Pengadilan Negeri. Pengesahan ini bermaksud untuk mengikat pihak ketiga. Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan maka tidak akan mengikat pihak ketiga dan hanya akan mengikat para pihak yang 17
R. Soeroso, 2011, Perjanjian Di Bawah Tangan: Pedoman Praktis Pembuatan Dan Aplikasi Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut dengan R. Soeroso II), hal. 24.
30
mengadakan perjanjian. Sahnya suatu Perjanjian Perkawinan dapat dilihat melalui pemenuhan akan kriteria syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dengan adanya pengaturan tentang pengesahan Perjanjian Perkawinan, dapat menimbulkan paradigma baru tentang keabsahan suatu Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan hanya akan mengikat para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan tersebut, namun dengan tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan tersebut apakah Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dikatakan telah sah dan sejauhmana keberlakuan dari Perjanjian Perkawinan tersebut bagi para pihak yang membuatnya? Maka untuk menjawab rumusan masalah pertama dalam penelitian ini akan digunakan Teori Momentum Terjadinya Kontrak yang dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata dan Asas Publisitas. Pengesahan Perjanjian Perkawinan tentunya akan sangat berpengaruh pada keberlakuan dan akibat hukum dari Perjanjian Perkawinan tersebut bagi pihak ketiga maupun bagi para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan umumnya dibuat agar para pihak mendapat perlindungan dan rasa aman selama berlangsungnya perkawinan. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga yang menimbulkan suatu hutang atau kewajiban yang harus dibayarkan, maka pihak yang membuat perjanjian itulah yang harus memenuhi kewajibannya sehingga pihak lain dalam Perjanjian Perkawinan tidak akan diikutsertakan dalam pemenuhan kewajiban tersebut. Hal ini tentunya akan melindungi para pihak apabila salah satu pihak mengalami pailit dan seluruh asetnya harus disita oleh Juru Sita Pengadilan
31
Negeri. Demikian pula halnya dengan status pemilikan hak milik atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran. Warga Negara Indonesia yang terlibat dalam Perkawinan Campuran akan kehilangan haknya untuk mempunyai hak milik atas tanah dikarenakan dengan tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat maka dalam Perkawinan Campuran tersebut telah terjadi percampuran harta. Hal ini dianggap tidak adil oleh Warga Negara
Indonesia,
karena
dengan
tetap
mempertahankan
status
kewarganegaraannya maka seharusnya Warga Negara Indonesia tersebut masih tetap mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti halnya Warga Negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan kedua mengenai akibat hukum dari tidak didaftarkannya Perjanjian Perkawinan adalah dengan menggunakan Teori Keadilan, Teori Hak, Asas Kekuatan Mengikat dan Asas Kepastian Hukum.
32
Kerangka berpikir tersebut di atas diilustrasikan dengan bagan seperti di bawah ini. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Di Kantor Catatan Sipil Bagi Warga Negara Indonesia Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran
Latar Belakang
1. Kekaburan norma dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai keabsahan perjanjian perkawinan. 2. Adanya Perjanjian perkawinan yang tidak disahkan.
Rumusan Masalah
Keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan.
Akibat hukum dari tidak disahkannya perjanjian perkawinan terhadap pemilikan hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia dalam perkawinan campuran HASIL PENELITIAN
Landasan Teoritis
1. Teori Momentum Terjadinya Kontrak. 2. Asas Publisitas
1. Teori Keadilan 2. Teori Hak 3. Asas Kekuatan Mengikat. 4. Asas Kepastian Hukum
33
1.7.
Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dianalisa berkenaan dengan keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan dan akibat hukumnya terhadap Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran terkait kepemilikan hak milik atas tanah. Permasalahan ini muncul karena adanya norma kabur yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kekaburan norma tersebut mengenai penggunaan kata “disahkan pada pasal tersebut sehingga menimbulkan multitafsir mengenai keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif karena penelitian hukum ini terfokus pada peraturan yang tertulis (law in book). 19 Penelitian hukum normatif ini merupakan penelitian sistematika hukum yang dapat dilakukan terhadap
peraturan
perundang-undangan
tertentu
yang
bertujuan
untuk
mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok atau dasar hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum. 20 Dalam kaitan itu A.T.H. Smith menyatakan bahwa … the criteria for legal research are: The ability to analyse a problem involving a question of law, and through research to provide a solution to it. This involves the ability: I. to identify and find relevant legal sources and materials; II. to extract the essential points from those legal sources and materials; 19
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 118. 20 H. Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 25.
34
III. to apply the law to the facts of the problem so as to produce satisfactory answers to the question posed; and IV. to communicate the reason for those answers, making use of legal sources and material. 21 … kriteria dari penelitian hukum adalah: kemampuan untuk menganalisa suatu permasalahan yang berkaitan dengan pertanyaan tentang hukum, dan melalui penelitian agar memperoleh solusi untuk permasalahan tersebut. Penelitian ini berkaitan dengan kemampuan: I. Untuk mengidentifikasi dan menemukan sumber dan bahan hukum yang relevan; II. Untuk menggali unsur utama dari sumber dan bahan hukum tersebut; III. Untuk menerapkan hukum dengan fakta dari permasalahan tersebut sehingga mendapatkan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan tersebut; IV. Untuk mengkomunikasikan alasan dari jawaban tersebut, dengan menggunakan sumber dan bahan hukum. 1.7.2. Jenis Pendekatan Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum ini, antara lain: a. Pendekatan undang-undang (statute approach) Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengkaji dan menganalisa peraturan perundang-undangan terkait dengan Perjanjian Perkawinan dan peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum lainnya seperti agraria, kewarganegaraan serta bidang hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
21
A.T.H. Smith (Editor), 2010, Glanville Williams: Learning The Law, Fourteenth Edition, Sweet & Maxwell: Thomson Reuters, hal. 208.
35
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai konsep-konsep berkenaan dengan permasalahan yang akan diteliti, di mana konsep-konsep tersebut akan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di bidang hukum perkawinan, hukum agraria dan hukum kewarganegaraan. Konsep yang akan dikaji yaitu konsep sah dari suatu perjanjian dan konsep akibat hukum. 1.7.3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber data dalam suatu penelitian dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer disebut juga dengan sumber data dasar atau empiris sedangkan sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan atau literatur yang berkaitan dengan objek penelitian. Pada kepustakaan hukum sumber data yang digunakan dalam penelitian normatif disebut dengan sumber bahan hukum. 22 Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum sekunder yang berasal dari bahan kepustakaan baik itu peraturan perundang-undangan, literature, penelitianpenelitian terdahulu, maupun artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. Jenis bahan hukum yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini, antara lain: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, 22
Salim HS, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada penelitian Tesis Dan Disertasi, Cetakan Kedua, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 15 dan 16.
36
dan putusan hakim). 23 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa perundang-undangan yang mengatur tentang Perjanjian Perkawinan dan pemilikan hak atas tanah di Indonesia serta dokumen terkait Perjanjian Perkawinan dan contoh Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan, antara lain: 1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); 3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 4) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019); 5) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634); 7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3. 23
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Keenam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 84.
37
b. Bahan Hukum Sekunder Selain
menggunakan
bahan
hukum
primer,
penelitian
ini
juga
menggunakan bahan-bahan hukum sekunder sebagai penunjang dalam proses pengolahan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik. 24 Bahanbahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku dalam bidang Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Hukum Perkawinan, Hak Asasi Manusia, Hukum Kewarganegaraan dan buku-buku lain yang berkaitan dengan penelitian ini, serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier Selain menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dalam penelitian ini juga akan menggunakan bahan hukum tertier. Bahan hukum tertier merupakan bahan hukum yang digunakan sebagai pelengkap dalam melakukan analisa terhadap suatu permasalahan. Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia, artikel-artikel hukum maupun artikel lain yang terkait dengan penelitian ini sebagai bahan penunjang dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. Pengumpulan bahan hukum untuk penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan. Studi kepustakaan yang dimaksud adalah melakukan penelusuran 24
Ibid, hal. 84
38
dan pencatatan mengenai bahan-bahan hukum terkait dengan permasalahan yang diteliti, baik itu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier. 1.7.5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum. Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul diolah dan dianalisa dengan melakukan interpretasi atas teks-teks hukum dalam peraturan perundangundangan sehingga naskah normatif tersebut dimengerti dan dipahami. Interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode interpretasi hukum pada umumnya, terutama interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematik. 25 Pada penelitian ini bahan hukum yang telah dikumpulkan akan diolah secara sistematis dengan melakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis. Bahan hukum yang telah diolah secara sistematis
tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif - evaluatif, artinya memaparkan, menafsirkan, menjelaskan, menilai dan menganalisa asas, norma atau kaidahkaidah, untuk menemukan konsep-konsep hukum yang dapat dipergunakan dalam mengkaji masalah yang diteliti, kemudian dilakukan interpretasi hukum secara gramatikal dan sistematik.
25
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, hal. 9-12.
39
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Perkawinan Pelaksanaan mengenai hukum perkawinan di Indonesia bersifat pluralistik, artinya di Indonesia masih berlaku beberapa hukum perkawinan yang dijadikan dasar dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Sistem hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia antara lain: a. Hukum perkawinan menurut Hukum Perdata Barat (BW) yang diperuntukan bagi WNI keturunan asing atau yang beragama Kristen; b. Hukum perkawinan menurut Hukum Islam yang diperuntukan bagi WNI keturunan atau pribumi yang beragama islam; c. Hukum perkawinan menurut Hukum Adat yang diperuntukan bagi masyarakat pribumi yang masih memegang teguh hukum adat. 26 Perkawinan menurut Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah hubungan keperdataan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam hidup bersama sebagai suami istri. 27 Ketentuan mengenai perkawinan diatur mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 102 KUHPerdata. Pada ketentuan umum yang hanya tercantum dalam Pasal 26 KUHPerdata disebutkan bahwa, “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”. Bunyi pasal tersebut mengandung arti bahwa perkawinan dalam KUHPerdata hanya
26
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disebut dengan Titik Triwulan Tutik II), hal. 97. 27 J.B. Daliyo, 1995, Pengantar Hukum Indonesia Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan ke – 2, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 111.
40
semata-mata memandang suatu perkawinan sebagai hubungan perdata sehingga perkawinan yang dilangsungkan akan sah apabila telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam KUHPerdata, dan dengan demikian mengesampingkan segala persyaratan dan peraturan yang diatur dalam hukum agama. 28 Perkawinan atau kawin dalam bahasa arab berasal dari kata nikahnikaahun, yang apabila diterjemahkan dapat berarti kumpul, yaitu berkumpulnya dua manusia berlainan jenis antara laki-laki dan perempuan. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kata nikah mengandung makna yang lebih luas adalah suatu akad atau perjanjian yang sangat sakral (mitsaaqon gholidhan) antara laki-laki dan perempuan dengan maksud hidup bersama dalam satu rumah tangga mentaati perintah Allah. 29 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 2 mengatur pula mengenai pengertian perkawinan, yakni “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Apabila melihat pengaturan mengenai perkawinan di dalam Hukum Islam, perkawinan dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: 30 a. Perkawinan dipandang sebagai sesuatu yang sakral karena dalam memulai suatu perkawinan akan diawali dengan adanya perjanjian khusus yang melibatkan Allah;
28
Titik Triwulan Tutik I, op.cit, hal. 107. Solahudin Pugung, 2011, Mendapatkan Hak Asuh Anak Dan Harta Bersama Di Pengadilan Agama, Cetakan ke – 1, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakarta, hal. 5. 30 M. Karsayuda, 2006, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Total Media, Yogayakarta, hal. 67. 29
41
b. Melalui perkawinan, segala bentuk hubungan dengan lawan jenis yang semula diharamkan akan menjadi halal; c. Perkawinan memiliki ruang lingkup pskologis yang berarti pasangan suami-istri yang sebelumnya orang lain akan menjadi satu keluarga yang saling menyayangi, mengenal dan mengerti satu lain sehingga tercipta kehidupan kelarga yang harmonis; d. Perkawinan memiliki dimensi sosiologis yang berarti melalui hubungan perkawinan baik suami maupun istri akan memiliki status yang baru dan dianggap sebagai anggota masyarakat secara utuh. Hukum Islam mendeskripsikan perkawinan sebagai suatu ikatan yang suci dan sakral melalui janji kokoh yang dibuat oleh pasangan suami-istri kepada Allah. Olah karena itu suatu perkawinan tidak akan berlangsung tanpa dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan di Indonesia. Permasalahan terkait dengan perkawinan diatur juga dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengertian perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila ditelaah berdasarkan bunyi pasal tersebut, terdapat 2 (dua) aspek dalam sebuah perkawinan, yaitu:
42
a. Aspek formil Aspek formil dalam perkawinan dapat ditemukan pada kalimat “ikatan lahir batin” yang berarti bahwa selain mempunyai ikatan lahir batin, perkawinan juga mempunyai ikatan secara bathin yang dirasakan oleh pasangan suami-istri dan ikatan ini merupakan inti dari perkawinan itu sendiri. b. Aspek sosial keagamaan Kalimat “membentuk keluarga” dan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung arti bahwa perkawinan memiliki hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting. 31 Perkawinan selain diatur dalam peraturan perundang-undangan (hukum positif), diatur pula dalam hukum adat. Perkawinan dalam hukum adat dipandang sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat. Perkawinan bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (suami-istri), tetapi juga orang tua, saudara-saudara dan keluarga kedua belah pihak. 32 Perkawinan itu sendiri mengandung makna yang berbeda-beda antara hukum adat di satu daerah dengan daerah lainnya. Hukum Adat Bali memaknai perkawinan sebagai suatu ikatan yang tidak hanya semata-mata menyangkut ikatan yang bersifat lahiriah, melainkan pula ikatan yang bersifat rohaniah. 31 32
Titik Triwulan Tutik I, op.cit, hal. 110. Titik Triwulan Tutik I, op.cit, hal. 113.
43
Perkawinan tidak hanya menyangkut hubungan keperdataan yang dapat diselesaikan di Kantor Catatan Sipil, melainkan pula merupakan urusan keagamaan yang melibatkan betara betari (roh leluhur) yang bersemayam di sanggah atau merajan. 33 Tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah untuk mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat adatnya. Namun karena sistem kekerabatan atau kekeluargaan masing-masing masyarakat berlainan, maka penekanan dari tujuan perkawinan pun disesuaikan dengan sistem kekeluargaannya. Misalnya, pada masyarakat adat patrilineal, perkawinan mempunyai tujuan untuk mempertahankan garis keturunan bapak. Sebaliknya pada masyarakat matrilineal, perkawinan mempunyai tujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu. 34 Seiring dengan perkembangan jaman, dewasa ini semakin marak terjadi fenomena perkawinan antara seorang Warga Negara Indonesia dengan seorang Warga Negara Asing atau yang sering dikenal dengan istilah Perkawinan Campuran. Perkawinan Campuran dalam beberapa aspek telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni mulai dari Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Pengertian Perkawinan Campuran dapat dijumpai pada Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:
33
Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 84. 34 Taufiqurrohman Syahuri, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 64.
44
Yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan: Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan Perkawinan Campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut caracara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Berdasarkan ketentuan yang diatur pada kedua pasal tersebut, dapat diketahui bahwa Perkawinan Campuran yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perkawinan antara dua orang yang memiliki status kewarganegaraan berbeda, dimana salah satu pihak haruslah seorang Warga Negara Indonesia dan pihak lainnya adalah Warga Negara Asing. Perkawinan Campuran tersebut dapat mengakibatkan salah satu pihak baik suami maupun istri mendapatkan kewarganegaraan dari Negara asal suami ataupun istri apabila hukum Negara asal suami ataupun istri tersebut menghendaki demikian. Selain itu, Perkawinan Campuran juga dapat mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan suami atau istri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kewarganegaraan Indonesia. 2.2. Sahnya Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Suatu
45
perkawinan akan dianggap sah setelah dilangsungkan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak. Tidak semua pasangan dapat melangsungkan perkawinan. Hanya pasangan yang sudah memenuhi persyaratan untuk melangsungkan perkawinan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan saja yang dapat melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam ketentuan tersebut ditentukan dua syarat untuk melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat ekstern. Syarat intern adalah syarat-syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. 35 Syarat-syarat tersebut antara lain: a. Persetujuan kedua belah pihak; b. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun; c. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati; d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin; e. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawiannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari. Kedua pasal yang telah disebutkan di atas tidak hanya berisisyarat intern melangsungkan perkawinan, melainkan pula berisi syarat-syarat ekstern. Syarat35
Salim HS, 2009, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 62.
46
syarat ekstern adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan, yang meliputi 36: a. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah Talak dan Rujuk; b. Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat: 1) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Di samping itu, disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu; 2) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan. KUHPerdata juga mengatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi bagi para calon pasangan suami-istri yang hendak melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut dibagi menjadi syarat materiil dan syarat formil. 37 Pertama, syarat materiil adalah syarat yang menyangkut pribadi para pihak yang akan melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat ini meliputi syarat materiil absolut dan syarat materiil relatif. Syarat materiil absolut adalah syarat mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya, antara lain: (a) pihak-pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin; (b) masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan oleh undang-undang, laki-laki berumur 18 tahun dan perempuan berumur 15 tahun; (c) seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari terhitung sejak bubarnya perkawinan (d) harus ada ijin
36 37
Ibid Titik Triwulan Tutik I, op.cit, hal. 117.
