BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Kualitas hidup adalah
istilah
yang digunakan untuk mengukur
kesejahteraan. Kesejahteraan menggambarkan seberapa baik perasaan seseorang terhadap lingkungan mereka, dan secara kolektif perasaan ini dapat dianggap sebagai kualitas hidup. Istilah kualitas hidup digunakan untuk mengevaluasi kesejahteraan individu dan masyarakat secara umum Wardhani, (2006). Istilah ini digunakan dalam berbagai konteks, termasuk bidang pembangunan internasional, kesehatan, pendidikan dan ilmu politik. Menurut O, Connor kualitas hidup meliputi tidak hanya kekayaan dan lapangan kerja, tetapi juga membangun lingkungan, kesehatan fisik dan mental, pendidikan, rekreasi dan waktu senggang, dan hak untuk bersosial.
Kualitas hidup itu sendiri dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dan ada banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Misalnya bekerja untuk memperoleh penghasilan dan pencapaian karier. Orang berkeluarga untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Begitu pula orang belajar untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Semua kegiatan tersebut dilakukan untuk memperoleh satu tujuan, yaitu kualitas hidup yang baik Wardhani (2009). Penilaian kualitas hidup biasanya dilihat dari kepuasan
1
individu terhadap hidupnya begitu pula sebaliknya. Orang akan merasa puas bila kualitas hidupnya baik. Di lain pihak orang mempunyai kualitas hidup yang baik karena merasa puas akan pencapaian yang diraihnya dalam hidup.
Menurut Kant (2003) kualitas hidup bukan hanya tidak adanya penyakit melainkan adanya keseimbangan dan kebahagian sejati dalam hidup. Ada yang merasa kualitas hidupnya buruk tetapi ternyata di dalam keterpurukannya itu masih bisa merasakan kebahagiaan. Maka dapat dikatakan bahwa bisa saja seseorang merasa puas dengan kehidupannya tetapi tidak bahagia, merasa kualitas hidupnya baik tetapi hidupnya buruk. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti mengenai kualitas hidup satu sama lain pada individu.
Penelitian yang dilakukan oleh Khizindar (2009) mengenai kualitas hidup di Saudi Arabia yang merupakan salah satu negara berkembang menyebutkan bahwa kualitas hidup secara keseluruhan didapatkan melalui domain kebahagiaan materi, emosional, komunitas, kesehatan, keamanan dan pendidikan. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga tentunya memiliki kondisi yang berbeda dengan negara berkembang lainnya maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh keadaan negara tersebut terhadap kualitas hidup masyarakatnya. Sedangkan O,Connor (1993) mengatakan pendidikan juga termasuk kedalam indikator standar kualitas hidup selain kekayaan, lapangan pekerjaan, fisik dan mental. Pendidikan juga merupakan faktor penentu kualitas hidup.
2
Pada negara berkembang kondisi perekonomian, kesehatan, pendidikan, keamanan dan aspek lainya masih belum stabil dan masih mengandung persoalan seiring dengan pertumbuhan negara tersebut.
Di Indonesia masalah pendidikan masih mengalami persoalan, fenomena pendidikan yang masih rendah dibanding dengan negara-negara berkembang lainnya Malaysia dan Filiphina disamping tingginya angka putus sekolah.
Padahal menurut Undang - Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB IV, dalam Pasal 5 ayat 1 dan pasal 6 ayat 1 yang berbunyi :
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Selain itu Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan tehnologi seni dan budaya, untuk meningkatkan kualitas hidupnya, selain itu dalam BAB XIII, Pasal 31 ayat 2, dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti Pendidikan Dasar dan Pemerintah wajib membiayainya.
Data yang dilansir Nationalgeographic.co.id
berdasarkan kementrian
pendidikan nasional di indonesia tahun 2008, setiap tahunya 1,5 juta remaja tidak
3
dapat melanjutkan kesekolah Sementara itu, data tahun 2009 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa jumlah anak putus sekolah SD rata-rata 600.000 hingga 700.000 siswa pertahun. Sementara itu, jumlah anak putus sekolah SMP rata-rata 150.000 sampai 200.000 orang siswa setiap tahun.