47
dari pihak ketiga; (e) dengan kemauan yang bebas, tidak ada paksaan. Sementara syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang akan dikawini, antara lain: (a) tidak adanya hubungan darah (keturunan) atau hubungan keluarga (antar ipar atau semenda) sangat dekat antara keduanya; (b) antara keduanya tidak pernah melakukan overspel; (c) tidak melakukan perkawinan terhadap orang yang sama setelah cerai (reparative huwelijk) untuk yang ketiga kalinya. Kedua, syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan. Ketentuan ini hanya berlaku bagi golongan Eropa saja yakni mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 70 KUHPerdata. Salah satu ketentuan mengenai syarat formil ini adalah adanya pemberitahuan terlebih dahulu kepada Pejabat Catatan Sipil untuk dibukukan dalam daftar pemberitahuan perkawinan. Pengaturan ini terdapat pada Pasal 50 dan Pasal 51 KUHPerdata. Para pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan, selain harus memenuhi persyaratan untuk sahnya suatu perkawinan, mereka juga harus memperhatikan beberapa larangan-larangan dalam melangsungkan perkawinan, diantaranya: a. Ada hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas; b. Ada hubungan darah dalam garis keturunan menyamping; c. Ada hubungan darah semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri
48
d. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin. 38 Apabila para calon pasangan suami-istri telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas dan tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas, maka perkawinan yang dilangsungkan akan dinyatakan sah baik oleh hukum agama dan kepercayaan masing-masing pihak maupun sah secara hukum positif yang berlaku di Indonesia. Namun, apabila calon pasangan suami-istri tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan dan melanggar apa yang telah menjadi larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan, maka mereka tidak diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan, dan apabila mereka telah melangsungkan perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dimohonkan pembatalan perkawinan. 2.3. Akibat Perkawinan Setiap hubungan hukum yang terjadi antara tiap individu dengan individu lainnya akan menimbulkan akibat-akibat terkait dengan hubungan hukum yan terjadi. Perkawinan sebagai salah satu bentuk hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita yang terjalin didasarkan atas adanya ikatan lahir batin diantara keduanya, akan menimbulkan akibat hukum baik bagi pasangan suamiistri tersebut maupun pada hal-hal lain dan pihak lain yang terkait dengan perkawinan tersebut. Akibat perkawinan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 38
Titik Triwulan Tutik I, op.cit, hal. 119.
49
a. Adanya hubungan suami-istri; b. Hubungan orang tua dengan anak; c. Masalah harta kekayaan. Sejak awal terjadinya perkawinan antara pasangan suami-istri, timbulah hubungan hukum antara suami-istri. Hubungan hukum tersebut adalah adanya hak dan kewajiban antara suami-istri. Pengaturan mengenai hak dan kewajian suami istri dapat ditemukan pada Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hak dan kewajiban suam-istri yang dimaksud antara lain: a. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30); b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat {Pasal 31 ayat (1)}; c. Suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum {Pasal 31 ayat (2)}; d. Suami-istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap {Pasal 32 ayat (1)}; e. Suami-istri wajib salin mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33); f. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34); g. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya {Pasal 34 ayat (2)}.
50
Apabila selama perkawinan berlangsung suami lalai dalam menjalankan semua kewajibannya maka istri dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut pembatalan perkawinan. Hak dan kewajiban suami istri tidak hanya terdapat dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, melainkan diatur pula dalam Pasal 103 KUHPerdata. Hak dan kewajiban suami istri yang dimaksud antara lain: a. Suami adalah kepala rumah tangga; b. Suami harus membantu istri; c. Suami harus mengurus harta bawaan istri; d. Suami harus mengurus harta seperti bapak rumah tangga yang baik; e. Suami tidak boleh membebankan atau memiliki harta bawaan istri. Hak dan kewajiban antara suami-istri tersebut di atas akan hapus apabila perkawinan yang dilangsungkan antara suami-istri tersebut putus karena perceraian. Berkaitan dengan hubungan orang tua dengan anak yang muncul sebagai akibat perkawinan, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut: a. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya yang berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri (Pasal 45); b. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik {Pasal 46 ayat (1)};
51
c. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua {Pasal 46 ayat (2)}; d. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tua {Pasal 47 ayat (1)}; e. Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan {Pasal 47 ayat (2)}; f. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 48). Lain halnya dengan hubungan hukum antara suami-istri yang dapat putus karena perceraian, hubungan hukum antara orang tua dengan anaknya tidak akan putus meskipun perkawinan yang dibina oleh kedua orang tuanya putus oleh perceraian. Hak dan kewajiban orang tua akan tetap melekat dan harus tetap dijalankan oleh seiap orang tua meskipun hubungan perkawinan tersebut telah putus. Akibat perkawinan yang terakhir adalah mengenai harta benda dalam perkawinan. Pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan terdapat dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada pasal tersebut, harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi dua, yaitu harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung, sedangkan harta bawaan adalah harta yang
52
diperoleh oleh masing-masing pihak sebelum perkawinan dilangsungkan sebagai hadiah atau warisan. Para pihak menguasai sepenuhnya harta bawaan masingmasing sepanjang hal tersebut tidak ditentukan lain. Apabila pada saat perkawinan berlangsung terjadi perceraian, maka harta bersama para pihak dalam perkawinan tersebut akan dibagi menurut ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundangundangan. 2.4. Pengertian Perjanjian Perkawinan Perjanjian Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian pada umumnya, maka sebelum membahas lebih lanjut mengenai Perjanjian Perkawinan ada baiknya diuraikan terlebih dahulu mengenai perjanjian pada umumnya. Pengertian perjanjian itu sendiri terdapat di dalam peraturan perundang-undangan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum khusunya di bidang perjanjian maupun di dalam kamus, sebagai berikut: a. Perjanjian menurut KUHPerdata yang diatur dalam Pasal 1313 yaitu: suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan diri terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih; b. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan 39; c. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa perjanjian berasal dari kata “janji” yang berarti persetujuan antara dua pihak (masingmasing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat atau tidak 39
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 78.
53
berbuat sesuatu), dan arti kata perjanjian itu sendiri adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masingmasing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Berdasarkan beberapa uraian mengenai pengertian perjanjian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang telah saling sepakat mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal baik dalam bidang harta kekayan maupun dalam bidang lainnya. Perjanjian itu sendiri sering kali dikaitkan dengan istilah kontrak. Apabila mendengar maupun membaca mengenai kata kontrak, pasti akan langsung terpikirkan bahwa yang dimaksudkan adalah suatu perjanjian tertulis. Kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri yang dalam Hukum Indonesia, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) disebut overeenkomst yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, berarti perjanjian. 40 Perjanjian mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada kontrak. Perjanjian dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis atau lisan, sementara kontrak lazimnya selalu dibuat dalam bentuk tertulis. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan antara perjanjian dengan kontrak karena kontrak merupakan bagian dari perjanjian itu sendiri. Salah satu bentuk perjanjian tertulis yang mulai dikenal di masyarakat adalah Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian penting yang dibuat dengan tujuan memisahkan harta perkawinan antara suami dan istri sehingga mencegah timbulnya permasalahan mengenai harta benda 40
H.R. Daeng Naja, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting, Cetakan Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1-2.
54
perkawinan di antara suami istri. Perjanjian Perkawinan dalam istilah asing disebut dengan Prenuptial Agreement. “Prenuptial Agreement is an agreement entered by the parties to a marriage before the marriage”. (Perjanjian Perkawinan adalah sebuah perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebelum perkawinan berlangsung). 41 Perjanjian Perkawinan sebagai salah satu aspek penting dalam perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun dalam Pasal tersebut tidak menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai pengertian Perjanjian Perkawinan maupun tentang isi dari Perjanjian Perkawinan itu sendiri. Apabila dilihat bunyi Pasal 29 ayat (1) hanya disebutkan bahwa kedua belah pihak (dalam hal ini calon suami dan istri) dapat mengadakan perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Adanya ketidakjelasan pengertian Perjanjian Perkawinan mengakibatkan munculnya perbedaan pendapat dari para ahli yang menafsirkan mengenai pengertian Perjanjian Perkawinan. Pendapat-pendapat yan dikemukan lebih cenderung mengacu pada ketentuan-ketentuan tentang Perjanjian Perkawinan yang terdapat dalam KUHPerdata sebagai peraturan perundangundangan yang telah lebih dahulu mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan. Adapun pengertian Perjanjian Perkawinan menurut para ahli sebagai berikut:
41
Charles P. Nemeth, 2008, The Paralegal Resource Manual, McGrawHill/Irwin, New York, hal. 486.
55
a. Menurut R. Subekti, Perjanjian Perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang; 42 b. Menurut Libertus Jehani, Perjanjian Perkawinan (huwelijksvoorwaarden) adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami-istri yang memuat tentang status kepemilikan harta dalam perkawinan mereka; 43 c. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. 44 Sesuai dengan pengertian-pengertian di atas, dapat diketahui bahwa Perjanjian Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh calon suamiistri pada saat atau sebelum perkawinan yang mengatur tentang harta benda perkawinan. Calon suami-istri dapat menyampaikan kehendaknya masing-masing ke dalam Perjanjian Perkawinan berkaitan dengan akibat hukum terjadinya perkawinan
terhadap
harta
benda
mereka,
apakah
yang
dikehendaki
penggabungan harta, atau pemisahan harta namun hanya sebagaian, atau bahkan hendak memisahkan harta benda perkawinan masing-masing pihak (suami-istri) secara keseluruhan. Ketiga akibat hukum perkawinan tersebut harus didahulukan
42
R. Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta,
hal. 9. 43
Libertus Jehani, 2012, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon) Suami Istri, Cetakan Pertama, Rana Pustaka, Jakarta, hal. 8. 44 Soetojo Prawirohamidjojo, 1986, Pluralisme Dalam PerundangUndangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 57.
56
oleh adanya kata sepakat antara calon suami-istri sebelum dituangkan ke dalam suatu bentuk Perjanjian Perkawinan. 2.5. Bentuk Perjanjian Perkawinan Perjanjian pada umumnya dapat berbentuk perjanjian tertulis dan perjanjian tidak tertulis (lisan). Perjanjian tertulis kerap kali disamakan dengan istilah kontrak dalam dunia bisnis. Akta merupakan salah satu jenis perjanjian tertulis. Pengertian akta itu sendiri adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani dibuat oleh seorang atau lebih pihak-pihak dengan maksud dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum. Akta dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: a. Akta Otentik Pengertian akta otentik dapat dilihat dalam Pasal 1886 KUHPerdata, dimana disebutkan bahwa akta otentik adalah “suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya”. Akta otentik memiliki keistimewaan tersendiri sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Artinya, apabila seseorang yang tengah menjalani proses hukum dan mengajukan akta otentk sebagai salah satu alat bukti di persidangan, maka hakim harus menerima dan menganggap apa yang tertulis di dalam akta merupakan peristiwa yang sungguhsungguh telah terjadi, dan hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian. Pada negara yang menganut sistem hukum common law dikenal 2 (dua) bentuk dasar dari akta sebagaimana diuraikan dalam buku karangan Ros
57
Macdonald dan Denise McGill, yaitu: “Deeds are two basic types – indentures and deed polls. An indenture is a deed made between two or more parties representing different interests and a deed poll is a deed made by one person or, if made by two or more persons, made by them all with the same intention and representing the same interest”. 45 (Akta terbagi menjadi dua bentuk dasar – perjanjian ganda adalah sebuah akta yang dibuat antara dua orang atau lebih yang mewakili kepentingan yang berbeda-beda dan akta pemilihan adalah akta yang dibuat oleh satu orang atau, apabila dibuat oleh dua orang atau lebih, dibuat oleh semua pihak dengan tujuan yang sama dan mewakili kepentingan yang sama).
b.
Akta di Bawah Tangan Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak boleh atau tanpa
perantaraan seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian. Apabila para pihak yang membuat dan menandatangani akta di bawah tangan tersebut tidak menyangkal isi dan mengakui tanda tangannya, maka akta di bawah tangan dapat memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta otentik. Hal ini tertuang dalam Pasal 1875 KUHPerdata. 46 Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdapat beberapa perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan, antara lain:
45
Ros Macdonald and Denise McGill, 2008, LexisNexis Skills Series Drafting, Second Edition, LexisNexis Butterworths, Australia, hal. 54. 46 R. Soeroso, op.cit, hal. 6.
58
a. Dilihat dari segi bentuk Akta otentik dibuat sesuai dengan bentuk yang telah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan akta di bawah tangan tidak terikat dalam bentuk formal. b. Dilihat dari segi pihak yang membuat Akta otentik harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang, sedangkan akta di bawah tangan dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan. c. Dilihat dari segi kekuatan hukum Akta otentik memiliki kekuatan hukum sempurna, sedangkan akta di bawah tangan baru akan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta otentik apabila para pihak yang menandatangani akta di bawah tangan tersebut tidak menyangkal mengenai isi dan mengakui tanda tangannya. d. Dilihat dari segi beban pembuktian Akta otentik apabila ada seseorang yang menyangkal kebenarannya, maka orang itulah yang harus membuktikan ketidakbenaran tersebut, sedangkan akta di bawah tangan apabila kebenarannya disangkal maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan tersebut sebagai buktilah yang harus membuktikan kebenaran dari isi maupun tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut. Bentuk Perjanjian Perkawinan telah diatur dalam Pasal 147 KUHPerdata yang mana disebutkan bahwa “Atas ancaman kebatalan, setiap Perjanjian
59
Perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung”. Pasal ini telah dengan tegas menyatakan bahwa pembuatan Perjanjian Perkawinan harus dalam bentuk akta Notaris dan hal ini bermaksud agar: a. Perjanjian Perkawinan memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dan memiliki kekuatan hukum yang tetap; b. Pasangan suami-istri yang menjadi pihak dalam Perjanjian Perkawinan mendapat kepastian hukum tentang hak dan kewajiban atas harta benda pasangan tersebut. Untuk merumuskan isi dari suatu Perjanjian Perkawinan dibutuhkan seseorang yang ahli atau paham mengenai hukum harta kekayaan perkawinan, karena apabila terdapat kekeliruan perumusan Perjanjian Perkawinan tersebut maka isi yang tertuang dalam Perjanjian Perkawinan tidak dapat diperbaiki lagi sepanjang berlangsungnya perkawinan antara para pihak. Lain halnya dengan pengaturan mengenai bentuk Perjanjian Perkawinan yang tercantum dalam Pasal 147 KUHPerdata tersebut di atas, dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 47 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam hanya disyaratkan bahwa calon suami-istri dapat membuat suatu persetujuan dalam bentuk tertulis sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, dengan demikian dapat diartikan bahwa para calon suami-istri dapat membuat Perjanjian Perkawinan sendiri tanpa harus datang dan membuat Perjanjian Perkawinan di hadapan Notaris.
60
2.6. Isi Perjanjian Perkawinan KUHPerdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perjanjian Perkawinan tidak mengatur secara tegas mengenai isi Perjanjian Perkawinan itu sendiri. Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Sementara dalam Pasal 139 KUHPerdata disebutkan bahwa Perjanjian Perkawinan dapat dibuat asal Perjanjian Perkawinan itu sendiri tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum. Meskipun tidak diatur secara tegas mengenai isi dari Perjanjian Perkawinan pada kedua perundang-undangan tersebut, apabila dilihat dari penjabaran pasal-pasal yang ada, terutama dalam KUHPerdata, isi dari Perjanjian Perkawinan berkaitan dengan harta benda perkawinan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 139 KUHPerdata calon suami-istri berhak mengadakan penyimpanganpenyimpangan terhadap ketentuan yang mengatur mengenai kebersamaan harta perkawinan dengan membuat Perjanjian Perkawinan. Penyimpangan
terhadap
ketentuan
mengenai
kebersamaan
harta
perkawinan tersebut memiliki konsekuensi mengenai isi Perjanjian Perkawinan itu sendiri, antara lain: a. Pemisahan harta perkawinan Perkawinan akan berdampak pada terjadinya persatuan harta benda perkawinan
suami-istri.
Namun
apabila
suami-istri
tidak
menginginkan
tercampurnya harta masing-masing pihak ke dalam harta benda perkawinan, maka pasangan suami-istri harus menuangkannya secara jelas dalam Perjanjian
61
Perkawinan. Para pihak harus dengan tegas menyatakan bahwa diantara mereka tidak terdapat percampuran harta dan selain tidak terjadinya percampuran harta, para pihak juga harus dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak menghendaki terjadinya percampuran harta dalam bentuk lain, misalnya persatuan untung dan rugi atau persatuan hasil pendapatan dan dengan terjadinya pemisahan harta maka dalam perkawinan tersebut terdapat dua macam harta perkawinan, yaitu harta pribadi suami dan harta pribadi istri. b. Persatuan untung rugi Perjanjian Perkawinan dengan persatuan untung rugi dimaksudkan adalah antara suami istri tidak terdapat persatuan bulat, namun mereka memperjanjikan persatuan secara terbatas, yaitu persatuan untung rugi saja. Keuntungan dan kerugian menjadi hak dan kewajiban suami-istri secara bersama-sama. Melalui Perjanjian Perkawinan untung rugi ini terdapat 3 (tiga) jenis harta kekayaan, yaitu: harta persatuan yang terbatas, yakni harta persatuan untung dan rugi, harta pribadi suami dan harta pribadi istri. Dengan adanya persatuan untung dan rugi maka semua keuntungan yang diperoleh dan semua kerugian yang diderita seanjang perkawinan akan menjadi bagian dan beban suami-istri menurut perbandingan yang sama besarnya. Apabila dalam suatu Perjanjian Perkawinan ditentukan adanya persatua untung dan rugi, maka terhadap harta yang berupa barang bergerak harus dicatat dalam akta Perjanjian Perkawinan tersebut. Pembagian dari untung dan rugi biasanya dilaksanakan dalam dua bagian yang sama besarnya, kecuali mengenai pembagian tersebut ditentukan lain di dalam Perjanjian Perkawinan (Pasal 156 KUHPerdata).
62
c. Persatuan hasil dan pendapatan Pengaturan mengenai persatuan hasil dan pendapatan hanya terdapat dalam Pasal 164 KUHPerdata yang menyatakan “Perjanjian, bahwa antara suamiisteri hanya akan berlaku persatuan hasil dan pendapatan, berarti secara diamdiam suatu ketiadaan persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut undangundang, dan ketiadaan persatuan untung dan rugi”. Pasal tersebut menerangkan bahwa persatuan hasil dan pendapatan adalah bentuk lain dari macam harta kekayaan yang tidak berupa pemisahan harta secara keseluruhan dan bukan pula persatuan untung dan rugi. Jadi, di samping dapat memuat atau mengatur tentang persatuan untung dan rugi, para pihak dalam Perjanjian Perkawinan juga dapat membuat pengaturan tentang persatuan hasil dan pendapatan. Persatuan hasil dan pendapatan ini pada dasarnya hampir sama dengan persatuan untung dan rugi, hanya saja bentuk persatuan ini dilakukan dengan pembatasan bahwa semua hutang yang melebihi aktiva persatuan hasil dan pendapatan akan menjadi tanggungan pihak yang memiliki hutang tersebut. Hutang-hutang yang ada di luar persatuan atau dengan kata lain hutang-hutang tersebut akan menjadi kewajiban atau tanggungan pribadi dari pihak yang berhutang tersebut kepada pihak ketiga (kreditur). 47 KUHPerdata dalam beberapa pasalnya mengatur memberikan laranganlarangan tentang isi Perjanjian Perkawinan, sebagai berikut:
47
J. Andy Hartanto, 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Menurut Burgerlijk Wetboek dan Undang-Undang Perkawinan), Cetakan Kedua, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hal. 28-32.
63
1) Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan tata susila yang baik atau ketertiban umum (Pasal 139 KUHPerdata); 2) Perjanjian yang dibuat tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh KUHPerdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga (Pasal 140 KUHPerdata); 3) Calon suami-istri tidak boleh melepaskan hak-hak yang diberikan oleh undang-undang untuk mewarisi harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah (Pasal 141 KUHPerdata); 4) Perjanjian yang dibuat tidak boleh mengatur tentang kewajiban salah satu pihak dalam perjanjian untuk menanggung hutang yang lebih besar daripada pihak lain dalam perjanjian tersebut (Pasal 142 KUHPerdata); 5) Dalam perjanjian yang dibuat tidak boleh memperjanjikan bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut diaur oleh suatu undang-undang tertentu, adat istiadat, kitab undang-undang, maupun peraturan perundang-undangan lainnya yan dulu pernah berlaku di Indonesia (Pasal 143 KUHPerdata). 2.7. Perubahan Perjanjian Perkawinan Pasal 149 KUHPerdata mengatur dengan tegas bahwa “Setelah Perkawinan berlangsung, Perjanjian Perkawinan dengan cara bagaimanapun, tidak boleh diubah”. Bunyi pasal tersebut berarti menurut ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, pasangan suami-istri yang membuat Perjanjian Perkawinan tidak diijinkan atau dilarang untuk melakukan perubahan terhadap isi Perjanjian
64
Perkawinan tersebut setelah perkawinan mereka berlangsung. Apabila para pihak dalam Perjanjian Perkawinan ingin melakukan perubahan atas isi Perjanjian Perkawinannya, maka segala perubahan yang dikehendaki harus dilakukan sebelum perkawinan berlangsung dan perubahan-perubahan tersebut harus dituangkan dalam bentuk akta dan tidak diperkenankan untuk menuangkan perubahan tersebut dalam bentuk lainnya. Pengaturan mengenai larangan perubahan Perjanjian Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 149 KUHPerdata berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihka ketiga”. Hal ini berarti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih memberikan peluang bagi pasangan suami-istri sebagai para pihak dalam Perjanjian Perkawinan untuk melakukan perubahan terhadap isi dari Perjanjian Perkawinan yang mereka buat bahkan setelah berlangsungnya perkawinan. Perubahan yang dibuat oleh para pihak dapat dilakukan apabila sebelumnya telah diperjanjikan terlebih dahulu dan perubahan yang akan dibuat nantinya tidak akan merugikan pihak ketiga yang terkait dalam Perjanjian Perkawinan tersebut. Apabila perubahan yang dilakukan membawa kerugian bagi para pihak maupun pihak ketiga maka Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dibatalkan atau bahkan dapat dinyatakan batal demi hukum.
65
2.8. Masa Berlaku Perjanjian Perkawinan Berkenaan dengan masa berlakunya Perjanjian Perkawinan, baik KUHPerdata maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memuat pengaturan yang sama, yakni Perjanjian Perkawinan berlaku semenjak perkawinan dilangsungkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 147 KUHPerdata yang berbunyi: “…Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain saat untuk itu tak boleh ditetapkannya”, kemudian pengaturan yang sama dapat dilihat dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni: “Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”. Kedua ketentuan tersebut berlaku secara intern atau antara para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan (pasangan suami-istri) dan tidak berlaku bagi pihak ketiga yang terkait dalam Perjanjian Perkawinan tersebut. Dalam Pasal 152 KUHPerdata disebutkan bahwa: Ketentuan tercantum dalam Perjanjian Perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari persatuan menurut undang-undang seluruhnya atau untuk sebagian, tak akan berlaku terhadap pihak ketiga, sebelum hari ketentuanketentuan itu dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan, atau, jika perkawinan berlangsung di luar negeri, dikepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukannya. Perjanjian Perkawinan akan secara langsung berlaku bagi pasangan suami-istri yang membuat Perjanjian Perkawinan sejak perkawinan mereka berlangsung namun Perjanjian Perkawinan tidak serta merta berlaku bagi pihak ketiga ketika Perjanjian Perkawinan itu dibuat. Perjanjian Perkawinan akan berlaku bagi pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tersebut telah didaftarkan di buku register umum di Pengadilan Negeri.
66
Pendaftaran tersebut harus dilakukan pada saat pihak ketiga berhubungan dengan suami-istri yang membuat Perjanjian Perkawinan tersebut. Jika pendaftaran tersebut baru dilakukan setelah pihak ketiga mempunyai hubungan hukum dengan suami-istri itu, maka suami-istri tidak dapat menempatkan pihak ketiga pada posisi yang dapat merugikan pihak ketiga itu. Sedangkan bagi mereka yang mengadakan hubungan hukum sesudah terjadinya pendaftaran, maka mereka terikat terhadap Perjanjian Perkawinan yang telah didaftarkan tersebut. 48
48
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, op.cit, hal. 82.
67
BAB III KEABSAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL 3.1. Instrumen Pokok Keabsahan Perjanjian Perkawinan 3.1.1. Pengaturan Perjanjian Secara Umum Perjanjian Perkawinan merupakan salah satu jenis perjanjian tertulis yang secara umum telah diatur dalam KUHPerdata, maka sebelum membahas mengenai instrument pokok keabsahan akan dibahas terlebih dahulu mengenai pengaturan perjanjian secara umum. Perjanjian secara umum telah diatur mulai dari Pasal 1313 hingga Pasal 1351 KUHPerdata. Perjanjian merupakan sumber dari suatu perikatan seperti yang tercantum pada Pasal 1233 KUHPerdata yaitu, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undangundang”. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 49 Pengertian perjanjian dalam KUHPerdata dapat dilihat pada Pasal 1313, meskipun KUHPerdata tidak mengatur dengan jelas definisi atau pengertian dari perjanjian itu sendiri. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Melalui pengertian tersebut, dapat dilihat terdapat beberapa unsur dalam perjanjian antara lain:
49
R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Cetakan Keenam, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 14.
68
a. Adanya suatu perbuatan; b. Adanya para pihak; c. Adanya hubungan antara para pihak Perjanjian juga dapat berarti sebagai suatu perbuatan atau tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, di mana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan. Unsur-unsur perjanjian yang terdapat dalam pengertian tersebut yaitu: a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih; b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak; c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum; d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik; e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan. 50 Setiap pasal yang mengatur mengenai perjanjian dalam KUHPerdata, terdapat asas-asas hukum perjanjian yang berkaitan erat dengan pembentukan suatu perjanjian, karena asas-asas tersebut mendasari hal-hal pokok yang harus diperhatikan dalam pembuatan suatu perjanjian. Asas-asas dalam hukum perjanjian tersebut antara lain: 51
50
Herlien Budiono, op.cit, hal 3-5. Djaja S. Meliala, 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Cetakan Kedua, Nuansa Aulia, Bandung, hal. 173. 51
69
a. Asas kepribadian Pengaturan mengenai asas ini dapat dilihat mulai dari Pasal 1315 sampai dengan Pasal 1340 KUHPerdata. Asas kepribadian mengandung makna bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya akan mengikat dan berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian itu sendiri dan baru akan mengikat pihak ketiga apabila hal tersebut diperjanjikan sebelumnya. (Pasal 1317 KUHPerdata); b. Asas konsensualisme Asas konsensualisme ini terkandung dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Asas konsensualisme merupakan salah satu asas perjanjian yang sangat essensial. Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. 52 Kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak. Asas ini mengandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri satu sama lain dan kemudian menimbulkan rasa saling percaya di antara para pihak dalam kaitannya dengan pemenuhan isi perjanjian. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas
kekuatan
mengikat
yang
terdapat
dalam
Pasal
1338
(1)
KUHPerdata. 53 Rumusan Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”, mempunyai makna bahwa dalam
52
Anonim, 15 Mei 2012, Apa Yang Dinamakan Konsensualisme itu?, http://hukumperdataalfa.wordpress.com, hal. 1. 53 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal. 121.
70
pembuatan perjanjian yang sah adalah mengikat karena di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. c. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak sebagaimana disebutkan di atas, terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini mengandung makna bahwa para pihak mempunyai kehendak yang bebas untuk membuat suatu perjanjian dan mempunyai keleluasaan untuk mengikatkan dirinya dengan siapapun yang dikehendaki. Namun meskipun berlaku asas kebebasan berkontrak, perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan. Undang-undang mensyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat menjadi sah dan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian tersebut. Dalam membuat suatu perjanjian, para pihak atau pembuat perjanjian harus pula memperhatikan bagian-bagian yang terdapat dalam satu perjanjian, karena apabila tidak terdapat salah satu dari bagian perjanjian tersebut maka perjanjian yang dibuat dapat menjadi perjanjian yang tidak diinginkan oleh para pihak. Bagian-bagian dari perjanjian tersebut antara lain: a. Bagian essentialia Bagian essentialia adalah bagian yang harus ada di dalam suatu perjanjian. Apabila dalam suatu perjanjian tidak terdapat bagian ini, maka perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian bernama yang dimaksudkan oleh
71
para pihak, melainkan perjanjian lain. Misalnya dalam perjanjian jual beli, bagian essentialia yang harus ada adalah kata sepakat, harga jual beli, objek jual beli. b. Bagian naturalia Bagian naturalia adalah bagian perjanjian yang menurut sifatnya dianggap telah ada dan para pihak tidak perlu memperjanjikan secara khusus mengenai bagian ini. Bagian perjanjian ini telah termuat di dalam peraturan perundang-undangan dan tidak memiliki sifat yang memaksa, sehingga meskipun para pihak menganggap tidak perlu melakukan pengaturannya secara khusus dalam perjanjian maka para pihak bebas untuk menyimpanginya dan ketentuan tersebut akan tetap berlaku. c. Bagian accidentalia Bagian accidentalia adalah bagian dari perjanjian berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa bagian accidentalianya antara lain pilihan domisili dan pilihan hukum, cara pembayaran sewa. 54 Apabila unsur-unsur perjanjian telah terpenuhi, langkah selanjutnya adalah memeriksa keabsahan dari perjanjian tersebut. Sah atau tidaknya perjanjian dapat dipastikan dengan menganalisa apakah perjanjian tersebut telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
54
Herlien Budiono, op.cit, hal. 67.
72
c. Suatu hal tertentu; dan d. Suatu sebab yang halal. 55 Setiap perjanjian yang dibuat dengan memperhatikan baik itu unsur-unsur, bagian-bagian dan syarat sahnya perjanjian akan memiliki kekuatan mengikat dan kepastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Oleh karena itu sangatlah penting bagi para pembuat perjanjian untuk memperhatikan hal-hal tersebut dalam pembuatan suatu perjanjian. 3.1.2. Pengaturan Keabsahan Perjanjian Perkawinan 3.1.2.1. Pengaturan Keabsahan Perjanjian Perkawinan Dalam KUHPerdata Akibat perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya adalah terjadinya percampuran harta secara bulat antara pasangan suami-istri. Bagi calon pasangan suami-istri yang ingin menghindarkan diri dari terjadinya percampuran harta secara bulat dalam suatu perkawinan dapat membuat suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian khusus yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perjanjian Perkawinan dikatakan sebagai perjanjian khusus karena pembuat undang-undang telah memiliki pengaturan khusus terkait dengan Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian yang termasuk dalam ruang lingkup hukum keluarga dan tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Buku I KUHPerdata, yaitu tentang orang. Perjanjian Perkawinan erat kaitannya dengan hukum perkawinan karena Perjanjian Perkawinan dibuat oleh
55
Herlien Budiono, op.cit, hal 73.
73
calon pasangan suami-istri yang hendak melangsungkan perkawinan guna mengatur mengenai keberadaan harta benda perkawinan. Di Indonesia, sebelum memiliki payung hukum tersendiri yang mengatur mengenai hukum perkawinan yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengaturan mengenai hukum perkawinan dapat ditemukan dalam berbagai macam peraturan hukum atau sistem hukum yang berlaku. Peraturan tersebut disesuikan dengan golongan masyarakat yang ada di Indonesia pada saat itu, antara lain: a. Hukum Adat yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli; b. Hukum Islam yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang beragaman Islam; c. Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (HOCI) S. 1933 No. 74 yang diberlakukan bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen; d. KUHPerdata yang diberlakukan bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina; e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan asing lainnya berlaku hukum adat mereka masing-masing. 56 Sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan di Indonesia, pengaturan terkait dengan Perjanjian Perkawinan telah diatur lebih dahulu di KUHPerdata. Pengaturan Perjanjian Perkawinan terdapat pada Buku I, Bab ke – 7 sampai Bab ke – 8 dan dimulai dari Pasal 139 sampai dengan Pasal 185. Berdasarkan Pasal 119 KUHPerdata, sejak saat perkawinan
56
Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 8.
74
dilangsungkan, maka demi hukum akan terjadi persatuan harta secara bulat antara pasangan suami-istri sepanjang mereka tidak menentukan lain yang dituangkan dalam
suatu
Perjanjian
Perkawinan.
Oleh
karena
undang-undang
memperkenankan dibuatnya penyimpangan-penyimpangan atas harta perkawinan tersebut, para pihak atau calon pasangan suami-istri berhak untuk mengadakan Perjanjian Perkawinan dengan maksud: a. Apabila salah satu pihak memiliki harta kekayaan yang lebih besar daripada pihak lainnya; b. Apabila baik calon suami ataupun calon istri sama-sama membawa harta bawaan yang jumlah cukup besar ke dalam perkawinan; c. Apabila baik calon suami ataupun calon istri sama-sama mempunyai usaha sendiri sehingga apabila terjadi pailit pihak lainnya tidak akan ikut tersangkut dan tetap aman; d. Calon suami ataupun calon istri akan tetap bertanggung jawab atas pengembalian utang-utang yang dimiliki oleh masing-masing pihak. 57 Para pihak yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan harus memperhatikan kehendak masing-masing pihak yang akan dituangkan ke dalam Perjanjian Perkawinan sehingga isi dari Perjanjian Perkawinan itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum (Pasal 139 KUHPerdata). Perjanjian Perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan oleh
57
Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, 2012, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, www.journal.lib.unair.ac.id, hal. 12.
75
calon pasangan suami-istri dan harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris, karena jika tidak maka Perjanjian Perkawinan tersebut akan batal demi hukum. Perjanjian Perkawinan akan berlaku hanya sejak saat perkawinan dilangsungkan dan tidak pada saat lain yang dapat ditentukan oleh para pihak (Pasal 147 KUHPerdata). Para pihak masih dapat membuat perubahan atas Perjanjian Perkawinan sepanjang perkawinan antara para pihak belum dilangsungkan. Perubahan yang dimaksud harus sesuai dengan persetujuan para pihak dan perubahan tersebut harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris (Pasal 148 KUHPerdata). Selain daripada waktu yang ditentukan dalam Pasal 148 KUHPerdata tersebut, para pihak tidak diperkenankan untuk mengadakan perubahan apapun terhadap Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat (Pasal 149 KUHPerdata). Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Perjanjian Perkawinan akan mengikat pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tersebut telah didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat perkawinan tersebut dilangsungkan dan apabila perkawnan tersebut dilangsungkan di luar negeri maka Perjanjian Perkawinan tersebut didaftarkan di daerah hukum tempat akta perkawinan para pihak didaftarkan (Pasal 152 KUHPerdata). Berdasarkan
penjabaran
pengaturan
Perjanjian
Perkawinan
dalam
KUHPerdata diatas, tersirat tentang pengaturan keabsahan Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak. Keabsahan Perjanjian Perkawinan menurut KUHPerdata dapat ditentukan apabila Perjanjian Perkawinan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
76
a. Penyimpangan mengenai harta perkawinan yang diatur dalam Perjanjian Perkawinan tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum; b. Perjanjian Perkawinan dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak; c. Perjanjian Perkawinan harus dibuat dalah bentuk Akta Notaris; d. Perjanjian Perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Dengan demikian, apabila suatu Perjanjian Perkawinan telah memenuhi segala ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata dan memperhatikan setiap larangan-larangan yang tidak diperkenankan oleh KUHPerdata, maka Perjanjian Perkawinan itu telah dianggap sah. 3.1.2.2. Pengaturan Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Setelah pemerintah mengesahkan dan mengundangkan peraturan nasional yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) tanpa memandang golongan, peraturanperaturan hukum yang sebelumnya berlaku terkait dengan hukum perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini dapat dilihat dari penjabaran Ketentuan Penutup Pasal 66 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya UndangUndang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christien Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
77
Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas mengandung pengertian bahwa segala pengaturan yang menyangkut hukum perkawinan sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka pengaturan lain yang terdapat dalam peraturanperaturan hukum terdahulu tidak berlaku lagi. Namun sebaliknya, apabila dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang belum mendapat pengaturan, maka peraturan-peraturan hukum terdahulu masih dapat dijadikan acuan atau masih dapat diberlakukan kembali. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai unifikasi hukum perkawinan di Indonesia mengatur tentang Perjanjian Perkawinan, yakni dalam Pasal 29 sebagai berikut: (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Apabila melihat bunyi pasal tersebut di atas, maka dapat dijabarkan makna yang terkandung dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas adalah: a. Perjanjian Perkawinan dibuat bersama oleh para pihak berdasarkan kesepakatan atau persetujuan bersama;
78
b. Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan; c. Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis; d. Perjanjian Perkawinan dapat diubah apabila diperjanjikan oleh para pihak; e. Perubahan Perjanjian Perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga; f. Perjanjian Perkawinan disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan Perjanjian Perkawinan juga dapat mengikat pihak ketiga sepanjang pihak ketiga memang tersangkut dalam Perjanjian Perkawinan dan baru akan berlaku pada pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tersebut telah disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Apabila melihat bunyi Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas, tidak tampak adanya keharusan Perjanjian Perkawinan tersebut untuk disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil, namun prosedur tersebut penting dilakukan oleh pasangan yang mempunyai Perjanjian Perkawinan agar Perjanjian Perkawinan tersebut nantinya dapat mengikat pihak ketiga. Isi dari Perjanjian Perkawinan tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, sehingga apabila terdapat Perjanjian Perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tersebut maka Perjanjian Perkawinan batal demi hukum. Masa berlakunya Perjanjian Perkawinan adalah sejak perkawinan dilangsungkan. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut dapat menjadi dasar hukum bagi para calon pasangan suami-istri untuk membuat Perjanjian Perkawinan.