Data BKKBN, di lain pihak, menyebut jumlah anak-anak putus sekolah tahun 2009 meningkat pesat mencapai 11,7 juta siswa. Sebagian besar anak-anak tersebut berusia antara 7 hingga 15 tahun.
Kementerian Pendidikan Nasional juga mengakui kesulitan menekan jumlah siswa miskin di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas Nono Adya Supriatno mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah. paling tinggi umumnya angka putus sekolah di indonesia biasanyaa faktor ekonomi, biaya sekolah yang relatif mahal ditengarai menjadi penyebab utama tidak berdayanya para siswa miskin melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Kesulitan ini semakin berat dengan adanya keharusan membayar uang pangkal, membeli buku tulis, seragam sekolah, dan buku pelajaran.
4
Hal-hal tersebut merupakan beberapa indikator pemicu biaya sekolah menjadi mahal. Siswa di SMP, hanya 23 persen yang mampu meneruskan ke tingkat SMA. Sisanya tidak bisa meneruskan, di antaranya ada yang terpaksa bekerja pada umumnya, para siswa miskin berasal dari daerah rawan kemiskinan seperti daerah terpencil, pesisir pantai, perkampungan padat penduduk, serta sejumlah tempat di daerah aliran sungai. http;//edukasi.kompas.com.
Dropout atau putus sekolah adalah seseorang yang telah masuk dalam sebuah lembaga pendidikan baik itu pada tingkat SD, SMP, maupun SMA untuk belajar dan menerima pelajaran tetapi tidak sampai tamat atau lulus kemudian mereka berhenti atau keluar dari sekolah Sukarno, Dkk (2010).
Kebanyakan anak-anak remaja mereka banyak yang putus sekolah dan memilih bekerja untuk membantu orang tua dalam hal menambah penghasilan orang tuanya, dan demi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya remaja putus sekolah. Kemudian keadaan anak itu sendiri yang memang lebih senang bekerja dari pada belajar, bagi anak-anak yang senang bekerja ini karena mereka sudah tahu bagaimana enaknya kalau mendapatkan uang sendiri, sehingga mereka menganggap bahwa dengan adanya uang tersebut mereka dapat melakukan apa saja demi memenuhi keinginannya Ali, Imron (2012). Faktor lain yaitu jarak antara sekolah dan rumah relatif jauh, sehingga kebanyakan remaja mengatakan kepada orang tuanya bahwa mereka ke sekolah tetapi ternyata mereka tidak sampai di sekolah. Meskipun hal ini jarang terjadi
5
namun kadang-kadang dapat mempengaruhi remaja untuk tidak masuk sekolah dan akhirnya tidak lagi melanjutkan sekolahnya atau dengan kata lain mereka telah putus sekolah Muhammad Zainal Abidin, (2005). Selain itu pandangan sosiokultural keluarga dan masyarakat tentang penting atau tidaknya sekolah kerap kali menentukan keberlangsungan nasib siswa dalam melanjutkan pendidikan. Di beberapa wilayah masih ditemukan adanya anggapan bahwa perempuan sebaiknya tidak bersekolah terlalu tinggi. Dari angka statistik tahun 2006, hal ini dibuktikan oleh angka partisipasi sekolah di kelompok usia di atas 16 