79
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata, maka dapat dilihat terdapat beberapa perbedaan, antara lain: 58 a. Menurut subyek Perjanjian Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa Perjanjian
Perkawinan
dibuat
oleh
kedua
pihak
yang
akan
melangsungkan perkawinan, namun tidak menyebutkan bahwa calon suami-istri yang akan membuat Perjanjian Perkawinan harus meminta bantuan dari orang lain (orang tua atau wali), sedangkan dalam KUHPerdata terdapat pengaturan jika para pihak yang akan membuat Perjanjian Perkawinan belum cakap untuk membuat suatu perjanjian maka pembuatan Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dibantu oleh orang tua atau wali para pihak; b. Menurut bentuk Perjanjian Perkawinan Bentuk Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perjanjian tertulis, namun tidak disebutkan lebih lanjut bahwa Perjanjian Perkawinan tersebut harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris, sedangkan dalam KUHPerdata dengan tegas disebutkna bahwa Perjanjian Perkawinan harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris.
58
J. Andy Hartanto, op.cit, hal. 32
80
c. Menurut tata cara pembuatan Perjanjian Perkawinan Tata cara pembuatan Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah setelah Perjanjian Perkawinan tersebut dibuat selanjutnya disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil, sedangkan dalam KUHPerdata setelah Perjanjian Perkawinan dibuat maka Perjanjian Perkawinan tersebut dibukukan di register umum Kepaniteraan Pengadilan Negeri. d. Menurut waktu pembuatan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, sedangkan menurut KUHPerdata Perjanjian Perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. e. Menurut jenis atau macam Perjanjian Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang ketentuan jenis atau macam Perjanjian Perkawinan yang dapat dibuat oleh para pihak, sedangkan dalam KUHPerdata ditentukan tentang jenis atau macam Perjanjian Perkawinan yang dapat dibuat oleh para pihak. Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai satu-satunya ketentuan yang mengatur tentang Perjanjian Perkawinan menjadi tolak ukur dalam pembuatan Perjanjian Perkawinan atau dengan kata lain Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sahnya Perjanjian Perkawinan menurut pasal ini. Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun
81
1974 tentang Perkawinan memang tidak dengan jelas memuat tentang syarat sahnya Perjanjian Perkawinan namun apabila dilihat dari penjabarannya, syarat sahnya Perjanjian Perkawinan antara lain: a. Dibuat atas persetujuan bersama; b. Dibuat dalam bentuk tertulis; c. Disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan; d. Tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. 59 Berdasarkan penjabaran di atas dapat dilihat bahwa pengaturan tentang Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangatlah terbatas apabila dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata. Keterbatasan ini dikarenakan Perjanjian Perkawinan hanya diatur dalam 1 (satu) pasal yaitu Pasal 29. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak mengatur lebih lanjut mengenai Perjanjian Perkawinan dan hanya mengatur bahwa apabila ada Perjanjian Perkawinan maka akan dimuat di Akta Perkawinan (Pasal 12 huruf h Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
59
Martiman Prodjohamidjojo, 2011, Hukum Perkawinan Dalam Tanya Jawab, Cetakan Keenam, Edisi Revisi, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, hal. 22.
82
3.1.2.3. Pengaturan Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Perjanjian Perkawinan selain diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata, juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. KHI pada dasarnya tidak mengatur tentang percampuran harta dalam perkawinan, baik harta milik suami maupun harta milik istri akan tetap menjadi milik dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing pihak (Pasal 86 KHI). Meskipun dalam KHI tidak dikenal percampuran harta perkawinan, para pihak tetap dapat mengadakan suatu perjanjian yang mengatur tentang kedudukan harta dalam perkawinan, dan perjanjian yang dimaksud adalah Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan dalam KHI diatur pada Bab VII mulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Pasal 45 KHI menyatakan bahwa “Kedua calon mempelai dapat mengadakan Perjanjian Perkawinan dalam bentuk: 1. Taklik-talak; dan 2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.” Ketentuan Perjanjian Perkawinan dalam Pasal 45 KHI tersebut jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata. Pada bagian Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik-talak”, dengan demikian UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang takliktalak dalam Perjanjian Perkawinan. Sementara itu, dalam KUHPerdata tidak
83
diatur mengenai taklik-talak bahkan KUHPerdata tidak mengenal istilah takliktalak itu sendiri. Pasal 47 KHI mengatur tentang percampuran harta bersama yang didapat pasangan suami-istri selama perkawinan, sebagai berikut: (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam. (3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat. Uraian Pasal 47 KHI tersebut di atas berarti bahwa Perjanjian Perkawinan dalam KHI tidak hanya sebatas harta suami-istri yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, melainkan pula mencakup harta bawaan dari masing-masing pihak, baik suami maupun istri. Perjanjian Perkawinan tentang harta bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh calon mempelai dalam bentuk tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dengan tujuan untuk mempersatukan dan atau memisahkan harta kekayaan pribadi masing-masing pihak selama berlangsungnya perkawinan. 60 Pada uraian sebelumnya sudah disebutkan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan KHI yaitu terkait dengan pengaturan taklik-talak. Namun, masih terdapat
60
H. A. Damanhuri H. R., 2012, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Cetakan Kedua, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 11.
84
beberapa perbedaan antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan KHI, antara lain: a. Dilihat dari segi jenis atau macam Perjanjian Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai jenis atau macam Perjanjian Perkawinan yang dapat dibuat oleh para pihak, sedangkan dalam KHI terdapat pengaturan mengenai jenis atau macam Perjanjian Perkawinan yang dapat dibuat oleh para pihak, yaitu Perjanjian Perkawinan percampuran harta pribadi dan Perjanjian Perkawinan pemisahan harta pencaharian masing-masing pihak; b. Dilihat dari segi isi Perjanjian Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai isi dari Perjanjian Perkawinan, sedangkan dalam KHI diatur mengenai isi Perjanjian Perkawinan, yakni selain berisi mengenai percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masingmasing, para pihak juga dapat memuat isi mengenai kewenangan masingmasing pihak untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat; c. Dilihat dari segi akibat hukum Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, akibat hukum dilanggarnya Perjanjian Perkawinan oleh satu pihak tidak dapat menjadi alasan perceraian, sedangkan dalam KHI pelanggaran atas Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak dapat dijadikan dasar
85
oleh istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alas an gugatan perceraian di Pengadilan Agama. Berdasarkan uraian mengenai ketentuan Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam KHI, maka dapat disimpulkan bahwa syarat sahnya Perjanjian Perkawinan menurut KHI sebagai berikut: a. Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan; b. Perjanjian Perkawinan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam; c. Perjanjian Perkawinan dibuat berdasarkan kehendak para pihak; d. Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis; e. Perjanjian Perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. 3.2. Kualifikasi Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Pada pembahasan di atas telah diuraikan mengenai pengaturan Perjanjian Perkawinan dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada di Indonesia beserta dengan keabsahan Perjanjian Perkawinan yang diatur sesuai dengan ketentuanketentuan hukum tersebut. Apabila dilihat dalam masing-masing ketentuan tersebut, baik dalam KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, terdapat persamaan maupun perbedaan mengenai pengaturan keabsahan Perjanjian Perkawinan. Persamaan dan perbedaan tersebut akan dituangkan dalam bentuk tabel di bawah ini:
86
Tabel 1: Perbedaan keabsahan Perjanjian Perkawinan No.
KUHPerdata
Undang-Undang No. 1
KHI
Tahun 1974 1.
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian
dibuat sebelum
dibuat sebelum atau
Perkawinan dibuat
perkawinan
pada saat perkawinan
sebelum atau pada
dilangsungkan.
dilangsungkan.
saat perkawinan dilangsungkan.
2.
3.
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian
harus dibuat dalam
dibuat dalam bentuk
Perkawinan dibuat
bentuk Akta Notaris.
tertulis.
dalam bentuk tertulis.
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian
tidak memerlukan
perlu disahkan oleh
Perkawinan perlu
pengesahan oleh
Pegawai pencatat
disahkan oleh
Pegawai pencatat
perkawinan (Kantor
Pegawai Pencatat
perkawinan.
Catatan Sipil).
Nikah (Kantor Urusan Agama).
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan yang terdapat pada KUHPerdata memiliki perbedaan yang mendasar dengan pengaturan yang terdapat pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
87
Perkawinan dan KHI, Perjanjian Perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian Perkawinan pada KUHPerdata harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris, sedangkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Akta Notaris memang dibuat dalam bentuk tertulis, namun baik Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI tidak menjelaskan lebih lanjut perjanjian tertulis yang dimaksud berupa Akta Notaris atau dapat berupa perjanjian dibawah tangan. Menurut KUHPerdata, Perjanjian Perkawinan tidak perlu disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, sedangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, Perjanjian Perkawinan memerlukan pengesahan dari Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama. Mengenai pengesahan ini, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai sifat pengesahan yang dimaksud, apakah pengesahan tersebut diperlukan untuk membuat Perjanjian Perkawinan yang sebelumnya belum sah menjadi sah atau hanya bersifat publisitas semata sehingga pihak ketiga atau pihak lain mengetahui keberadaan Perjanjian Perkawinan yang dibuat para pihak. Selain terdapat perbedaaan keabsahan Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, terdapat pula beberapa persamaan. Persamaan keabsahan Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
88
Tabel 2: Persamaan keabsahan Perjanjian Perkawinan Undang-Undang No. 1 No. 1.
KUHPerdata
Tahun 1974
KHI
Perjanjian Perkawinan
Tidak boleh
Perjanjian
tidak menyalahi tata
bertentangan dengan
Perkawinan yang
susila yang baik atau tata
hukum, agama dan
dibuat tidak boleh
tertib umum.
kesusilaan.
bertentangan dengan Hukum Islam.
2.
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian
dibuat berdasarkan
dibuat atas persetujuan
Perkawinan dibuat
kesepakatan para pihak.
bersama.
berdasarkan kehendak para pihak.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat 2 (dua) persamaan ketentuan yang mengatur keabsahan Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Ketiga peraturan hukum tersebut masing-masing menghendaki agar isi dari Perjanjian Perkawinan yang dibuat para pihak tidak bertentangan dengan tata susila yang baik, hukum dan agama. Ketentuan mengenai hukum dan agama tentunya disesuaikan dengan hukum dan agama yang dianut oleh masing-masing pihak. Persamaan paling utama pada ketiga peraturan hukum tersebut adalah Perjanjian Perkawinan harus dibuat berdasarkan persetujuan para pihak. Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa kehendak para pihak merupakan hal pokok
89
dalam membuat suatu perjanjian, karena dari kehendak tersebut akan timbul persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak yang nantinya akan dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian tertulis, dalam hal ini Perjanjian Perkawinan. Apabila suatu Perjanjian Perkawinan tidak didasarkan atas kehendak serta kesepakatan para pihak, maka Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Perjanjian Perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian dalam ranah hukum keluarga memiliki karakteristik yang berbeda dengan bentuk perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata. Namun, sebagai suatu perjanjian prinsip utama yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata tetap berlaku pada Perjanjian Perkawinan. Hal ini dikarenakan Perjanjian Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu perjanjian yang dalam pembuatannya harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut. Sehingga keabsahannya pun dapat ditentukan melalui pemenuhan syarat sahnya perjanjan. Syarat-syarat sahnya perjanjian antara lain: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kesepakatan yang dimaksud adalah adanya persesuaian kehendak antara para pihak dalam membuat suatu perjanjian. Para pihak dalam membuat Perjanjian Perkawinan mempunyai kehendak yang bebas untuk menuangkan maksud serta keinginan yang akan dituangkan dalam Perjanjian Perkawinan tersebut. Kehendak bebas yang dimiliki para pihak bukan berarti kebebasan yang tidak bertanggung jawab, melainkan bebas
90
di sini berarti kehendak tersebut tidak ada unsur paksaan, penipuan atau kekhilafan dalam mengadakan suatu perjanjian. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Kecakapan adalah kemampuan yang bagi seseorang yang menurut hukum telah dianggap layak untuk melakukan suatu perbuatan hukum (dalam hal ini perbuatan hukum yang dimaksud adalah membuat suatu perjanjian). Para pihak dapat melakukan suatu perbuatan hukum sebagai bagian dari hak atau kewenangan yang melekat pada dirinya karena telah dinyatakan cakap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Suatu hal tertentu Perjanjian yang dibuat harus memuat hal-hal tertentu dan dituangkan secara jelas sehingga tidak mengakibatkan perjanjian tersebut salah satu pihak memohon pembatalan perjanjian di Pengadilan Negeri. Para pihak dalam membuat Perjanjian Perkawinan harus memperhatikan hal-hal apa saja yang dapat dituangkan ke dalam Perjanjian Perkawinan tersebut sehingga nantinya Perjanjian Perkawinan tersebut dapat memberikan perlindungan bagi para pihak terkait dalam Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat. d. Suatu sebab yang halal Perjanjian tidak hanya harus memuat hal-hal yang jelas sebagai objek perjanjian melainkan perjanjian itu harus terjadi karena disebabkan oleh hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
91
dan ketertiban umum. Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak haruslah dibuat didasarkan oleh alasan-alasan yang tepat dan tidak menyimpang dari aturan hukum maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pasal 1320 KUHPerdata merupakan salah satu pasal yang sangat populer dalam merancang suatu perjanjian karena menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian (syarat subyektif) maupun syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut dengan syarat obyektif. 61 Syarat subyektif dalam perjanjian adalah kata sepakat dan kecakapan dalam membuat perjanjian, sementara syarat obyektif adalah adanya hal tertentu dan sebab yang halal. Apabila syarat subyektif tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut akan menjadi batal demi hukum, namun apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dapat dimohonkan suatu pembatalan di Pengadilan Negeri atau dengan kata lain perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Syarat sahnya Perjanjian Perkawinan didasarkan pada ketentuan-ketentuan perundang-undangan baik yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan maupun syarat sahnya perjanjian secara umum, maka syarat sahnya Perjanjian Perkawinan secara keseluruhan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu: 62
61
Ahmad Miru dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Cetakan ketiga, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 67. 62 J. Andy Hartanto, op.cit, hal. 20.
92
a. Syarat subyektif Syarat subyektif menyangkut para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan yang berkaitan erat dengan kecakapan bertindak para pihak. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa: Tak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dlam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Orang yang tidak cakap adalah orang yang menurut hukum belum dewasa. Orang yang cakap membuat perjanjian adalah orang yang berumur 21 tahun, maka para pihak yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan harus berumur 21 tahun. Namun dalam Perjanjian Perkawinan ditentukan pengecualian bagi para pihak yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan, yakni: pertama, bagi para pihak yang belum dewasa sehingga dianggap belum cakap membuat Perjanjian Perkawinan dapat membuat Perjanjian Perkawinan asalkan pihak yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Kedua, dalam membuat Perjanjian Perkawinan para pihak dibantu oleh orang tua atau wali yang memberikan ijin bagi para pihak untuk melangsungkan perkawinan. Ketiga, apabila karena alasan tertentu perkawinan dilangsungkan dengan ijin hakim, maka naskah Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak harus mendapat persetujuan dari pengadilan terlebih dahulu sebelum ditandatangani oleh para pihak. Para pihak masih tetap dapat membuat Perjanjian Perkawinan meskipun umur mereka belum memenuhi ketentuan kecakapan menurut undang-undang
93
untuk membuat suatu perjanjian dengan bantuan dari orang lain yang turut hadir dan turut menandatangani akta Perjanjian Perkawinan atau dengan mendapat ijin tertulis yang berisi pernyataan persetujuan atas isi Perjanjian Perkawinan yang dibuat. 63 b. Syarat formil dan cara pembuatan Perjanjian Perkawinan Syarat ini mengatur mengenai bentuk dan tata cara pembuatan Perjanjian Perkawinan. Pada uraian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa terdapat perbedaan pengaturan mengenai bentuk Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Pasal 147 KUHPerdata dengan bentuk Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 47 KHI. Pada Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bentuk Perjanjian Perkawinan belum diatur secara tegas dan hanya disebutkan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Hal ini dapat diartikan bahwa Perjanjian Perkawinan dapat dibuat dalam bentuk Akta Notaris (Akta Otentik) atau cukup dengan akta di bawah tangan saja. Banyak masyarakat dan prakisi-praktisi hukum dalam membuat Perjanjian Perkawinan masih mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata yang disebabkan pengaturan Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih sangat terbatas. 64 Oleh karena itu, sebagian besar Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk Akta Notaris. Pada Pasal 1868 KUHPerdata disebutkan bahwa “suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
63
J. Satrio, 1991, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 152. 64
Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, op.cit, hal. 3.