tahun. Pada kelompok usia ini persentase siswa lakilaki yang bersekolah lebih banyak daripada siswa perempuan. Hal itu menampakkan preferensi keluarga untuk bersekolah lebih tinggi cenderung diberikan untuk anggota keluarga laki-laki karena laki-laki dianggap berperan penting dalam meningkatkan pendapatan dalam keluarga Palupi Panca Astuti, (2011). Walaupun disadari bahwa beberapa faktor penyebab banyaknya remaja putus sekolah, namun faktor kemiskinan dalam banyak hal dipandang sebagai kondisi yang sifatnya sangat struktural, yang artinya bahwa masalah ekonomi memiliki peranan besar dalam memberikan kesempatan kepada anakanak dari keluarga yang secara kenyataan memiliki ekonomi yang relatif kurang/keluarga miskin Nasution (2011). Adanya program wajib belajar 9 tahun dari pemerintah juga ternyata belum dapat menuntaskan permasalahan tingginya angka anak putus sekolah walaupun program wajib belajar 9 tahun yang diaplikasikan dengan pemberian (BOS) berdampak positif karena dalam Penelitian Balitbang Depdiknas tahun
6
2007 bahwa bantuan oprasional sekolah dapat menurunkan angka putus sekolah dari 0,6% menjadi 0,4%. Ini membuktikan bahwa faktor ekonomi bukan faktor satu-satunya yang mempengaruhi anak putus sekolah Sukarno Dkk (2010). Selain program wajib belajar 9 tahun dan BOS namun Peran PKBM memerangi angka putus sekolah sangatlah strategis. Karena PKBM ( Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) sebagai jalur pendidikan non formal dan informal menyelenggarakan Paket A/B/C program kesetaraan yang di bawah naungan PKBM ujian kesetaraan yang dilakukan PKBM mampu mengurangi angka putus sekolah. Peran pemerintah dalam rangka mengurangi beban putus sekolah sangat besar perhatianya, Anggaran APBN mencapai 286 trilyun. Anggaran tersebut disalurkan untuk pendidikan formal dan non formal. Namun tidak semua PKBM mendapatkan dana operasional. Meski demikian, PKBM tetap berupaya melayani siswa/i yang ingin belajar dan ujian, agar memiliki kesetaraan atau eligibilitas dengan sekolah umum/formal. http://pkbmedukasi.wordpress.com. Remaja merupakan suatu titik kritis dalam hal prestasi Eccles & Wigfield, 2000; Henderson & Dweck, 1990; Wigfield & kawan-kawan, 2006 (dalam Papalia & Olds, Feldman, 2009) Tekanan sosial dan akademis memaksa remaja untuk memegang beberapa peran, peran yang sering kali melibatkan tanggung jawab yang lebih besar, baik itu dipendidikan informal dalam
lingkungan
keluarga dan pendidikan formal seperti sekolah, kursus atau bahkan dalam lingkungan masyarakat. Tugas perkembangan remaja yang cukup penting untuk dipenuhi yaitu memperluas hubungan antara pribadi dan berkomnikasi secara lebih dewasa
7
dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan dan hal tersebut bisa didapatnya dengan salah satu cara yaitu dari sekolah hal ini dapat diartikan bahwa individu usia remaja yang tidak bersekolah belum dapat memenuhi tugas perkembanganya.
Tidak
terpenuhinya
tugas
perkembangan
maka
akan
menyebabkan ketidak bahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas perkembanganya. http://belajarpsikologi.com. Pernyataan O, Connor bahwa pendidikan merupakan indikator tinggi rendahnya kualitas hidup individu begitu juga tugas perkembangan remaja menyebutkan memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya, baik laki – laki maupun perempuan dimana hal tersebut bisa diperoleh lah satu cara yaitu sekolah, Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Robert E. Slavin (2011) bahwa pendidikan merupakan kesempatan bagi individu untuk mengembangkan kreativitas dan produktivitas serta meningkatkan harga diri. Selain itu, menurut Nasution, (2011) pendidikan merupakan faktor utama yang menentukan status dan kelas sosial ekonomi individu. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa saat ini semakin banyak jumlah orang yang tidak dapat bersekolah. Selain memberikan dampak negatif, kondisi tidak bersekolah ternyata juga dapat memberikan dampak positif bagi kalangan tertentu. Menurut Totman (1990) pada beberapa kasus, individu yang tidak bersekolah menyukai kebebasan mereka dan mengambil keputusan untuk menikmati aktivitas dan memenuhi ambisi yang tidak dapat terpenuhi bila mereka 8
sekolah. Hal ini kembali didukung oleh Glaptys (dalam Robert E. Slavin 2011) yang mengungkapkan adanya efek positif dari ketiadaan sekolah, yaitu adanya waktu luang untuk melakukan berbagai macam hal yang diinginkan, dan tidak adanya kewajiban dan keharusan melakukan kegiatan tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa kondisi tidak sekolah memberikan dampak yang berbeda-beda bagi setiap individu. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, yaitu tidak bersekolah pada remaja akan mempengaruhi kualitas hidup maka kondisi tersebut
juga akan
mempengaruhi kebahagiaan individu. Selain itu, dampak dari tidak sekolah akan semakin besar ketika individu yang tidak sekolah berada dalam lingkungan masyarakat yang menganggap pendidikan adalah hal yang penting sehingga tidak sekolah sering dianggap sebagai kegagalan personal (Kelvin & Jarret dalam Argyle, 1999). Berbeda dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya, terdapat pula hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa kondisi tidak bersekolah tidak selamanya membuat individu menjadi tidak bahagia. Terdapat kemungkinan bahwa pandangan sosial terhadap buruknya remaja dropout telah menurun Sehingga indivdu yang tidak bersekolah tidak lagi terpengaruh Pandangan negatif masyarakat
berdasarkan hasil penelitian yang
sudah dijelaskan di atas tentang pengaruh pendidikan terhadap kebahagiaan dan kualitas hidup individu, dapat disimpulkan bahwa kondisi tidak bersekolah yang diprediksi memberikan dampak negatif bagi individu, ternyata juga dapat memberikan hal positif bagi individu. Sebagian individu yang tidak bersekolah tetap memiliki kualitas hidup dan kebahagiaan yang tinggi karena mereka dapat 9
beradaptasi serta mencari nilai positif dari kondisi tidak bersekolah. Selain itu, individu yang tidak bersekolah juga berada dalam lingkungan masyarakat yang tidak lagi memandang dropout sebagai hal yang negatif, sehingga hal ini tidak memperburuk persepsi individu tentang dirinya. Manusia telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas hidup, kualitas hidup salah satu kriteria penting dalam kehidupan masarakat setiap individu juga memiliki pemahaman yang berbeda terhadap kebahagiaan yang ia rasakan, dengan kata lain, kebahagiaan yang berhubungan dengan aspek internal dan eksternal dari kualitas hidup akan mempengaruhi baik tidaknya kualitas hidup individu tersebut Kondisi subjektif dianggap lebih berperan dalam mempengaruhi kualitas hidup, karena kondisi kehidupan tertentu tidak menghasilkan reaksi yang sama pada setiap individu, tiap-tiap individu memiliki definisi masing-masing mengenai hal-hal yang mengindikasikan kualitas hidup yang baik atau buruk.
1.2.
Rumusan Masalah Setelah melihat latar belakang tersebut
peneliti menemukan beberapa
rumusan masalah diantaranya. Bagaimana Faktor – faktor yang mempengaruhi remaja menjadi dropout dan bagaimana gambaran kualitas hidup
pada remaja dropout beserta aspek-
aspeknya?
1.3
Tujuan Penelitiaan
10
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang paling mempengaruhi remaja dropout dan untuk melihat gambaran kualitas hidup pada remaja dropout.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi psiran kualitakolgi pendidikan mengenai gambaran kualitas hidup pada remaja dropout dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada
1.4.2
Aspek Praktis
penelitian ini diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk semua pihak yang berperan dalam penanganan remaja putus sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengoptimalkan penanganan bagi reamaja dropout di jakarta.
Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan peneliti, yaitu masalah kualitas hidup pada remaja dropout. Faktor apa saja yang mempengaruhi remaja dropout serta kualitas hidup pada remaja dropout. Dengan
Adanya
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran kualitas hidup pada remaja dropout.
11