94
dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Akta menurut Veegens-Oppenheim-Polak Dl. III 1934 hlm. 459 adalah “suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti”. 65 Akta Notaris dikatakan sebagai akta otentik karena memenuhi unsur-unsur yang ada pada Pasal 1868 KUHPerdata. Pembuatan Perjanjian Perkawinan dilakukan dihadapan seorang Notaris. Notaris akan merangkum keinginan para pihak ke dalam suatu draft Perjanjian Perkawinan sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku, kemudian akan ditandatangani oleh para pihak setelah mereka setuju tentang isi Perjanjian Perkawinan tersebut. Perjanjian Perkawinan yang telah ditandatangani oleh para pihak dan Notaris selanjutnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kemudian Pegawai pencatat perkawinan akan membubuhkan stempel tanda bukti pendaftaran pada Perjanjian Perkawinan tersebut. Tujuan dibuatnya Perjanjian Perkawinan dalam bentuk Akta Notaris, yaitu: pertama, Perjanjian Perkawinan dapat menjadi alat pembuktian dengan kekuatan yang sempurna apabila terjadi sengketa. Alat bukti adalah alat untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh penggugat
65
Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hal. 441.
95
maupun oleh tergugat dalam perkara perdata. 66 Pasal 1866 KUHPerdata menyebutkan beberapa jenis alat bukti, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Bukti tulisan; Bukti dengan saksi-saksi; Persangkaan-persangkaan; Pengakuan; Sumpah. Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan yang memberi kepastian
yang cukup kepada hakim, kecuali kalau ada pembuktian perlawanan (tegenbewijs) sehingga hakim akan memberi akibat hukumnya. Pada kekuatan pembuktian sempurna alat bukti sudah tidak perlu dilengkapi dengan alat bukti lain, tetapi masih memungkinkan pembuktian lawan. 67 Kedua, Perjanjian Perkawinan yang dibuat dalam bentuk Akta Notaris akan memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban para pihak sebagai pasangan suami-istri terhadap harta benda mereka. c. Syarat materiil Perjanjian Perkawinan Syarat ini berkaitan dengan isi dari Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak. Perjanjian Perkawinan dibuat untuk melakukan penyimpangan ketentuan harta perkawinan yang diatur dalam undang-undang. Suatu perkawinan tanpa Perjanjian Perkawinan, maka akan terjadi persatuan harta secara bulat dalam perkawinan. Artinya, harta bawaan milik suami-istri sebelum perkawinan berlangsung masuk ke dalam harta perkawinan tanpa ada pemisahan terhadap harta pribadi masing-masing. Para pihak diperkenankan membuat penyimpangan
66
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 73. 67 Ibid, hal. 81
96
ketentuan percampuran harta perkawinan selama isi dari Perjanjian Perkawinan tersebut tidak bertentangan dengan larangan-larangan maupun ketentuanketentuan yang diatur dalam undang-undang. Sepanjang isi Perjanjian Perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang, maka Perjanjian Perkawinan tersebut akan dianggap sah. Perjanjian Perkawinan secara formil serupa dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya, sedang perbedaannya adalah mengenai isi atau obyek dari perjanjian itu sendiri. Perbedaan utama adalah bahwa Perjanjian Perkawinan disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan/Nikah. 68 Pengaturan mengenai pengesahan Perjanjian Perkawinan oleh Pegawai pencatat perkawinan terdapat pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pencatat perkawinan hanya dilakukan oleh 2 (dua) instansi, yaitu: a. Pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA); b. Pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak yang beragama selain Islam dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Setiap peristiwa penting yang terjadi dalam keluarga seperti kelahiran, kematian, perkawinan, pengakuan/pengesahan anak dan perceraian sangat perlu untuk didaftarkan di Kantor Catatan Sipil, oleh karena Catatan Sipil yang
68
H. A. Damanhuri H. R., op.cit, hal. 23.
97
berwenang dan bertugas untuk memberikan kepastian serta membuat catatan selengkap-lengkapnya atas peristiwa-peristiwa tersebut di atas dan kemudian membukukannya. Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintah yang bertugas untuk mencatat, mendaftarkan serta membukukan selengkap mungkin tiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, misalnya perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian, serta ganti nama. 69 Pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil memang menjadi salah satu syarat yang perlu dipenuhi para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan. Namun terdapat ketidakjelasan mengenai makna dari kata disahkan pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena tidak terdapat penjelasan lebih lanjut baik pada bagian Penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan apakah pengesahan yang dimaksud untuk mengesahkan Perjanjian Perkawinan yang sebelumnya belum sah menjadi sah atau untuk publikasi terhadap pihak ketiga atau pihak lain tentang eksistensi Perjanjian Perkawinan tersebut. Pengaturan Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta peraturan pelaksananya dianggap kurang lengkap sehingga menimbulkan mulitafsir terhadap substansi peraturan hukum itu sendiri. 69
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1996, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 11 dan 13.
98
Masyarakat awam yang tidak memahami mengenai istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum akan menganggap bahwa pengesahan yang dilakukan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil diperlukan untuk membuat Perjanjian Perkawinan mereka yang belum sah menjadi sah, padahal sepanjang isi Perjanjian Perkawinan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian pada umumnya dan syarat-syarat sahnya Perjanjian Perkawinan, maka Perjanjian Perkawinan tersebut telah sah tanpa memerlukan pengesahan di Kantor Catatan Sipil, terlebih lagi Perjanjian Perkawinan tersebut dibuat dalam bentuk Akta Notaris. Perjanjian Perkawinan dalam bentuk Akta Notaris dibuat di hadapan seorang Notaris. Notaris dalam istilah asing disebut Notary dengan pengertian sebagai berikut: “Notary is a qualified attorney which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as notary and attorney and as notary he enjoys special priviledge”. 70 (Notaris adalah pengacara yang telah memenuhi syarat yang diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik sebagai notaris dan sebagai pengacara dan sebagai notaris dia mempunyai hak istimewa). Pasal 15 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan beberapa kewenangan Notaris yaitu: (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, 70
Matome M. Ratiba, 2013, Coveyancing Law for Paralegals and Law Students, Electronic Book, www.bookboon.com, hal. 28.
99
semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undangundang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus; b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat Akta risalah lelang (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Notaris sebagai pejabat pemerintah yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik tidak akan membuat produk hukum yang bertentangan dengan ketentuanketentuan hukum yang berlaku. Apabila terdapat kekeliruan dan merumuskan klausula dan syarat dalam Perjanjian Perkawinan, maka hal itu tidak dapat dilakukan perbaikan atau perubahan sepanjang perkawinan berlangsung atau dampak terburuk adalah Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Salah satu contoh Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil yang pernah ada yaitu Perjanjian Perkawinan antara Nona A dengan Tuan B yang dibuat pada tanggal 14 Juli 2009 dihadapan Notaris XXX. 71 Perjanjian Perkawinan ini dibuat antara pasangan yang berbeda kewarganegaraan, yaitu Nona A yang berkewarganegaraan Indonesia dengan Tuan B yang 71
Identitas para pihak dirahasiakan.
100
berkewarganegaraan Australia. Perjanjian Perkawinan ini dibuat karena mereka hendak melangsungkan perkawinan, yang dalam hal ini adalah Perkawinan Campuran. Perjanjian Perkawinan ini merupakan perjanjian pemisahan harta perkawinan secara bulat. Segala harta bawaaan yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung oleh masing-masing pihak, akan tetap menjadi milik dan dikuasai penuh oleh masing-masing pihak, demikian pula dengan harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung akan menjadi milik dan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak. Perjanjian Perkawinan ini tidak hanya memuat mengenai pemisahan harta benda perkawinan, namun memuat pula mengenai pemisahan untung rugi. Para pihak akan bertanggung jawab masing-masing sepenuhnya terhadap segala utang yang diperoleh sebelum dan selama perkawinan berlangsung, sehinga apabila salah satu pihak dianggap pailit karena tidak mampu memenuhi kewajibannya melunasi segala utang, maka harta pihak lainnya dalam Perjanjian Perkawinan tersebut tidak akan terusik dan akan tetap aman. Hal ini tentunya memberi perlindungan bagi para pihak akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan selama perkawinan berlangsung. Sesuai dengan teori momentum terjadinya kontrak yang telah diuraikan dalam landasan teoritis pada bab sebelumnya, Perjanjian Perkawinan antara Nona A dengan Tuan B telah memenuhi unsur-unsur yang diperlukan dalam terjadinya suatu perjanjian, yaitu: pertama, adanya kehendak dari para pihak untuk mengadakan suatu perjanjian. Kehendak atau keinginan para pihak ini sangatlah penting karena akan menjadi dasar dari terjadinya Perjanjian Perkawinan.
101
Perjanjian Perkawinan ini tidak akan terwujud tanpa terlebih dahulu adanya kehendak atau keinginan dari para pihak untuk membuat Perjanjian Perkawinan tersebut. Kehendak inilah yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk Perjanjian Perkawinan oleh Notaris. Kedua, Perjanjian Perkawinan ini tidak akan terwujud hanya didasarkan atas adanya kehendak dari para pihak semata. Hal ini dikarenakan kehendak bersifat batiniah sehingga sangat sulit untuk mengetahui kehendak seseorang apabila tidak disampaikan melalui suatu pernyataan. Oleh karena itulah kesesuian kehendak dengan pernyataan sangat penting dalam terwujudnya suatu perjanjian. Perjanjian Perkawinan ini telah didasarkan atas adanya kesesuaian kehendak dengan pernyataan antara para pihak setelah melalui tahap perundingan sehingga kesepakatan yang dituangkan menjadi isi dari Perjanjian Perkawinan ini. Ketiga, Perjanjian Perkawinan ini terwujud karena adanya kepercayaan antara para pihak. Untuk dapat membuat suatu perjanjian terlebih lagi Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh suami-istri harus didasarkan atas kepercayaan yang kuat antara suami-istri tersebut, karena apabila tidak ada rasa saling percaya diantara kedua belah pihak maka Perjanjian Perkawinan ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan permasalahan diantara keduanya. Oleh karena itu, Perjanjian Perkawinan ini menjadi salah satu wujud kepercayaan suami-istri dalam membina rumah tangga. Perjanjian Perkawinan antara Nona A dengan Tuan B tidak hanya telah sesuai dengan teori momentum terjadinya kontrak, namun telah dibuat berdasarkan syarat sahnya perjanjian pada umumnya berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yakni: pertama, para pihak telah sepakat untuk membuat Perjanjian
102
Perkawinan sesuai dengan kehendak masing-masing pihak tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Kedua, para pihak telah cakap untuk membuat perjanjian dengan usia masing-masing pihak adalah 31 tahun dan 26 tahun pada saat dibuatnya Perjanjian Perkawinan tersebut. Ketiga, Perjanjian Perkawinan dibuat untuk melakukan pemisahan harta benda perkawinan dan pemisahan untung rugi dimana undang-undang memberikan kesempatan bagi para pihak untuk menuangkan halhal tersebut dalam suatu Perjanjian Perkawinan. Keempat, Perjanjian Perkawinan ini dibuat untuk memberi perlindungan bagi para pihak agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan terkait dengan harta benda perkawinan, oleh karena itu alasan dibuatnya Perjanjian Pekawinan ini tidak melanggar butir 4 (empat) suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian Perkawinan ini telah memenuhi syarat yang berlaku bagi Perjanjian Perkawinan agar dapat berlaku sah dan mengikat para pihak. Para pihak telah memenuhi persyaratan subyektif yang berkaitan dengan butir pertama Pasal 1320 KUHPerdata yakni kecakapan membuat perjanjian sebagaimana telah diuraikan di atas. Perjanjian Perkawinan ini dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yakni Akta Notaris, sehingga Perjanjian Perkawinan ini telah memenuhi syarat formil dan tata cara pembuatan Perjanjian Perkawinan. Isi dari Perjanjian Perkawinan ini telah sesuai dengan penyimpangan ketentuan harta perkawinan yang ditentukan oleh undangundang sehingga telah memenuhi syarat materiil sebagai suatu Perjanjian Perkawinan.
103
Berdasarkan ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian secara umum dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam membuat Perjanjian Perkawinan agar berlaku sah dan mengikat, maka Perjanjian Perkawinan tersebut adalah sah. Namun apabila melihat Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perjanjian tertulis yang dibuat para pihak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian Perkawinan antara Nona A dan Tuan B tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Kemudian timbul pertanyaan apakah Perjanjian Perkawinan tersebut dikatakan tidak sah karena tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil meskipun Perjanjian Perkawinan tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian secara umum dan syarat sahnya Perjanjian Perkawinan. Kaburnya makna kata disahkan pada Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menimbulkan multafsir mengenai keabsahan Perjanjian Perkawinan itu sendiri. Sah berarti dilakukan menurut hukum (undang-undang, peraturan) yang berlaku. Sementara itu pengertian pengesahan adalah proses, perbuatan, cara mengesahkan; pengakuan berdasarkan hukum; peresmian; pembenaran. 72 Dalam ruang lingkup hukum pengesahan adalah tindakan hukum oleh instansi yang berwenang untuk mengubah status tidak sah menjadi sah sebagaimana halnya
72
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 860.
104
mengubah dari bukan badan hukum menjadi badan hukum. 73 Pegawai pencatat perkawinan dalam mengesahkan Perjanjian Perkawinan tidak memperhatikan lebih lanjut mengenai isi Perjanjian Perkawinan yang disahkan apakah telah memenuhi seluruh ketentuan yang diatur dalam undang-undang atau justru terdapat pelanggaran di dalamnya sehingga seharusnya Perjanjian Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Pengesahan Perjanjian Perkawinan dalam prakteknya hanya mungkin dilakukan pada saat pencatatan perkawinan dilakukan sehingga bagi mereka yang lupa atau tidak mencatatkan pada saat perkawinan dicatatkan tidak dapat mengesahkan Perjanjian Perkawinannya. Penafsiran tersebut mungkin sekali diakibatkan oleh bunyi ketentuan Pasal 12 huruf h Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disebutkan bahwa akta perkawinan memuat diantaranya Perjanjian Perkawinan apabila ada. Tanpa adanya keterangan lebih lanjut mengenai maksud pembuat undang-undang mengenai “disahkan”, maka hanya semata-mata karena di dalam peraturan pemerintah tersebut mengatur agar mencantumkan di dalam akta perkawinan “Perjanjian Perkawinan apabila ada” menyebabkan Pegawai pencatat perkawinan juga akan menolak pengesahan selain pada waktu perkawinan dicatatkan. 74 Pada kenyataannya, pengesahan Perjanjian Perkawinan oleh Pegawai pencatat perkawinan tidak lebih dari pembukuan Perjanjian Perkawinan dalam 73
Herlien Budiono, 2013, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, Cetakan Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Herlien Budiono II), hal. 14. 74 Ibid.
105
suatu register umum yang harus dilakukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya perkawinan telah dilangsungkan sebagaimana tercantum dalam Pasal 152 KUHPerdata. 75 Pendaftaran yang dilakukan oleh Pegawai pencatat perkawinan tidak bersifat mengesahkan Perjanjian Perkawinan yang belum sah menjadi sah, namun hanya membukukan atau mendaftarkan Perjanjian Perkawinan tersebut sehingga memenuhi asas publisitas. Pemenuhan asas publisitas ini bermaksud pemberitahuan kepada pihak ketiga bahwa dalam perkawinan suami-istri tersebut terdapat Perjanjian Perkawinan sehingga Perjanjian Perkawinan dapat berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga terkait. Oleh karena itu, mengenai kata “disahkan” yang tercantum pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan bermakna mengubah status suatu produk hukum yang belum sah menjadi sah, melainkan memiliki makna yang sama dengan hakikat pembukuan yang diatur pada Pasal 152 KUHPerdata. Penggunaan kata “disahkan” mempunyai tujuan untuk mempublikasi kepada pihak ketiga mengenai eksistensi Perjanjian Perkawinan dan berakibat pada berlakunya Perjanjian Perkawinan tersebut kepada pihak ketiga. Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak akan tetap sah meskipun Perjanjian Perkawinan tersebut tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Perjanjian Perkawinan akan dianggap tidak sah apabila dalam pembuatannya Perjanjian Perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian secara umum yang ditentukan dalam Pasal 1320
75
Ibid.
106
KUHPerdata dan Perjanjian Perkawinan tersebut tidak memenuhi unsur-unsur sahnya Perjanjian Perkawinan yang telah diatur baik dalam KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Ketidakabsahan Perjanjian Perkawinan tersebut akan mengakibatkan batalnya Perjanjian Perkawinan atau dimohonkannya pembatalan Perjanjian Perkawinan oleh para pihak ke Pengadilan Negeri.
107
BAB IV AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL 4.1. Hak Warga Negara Indonesia Dalam Perkawinan Campuran Rakyat merupakan kesatuan orang yang didasarkan atas adanya persamaan wilayah dan persamaan sosiologis, seperti persamaan nasib, persamaan sejarah dan persamaan keturunan dan dianggap sebagai unsur dasar suatu Negara, karena manusia itulah yang pertama-tama berkepentingan agar organisasi Negara berjalan. 76 Suatu Negara akan terbentuk apabila telah memenuhi unsur-unsur terbentuknya Negara, antara lain: a. Harus ada rakyat; b. Harus ada daerah tertentu; c. Harus ada pemerintah yang berdaulat; d. Harus ada pengakuan Negara lain tentang kedaulatan Negara tersebut. 77 Menurut Montevideo Convention on the Rights and Duties of States yang ditandatangani pada tahun 1933 disebutkan: The State as a person of International Law should possess the following qualification: a. A permanent population; b. A defined territory; c. A government; and d. A capacity to enter into relations with other States.
76
M. Yahya Arwiyah, dkk, 2013, Regulasi Kewarganegaraan Indonesia, CV. Alfabeta, Bandung, hal. 1. 77 Max Boli Sabon, 1992, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 15.
108
(Negara sebagai pribadi Hukum Internasional harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut: (a) penduduk yang tetap; (b) wilayah tertentu; (c) pemerintah; dan (d) kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lain). Rakyat diposisikan sebagai unsur pertama yang harus dipenuhi dalam terbentuknya suatu Negara karena Negara terbentuk didasarkan atas adanya keinginan dari rakyat yang dilandasi atas persamaan-persamaan dan cita-cita yang luhur untuk bersatu. Rakyat bukan hanya pencetus cita-cita dan ide-ide tentang kesatuan melainkan pula pelaksana ide-ide tersebut sehingga apa yang dicita-citakan dapat terwujud, yakni terbentuknya suatu Negara. Rakyat dalam suatu Negara dapat digolongkan menjadi penduduk dan warga Negara. Menurut Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebut dengan penduduk adalah “Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia”. Orang asing apabila hendak memasuki wilayah suatu Negara maka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan, entah orang asing tersebut akan tinggal untuk sementara waktu atau bertujuan menetap di wilayah Negara tersebut. Setiap orang asing harus menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah Negara yang bersangkutan. Orang asing yang telah menetap di wilayah suatu Negara dan menjadi penduduk memiliki hak yang serupa dengan warga Negara kecuali untuk hal-hal tertentu sebagai berikut: a. Orang asing tidak memiliki hak untuk memilih;
109
b. Orang asing tidak memiliki hak untuk dipilih dalam suatu pemilihan umum; c. Orang asing tidak dapat melamar untuk pekerjaan yang melibatkan keamanan Negara; d. Orang asing tidak mendapatkan passport Negara yang ditinggali; e. Orang asing tidak memiliki akses Negara perlindungan konsuler; f. Orang
asing
dimungkinkan
untuk
mengajukan
permohonan
kewarganegaraan setelah jangka waktu tertentu tinggal. 78 Perbedaan pokok antara warga Negara dan orang asing dalam suatu Negara, ialah mengenai hak-hak politik atau berusaha yang hanya dikhususkan kepada warga Negara. Orang asing tidak diperkenankan turut serta di dalam kegiatan politik Negara. Apabila ia hendak berusaha dalam bidang ekonomi, diharuskan mendapat izin usaha dari pemerintah Negara bersangkutan untuk bidang yang tidak dikecualikan untuk orang asing. 79 Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak warga Negara di Negara tempat orang asing tersebut tinggal. Misalnya saja dalam bidang perekonomian, Indonesia dikenal memiliki beraneka ragam sumber daya alam yang apabila dikelola akan menghasilkan keuntungan bagi Negara dan rakyat Indonesia. Apabila orang asing diijinkan untuk berinvestasi dan mengadakan bisnis di Indonesia secara terbuka, maka kegiatan eksploitasi sumber daya alam tidak akan terelakkan. Hal ini tentu akan sangat merugikan, tidak hanya Negara tetapi juga seluruh rakyat Indonesia karena hasil 78
M. Yahya Arwiyah, dkk, op.cit, hal. 3. B.P. Paulus, 1983, Kewarganegaraan RI Ditinjau Dari UUD 1945 Khususnya Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 52. 79
110
sumber daya alam yang seharusnya dapat digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, justru sepenuhnya dikuasai oleh orang asing demi kepentingan pribadinya. Istilah penduduk sering diartikan sama dengan istilah warga Negara, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, warga Negara adalah penduduk sebuah Negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari Negara itu. 80 Warga Negara dapat diartikan pula sebagai pendukung atau anggota suatu Negara. 81 Pasal 1 angka 1 UndangUndang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menentukan pengertian warga negara sebagai “warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian, tidak setiap orang dapat menjadi warga negara suatu negara, melainkan hanya bagi yang menenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan negara yang bersangkutan. Misalnya untuk menjadi warga negara Republik Indonesia, maka harus memenuhi syarat yang ditentukan di dalam UU Kewarganegaraan Republik Indonesia. Hal itu secara tegas ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, bahwa “Kewarganegaraan Republik Indonesia hanya dapat diperoleh berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
80
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op.cit, hal. 1125. Kurniatmanto Sutoprawiro, 1993, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1. 81
111
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa warga Negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan Negara tersebut. 82 Sedangkan Kartasaputra menyatakan bahwa warga Negara adalah sebagai orang-orang yang berada dalam wilayah Negara itu yang benarbenar tunduk dan menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar Negara tersebut. Sedang orang-orang lainnya yang bertempat tinggal di wilayah Negara yang bersangkutan tetapi tidak tunduk kepada Undang-Undang Dasarnya-nya adalah bukan rakyat dari Negara itu. 83 Istilah penduduk berbeda obyeknya dengan warga negara. Warga negara suatu negara tidak selalu menjadi penduduk negara yang bersangkutan; sebaliknya, penduduk suatu negara belum tentu sebagai warga negara dari negara yang bersangkutan. Penduduk Indonesia terdiri dari warga negara Indonesia dan orang asing. Seorang tenaga kerja yang berkewarganegaraan Indonesia bekerja di Malaysia, ia sebagai warga negara Indonesia, namun bukan penduduk Indonesia, melainkan menjadi penduduk Malaysia. Sebaliknya, seorang warga negara Belanda yang bertempat tinggal dan menetap di Indonesia merupakan penduduk Indonesia, akan tetapi tetap sebagai warga negara Belanda. Pembagian penduduk atas warga negara dan orang asing sangat penting karena berimplikasi yuridis yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajibannya. Penentuan seseorang sebagai Warga Negara Indonesia dapat ditentukan melalui beberapa asas seperti yang tercantum dalam bagian Penjelasan Undang82
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sastra Hudaya, Jakarta, hal. 1. 83 Kartasaputra, 1987, Sistimatika Hukum Tata Negara, Bina Aksara, Jakarta, hal.1.
112
Undan No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagai berikut: 1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan Negara tempat kelahiran. 2. Asas ius soli (law of the oil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. 3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. 4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menentukan bahwa “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara”. Seseorang baik itu bangsa Indonesia asli maupun bangsa lain dapat menjadi Warga Negara Indonesia asalkan mereka memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur untuk dapat menjadi seorang Warga Negara Indonesia. Bagi bangsa Indonesia asli, status kewarganegaraannya dapat ditentukan melalui asas-asas yang telah disebutkan di atas. Setiap warga Negara memiliki hak dan kewajiban terhadap negaranya, untuk itulah warga Negara juga dikatakan sebagai pendukung hak dan kewajiban suatu Negara. Hak dan kewajiban ini timbul dikarenakan adanya hubungan hukum antara Negara dengan warga Negara. Tidak hanya warga Negara yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan Negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya. Perlindungan yang diberikan oleh Negara kepada
113
warga Negara diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut: a. Negara menjamin bahwa setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan {Pasal 27 ayat (1)}; b. Negara menjamin setiap warga Negara untuk menikmati kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28); c. Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing
dan
beribadat
menurut
agama
dan
kepercayaannya masing-masing {Pasal 29 ayat (2)}; d. Negara melindungi, mengayomi dan menjaga keamanan rakyat melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 30); e. Negara memberi perlindungan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar (Pasal 34). Setiap warga Negara memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa terkecuali. Persamaan tersebut harus dijunjung tinggi guna menghindari adanya kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat dan mempunyai dampak negatif yang akan muncul dikemudian hari. Hak setiap warga Negara adalah hak mutlak yang dilakukan oleh seorang warga Negara yang baik yang bisa memajukan suatu
114
Negara dengan hal-hal positif. Hak tersebut juga harus dilaksanakan dengan sesuai peraturan hukum yang berlaku disuatu Negara. 84 Hak dan kewajiban memiliki hubungan timbal balik antara satu sama lainnya dengan demikian warga Negara memiliki kewajiban yang harus dipenuhi sebelum mereka menerima haknya sebagai warga Negara. Kewajiban-kewajiban sebagai seorang warga Negara diatur dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yakni di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diantaranya: a. Setiap warga Negara wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan (Pasal 27); b. Setiap warga Negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara (Pasal 27); c. Setiap warga Negara wajib menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) orang lain (Pasal 28); d. Setiap warga Negara wajib tunduk pada pembatasan undang-undang dalam menjalankan hak dan kebebasannya (Pasal 28); e. Setiap warga Negara wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara (Pasal 30); f. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar yang dibiayai oleh Pemerintah (Pasal 31). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia tidak hanya mengatur mengenai kewajiban84
Anonim, 4 Maret 2012, Hak Sebagai Warga Negara Indonesia, www.amujaddid.blogspot.com, hal. 1.
115
kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap warga Negara, melainkan pula mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga Negara. Hak-hak yang diatur tidak hanya mengenai hak yang timbul akibat adanya hubungan hukum antara Negara dengan warga Negara melainkan pula terdapat pengaturan mengenai hak paling mendasar yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan, yaitu Hak Asas Manusia (HAM). Hakikat keberadaan dan dasar Hak Asasi Manusia semata-mata untuk kepentingan manusia sendiri, artinya setiap manusia atau individu dapat menikmati Hak Asasi Manusianya. Manusia merupakan satu pribadi utuh dan dalam masyarakat tidak larut atau tidak hilang jati diri atau kepribadiannya sebagai manusia, ia mempunyai hak atas dirinya sendiri lepas dari orang lain. Dengan demikian, setiap individu tetap mempunyai Hak Asasi Manusia tanpa terkecuali. 85 Hak Asasi Manusia merupakan hak paling hakiki yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa memandang golongan, ras, suku bangsa, agama. Masingmasing individu atau manusia memiliki Hak Asasi Manusia yang sama dan harus dijunjung tinggi tanpa adanya diskriminasi antara satu dengan yang lainnya. Permasalahan terkait Hak Asasi Manusia menjadi isu penting di seluruh dunia. Setiap Negara yang ada di 5 (lima) benua mempunyai permasalahan tersendiri terkait dengan Hak Asasi Manusia. Oleh karena Hak Asasi Manusia dianggap sangat penting, maka segala jenis pelanggaran terkait Hak Asasi Manusia akan menjadi sorotan dan mendapat penanganan yang sangat tegas. Permasalahan terkait Hak Asasi Manusia telah ada sejak beberapa abad yang lalu, 85
A. Masyhur Effendi, 1994, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 47.
116
yakni pada tahun 1215 di Inggris. Pada saat itu, kekuasaan raja sangat absolut dimana raja sebagai pembuat hukum justru tidak terikat oleh hukum, sehingga kekuasaan raja menjadi tidak terbatas dan sewenang-wenang. Hal ini membawa dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan rakyat sehingga dengan kesewenang-wenangan tersebut telah melanggar hak-hak yang dimiliki rakyat. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk menikmati Hak Asasi Manusianya secara bebas dan tanpa batas. Kondisi ini kemudian berujung pada lahirnya Magna Charta. 86 Setelah lahirnya Magna Charta dan masih berlokasi di Inggris, lahirlah Habeas Corpus pada tahun 1679. Dokumen ini lahir karena adanya reaksi keras dari rakyat Inggris atas kesewenang-wenangan militer Inggris yang melakukan penangkapan warga yang kemudian mengakibatkan rakyat melakukan tekanan terhadap Parlemen agar memberikan kepada warga yang rentan terhadap kesewenang-wenangan tersebut. Pada tahun 1688, tidak lama berselang setalah lahirnya Habeas Corpus tercetuslah Bill of Rights yang beberapa pokok pikirannya sangat mempengaruhi perundang-undangan modern Inggris dan juga kemudian berpengaruh pada semua konstitusi modern di dunia. Dokumen ini menjamin beberapa hak sipil dan hak politik yang tidak dapat diubah pada rakyat Inggris. Satu abad kemudian di Prancis lahirlah La declaration des droits de l’Homme et du Citoyen atau Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara yang dalam bagian pembukaannya ditegaskan dengan penuh keyakinan bahwa semua kesengsaraan dan penderitaan di dunia ini terjadi hanya karena pengabaian dan 86
Anonim, 14 Juli 2010, www.membuatblog.web.id, hal. 1.
Sejarah
Hak
Asasi
Manusia,
117
penghinaan terhadap hak-hak kodrati manusia. Sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia bisa ditarik dalam rentang perjalanan bangsa-bangsa yang sudah berabad-abad lamanya, namun untuk konteks internasional sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia yang mempunyai efek paling meluas dimulai dengan Universal Declaration of Human Rights atau Pernyataan Sedunia Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh Sidang Umum PBB 10 Desember 1948. 87 Hak Asasi Manusia juga menjadi permasalahan yang menjadi sorotan di Indonesia. Pemikiran tentang Hak Asasi Manusia telah muncul sejak awal pergerakan kemerdekaan dan sampai saat ini telah mendapat pengakuan dalam bentk hukum tertulis yang dituangkan ke dalam berbagai peraturan perundangundangan. Tonggak utama pengaturan Hak Asasi Manusia terdapat pada konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada awalnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya memuat enam pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, namun kemudian mengalami perubahan-perubahan yang sangat signifikan yang kemudian dituangkan dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada bulan Agustus tahun 2000. Sebelum Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dan diundangkan, sudah terdapat beberapa peraturan perundang87
Marianus Kleden, 2009, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Komunal: Kajian Atas Konsep HAM Dalam Teks-teks Adat Lamaholot Dan Relevansinya Terhadap HAM Dalam UUD 1945, Cetakan Kedua, Lamalera, Yogyakarta, hal. 48-63.
118
undangan yang menjadi awal pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia dan menjadi pemicu terjadinya Perubahan tersebut. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, serta Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 88 Meskipun telah terdapat pengaturan secara khusus mengenai Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, namun dengan adanya Perubahan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi Negara Republik Indonesia diharapkan akan semakin memperkuat perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia karena Hak Asasi Manusia akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional sehingga semakin memberi kepastian hukum apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia tersebut. Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia mengadaptasi pengaturan-pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memuat definisi Hak Asasi Manusia, namun definisi tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh 88
Bagir Manan, 2001, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, hal. 81.
119
negara hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari 11 Bab dan 106 Pasal. Keseluruhan pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut mengatur seluruh hak paling mendasar yang dimiliki oleh manusia diantaranya: a. Hak untuk hidup (Pasal 9); b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10); c. Hak mengembangkan diri (Pasal 11 sampai dengan Pasal 16); d. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17 sampai dengan Pasal 19); e. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20 sampai dengan Pasal 27); f. Hak atas rasa aman (Pasal 28 sampai dengan Pasal 35); g. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36 sampai dengan Pasal 42); h. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43 sampai dengan Pasal 44); i. Hak wanita (Pasal 45 sampai dengan Pasal 51); j. Hak anak (Pasal 52 sampai dengan Pasal 66). Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dapat ditemukan pada Bab XA mulai dari Pasal 28A sampai dengan 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak-hak tersebut antara lain: a. Hak untuk hidup (Pasal 28A); b. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 28B); c. Hak untuk mengembangkan diri (Pasal 28C); d. Hak atas rasa aman, hak untuk turut serta dalam pemerintahan, hak untuk dapat bekerja dan hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28D);
120
e. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 28E); f. Hak untuk dapat berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28F); g. Hak atas perlindungan, hak untuk bebas dari penyiksaan (Pasal 28G); h. Hak atas kesejahteraan (Pasal 28H); i. Hak atas keadilan (Pasal 28I); Uraian hak-hak yang disebutkan di atas, baik yang terdapat dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masing-masing mengatur mengenai hak fundamental yang dimiliki Warga Negara Indonesia. Hak-hak Warga Negara Indonesia yang berkaitan satu sama lain dan akan dibahas dalam penelitian ini adalah hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan serta hak atas kesejahteraan. Pada Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Dengan demikian, melangsungkan perkawinan sejatinya merupakan hak asasi bagi setiap manusia dan setiap Warga Negara Indonesia diberikan kebebasan untuk menjalankan haknya tersebut. Kebebasan untuk menjalankan hak tersebut dalam hal ini diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab, dimana setiap Warga Negara Indonesia harus menghormati hak-hak warga lain dan dalam menjalankan haknya tersebut tidak boleh melanggar hak yang dimiliki warga lain. Warga Negara Indonesia berhak untuk melangsungkan perkawinan sepanjang
121
dilangsungkan secara sah yang berarti bahwa perkawinan tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut di atas tidak memberikan batasan dari segi kewarganegaraan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan sehingga dapat dikatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk melangsungkan perkawinan baik itu dengan sesama Warga Negara Indonesia maupun dengan Warga Negara Asing. Perkawinan yang dilangsungkan antara sesama
Warga
Negara
Indonesia
tidak
akan
berdampak
pada
status
kewarganegaraan masing-masing pihak sehingga tidak akan mempengaruhi hakhaknya sebagai Warga Negara Indonesia, namun tidak demikian dengan perkawinan yang dilangsungkan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa perkawinan yang dilangsungkan antara 2 (dua) orang yang berbeda kewarganegaraan disebut dengan Perkawinan Campuran. Perkawinan Campuran akan berdampak pada status kewarganegaraan masing-masing pihak dalam perkawinan tersebut. Hal ini tentu akan berpengaruh pula terhadap hak-hak pihak yang berkewarganegaraan Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa: Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan Perkawinan Campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut caracara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Cara-cara kehilangan atau memperoleh kewarganegaraan akibat Perkawinan Campuran yang dimaksudkan dalam pasal tersebut di atas dapat ditemukan dalam
122
Pasal 26 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagai berikut: (1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. (2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal istrinya kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. (3) Perempuan sebagaimamna dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. (4) Surat pernyataan sebagaimana diamksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung. Berdasarkan ketentuan dalam pasal di atas, para pihak yang terlibat dalam Perkawinan Campuran dapat kehilangan kewarganegaraannya apabila hukum asal suami atau istri menghendaki demikian. Namun undang-undang masih memberikan peluang bagi perempuan atau laki-laki yang berkewarganegaraan Indonesia tetap menjadi Warga Negara Indonesia meskipun telah melangsungkan Perkawinan Campuran. Pemerintah melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku mencoba untuk meminimalisasi hilangnya kewarganegaraan para Warga Negara Indonesia yang melangsungkan Perkawinan Campuran. Hal ini dikarenakan sebagai seorang Warga Negara Indonesia mereka memiliki hak-hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang yang tidak akan dapat dinikmati apabila mereka kehilangan kewarganegaraannya.
123
Salah satu hak yang dapat dinikmati oleh seorang Warga Negara Indonesia adalah hak atas kesejahteraan. Hak atas kesejahteraan disini adalah hak untuk memiliki suatu benda dan terkait dengan hak milik tersebut telah disebutkan dalam Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Pada Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum”. Setiap Warga Negara Indonesia berhak atas hak milik terhadap suatu benda dan hak milik tesebut dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang sesuai dengan ketentuanketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak milik tersebut berfungsi sosial yang mengandung arti bahwa seseorang harus melepaskan hak miliknya sepanjang pemerintah menghendaki demikian demi kepentingan umum. Namun prosedur pelesapan hak milik demi kepentingan umum tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan pemilik dari hak milik tersebut harus mendapat ganti rugi yang sewajarnya sehingga pemilik hak milik tersebut tidak merasakan ketidakadilan karena telah melepas haknya demi kepentingan umum. European Convention on Human Rights (Konvensi Negara Eropa tentang Hak Asas Manusia) juga menyebutkan bahwa hak milik dapat dipergunakan untuk kepentingan umum sebagaimana tercantum pada Article 1 (Pasal 1) sebagai
124
berikut: “Every natural or legal person is entitled to the peaceful enjoyment of his possession. No one shall be deprived of this possession except in the public interest and subject to the conditions provided for by law and by the general principles of international law”. 89 (Setiap orang atau badan hukum berhak untuk menikmati hak milik yang dimilikinya dengan damai. Tidak ada seorang pun yang dapat merampas hak milik tersebut kecuali untuk kepentingan umum dan berdasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip umum hukum internasional). Apabila melihat uraian mengenai hak milik yang dimiliki oleh seseorang yang terdapat dalam 3 (tiga) ketentuan di atas, maka terdapat persamaan yaitu hak milik yang dimiliki oleh seorang warga Negara tidak dapat di rampas oleh pihak lain kecuali dikehendaki demikian demi kepentingan umum. Ketentuan yang terdapat dalam European Convention on Human Rights memang tidak berlaku di Indonesia, namun ketentuan tersebut dapat menjadi bukti lain bahwa hak milik adalah berfungsi sosial. Pengaturan hak milik yang berfungsi sosial tidak hanya terdapat di Indonesia melainkan pula di Negara Eropa. Hak milik sebagai suatu hak istimewa yang hanya dapat dimiliki oleh seorang Warga Negara Indonesia tidak serta merta dapat selamanya menjadi milik dari Warga Negara Indonesia tersebut, melainkan dapat pula dilepaskan sepanjang hal tersebut demi kepentingan umum. Hak untuk melangsungkan perkawinan berkaitan erat dengan hak milik dari seorang Warga Negara Indonesia. Perkawinan akan berakibat pada persatuan 89
Maureen Spencer, 2005, Nutcases Human Rights, Second Edition, Sweet and Maxwell Limited, London, hal. 168.
125
harta antara pasangan suami-istri. Setiap harta baik yang dimiliki oleh suami maupun istri akan menjadi harta bersama selama perkawinan berlangsung. Apabila perkawinan yang dilangsungkan tersebut adalah Perkawinan Campuran, dalam hal hak milik sepanjang salah satu pihak dalam perkawinan tersebut tidak kehilangan kewarganegaraannya sebagai Warga Negara Indonesia, maka pihak tersebut masih tetap menjadi pemegang hak milik atas suatu benda. Namun apabila salah satu pihak yang berkewarganegaraan Indonesia dalam Perkawinan Campuran kehilangan kewarganegaraannya, maka secara otomatis pihak tersebut tidak dapat menikmati hak milik tersebut. Jenis-jenis hak yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut di atas diperuntukkan bagi setiap Warga Negara Indonesia. Warga Negara Indonesia yang melangsungkan Perkawinan Campuran sepanjang mereka masih tetap berstatus sebagai Warga Negara Indonesia dan tidak kehilangan kewarganegaraannya karena ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka mereka tetap dapat menikmati hak-hak tersebut. Oleh karena itu, status kewarganegaraan seseorang sangat menentukan berhak atau tidaknya seseorang tersebut menikmati hak-hak yang diberikan kepadanya oleh konstitusi Negara sebagai seorang warga Negara.
126
4.2. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Bagi Warga
Negara
Indonesia
Dalam
Perkawinan Campuran Atas
Kepemilikan Hak Atas Tanah Pada bagian di atas telah diuraikan bahwa seorang Warga Negara Indonesia memiliki hak-hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang. Hakhak tersebut tidak akan dinikmati apabila seseorang tidak lagi menjadi Warga Negara Indonesia karena telah kehilangan atau melepaskan kewarganegaraannya. Salah satu hak yang dapat dinikmati oleh seorang Warga Negara Indonesia adalah hak milik. Hak milik yang diperoleh seorang Warga Negara Indonesia adalah hak untuk memiliki suatu benda. Benda dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: pertama, benda bergerak. Pengaturan mengenai benda bergerak dapat dilihat pada Pasal 506 sampai dengan Pasal 508 KUHPerdata. Suatu benda dapat digolongkan sebagai benda bergerak karena dilihat dari sifatnya atau karena ditentukan demikian oleh undang-undang. Benda bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, misalnya perabot rumah tangga. Benda bergerak karena ditentukan oleh undang-undang misalnya penghasilan dari suatu benda bergerak, surat-surat perseroan perdagangan, surat-surat obligasi Negara dan sebagainya. 90 Kedua, adalah benda tidak bergerak yang diatur dalam Pasal 509 sampai dengan Pasal 518 KUHPerdata. Suatu benda dapat dikatakan sebagai benda tidak bergerak karena sifatnya, karena tujuan pemakaiannya dan karena ditentukan oleh
90
Subekti, op.cit, hal. 62.
127
undang-undang. Benda tidak bergerak karena sifatnya adalah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu bagian dengan tanah itu. Benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya ialah segala sesuatu yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, misalnya mesin-mesin pabrik. Benda tidak bergerak karena ditentukan oleh undang-undang ialah segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tak bergerak. 91 Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai tanah. Pengaturan khusus tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria terbentuk untuk mewujudkan isi dari Sila Kelima Pancasila yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Konsep dikuasai Negara yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Negara bukan sebagai pemilik namun Negara sebagai regulator yang bertugas untuk mengatur, Negara mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah guna sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, atau dengan kata lain pada suatu tingkatan tertinggi
91
Subekti, op.cit, hal. 61.
128
Negara yang berhak mengatur peruntukan dan pemanfaatannya. 92 Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pedoman bagi pemerintah dalam melaksanakan politik perekonomian berdasarkan kooperasi, karena kooperasi mendidik “self help” dan bertujuan membela kepentingan masyarakat, sesuai dengan asas kekeluargaan. 93 Implementasi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dituangkan ke dalam Pasal 2 UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai berikut: (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan halhal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Pengaturan tersebut dimaksudkan agar segala sumber daya alam yang ada tidak dipergunakan untuk kepentingan komersil semata oleh individu guna 92
Yudhi Setiawan, 2009, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 43. 93 A. Teluki, 1966, Perbandingan Hak Milik Atas Tanah Dan Recht Van Eigendom, PT. Eresco, Bandung, hal. 19.
129
mencari keuntungan sebesar-besarnya sehingga membawa kerugian bagi rakyat. Kekuasaan yang dimaksudkan dalam pasal tersebut adalah kekuasaan atas bumi, air dan ruang angkasa baik yang sudah dihaki oleh seseorang atau badan hukum maupun yang tidak. Negara berperan penting untuk mewujudkan tujuan yang tercantum dalam pasal tersebut, yakni mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-sebesarnya. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan Negara tersebut. 94 Pengertian tanah dapat dilihat pada Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai berikut: “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Pengertian tersebut menitikberatkan tanah sebagai permukaan bumi. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan hukum. Oleh karena itu, hak-hak yang timbul di atas hak atas
94
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria: Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, Djambatan, Jakarta, hal. 578.
130
permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau bendabenda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan hukum. 95 Negara sebagai pihak yang menguasai tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan atau badan hukum yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diatur mengenai jenis-jenis hak atas tanah, antara lain: a. Hak Milik (HM) Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 {Pasal 20 ayat (1)}. Makna kata terkuat dan terpenuh dalam pengertian tersebut dijelaskan lebih lanjut pada bagian Penjelasan yakni kata-kata tersebut digunakan untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang Hak Miliklah yang paling kuat dan paling penuh. b. Hak Guna Usaha (HGU) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Hak Guna Usaha dapat dimiliki oleh 95
hal. 3.
Supriadi, 2009, Hukum Agraria, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta,
131
Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Jangka waktu yang dimiliki bagi pemegang Hak Guna Usaha ini adalah selama 35 tahun dengan perpanjangan selama 25 tahun. Pengaturan mengenai Hak Guna Usaha dapat ditemukan pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. c. Hak Guna Bangunan (HGB) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Jangka waktu Hak Guna Bangunan adalah selama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Pihak-pihak yang dapat memiliki Hak Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pengaturan mengenai Hak Guna Bangunan terdapat pada Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. d. Hak Pakai (HP) Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan tanah dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maupun tanah milik orang lain. Pemberian Hak Pakai harus didasarkan atas persetujuan atau ijin dari pejabat yang berwenang atau dengan menggunakan suatu perjanjian dengan pemilik tanah namun bukan berupa perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Pemberian
132
hak tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pihak-pihak yang dapat menguasai Hak Pakai adalah Warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia. Pengaturan mengenai Hak Pakai terdapat pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. e. Hak Sewa Hak Sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain dengan membayar sejumlah kepada pemiliknya sebagai uang sewa. Hak Sewa muncul melalui suatu perjanjian sewa-menyewa yang dibuat antara penyewa dengan pemilik tanah dengan jangka waktu yang ditentukan bersama namun tidak dapat melebihi jangka waktu dari hak-hak yang lebih tinggi derajatnya daripada Hak Sewa. Pihak yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa adalah Warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia. Pengaturan mengenai Hak Sewa dapat ditemukan pada Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
133
f. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil Pengaturan mengenai kedua hak ini dapat dilihat pada Pasal 46 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa hak-hak ini hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan pengaturannya akan diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah. Penggunaan hak-hak tersebut tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah tersebut. Hak-hak atas tanah yang telah disebutkan di atas merupakan hak yang diakui secara sah oleh Negara dan para pihak yang hendak mempunyai hak tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak-hak atas tanah tersebut memiliki kelebihan masing-masing namun dari keseluruhan hak tersebut hak yang paling tinggi derajatnya adalah Hak Milik. Hak Milik dikatakan sebagai hak yang paling tinggi derajatnya karena Hak Milik merupakan hak turun temurun dengan jangka waktu yang tidak terbatas dan sebagai hak yang paling kuat, Hak Milik memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali hak lain yang melekat di atas tanah hak milik tersebut. 96 Hak Milik diatur pada Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hak Milik adalah hak untuk menggunakan, atau mengambil keuntungan dari suatu benda yang berada dalam kekuasaan tanpa merugikan pihak lain dan dipertahankan
96
Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan Teori Dan Praktik, Banyumedia Publishing, Malang, hal. 41.
134
terhadap pihak manapun. 97 Hak Milik sudah ada sejak berlakunya hukum adat, yaitu sebagai hasil perkembangan penguasaan dan pengusahaan atau penggunaan sebagian tanah ulayat secara intensif dan terus-menerus oleh perseorangan warga masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa Hak Milik memiliki jangka waktu berlaku yang tidak terbatas. Hak Milik dapat beralih karena pewarisan dan dapat juga beralih karena dipindahkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada peraturan perundang-undangan. Apabila pemegang Hak Milik memerlukan pinjaman dana, Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan bahwa Hak Milik hapus apabila: a. Tanahnya jatuh kepada Negara: 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. Karena ditelantarkan; 4. Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2). b. Tanahnya musnah. Selain daripada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Hak Milik tidak dapat hapus dan akan tetap menjadi milik pemiliknya secara turun temurun. Pada Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan secara tegas bahwa Hak Milik 97
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op.cit, hal. 335.
135
hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Sebelumnya, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga menegaskan bahwa hanya Warga Negera Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, sehingga dengan kata lain hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai Hak Milik. Apabila seseorang yang berstatus kewarganegaraan Indonesia tetapi mempunyai pula kewarganegaraan lain, maka ia tidak diperkenankan untuk mempunyai Hak Milik. Secara umum penguasaan tanah oleh orang asing atau Warga Negara Asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Sebagaimana diuraikan di atas, hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik, maka apabila Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia ingin mempunyai hak atas tanah di Indonesia dapat mempunyai Hak Pakai. 98 Warga Negara Asing yang memperoleh Hak Milik atas tanah karena warisan wajib melepaskan hak atas tanah tersebut dalam jangka waktu satu tahun. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik atas tanah kemudian kehilangan kewarganegaraannya dan beralih
98
Maria S.W. Sumardjono, 2008, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing Dan Badan Hukum Asing, Cetakan Kedua, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal. 6.
136
status menjadi Warga Negara Asing. Apabila dalam jangka waktu satu tahun namun Hak Milik atas tanah tersebut tidak dilepaskan oleh pemegang haknya, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi milik Negara. 99 Ketentuan tersebut di atas dapat ditemukan pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai berikut: Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Keadaan tersebut di atas juga berlaku bagi pasangan suami-istri yang terlibat dalam Perkawinan Campuran. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam perkawinan akan terjadi percampuran harta kekayaan antara suami dan istri ke dalam harta perkawinan bersama. Semua harta benda yang diperoleh baik oleh suami maupun istri akan masuk ke dalam harta bersama. Dalam Perkawinan Campuran, Hak Milik atas tanah dari seorang Warga Negara Indonesia akan turut menjadi milik dari suami atau istrinya yang berstatus Warga Negara Asing karena masuk ke dalam harta bersama. Turut dimilikinya Hak Milik atas tanah tersebut wajib dilepaskan dalam jangka waktu satu tahun. 100
99
K. Wantjik Saleh, 1985, Hak Anda Atas Tanah, Cetakan Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25. 100 Anonim, 6 Januari 2014, Menghindari Lepasnya Tanah WNA Ke Tangan Negara, www.legalakses.com, hal. 1.
137
Apabila
seorang
Warga
Negara
Indonesia
yang
melangsungkan
perkawinan dengan Warga Negara Asing dalam suatu Perkawinan Campuran tidak ingin kehilangan Hak Milik atas tanahnya, pasangan suami-istri tersebut harus memisahkan Hak Milik atas tanahnya dari harta bersama perkawinan. Jalan yang dapat ditempuh oleh pasangan suami-istri tersebut adalah dengan membuat Perjanjian Perkawinan. Melalui Perjanjian Perkawinan maka dapat dihindari terjadinya percampuran harta bersama dalam perkawinan, sehingga baik suami maupun istri akan menjadi pemilik dari harta yang diperolehnya masing-masing. Perjanjian Perkawinan tersebut dibuat dalam bentuk Akta Notaris yang kemudian disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau di Kantor Urusan Agama. Permasalahan kemudian muncul apabila Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami-istri dalam Perkawinan Campuran tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. Apabila Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan tersebut dibuat antara pasangan sesama Warga Negara Indonesia, maka tidak akan berdampak pada Hak Milik atas tanah yang dimiliki oleh pasangan suami-istri tersebut, karena memang hanya Warga Negara Indonesia yang diperkenankan sebagai pemegang Hak Milik atas tanah di Indonesia. Namun apabila Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil tersebut dibuat oleh pasangan yang berbeda kewarganegaraan dalam Perkawinan Campuran, maka sudah tentu akan membawa dampak hukum bagi kepemilikan Hak Milik atas tanah tersebut, karena sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Warga Negara Asing tidak boleh mempunyai Hak Milik atas tanah di Indonesia.
138
Hal tersebut dikarenakan secara hukum Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil mengakibatkan perkawinan yang telah dilangsungkan oleh pasangan suami-istri dianggap sebagai perkawinan dengan percampuran harta. Bagi pasangan suamiistri dalam Perkawinan Campuran yang memiliki Perjanjian Perkawinan namun tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil, maka terjadi percampuran harta dalam perkawinannya. Pasangan suami-istri dalam Perkawinan Campuran dianggap melangsungkan perkawinannya tanpa adanya Perjanjian Perkawinan. Dengan kata lain, harta suami-istri baik yang didapat sebelum perkawinan maupun selama perkawinan berlangsung tidak berada dalam penguasaan masing-masing suami atau istri. Harta perkawinan tersebut termasuk pula Hak Milik atas tanah yang dipunyai oleh suami atau istri yang berkewarganegaraan Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Jadi dengan demikian terjadi percampuran harta antara pasangan suami-istri dalam Perkawinan Campuran tersebut. Apabila seorang suami atau istri membeli tanah Hak Milik selama perkawinan mereka berlangsung, maka Hak Milik atas tanah yang dimiliki oleh pasangan yang berkewarganegaraan Indonesia akan dengan sendirinya demi hukum juga menjadi milik atau kepunyaan dari pasangan yang berkewarganegaraan asing. Perbuatan hukum tersebut di atas, yakni pembelian tanah yang dilakukan oleh suami atau istri berstatus Warga Negara Indonesia yang mengakibatkan suami atau istri yang berkewarganegaraan asing turut serta memiliki Hak Milik
139
atas tanah tersebut berlaku pula ketentuan yang diatur pada Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta segala akibat hukumnya bagi Perkawinan Campuran dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. Bunyi Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai berikut: Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Pasal 26 ayat (2) tersebut di atas dapat pula diberlakukan bagi penguasaan Hak Milik atas tanah akibat Perkawinan Campuran dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil karena penguasaan Hak Milik atas tanah oleh Warga Negara Asing dalam Perkawinan Campuran tersebut secara tidak langsung bermaksud untuk memindahkan Hak Milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing. Pemindahan secara tidak langsung ini terjadi disebabkan oleh terjadinya percampuran harta antara pasangan suami-istri dalam Perkawinan Campuran akibat tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Menurut ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, maka Warga Negara Indonesia yang melangsungkan Perkawinan Campuran dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil, tidak memenuhi
140
persyaratan untuk dapat memiliki Hak Milik atas tanah di Indonesia. Dengan demikian, Warga Negara Indonesia tersebut telah kehilangan haknya untuk dapat memiliki Hak Milik atas tanah di Indonesia meskipun Perkawinan Campuran yang telah dilangsungkan tidak mengakibat hilangnya kewarganegaraan Indonesianya. Kondisi tersebut di atas ternyata membawa polemik tersendiri di masyarakat. Warga Negara Indonesia yang telah melangsungkan Perkawinan Campuran secara sah dan tetap berstatus sebagai Warga Negara Indonesia merasa belum diakui haknya secara penuh atas properti yang dimilikinya. Permasalahan ini terkuak dalam sebuah diskusi berjudul “Solusi Kepemilikan Properti Bagi Pelaku Perkawinan Campuran Indonesia” yang diselenggarakan pada tanggal 13 April 2013 di Jakarta. Diskusi tersebut menjadi ajang para istri yang melangsungkan perkawinan dengan Warga Negara Asing. Mereka merasa dirugikan oleh adanya peraturan pertanahan dan perkawinan terkait Warga Negara Asing terlebih lagi dengan maraknya penolakan kepemilikan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing. Pada diskusi tersebut terungkap bahwa seharusnya UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatur tentang kepemilikan tanah Warga Negara Asing tidak berpengaruh pada suami atau istri yang berkewarganegaraan Indonesia. Meskipun telah menikah dengan Warga Negara Asing, seorang Warga Negara Indonesia tetap mempunyai Hak Milik dan tidak kehilangan kewarganegaraannya. Menurut Chairul, hak kepemilikan atas tanah melekat pada subyek pemiliknya. Jika subyeknya adalah Warga Negara Indonesia, maka ia berhak atas status Hak Milik, sedangkan
141
apabila pasangannya yang merupakan Warga Negara Asing sebagai subyek hanya berhak memiliki status Hak Pakai. 101 Peraturan di bidang pertanahan maupun di bidang perkawinan memang dibuat untuk melindungi segala obyek yang menjadi pokok pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai salah satu unifikasi hukum di bidang pertanahan di Indonesia dibuat dalam rangka melindungi tanah warisan nenek moyang yang menjadi tempat bermukim dan mencari mata pencaharian bagi rakyat Indonesia dari segala macam bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun tanpa disadari seiring dengan perkembangan jaman, ketentuan-ketentuan yang semula bertujuan untuk melindungi secara tidak langsung memberikan kesan tidak adil bagi para pihak yang ingin dilindungi. Misalnya pengaturan yang terdapat dalam pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagaimana telah disebutkan di atas. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai lanjutan dari pengaturan lain tentang kepemilikan Hak Milik atas tanah di Indonesia, memberikan hak lain kepada Warga Negara Indonesia yang melangsungkan Perkawinan Campuran namun dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan yakni hak atas tanah yang juga dapat dipunyai oleh Warga Negara Asing. Oleh karena itu, Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan dengan
101
Tabita Diela, 13 April 2013, Hak Milik Masih Kabur Meski Negara Sahkan Kawin Campur, www.kompas.com, hal. 1.
142
Warga Negara Asing dipaksa tunduk pada ketentuan tersebut yang sejatinya diperuntukkan bagi Warga Negara Asing. Berdasarkan Teori Hak yang mana hak disebut sebagai kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan yang oleh tata tertib hukum diberikan kepada yang bersangkutan dan berdasarkan kehendak tersebut subyek hukum dapat mempunyai hak milik atas tanah, rumah dan lain sebagainya. Hak untuk mempunyai hak milik atau hak kepemilikan merupakan hak yang diperoleh oleh para subyek hukum yang dalam hal ini Warga Negara Indonesia dari konstitusi Negara Republik Indonesia. Hak untuk mempunyai hak milik adalah hak mutlak yang menjadi hak pokok (dasar) manusia dan sebagai Warga Negara Indonesia seseorang mendapatkan kekuasaan secara absolut untuk menguasai benda yang ingin dimilikinya. Oleh karena itu, seorang Warga Negara Indonesia yang melangsungkan Perkawinan Campuran dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil seharusnya masih tetap dapat mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Berdasarkan Teori Keadilan, maka situasi yang dihadapi oleh Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil terkait dengan kepemilikan Hak Milik atas tanah belum memenuhi nilai keadilan karena pihak yang berkewarganegaraan Indonesia tidak dapat menikmati hak yang seharusnya menjadi miliknya sebagai seorang Warga Negara Indonesia hanya karena Perjanjian Perkawinan yang dibuat tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Keadilan baru akan terpenuhi apabila seseorang telah menerima sesuatu
143
yang sudah menjadi haknya. Hak untuk mempunyai Hak Milik merupakan salah satu hak yang seharusnya diterima oleh seorang Warga Negara Indonesia dan itu diberikan langsung oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia. Hak untuk mempunyai Hak Milik merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebagai salah satu Hak Asasi Manusia sudah sewajarnya dan bahkan seharusnya seorang Warga Negara Indonesia menikmati haknya tersebut meskipun ia telah melangsungkan Perkawinan Campuran dengan percampuran harta dikarenakan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. Hak tersebut tidak dapat dirampas karena sepanjang ia tetap menjadi Warga Negara Indonesia maka ia masih tetap dapat menikmati hakhaknya sebagai seorang Warga Negara Indonesia. Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil selayaknya tidak dijadikan sebagai suatu acuan mengenai status harta benda perkawinan, karena sepanjang Perjanjian Perkawinan tersebut telah dibuat berdasarkan syarat sahnya perjanjian secara umum dan sesuai dengan ketentuanketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka Perjanjian Perkawinan tersebut telah sah dan telah terjadi pemisahan harta secara bulat di antara pasangan suami-istri dalam perkawinan. Apabila hal ini telah terjadi maka Perjanjian Perkawinan tersebut baru dapat dikatakan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Namun apabila dihubungkan dengan permasalahan kepemilikan Hak Milik atas tanah dalam Perkawinan Campuran
144
bagi Warga Negara Indonesia dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil, maka Perjanjian Perkawinan tersebut belum memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Hal ini dikarenakan tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan Perjanjian Perkawinan tersebut tidak tercapai. Salah satu pihak yakni pasangan yang berstatus Warga Negara Indonesia tidak dapat melindungi dirinya agar dapat menikmati hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia. Padahal Perjanjian Perkawinan tersebut dibuat dengan tujuan agar pasangan yang berkewarganegaraan Indonesia tetap dapat menikmati haknya, yakni mempunyai Hak Milik atas tanah di Indonesia meskipun telah melangsungkan perkawinan dengan Warga Negara Asing. Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan tersebut hanya dapat mengikat para pihak dalam hal ini pasangan suami-istri dalam Perkawinan Campuran tersebut. Dengan kata lain, para pihak hanya terikat antara satu sama lain dan terikat dengan isi yang telah diperjanjikan di dalam Perjanjian Perkawinan. Para pihak harus mematuhi isi Perjanjian Perkawinan dan hanya dapat melakukan hal-hal sepanjang hal tersebut diatur dalam Perjanjian Perkawinan. Para pihak, dalam hal ini pasangan yang berkewarganegaraan Indonesia tidak dapat melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga dalam hal melakukan kegiatan yang berkaitan dengan Hak Milik atas tanah yang dimilikinya, misalnya melakukan jual-beli, sewa menyewa atau menjadikan Hak Milik tersebut sebagai jaminan utang yang dibebani Hak Tanggungan. Upaya yang dapat dilakukan bagi seorang Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan dengan Warga Negara Asing dan memiliki Perjanjian
145
Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil agar memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan bagi Warga Negara Indonesia tersebut adalah dengan cara mengajukan permohonan mengenai penetapan Perjanjian Perkawinan di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat Perkawinan itu dilangsungkan. Setelah permohonan penetapan Perjanjian Perkawinan tersebut dikabulkan dan dikeluarkan oleh Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri, maka selanjutnya Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk disahkan dengan menunjukkan dan melampirkan lembar penetapan dari Kantor Kepaniteraan Perjanjian Perkawinan tersebut. Proses ini dimaksudkan untuk mempublikasikan kepada pihak ketiga atau pihak lain bahwa dalam Perkawinan Campuran tersebut memang telah dibuat suatu Perjanjian Perkawinan, sehingga baik para pihak maupun pihak ketiga akan terikat pada Perjanjian Perkawinan tersebut. Melalui upaya ini diharapkan mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi setiap Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran untuk dapat menikmati haknya sebagai Warga Negara Indonesia dalam pemilikan Hak Milik atas tanah di Indonesia.
146
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Berdasarkan pembahasan mengenai permasalahan dalam penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kata “disahkan” pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan dimaksud untuk mengesahkan Perjanjian Perkawinan yang belum sah menjadi sah, melainkan untuk mendaftarkan Perjanjian Perkawinan tersebut sehingga Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak namun tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil adalah sah, sepanjang Perjanjian Perkawinan yang dibuat telah memenuhi seluruh syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan mengenai Perjanjian Perjanjian Perkawinan dalam peraturan perundang-undangan. 2. Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil akan kehilangan haknya sebagai Warga Negara Indonesia untuk mempunyai Hak Milik atas tanah di Indonesia karena Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil secara otomatis tidak terpublikasi kepada pihak ketiga sehingga menyebabkan Perjanjian Perkawinan dianggap tidak ada oleh pihak ketiga dan dengan demikian dalam Perkawinan Campuran tersebut tetap terjadi percampuran harta benda perkawinan.
147
5.2. Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan dalam penelitian sebagai berikut: 1. Bagi para pembuat undang-undang diharapkan lebih memperhatikan penggunaan kata-kata dalam perancangan peraturan perundang-undangan sehingga dapat meminimalisasi adanya multitafsir atas peraturan perundang-undangan tersebut. Selain itu, agar pengaturan mengenai Perjanjian Perkawinan yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dibuat lebih lengkap dan menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia sekarang ini, sehingga segala keinginan masyarakat dapat terakomodir di dalam undang-undang tersebut. 2. Bagi Warga Negara Indonesia yang hendak melangsungkan Perkawinan Campuran hendaknya mencari informasi secara jelas mengenai dokumendokumen maupun perjanjian-perjanjian yang diperlukan dalam rangka melindungi haknya sebagai Warga Negara Indonesia. 3. Bagi Notaris sebagai pejabat umum yang diamanatkan oleh undangundang untuk membuat Perjanjian Perkawinan diharapkan dapat memberikan informasi sejelas-jelasnya kepada setiap calon suami-istri yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan, sehingga segala aspek yang menyangkut keabsahan dan publisitas Perjanjian Perkawinan tersebut dapat terpenuhi.
148
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku: Ali, H. Zainuddin, 2011, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Sinar Grafika, Jakarta. Ali dan Wiwie Heryani, Achmad, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Arwiyah, dkk, M. Yahya, 2013, Regulasi Kewarganegaraan Indonesia, CV. Alfabeta, Bandung. Bhakti Ardhiwisastra, Yudha, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung Boli Sabon, Max, 1992, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Budiono, Harlien, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Hukum Kenotariatan, PT. Citra Aditya, Bandung. _______, 2013, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, Cetakan Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Daliyo, J.B., 1995, Pengantar Hukum Indonesia Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan ke – 2, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Damanhuri H. R., H. A., 2012, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Cetakan Kedua, CV. Mandar Maju, Bandung. Darus Badrulzaman, Mariam, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung. _______, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Effendi, A. Masyhur, 1994, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta. Friedman, Lawrence M., 2009, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung.
149
Hartanto, J. Andy, 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Menurut Burgerlijk Wetboek dan Undang-Undang Perkawinan), Cetakan Kedua, Laksbang Grafika, Yogyakarta. Hadikusuma, Hilman, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung. Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, Djambatan, Jakarta. Jehani, Libertus, 2012, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon) Suami Istri, Cetakan Pertama, Rana Pustaka, Jakarta. Karsayuda, M., 2006, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Total Media, Yogayakarta. Kartasaputra, 1987, Sistimatika Hukum Tata Negara, Bina Aksara, Jakarta. Kleden, Marianus, 2009, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Komunal: Kajian Atas Konsep HAM Dalam Teks-teks Adat Lamaholot Dan Relevansinya Terhadap HAM Dalam UUD 1945, Cetakan Kedua, Lamalera, Yogyakarta. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Moh., 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sastra Hudaya, Jakarta. Macdonald, Ros and Denise McGill, 2008, LexisNexis Skills Series Drafting, Second Edition, LexisNexis Butterworths, Australia. Mahmud Marzuki, Peter, 2010, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ke-6, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Manan, Bagir, 2001, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, PT. Aluni, Bandung. Martosedono, Amir, 1997, Apa dan Bagaimana Undang-Undang Perkawinan No. 1, 1974, Cetakan Kelima, Dahara Prize, Semarang. Meliala, Djaja S., 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Cetakan Kedua, Nuansa Aulia, Bandung Miru, Ahmad dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Cetakan ketiga, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 1990, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
150
_______, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Naja, H.R. Daeng, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting, Cetakan Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Nemeth, Charles P., 2008, The Paralegal Resource Manual, McGraw-Hill/Irwin, New York. Nurhaini Butarbutar, Elisabeth, 2012, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUH Perdata dan Perkembangannya, PT. Refika Aditama, Bandung. Paulus, B.P., 1983, Kewarganegaraan RI Ditinjau Dari UUD 1945 Khususnya Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Prawirohamidjojo, R. Soetojo, 1986, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya. _______, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya. Prodjohamidjojo, MR. Martiman, 2011, Hukum Perkawinan Dalam Tanya Jawab, Cetakan Keenam, Edisi Revisi, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta. Pugung, Solahudin, 2011, Mendapatkan Hak Asuh Anak Dan Harta Bersama Di Pengadilan Agama, Cetakan ke – 1, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakarta. Salim HS, 2009, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan Keenam, Sinar Grafika, Jakarta. _________, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta ________, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada penelitian Tesis Dan Disertasi, Cetakan Kedua, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Setiawan, Yudhi, 2009, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. _______, 2010, Hukum Pertanahan Teori Dan Praktik, Banyumedia Publishing, Malang. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Victor M., 1996, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta
151
Smith, A.T.H. (Editor), 2010, Glanville Williams: Learning The Law, Fourteenth Edition, Sweet & Maxwell: Thomson Reuters. Soekanto, Soerjono, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soeroso, R., 1992, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. _________, 2011, Perjanjian Di Bawah Tangan: Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Soimin, Soedharyo, 2004, Hukum Orang Dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Spencer, Maureen, 2005, Nutcases Human Rights, Second Edition, Sweet and Maxwell Limited, London. Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta. ______, 1979, Hukum Perjanjian, Cetakan Keenam, PT. Intermasa, Jakarta. Sumardjono, Maria S.W., 2008, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing Dan Badan Hukum Asing, Cetakan Kedua, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Supriadi, 2009, Hukum Agraria, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta. Susanto, Happy, 2008, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian (Pentingnya Perjanjian Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini), Visimedia, Jakarta Selatan. Sutoprawiro, Kurniatmanto, 1993, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Syahrani, H. Riduan, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Syahuri, Taufiqurrohman, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia: ProKontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Teluki, A., 1966, Perbandingan Hak Milik Atas Tanah Dan Recht Van Eigendom, PT. Eresco, Bandung.
152
Thong Kie, Tan, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Triwulan Tutik, Titik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. _______, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Wantjik Saleh, K., 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. _______, 1985, Hak Anda Atas Tanah, Cetakan Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta. Yudha Hernoko, Agus, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019). Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3.
153
Sumber Internet: Anonim, 14 Juli 2010, Sejarah Hak Asasi Manusia, www.membuatblog.web.id. Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, 2012, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, www.journal.lib.unair.ac.id.
Anonim, 4 Maret 2012, Hak www.amujaddid.blogspot.com.
Sebagai
Warga
Negara
Indonesia,
Anonim, 15 Mei 2012, Apa Yang Dinamakan Konsensualisme itu?, http://hukumperdataalfa.wordpress.com. Ratiba, Matome M., 2013, Coveyancing Law for Paralegals and Law Students, Electronic Book, www.bookboon.com. Tabita Diela, 13 April 2013, Hak Milik Masih Kabur Meski Negara Sahkan Kawin Campur, www.kompas.com. Anonim, 6 Januari 2014, Menghindari Lepasnya Tanah WNA Ke Tangan Negara, www.legalakses.com. Kamus: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, Balai Pustaka, Jakarta.